RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh : Ali Samsukdin NIM: 1113033100070 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM PEMIKIRAN
MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Ali Samsukdin
NIM: 1113033100070
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA DALAM
PEMIKIRAN MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI” telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 28 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memeperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program Aqidah dan Filsafat
Islam.
Jakarta, 28 Juli 2020
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
D T R MA
D B B M P
Anggota
Penguji I Penguji II
D F P M F
D E S MA
Pembimbing
P D Z K MA
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
ا ب
Indonesia
a
b
Inggris
a
b
Arab
ظ ط
Indonesia
ẓ
ṭ
Inggris
ẓ
ṭ
‘ ‘ ع t t ت
gh Gh غ ts th ث
f F ف j j ج
q Q ق ḥ ḥ ح
k K ك kh kh خ
l L ل d d د
m M م dz dh ذ
n N ن r r ر
w W و z z ز
h H ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y Y ي ṣ ṣ ص
h H ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab آ
Indonesia Ā
Inggris Ā
Ī Ī ٳى Ū Ū ٲو
v
ABSTRAK
Ali Samsukdin. Relasi Tuhan dengan Manusia dalam Pemikiran Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi.
Dalam Islam, Tuhan merupakan pencipta manusia sekaligus alam semesta,
namun berbagai perssoalan melanda kehidupan ini yang hanya mementingkan
unsur materi saja, ditambah lagi dengan persoalan pola pikir barat yang hanya
memprioritaskan aspek kemanusiaan serta unsur materi dan meniadakan unsur
spritualitas, misalnya agama dan kepercaayaan kepada Tuhan. cara pandang yang
seperti iniakan menafikkan peran Tuhan sebagai pencipta sekaligus penguasa
karena sesungguhnya yang maha kuasa dalam kehidupan ini hanyalah Tuhan
Dialah yang menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, makhluk terbaik
yang telah diciptakan-Nya adalah manusia. Dalam penelitian ini, kami
menggunakan metode Library research dengan mengumpulkan buku-buku yang
satu tema dengan pembahasan. Sedangkan tujuan dalam penelitian ini untuk Bisa
memahami dan mengetahui konsep pemikiran Muhmmad Taqi Mishbah Yazdi
tentang relasi Tuhan dengan Manusia.
Tema relasi Tuhan dengan manusia, dalam konteks ini Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi mengatakan bahwa Tuhan merupakan waajibu al-wujud di mana
Tuhan merupakan penyebab utama setiap mumkinu al-wujud. Tuhan
kedudukannya sebagai pencipta (khaliq) sedangkan manusia merupakan ciptaan-
Nya. Dialah Dzat yang maha menguasai alam semesta ini sekaligus yang
mengatur dan Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan tertentu yaitu untuk
beribadah dan menuju kesempurnaan kepada-Nya sehingga manusia tersebut
memperoleh rahmat-Nya. Selain untuk beribadah Tuhan menjadikan manusia
sebagai khalifah atau imamah di bumi di mana tugas dan fungsinya adalah untuk
menuntun manusia menuju jalan kebahagiaan baik dunia dan akhirat serta
melaksanakan ajaran syariat baik dibidang sosial, politik, dan ekonnomi. Menjadi
khalifah harus mampu menjalankan roda kepimimpinan dengan adil dan jujur dan
berpedoman pada al-Qur;an dan hadist.
Kata kunci: Relasi Tuhan dengan Manusia, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa Syukur yang amat mendalam, penulis seraahkan jiwa dan raga ini
kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan kuasan-Nya yang telah diberikan
kepada penulis, sehingga bisa menyelasaikan tugas akhir ini, sholawat serta salam
salam senantiasa selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhahammad saw
beserta seluruh keluarganya, sahabat serta seluruh para pengikutnya yang sudah
menyebarluaskan warisan kenabian dan dakwah Isalm di berbagai penjuru
duniaunia, semoga Allah SWT. melimpahkan kasih sayangnya kepada mereka
semua. Amin
Berbagai hambatan selalu hadir dalam proses penyelesaian skiripsi ini
mulai dari awal hingga akhir. Tentunya, proses penulisan skiripsi ini melibatkan
banyak kalangan, untuk itu saya merasa perlu menghaturkan terimaksih kepada
semua pihak yang telah membantu menyelasaikan skiripsi ini, terutama penulis
sampaikan kepada
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakrta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA.Sebgai Dekan Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dra. Tien Rahmatien, MA. Sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam) dan Dra. Banun Binaningrum, M.pd. (Sekretaris Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam.
4. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. Sebagai sebagai dosen pembimbing
dalam penulisan skiripsi ini yang selalu ada dan meluangkan waktunya
vii
sebagian waktunya untuk penulis. Terimaksih yang sangat mendalam atas
kesabaran, keikhlasan membimbing penulis sehingga penulis memperoleh
hasil yang baik. Tidak ada yang mampu membalas amal kebaikan Bapak
kecuali Allah SWT. semoga kesehata dan kelancaran dalam kegiatan selalu
menyeratai Bapak.
5. Tak akan lupa dan tak akan pernah terlupakan oleh penulis, menghaturkan
beribu-ribu terimaksih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya
yang tidak ada henti-hentinya memberikan do’a dan dukungan dalam
penulisan skiripsi ini. Juga kepada kakak –kakakku dan juga adik-adikku
terimaksih untuk kalian semua yang selalu mendukung serta memberikan
nasehat kepada penulis. Saya rasa saya tidak mampu membalas kebaikan
Ayah-Ibu dan saudara-saudaraku semua kecuali Allah SWT.
6. Para dosen Fakultas Ushuludin, yang telah memberikan pencerahan dan
ilmu yang luas kepada penulis.
7. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Bata-Bata Wilayah Jabodetabek
(IMABA). Organisasi ini merupakan organasis pengabdian yang selalu
menjadi naungan dalam kehidupan di Jakarta sekaligus menjadi keluarga
kedua, dan juga kepada tretan IMABA Khairul Anam, Ubaidillah, Nur
Kholis swandi, Abd Rahman, Mahbubi, Affan sudianto dan Badrut Tamam.
Terima kasih yang sebesar-besarnya telah memberikan saya semangat,
motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan skiripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan di IMABA JABODETABEK angkatan 2013
Moh. Matin, Muhammad Rokiin, Masudi, Fadlul Haq Ramadhani,
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................ .... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ .... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................. .... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 10
C. Tujuan Penulisan ....................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 11
F. Metode Penelitian ...................................................................... 13
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 14
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI
A. Latar Belakang Pendidikan, Politik dan Sosial .......................... 15
B. Karya-Karya ............................................................................... 19
C. Tokoh yang Mempengaruhi ...................................................... 24
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI TUHAN
DENGAN MANUSIA
A. Kosep Tuhan dan Manusia .......................................................... 26
a. Konsep Tuhan ..................................................................... 26
b. Definisi Manusia ................................................................. 30
c. Konsep Manusia ................................................................. 32
B. Teori Hubungan Tuhan dan Manusia ......................................... 37
a. Teisme ................................................................................. 38
b. Deisme ................................................................................ 41
c. Panteisme ............................................................................ 44
d. Panenteisme ........................................................................ 46
x
BAB IV RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA MENURUT
MUHAMMAD TAQI MISHBAH YAZDI
A. Tuhan Sebagai Pencipta .......................................................... 49
B. Tuhan Sebagai Penguasa ........................................................ 54
C. Manusia Sebagai Khalifah di Bumi ......................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 66
B. Saran-saran ............................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah kita ketahui sejak dahulu dalam ajaran Islam Tuhan merupakan
pencipta seluruh umat manusia dan alam semeseta, sehingga sudah seharusnya
umat manusia tunduk dan patuh (sebagai bentuk hubungan Tuhan dan manusia,
sehingga memperoleh rahmat-Nya) terhadap-Nya, namun berbagai persoalan telah
melanda dikehidupan ini yang hanya berwujud cinta pada dunia. Permasalahan ini
akan menjadi penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia di era saat ini. Dan
dampak dari permasalahan tidak dikaji ulang oleh kalangan ilmuan khususnya
dari para insan akademisi akan menyebar luas di kehidupan manusia, termasuk di
kalangan umat Islam dan para pemikirnya.
