REKONSTRUKSI MORAL UMAT MENUJU MASYARAKAT IDEAL: KRITIK ATAS FANATISME AGAMA OLEH: HASRUL MAHASISWA INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN (IPTIQ) JAKARTA SELATAN (EMAIL : [email protected])
REKONSTRUKSI MORAL UMAT MENUJU MASYARAKAT IDEAL:
KRITIK ATAS FANATISME AGAMA
OLEH:
HASRUL
MAHASISWA
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN (IPTIQ)
JAKARTA SELATAN
(EMAIL : [email protected])
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
1
2012
ABSTRAKSI
Dinamika kehidupan umat beragama saat ini nampak tercabut dari
pilar-pilarnya. Agama hanya sebatas simbol sosial yang ajaran-ajarannya
disalahgunakan untuk melegitimasi kepentingan-kepantingan individu atau
kelompok. Diambang kehancuran tersebut, perlu upaya rekonstruksi
moral untuk menyelamat generasi masa depan dan harapan terciptanya
kembali masyarakat ideal. Proses rekonstruksi ditandai dengan
perubahan kondisi dari buruk ke baik atau perubahan menuju kondisi
semula. Realisasi tersebut harus diawali dengan merubah kondisi
subyektifnya, yakni sikap mental setiap individu.
Sikap mental pada manusia hakikatnya konstan. Manusia hanya
dituntut untuk melestarikan dan menjaganya. Ketika mentalitas itu
turun, maka saat itulah hilang eksitensinya. Adapun sebaliknya,
pelestarian sikap mental yang menyebabkan prilakunya semakin baik,
maka akan hidup bahagia. Sikap mental ini sangat dipengaruhi oleh
akhlak dan moral seseorang. Inilah sebabnya, kehidupan sosial
masyarakat dalam perspektif akhlak dan moral seperti fungsinya dalam
perspektif akidah. Ini sebuah gambaran yang menunjukkan pentingnya
sebuah sistem masyarakat dalam menciptakan generasi yang memilki
solidaritas tinggi terhadap sesama.
Jelaslah, kehidupan sosial tidak akan terlepas dari dimensi agama.
Pemahaman dan penghayatan akan eksistensi agama dalam masyarakat
akan menentukan masa depan suatu bangsa dan negara. Tindak lanjut
yang harus dibenahi dalam rekonstruksi moral ialah pemahamaan dan
pemaknaan ajaran-ajaran agama dalam ruang lingkup masyarakat dan
bangsa agar dapat menghilangkan fanatisme agama. Upaya ini
diharapkan terciptanya masyarakat homogen yang ideal.
Keywords : rekonstruksi moral, masyarakat ideal, sikap mental, fanatisme
agama
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
2
2012
PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang memuat beragam
ajaran untuk menghasilakn sikap moral yang benar bagi tindakan
manusia. Tindakan yang benar, baik dalam bidang politik, keagamaan
ataupun sosial dipandang al-Quran sebagai Ibadah. Oleh karena itu,
al-Quran mengutamakan semua penekanan moral dan faktor psikologis
yang melahirkan kerangka berfikir yang benar bagi tindakan.
Selama lebih dari 14 abad yang silam, Islam tumbuh dan
berkembang menjadi sebuah agama dunia yang pemeluknya bisa
ditemukan di segenap penjuru dunia. Dalam proses tersebut, sebuah
tradisi monoteis agung yang memiliki banyak kesamaan dengan agama
Yahudi dan Kristen mengubah kehidupan jutaan pemeluk sepanjang
sejarah. Pergeseran zaman yang secara global semakin menuntut saling
ketergantungan dan kesepahaman adalah hal yang penting sekaligus
diperlukan. Memahami Islam maupun kebangkitan kembali politik dan
masyarakat muslim bukan saja bermanfaat secara keagamaan, tetapi
penting pula secara politik.
