RELASI PRIMODIAL SEBAGAI MODAL SOSIAL PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR CITEUREUP KECAMATAN CITEUREUP KABUPATEN BOGOR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : FITRIA WIDYANINGSIH NIM. 1112111000046 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/ 1439 H
115
Embed
RELASI PRIMODIAL SEBAGAI MODAL SOSIAL PEDAGANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42918/1/FITRIA... · FITRIA WIDYANINGSIH NIM. 1112111000046 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RELASI PRIMODIAL SEBAGAI MODAL SOSIAL
PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR CITEUREUP
KECAMATAN CITEUREUP KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
FITRIA WIDYANINGSIH
NIM. 1112111000046
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis tentang relasi primodial sebagai modal sosial
pedagang kaki lima, di Pasar Citeureup. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
bentuk sosial yang dimiliki pedagang kaki lima di Pasar Citeureup dalam mendukung
kegiatan usahanya dan mengetahui apa implikasi yang timbul dari modal sosial pada
pedagang kaki lima di Pasar Citeureup. Adapun yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah pengelola Pasar Citeureup, pengurus paguyuban, pemerintah
daerah (camat), dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Adapun kerangka teori yang digunakan ialah teori
modal sosial Robert D. Putnam yang menyatakan modal sosial itu kesaling
percayaan, norma dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi sebuah masyarakat
dalam menggerakkan tindakan bersama yang terkoordinasi.
Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil
dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke Kecamatan
Citeureup Kabupaten Bogor terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan
perkembangan sektor informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran
pedagang kaki lima biasanya memulai usaha dengan memaanfaatkan modal sosial
yang mereka miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama.
Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan
dengan usaha mereka. Pada migran pedagang kaki lima bergantung pada modal sosial
yang mereka miliki untuk mempertahankan usaha mereka.
Kata kunci: Relasi Primordial, Pedagang Kaki Lima, Modal Sosial, Pasar Citeureup.
v
KATA PENGANTAR
Segala puja-puji syukur kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala, yang telah
melimphakan segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya yang tak terhingga, sehingga
penulis dapat merampungkan skripsi ini sesuai dengan keridhoan-Nya. Shalawat
beserta salam selalu tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad Saw., beserta
keluarga dan para sahabatnya.
Proses penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari kemurahan hati berbagai pihak
yang telah memberikan bantuannya, baik secara moril maupun materil. Atas segala
bantuannya, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Prodi Sosiologi, yang telah memberi
saran dan mendukung penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si., selaku Sekretaris Prodi Sosiologi, yang telah
memberikan masukan untuk skripsi ini.
5. Muhammad Ismail, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik penulis yang
telah memotivasi dan membantu proses penulisan skripsi ini.
6. Dewan penguji skripsi Saifuddin Asrori, M,Si dan Kasyfiyullah, M.Si atas
kritik dan masukan dalam penyusunan akhir skripsi ini.
vi
7. Segenap Bapak dan Ibu dosen pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingan
selama penulis masih berkuliah.
8. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan FISIP UIN Jakarta
yang telah membantu penulis mengakses buku-buku dan literatur.
9. Orang tua penulis, Jaelani Husen dan Atmi, serta Kakak penulis Rani Subekti,
yang senantiasa memberikan tidak hanya materi, tapi juga waktu dan tenaga,
serta doa-doa terbaik yang dicurahkan kepada penulis untuk mendorong
anaknya mendapatkan gelar Sarjana Sosial.
10. Bapak Asep Mulyana, berserta jajarannya di Kecamatan Citeureup dan
Pengelola Pasar Citeureup, khususnya pengurus paguyuban PKL serta seluruh
pedagang kaki lima yang telah bersedia membantu penulis dalam rangka
pencarian data penelitian skripsi.
11. Sahabat-sahabat terbaik penulis Bintu, Derinah, Lila, Gunawan, Ari, Iis,
Hima, Madina, Rifka, Ara yang selalu memberikan semangat kepada penulis
ketika menemui jalan buntu dalam penyelesaian tugas akhir ini.
12. Teman-teman penulis Program Studi Sosiologi B 2012, Eni, Widya, Desi,
Mita, Yosi, Anis, Ratu, Fala, Dayu, Irma, Ina, Abun, Fatur, Iki, Hanif, Gopay,
Mbe, Hartadi, Fajrul, Adit, Robby, Reza, Wahyu, Faisal, Ihsan, Fia yang
memotivasi penulis dan terimakasih atas ilmu serta pembelajaran
berharganya.
vii
13. Keluarga besar Fisip Mengajar, Senior dan junior yang memotivasi penulis
dan telah banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini, di
antaranya Ka Eri, Ka Icha, Ka Fedullah, Bang Buton, Nita, Anis.
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ........................................ 46
Tabel 2.2 Jumlah Pedagang Pasar Citeureup Menurut Etnis .................................. 48
Tabel 2.3 Rekapitulasi Pedagang Kaki Lima Menurut Jenis Dagangan .................. 52
Tabel 3.1 Ringkasan Temuan Lapangan ................................................................ 71
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Kecamatan Citeureup ………………………………………… 45
Gambar 2.2 Pasar Citeureup tampak Depan ……………………………………. 47
Gambar 2.3 Kondisi Pasar Citeureup pada Pagi Hari ……………………………. 49
Gambar 2.4 Keberadaan PKL di Pasar Citeureup ………………………………. 51
Gambar 3.1 Kegiatan Kumpul Bersama di Salah Satu Rumah PKL ……………… 66
Gambar 3.2 Salah Satu Kegiatan di Luar Paguyuban ……………………………. 67
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Visual ………………………………………………… xiv
Lampuran 2. Transkrip Wawancara ………………………………………………. xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini merujuk pada relasi primordial sebagai modal sosial pedagang
kaki lima di Pasar Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Relasi
primordial pada pedagang kaki lima melibatkan banyak aktor dan kelompok etnik
yang terlibat di dalamnya. Aktor-aktor tersebut diantaranya, camat, pengelola pasar,
pengurus paguyuban, pedagang kaki lima dari berbagai macam etnis dan pembeli.
Dalam penelitian ini, modal sosial sebagai sumberdaya sosial yang dapat dipandang
sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam masyarakat. Oleh
karena itu modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam
menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, saling percaya dan saling menguntungkan
untuk mencapai kemajuan bersama.
Jika ditelaah suatu fenomena urbanisasi di dunia ketiga yang cukup menarik
adalah aktivitas sektor informal yang ada di perkotaan. Migrasi penduduk antar
wilayah di Indonesia dari Jawa ke luar Jawa, terdapat pula perpindahan penduduk
dari beberapa suku di Indonesia, arus migrasi penduduk semakin meningkat setelah
tersedianya prasarana transport (darat, laut maupun udara) yang baik, sehingga dapat
menghubungkan antar wilayah satu dengan yang lain (Mantra, 1992).
2
Jumlah penduduk yang besar tidak diikuti dengan peningkatan penyediaan
lapangan kerja di sektor formal menyebabkan sektor informal membuktikan
kemampuannya untuk dapat bertahan dalam kondisi ekonomi yang sulit. Salah satu
sektor informal yang sampai saat ini tidak terselesaikan yaitu pedagang kaki lima
(PKL) khususnya yang berada di Kabupaten Bogor. Penataan pedagang kaki lima
sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 13 Tahun
2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Namun demikian secara umum
permasalahan pedagang kaki lima kerap muncul, meskipun upaya penegakan
peraturan sudah dilaksanakan. Perda No. 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang
Kaki Lima adalah salah satu produk hukum peraturan perundang-undangan daerah
yang bertujuan untuk menjaga dan membina PKL agar usaha yang mereka lakukan
taat hukum dan untuk kepentingan bersama dalam berbagai aspeknya.
Pedagang Kaki Lima (PKL) menggunakan jalan, trotoar dan wilayah sekitar
pasar sebagai tempat menggelar dagangannya. Jenis kegiatan usahanya cenderung
berkelompok sesuai dengan ciri-ciri khas daerah atau suku bangsa mereka. Profesi
pedagang kaki lima merupakan salah satu alternatif swadaya masyarakat untuk
menanggulangi masalah perekonomian mereka sendiri. Sejalan dengan
perkembangan waktu, baik di desa maupun di kota timbul keinginan masyarakat
untuk berbelanja berdasarkan tradisi masyarakat untuk menggunakan alat tukar yang
sah, sehingga muncullah beberapa jenis pasar tradisional yang pada umumnya
3
dikelola oleh pedagang kecil dan menengah. Menurut Permadi Gilang (2007)
menjelaskan pengertian pedagang kaki lima sebagai:
satu pekerjaan yang paling nyata dan paling penting di kebanyakan kota di Negara-
negara yang sedang berkembang pada umumnya. Perdagangan pertama kali terjadi sejak nenek moyang dahulu ribuan tahun lalu, kemunculan PKL dimulai pada masa
penjajah Belanda di Indonesia. Istilah “kaki lima” pertama kali muncul di masa
penjajah Belanda. Pada zaman dahulu penjajah Belanda sarana untuk pejalan kaki itu disebut trotoar, lebar trotoar untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu
setengah meter. Saat Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan
pedagang untuk berjualan. Selain trotoar, emperan toko dijadikan tempat berjualan.
Awalnya disebut pedagang emperan, lama-lama menjadi pedagang kaki lima atau PKL. PKL adalah pedagang yang menggunakan gerobak beroda. Jika roda gerobak
ditambahkan dengan kaki pedagang maka berjumlah lima, maka disebutlah pedagang
kaki lima atau PKL. (h.2)
Pedagang kaki lima merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup
menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar. Meskipun bagi
sebagian besar sangat berkeyakinan bahwa mengawali kerja sebagai PKL
membutuhkan modal yang tidak sedikit dan kekuatan mental yang tinggi. Selain
harus siap bertaruh, tidak laku selama beberapa bulan, juga harus siap menghadapi
berbagai tekanan dari pihak formal seperti birokrasi maupun juga pihak lain seperti
preman. Tekanan dari birokrasi bisa seperti pembayaran retribusi secara rutin dan
juga seperti penertiban atau pengusuran. Fenomena penertiban PKL di kota-kota
besar selalu menjadi peristiwa harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL harus
bersiap perihal kejadian-kejadian penertiban tempat lapak berdagang tersebut.
Sebagai profesi sektor informal, maka pedagang kaki lima memang selalu menerima
resiko berat ini.
4
Permasalahan konflik pedagang kaki lima menjadi menarik, karena
permasalahan pedagang kaki lima seolah menjadi permasalahan bagi pemerintah kota
dalam melakukan penataan kota. Kehadiran pedagang kaki lima yang berserakan di
mana-mana, di setiap sudut pinggiran jalan, bahu jalan, emperan toko, tanah kosong
dan sebagainya yang berada di lingkungan jalan, seolah telah memperburuk citra
sebagai kota. Di satu sisi pedagang kaki lima dianggap mengganggu tata ruang kota,
di sisi lain pedagang kaki lima menjalankan peran sebagai bayang-bayang ekonomi.
Itulah sebabnya, selalu saja muncul fenomena penggusuran dengan alasan penertiban
kepada setiap pedagang kaki lima yang dianggap melanggar ketertiban umum
terutama macetnya jalan.
Fenomena tersebut kemudian berimplikasi bagi lahirnya berbagai perlawanan
pedagang kaki lima terhadap upaya untuk menertibkan kehadiran pedagang kaki
lima. Perlawanan-perlawanan tersebut bisa saja dilakukan secara kolektif, maupun
secara individual oleh pedagang kaki lima. Karena fenomena ini menjadi klasik dan
berulang terus-menerus, maka tidaklah heran jika banyak orang menganggap
fenomena penggusuran ini sebagai perilaku pedagang kaki lima.
Marginalisasi sektor informal ini berlangsung secara terus-menerus. Istilah
marginal atau adanya pembatasan memang menyangkut problema keterpinggiran atau
dipinggirkan dalam arus utama. Pedagang kaki lima menjadi marginal karena
biasanya: pertama, profesi ini dipilih oleh mereka yang tidak terserap pada sektor
formal; kedua, menjalankan pekerjaan ini tidak membutuhkan syarat-syarat formal
5
khusus, karena setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi pedagang
kaki lima. Artinya, tidak pernah ada lowongan kerja untuk menjadi pedagang kaki
lima karena memang bukan sebuah perusahaan; ketiga, peyebutan sektor informal
sesungguhnya memberikan indikasi bahwa sektor ini bukanlah menjadi pekerjaan
resmi yang dilindungi oleh perundang-undangan. Situasi-situasi yang bersifat
eksternal maupun internal kian memperjelas kedudukan yang marginal dari pedagang
kaki lima.
Pilihan menjadi pedagang kaki lima lebih didorong karena keterpaksaan
ekonomi hidup di kota besar dan pedagang kaki lima merupakan sasaran untuk
dirinya yang belum mendapatkan pekerjaan pada sektor formal. Selain harus
menanggung kerugian material, informan juga harus dihadapkan pada mendesaknya
kebutuhan hidup sehari-hari. Dilematika inilah yang seringkali menghantui mereka
yang baru memulai aktivitasnya sebagai pedagang kaki lima. Selain itu, pilihan
menjadi pedagang kaki lima karena alasan pewarisan usaha dari keluarga, artinya
keberhasilan keluarganya yang mendorong menjadi pedagang kaki lima. Pedagang
kaki lima jenis ini lebih bersifat turun temurun dan memiliki hubungan persaudaraan,
sehingga memiliki keterikatan dan kerjasama yang baik antar keluarga.
Pada dasarnya, marginalisasi sektor informal khususnya pedagang kaki lima
merupakan implikasi nyata dari sejarah panjang kehadiran informan sebagai
pedagang, baik dalam soal perizinan maupun tanah atau lahan yang digunakan.
Hampir tidak ada pedagang kaki lima yang memiliki lahan sendiri dan memanfaatkan
6
lahan kosong serta strategis untuk menggelar dagangannya. Sehingga tidak
dipungkuri salah satu musuh utama pemerintah adalah bagaimana menata pedagang
kaki lima agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat karena keberadaan pedagang
kaki lima.
Pedagang kaki lima dapat menjalankan aktifitasnya dengan modal seadanya,
tempat berjualan dan waktu yang terbatas, ancaman penggusuran dan penertiban,
namun kenyataannya menjadikan PKL tetap bertahan hingga saat ini. PKL yang
dapat bertahan dalam melangsungkan usahanya disebabkan adanya modal sosial dan
kemampuan pengelolanya.
Modal sosial menjadi masalah penting karena usaha ekonomi akan sukses
tidak hanya berbekal modal financial semata, namun juga perlu adanya dukungan
sumber daya manusia, dan modal sosial merupakan salah satu unsurnya. Modal sosial
awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan
terhadap komunitas dan individu sebagai bagian di dalamnya. Mereka membuat
aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitasnya, dimana aspirasi
masyarakat mulai terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai
suatu modal pengembangan komunitas dan pemberdayaan masyarakat.
Modal sosial berperan sebagai perekat yang mengikat semua orang dalam
masyarakat. Agar modal sosial tumbuh baik dibutuhkan adanya saling berbagi (share
values) serta pengorganisasian peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan
7
personal (personal relationships), kepercayaan (trust) dan common sense tentang
tanggug jawab bersama, sehingga mayarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan
individu belaka. Modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama organisasi
sosial seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), jaringan (networks), yang
mampu menggerakkan partisipasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama
(Syahyuti, 2010:33).