Dampak yang paling buruk dari fenomena ini adalah ketidakpercayaan
terhadap Tuhan, dalam berbagai manifestasinya. Baik ketidakpercayaan terhadap
eksistensi Tuhan atau tidak mempercayai kepada berbagai konsekuensi uluhiyah-
Nya. Faham ini dibangun oleh kaum materialisme, sehingga dalam memandang
persoalan, termasuk persoalan tentang ilmu pengetahuan dan filsafat kehidupan,
manusia lebih senang merujuk pada teori-teori buatan yang begitu lemah.1
Tuhan dengan manusia merupakan kajian dalam filsafat mulai dari yunani
kuno sampai dengan sekarang yang tidak pernah ada Hadistnya. Negeri-negeri
seperti Mesir, India, Cina, Jepang, Iran, Babilonia dan Yunani dianggap sebagai
rujukan dalam mempelajari konsep tersebut. Para filosof Yunani kuno sampai
1 Harun Yahya, Membongkar Kesalahpahaman Materialisme: Mengenal Allah lewat
Akal (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h.4-5.
2
modern sudah banyak mengupas tentang masalah Tuhan dan manusia. Manusia
merupakan bagian dari alam (kosmos) yang telah diciptakan oleh Tuhan, dengan
alam pula manusia berproses dan memperoleh pengetahuan dari Tuhan. Oleh
karena itu membahas hubungan antara Tuhan dan manusia tidak bisa dipisahkan2.
Manusia dalam pandangan Hindusme, alam jagat raya ini merupakan suatu
problem bagi dirinya sendiri, atau lebih tepatnya sebuah rahasia besar dan suci.
Iya merupakan barang keramat bagi dirinya, oleh sebab itu, manusia dari dulu
sampai sekarang berupaya menyelidiki dirinya sendiri sepanjang sejarah
peradaban, manusia menduduki peringkat teratas sebagai objek kajian yang
banyak dibahas. Pembahasan tersebut tidak hanya berbicara dari sisi biologisnya
saja, tetapi manusia secara keseluruhan. Manusia tidak hanya sekedar berada akan
tetapi harus memahami keberadaanya, tidak bisa dipungkiri lagi manusia
merupakan subjek sekaligus objek sejarah, kehidupannya dinamis dan berevolusi
untuk mencapai kesempurnaan.3
Manusia merupakan makhluk yang berpengetahuan, makhluk selain
manusia, juga mempunyai pengetahuan akan tetapi pengetahuan tersebut bersifat
statis mulai sejak zaman purba sampai sekarang, sedangkan pengetahuan manusia
bersifat dinamis terus berkembang dari zaman kezaman, pengetahuan yang
dimiliki nmanusia tidak lepas dari peran Tuhan, karena Tuhan telah membekali
manusia berupa akal dan rasio. Dengan akal manusia ingin mempunyai rasa ingin
tahu, dari rasa ingin tahu itulah manusia selalu mempertanyakan segala hal yang
dipikirkannya dan mencari segala bentuk jawaban dari permasalah yang dihadapi.
2 Samidi, “Tuhan, Manusia dan Alam: Analysis Kitab Primbon Attasadur Adammakna”,
shahih, Vol,1,No.Tb, 2016 h.14 3 Refleksi, jurnal kajian agama dan filsafat, Vol, IX, No2, 2007, h. 153.
3
Berpikir merupakan ciri khas manusia kemampuan inilah yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya, dengan potensi yang dimiliki manusia mampu
mencipta, mengelola dan mengubah lingkungan sekitarnya menjadi lebih baik.
Oleh karenanya Tuhan memilih manusia sebagai wakil-Nya dimuka bumi.4
Hakikat manusia sebagai khalifah Tuhan dijelaskan dalam surah al-
Baqarah 02: 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat;
seseunguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka
berkata; mengapa engkau hendak menjadika (khalifa) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji engkau? Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang engkau tidak ketahui” (Qs: 2:30).5
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebutan khalifah itu
merupakan anugerah dari Tuhan kepada manusia dan selanjutnya manusia
diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang
harus dipertanggungjawabkan.6
Sebagai kholifah di bumi manusia harus
memanfaatkan alam ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus
mempertanggung jawabkannya sebagai bentuk hubungan antara Tuhan dan
manusia, di mana Tuhan merupakan pencipta alam jagat raya ini beserta isinya.
Dalam ajaran Islam, hubungan Tuhan dengan manusia dibangun melalui
shalat, dzikir, doa serta ibadah-ibadah lainnya. Disamping itu manusia harus
membangun hubungan dialektis antara dimensi horizontal yakni, manusia
4 Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Klasik Hingga Post Moderenisme (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), h. 13-15 5 Al-Qur’an dan terjemahan, Kementrian Agama RI, 2012, h. 6
مالا تعلمونوأذ قال ربك للملائكة اني جاعل فى الارض خليفة قالو اتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال اني أعلم 6 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qura‟n, (Bandung: Mizan, 1996), h. 162.
4
membutuhkan orang lain untuk mempertahankan eksistensinya, karena manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri, dan dimensi vertikal
hubungan dengan Tuhan yang akan membawa seorang individu menjadi manusia
paripurna, disamping itu manusia terhubung dengan Tuhan merupakan kebuTuhan
dasar yang menjadikan manusia merasa ada dan berarti.7
Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara, manusia merupakan makhluk
yang paling sempurna. Selain itu manusia adalah makhluk dua dimensi disatu sisi
terbuat dari tanah (thin) yang menjadikannya sebagai makhluk fisik, di lain sisi,
sebagai makhluk spritual karena ditiupkan ke dalamnya roh Tuhan.8
Dalam
kaitannya dengan alam semesta beserta isinya Tuhan adalah transenden sekaligus
imanen.9
Dalam pandangan filsafat barat, Aristoteles menyebutkan bahwa manusia
adalah zon politikon, hewan yang bermasyarakat. Menurut Martin Buber
merupakan sebuah eksistensi atau keberadaan yang dimiliki namun dibatasi oleh
kesemestaan alam sedangkan menurut Max scheller manusia disebut Das Kranke
Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah. Ilmu-ilmu
humaniora termasuk ilmu filsafat mencoba untuk mendefinisikan kajian tentang
manusia ada beberapa rumusan.
Homos sapien (Makhluk yang berbudi)
7 Wahida Suryani, “Komunikasi Transedental Manusia-Tuhan” dalam jurnal, FARABI,
Vol, 12 No. 1, 2015, h. 151 8 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius Menelami Hakikat Tuhan dan Manusia (Jakarta:
Erlangga, 2007), h. 12 9 Dia transenden karena mengatasi atau melampaui alam dan tidak edentik dengan alam
sebagaimana yang disangkakan oleh para filosof. Pun juga imanen, karena kehadiran-Nya dapat
dirasakan di mana-mana tanpa harus bersifat berbilang. Dia ibarat matahari yang bisa dilihat
diberbagai tempat dimuka bumi dan bisa dirasakan kehadiran-Nya tetapi tanpa harus sama dengan
bumi ataupun terbilang. Lih: Mulyadhi Kartanegara, Nalar religius Menelami hakikat Tuhan dan
Manusia (Jakarta: Erlangga, 2007), h.7
5
Homo Religius (Makhluk yang beragama)
Homo faber atau Tool Making (Binatang yang pandai membuat
bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebuTuhan hidupnya)
Animal rational (hewan ybang rasional atau berfikir)
Namun penamaan tentang definisi manusia bukan tidak bertentangan
dengan para kalangan pemikir Islam. Diantaranya, seorang ahli pendidikan dari
mesir Munir Mursyi dan Daud Muhammad Ali mengenai manusia sebagai animal
rational hewan yang rasional atau yang berfikir atau alinsan hayawan al nathiq,
pernyataan yang demikian menurut Munir Mursyi bukan bersumber dari ajaran
Islam, melainkan bersumber dari Yunani. Dalam kaitannya dengan hal ini beliau
(Munir Musryi) mengkritik teorinya Charles Darwin, dalam teorinya Darwin tidak
bisa membuktikan atau menjelaskan mata rantai yang dikatakannya terputus
dalam proses transformasi primata menjadi hewan. Dengan begitu Munir Mursyi
mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan degan berbagai potensi.