Penekanan akhak dan moral dalam sendi ajaran Islam
sebagaimana disebutkan dalam al-Quran menunjukkan akan eksitensinya
yang sangat signifikan. Peranann moral akan menjadi tolak ukur
pemahaman agama seseorang terhadap realisasinya dalam kehidupan.
Itulah sebabnya, sebuah kehancuran umat dalam suatu bangsa selalu
diawali dengan penyelewengan dan kebejatan moral. Allah tidak akan
mengazab suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang memenuhi syarat
terjadinya sebuah bencana. Ulasan ini dalam al-Quran disebut sebagai
Kitab Ma’lum.
Prinsip diatas menjadi landasan utama uraian berikut dalam
menelaah sebuah konstruksi moral umat menuju masyarakat ideal. Dalam
analisa judul tersebut mengantarkan sebuah kesimpulan bahwa agama
adalah pondasinya yang menafikkan fanatisme agama.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
3
2012
METODE PENELITIAN
Penulisan ini bersifat kepustakaan murni atau library research.
Artinya data-data yang digunakan berasal dari sumber kepustakaan baik
primer maupun sekunder, baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, majalah
dan lain sebagainya. Metode yang digunakan ialah deskriftif sintesis.
Deskriftif ialah memberikan gambaran mengenai keadan sosial dalam
kajian moral dalam masyarakat yang bersumber dari al-Quran dan
beberapa analisa atas kebudayaan, psikologi dan sosial itu sendiri. Dalam
hal ini, penulis berusaha memberikan penjelasan dan penggambaran
mengenai hubungan signifikan antara moral dan kelangsungan
masyarakat. Sintesis adalah suatu usaha mencari kesatuan dalam
keragaman atau mencari titik temu antara dan nilai-nilai moral dalam
relasinya denga masyarakat.
Selain itu, penelitian ini mengarah dalam hubungan Kausal-
komparatif yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan
sebab-akibat, tetapi tidak dengan jalan eksperimen melainkan dilakukan
dengan pengamatan terhadap data yang diduga menjadi penyebab yaitu
eksistensi moral akan menentukan keberlangsungan suatu masyarakat
yang ideal. Bersaman dengan itu, moral dan masyarakat ideal akan
menafikan paham fanatisme agama.
HASIL PENELITIAN
1. Moral merupakan pilar utama dalam memelihara stabilitas dan
eksistensi masyarakat, bangsa dan negara;
2. Islam adalah pandangan hidup yang total dan lengkap; oleh karena itu,
agama integral dengan politik, sosial, budaya, hukum, masyarakat dan
sendi-sendi kehidupan lainnya;
3. Kehidupan Moral dan masyarakat ideal yang taat akan menafikkan
paham fanatisme agama.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
4
2012
A. EKSISTENSI MORAL DAN UMAT
Moral atau akhlak adalah bagian original dari ajaran agama yang
turut menentukan warna masyarakat. Pembinaan sikap dan tindakan
merupakan hal yang diperlukan untuk menata masyarakat yang bermoral.
Keseluruhan aspek manusia menjadi titik berat pembinaan itu, baik lahir
batin, perbuatan kecil dan besar, maupun pribadi dan komunal.
Pembinaan yang sistematik dan terus menerus harus ditempuh agar
sosialisasi sikap dan tindakan dapat menjadi sebuah kebutuhan dalam
masyarakat.