Dari uraian di atas, penulis berkeinginan untuk meneliti dan mengetahui lebih
lanjut mengenai ikatan primordial sebagai sumber modal sosial yang terdapat pada
pedagang kaki lima yang ada di Pasar Citeureup. Yang menarik di Pasar Citeureup ini
karena eksistensi para PKL dalam menjalankan usaha daganganya sudah bertahun-
tahun lamanya, padahal mereka bukan masyarakat lokal tetapi mereka bisa bertahan
hingga saat ini karena ada modal sosial berupa jaringan dengan cara mereka hidup
berkelompok dan melakukan kegiatan yang sama. Hal ini merupakan suatu upaya
untuk tetap membina jaringan sosial, karena bagi PKL jaringan sosial merupakan hal
penting yang harus dibina.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian masalah di atas, penulis tertarik
menganalisis relasai primordial antar pedagang kaki lima dalam modal sosial dan
dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Relasi Primordial sebagai Modal
Sosial Pedagang Kaki Lima di Pasar Citeureup Kecamatan Citeureup
Kabupaten Bogor”.
8
B. Pertanyaan Peneitian
Berdasarkan pernyataan masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini
mencoba untuk melihat dan mendeskripsikan ikatan primordial sebagai modal sosial
pedagang kaki lima, maka pertanyaan penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagaimana bentuk modal sosial yang dimiliki pedagang kaki lima di Pasar
Citeureup?
2. Apa implikasi yang timbul dari modal sosial pada pedagang kaki lima di Pasar
Citeureup?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini ialah untuk menjelaskan ikatan primordial sebagai
modal sosial pedagang kaki lima. Secara khusus, tujuan penelitian ini meliputi:
1. Mengetahui bentuk modal sosial yang dimiliki pedagang kaki lima di Pasar
Citeureup
2. Mengetahui implikasi yang timbul dari modal sosial pada pedagang kaki lima
di Pasar Citeureup.
C.2. Manfaat Penelitian
C.2.1 Manfaat Akademis
Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
dan kajian untuk penelitian selanjutnya, serta dapat memberikan kontribusi
9
menambah literatur keilmuan dan secara khusus menjadi literatur dalam bidang ilmu
sosiologi perkotaan.
C.2.2 Manfaat Praktis
Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi positf bagi pengembangan baru dalam relaasi primordial sebagai modal
sosial pedagang kaki lima pada sektor informal.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menjadikan penelitian ini relevan, dibutuhkan penelitian-penelitian
sebelumnya. Penelitian terdahulu yang penulis temukan untuk dijadikan referensi dan
bahan acuan yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan
judul “Relasi Primordial sebagai Modal Sosial Pedagang Kaki Lima di Pasar
Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Berikut ini adalah penelitan-
penelitian yang penulis jadikan dalam penelitian, diantaranya:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Rosmarul Hikmah (2003) yang meneliti tentang “Etos kerja
pedagang perantau Minangkabau dalam perspektif nilai budaya Minangkabau (studi
kasus tentang pedagang Minangkabau di Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan
Tanjungkarang pusat Kota Bandar Lampung)”. Metode yang digunakan oleh peneliti
adalah pendekatan kualitatif etnografis, sumber data berasal dari informan, peristiwa
dan dokumen. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan analisis
dokumen. Teknik yang digunakan adalah purposive sampling atau sampling
10
bertujuan. Validitas data yang digunakan adalah trianggulasi data dan trianggulasi
teori. Teknik analisis data menggunakan analisis interaktif.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Kelurahan Kelapa Tiga terletak
di Kecamatan Tanjungkarang Pusat Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung,
kebanyakan penduduknya bermata pencaharian sebagai pedagang, khususnya Suku
Minangkabau yang merantau di Kelurahan Kelapa Tiga, nilai budaya Minangkabau
yang mempengaruhi etos kerja terkadang di dalam tradisi berpepatah-petitih
merupakan nilai-nilai yang dijadikan pedoman atau pegangan bagi masyarakat
Minangkabau di dalam bekerja atau berusaha sehingga mempengaruhi etos kerja.
Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pepatah-petitih yang dianggap
mempengaruhi etos kerja antara lain; kerja keras, memiliki keuletan, jujur, dan
menghargai waktu mereka dapat mempertahankan usahanya. Mereka sangat
menghargai akan arti pentingnya perekonomian sehingga pergi merantau dan menjadi
pedagang. Pengaruh etos kerja terhadap keberhasilan usaha akan berdampak terhadap
kehidupan ekonomi, sosial-budaya pedagang Minangkabau. Dengan meningkatnya
perekonomian pedagang Minangkabau dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya,
sedangkan dalam kehidupan sosial pedagang Minangkabau selalu peduli terhadap
lingkungan sekitar dengan mengikuti perkumpulan Etnis Minangkabau yang
berlandaskan ikatan sekampung atau beberapa kampung.
Kedua, penelitian Bhagas Adhindaru Wibisono (2012), yang berjudul “Modal
Sosial Kelompok Pedagang Asal Minang di Kota Surakarta”. Dalam penelitian ini
11
penulis menggunakan dasar penelitian Survei dengan tipe penelitian kualitatif, dan
menentukan informan sesuai dengan kriteria yang berkaitan dengan kehidupan sosial
pedagang kaki lima di Kota Surakarta.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya jaringan sosial
ekonomi yang terbentuk di antara pelaku usaha yang terkait, dan juga jaringan sosial
sesama pedagang. Hubungan dagang ini mampu membentuk suatu pola pertukaran
yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak dan pihak-pihak yang terkait.
Bagi pedagang besar mendapatkan keuntungan dengan adanya pengiriman barang
kepada pedagang kecil, bagi pedagang kecil mendapatkan barang dari pedagang besar
dengan sistem pembayaran tempo memudahkan dalam pembayaran. Resiprositas
dengan cara anggota kelompok menghadiri acara, dan gotong royong. Trust dengan
cara mendapatkan kepercayaan untuk berhutang, saling memberikan bantuan. Dengan
adanya kelompok pedagang asal Minang ini fungsi kelompok dapat menjadi sebuah
jaringan sosial keminangkabauan. Sebagai sebuah jaringan sosial, kelompok ini
direkatkan oleh nilai-nilai, norma-norma dan kesamaan yang mereka miliki. Jaringan
sosial ini diwujudkan dengan adanya paguyuban di Surakarta dengan mendirikan
koperasi simpan pinjam, berguna bagi para pedagang yang membutuhkan modal
untuk pengembangan usaha. Kelompok ini memprioritaskan untuk menghimpun,
menyatukan dan meningkatkan kerjasama antar sesama suku Minangkabau yang
tinggal di kota Surakarta.
12
Ketiga, penelitian dengan judul “Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Sektor
Perdagangan (Studi Pada Etnis Tionghoa, Batak, dan Minangkabau Di Kota
Medan)”, penelitian ini adalah yang dikerjakan oleh Anita Syafitri (2015). Penelitian
tersebut menjelaskan bahwa Kota Medan merupakan kota dengan masyarakat yang
plural dari segi etnisitas dan juga mata pencaharian. Perdagangan di Kota Medan juga
terlihat unik karena membentuk zona-zona perdagangan berdasarkan etnisitas. Etnis
Tionghoa, Batak, dan Minangkabau dipilih menjadi objek penelitian ini dikarenakan
ketiga Etnis tersebut yang menunjukkan eksistensinya dalam dunia perdagangan di
Kota Medan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk modal sosial di
kalangan pedagang Etnis Tionghoa, Etnis Batak dan Etnis Minangkabau di Kota
Medan. Selain itu juga untuk mengetahui dan menginterpretasi pemanfaatan modal
sosial sehingga ketiga Etnis tersebut dapat menunjukkan eksistensi perdagangan di
Kota Medan. Metode yang peneliti pakai dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif agar data yang didapat lebih mendalam. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan observasi, observasi partisipatif, wawancara mendalam dan
studi kepustakaan. Peneliti menemukan bahwa Etnis Tionghoa, Batak, dan
Minangkabau benar-benar memanfaatkan modal sosial dengan baik sehingga mampu
mempertahankan eksistensi perdagangan di Kota Medan. Hanya saja modal sosial
yang digunakan berbeda antara Etnis yang satu dengan Etnis yang lainnya.
13
Keempat, penelitian oleh Mulkan Hidayah (2016) dengan judul “Revitalisasi
Kelompok Arisan Sebagai Adaptasi Ekonomi dan Sosial (Studi Kasus Pada Etnis
Minangkabau dan Etnis Batak yang Merantau Di Kota Medan)”, penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana kelompok sosial memiliki peran yang besar dalam
membentuk modal sosial dalam masyarakat, dan salah satunya adalah kelompok
arisan. Dan pentingnya pengembangan modal sosial di tengah-tengah masyarakat
dikarenakan modal sosial memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dalam masyarakat dengan cara memanfaatkan potensi-potensi dari masyarakat
itu sendiri. Begitu pula pada masyarakat Etnis Minangkabau dan Etnis Batak, di mana
banyak dari Etnis Minangkabau dan Etnis Batak yang merantau ke Kota Medan dan
mengalami beragam permasalahan sosial dan ekonomi.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, dengan tujuan untuk dapat mengetahui serta untuk menjelaskan
lebih dalam mengenai pengembangan modal sosial yang ada dalam kelompok arisan
Minangkabau. Adapun teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam dan observasi. Data yang diperoleh kemudian akan
diinterpretasikan dalam bentuk narasi dan deskripsi. Informan dalam penelitian ini
berjumlah sepuluh orang yang keseluruhannya merupakan perantau Minangkabau
dan terdiri dari beragam profesi.
Ada beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, dalam aspek ekonomi orang
Minangkabau di Kota Medan banyak yang menempati kelas menengah. Terkait
14
dengan budaya, ikatan orang Minangkabau di Kota Medan dengan adat Minangkabau
tidak terlalu kuat, sehingga banyak di antara orang Minangkabau di Kota Medan
memiliki pegetahuan sedikit tentang budayanya, khususnya pada orang Minangkabau
“generasi kedua”. Dalam kelompok arisan Minangkabau terjalin solidaritas dan
ikatan kekeluargaan yang kuat di antara anggota kelompok, hal ini di karenakan di
antara mereka ada yang memiliki ikatan kekerabatan satu dengan yang lain serta
bersifat paguyuban yang berasal dari Kecamatan yang sama.
Dari sekian bantak kajian pustaka di atas mengenai modal sosial pedagang
kaki lima, tidak ada satupun yang membahas mengenai relasi primordial sebagai
modal sosial pedagang kaki lima. Hal ini membuat penulis tertarik dalam melihat
relasi setiap primordial dalam pedagang kaki lima, dengan alasan bahwa penelitian
ini bermaksud melihat bagaimana relasi primordial dari setiap kelompok pedagang
kaki lima yang melatarbelakangi mereka menjadikan modal sosial sebagai sumber
untuk bertahan selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, penulis mengambil pokok
bahasan yang berbeda dengan kajian pustaka di atas, yakni relasi primordial sebagai
modal sosial pedagang kaki lima di Pasar Citeureup Kecamatan Citeureup Kabupaten
Bogor.
Persamaan yang mencolok dari penelitian yang akan penulis lakukan dengan
keempat literatur yang sudah dijabarkan di atas adalah objek penelitian, yakni modal
sosial, khususnya pada bagian sektor informal. Persamaan ini terdapat pada penelitian
skripsi karya Bhagas Adhindaru Wibisono dan Anita Syafitri, yaitu menggunakan
15
pendekatan penelitian kualitatif, instrument wawancara, observasi, dan kajian
pustaka. Alasan penulis menggunakan penelitian kualitatif akan digambarkan pada
sub bab pendekatan penelitian.
E. Kerangka Teoritis
E.1. Modal Sosial
E.1.1 Definisi Modal Sosial
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang modal sosial.
Beragamnya definisi dari pada ahli biasanya tergantung pada objek riset mereka.
Perbedaan objek riset itulah yang menyebabkan berbeda-bedanya harfiyah definisi
modal sosial. Robert D. Putnam misalnya, seorang pakar Ilmu Politik Amerika,
mendefinisikan modal sosial secra berbeda antara ketika melakukan riset pada tradisi
politik di Italia dan riset di masyarakat Amerika. Piere Bourdieu, seorang Sosiolog
asal Perancis yang meneliti masyarakat Eropa dan berfokus pada kelas sosial dan
ketidakadilan sosial, juga memaknakan modal sosial dengan warna yang berbeda
pula. Demikian juga pakar-pakar lainnya. Maka, penting untuk dikemukakan di sini
definisi dan analisisnya terhadap modal sosial.tepat sekali perkataan Lin, Fu, Sung
(dalam Julia Haubere):
Without a clear conceptualization, social capital may soon become a catch-all term
broadly used in reference to anything that is “social” (Tanpa adanya sebuah
konseptualisasi yang jelas, maka modal sosial akan cepat menjadi istilah yang
disematkan pada segala hal yang ada istilah “sosial”-nya) (2011:34).
Robert D. Putnam (1993:169) seorang ahli ilmu politik asal Amerika
mendefinisikan modal sosial sebagai: features of social irganisation, sucb as trust,
16
norms, and networks, than can improve the efficiency of society by facilitating
coordinated actions (sesuatu karakteristik yang ada di dalam organisasi sosial,
semisal kepercayaan, norma, dan jejaring yang bisa memperbaiki efisiensi
masyarakat melalui memfasilitasi aksi-aksi yang terkoordinasikan).
Definisi pertama Putnam ini disampaikan pada saat Putnam melakukan riset
tentang tradisi politik di italis. Artinya, partai politik akan menjadi partai yang besar,
kuat, dan terus berjaya, apabila bisa membangun tiga hal, yaitu (i) kepercayaan, (ii)
norma yang berlaku dan ditaati bersama, dan (iii) jejaring yang kuat. Dan pada tahun
1996, Putnam sedikit merevisi definisinya sebagai berikut: by ‘social capital’ I mean
features of social life – networks, norms and trust – that enable participants to act
together more effectively to pursue shared objectives (dengan “modal sosial”, aku
memaksudkannya adalah fitur-fitur kehidupan sosial, semisal jejaring, norma, dan
kepercayaan, yang kesemuanya bisa digunakan oleh partisipan untuk berbuat bersama
secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama) (John Field, 2008:35).
Namun, pada tahun 2002, Putnam melakukan riset tentang social connection
(keterhubungan sosial) di masyarakat Amerika dan kemudian mendefinisikan modal
sosial sebagai berikut:
The idea at the core of the theory of social capital is extremely simple: Social networks matter. Networks have value, … We describe social networks and the
associated norms of reciprocity as social capital, because like physical and human
capital (tools and training), social networks create value, both individual and
collective, and because we can”invest” in networking. Social networks are, however, not merely investment goods, for they often provide direct consumption value (Ide
utama dari teori modal sosial adalah sangat sederhana: tentang jejaring sosial.
Jejaring memilki nilai … dst. Kami jelaskan bahwa jejaring sosial dan norma-norma yang terkait resiprositas (saling memberi, saling merespon) sebagai modal sosial,
17
karena seperti modal fisik da modal manusia (peralatan dan training), juga jejaring
sosial menciptakan nilai bagi dua pihak, individu dan kelompok, dan karena kita bisa melakukan investasi dalam jejaring. Jejaring sosial adalah tidak hanya investasi
barang semata, bagi mereka seringkali memberikan nilai konsumsi langsung).