Muhammad Daud Ali menyatakan pendapat yang bisa dikatakan memperkuat
bantahan Munir Mursyi di atas, dia mengatakan bahwa manusia bisa menyamai
hewan apabila tidak memanfaatkan potensi yang telah Tuhan berikan terutama
potensi akal.10
Jeans Paul Sartre yang banyak menulis tentang Tuhan, sementara dia tidak
mempercayai keberadaan Tuhan. Tema sentral dalam pemikiran sartre adalah
situasi manusia dalam dunia tanpa Tuhan, Sartre sendiri tidak percaya bahwa
manusia diciptakan dari image Tuhan atau oleh sesuatu tujuan yang bersifat
10
Siti Hazinah, “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat” dalam jurnal
ilmiyah, DEALIKTIKA, vol, XIII, No.2, tb, 2013, h. 297
6
Ilahiyah. Dalam hal ini menurutnya manusia merupakan pencipta bagi dirinya
sendiri, kemudian manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab, sebab
manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan kebebasan itu tidak dibatasi oleh
prakonsepsi yang sudah jadi dan oleh hakikat manusia yang tidak dapat berubah.11
Dalam pandangan eksistensialisme, manusia hadir ke dunia dalam keadaan
bebas dan merdeka. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, di mana manusia
tidak memiliki watak dan tabiat tertentu, kadar kebebasan manusia begitu tinggi
sehingga ia mampu menentukan watak dan tabiatnya sendiri. Tetapi, meskipun
manusia tercipta dalam keadaan bebas, bisa saja datang kepadanya faktor-faktor
keterkaitan dan kebergantungan yang akan merenggut kebebasan manusia itu
sendiri dan jika manusia masih memiliki keterkaitan dan kebergantungan, maka ia
sudah tidak bebas lagi.
Kaum eksistesialisme di sini menginginkan kebebasan bagi manusia,
dalam argumentasinya bahwa keyakinan terhadap Tuhan sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip manusia, karena keyakinan tersebut akan memberikan dampak
pada qadha dan qadar yang berakhir dengan tabiat dan watak manusia yang statis.
Namun, terlepas dari adanya pertentangan antara keyakinan dan kebebasan,
keyakinan kepada Tuhan sudah pasti mendatangkan iman kepada-Nya. Iman
kepada Tuhan berarti ada keterkaitan dan kebergantungan kepada-Nya, sedangkan
keterkaitan dan kebergantungan dalam pandangan eksistensialisme sudah
bertentangan dengan kebebasan manusia, di mana dalam persoalan ini akan
11
Joko Siswono, Dari Ariestoteles Sampai Derrida, Sistem-sistem Metafisika Barat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 70
7
meletakkan Tuhan di ata segala-galanya, oleh karenya mereka tidak bisa
menerima adanya Tuhan dalam segala aktivitas manusia.12
Dengan segenap pernyataan yang sudah diungkapkan para kaum
eksistensialime bisa dikatakan bahwa mereka mementingkan aspek kemanusian
serta unsur materi saja dan meniadakan unsur spritualitas seperti Agama dan
kepercayaan kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran Friderich
Nietzche, tentang manusia superman yang mengatakan bahwa kesempurnaan
manusia itu bisa didapat dari kekuasaan dan kebebasannya. Kebebasan dan
kesempurnaan dalam pandangan Nietzche tidak ada hubungannya dengan Tuhan,
baginya Tuhan Telah Mati dan agama hanya dijadikan alat untuk melindungi
dirinya dari orang jahat.13
Sedangkan bagi Max agama merupakan candu rakyat,
dalam artian agama hanya menjadi sebuah pelarian karena realitas memaksa
manusia untuk melarikan diri, bahkan agama dianggap tidak mempunyai masa
depan.14
Kemudian aliran Humanisme, Ludwig Feurbach yang beranggapan bahwa
yang menciptakan manusia bukanlah Tuhan, akan tetapi justru sebaliknya Tuhan
tercipta dari angan-angan manusia. Hakikat Tuhan tidak lain merupakan hakikat
daripada manusia itu sendiri yang sudah diebrsihkan dari macam-macam
12
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Studi Kritis Pandangan Filosofis (Jakarta:
Sadra Press, 2012), h. 280. 13
Tri Arwani Maulida, Relasi Tuhan dan ManusiaMenurut Syed Muhammad Nuqaib Al-
Attas (Tesis UIN Sunan Ampel, 2018), h. 4 14
Ahmad Muttaqin, “Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama”, Komunika,
Vol, 7, No, 1, 2013, h. 3
8
keterbatasan yang kemudian dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di
luar manusia.15
Dalam argumentasi filsuf barat bahwa alam materi ibarat sebuah jam yang
telah diseting dan diukur putaran waktunya, kemudian secara otomatis bergerak
sendirinya, sehingga dalam kasus ini alam semesta tidak lagi membuuthkan
Tuhan dalam melanjutkan aktivitasnya. Dengan demikian menurut Misbah Yazdi
jauh dari kebenaran, karena dalam wujud alam ini selalu membutuhkan dan
kebergantungan kepada Tuhan dalam segala persoalan.16
Pemikiran barat yang hanya mementingkan aspek kemanusiaan dan materi
serta menghilangkan aspek spiritual dan kepercayaan kepada Tuhan, hal ini tidak
lagi sesuai pemikiran Muhammad Taqi Misbah Yazdi. Mengatakan secara tegas
bahwa Tuhan merupakan penyebab adanya alam semesta.
Selanjutnya ungkapan Misbah Yazdi tentang relasi Tuhan dengan
makhluk-Nya adalah, bahwa makhluk tersebut bukan hanya butuh kepada Tuhan
sebagai asal segala wujudnya. Karena secara ontologis makhluk sama sekali tidak
mandiri. Oleh karenanya Tuhan mempunyai hak tasharruf (pengelolaan) aatas
mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai kehendak-Nya.17
Berkaitan dengna pembahasan relasi tersebut dapat kita amati dalam
konsep Rububiyah, di mana konsep tersebut terbagi menajadi dua bagian pertama,
15
Ahmad Muttaqin, “Karlmax dan Freiderich Nietzche Tentang Agama”, Komunika, h.
Manusia adalah makhluk Tuhan dengan berbagai sisi dengan tingkatan.
Ia merupakan tubuh, jiwa dan ruh. Tetapi Islam selaras dengan doktrin Tauhidnya
yang fundamental, memandang manusia sebagai kesatuan yang utuh di mana
semua bagiannya saling tergantung satu sama lain. Islam memiliki pandangan
yang sama dengan Kristen dan Yahudi, di mana manusia diciptakan dari bayang-
bayang Tuhan.12
Konsep manusia dalam Islam terletak pada harkat dan martabatnya.
Harkat dan martabat manusia dapat dilihat dari hakikat manusia: dimensi dan
potensi yang dimiliki manusia itu sendiri. Aliran materialisme antroplogik
memandang hakikat manusia sebagai jasad yang terdiri dari bahan-bahan material
dari dunia anorganik. Sedangkan kaum Idealisme Antropologik memandang
manusia sebagai makhluk yang memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang
intrinsik dan tidak bergantung pada materi. Namun pandangan ini di dalam Islam
belum sempurna, karena kedudukan manusia di hadapan Tuhan sangat mulia.
11
Abd Gaffar “Manusia dalam Perspektif al-Qur‟an”, h. 244. 12
Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam dan Sains, (Bandung: Pustaka
Hidayah 2008), h. 301.
33
Hakikat manusia dalam ajaran Islam dapat kita lihat sebagai berikut.
Petama, manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling baik dari pada makhluk-
makhluk lainnya, sehingga di dalam al-Qura‟an surat al-tiin disebutkan dengan
sebutan ahsani taqwim dengan pengerian manausia memiliki derajat yang lebih
tinggi secara jasmani dan rohani dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Dari segi jasmani terletak pada ciptaan fisik dan rupa wajah. Adapun keunggulan
dari segi rohani manusia adalah yang berkekuatan spiritual keagamaan, karena
manusia mempunyai akal dan kalbu. Kedua, manusia dalam Islam disebut insan
kamil. Ketiga, manusia sebagai khalifah di bumi. Keempat, dari segi kejadiannya
manusia yang paling bagus. Dalam al-Qur‟an surat al-Mukminun (23) ayat 12-16
manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan nutfah. Kelima, manusia
adalah makhluk yang berketuhanan. Keenam, manusia adalah makhluk mulia.13
Dalam pandangan Islam mengenai konsep manusia di atas, kemudian
berkembang dalam sejarah sejarah pemikiran filsafat Islam. Semisal dalam filsafat
Islam manusia dikenal sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial.
Manusia sebagai multidimensional ada beberapa dalam hidupnya. Sedangkan
manusia sebagai makhluk multipotensial memiliki banyak potensi dalam baik
(fitrah) dalam hidupnya.