Perbedaan-perbedaan dalam masyarakat adakah suatu
kenyataaan kemanusian yang merupakan cerminan dari terdapatnya
eksistensi yang lebih tinggi. Perbedaan kelompok bangsa maupun suku
dengan berbagai aspeksnya dari warna kulit, bahasa dan budaya
mempunyai peranan untuk bangkitnya interaksi antara berbagai pihak
sehingga terjadilah tukar-menukar informasi.oleh karenanya, meletakkan
perbedaan suku, bangsa warna kulit dan bahasa sebagai faktor-faktor
potensial bagi bangkitnya peropecahan dan konflik dalam sekelompok
masyarakat adalah keputusan yang sangat bertentangan dengan al-
Quran. Islam memandang perbedaan itu sebagai potensi bagi
terjadinya perkenalan dan hubungan-hubungan sosial, bukan
sebaliknya.1
a) Moral dan Masyarakat
Kehidupan sosial masyarakat dalam perspektif akhlak dan moral
seperti fungsinya dalam perspektif akidah, pemahaman, dan syiar-syiar
ritual lainnya. Ini menunjukkan peranan penting sebuah sistem
masyarakat dalam menciptakan generasi yang memilki solidaritas tinggi
terhadap sesama. Menurut Yusuf Qardhawy, masyarakat dalam kaitannya
dengan moral berperan dalam tiga aspek,2 yaitu:
1) Aspek pengarahan, aspek ini berperan dalam mengatur sisi
penerbitan, propaganda dan berbagai media penerangan (informasi)
dan percerdasan serta berbagai media dakwah dan penyuluhan;
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
5
2012
2) Aspek pemantapan, sisi ini berjalan melalui pengajaran jangka
panjang pendidikan yang berakar mendalam pada lingkup keluarga,
sekolah dan universitas;
3) Aspek perlindungan; aspek ini berjalan melalui kontrol kritis berupa
opini umum masyarakat dengan memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran, anti terhadap tindak penyelewengan dan
membersihkan iklim masyarakat dari polusi moral.
Melalui optimalisasi fungsi masyarakat yang terdiri dari aspek
pengarahan, pemantapan dan perlindungan, maka akan tercipta
kehidupan yang bermoral, yaitu kehidupan yang dijalankan bukan atas
kepentingan materi, tendensi politis, dominasi golongan lemah dan
pertimbangan militer belaka. Maka dalam masyarakat ini, tidak ada
dikotomi antara ilmu dan moral, seni dan moral, ekonomi dan moral, politik
dan moral, perang dan moral. Oleh karena itu, moral atau akhlak
merupakan unsur dominan yang menguasai semua urusan kehidupan dan
prilakunya, kecil dan besarnya maupun individual dan komunitasnya.
b) Umat dan Bangsa
Kehidupan sosial juga tidak akan terlepas dari dimensi agama.
Pemahaman dan penghayatan akan eksistensi agama dalam masyarakat
akan menentukan masa depan suatu bangsa dan negara. Kehidupan
umat dengan moral yang baik dalam suatu bangsa dan negara akan
mengantarkan masyarakatnya kepada kehidupan yang tentram dan
sejahtera. Sebaliknya, kehidupan umat dengan moral yang bejat, akan
mengantarkan masyarakatnya pada jurang kehancuran.
Term umat mencakup pengertian masyarakat dan lebih luas
maknanya. Menurut Ali Syari’ati, kata umat yang berasal dari kata amma
(bermaksud) dan azimah (berkeinginan kuat) mengandung tiga hal, yaitu
gerakan, tujuan dan ketetapan hati yang sadar. Sepanjang kata tersebut
mengandung arti “kemajuan” maka di dalamnya terkandung empat arti,
yaitu usaha, gerakan, kamajuan dan tujuan. Dengan demikian,
kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang dilalui tercakup
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
6
2012
pula dalam istilah umat. jadi, pengikat paling penting yang
mempersatukan individu-individu adalah jalan yang dilalui. Atau dengan
kata lain, umat adalah himpunan manusia yang seluruh anggotanya
secara bersama menuju satu arah, bahu membahu dan bergerak secara
dinamis di bawah kepemimpinan bersama.3
Kata umat dalam al-Quran sering dirangkaikan dengan kata “ajal”
yang bermakna ajal kolektif. Secara umum, ajal kolektif dapat dipahami
sebagai batas akhir eksistensi komunitas masyarakat bukan individu yang
secara bersama-sama terhimpun dalam kesamaan arah tujuan, visi,
ideologi, tradisi, adat istiadat, periode dan geografis, dalam satu
kepemimpinan, baik terjadinya secara paksa atau kehendak masing-
masing anggotanya. Menurut sayyid Qutb, ajal kolektif atau akhir
eksistensi suatu umat kadang-kadang berupa kehancuran total yang
bersifat indrawi, seperti bencana, gemap bumi, tsunami dan sejenisnya.