Tabel 1.1 Ringkasan Definisi Putnam Mengenai Modal Sosial
Menurut Perbedaan Sumber Riset
Sasaran/Objek Kandungan Social Capital Riset
Tahun
Political Tradition
in Italy (tradisi
politik di Italia)
Trust
(Kepercayaan)
Norms
(Norma/Aturan)
Networks
(Jejaring)
1993
Social Connection
in America
(Keterhubungan
sosial di masyarakat
Amerika)
- Reciprocity
(hubungan
timbal-balik)
Social
Network
(Jejaring
Sosial)
2000
*Sumber: diadopsi dari Heru Sunoto, Modal Sosial (2014:22)
Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang
memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan
dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial rendah. Collin
(1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut phenomena mikro dan interaksi
sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh
pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola
pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu
masyarakat.
Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam
setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan
sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma asosiasi atau norma
18
kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi
sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok
akan terbentuk, pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukan, dapat disimpulkan
bahwa modal sosial adalah modal yang dalam prakteknya telah lahir sejak manusia
membentuk komunitas dalam kurun waktu yang cukup lama. Kebersamaan tersebut
melahirkan rasa saling percaya, saling terbuka, saling memperhatikan atau saling
memberi dan menerima tanpa pamrih. Kepercayaan yang melekat pada setiap
individu dalam komunitas tersebut memberi ruang untuk selalu melakukan interaksi
dan membangun relasi yang intim, serta jaringan yang lebih luas dalam memenuhi
kebutuhan baik individu maupun kelompok yang dibingkai oleh norma aturan yang
dibuat bersama.
E.1.2 Unsur Pokok Modal Sosial
1) Partisipasi dalam suatu jaringan. Salah satu kunci keberhasilan membangun
modal sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi
atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.
Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai
variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan
(voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility).
Kemampuan anggota kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam
19
suatu pola hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam
menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.
2) Resiprocity. Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling
tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri.
Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika
seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka
panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan
kepentingan orang lain). Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain.
Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu. Pada
masyarakat, dan pada kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya
memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki
tingkat kepercayaan yang tinggi. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih
mudah membangun diri, kelompok, lingkungan sosial, dan fisik secara hebat.
3) Trust. Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan
untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh
perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan
dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung,
paling kurang yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya
(Putnam, 2002). Dalam pandangan Fukuyama (1996), kepercayaan adalah sikap
saling mempercayai di masyarakat, memungkinkan masyarakat tersebut bersatu
dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
20
4) Norma sosial. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol
bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri
adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota
masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya
terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu
berbuat sesuatu yang menyimpang dan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya.
Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap
anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam
konteks hubungan sosial.
5) Nilai-nilai. Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar
dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.
6) Tindakan proaktif. Salah satu unsure penting modal sosial adalah keinginan
yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa
mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Ide dasar
ini, bahwa seseorang atau kelompok senantiasa kreatif dan aktif. Mereka melibatkan
diri dan mencari kesempatan-kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi
material tapi juga kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa
merugikan orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai
bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih
banyak melayani secara proaktif.
21
7) Modal sosial yang menjembatani (bridging social capital). Bentuk modal
sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dan suatu pengelompokan, group,
asosiasi atau masyarakat. prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan
pada prinsip universalisme tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan
dan kemanusiaan (humanitarian), terbuka, dan mandiri.
Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam suatu
kelompok memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok
berdasarkan kesepakatan yang egaliter dan setiap anggota kelompok. Kedua, adalah
kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan
pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Ketiga, adalah
kemajemukan dan kemanusiaan, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan
terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar
dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok atau melalui masyarakat tertentu.
E.1.3 Peran Dan Fungsi Modal Sosial
Modal sosial mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: (1) alat untuk
menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat; (2) memberikan kontribusi
tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial; (3) membentuk solidaritas sosial
masyarakat dengan pilar kesukarelaan; (4) membangun partisipasi masyarakat; (5)
sebagai pilar demokrasi; dan (6) menjadi alat tawar menawar pemerintah.
Disintegrasi sosial terjadi karena potensi konflik sosial yang tidak dikelola
secara efektif dan optimal, sehingga termanifest dengan kekerasan. Sebagai alat untuk
22
mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya hubungan
antara individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan
trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat sosial
yang mampu mencegah adanya kekerasan.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif
diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat. Dari modal sosial yang eksklusif
dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang inklusif yang merupakan esensi
penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis.
E.2. Kritik mengenai Teori Modal Sosial Robert D. Putnam
a) Mengabaikan muatan modal sosial
Menurut Harriss, ketika membahas modal sosial, Putnam tidak menunjukkan
bagaimana muatan (tujuan dan ideologi) sebuah kelompok atau asosiasi warga bisa
membuatnya berbeda dari kelompok lain (John Harriss, 2001:28). Artinya kita bisa
punya banyak asosiasi warga di satu tempat, dan itu bisa dilihat sebagai indikasi
modal sosial yang kuat di tempat tersebut. Tapi, bagaimana bila satu kelompok
mendominasi yang lain? Bagaimana, misalnya membentuk rasa saling percaya dan
norma saling membantu antara klub-klub golf dengan kelompok-kelompok warga
miskin yang akan digusur oleh pembangunan lapangan golf baru?
Menanggapi kritik ini, para pengikut Putnam lantas menyebutnya sebagai
“sisi gelap” modal sosial. Lalu mereka memberi solusi: yang lemah bisa membangun
lingking capital atau jembatan untuk menghubungkan mereka dengan pihak yang
23
kuat. Tapi bagaimana bila tujuan dan ideology keduanya bertolak belakang atau
malah bertabrakan? Bagaimana membangun rasa percaya dan norma saling bantu
antara lingkaran-lingkaran elit banker global yang hendak mempertahankan
keuntungan dengan warga miskin yang tereksploitasi oleh tujuan itu? Lihatlah apa
yang mereka lakukan kelompok terhadap orang-orang miskin di negara miskin via
program microfinance, mereka bahkan memanfaatkan pahlawan orang-orang miskin
itu.
Bila bisa terbentuk, linking capital antara kelompok kuat dan lemah hanya
dapat terjadi lewat hubungan timpang seperti patron-klien atau buruh-majikan, atau
“golongan paling miskin di antara paling miskin diminta bekerja lebih keras untuk
menambah modal para kapitalis bank komersial global”. Jembatan ini sepertinya bisa
membantu orang berjalan memunggungi demokrasi. Padahal buku yang
melambungkan Putnam dan modal sosialnya diberi judul Making Democracy Work.
Menurut Harriss setidaknya ada dua cara bagaimana Putnam mengabaikan
muatan modal sosial. Pertama, Putnam melihat modal sosial sebagai “penyebab asli”
dari sebuah kondisi. Modal sosial seolah terbentuk dengan sendirinya, dan
menyebabkan maju tidaknya pembangunan dan demokrasi. Dengan cara itu, Putnam
luput menanyakan mengapa modal sosial menjadi kuat atau lemah di satu
masyarakat, tidak demikian di tempat lain. Karena itu, ulasannya jarang dibawa ke
pertanyaan mengapa modal sosial terbentuk, untuk tujuan apa?
24
Kedua, ketika membahas modal sosial dalam keterlibatan sosial masyarakat,
Putnam seringkali hanya merujuk pada asosiasi yang bersifat rekreatif, semisal
kelompok pencinta burung atau klub olahraga, atau yang cenderung non-politis
seperti asiosiasi orang tua murid. Dengan deskripsi seperti itu, Putnam berusaha
membawa diskusi tentang modal sosial ke wilayah kegiatan yang lebih bersifat
rekreatif atau sampingan, sekaligus menghindar dari membicarakan tujuan ekonomi
politik dari kelompok-kelompok yang biasanya memainkannya. Tujuan satu
kelompok kepentingan bisa saja bukan untuk kebaikan seluruh warga. Sulit
membantah bahwa anggota kelompok mafia, misalnya punya modal sosial kuat di
dalam lingkarannya. Tapi bagaimana dengan tujuannya? Bagaimana dengan
lingkaran oligarki atau kelompok elit lain yang hadir di berbagai tingkatan?
b) Mengabaikan relasi kuasa, ketimpangan dan eksklusi
Masih berhubungan erat dengan soal di atas, modal sosial juga dengan mudah
bisa meminggirkan konteks relasi kuasa yang ada dalam masyarakat. Bila kelompok
yang berkuasa punya modal sosial yang kuat, mereka akan berusaha
mempertahankannya. Menurut beberapa studi yang dikutip Harriss, dalam menilai
pembangunan dan demokrasi, sorotan harus mengarah pada ketimpangan. Sebab
ketimpangan justru menyebabkan asosiasi-asosiasi local didominasi oleh kelompok
elit local untuk menguatkan kepentingan mereka (John Harriss, 2001:9). Dengan kata
lain, modal sosial yang mengandung sekat antar kelompok, bisa tampak mekar dalam
25
bentuk banyak asosiasi, tetapi pembangunan dan demokrasinya sebetulnya sedang
berjalan mundur.
Dalam keadaan timpang, kelompok yang terekslusi biasanya lebih memilih
mengikuti kalangan elit local. Penelitian David Mosse di India Selatan menampilkan
bagaimana kerja-kerja kolektif dalam ritual merawat dan mensucikan tempat
penampungan air menjadi alat legitimasi dominasi kelompok elit lokal. Kerja kolektif
itu melibatkan kalangan kasta rendah. Mengapa mereka melibatkan diri merawat
ketimpangan yang merugikan mereka? Sebab mereka tidak ingin kehilangan “belas
kasih” para elit dari kasta berkuasa, agar mereka tetap bisa mengakses sumber daya
yang dikuasai kelas penguasa itu mereka dalam batasan yang dimungkinkan bagi
mereka. Maka, modal sosial bisa tampak mekar, tapi kenyataannya demokrasi sedang
mengkerut.
Penggambaran modal sosial lepas dari konteks relasi kuasa inilah yang bisa
menimbulkan asumsi sederhana bahwa sekadar “berkelompok itu baik bagi orang
miskin”. Asumsi ini luput memeriksa watak kelompok di mana mereka bergabung.
Di titik ini tampak bahwa argumen Putnam dan pengikutnya juga buta kelas.
Kelompok warga dilihat sebagai sesuatu yang tidak bermasalah dan keterbelahan
sosial berdasarkan struktur kelas, gender, kondisi fisik dan lainnya, diabaikan.
kesimpulan Putnam bahwa Italia Selatan terkurung dalam keterbelakangan karena
kurangnya modal sosial (dalam bentuk kurangnya keterlibatan dalam berbagai
asosiasi), mengabaikan penyebab structural yang menciptakan keterbelakangan
26
tersebut, yaitu ketimpangan kepemilikan dan akses terhadap sumber daya. Padahal,
ketimpangan itulah yang menyebabkan kurangnya “modal sosial”.
Untuk membuktikannya, Harriss mencontohkan sebuah kajian yang dilakukan
di Kerala, sebuah negara bagian di India. Kajian itu dilakukan setelah
terselenggaranya program reforma agrarian yang mengakhiri ketimpangan kronis
kepemilikan tanah di Kerala. Menggunakan metodologi yang mirip dengan yang
dipakai Putnam di Italia (dengan indeks kewargaan komunitas), kajian itu
menemukan bahwa Kerala punya “modal sosial” paling tinggi, melampaui seluruh
negara bagian di India (John Harriss, 2001:12).
Dengan menepis relasi kuasa dan ketimpangan yang dihasilkannya, Putnam
pun luput mengurai bagaimana eksklusi yang bisa mengikuti menguatnya modal
sosial. Ia tidak menjelaskan mengapa modal sosial yang kuat di satu kelompok tidak
dapat digeneralisasi menjadi modal sosial bagi semua warga. Putnam tidak
memberikan gambaran bagaimana rasa saling percaya atau norma resiprositas di
satukelompok dapat diangkat menjadi sesuatu yang berlaku secara lebih universal
berlaku untuk seluruh warga, sesuatu yang dibutuhkan untuk demokrasi dan
pembangunan yang lebih baik. Sebagai asset, modal sosial dapat digunakan untuk
mengakses sumber daya tertentu oleh sebuah kelompok dan mengeksklusi kelompok
lain. Menurut Mancur Olson, seorang peneliti tindakan kolektif ternama yang dikutip
Harriss, kelompok kepentingan yang terorganisir baik tak punya minat untuk bekerja
bagi kebaikan seluruh masyarakat.
27
Lantas apa solusinya? Bagi Harriss, kepercayaan yang berlaku lebih umum
dapat berlangsung bila ditopang oleh aturan-aturan yang dikeluarkan lembaga negara.
Aturan hukum ini bisa menimbulkan rasa percaya kepada seseorang ketika
berhubungan dengan orang lain yang tak dikenal karena ada lembaga yang akan
memberi sanksi bila seseorang melanggar aturan. Keberadaan dan penegakan aturan
bisa mengatasi rasa saling tidak percaya antar kelompok sosial, dan sebaliknya
membangun rasa saling percaya di luar kelompok. Lembaga negara yang terpercaya
bisa membangun rasa saling percaya di antara kelompok masyarakat. Dengan cara
serupa, norma resoprositas bisa diangkat oleh negara menjadi lebih umum lewat
program-program redistribusi sumber daya, yang dapat mengurangi bahkan
menghentikan proses pemiskinan yang dapat menghasilkan kelompok-kelompok
yang terekslusi. Usulan Harriss ini merupakan kebalikan dari arugumen Putnam dan
pengikut-pengikutnya.
c) Masyarakat bisa perbaiki negara, tidak sebaliknya
Ceara adalah satu negara bagian di timur laut Brasil, kawasan miskin tempat
Sembilan negara bagian berada. Dua gubernur muda dari satu partai politik silih
berganti memenangkan pemilihan demokratis dan membawa perubahan besar di
Ceara. Persaingan politis yang sehat menimbulkan keharusan bagi pihak yang
menang untuk menyenangkan konstituen. Begitu salah satu dari mereka menjadi
gubernur pada 1987, kebijakan pro-poor dan reformasi pengorganisasian kerja-kerja
program segera bergerak.
28
Di sektor kesehatan, misalnya pemerintah negara bagian mengangkat 7300
“agen kesehatan masyarakat” sebagai bagian dari upaya mengatasi menurunnya
pendapatan akibat kekeringan, sekaligus menjalankan program-program pencegahan
baru. Diselia oleh ratusan perawat, para pekerja non-profesional ini ditempatkan di
daerah asal masing-masing. Metode pengangkatan langsung oleh negara bagian ini
punya dua kelebihan. Di satu sisi para pekerja itu terlepas dari pengaruh elite
kabupaten/kota yang masih merawat relasi patron-klien; di sisi lain mereka lebih
mudah mengadaptasi program dengan situasi setempat karena bekerja di daerah
masing-masing. Awlanya mereka tidak terima baik oleh rakyat karena trauma masa
lalu. Tetapi pelan-pelan mereka mengetuk pintu demi pintu untuk memberi pelayanan
sembari membangun kepercayaan rakyar. Bersama dengan meningginya rasa saling
percaya itu, kolaborasi negara rakyat bertumbuh. Program demi program pun sukses.
Pada 1993, Ceara menerima Maurice Pate Prize, untuk program-program pendukung
anak, dari UNICEF.