Manusia dalam pandangan Islam memiliki 7 dimensi dalam
kehidupannya, yaitu jasmani, rohani, akidah, sosialakhlak, akal dan estetik.
a) Dimensi Jasmani.
13
Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam” Al-Ta‟lim, jilid 1,
No, 3 (November 2012): h. 190-191.
34
Dimensi jasmani dalam Islam adalah eksisitensi manusia membutuhkan
badan, agar bisa melaksnakan fungsi dan tugasnya. Karena apabila jiwa tidak
mendapat bantuan badan tidak akan bisa menjalankan tugasnya sepetti halnya
berpikir, merasa, dan bertindak. Pada hakikatnya bukan badan yang membutuhkan
jiwa, akan tetapi justru sebaliknya, jiwalah yang membutuhkan badan. Buktinya
hewan bisa bisa hidup tanpa jiwa (akal). Dengan demikian jiwa sangat
membutuhkan badan, maka skualitas jasmani manusia harus dikembangkan
seoptimal mungkin dalam hidupnya agar dia berdaya dan berhasil bagi
kehidupannya.
b) Dimensi rohani / Spritual Keagamaan
Dimensi rohani di sini merupakan konsep yang paling sentral dalam
Islam. Menurut al-Qur‟an setelah proses taswiyah dari bentuk fisik terciptanya
manusia secara lengkap, kemudian Tuhan meniupkan roh-Nya sebagai bukti
kesempurnaa terciptanya manusia. Seperti halnya disebutkan dalam al-Qur‟an
surat al-Hajir (15) ayat 28-29. Menurut Al-Kindi: jiwa tersebut berhubungan
dengan Tuhan. Jiwa manusia berhubungan dengan imej dan sapek (shuurah)
ketuhanan. Hal ini detegaskan oleh Nabi dalam sebuah haditsnhya: Sesungguhnya
Allah SWT menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya (memiliki spirit rohaniah
ysng berasal dari-Nya). Pada dimensi ini maksud tujuan Allah meciptakan
manusia. Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali mereka menyembahku.14
c) Dimensi akidah
Manusia sebagai hasil ciptaan Tuhan, maka dalam dirinya sudah
dianugerahi sesuatu oleh Tuhan sebagai pencitanya, yang berupa pribadi manusia
14
Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 192
35
yang dilengkapi dengan berbagai potensi yang berupa: pikiran, perasaan kemauan
dan anggota badan. Dalam analisa filsafat mengatakan bahwa Tuhan yang maha
Esa merupakan Causa Prima, dalam artian sebab pertama yang menyebabkan
lahirnya seluruh yang ada temasuk manusia. Disamping itu, Tuhan yang Esa juga
sekaligus causa finalis dari perkembangan hidup manusia. Sebagaimana firman-
Nya dalam Surat Al-A‟raf (7) ayat 172. Kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Setiap manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Fitrah dalam
artian suci dari syirik, atau dengan kata lain pada dasarnya manusia diberi potensi
untuk percaya kepada Tuhan.15
d) Dimensi sosial
Setiap manusia terlahir sebagai kelompok sosial. seandainya manusia
tidak memiliki dimensi sosial dalam hidupnya, niscaya manusia akan punah di
bumi ini, karena manusia dilahirkan dalam keadaan lemah. Manusia tidak bisa
melangsungkan hidupnya tanpa bantuan orang lain dan potensi yang dibawa sejak
lahir bisa berkembang apabila bergaul dengan sesama manusia, sehinngga
menjadi manusia yang sebenarnya. Islam menganjurkan agar setiap orang Islam
supaya tolong menolong satu sama lain.
e) Dimensi akhlak
Akhlak atau moral merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia, di mana pada hakikatnya mempunyai potensi esensial sebagai
moral being.16
Tanpa akhlak manusia akan kehilangan esensi kemanusiaannya
sehingga menjadi manusia yang berada di tingkat yang paling rendah. Allah SWT
15 Djunaidatul Munawaroh dan Taneji, Filsafat Pendidikan Islam:Perspektif Islam dan
Umum (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003 ), h. 41-42. 16
Djunaidatul Munawaroh dan Taneji, Filsafat Pendidikan Islam: Perspektif Islam dan
Umum, h. 36-38.
36
mengutus Nabi Muhammad SAW menjadi rasul salah satunya mengemban tugas
untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam hal ini Nabi menegaskan:
Sesungguhnhya aku diutus menjadi rasul untuk memperbaiki akhlak manusia.
Konsep akhlak dalam al-Qur‟an tidak hanya sebatas kehidupan pribadi dan
keluarga, melainkan meliputi hubungan baik manusia dengan kehidupan
bermasyarakat, keagamaan dan politik.17
f) Dimensi akal
Akal merupakan dimensi kehidupan yang ada pada diri manusia,
sehingga kualitas dan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan makhluk-makhluk
lainnya, seperti malikat dan hewan. Sehingga Allah SWT memilih Adam sebagai
khalifah di bumi daripada malaikat, karena manusia memiliki akal yang
dengannya manusia dapat memiliki kualitas di bidang ilmu pengetahuan. Manusia
sebagai khalifah tidak hanya dintentukan dengan kualitas akhlaknya akan tetapi
juga ditentukan oleh kualitas keilmuannya. Oleh karenanya Islam sangat
menghargai akal dan memuliakan kedudukannya.
g) Dimensi estetika
Manusia sejatinya membutuhkan keindahan baik keindahan akhlak
atau keindahan bentuk, tidak ada seorangpun yang yang tidak suka akan
keindahan, karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan.18
Dalam kegiatan
manusia banyak yang berhubungan dimensi estetika, bahkan dalam ajaran Islam
adanya dimensi estetika tidak dibantah. Seni yang dimaksud di sini adalah bukan
seni untuk seni, melainkan seni untuk kehidupan agama manusia, sehingga
kehidupan manusia itu terasa indah. Seni dalam Islam merupakan jembatan yang
17
Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 194. 18
Murtadha Muthahhari, alFitrah, terj. H. Afif Muhammad (Jakarta: Citra, 2011), h. 53.
37
akan membawa arus inspirasai, gaya dan ide-ide aantara kultur Islam. Seperti
halnya di Amman, Kairo dan Karachi.19
Ketujuh aspek atau demensi kemanusian merupakan kepribadian manusia
dalam pandangan Islam, di mana dari semua itu harus bertumbuhkembang dalam
keseimbangan, kesatuan ikatan, serta saling melengkapi dan menyempurnakan
diantara satu sama lain dan tidak boleh terabaikan atau paling diunggulkan. Jadi
gambaran manusi multidimensional itu adalah sosok manusia dalam konsep
makhluk jasmani/rohani, agamis, sosial, seni, akhlak dan akal.20
3. Teori Hubungan Tuhan dengan Manusia
Hubungan Tuhan dengan manusia maupun alam merupakan fenomena
baru masyarakat modern dalam memahami Tuhan sehingga pendekatan
epistemologis menjadi sebuah keharusan. Tuhan dipahami dalam perspektif
antroposentris dengan titik tekan pada relasi antara Tuhan dengan manusia dan
alam. Relasi antara Tuhan dengan manusia menimbulkan pemikiran-pemikiran
secara filosofis yang cenderung imanen pada satu sisi dan transeden pada sisi
yang lain, bahkan menimbulkan pemikiran yang menganggap Tuhan itu imanen
sekaligus transenden.
Imanensi maupun transendensi merupakan pradigma ontologis-metafisis di
kalangan filosof maupun teolog dalam membahas relasi antara Tuhan dengan
manusia. Di sinilah terdapat benang merah relasi manusia denga Tuhan dengan
pendekatan fenomenologis yang dikenal dengan sebutan intensionalitas. Istilah ini
19
Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam, terj. M. Sirosi (Bandung: Mizan, 1992), h.
209. 20
Dinsaril Amir, “Konsep Manusia Dalam Sistem Pendidkan Islam”, h. 197-199.