Namun akhir eksistensi suatu umat bisa juga bersifat non indrawi. Artinya,
secara lahiriyah tidak mengalami kahancuran secara fisik, tetapi mereka
telah kehilangan eksistensinya seperti kasus orde baru.4
B. PSIKOLOGI KEHIDUPAN MANUSIA
Hidup adalah pemaksaan dan pilihan, dimana hidup terikat dengan
sejumlah peraturan. Hidup harus tunduk dan mengikuti paraturan yang
berlaku. Keterikatan pertama adalah antara diri sendiri dan alam yang
menunutut untuk berinteraksi dengannya agar kehidupan tetap
berlangsung. Orang mengatakan bahwa hidup ini adalah pilihan, tetapi
tidak ada yang mengatakan bahwa semuanya adalah pilihan. Keterikatan
selanjutnya ialah diri sendiri dengan motif bawaan. Motif merupakan
kekuatan penggerak yang membangkitkan aktivitas pada makhluk hidup
termasuk manusia. Motif-motif itulah yang mendorong makhluk hidup
untuk memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan eksistensinya untuk
terus berkembang. Sangat wajar bahwa pemuasaan motif-motif tersebut
merupakan persoalan penting yang dituntut oleh fitrah.5
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
7
2012
a) Pergulatan Motif Manusia
Potensi motif pada manusia tidak selamanya berjalan normal
karena problem internal antar motif itu sendiri. Keadaan semacam ini
merupakan pergulatan antarmotif yang dikenal sebagai pergulatan
psikologis. Al-Quran menggambarkan kondisi pergulatan psikologis yang
diderita oleh banyak individu yang menyikapi iman dengan sikap yang
bimbang dan ragu. Akibatnya, mereka tidak menghadap ke arah
keimanan secara total dan tidak pula menghadap ke arah kekufuran
secara total melainkan berdiri di antara keimanan dan kekufuran dengan
sikap bimbang dan tidak sanggup membuat keputusan final dalam
persoalan tersebut.6 Allah SWT berfirman:
نا قللل للل للل عنهنلللل اع لللأ د الللدلا للل االللهف لللفلال ا اه لللن للل أنللل لل اللقلل لل نلل ئن للعن لل أي لل ل ه ي لل يل لللو س ا لل
ام ي ة)ن هأ ن اس م ن (١٧:نامس
artinya:
Katakanlah: Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah,
sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfa'atan kepada kita dan
tidak pula mendatangkan kemudharatan kepada kita dan apakah kita akan
dikembalikan ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita,
seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang
menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang
memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): Marilah
ikuti kami. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang
sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada
Tuhan semesta alam. (Q.S. al-An’am : 71)
Untuk itulah, berbagai hukum dan perintah al-Quran datang
berkaitan dengan persoalan motif-motif tersebut bersesuai dengan fitrah
manusia. Jadi, hukum-hukum al-Quran mengakui dan mendorong
pemuasaan motif-motif tersebut dalam batas yang diterangkan syariat.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
8
2012
b) Pengendalian Motif Manusia
Al-Quran tidak menyuruh untuk membinasakan motif-motif alamiah,
akan tetapi, al-Quran mendorong untuk mengatur pemuasaan dorongan-
dorongan itu, mengontrol dan mengarahkan motif-motif itu secara benar
dengan memperhatikan kemaslahatan individu dan masyarakat.