Publikasi kinerja para agen kesehatan masyarakat melalui media juga menjadi
penyokong penting. Publikasi ini membuat mereka tahu apa yang diharapkan oleh
rakyat; bagian mana yang dihargai oleh rakyat, mana yang tidak. Akhirnya, bersama
keberhasilan di sektor lain, ukuran pembangunan manusia negara bagian itu yang
tadinya jeblok melonjak pesat. Ringkasan cerita tentang Ceara ini dijadikan contoh
oleh Harriss untuk menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan, dan padatnya
“modal sosial” (kolaborasi dan saling percaya), bukan hanya karena kerja
29
masyarakat, tetapi karena kerja sama negara dan masyarakat. Tapi Putnam punya
pandangan sebaliknya.
Bagi Putnam, modal sosial di masyarakat menyumbang kepada baiknya
kinerja negara, dan tidak ada arus sebaliknya. Argumen Putnam sangat berpusat
masyarakat. “Andil pemerintah terhadap terbentuknya modal sosial dilupakan dan
kausalitas hanya berlangsung satu arah yaitu dari masyarakat, khususnya asosiasi
sukarela yang bersifat horizontal, kepada kinerja pemerintah dan bekerjanya
demokrasi” (John Harriss, 2001:28). Kembali ke contoh Italia utara vs selatan,
Putnam menunjukkan bahwa Italia utara bisa maju karena banyak warga yang
tergabung dalam berbagai bentuk asosiasi, dengan demikian modal sosial mereka
tinggi, dan itu menjelaskan mengapa kinerja ekonomi dan negara menjadi baik.
Mengutip beberapa kajian kritis terhadap sejarah Italia versi Putnam, Harriss
menyimpulkan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Kajian sejarah Sidney Tarrow
mengungkap bahwa perbedaan civic community antara utara dan selatan Italia
sebagaimana dibuat Putnam merupakan hasil dari kejadian-kejadian historis yang
berlangsung belum lama (bukan sejak Masa Pertengahan seperti dikatakan Putnam)
dan berhubungan dengan proses-proses pembentukan negara modern. Sehingga,
menurutnya bukan civicness yang menyediakan lahan subur tempat bertumbuhnya
berbagai struktur negara, tetapi sebaliknya. Ketika Putnam dan kolegannya
menemukan bahwa civic community kuat di daerah-daerah Partai Komunis Italia,
mereka meyimpulkan bahwa itu terjadi karena Partai Komunis Italia menyemai di
30
lahan subur modal sosial (John Harriss, 2001:36). Padahal menurut penelitian
Tarrow, perbaikan kinerja pemerintah dan keterlibatan aktif warga didorong oleh
partai-partai kiri setelah Perang Dunia II (John Harriss, 2001:37). Sementara di AS
(yang juga jadi contoh kasus Putnam), menurut Theda Skocpol, pertumbuhan asosiasi
sukarela juga tercipta mengikuti pola pembentukan negara daripada kelemahan
negara. Tentang ini, Harris mengutip Skocpol:
“Sejak awal terbentuknya AS, institusi pemerintahan dan politik yang bercorak
demokratis mendorong berkembangnya kelompok-kelompok sukarela yang terhubung dengan gerakan sosial regional dan nasional, dan juga kian terkait dengan
jaringan organisasi trans-lokal yang parallel dengan struktur local-nasional struktur
negara AS. Gerakan-gerakan reformasi moral, asosiasi petani dan buruh; persaudaraan berbasis ritual, gotong-royong dan pelayanan; asosiasi perempuan
independen; kelompok-kelompok veteran; dan banyak asosiasi etnis dan Afro-
Amerika seluruhnya berjumpa dalam bentuk asosiasi tipikal AS” (John Harriss,
2001:50).
Akhirnya, mengutip kesimpulan penelitian Samuel Bowles, Harriss
mengajukan poin tentang pentingnya posisi ketimpangan organisasi rakyar dan
bagaimana peran negara di dalamnya. Menurut Bowles, di daerah-daerah dengan
pendapatan terdistribusi lebih setara, partisipasi rakyat di gereja, jasa-jasa pelayanan
lokal, kelompok-kelompok politis, dan organisasi rakyat lainnya, lebih tinggi. Hal ini
mengisyaratkan bahwa kebijakan-kebijakan negara yang meningkatkan kesetaraan
pendapatan dapat memperbaiki keterlibatan rakyat mengelola kehidupan bersama
mereka (John Harriss, 2001:57-58). Sejalan dengan contoh Kerala di atas,
ketimpangan hanya bisa diatasi oleh gerakan rakyat yang bekerja lewat tindakan
politis mendesak negara untuk melakukan perubahan struktural, dalam kasus itu
reforma agrarian.
31
E.3. Pedagang Kaki Lima
E.3.1 Definisi Pedagang Kaki Lima
Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart
berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah
laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga
kerja di Kenya. Menurut Ahmad (2002) sektor informal disebut sebagai:
kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa
ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat
yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus,
lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan (h.73).
Pedagang kaki lima sebagai bagian sektor informal perkotaan, istilah
pedagang kaki lima konon berasal dari zaman pemerintahan Rafles, Gubernur
Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda yaitu dari kata “five feet” yang berarti jalur
pejalan kaki di pinggir jalan selebar 5 (lima) kaki. Ruang tersebut digunakan untuk
kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima
(dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan
definisi dari pedagang kaki lima di antaranya menurut McGee (1977:28) menyebut
PKL sebagai hawkes adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa
untuk dijual di tempat umum terutama jalan-jalan trotoar. Defenisi tidak termasuk
PKL yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain menjual barangnya atau
menawarkan jasanya.
32
Pembagian tipe komoditas yang dijual oleh MCGee dan Yeung (1977:81)
dibedakan 4 (empat) kelompok yakni; (1) Makanan yang tidak diproses, termasuk
makanan mentah seperti daging, buah-buahan atau sayuran. Sedangkan makanan
yang semi olahan seperti beras. (2) Makanan siap saji (Prepared food), yakni penjual
makanan yang sudah dimasak. (3) Barang bukan makanan (nonfood items), kategori
ini terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-
obatan. (4) Jasa (services), yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan
sol sepatu dan tukang cukur.
Berdasarkan sifat layanannya, MCGee & Yeung (1977:82-83) membagi ke
dalam 3 (tiga) tipe, yaitu; (1) Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan
mudah dapat membawa barang dagangannya, mulai dari menggunakan sepeda atau
keranjang. (2) Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat
menetap sementara, di mana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah
beberapa waktu berjualan di tempat tersebut. (3) Pedagang menetap (static), sifat
layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, di mana lokasi
tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik.
Menurut Waworoento (dalam Widjajanti, 2000:39-40), bentuk sarana fisik berdagang
yang digunakan oleh pedagang kaki lima adalah; (1) Gerobak/kereta dorong, bentuk
ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak yang beratap dan tidak beratap. (2)
Pikulan/keranjang, yaitu digunakan oleh PKL keliling (mobile) ataupun semi
menetap. (3) Tenda, bentuk ini terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang
33
diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja,
biasanya dilengkapi dengan penutup. (4) Kios, menggunakan papan atau sebagian
menggunakan batu bata, sehingga menyerupai bilik semi permanen, yang mana
pedagang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut, pedagang ini dikategorikan
sebagai pedagang menetap. (5) Gelaran/alas, pedagang bentuk ini menggunakan alas
berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya.
E.3.2. Karakteristik Lokasi Aktivitas Pedagang Kaki Lima
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Joedo dalam Widjajanti
(2000:35), penentuan lokasi yang diminati sektor informal adalah sebagai berikut; (1)
Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang
relatif sama, sepanjang hari. (2) Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat
kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering
dikunjungi dalam jumlah besar. (3) Memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan
antara PKL dengan calon pembeli. Lokasi usaha lebih ditentukan oleh penyebaran
permintaan dan ketergantungan lokasi terhadap usaha lain yang sejenis (Djojodipuro,
1992:119-120). Hal ini akan menimbulkan persaingan dalam menguasai pasar seluas
mungkin, tanpa membanting harga tetap dengan mengatur lokasinya terhadap
saingannya. Adanya pengelompokan tersebut akan memudahkan pembeli dalam
memilih barang terbaik yang diinginkannya.
34
F. Kerangka Berpikir
Interaksi antar pedagang kaki lima yang menciptakan modal sosial dapat
dilihat dari indikator-indikatornya yaitu kepercayaan, norma dan jaringan. Dengan
tumbuhnya modal sosial yang baik diharapkan dapat menciptakan kelancaran usaha
bagi para PKL. Namum dalam upaya pencapaian kelancaran usaha terkait modal
sosial muncul pertanyaan apakah bentuk modal sosial yang dimilki pedagang kaki
lima dan apakah permasalahan baru yang muncul dari modal sosial yang ada.
Sehingga diharapkan dengan terjawabnya pertanyaan tersebut dapat mengetahui
bentuk modal sosial apa yang dimiliki PKL untuk mencapai kelancaran usahanya.
Tabel 1.2 Kerangka Berpikir
Indikator
Reserch questions
Interaksi PKL
- Kepercayaan
- Norma
- Jaringan Modal Sosial
Bagaimana bentuk modal sosial
yang dimiliki pedagang kaki lima
Etnis Minangkabau dan Etnis Batak dan apakah permasalahan
yang muncul (implikasi positif)
dari modal sosial?
Kelancaran usaha PKL
35
G. Metodologi Penelitian
G.1. Pendekatan Penelitian
Dasgupta dan Serageldin (1999) melihat bahwa dalam pengukuran konsep
modal sosial belum cukup dibakukan untuk diukur dengan menggunakan riset
kuantitatif. Menurut mereka mengukur modal sosial dapat menggunakan berbagai
pendekatan interdisiplin dengan kombinasi pendekatan yang sama maupun yang
berbeda. Oleh karenanya, untuk dapat menjelaskan gejala-gejala sosial berkenaan
dengan relasi primordial sebagai modal sosial PKL di Pasar Citeureup, maka
pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,
karena pendekatan ini dipandang lebih relavan untuk digunakan dalam mengamati
gejala-gejala sosial dalam masyarakat.
Dalam pendekatan kualitatif ini, penulis terjun langgung ke lapangan dan
mencoba melakukan investigasi guna memperoleh informasi mendalam mengenai
modal sosial, bentuk modal sosial yang dimiliki pedagang kaki lima dan implikasi
positif dari modal sosial serta mengembangkan penafsiran-penafsiran terhadap
informan atau data yang ditemukan. Dengan demikian dalam penelitian kualitatif,
penulis perlu melakukan interaksi untuk mendalami subyek yang diteliti, termasuk di
dalamnya pengembangan kategori-kategori, pola-pola analisis dan teori-teori
sehingga hasilnya bisa dipahami dengan baik (Creswell, 1994).
36
G.2. Subjek dan Lokasi Penelitian
G.2.1 Subjek Penelitian
Subjek yang terdapat dalam penelitian ini adalah para pedagang kaki lima
yang berjualan di Pasar Citeureup, petugas pengelola pasar dan juga pihak paguyuban
yang bekerjasama dengan pihak kecamatan dalam melakukan kegiatan berjualan di
Pasar Citeureup. Dalam teknik ini, pengambilan anggota sampel dilihat dengan
pertimbangan pengumpulan data yang menurutnya sesuai dengan maksud dan tujuan
penelitan (Soehartono, 2011:62).
G.2.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pasar Citeureup, Kecamatan Citeureup,
Kabupaten Bogor. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena Pasar Citeureup
termasuk ke dalam pasar yang eksistensinya cukup lama bahkan hingga sampai saat
ini masih terkenal di beberapa daerah sekitar Citeureup, serta melihat relasi
primordial antar pedagang kaki lima dalam kegiatan berdagang karena di kecamatan
ini terdapat sejumlah imigran yang mengembangkan usaha di sektor informal. Waktu
yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penelitian ini, mulai dari mengumpulkan,
mengolah, dan menganalisa data yang didapat adalah dari bulan Mei sampai dengan
bulan Juli 2017.
37
G.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
G.3.1 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penlitian ini bersumber dari dua jenis data,
yaitu data primer dan data sekunder.
1) Data Primer meliputi data dari hasil observasi dan wawancara mendalam para
pedagang kaki lima yang terlibat dalam ikatan primordial dalam Pasar Citeureup.
2) Data Sekunder meliputi dokumen, buku-buku, jurnal, koran dan semua literatur
yang berhubungan dengan penelitian mengenai relasi primordial dan modal sosial
pada pedagang kaki lima.
G.3.2 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik
bila dibandingkan dengan teknik yang lain yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau
wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak
terbatas pada orang tetapi juga objek-objek alam yang lain. Menurut Sutrisno Hadi
yang dikutip oleh Sugiyono mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu
proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses
pengamatan dan ingatan (Sugiyono, 2011:145).
Observasi juga dikatakan cara untuk memperoleh data dalam bentuk
pengamatan serta mengadakan pencatatan secara tertulis yang dihasilkan dari hasil
38
observasi. Dalam teknik pengumpulan data ini, penulis langsung turun ke lapangan
mengamati dengan cermat dan langsung terhadap kehidupan PKL sehari-hari serta
hal yang dapat menunjang penelitian.
2) Wawancara
Menurut Nazir (2005:234) “wawancara adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si
penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan menggunakan
alat bantu yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)”. Yang dimaksud
dengan wawancara adalah penulis melakukan tanya jawab langsung dengan pihak
yang berhubungan dengan penelitian atau yang dijadikan informan.
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk menggali informasi modal
sosial dan relasi primordial dalam kegiatan bergadang di Pasar Citeureup Kecamatan
Citeureup Kabupaten Bogor. Dalam hal ini, penulis akan mewawancari 9 informan,
di antaranya pengelola Pasar Citeureup, pedagang kaki lima, pengurus paguyuban
pedagang kaki lima di Pasar Citeureup, pembeli yang sudah menjadi pelanggan setia
pada pegang kaki lima Etnis Minangkabu dan Etnis Batak, serta camat Citeureup.
Tabel 1.3 Informan Penelitian
No. Nama Informan Pekerjaan/ Status informan
1 Kosim Pengurus Paguyuban
2 Fatimah Pedagang Kerudung
3 Ambun Pedagang Sepatu
4 Lasma Pedagang Tas
5 Luhut Pedagang Pakaian
6 Nurhasanah Pembeli
39
7 Dwi Pembeli
8 Rahmat Pengelola Pasar Citeureup
9 Asep Mulyana Camat Cuteureup
*Sumber: Hasil pengolahan data dari wawancara mendalam dengan informan, 2017.
Alasan memilih kesembilan informan di atas karena penulis mendapatkan
informasi yang berasal dari pengurus paguyuban selama penulis melakukan
penelitian di Pasar Citeureup sekaligus sebagai pembimbing mengenai pengetahuan
siapa saja informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sesuai dengan
bahasan penelitian. Rujukan dari petugas pengelola pasar yang menunjang pemilihan
informan dapat disebut sebagai strategi prosedur snowball. Dalam prosedur ini,
Burhan bungin (2007) menyatakan bahwa dengan siapa peserta atau informan pernah
dikontak atau pertama kali bertemu dengan peneliti adalah penting untuk
menggunakan jaringan sosial mereka untuk merujuk peneliti kepada orang lain yang
berpotensi berpartisipasi atau berkontribusi dan mempelajari atau memberi informan
kepada peneliti (hal. 108).