38
merujuk bahwa manusia mempunyai keterarahan dengan yang lain, termasuk
Tuhan. Keterarahan manusia kepada Tuhan merupakan suatu keniscayaan.21
Pada akhirnya relasi keduanya yang melahirkan konsep imanensi dan
transendensi ini dalam perkembangan berikutnya menimbulkan paham-paham
ketuhahanan yang menjadi perdebatan. Dalam catatan sejarah ada beberapa
pandangan manusia mengenai konsep ke-Tuhanan yang menekankan pada relasi
Tuhan dengan alam, yaitu Teisme, Deisme, pateisme dan panenteisme. Dalam
pandangan aliran ini meyakini bahwa Tuhan merupakan pencipta, namun aliran
tersebut memiliki cara pandang yang berbeda mengenai relasi Tuhan dan alam.
a. Teisme
Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui bahwa Tuhan sebagai
yang ada dan Trensenden, juga berpartisipasi secara imanaen dalam penciptaan
alam dari ketiadaan melalui aktus penciptanya-Nya yang bebas. Antara Tuhan dan
manusia dapat terjalin hubungan.22
Harun Nasution juga mengatakan dalam
bukunya Filsafat Agama bahwa Tuhan dalam paham teisme adalah transenden,
yaitu di luar alam. Aliran teisme mengatakan alam setelah diciptakan oleh Tuhan
bukan tidak lagi membutuhkan-Nya, akan tetapi masih butuh kepada-Nya, karena
Tuhan adalah sebab bagi seluruh alam yang ada, dan kesemuanya harus bersandar
kepada sebab tersebut, dan Tuhan merupakan dasar dari semua yang ada dan apa-
21
Suhermanto Ja‟far “Panenteisme Dalam Pemikiran Barat dan Islam”, Ulumuna, Vol
XIV, No. 1 (Juni, 2010), h. 42-43. 22
M. Bharudin “Konsepsi KeTuhanan Sepanjang Sejarah Manusia”, Al-adYan, Vol IX,
No. 1, (Januari-Juni, 2014), h. 39.
39
apa yang terjadi di alam ini. Oleh karenanya alam ini tidak akan pernah berwujud
dan berdiri tanpa Tuhan. Dialah yang mengatur dan yang menggerakkan.23
Dalam ajaran Islam bahwa Tuhan adalah Esa, sekaligus transenden dan
juga immanen, bisa dibuktikan melalui ayat al-Qur‟an. Sedangkan ayat yang
menunjukkan aka keesaan Tuhan terdapat dalam surat al-Ikhlas yang artimya
Katakanlah Muhammad, Dia (Allah) adalah satu. (QS. 112:1). Sedangkan
transendensi Tuhan terdapat dala surat al-A‟raf ayat 54. Artinya “Sesungguhnya
Tuhan kamu adalah allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas „Arsy”. Sedangkan immanensi Tuhan terdapat
dalam surat Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya dari pada urat lehernya. Dan juga terdapat dalam surat Yunus ayat 3,
di mana ayat ini menegaskan bahwa Tuhan itu transenden sekaligus immanen.24
Tokoh dalam dalam Islam yang menegemukakan gagasannya tentang
teisme adalah Al-Ghazali. Menurutnya Allah adalah zat yang Esa dan juga
pencipta alam serta berperan aktif dalam mengendalikan alam. Dan alam di
ciptakan dari tidak ada. Menurutnya Tuhan mampu mengubah segala ciptaan-Nya
sesuai dengan kehendak mutlaknya, karena Tuhan maha kuasa dan dan
berkehendak mutlak. Al-Ghazali di akhir hidupnya lebih menekankan pada
immanensi Tuhan. Tuhan sangat dekat dengan dirinya, sehingga untuk berdoa pun
tidak perlu dengan suara atau gerakan bibir. Dian berpendapat kedekatan Tuhan
itu sekaligus membuka tabir penegetahuan.
23
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 38. 24
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 81-82.
40
Menurut St. Agustinus gagasan tentang konsep teisme adalah, bahwa
Tuhan ada dengan sendirinya, tidak diciptakan juga tidak berubah, abadi, bersifat
personal dan maha sempurna. Menurut St. Agustinus Tuhan menciptakan alam,
jauh dari alam, di luar dimensi waktu tetapi juga mengendalikan setiap kejadian
dalam alam. Oleh sebab itu mukjizat benar-benar ada karena Tuhan selalu
mengatur ciptaa-Nya. Alam menurutnya diciptakan dari tiada, maka dari itu alam
adalah baru dan tidak abadi. Alam memiliki permulaan dan batas akhir serta tidak
diciptakan dalam waktu, tetapi bersaamaan dengan waktu.25
Kemudian filosof Yahudi Ibn Maimun atau Maimonedes berpaham
memahami teisme adalah, bahwa Tuhan meliputi semua posisi yang penting, tidak
berjasad juga tidak berpotensi dan tidak menyerupai makhluk. Dalam hal ini,
menurut Ibn Maimun Tuhan adalah transenden dan juga Tuhan memerhatikan
nasib makhluk-Nya dan mendengar do‟anya. Bukti bahwa Tuhan memperhatikan
makhluknya nasib makhluknya ketika Tuhan memberikan nikmat kepada
makhluk-Nya yang begitu banyak sehingga ia mampu bertahan hidup dengan
segala nikmt yang diberikan.
Dari ketiga filosof yang beda agama tersebut menurut Amsal Bakhtiar
tampak benang merah yang menghubungkan dari pemikiran ketiganya, sama-
sama berpendapat bahwa Tuhan secara zat adalah transenden juga jauh dari
pengetahuan dari manusia. Namun, apabila ditinjau dari segi perbuatan-Nya
Tuhan berada dalam alam dan bahkan memperhatikan nasib makhluk-Nya.26
25
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 83
26
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 84-
85.
41
b. Deisme
Menurut paham deisme Tuhan berada jauh dari alam (transenden) yaitu
tidak dalam alam (tidak immanen). Kata deisme bersal dari bahasa latin yaitu deus
yang memiliki arti Tuhan. Dalam paham ini Tuhan menciptakan alam dan sesudah
alam diciptakan-Nya, di samping Tuhan sebagai pencipta Ia merupakan sumber
dari segala-galanya, tapi bukan pengatur atau bahkan sebagai pengawas. Setelah
alam diciptakan, Tuhan tidak lagi memerhatikan dan alam berjalan sesuai dengan
peraturan yang sudah ditetakn ketika proses penciptaan. Peraturan-peraturan tidak
berubah dan sangat sempurna. Dalam paham ini Tuhan dibaratkan dengan tukang
jam yang sangat mahir. Setelah jam tersebut jadi maka jam itu tidak lagi
membutuhkan sipembuat. Dengan demikian alam setelah diciptakan oleh Tuhan,
alam tidak lagi butuh kepada-Nya dan berjalan sesuai dengan mekanisme yang
sudah diatur oleh Tuhan. Dalam kasus ini sangat berbeda dengan paham teisme
(alam masih berhajat kepada-Nya).27
Dalam aliran deisme tidak ada paham mukjizat dalam artian sesuatu yang
bertentangan dengan hukum alam, karena alam setelah diciptakan oleh Tuhan
sudah tidak berhajat lagi pada Tuhan sehingga berjalan sesuai dengan mekanisme
yang sudah diatur oleh-Nya. Dalam paham deisme ini juga, do‟a dan wahyu sudah
tidak dibutuhkan lagi, Tuhan sudah membekali manusia manusia berupa akal,
sehingga dia bisa mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang benar
dan mana yang salah. Dengan dapat disimpulkan dalam paham ini manusia
mampu mengurus kehidupan duni.
27
Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), h. 35-36.
42
Paham deisme sangat menekankan peranan budi dalam agama serta
menolak wahyu dan mukjizat penolakan akan mukjizat ini tidak berdasarkan
argumentasi yang kuat. Thomas painen (1773-1809) yang merupakan tokoh
deisme yang militan, ia menyebutkan dalam karyanya yang berjudul “The age of
reason” menegaskan bahwa turunnya wahyu dan mukjizat adalah mustahil.
Menurut Paine wahyu yang dikaitkan dengan agama, menandakan adanya pesan
yang ingin disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Wahyu hanya diberikan
kepada orang-orang tertentu dann hanya berlaku untuk orang-orang yang
mendapatkan wahyu. Oleh karena itu orang yang tidak mendapatkan wahyu tidak
wajib mempercayai, wahyu yang sebenarnya menurut Paine adalah manusia yang
dilengkapi dengan akal.
Turunnya wahyu menurut Paine adalah mustahil karena keterbatasan
manusia untuk menangkap isi kandunngan dalam wahyu. Hal ini di sebabkan oleh
sifat wahyu yang universal dan tidak berubah sedangkan bahasa manusia selalu
berubah dan tidak universal. Paine menolak beberapa kelompok agama yang
mengaku telah menerima wahyu baik sacara tulisan maupun lisan. Bagi Paine
bahwa kepercayaan akan wahyu merupakan penemuan manusia yang dirancang
untuk memperbudak orang lain, mencari keberuntungan dan menopoli
kekuaasaan.28
Secara implisif deisme dapat dikatakan sebagai “agama filsafat” yang
meyakini Tuhan sebagai pencipta yang abstrak. Relasi Tuhan dan manusia
hanyalah sebatas pencipta tidak ada wahyu atau mukjizat sebagai petunjuk.