Misalanya, al-Quran melarang manusia berlaku dzalim dan bermusuhan
dengan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Bahkan al-Quran
memerintahkan manusia agar bergaul dengan orang-orang secara baik
dan lemah lembut.7 Firman Allah:
ن ه ا لؤ ا االومه س نل ل ع ة خ هل ا دنم هأ ة)و لانسل:٨٥)
artinya:
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Q.S. al-Ahzab : 58)
Al-Quran juga mendorong manusia agar mengendalikan dorongan
pemilkan, al-Quran melarang kikir, menimbun harta kekayaan, riba,
memakan harta orang lain secara batil dan mencuri. Sebaliknya, al-Quran
menyuruh manusia berinfaq, bersedaqah kepada fakir miskin dan
menunaikan zakat. Allah berfirman:
لل ني سلل هف لللب خ لل للن ا آهلل مب لل ف لل لل دلل نللم خل نللم شلل لل ق للسللو مد ب ة ل ة)س مهت ريثها آلس (٧٥٠: م
artinya:
Dan Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. (Q.S. al-Imran : 180)
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
9
2012
c) Arah Pengendalian Motif Manusia
Pengekangan motif pada manusia diarahkan untuk
mengendaliakan hawa nafsu dan agar kehidupan sosial dapat terwujud.
Hal ini merupakan kontruksi awal dalam membangun kehidupan
masyarakat yang ideal, yaitu penataan kembali sisi dalam pada manusia
agar dapat tunduk dan patuh dibawah satu kepemimpinan. Dari sudut
pandang ini, kehidupan masyarakat diarahkan lebih elastis dalam setiap
problematikan kehidupan. Rasa persamaan dan persatuan akan
terbangun yang saling mengokohkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan.
Kerangka inilah yang menjamin keharmonisan kehidupan antar sesama
dan antar umat beragama.
Jika kita bayangkan bahwa setiap individu berdiri sendiri, tidak
terikat dengan sebuh sistem, maka jelas keharmonisan mustahil tercipta
bahkan tidak mungkin terbentuk masyarakat yang syarat dengan nilai
kebersamaan. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa keluarga adalah sel
terkecil dari masyarakat. Eksistensinya merupakan cerminan sebuh
masyarakat, dan masyarakat tunduk pada sebuah pemerintahan yang kita
kenal dengan bangsa atau negara.8 Dalam pandangan al-Farabi dan
filosof yang mengikutinya, keharmonisan sosial adalah sesuatu yang
ideal. Keadaan itu terdapat pada negara yang penduduknya berada dalam
bimbingan penguasa yang bijaksana yang dapat membawa mereka pada
kerja sama yang sempurna.9 Salah satu bentuk kerja sama itu ialah usaha
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Firman Allah SWT:
ك كل ا د أ م أنل امون ا مةغري هت قل و م لغري س (٨٣:نل)د أنل
artinya:
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan merubah ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu
kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri,
(Q.S. al-Anfal : 53)
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
10
2012
C. KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT
Abad kedua puluh yang lalu telah digambarkan sebagai era
migrasi. Sejumlah besar orang telah melintasi perbatasan, menjadikan
setiap daerah benar-benar polietnis dalam komposisinya. Abad itu
dinyatakan pula sebagai abad nasionalisme karena semakin banyak
kelompok bangsa di seluruh dunia mengerahkan dan menyatakan
identitas mereka. Akibatnya aturan-aturan kehidupan politik yang sudah
mapan di banyak negara ditantang oleh politik perbedaan kebudayaan
baru.10 Gambaran sosial tersebut semakin kompleks dan rumit. Ini
menunjukkan arus globalisasi dan perkembangan zaman dapat
menghembuskan nilai-nilai baru pada stabilitas sosial yang telah mapan.
Dampak ini tidak bisa dihindari melainkan melakukan proses integrasi
melalui proses yang selektif.