Johan Castilo menyebutkan bahwa ada beberapa model snowball yang dapat
digunakan di dalam penelitian, di antaranya:
a. Linear snowball modle (peneliti bergerak linier untuk menemuan informan baru, dari satu informan ke informan lain),
b. Explonential non-discriminative snowball modle (semua informan yang dirujuk
oleh informan sebelumnya diambil sebagai informan), dan c. Explonential discriminative snowball modle (pertimbangan dan tindakan selektif
peneliti, tidak semua informan yang ditunjuk oleh informan lain dipilih oleh
peneliti untuk dijadikan informan) (dalam Burhan Bungin, 2007: 109).
40
Dari model snowball di atas, informan yang penulis jadikan sumber data
penelitian, berdasarkan pada model explonential non-discriminative snowball modle
dengan alasan semua rujukan informan dari pengurus paguyuban dipilih sebagai
informan dalam penelitian ini, karena penulis mengasumsikan bahwa kesemua
infroman di atas memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengenai
kegiatan berdagang pedagang kaki lima di Pasar Citeureup. Pemilihan pedagang kaki
lima adalah karena lamanya mereka berdagang di Pasar Citeureup. Alasan memilih
pengelola pasar dan pihak yang terkait adalah pengetahuan serta peran mereka dalam
menjalin hubungan dengan pedagang kaki lima mengenai kegiatan sehari-hari dan
kebijakan yang sudah ada selama ini.
3) Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan yang sudah berlalu. Dokumentasi bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi
dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara, dengan motode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi
benda mati.
Dalam menggunakan metode dokumentasi ini penulis memegang check-list
untuk mencari variable yang sudah ditentukan. Dalam studi dokumentasi foto lebih
digunakan sebagai alat penelitian kualitatif karena dapat dipakai dalam berbagai
keperluan, foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara
41
induktif. Terdapat kategori foto yang di hasilkan oleh orang dan foto yang hasilkan
oleh penulis sendiri (Bogdan dan Biklen, 1982:102).
Teknik ini dilakukan dengan cara mengkategorikan (mengklasifikasikan)
kemudian mempelajari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah
penelitian dan mengambil data atau informasi yang dibutuhkan. Sumbernya berupa
dokumen, buku, majalah, koran, dan lain-lain. Data yang dapat diambil adalah data
sekunder.
G.4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini bertipe kualitatif, maka langkah-langkah analisis data
mengadopsi dari langkah-langkah analisis data kualitatif yang diutarakan oleh
Moleong (2007), maka langkah dalam penelitian ini adalah langkah pertama, dimulai
dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu hasil
observasi, wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,
dokumen pribadi, dan gambar. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah
berikutnya ialah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan rangkuman
data inti, proses dengan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap
berada di dalamnya.
Langkah kedua adalah menyusun data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan
dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori dibuat sambil
melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data adalah mengadakan pemeriksaan
42
keabsahan data, dilanjutkan dengan tahap penafsiran data dalam mengolah hasil
sementara menjadi pemahaman yang substantif.
Secara singkat pendapat Moleong sama dengan gambaran dalam analisis data
yang dilakukan Neuman, yaitu “analisa data melibatkan pemeriksaan, pemilahan,
penggolongan, evaluasi, perbandingan, sintesis, dan perenungan data yang dikodekan
serta mengkaji data mentah dan data yang direkam” (2013:570). Pengolahan data
kualitatif berawal dari mempelajari data primer (wawancara dan observasi) dan data
sekunder (dokumentasi). Setelah data terkumpul selanjutnya penulis menganalisa
data tersebut dari awal hingga akhir penulisan. Kemudian menarik kesimpulan
dengan mengkaji dari data yang telah didapat.
H. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan : Menjelaskan tentang pernyataan dan pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka atas penelitian terdahulu,
kerangka teoritis, dan metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Gambaran Umum Lokasi Penelitian : Menjelaskan gambaran umum
Kecamatan Citeureup dari segi geografi, wilayah administrasi, kependudukan,
ekonomi serta budaya; menjelaskan gambaran umum Pasar Citeureup di
Kecamatan Citeureup; menjelaskan keberadaan dan kondisi pedagang kaki
lima yang sedang berdagang di Pasar Citeureup.
43
BAB III Relasi primordial sebagai modal sosial pedagang kaki lima :
Menjelaskan hasil penelitian yang ditemukan di lapangan serta analisis, terkait
dengan tema yang dipilih mengenai relasi primordial sebagai modal sosial
pedagang kaki lima di Pasar Citeureup dan mengenai implikasi yang timbul
dari modal sosial pedagang kaki lima di Pasar Citeureup.
BAB IV Penutup : Berisikan simpulan dari hasil temuan penelitian ini yang berusaha
menjawab pertanyaan penelitian, beserta sarana-sarana untuk penyempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
44
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Citeureup
Kecamatan Citeureup di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat memiliki
sebuah desa yang namanya persis sama dengan nama kecamatannya, dan menjadi
pusat keramaian serta kegiatan perekonomian Kecamatan Citeureup. Kecamatan
Citeureup adalah organisasi perangkat daerah Kabupaten Bogor dengan kondisi
bentangan lahan dataran dan berbukit, terletak pada ketinggian 99,80 M – 334 M Dpl.
Desa Citeureup sebagai daerah terendah dan Desa Hambalang sebagai daerah
tertinggi.
Dalam pengelolaan kawasan strategis, Kecamatan Citeureup termasuk ke
dalam kawasan strategis industri yang diarahkan untuk terselenggaranya fungsi
kawasan sebagai pusat kegiatan industri yang didukung oleh sistem jaringan, sebagai
wilayah pengembangan industri, perdagangan, jasa dan perumahan serta pertanian
atau perkebunan. Potensi pengembangannya didukung oleh letak geografis
Kecamatan Citeureup yang merupakan pintu keluar masuk yang menghubungkan
langsung dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Bogor dengan akses jalan tol
Jagorawi.
Luas wilayah Kecamatan Citeureup 6.719 Ha. Dan secara geografis, wilayah
Kecamatan Citeureup sebelah utara dibatasi Kecamatan Gunung Putri; sebelah timur
45
dengan Kecamatan Klapanunggal; sebelah selatan dengan Kecamatan Cibinong;
sebelah barat dengan Kecamatan Babakan Madang. Wilayah administrasi Kecamatan
Citeureup sendiri terdiri dari 2 kelurahan dan 12 desa. Jumlah penduduk Kecamatan
Citeureup berdasarkan data terakhir bahwa jumlah penduduk yang ada yaitu 218.685
jiwa, bila melihat dari jenis kelamin penduduk maka jenis kelamin laki-laki yang
paling terbanyak dengan jumlah 111.597 jiwa, sedangkan perempuan 107.088 jiwa
(Anto Dwiastoro, 2015).
Gambar 2.1 Peta Kecamatan Citeureup
*Sumber: http://info-kotakita.blogspot.co.id
Penduduk masyarakat Citeureup ini multi etnis, karena di kecamatan ini dan
tetangga kecamatan terdapat ratusan pabrik yang menjadikan pendatang dari berbagai
daerah seperti Etnis Jawa, Betawi, Minang, Batak, Madura, Cina dll. Akan tetapi
masyarakat asli kecamatan ini adalah Etnis Sunda. Ciri-ciri sikap sosial dan
pembawaan budaya dari setiap etnis ini tidak sulit dibedakan di lapangan. Walaupun
data tentang jumlah etnis di Citeureup tidak tersedia karena memang tidak ada sensus
46
kepundudukan dengan kategori demikian. Gambaran tentang beragam etnis tersebut
dapat diperoleh melalui pengakuan informan dari masing-masing etnis dan perkiraan
dari aparat desa, serta pengamatan penulis di lapangan.
Masyarakat Citeureup mempunyai mata pencaharian yang berbeda-beda,
sebanyak 574 orang sebagai karyawan pegawai negeri sipil, 23 orang prajurit
TNI/POLRI dan 465 buruh industri. Hanya 25 orang yang tercatat sebagai petani dan
buruh tani 8 orang (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1 Pewagai Negeri Sipil 574 26,5
2 Buruh Bangunan 87 4,0
3 Pedagang 500 23,1
4 Pensiunan (TNI/POLRI/PNS) 482 22,3
5 Buruh Industri 465 21,5
6 Petani 25 1,2
7 TNI/POLRI 23 1,1
8 Buruh Tani 8 0,3
Jumlah 2164 100,0 *Sumber: Diadopsi dari data Kecamatan Citeureup, 2016.
Hampir setiap tahun di Citeureup terjadi perpindahan penduduk, baik yang
datang maupun yang keluar. Pada tahun 2016 tercatat jumlah orang yang datang ke
Citeureup berjumlah 35 orang laki-laki dan sebanyak 26 perempuan. Sedangkan
penduduk yang pindah berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30
perempuan. Data ini diperoleh karena pendatang dan yang pindah tersebut
melaporkan diri, sedangkan yang tidak melaporkan diri jumlahnya mungkin lebih
banyak.
47
B. Pasar Citeureup
Desa Citeureup merupakan pusat kegiatan perekonomian masyarakat
Kecamatan Citeureup, di mana di desa tersebut terdapat sebuah pasar tradisional yang
ramai dikunjungi oleh masyarakat Citeureup dan masyarakat sekitarnya, bahkan
banyak juga dikunjungi oleh penduduk daerah lainnya yang datang dari luar
Kecamatan Citeureup. Di samping untuk berbelanja para pengunjung tersebut ada
juga yang datang untuk berdagang dengan memasarkan barang dagangan yang
mereka bawa masing-masing, ini menambah ramai dan semaraknya pasar tradisional
Citeureup.
Sebelum Pasar Citeureup dibangun, masayarakat Citeureup telah memiliki
tempat untuk melakukan transaksi yang hampir mirip dengan pasar. Para pedagang
memanfaatkan lapangan untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Barang yang diperjual
belikan terbatas hanya pada kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, ikan dan
perlengkapan rumah tangga lainnya. Pasar ini berdiri tahun 1928, kemudian
mengalami pemugaran pada 1988.
Gambar 2.2 Pasar Citeureup tampak depan
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 21 Juli 2017.
48
Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia maka kebutuhan akan
adanya sarana penyedia kebutuhan seperti pasar tak dapat dielakkan, maka
pemerintah daerah membangun sebuah pasar di atas tanah seluas 13.800 m2.
Pembangunan pasar dikerjakan oleh PD Pasar Tohaga. Pasar tersebut terdiri dari dua
lantai yang memilki satu kantor unit pasar, 408 pedagang kios, 97 pedagang di los,
100 pedagang di radius serta menampung juga 362 pedagang kaki lima. Lantai bawah
(satu) diperuntukan untuk los sedangkan lantai atas (dua) untuk kios, sedangkan
pedagang radius dan PKL banyak memanfaatkan area parkir, tangga, jalan umum dan
rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan pasar.
Di sekitar Pasar Citeureup di sepanjang jalan Mayor Oking Jaya Atmaja yang
merupakan jalan utama menuju Pasar Citeureup, terdapat jajaran pertokoan. Toko-
toko tersebut menjual berbagai kebutuhan masyarakat baik kebutuhan sekunder,
primer maupun tersier. Kios, los, pedagang radius dan lapak PKL dihuni oleh
beberapa etnis, yaitu: Sunda, Jawa, Minangkabau, Batak, Cina dan lain-lain. Jumlah
pedagang di Pasar Citeureup berdasarkan etnis dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Jumlah Pedagang Kaki Lima Pasar Citeureup Menurut Etnis
No Etnis Jumlah
1 Sunda 70
2 Jawa 48
3 Minangkabau 77
4 Batak 58
5 Cina 30
6 Lain-lain 61
Jumlah 344
*Sumber: Diadopsi dari data pengelola Pasar Citeureup, 2016.
49
Berdasarkan data dari pengelola Pasar Citeureup terdapat tiga ratus empat
puluh empat PKL, jumlah PKL akan berlipat ganda bila dilakukan pendataan di hari-
hari pasar seperti hari sabtu dan minggu. Berdasarkan informasi dari informan,
jumlah PKL di Pasar Citeureup pada hari-hari ramai seperti menjelang lebaran bisa
mencapai sekitar seribu pedagang.
Gambar 2.3 Kondisi Pasar Citeureup pada pagi hari
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 21 Juli 2017
Pasar Citeureup ini beroperasi sejak pagi buta pada siang hari tidak ada
aktifitas yang terlalu ramai karena aktifitas utamanya pada pagi hari dan aktifitas
pasar ini dilanjutkan pada sore hingga malam hari, ketika malam justru aktifitas pasar
ini ramai sekali otomatis tidak ada berhentinya kegiatan di Pasar Citeureup terus
sambung menyambung sepanjang hari. Pengunjung pasarpun tidak berasal dari
Citeureup saja melainkan dari daerah-daerah sekitarnya seperti Gunung Putri, Sentul,
Cibinong juga Cileungsi. Itulah yang menyebabkan pasar ini tidak ada matinya hidup
sepanjang hari.
50
C. Keberadaan dan Kondisi PKL di Pasar Citeureup
Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Bogor terutama di Pasar
Citeureup tidaklah menjadi pemandangan yang asing bagi masyarakat. Pedagang kaki
lima yang biasa berjualan di atas trotoar dengan menggunakan perlengkapan ala
kadarnya seperti sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat Kecamatan Citeureup.
Pedagang kaki lima di Kecamatan Citeureup banyak berada di jalan-jalan protokol
yang ramai, tempat pemberhentian bus, sepanjang jalan utama, dan terutama di Pasar
Citeureup yang merupakan salah satu lokasi utama tempat berusaha para pedagang
kaki lima.
Sebagian besar PKL di Pasar Citeureup adalah masyarakat lokal hanya
beberapa dari mereka yang merupakan pendatang. PKL lokal cenderung untuk
tinggal bersama dengan keluarga besar dengan menantu bahkan cucu. Sedangkan
untuk PKL pendatang tempat tinggal masing-masing kelompok etnis ada yang
berpencar dan ada juga yang berkelompok, contohnya Etnis Minangkabau dan Etnis
Batak termasuk ke dalam yang tinggal berkelompok. Mereka dikatakan hidup
berkelompok karena sebagian besar kelompok Entis Minangkabau dan Etnis Batak
berada disatu tempat dan biasanya hidup dengan menyewa kamar atau rumah
bersama dengan kerabat, tetangga, atau teman yang melakukan kegiatan sejenis. Hal
ini merupakan suatu upaya untuk tetap membina jaringan sosial, karena bagi PKL
jaringan sosial merupakan hal penting yang harus dibina. Para PKL pendatang lebih
banyak meninggalkan keluarganya di kampung halaman dengan alasan untuk
51
menekan biaya hidup di perantauan. Mereka akan pulang secara berkala ke desa
untuk memberikan nafkah atau melalui jasa pengiriman uang melalui Bank.
Dalam hal jam kerja PKL memiliki jam kerja yang tidak menentu biasanya
PKL yang menghabiskan lebih dari 8 jam untuk berdagang, sebagian besar PKL di
sekitar Pasar Citeureup mulai menyiapkan dagangan pada pukul 07.00 dan berjualan
hingga pukul 21.00. Namun ketika musim hujan panjangnya waktu berjualan juga
mengalami perubahan karena sedikitnya pembeli di musim hujan menyebabkan
mereka harus rela menutup dagangannya lebih awal, tentu saja hal ini berpengaruh
pada omsset penjualan mereka.