Manusia diberika kebebasan dalam mengambil keputusan serta tindakan di dunia
28
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 90
43
tanpa ada campur tangan Tuhan. Para penganut paham deisme sangat
memperjuangkan free thingking.29
Aliran deisme mulai muncul pada abad ke 17 tokoh yang memelopori
adalah Newton (1642-1727). Dalam hal ini Newton mengatakan, Tuhan
hanhyalah pencipta alam dan apabila terjadi kerusakan alam tidak membutuhkan
Tuhan untuk memperbaiki karena sudah memiliki mekanisme sendiri untuk
menjaga keseimbangan. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengaetahuan,
sebagian ilmuan semakin meyakini bahwa kebenaran dan keuniversalan hukum
fisika yang tidak berubah. Hal ini memberikan dampak pada mereka yang
beranggapan bahwa perlunya Tuhan bagi alam semakin kecil. Sehingga kian lama
muncullah paham bahwa Tuhan hanya menciptakan alam kemudian
membiarkannya berjalan sesuai hukum yang telah ditentukan.30
c. Panteisme
Dalam bukunya Amsal Bakhtiar filsafat Agama¸ kata panteisme
merupakan gabungan dari tiga kata yaitu, Pan (seluruh), theo (Tuha) dan isme
(paham). Jadi pengertian panteisme adalah paham bahwa semuanya adalah Tuhan.
Panteisme merupakan aliran atau paham yang berasumsi bahwa Tuhan berada
dalam segala sesuatu dan segala sesuatu tersebut adalah Tuhan. Dalam paham ini
seluruh alam jagat raya ini satu, dengan demikian Tuhan dalam panteisme juga
satu, di samping Tuhan itu Esa juga Maha Besar dan tidak mengalami perubahan,
hal ini sangat berbeda dengan alam inderawi karena alam hanyalah sebuah ilusi
29
Tri Arwani Maulidah “Relasi Tuhan Dan Manusia Menurut Syed Muhammad Naquib
Al-Attas” (Tesis Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabya, 2018), h. 56. 30
Amsal Bakhtiar, Filsafat agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 89.
44
atau khayal yang selalu berubah. Adapun wujud hakiki dalam paham ini hanya
satu yaituTuhan.31
Dalam Islam istilah panteisme sering disamakan dengan istilah wahdah
al-wujud yang dipelopori oleh Muhyidin Ibnu al-„Arabi. Wahdah al-wujud
merupakan suatu konsep yang mengatakan “yang ada hanyalah wujud yang satu”.
Dalam paham ini, Ibnu „Arabi menjelaskan bahwa bsemua yang ada memiliki dua
aspek, yakni aspek luar dan dalam. Aspek luar adalah al-ard, sifat kemakhlukan.
Sedangkan aspek dalam adalah al-bathin, sifat ketuhanan. Wahdah al-wujud
timbul dari pemahaman bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya
sehingga dijadikan-Nya alam ini. Alam semesta adalah cerminan bagi Tuhan.
Tuhan bisa melihat diri-Nya melalui alam semesta karena di dalam segala sesuatu
yang ada di alam memiliki aspek ketuhanan. Yang ada di dalam alam semesta
terlihat banyak, akan tetapi sebenarnya hanyalah satu. Hal ini diibaratkan dengan
seseorang yang melihat dirinya sendiri di depan cermin, jika kita meletakkan
beberapa kaca di sekelilingnya, maka dapat kita lihat bayangan kita menjadi
banyak, padahal kenyataanya hanya satu.32
Panteisme memiliki sejarah panjang di Barat dan di Timur. Konsep
panteisme paling kuno bisa ditemukan dalam Agama Hindu, di mana dalam
Agama Hindu sendiri mengakui adanya satu realitas tertinggi yaitu Brahman.
Kemudian pada abad ketiga masehi Plotinus dikenal dengan sebagai tokoh
panteisme emanasi. Plotinus mengatakan bahwa alam mengalir dari Tuhan dan
31
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 93-
94. 32
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
57.
45
berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi ataupun mengandung arti banyak. Alam
semesta yang majemuk ini berasal dari satu melalui cara emanasi. Yang satu
mengeluarkan jiwa, kemudian jiwa memikirkan dirinya sehingga muncullah
pengetahuan, dan ketika jiwa memikirkan Tuhan maka keluarlah materi sebagai
sumber yang banayak.33
Benedict de Spinoza (1632-1677) yang merupakan pelopor panteisme di
era modern. Menurut Spinpza, Tuhan atau alam adalh kenyataan tunggal. Paham
pateisme yang di gagas oleh Spinoza di pengaruhi oleh rasionalisme Descartes
(1596-1650). Spinoza menolak pendapat Descartes yang mengatakan tiga subtansi
yang saling berkaitan. Menurut Spinoza sendiri hanya ada satu substansi yaitu
Tuhan. Spinoza mendifinisikan substansi sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan
“ada” dan ada oleh dirinya sendiri, suatu konsep yang tidak membutuhkan konsep
lain untuk membentuknnya. Subtansi ini memiliki sifat tidak terbatas, abadi,
tunggal mutlak dan utuh. Jika Tuhan adalah satu-satunya subtansi, maka sesuatu
yang ada berasal dari Tuhan. Hal ini berarti bahwa segala pluraritas yang ada
dalam alam, baik bersifat jasmani maupun rohani bergantung pada substansi yang
mutlak, Spinoza menyebutnya gejala ini dengan modi. Semua yang gejala yang
terdapat dalam ini hanyalah modi dari substansi tunggal yaitu Tuhan.34
d. Panenteisme
Menurut K.C.F Krause (1781-1832), panenteisme berasal dari kata
Yunani (pan) yang berarti semua (en) berarti semua (theos). Dengan demikian,
berarti “semua berada di dalam Tuhan”. Istilah ini merujuk pada sebuah sistem
33
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 96 34
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h. 97.
46
kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta berada dalam Tuhan.
Dengan demikian panenteisme memposisikan Tuhan sebagai suatu kekuatan yang
tetap ada di dalam semua ciptaan dan sangat kuasa atas semesta. Krause
merupakan seorang Hegelian dan merupakan guru dari Schopenauer, Ia
menggunakan kata panenteisme untuk mendamaikan konsep teisme dan
panteisme.
Panenteisme memahami Tuhan dan dunia saling berkaitan satu sama lain.
Tuhan memiliki hubungan timbal balik dengan alam, Alam berada di dalam
Tuhan dan Tuhan hadir berada di dalam alam. Gagasan ini menawarkan alternatif
baru pemikiran yang semakin populer melalui sentesis pemikiran teisme
tradisional dan panteisme. Panenteisme berusaha menghindari gagasan yang
memisahkan Tuhan dengan alam, sebagaimana dipahami dalam teisme tradisional
dengan gagasan yang meleburkan Tuhan dan dengan alam sebagaimana
panteisme. Panenteisme di sini menekaankan ke hadiran Tuhan secara ketat dan
utuh, tetapi penenteisme mempertahankan identitas dan makna dari non-ilahi.
Menurut Alfred North Whitehead, yang merupakan pelopor panenteisme
memandang Tuhan memimiliki dua kutub yaitu kutub aktual dan potensial. Kutub
aktual adalah jagad raya yang selalu berubah, sedangkan kutub potensial di luar
kutub actual (alam) yang tidak berubah. Tuhan dalam pandangan Withehead bisa
diklasifikasikan dalam tiga konsep. Pertama, konsep Asia Timur. Dalam konsep
di sini menegaskan imanensi Tuhan. Kedua, konsep semit. Konsep tersebut
47
menegaskan transendensi Tuhan. Ketiga, konsep panteistik, yang merupakan
puncak dari monisme.35
Menurut Whitehead, Tuhan sebenarnya terbatas. Sebab apabila ingin
menjadi sesuatu yang actual harus terbatas. Tuhan tidak mungkin tidak terbatas
dalam kutub actual-Nya. Sebab apabila Tuhan tersebut tidak terbatas dalam kutub
aktual, tentu Dia akan menjadi jahat dan sekaligus baik sebab di alam ini terhadi
kejahatan. Tuhan sama sekali tidak bebas, tetapi bergantung pada alam. Tuhan
dan alam bekerja sama untuk mencapai sebuah kesempurnaan yang tertinggi.