Penajaman sekat-sekat sosial dalam masyarakat merupakan salah
satu akibat modernisasi. Dalam perkembangan lain terjadi proses
kristalisasi sekat-sekat kultural yang biasanya sangat mewarnai
hubungan-hubungan sosial. Dalam situasi seperti ini, kita berharap
norma-norma yang ada untuk ditingkatkan agar dapat meminimalisir
konflik-konflik kultural serta kesenjangan sosial lainnya.11 Semua sistem
nasional di dunia kini cenderung kehilangan identitas dan wawasan
kebangsaan pun mengalami masalah eksistensi. problematika ini juga
tidak lupuk di Indonesia yang banyak terpengaruh melalui arus komunikasi
dan informasi.
Negara-negara barat memahami bahwa kenyakinan-kenyakinan
agama dan nilai-nilai nasionalisme setiap bangsa merupakan identitas
bangsa, seperti Indonesia. Kita masih kurang menyadari bahwa nilai-nilai
tersebut berperan sebagai unsur penguat bentuk perlawanan dalam
menghadapi serangan dan budaya dan ekonomi dari barat. Karena itu,
negara-negara adidaya telah melakukan berbagai upaya untuk merusak
nilai-nilai keagamaan dengan serangan propaganda yang sangat halus.
Dampak ini akan berpengaruh kepada sistemik dalam kehidupan sosial.12
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
11
2012
a) Interaksi antar Kelompok
Interaksi antara kaum muslimin dengan kelompok lainnya baik yang
berada dalam wilayah kekuasaan kuam muslimin atau yang berada di
luar batas kekuasaan berporos pada prinsip-prinsip penghargaan
terhadap kemerdekaan dan dihormatinya hak hidup manusia. Asas ini
mendasari segala bentuk perhubungan serta merupakan patokan bagi
lankah-langkah apabila terjadi permasalahan di dalamnya.13
Pada hakikatnya Islam menghendaki kedamaian di antara umat
manusia sebgai penghargaan terhadap free will manusia. Allah melarang
Rasulullah untuk melakukan pemaksaan terhadap kemerdekaan orang
lain. Firman Allah:
ل ف ن ل ل قلل هلبللي لل لن عش ل فملن غلل ن د و للوت ك د للا هللؤ سللكفل ل م س ثل د ا هة (٦٨٢:ب ة)نن صمف
artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. (Q.S. al-Baqarah : 256)
Ayat di atas meligitimasi bahwa pendirian seorang terhadap
kenyakinan agamanya dihargai bahkan ibadahnya pun di akui.
Persaudaraan dibina dalam masyarakat sebenarnya berdiri pada tali
keimanan. Oleh karena itu, berbagai teror dan tindakan anarkis atas umat
lain atas nama agama justru sebuh perbuatan yang tidak mencerminkan
nilai-nilai iman. Permasalahan ini sepele namun memiliki dampak yang
sangat besar dalam kelangsungan kehidupan umat. Perspektif ini perlu
diluruskan agar tidak terwariskan pada generasi depan untuk
mempersiapkan terciptanya masyarakat yang yang lebih baik. Islam tidak
mengenal perpecahan dan peperangan yang disebabkan masalah ras,
suku, warna kulit, bahasa, adat dan juga agama.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
12
2012
b) Egalitarian, Utilitarian atau Libertarian
Sikap arus utama dalam berkehidupan masyarakat bisa
mengutamakan persamaan, manfaat atau kebebasan. Sesuai analisa
moral diatas, sikap kita dalam masyarakat semestinya egalitarian. Sikap
egalitarian berakar pada kenyakinan bahwa semua manusia ¾ intra dan
antar generasi dan ¾ sama sama terikat dalam kontrak sosial yang
menetapkan bahwa semua orang harus diperlakukan sama secara moral.