Gambar 2.4 Keberadaan PKL di Pasar Citeureup
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 21 Juli 2017
Jenis barang dagangan PKL di sekitar Pasar Citeureup bermacam-macam
mulai dari pakaian, kerudung, tas, sendal, perlengkapan rumah tangga, buah-buahan,
jam tangan, kaset, sayur mayur, jajanan (bakso, mie ayam, soto, dan lain-lain), ikan,
ayam, dan daging. Namun sebagian besar pedagang kaki lima ini merupakan penjual
kerudung dan sendal. Para PKL berjualan menggunakan gerobak dorong atau hanya
mengandalkan alas dari terpal untuk menjajakan barang dagangannya. Peralatan
52
berdagang mereka yang terbilang sederhana dapat dipindahkan sewaktu-waktu dan
dibersihkan sehingga ketika mereka selesai berdagang lokasi yang dipergunakan
menjadi bersih kembali.
Tabel 2.3 Rekapitulasi Pedagang Kaki Lima Menurut Jenis Dagangan
No Jenis Dagangan Etnis
Sunda Jawa Minangkabau Batak
1 Pakaian 7 5 25 19
2 Kerudung 4 2 13 4
3 Tas 2 2 12 10
4 Sendal 1 3 21 26
5 Perlengkapan Rumah
Tangga
5 1 5 4
6 Buah-buahan 2 3 6 8
7 Jam tangan 1 3 5 3
8 Kaset 3 4 2 2
9 Sayur mayur 28 12 6 6
10 Jajanan 5 4 9 2
11 Ikan 7 4 3 3
12 Ayam 14 4 7 3
13 Daging 4 3 5 2
Jumlah 83 50 119 92
344 *Sumber: Diadopsi dari data pengelola Pasar Citeureup, 2016.
Melihat aktivitas pedagang kaki lima yang semakin ramai membuat penduduk
asli ikut pula terjun menjadi pedagang kaki lima, mereka berbaur dengan pedagang
kaki lima yang lainnya. Awalnya masyarakat pribumi yang berdagang berasal dari
daerah sekitar pasar, namun sekitar tahun 2004 setelah pedagang kaki lima mulai
direlokalisasi maka banyak masyarakat pribumi dari luar wilayah Citeureup
berdatangan. Menurut data dari pengelola pasar jumlah pedagang kaki lima yang
berdagang setiap hari pasar sekitar empat ratus orang yang terdiri dari beberapa etnis
53
di antaranya Etnis Minangkabau, Batak, Jawa, Cina dan penduduk asli. Namun
jumlah ini bisa tiga kali lipat pada bulan-bulan ramai seperti menjelang hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam perkembangannya pedagang kaki lima di Pasar Citeureup dapat
bertahan menghadapi persaingan yang ada di antara mereka, dapat dilihat dari
perkembangan jumlah pedagang kaki lima yang mengalami peningkatan cukup tinggi
dari tahun ke tahun. Kemampuan untuk berkembang dan bertahan menghadapi
persaingan usaha pedagang kaki lima dijadikan faktor keterampilan dan semangat
kerja yang tinggi, juga didorong dengan peran modal sosial di antara para pedagang
kaki lima.
54
BAB III
RELASI PRIMORDIAL SEBAGAI MODAL SOSIAL
PEDAGANG KAKI LIMA
Pembahasan pada bab ini berdasarkan keseluruhan data yang berhasil penulis
dapatkan dari penelitian lapangan terkait relasi primordial sebagai modal sosial
pedagang kaki lima di Pasar Citeureup. Modal sosial sangat penting bagi komunitas
karena mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas itu sendiri, menjadi
media pembagian kekuasaan dalam komunitas, mengembangkan solidaritas,
memungkinkan pencapaian bersama, dan membentuk perilaku kebersamaan dan
berorganisasi atau komunitas (Bobi B. Setiawan, 2004:45).
Modal sosial merupakan hal penting yang dibutuhkan dalam segala aktivitas
kehidupan sosial termasuk dalam hal perdagangan. Dalam dunia perdagangan, modal
sosial merupakan salah satu hal penting yang biasanya dimanfaatkan oleh pedagang
untuk dapat mempertahankan perdagangannya serta mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hanya saja modal sosial yang dilakukan setiap etnis berbeda satu
dengan lainnya. Hal itu lah yang dapat menciptakan bentuk-bentuk modal sosial
dikalangan pedagang kaki lima. Selanjutnya penulis akan lakukan analisa data
dengan meminjam kajian teori modal sosial karya Robert D. Putnam.
A. Bentuk-bentuk Modal Sosial di Kalangan Pedagang Kaki Lima di Pasar
Citeureup
55
A.1. Bentuk Trust pada PKL di Pasar Citeureup
Hubungan yang timbul antar pedagang kaki lima hanya melalui modal
kepercayaan. Fukuyama (2002) bependapat bahwa unsur terpenting dalam modal
sosial adalah kepercayaan (trust) yang merupakan perekat bagi langgengnya
kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang
akan bisa bekerjasama secara lebih efektif. Sebagaimana menurut Pretty dan Ward
(Lubis, 2000) sikap saling percaya merupakan unsur pelumas yang sangat penting
untuk kerjasama, yang oleh Putnam dipercaya sebagai melicinkan kehidupan sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan kepercayan (trust) dapat terjalain
kerjasama antar pedagang kaki lima. Atau sebaliknya timbulnya trust karena adanya
ikatan kerjasama yang saling menguntungkan.
Tidak hanya itu saja timbulnya trust juga dapat dilihat dari pelikau pedagang
yang di bantu oleh anggota keluarga dalam menjalankan usahanya. Hubungan
kekerabatan yang dimilki oleh kelompok pedagang telah menjadi nilai-nilai bersama
bagi mereka bahwa ikatan keluarga dianggap sebagai ikatan batin yang ikut
dibandingkan dengan orang lain di luar keluarga. Barbara 1999 (dalam Rahmat,
2009:56) memaparkan konsep trust menurut ahli sosiologi ke dalam pendekatan trust
sebagai yang dimiliki individu seperti perasaan, emosi dan nilai-nilai individu. Inilah
yang menyebabkan trust itu terbentuk dari ada perasaan dan emosional kekerabatan
yang kental dan dari daerah asal yang sama, seperti yang dikatakan oleh Ibu Fatimah
pedagang pakaian:
56
Ya yang pasti suami saya mbak, dan anak pertama saya sambil nyari-nyari kerja ya
bantuin bapaknya buka lapak. Dan saya pun memperkerjakan saudara untuk bantu-bantu saya berjualan di sini. (Wawancara pribadi dengan Ibu Fatimah, Citeureup, 20
Juni 2017).
Hal ini juga diungkapkan oleh informan Bapak Luhut:
Ada mbak, istri sama anak saya tapi bantunya dari siang sampe sore aja karena istri harus nganter anak sekolah dulu dan sorenya harus masak di rumah. (Wawancara
pribadi dengan Bapak Luhut, Citeureup, 20 Juni 2017).
Trust juga menimbulkan harapan-harapan positif inilah yang menikbulkaan
motivasi. Dari penelitian ini terlihat bahwa harapan-harapan yang positif dari
pedagang kaki lima dapat dilihat dari telah lamanya para pedagang menekuni
berjualan sebagai PKL di Pasar Citeureup. Unsur utama dan terpenting dari modal
sosial adalah kepercayaan (trust). Atau dapat dikatakan bahwa kepercayaan dapat di
pandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan
terbangunnya modal sosial.
Kepercayaan kepada sesama pedagang dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari
pedagang kaki lima. Salah satu bentuk kepercayaan yang terlihat adalah proses
pinjam meminjam dan menitipkan dagangan. Pinjam meminjam dapat berupa
meminjam barang dagangan atau peminjaman uang.
Seperti petikan hasil wawancara dengan Ibu Fatimah yang mengatakan:
Hubungannya baik karena sudah terjalin lama juga, dari hubungan tersebut sudah saya anggep seperti keluarga sendiri karena pedagang di sini semua saling bantu
membantu. Contohnya saja pinjam meminjam itu sudah biasa mbak, kalau saya
kehabisan barang dagangan karena laris ya pinjam punya tetangga dulu, nanti saya ganti kalau sudah waktu luang. Kalau pinjam uang ya juga pernah, gak bisa selalu
mengandalkan koperasi. Karena kebutuhan gak bisa ditunda-tunda. (Wawancara
pribadi dengan Ibu Fatimah, Citeureup, 20 Juni 2017).
57
Pinjam meminjam dapat berupa barang atau uang, meminjam barang sudah
merupakan hal biasa bagi para pedagang karena barang dagangan yang dipersiapkan
oleh pedagang tidak terlalu banyak. Sehingga ketika pembeli ramai terkadang harus
meminjam barang dagangan terlebih dahulu kepada pedagang yang lain. Barang yang
dipinjam biasanya berupa baju, celana, sepatu, atau tas yang biasanya selalu ada di
pedagang yang lain. Pinjam meminjam uang juga terjadi antar pedagang kaki lima,
para pedagang tidak bisa hanya mengandalkan koperasi karena kebutuhan tidak bisa
diprediksi kapan datangnya sedangkan uang tidak selalu tersedia di koperasi, salah
satu jalan keluarnya adalah meminjam kepada sesama pedagang.
Selain pinjam meminjam di antara para pedagang ada juga menitipkan
dagangan ke pedagang lain, bagi mereka sesama pedagang juga merupakan orang
yang dapat dipercaya. Sehingga, ketika suatu waktu mereka harus pergi dalam waktu
yang sebentar mereka tidak harus menutup dagangannya tetapi dapat menitipkan ke
pedagang sebelah. Hal tersebut hanya mampu dilakukan dan dijalankan jika telah
terbangun rasa saling percaya atau yang biasa dikenal dengan trust. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Ambun sebagai pedagang sepatu:
Hubungan pedagang selama saya berdagang di sini tidak ada namanya pedagang
yang memusuhi saya, malah saya suka dibantu pada saat membuka lapak dagangan
dan menutup lapak dagangan. Terkadang saya juga suka menitipkan lapak dagangan ketika saya harus pergi sebentar. (Wawancara pribadi dengan Bapak
Ambun, Citeureup, 20 Juni 2017).
Keikhlasan sesama pedagang kaki lima terlihat dengan yang dilakukan antar
pedagang kaki lima mampu melakukan tindakan saling tukar kebaikan seperti jika
58
seorang pembeli ingin mencari suatu barang namun pada saat itu pedagang tidak
memiliki barang yang dicari, pedagang akan merekomendasikan kepada pembeli ke
tempat pedagang lain, begitu pula sebaliknya. Adanya keikhlasan saling tolong
menolong antar pedagang kaki lima, padahal keuntungan tidak langsung dirasakan
antar pedagang kaki lima. Hal itu pun disampaikan oleh Bapak Luhut sebagai
pedagang pakaian:
Tidak pernah adanya persaingan antar pedagang di sini, semua pedagang terlihat kompak dan selalu menjalin komunikasinya yang baik antar pedagang. Biasanya
antar pedagang di sini saling merekomendasikan kepada pembeli ketika pedagang
ga punya barang yang dicari oleh pembeli. (Wawancara pribadi dengan Bapak Luhut, Citeureup, 20 Juni 2017).
Kerjasama yang terjalin dengan pedagang sangatlah diperlukan oleh
pedagang, karena hubungan pertemanan yang dilakukan oleh pedagang menjadi
sangat penting untuk keberadaan pedagang kaki lima di Pasar Citeureup. Karena
dengan hubungan baik antar pedagang tidak akan menimbulkan konflik yang ada
hanya kerukunan antar pedagang kaki lima. Sama hal dengan yang dikatakan oleh Ibu
Lasma sebagai pedagang tas:
Hubungannya sudah seperti keluarga, soalnya saya berdagang di sini dengan
pedagang lainnya sudah cukup lama berdagang bersama-sama dan setiap hari
ketemu jadi makin akrab aja mbak. (Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
Membangun kepercayaan pembeli juga merupakan modal bagi pedagang kaki
lima, kepercayaan dibangun dengan menjaga kualitas barang dagangan serta
pernyataan jujur dari para pedagang mengenai kualitas barang dagangannya.
Kepercayaan tersebut akan dijaga demi keberlangsungan hubungan antara pedagang
59
dengan pembeli. Sehingga jika kepercayaan dapat dibina maka membuat pedagang
memiliki banyak pelanggan tetap, karena jalinan hubungan pembeli dengan pedagang
tidak hanya pemenuhan kebutuhan ekonomi semata tetapi lebih kepada jalinan
kepercayaan antara pedagang dengan pembeli. Seperti dikatakan oleh Ibu
Nurhasanah:
Saya percaya dengan yang dikatakan pedagang, kalau barangnya bagus bilang bagus kalau kurang bagus bilang kurang bagus. Seperti kemaren pas saya mau beli
kerudung dengan pedagangnya bilang dagangnya gak terlalu bagus tapi karena
sudah dekat dengan pedagang ya saya tetap beli disitu, gak enak mbak kalau beli di tempat lain. Sungkan, sudah kenal dekat soalnya. (Wawancara pribadi dengan Ibu
Nurhasanah, Citeureup, 21 Juni 2017).
Hubungan baik dengan pembeli juga dapat memberikan manfaat ekonomis.
Berdasarkan pada pengamatan yang telah dilakukan, jalinan hubungan antar penjual
dengan pembeli tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan ekonomis semata,
melainkan juga berperan hubungan emosional di antara penjual dengan pembeli.
Penjual yang telah memiliki langganan akan bersikap layaknya teman dekat bahkan
saudara kepada pembeli akan dengan mudah mengungkapkan keinginan atau ide-
idenya untuk memajukan usaha dagang PKL. Bahkan informasi peluang usaha lain
yang lebih menjanjikan juga bisa diperoleh dari obrolan-obrolan ringan dengan
pembeli. Bu Lasma mengungkapkan bahawa ide untuk menambah jenis barang
dagangan berasal dari pembeli langganannya:
Langganan saya kebanyakan anak muda, anak-anak SMA. Harus bisa menyesuiakan
diri dengan bahasa dan selera mereka, jadi gaul istilahnya hehehe Awalnya saya hanya berjualan pakaian trus mereka usul gimana kalau jualan kerudung juga pasti
banyak yang beli. Akhirnya saya memutuskan untuk menjual kerudung dan hasilnya
memang laris. (Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
60
Keakraban itulah yang menjadi pintu gerbang dari keterbukaan informasi
yang bisa didapat, memang tidak semua informasi yang didapatkan bernilai ekonomis
tetapi keakraban yang terpelihara dengan baik membuat pelanggan semakin betah dan
menginformasikan kepada pembeli lain. Berita dari mulut ke mulut merupakan media
promosi yang tidak membutuhkan biaya, keuntungan juga bisa didapat dari promosi
gratis itu.
Terwujudnya harapan dan realisasi juga dapat memunculkan kepercayaan dari
pengelola Pasar Citeureup, dengan kedisiplinan para pedagang terhadap norma-
norma yang ada. Sikap jujur dan kedisiplinan terhadap norma-norma sosial juga
merupakan pengharapan dari pedagang, paguyuban, dan pengelola Pasar Citeureup.
Hubungan pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi yang sama-sama
mengharapkan adanya kejujuran. Kepercayaan tidak dapat muncul dengan seketika,
melainkan membutuhkan proses dari hubungan antara pelaku-pelaku yang sudah lam
terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan sangat penting dalam
menjalin kerjasama dengan agen dan pelanggan, keberadaan pelanggan sangat
berpengaruh terhadap hidup matinya suatu usaha dagang yang dimiliki penjual.