Tuhan di sini berfungsi sebagai pengatur yang aktual. Dengan demikian, Tuhan
ada bersama denga alam, bukan sebelum alam. Namun, alam dan Tuhan identik.
Tuhan sebagai daya yang menggerakkan dan mengatur alam agar mampu
mencapai tujuannya, sedangkan alam berfungsi membantu Tuhan agar terttutup
kekurangan-Nya.36
Dalam teologi proses hubungan Tuhan dengan manusia merupakan
hubungan koopersi mutual. Manusia mengikuti contoh-contoh serta sifat Tuhan,
maka dari itu manusia akan terbimbing pada jalan positif. Tuhan tidak bisa
memaksakan kehendak-Nya kepada manusia dan mengawasi konsekuensi dari
setiap peristiwa. Manusia mempunyai kebebasan untuk menrima dan menolak
kesan potensial Tuhan. Dalam teologi proses manusia dipandang sebagai patner
atau rekan sekerja dengan Tuhan, bukana sebagai subjek Tuhan yang dibatsi
hanya untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Karena memiliki potensi untuk
35
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h.
100. 36
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaaan Manusia, h.
102.
48
ditolak, maka dari itu adanya kejahatan yang terjadi di dunia ini akibat dari suatu
proses bergerak manusia yang menjauh dari Tuhan. Karena manusia memiliki
kebebasan untuk memilih antara mematuhi atau menolak kehendak Tuhan, maka
plihan buruk tak bisa terhindarkan akan dipilih oleh manusia. Hal ini mnegaskan
bahwa tuduhan terhadap Tuhan yang berperilaku jahat karena membiarkan
kejahatan terjadi di dunia ini adalah tidak benar, karena terjadinya kejahatan yang
disebabkan oleh pilihan-pilihan buruk yang dipilih oleh manusia yang berada di
luar jangkauan Tuhan.37
37
Tri Arwani Maulidah “Relasi Tuhan Dan Manusia Menurut Syed Muhammad Naquib
Al-Attas” (Tesis Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabya, 2018), h. 65.
49
BAB IV
RELASI TUHAN DENGAN MANUSIA MENURUT M.T. MISHBAH
YAZDI
A. Tuhan Sebagai Pencipta
Jauh sebelum ilmuan melakukan penelitian tentang asal muasal
keberadaan manusia. Al-Qur’an dengan terperinci di dalamnya menyebutka
tahapan proses terebut sebgaiman disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Mu’minun
ayat 12-13 yang artinya “Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia
dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (Rahim)”. Dengan demikian bahwa
manusia merupakan ciptaan Tuhan di mana manusia sebgai Makhluk dan Tuhan
sebagai Khaliq. (Qs. Al-Mu’minun).1
Tuhan merupakan penyebab utama bagi setiap mumkinul wujud, dengan
demikian Tuhan adalah wajibul wujud, dengan memperhatikan bahwa setiap yang
ada pada wujudnya sendiri bergantung mutlak kepada Tuhan, dari sini bisa
ditemukan sifat pencipta (Al-Khaliqiyah) pada wajibul wujud dan sifat yang
dicipta (makhluqiyah) pada makhluk-Nya. Sifat pencipta disini identik dengan
sebab pengada. Sedangakan seluruh yang mumkinul wujud yang membutuhkan
pada pencipta merupakan satu sisi hubungan penciptaan yang disifati dengan
makhluqiyah (ciptaan, yang dicipta).2 Hala ini sama dengan konsep teisme, dalam
1 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, (Tangerang: Kalim, 2011), h. 343
نسان من سل ، ث جعلناه نطفة ف ولقد خلقنا ال .لة من طي ق رار مكي2 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. Terj. Ahmad
Marzuki Amin, (Jakarta: Majma Jahani Ahlul Bait, 2005), h. 96.
50
teisme sendiri Tuhan merupakan dasar dari semua yang ada dan setiap yang sudah
diciptakan masih membutuhkan pada dan bersandar kepada pencipta-Nya.
Kata al-khaliq (penciptaan) terkadang mengandung makna mahdudiyah
(keterbatasan) yang lebih banyak, di mana objek penciptaan ini adalah maujud
yang hanya dicipta dari materi yang sebelumnya. Lawan dari makna tersebut
Ibad’ (perwujudan), di mana makna ini digunakan untuk realitass yang wujudnya
tidak di dahului oleh materi (seperti realitas abstrak dan hayula). Penciptaan disini
dibagi menjadi dua bagian yaitu khaliq dan ibda’ (penciptaan dan perwujudan).
Dengan begitu tindakan mencipta yang dilakukan oleh tuhan tidak sama dengan
tindakan yang dilakukan oleh manusia ketika melakukan sesuatu, di mana dalam
setiap tindakan manusia membutuhkan pada gerak dang anggota badan supaya
gerakannya menjadi sebuah tindakan dan hal yang terjadi merupakan hasil dari
tindakan tersebut.
Khaliq dan makhluk-Nya merupakan dua sisi hubungan, seperti konsep Al-
Khaliqiyah yang diperoleh akal dengan cara mengamati hubungan wujud
makhluk-makhluk dengan Tuhan. Mishbah Yazdi menggambarkan hubungan
Tuhan dengan makhluk-Nya tidak terbatas. Namun secara global dan dari satu sisi
hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama, hubungan antara Khaliq dan makhluk-Nya dapat dipahami
dengan cara mengamati secara langsung sepert Al-ijad (mewujudkan), Al-Khaliq
(menciptakan), Al-Ibda’ (mengadakan). Kedua, hubungan yang dapat dipahami
setelah mempersepsi hubungan yang lain seperti: rizki. Karena pada dasarnya kita
51
harus mengasumsikan adanya hubungan dzat pemberi rizki dan dzat penerima
rizki.3
Di samping itu, kita dapat menemukan adanya konsep yang muncul dari
beberapa hubungan Tuhan dengan makhluk, semisal konsep maghfirah, di mana
konsep ini muncul dari rububiyah tasyri’iyah Ilahiya, (pengaturan syari’at Ilahi),
ketentuan Tuhan terhadap hukum-hukum syari’at serta penyimpangan hamba
darinya. Dengan demikian perlunya kita untuk memahami sifat fi’liyah Tuhan,
dengan cara kita harus melakukan suatu perbandingan antara Tuhan dan makhluk-
mahkluk-Nya, kemudian kita temukan hubungan antara dzat pencipta dan yang
dicipta, adanya cara yang sedemikian kita bisa memperoleh konsep idhafi
(relasional) dari hubungan tersebut. Oleh karenanya, Tuhan yang suci tidak bisa
dijadikan mishdaq4 sifat-sifat fi’liyah secara sendiri.
5
Jadi Menurut Mishbah Yazdi, hubungan antara Khaliq dan makhluknya di
sini, dapat diibaratkan sengan sebuah magnit yang sangat kuat, secara penciptaan,
Tuhan menarik para hamba menuju kepada-Nya dan setiap makhluk secara
intrinsik memahami hubungan diantara dirinya dan sang Khaliq sesuai dengan
cahaya eksisitensialnya, pengetahuan dan pemahamannya. Di antara beberapa
makhluk ciptaan-Nya, Tuhan sudah melengkapi manusia dengan kemampuan
khusus, sehingga Tuhan menjadikannya benar-benar memahami hubungan
3 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 97.
4Mishdag merupakan istilah yang digunakan dalam tradisi Logika klasik dan Filsafat
Islam. Penggunaan istilah Arab ini digunakan sebagai perbandingan langsung untuk istilah
mafhum atau konsep. Maka apabila konsep itu didefinisikan sebagai gambaran pengetahuan,
mishdaq disini ialah apa saja yang gambaran pengetahuan itu bisa diterapkan dan berlaku padanya.
Menerut pengertian ini, mishdaq tidak selalu dan semuanya di luar mental; yakni di alam yang
konkret. Lihat Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi, h. 70. 5 Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 94.