A.2. Bentuk Jaringan (Network)
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama
antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi
dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.
61
Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh.
Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun
inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam
1995 (dalam Suharto, 2007) berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat
akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari
partisipasinya itu. Jaringan pedagang kaki lima di Pasar Citeureup terakumulasi pada
terbentuknya paguyuban PKL, tanpa adanya jaringan yang kuat serta kebersamaan
antar PKL maka paguyuban PKL tidak akan terbentuk.
Sebagian besar pedagang kaki lima di Pasar Citeureup adalah masyarakat
perantau yang ada di Kecamatan Citeureup, sebagai pedagang kaki lima bukanlah
pilihan mudah bagi mereka bahkan bukan menjadi sebuah cita-cita. Tidak pernah
terbayangkan sebelumnya untuk menekuni dan menjalani profesi sebagai PKL karena
mereka harus berani mengambil keputusan ini untuk memulai usaha menjadi PKL
setelah mendapatkan informasi dari saudara, teman atau kerabat yang cukup
menjanjikan bahkan mereka rela untuk melepas pekerjaan lama dan beralih menjadi
PKL. Seperti diungkapkan Bapak Ambun:
Dulu saya narik becak, trus karena sering ngopi di warung saya jadi tertarik untuk
membuka usaha yang sama. Pertama saya tanya-tanya bagaimana caranya, resiko
untung rugi dan modal. Setelah mendapatkan informasi yang cukup saya berani untuk mencoba menjadi PKL, sekarang saya gak jadi tukang becak lagi selain sudah
tua saya kecapean kalau harus kerja dari pagi hingga malam. Modalnya dari
nyelengin hasil saya narik becak mbak, sedikit-sedikit terkumpul akhirnya bisa buka. Modalnya juga gak banyak kok mbak. (Wawancara pribadi dengan Bapak Ambun,
Citeureup, 20 Juni 2017).
62
Tidak hanya Bapak Ambun, Ibu Fatimah juga mengungkapkan jika ide
menjadi PKL berasal dari saudaranya yang telah terlebih dahulu menjadi PKL tetapi
di kota lain. Melihat saudara yang dapat menjalankan usahanya akhirnya Ibu Fatimah
berani untuk mencoba peruntungan sebagai PKL.
Saya mulai jualan pakaian sudah lama, idenya dari saudara di Jakarta yang sudah terlebih dahulu jualan di sana. Dengan modal yang tidak terlalu besar dan mudah
untuk dijalankan akhirnya saya mencoba untuk menjadi PKL. Pemilihan lokasi
inipun saya meminta bantuan dari saudara saya itu, karena dia lebih berpengalaman dan akhirnya saya berjualan di sini katanya kalau jualan di Pasar Citeureup pasti
laris soalnya rame, di pusat kota. Modalnya saya dapat dari pinjam ke saudara,
sedikit-sedikit saya bayar dari hasil berdagang ini. (Wawancara pribadi dengan Ibu
Fatimah, Citeureup, 20 Juni 2017).
Pedagang kaki lima ini mengawali berjualan di kaki lima dengan modal kecil,
jenis barang yang mereka jual adalah pakaian dalam dan jam tangan yang harganya
relatif murah. Baru kemudian setelah memiliki modal yang cukup mereka mengganti
dengan jenis pakaian jadi dewasa dan anak-anak serta pakaian busana muslim.
Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak
hierarkis dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu,
modal sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemerintah.
Namun demkian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara
melalui kebijakan publik.
Granovetter (dalam Damsar. 1997:43-44) menjelaskan adanya keterlekatan
perilaku ekonomi dalam hubungan sosial di mana melalui jaringan sosial yang terjadi
dalam kehidupan ekonomi. Pada tingkatan antar individu, jaringan sosial dapat
63
didefinisikan sebagai rangkaian hubungan yang khas di antara sejumlah orang dengan
sifat tambahan yang ciri-ciri hubungan ini sebagai keseluruhan, yang digunakan
untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari individu-individu yang terlibat.
Modal sosial turut menentukan proses menjadi PKL dan penentuan lokasi
berdagang. Kekerabatan atau kedekatan antar PKL telah membuka jalan untuk
jaringan sosial yang ada dan bermanfaat dalam memperoleh bantuan atau pinjaman
yang bersifat informal, ketika bantuan formal dari pemerintah sangat terbatas. Modal
sosial yang mereka miliki telah menciptakan nilai ekonomis bagi dirinya.
Bantuan-bantuan tersebut di antaranya adalah pemenuhan modal awal atau
akses terhadap permodalan, dengan adanya jaringan yang kuat maka pemenuhan
permodalan dapat ikut terbantu. Bu Lasma yang memulai usaha PKL dari nol
mendapatkan bantuan modal dari saudaranya:
Saya bukan asli Bogor, suami saya yang asli sini. Ketika mau mulai dagang
modalnya dari minjam ke kakak suami saya. Modal itu kami kembalikan dengan cara
diangsur, karena minjam kepada keluarga sendiri jadi gak pake jaminan juga gak ada bunga. Alhamdulillah, sedikit membantu dan usaha bisa jalan sampai sekarang.
(Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
Terdapat banyak PKL yang sudah berjualan dengan waktu yang lama bahkan
puluhan tahun di Pasar Citeureup yang mampu mempertahankan kehidupan mereka
beserta keluarganya dari usaha kaki lima tersebut. Lamanya pedagang kaki lima
berjualan di Pasar Citeureup dikarenakan lokasi yang strategis dari segi posisi tempat
berjualan yang membuat pedagang mendapatkan banyak keuntungan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan PKL itu sendiri. Selain itu karena mereka tidak
64
mempunyai pekerjaan lain jadi mereka memutuskan untuk menjadi PKL, hal ini pun
diungkapkan oleh Ibu Fatimah:
Saya dulu kerja jadi buruh pabrik di Jakarta, trus waktu itu ada PHK mbak. Karena termasuk buruh baru saya dipecat. Saya trus pulang ke Bogor dan jadi PKL ini
sudah ada dua belas tahunan. (Wawancara pribadi dengan Ibu Fatimah, Citeureup,
20 Juni 2017).
Berbeda dengan Ibu Fatimah yang terkena PHK di pabriknya, Bapak Luhut
yang dulunya bekerja serabutan akhirnya pun memutuskan untuk menjadi PKL
karena kondisi fisiknya yang tidak sekuat dahulu. Tetapi hal ini justru mampu
membantu untuk memenuhi kehidupan Bapak Luhut serta keluarganya dan sanggup
mempertahankan usahanya menjadi PKL hingga bertahun-tahun:
Dulu saya kerja serabutan mbak, semenjak saya sering sakit-sakitan jadi saya memutuskan untuk jualan aja yang kerjanya gak terlalu cape. Saya jualan di sini
sudah hampir 21 tahun mbak. (Wawancara pribadi dengan Bapak Luhut, Citeureup,
20 Juni 2017).
Modal sosial yang telah berperan di antara pedagang kaki lima saling
memberikan informasi dan bantuan terkait lokasi usaha yang strategis, modal usaha,
kelompok usaha. Selain itu kegiatan PKL biasanya dimulai dari informasi kerabat,
teman, tetangga atau keluarga yang telah berjualan sebelumnya. Mereka saling
membantu dalam pemodalan, suplai barang dagangan, tempat tinggal dan informasi
tempat berjualan. Dalam taraf ini PKL telah mampu memberikan manfaat bahwa
modal sosial sebagai salah satu faktor penting dalam kegiatan perekonomian
masyarakat.
65
Jaringan dibangun atas simpul yang ada di Pasar Citeureup yaitu individu
pedagang atau pelaku lainnya dan kelompok maupun institusi. Para pedagang sengaja
memperluas jaringan untuk memperluas hubungan dengan rekan dagang lain.
Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan
tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.
Terbentuknya paguyuban PKL di Pasar Citeureup dimulai dari adanya arisan
antar PKL dan hubungan kerjasama antar pedagang yang saling membantu sebuah
kegiatan yang di dalam kegiatan tersebut mempunyai dampak yang positif untuk
kesejahteraan PKL. Dengan adanya paguyuban PKL ini agar terjalin tali silahturahmi,
persaudaraan yang kuat dan menumbuhkan kepercayaan antar PKL. Hal ini
disampaikan oleh pengurus paguyuban PKL yaitu Bapak Kosim:
Terbentuk sejak sekitar tahun 2004 awal dimulainya arisan pedagang kaki lima ini,
berawal dari dorongan hati nurani saya saja dan kebutuhan untuk penambahan
modal usaha yang pedagang alami pada saat itu. Ya pada saat itu juga saya didukung sama teman-teman pedagang untuk bikin arisan kecil-kecilan. Dan untuk
yang terdaftar anggota awal mulainya arisan berjalan terdapat 50 anggota
pedagang yang aktif mengikuti arisan ini dan pedagang yang mengikuti kegiatan arisan ini tidak ada paksaan mau jadi anggota ya silahkan gak mau ya ga jadi
masalah. Untuk anggota yang terdaftar sekarang terdapat 30 PKL yang ikut
kegiatan arisan ini, dari tahun ke tahun anggota yang megikuti arisan ini berkurang,
dikarenakan banyak faktor yaitu hasil penjualan yang menurun. (Wawancara pribadi dengan Bapak Kosim, Citeureup, 15 Juni 2017).
Setelah terbentuk paguyuban Guyub Rukun yang beranggotakan sebagian
besar PKL yang ada di Pasar Citeureup maka jaringan semakin kuat terbentuk.
Dengan adanya struktur organisasi yang jelas maka informasi baik dari pemerintah
atau dari pihak-pihak lain dapat tersaring dan dapat diinfromasikan kepada anggota
66
secara terorganisir. Penyampaian informasi menggunakan fasilitas-fasilitas yang
sudah ada baik melalui pertemuan rutin, dari mulut ke mulut atau dari sms yang
Paguyuban ini merupakan suatu media untuk tujuan bersama agar PKL lebih
terorganisir, informasi dapat tersaring dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan utamanya bertujuan untuk menjaga hubungan antar PKL tetap baik, lingkungan
tetap aman, menghindari perselisihan sehingga dapat berdagang dengan nyaman.
(Wawancara pribadi dengan Bapak Kosim, Citeureup, 15 Juni 2017).
Terdapatnya kegiatan paguyuban PKL dibentuk untuk menjalin rasa
kekeluargaan antar pedagang, mempererat hubungan persaudaraan, memperluas
jaringan kerjasama dengan kelompok pedagang lainnya, mempermudah untuk
mendapatkan modal usaha yang didapatkan dari hasil arisan pedagang, memperoleh
hasil keuntungan berdagang meningkat karena dengan berdagang berkelompok
banyak mengundang pembeli di pusat keramaian manapun, jadi dengan adanya
kegiatan paguyuban ini banyak manfaat yang didapatkan oleh pedagang.
Gambar 3.1 Kegiatan Kumpul Bersama di Salah Satu Rumah PKL
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 15 Juni 2017.
Selain itu terdapat juga kegiatan yang biasa dilakukan di luar paguyuban yaitu
kumpul bersama-sama disalah satu rumah anggota paguyuban agar bisa membangun
67
jiwa kekeluargaan yang baik dengan pedagang yang berasal dari daerah yang
berbeda, kegiatan lainnya yang dilakukan paguyuban yaitu pergi rekreasi ke kebun
binatang ragunan atau ke kebun raya bogor untuk sekedar jalan-jalan dan makan
bersama dengan sesama pedagang kaki lima. Hal ini diungkapkan oleh pengurus
paguyuban yaitu Bapak Kosim:
Selain kami mengadakan arisan sama iuran setiap bulannya, dan kami pun sering
mengadakan kumpul-kumpul biasa disalah satu rumah anggota paguyuban, serta kegiatan yang biasanya rutin dilakukan setiap 2 bulan sekali di luar yaitu jalan-jalan
ke kebun binatang ragunan atau kebun raya bogor bersama anggota paguyuban
untuk makan bersama agar hubungan semakin erat satu sama lain. (Wawancara pribadi dengan Bapak Kosim, Citeureup, 15 Juni 2017).
Gambar 3.2 Salah Satu Kegiatan di Luar Paguyuban
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 26 Agustus 2017.
Setiap kegiatan yang diadakan oleh paguyuban memiliki tujuan yang ingin
dicapai, salah satunya agar tidak ada persaingan antara pedagang kaki lima Etnis
Minangkabau dan Etnis Batak khususnya di dalam paguyuban itu sendiri karena
paguyuban dibentuk untuk menyatukan semua PKL yang ada di Pasar Citeureup agar
mereka dapat berdagang dengan nyaman. Seperti yang disampaikan oleh Bapak
Kosim sebagai berikut:
Tidak ada persaiangan antar PKL di sini, karena menurut saya PKL di sini
kekeluargaannya erat hal itu bisa terlihat dari sikap antar PKL yang saling
membantu dalam mmbuka lapak ataupun membereskan barang dagangan mereka. Dan yang penting adalah rasa saling percaya mereka yang sudah dibangun sejak
lama harus tetap dipertahankan oleh pedagang, karena dengan adanya rasa saling
68
percaya dapat membangun rasa saling menghormati, membantu, serta rasa
solidaritas yang tinggi. (Wawancara pribadi dengan Bapak Kosim, Citeureup, 15
Juni 2017).
A.3. Modal Sosial Dalam Keterikatan Norma-norma
Pedagang kaki lima di Pasar Citeureup memiliki aturan-aturan dan tata cara
mereka sendiri dalam menjalankan usaha. Aturan-aturan yang dibangun karena apa
yang dilakukan dalam kelompok masyarakat perlu diatur yang mengikat seluruh
pedagang baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepatuhan pelaku pasar
terhadap norma-norma sosial yang telah disepakati dapat meningkatkan solidaritas
dan mengembangkan kerjasama dengan mengacu pada norma-norma sosial yang
menjadi patokan mereka.
Demikian pula kondisi yang ditemui pada kehidupan PKL di Pasar Citeureup.
Norma-norma tersebut telah mampu mengatur pergaulan hidup, salah satu norma
yang melekat erat pada diri pedagang kaki lima adalah perasaan senasib dan
menghargai sesama. Mereka sama-sama menyadari bagaimana kehidupan PKL dan
suka duka sebagai PKL sehingga timbul kebersaman dan toleransi yang cukup tinggi.
Salah satu bentuk nyata tindakan dari PKL untuk semakin menumbuhkan
perasaan senasib dan menolong sesama adalah adanya iuran bulanan. Iuran bulanan
merupakan kegiatan untuk mengumpulkan uang secara sukarela bagi setiap anggota
paguyuban PKL yang berjualan di lingkungan Pasar Citeureup. Iuran sebesar Rp.
2000,- dikumpulkan setiap satu bulan sekali. Pengumpulan dilakukan bertepatan
dengan pertemuan bulanan paguyuban. Dana iuran yang terkumpul akan
69
dimanfaatkan untuk dana sosial apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh anggota
paguyuban. Seperti diungkapkan Ibu Fatimah:
Iuran itu sukarela, tidak banyak hanya Rp. 2000,- tetapi berkelanjutan setiap
sebulan sekali. Dana tersebut nantinya dipakai kalau ada PKL yang sakit atau kena musibah. (Wawancara pribadi dengan Ibu Fatimah, Citeureup, 20 Juni 2017).
Iuran bisa dikatakan merupakan salah satu kearifan lokal yang bertujuan
untuk membantu sesama. Dengan adanya iuran bisa terlihat adanya kepedulian dan
rasa memiliki antar sesama PKL. Secara berkelanjutan tentu saja berpengaruh pada
hubungan antar PKL dalam kesehariannya, karena adanya kepedulian antar sesama
PKL sehingga kerukunan dan situasi kondusif dapat terjaga.
Ramah, sopan, dan hemat menjadi modal penting dalam menerapkan nilai-
nilai dalam berdagang. Tutur kata yang lebih santun dari kedua etnis membuat
pembeli merasa nyaman jika berbelanja pada pedagang kaki lima yang dilakukan
oleh Etnis Minangkabau. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ambun:
Hubungannya ya baik, ya ramah dan sopan aja kepada pembeli mbak kalau kitanya ramah dan sopan pasti pembeli akan balik lagi dan biasanya nanti jadi sering beli ke
sini. (Wawancara pribadi dengan Bapak Ambun, Citeureup, 20 Juni 2017).
Dalam hal kebersihan, sudah menjadi kesepakatan bersama antara pihak dari
Kecamatan Citeureup dan PKL bahwa pedagang diharuskan untuk menjaga
kebersihan tempat dagangannya, karena merupakan suatu keharusan yang
menyangkut keberlangsungan usaha. Dalam hal ini izin yang diberikan oleh
pemerintah daerah, maka PKL patuh dalam menjalankan peraturan tersebut. Upaya
menjaga kebersihan tidak hanya dilakukan oleh PKL secara individu saja tetapi juga
70
diagendakan secara bersama-sama. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Lasma sebagai
berikut:
Mematuhi aturan yang sudah dibuat, kadang melanggar juga. Tapi kalau sudah ditegur ya nurut. Usaha cari duit sudah susah jangan dibuat susah lagi. Trus jaga
kebersihan, jangan sampai tempat kita biasa dagang kotor. Kalau kotor nanti pasti
ditegur lagi mbak. (Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
Hal ini juga diungkapkan oleh informan lain yaitu Bapak Ambun namun
berbeda dengan informan sebelumnya yang sedikit melanggar aturan yang ada dan
baru mematuhi aturan ketika sudah ditegur oleh pihak kebersihan, Bapak Ambun ini
memilih mematuhi aturan yang sudah disepakati bersama:
Nurut mbak, ngikutin aturan yang ada trus jaga kebersihan intinya itu saja.
(Wawancara pribadi dengan Bapak Ambun, Citeureup, 20 Juni 2017).
Sebenarnya pihak dari pengelola pasar telah menyediakan lahan di dalam
pasar untuk para pedagang kaki lima namun lagi-lagi yang namanya PKL
berjualannya tidak pernah menetap tapi selalu berpindah tempat untuk mencari lokasi
keramaian, pihak dari kecamatan pun tidak pernah melarang para PKL mencari rezeki
namun jangan sampai menggaangu kepentingan yang lain seperti berjualan sampai ke
tengah jalan. Sehingga menimbulkan kemacetan, mereka harus bisa menata dengan
baik lokasi berdagangnya dengan cara mundur ke belakang tidak terus semakin maju
ke depan. Hal ini pun di sampaikan oleh Bapak Asep selaku camat:
Untuk mengatasi PKL tersebut kami lebih memilih penataan bukan penggusuran, bersama Unit Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kecamatan, dan kita tidak
mau menggusur mereka tapi pedagang juga harus tertib dan rapih, sehingga tidak
ada yang merasa dirugikan. (Wawancara pribadi dengan Bapak Asep, Citeureup, 5
September 2017).
71
Tabel 3.1 Ringkasan Temuan Lapangan
Konsep Bentuk Temuan Lapangan
Kepercayaan
(Trust)
Sesama PKL:
Saling tolong
menolong
-Pinjam meminjam berupa
meminjam barang dagangan
atau peminjaman uang
-Menitipkan lapak dagangan
-Merekomendasikan pembeli
Kepada pembeli:
-Kejujuran
-Hubungan Emosional
di antara penjual dan
pembeli
-Pernyataan jujur dari PKL
mengenai kualitas barang
dagangannya
-Keterbukaan informasi yang
didapat
Jaringan
(Network)
-Kekerabatan -Turut menentukan proses menjadi
PKL dan penentuan lokasi
berdagang
-Terbentuknya
Paguyuban
-Adanya jaringan yang kuat serta
kebersamaan antar PKL
-Tersaringnya informasi baik dari
pemerintah /pihak-pihak lain dan
diinfromasikan kepada anggota
secara terorganisir
Norma
(Norm)
-Iuran -Timbulnya kebersamaan dan
toleransi yang cukup tinggi, dengan
adanya iuran bisa terlihat adanya
kepedulian dan rasa memiliki antar
sesama PKL
-Ramah, Sopan dan
Hemat
-Tutur kata yang lebih santun
membuat pemebli merasa nyaman,
dan lapak dengan ukuran yang kecil
-Kedisiplinan terhadap
peraturan daerah
-Mematuhi aturan yang ada
-Menjaga kebersihan tempat
dagangannya
72
B. Implikasi dari Modal Sosial Pedagang Kaki Lima
Melihat tata kota yang kumuh dengan kehadiran PKL Pemerintah Kabupaten
Bogor mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 13 Tahun 2005
Tentang Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam perda tersebut,
tertulis larangan untuk membuat bangunan permanen atau semi permanen untuk
berjualan. Tetapi dalam kenyataannya pedagang kaki lima tetap saja membuat
bangunan semi permanen berupa tenda-tenda dan permanen berupa bangunan warung
lengkap. Hal ini membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor untuk bertindak
melakukan penertiban demi keindahan tata Daerah Kabupaten Bogor.
Saat petugas Satpol PP melakukan penertiban, konflik terjadi antara pedagang
kaki lima dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. PKL berusaha untuk
mempertahankan hak-haknya untuk berdagang demi mencukupi kebutuhan hidup.
Usaha untuk mempertahankan lapak dagangannya selalu berakhir bentrok dengan
petugas Satpol PP. Hal ini membuat ketua preman di jalan Mayor Oking yang juga
pedagang saat itu berpikir untuk menyatukan pedagang dalam satu wadah yakni
paguyuban PKL. Pemikiran ini didukung penuh oleh PKL karena mereka merasa
dengan didirikannya paguyuban dapat sedikit memberikan kita harapan untuk tetap
berdagang.
Adanya kesepakatan bersama dalam pembentukan paguyuban PKL ini juga
didukung karena perasaan senasib sepenanggungan. Disinilah fungsionalisme konflik
menurut Coser yang dapat menimbulkan solidaritas antar individu untuk bersatu
73
dalam satu kelompok yakni paguyuban PKL. Pembentukan paguyuban PKL ini tidak
ada sama sekali intervensi dari pihak manapun. Segala tindakan yang dilakukan
paguyuban PKL murni cerminan dari kepentingan-kepentingan pedagang yang
berusaha diakomodir dalam kebijakan-kebijakan yang dapat menyelamatkan
pedagang dari obrakan.
Keberadaan paguyuban PKL mengelurakan kebijakan strategi dalam
menangani konflik, hal itu terbuktu dengan konflik yang terjadi antara pedagang kaki
lima dengan petugas Satpol PP dapat dikurangi. Kebijakan tersebut berupa adanya
penataan lapak dan jamuan (suap) terhadap petugas Satpol PP. walaupun dengan cara
tersebut hanya memberikan jaminan untuk pedagang berjualan yang sementara dan
tidak permanen karena terhalang adanya Perda. Namun setidaknya dapat sedikit
memberikan kesempatan kepada pedagang untuk berjualan demi memenuhi
kebutuhan hidup.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa implikasi positif yang ada pada
pedagang kaki lima di Pasar Citeureup, terutama dengan adanya paguyuban di antara
pedagang kaki lima. Pertama adalah motif manajemen, dengan adanya paguyuban
PKL diharapkan dapat mengatur keberdaan PKL. Motif manajemen berfungsi ketika
pedagang masih berjualan di jalan raya dan sesudah relokasi ke sentra PKL. Fungsi
manajemen juga diharapkan pada sistem dan struktur yang terdapat di sentra PKL.
Sistem adalah bagaimana pedagang berjualan mulai dari tipe makanan dan penataan
74
lapak dagangan serta tempat duduk pengunjung. Struktur adalah aturan-aturan yang
harus ditaati oleh pedagang seperti pembayaran iuran harian sentra dan iuran.
Kedua adalah dapat menyelesaikan konflik. Dalam kehidupan sosial dapata
dipastikan terdapat konflik sosial yang terjadi pada sesame individu maupun
kelompok. Konflik yang terjadi dalam sentra tidak hanya terkait dengan sesama
pedagang, tetapi konflik juga berasal dari luar. Seperti halnya konflik dengan oknum
DPRD yang hendak menguasai lapak dagangan di sentra. Selain itu, konflik dengan
Dinas Koperasi dan UMKM juga dapat diselesaikan dengan adanya paguyuban PKL.
Ketiga adalah gotong royong dalam membangun sentra juga merupakan motif
tujuan. Keberadaan paguyuban di sentra PKL akan sia-sia ketika tidak diimbangi oleh
peran dari seluruh pedagang yang berjualan di sentra. Gotong royong merupakan
dasar dibentuknya paguyuban PKL. Gotong royong di sini merupakan konsep
kebersamaan dalam usaha membuat sentra PKL bisa lebih maju dan berkembang,
sehingga dapat menghasilkan pundi-pundi laba bagi pedagang.
Pada PKL di Pasar Citeureup juga terdapat implikasi negatif atau
permasalahan yang muncul dengan adanya modal sosial. Modal sosial yang terbentuk
tercemin dari adanya paguyuban PKL, Paguyuban tersebut merupakan bentuk nyata
dari berjalannya modal sosial pada PKL di Pasar Citeureup. Implikasi negatif tersebut
berupa terkucilkannya PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban.
75
Terkucilkan di sini dalam artian kurangnya informasi yang dapat mereka
akses baik informasi terkait modal usaha, berita terkini terkait kegiatan yang
menyangkut PKL, pelatihan serta bantuan dari pemerintah. Modal sosial yang kuat
pada sesama anggota paguyuban membuat sebuah batasan antara PKL yang menjadi
anggota dengan PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban, meskipun dalam
kehidupan sehari-hari hubungan mereka tetap terjalin dengan baik.
Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh PKL yang tidak menjadi anggota
paguyuban. Mereka menilai pengurus paguyuban bukan merupakan orang yang
kompeten dalam bidangnya. Selain itu mereka tidak ingin terikat dengan aturan-
aturan yang dibuat oleh paguyuban, seperti diungkapkan Ibu Lasma:
Saya tidak berminat menjadi anggota paguyuban karena menurut saya pengurusnya gak bisa ngurus paguyuban. Pengurusnya juga dari PKL, pendidikannya juga
rendah. Ya saya tidak percaya saja, apalagi sama-sama nyari duit pasti masing-
masing berusaha mencari keuntungan. Jadi ya sudah, kerja sendiri-sendiri saja. (Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
Ketika ditanyakan kepada pengurus paguyuban disampaikan bahwa menjadi
anggota paguyuban bukan suatu kewajiban, setiap PKL berhak untuk memilih
menjadi anggota atau tidak. Hal tersebut pun di jelaskan salah satu pengurus
paguyuban yaitu Bapak Kosim:
Tidak ada paksaan mau jadi anggota ya silahkan gak mau ya gak jadi masalah. Kalau sudah mau jadi anggota paguyuban harus tertib administrasi, kompak dan
mematuhi aturan yang sudah dibuat bersama-sama… (Wawancara pribadi dengan
Bapak Kosim, Citeureup, 15 Juni 2017).
Implikasi negatif muncul ketika PKL yang bukan menjadi anggota paguyuban
kurang mendapatkan infromasi bahkan terkesan menjadi saudara tiri dari PKL yang
76
lain. Hal ini terlihat dari interaksi mereka sehari-hari kurang adanya informasi yang
bisa diperoleh para PKL yang bukan menjadi anggota paguyuban, bahkan terkesan
mereka menjadi pesaing dalam berdagang. Sehingga para PKL yang tidak menjadi
anggota paguyuban harus lebih aktif dalam mencari informasi. Demikian
diungkapkan oleh Ibu Lasma:
Resiko gak jadi anggota paguyuban memang ada. Kadang ketinggalan informasi,
seperti kemaren juga ada bantuan dari pemerintah tapi saya juga gak dapat. (Wawancara pribadi dengan Ibu Lasma, Citeureup, 20 Juni 2017).
77
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan mengenai relasi primordial
sebagai modal soisal yang tumbuh di kalangan pedagang kaki lima di Pasar Citeureup
yang dimanfaatkan dalam mendukung kegiatan usahanya, maka hasil penelitian ini
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, aspek-aspek utama dalam modal sosial yang mengacu pada (trust)
kepercayaan, norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks) yang terlihat
pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Citeureup menunjukkan adanya nilai
modal sosial yang terbentuk dan terjalin diantaranya: (1) modal sosial di kalangan
PKL di Pasar Citeureup memilki model “kerja kolabirasi” antar sesama PKL; (2)
komunitas PKL di Pasar Citeureup memiliki jaringan (networking) bersifat internal
dan eksternal; (3) selanjutnya hubungan pertukaran sosial antar PKL dalam kontek
hubungan ekonomi, ternyata umumnya para PKL sering melakukan pinjam
meminjam antar sesama PKL dan melakukan arisan; (4) faktor penyebab eksisnya
PKL dalam menghadapi krisis disebabkan PKL umumnya memiliki tenaga kerja
lokal dengan pola manajemen kekerabatan.
Kedua, adanya relasi primordial sebagai modal sosial pedagang kaki lima di
Pasar Citeureup tentunya menimbulkan keuntungan, terutama dengan adanya
78
paguyuban di antara pedagang kaki lima diantaranya: (1) dapat mengatur keberadaan
PKL, penataan lapak dagangan serta dapat mentaati aturan-aturan yang ada; (2) dapat
menyelesaikan konflik, baik itu konflik dengan okmun dinas tertentu maupun konflik
antar pedagang kaki lima itu sendiri. Selain ada keuntungan yang didapatkan adapula
kerugian yang dirasakan oleh pedagang kaki lima itu sendiri diantaranya: terkucilnya
PKL yang tidak tergabung dalam paguyuban, dalam artian kurangnya informasi yang
mereka dapat terkait modal usaha maupun kegiatan yang menyangkut PKL.
B. Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian mengenai relasi primordial sebagai
modal sosial pada pedagang kaki lima di Pasar Citeureup Kecamatan Citeureup
Kabupaten Bogor, disarankan sebagai berikut:
1. Perlunya pembenahan sektor informal khususnya PKL di Pasar Citeureup
melalui Dinas/Instansti terkait.
2. Perlunya pembinaan dan pelatihan serta pembukaan akses kredit dengan
sistem kredit yang jelas bagi PKL.
3. Perlunya dibentuk dan difasilitasi organisasi PKL yang bersifat bottom up
untuk mengorganisir mereka.
4. Perlunya campur tangan Pemkab Bogor dalam memodernisasi lokasi, sarana
usaha, dan mempromosikannya ke masyarakat yang lebih kontinyu dan
membuat lokasi binaan sebagai contoh keberpihakan pada mereka.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ahmaddin. 2002. Redesain Jakarta 2020. Jakarta: Kota Press.
Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Mehtoods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.