52
penciptaan itu. Manusia sendiri dapat menguatkan hubungan ini, apabila ia mau
dan beregerak menuju Tuhan (beribadah kepada-Nya serta berserah diri.).6
Tuhan menciptakan manusia bukan hanya hanya sekedar menciptakan,
akan tetapi ada tujuan tertentu. Dalam al- Qur’an diungkapkan tujuan dibalik
penciptaan manusia untuk untuk memilih jalan Tuhan. Sebgaimana firman Tuhan
“Dan Aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya menyembah-Ku. (Qs
Al Dzariyat [51:56]),7 karena tanpa memuji-Nya kesempurnaan yang ada pada
manusia tidak akan bisa dicapai. Di surah Yasin juga disebutkan “Dan hendaklah
kamu menymebah-Ku. Inilah jalan yang lurus. (Qs Ya Sin [36:61]).8 Jalan lurus
yang dimkasud disini, dalam sudut pandang al-Quran jalan yang mempunyai ciri
penghambaan dan beribadah kepada-Nya. Apabila manusia melakukan suatu
perbuatan dengan ciri kebaikan, hal ini akan menuju pada sebuah gerakan
kesempurnaan, apabila tidak ia akan membuang-buang waktu untuk mundur. Oleh
karenaya perbuatan apapun yang dilakukan oleh manusia tidak pernah berarti jika
bukan karena Tuhan.9
Dalam ayat lain disebutkan bahwa manusia diciptakan untuk mengalami
ujian dan cobaan, “Dia menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia menguji
kalian (untik melihat) siapakah diantara kalian yang terbaik. (Qs. Al-mulk
[67:2]).10
Ayat-ayat tersebut menyinggung tujuan-tujuan jangka pendek,
6 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, In the Presenceof The Beloved: Commentaries on
Dua Iftitah. Terj. Sayid Ali Yahya (Jakrta: Citra, 2015 ), h. 155 7 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h.524
نس إل لي عبدون وما خلقت الن وال8 Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 445.
ذا صراط مستقيم وأن اعبدون ه 9 Muhammad Taqi mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melui Nalar dan
Firman. Terj. M. Habib Wijaksana (Bandung: Arasy, 2003), h. 248 10
Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 563.
53
menengah dan akhir. Sedangkan tujuan akhir manusia adalah kedekatan dengan
Tuhan. Manusia telah diberikan kehendak bebas untuk beribadah dan berkhidmat
kepada Tuhan serta mencapai kedekatan dengan-Nya. Jika manusia dipaksa
menempuh jalan yang lurus, niscaya gerakannya tidak dapat diperlakukan sebagai
gerakan untuk kesempurnaan. Dengan tujuan membiarkan manusia memilih jalan
penghambaan berdasarkan kehendak bebasnya sendiri, landasan bagi ujiannya
harus dipersiapakan apakah manusia itu akan memilih jalan yang telah Tuhan
tentukan atau jalan setan.11
Dalam hal ini al-Qur’an mengatakan dalam Surah al-Nahl ayat 9.
ها جائر ولوشآء لدىكم أجعي و على الله قصد السبيل ومن
“dan hak Allah menerangkan jalan yang lurus, dan diantaranya ada
(jalan) menyimpang. Dan jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi petunjuk
kamu semua (kejalan yang benar).” (Qs. An-Nahl [16:9])
Tuhan telah menunjukan jalan kepada manusia supaya memilih jalan
menuju kesempurnaan dengan bebas. Ketika satu tahap jalan kesempurnaan sudah
terlewati, kita sebagai ciptaan Tuhan harus menempuh langkah ke tahap
selanjutnya menuju kesempurnaan serta berusaha semaksimal mungkin untuk
menjadikan kehidupannya didedikasikan secara penuh kepada Tuhan. Karena
semua yang dimiliki oleh manusia tidak lain adalah milik Tuhan dan kita sebagai
hamba-Nya; sebagai seorang hamba kita tidak pantas terhadap apapun selain
11 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan
Firman. Terj. M. Habib Wijaksana, h. 250
54
penghambaan. Kebutuhan duniawi dan kesenangan materi sebenarnya bukanlah
tujuan akhirnya, sehingga segala perbuatan manusia difokuskan pada
penghambaanya kepada Tuhan, melalui ibadah dan penghambaan demikian akan
mencapai kedekatan dengan Tuhan.
Ibadah disini merupakan kosep yang tidak ada batasnya, sehingga
perbuatan baik yang dikerjakan Tuhan dianggap sebagai ibadah. Seperti mencari
rezeki yang halal masuk dalam kategori ibadah, akan tetapi dalam hal ini terdapat
perbedaan antara mencari rezeki halal dan ibadah yang di dalamnya di mana hati
manusia semata-mata karena Tuhan. Jika manusia untuk mencari rezeki yang
halal tidak menarik perhatiannya kepada selain Tuhan dan tidak lalai, niscaya ia
lebih ikhlas dalam beribadah kepada Tuhan dan mencapai mendapatkan
kesempurnaan sejati karena memperoleh rahmat-Nya.12
B. Tuhan Sebagai Penguasa
Sudah disebutkan di atas bahwa Tuhan adalah pencipta, selain sebagai
pencipta Tuhan merupakan Mahakuasa atas segala sesuatu yang ada di alam jagat
raya ini. Dalam hal ini Mishbah Yazdi merujuk pada sebuah ayat al-Qur’an.
“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala Sesautu” (Qs. Al-Baqarah:
[2:20]).13
Di antara bukti atas kekuasaan Tuhan diantaranya adalah penciptaan
langit dan bumi beserta seluruh isinya.
Pengertian kuasa disini adalah setiap pelaku yang melakukan tindakan
dengan kehendak dan pilihannya bisa dikatakan ia memiliki kemampuan atas
12
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan
Firman. Terj. M. Habib Wijaksana, h. 274-275 13
Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI, h. 5.
إن الله على كل شيء قدي ر
55
tindakan tersebut. Dengan begitu, kuasa adalah kekuatan dasar bagi pelaku yang
memiliki pilihan dalam melakukan tindakan yang mungkin dilakukannya. Setiap
pelaku itu lebih banyak mempunyai kesempurnaan dari derajat wujudnya, ia
semakin banyak mempunyai kekuasaan dan kemampuan. Dengan demikian Tuhan
sudah pasti merupakan dzat yang mempunyai kesempurnaan yang tidak terbatas
dan memiliki kekuasaan serta kemampuan yang tak terbatas.14
Dalam hal ini Mishbah Yazdi membagi beberapa point:
Pertama, setiap perbuatan yang berkaitan dengan kuasa mesti bersifat
mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Maka, sesuatu yang secara subtansial
tidak mungkin terwujud, atau sesuatu yang meniscayakan kemustahilan tidak ada
hubungannya dengan kuasa. Ungkapan bahwa Tuhan atas segala tindakan, bukan
berarti –katakanlah- mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah
dzat yang tidak diciptakan.
Kedua, kuasa atas semua tindakan dzat berkuasa untuk melakukan segala
tindakan yang sanggup ia lakukan. Akan tetapi, ia hanya akan melakukan setiap
tindakan yang sesuai dengan kehendaknya. Sedangkan Tuhan yang Maha bijak
tidak menghendaki kecuali tindakan yang baik dan bijak. Dan Tuhan tidak akan
merealisasikan tindakan-tindakan yang tidak baik dan tidak bijak.
Ketiga, kuasa juga mempunyai pengertian ikhtiar, (kebebasan). Di
samping Tuhan mempunyai derajat kekuasaan dan kemampuan yang paling
tinggi, Dia juga memiliki ikhtiar yang paling tinggi dan sempurna. Jadi tidak
mumngkin adanya faktor apapun untuk memaksa-Nya untuk melakukan suatu
perbuatan atau mencabut ikhtiar dari-Nya, karena wujud dan segala kemampuan
14
Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Akidah Islam; Pandangan Dunia Ilahi. h. 89-90
56
segala sesuatu bersumber dari Tuhan, maka tidak mungkin ada unsur paksaan dan
dikalahkan oleh berbagai kekuatan dan kekuasaan yang ia berikan kepada
makhluk-makhluk-Nya.15
Selanjutnya relasi yang dapat diamati antara Tuhan dengan makhluk
adalah semua makhluk tidak hanya butuh kepada asal wujudnya, bahkan semua
hal yang berhubungan dengan wujud, semuanya bergantung kepada-Nya. Mereka
tidak mandiri. Oleh sebab itu, Tuhan mempunyai hak Tasarruf (perlakuan) atas
merekadan mengatur berbgai urusa sesuai kehendak-Nya. Dengan begitu, ketika
kita amati mengenai relasi tersebut secara umum, kita bisa mencercap konsep
Rububiyah (pengaturan) di mana biasanya mengatur segala urusan. konsep ini
memiliki berbagai mishdaq misalnya: Al-Hafidh (penjaga), Al-Muhyi