Hal ini cukup beralasan karena setipa orang memiliki dua sifat esensial
pribadi moral, yaitu kemampuan untuk merasakan ada atau tiadanya
keadilan dan kenyataan bahwa sebagai perseorangan dan masyarakat
kebangsaan tidak cukup, malainkan saling tergantung dalam pola-pola
kerja sama sosial tertentu.14
Adapun utilitarian tidak membenarkan perlakuan dan pemberian
kesempatan yang sama kepada semua orang. Panganut utilitarianisme
memang tidak menginginkan sejumah besar diantara kaum miskin
dawasa ini mati kelaparan. Mereka juga menganggap tidak baik kalau
generasi sekarang menyegsarakan generasi-generasi mendatang dengan
ulah generasi sekarang. Adapun libertarianisme tidak mengutamakan
persamaan sebab yang dipentingkan adalah hak perseorangan. Sering
kepentingan perseorangan dari elite penguasa yang berKKN dan
pengusaha kaya raya dikemas sebagai kepentingan publik, dan
dipaksakan dengan menggususr kaum marginal secera legal.15
c) Bentuk Konflik Sosial
Konsep tentang masyarakat merujuk pada semua metodologi dan
problematika yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial, politik, dan humaniora
saat ini. Bidang-bidang keilmuan tersebut menunjukkan luasnya muatan
akan term masyarakat yang menuntut analisa dan pandangan yang lebih
cermat dan teliti dalam merespon problematika kehidupan. Sisi ini akan
selalu diwarnai dengan eksistensi masyarakat sebagai subjek utama.
Masyarakat dibawah komando pemerintahan akan menghadapi dualisme
bentuk pemerintahan, yaitu antara kebebasan dan pemaksaan.16
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
13
2012
Ragam bentuk pemerintahan, baik sistem demokrasi maupun sitem
diktator, akan salalu nampak jurang pemisah antara kaya dan miskin, elit
dan golongan bawah serta sekat-sekat sosial lainnya. Berhubungan
dengan ini, filosof beranggapan bahwa konflik masyarakat elit dan
masyarakat biasa merupakan hal yang alamiah. Dalam sitem
perundangan, Plato juga berpandanagan akan fundamental antara
penguasa dan yang dikuasai serta menggambarkan ketegangan yang
alamiah dab permanen di antara mereka. Dia juga menganjurkan untuk
menghindari keadaan ekstrem terlalu kaya atau terlalu miskin sebab hal
ini akan mengundang permusuhan di antara manusia.17
Bentuk konflik lainnya yang sering timbul dalam masyarakat ialah
karena perbedaan status dan posisi, latar belakang dan minat intelektual
dan budaya serta kecenderungan politik. Bahkan telah diperdebatkan juga
bahwa banyak orang arab monnoteis yang ikut serta dalam penaklukan
pada masa lampau yang dimotivasi oleh orientasi egaliter yang berasal
dari kenyakinana mereka. Mereka berharap agar keegaliteran itu
diterapkan baik di bidang agama maupun kemasyarakatan. Harapan-
harapan ini meninggalakn bekas pada literatur yang ada pada abad
pertama dan pertengahan awal abad kedua. Sebagian diantarannya berisi
desakan akan adanya kesetaran sosial di kalangan orang beriman yang
dikaitkan dengan Umar dan Ali. Sedangkan yang lain berisi usaha-usaha
agar gagasan keegaliteran memiliki implikasi sosial.18
Dalam kehidupan maodern saat ini, kehidupan sosial semakin
bergeser eksistensinya dan semakin kompleks sehingga membutuhkan
sebuah starategi intelektual dalam meminamilisir faktor konflik berlatar
agama dalam masyarakat. Langkah ini menuntut kehatian agar
pandangan ortodoks dapat dimaknai dengan adil dan obyektif. Lebih jauh,
setiap kelompok berkompetisi dengan kelompok lain, baik untuk
memperluas lingkungan dominasinya atau sekedar mempertahankan
eksistensinya.19 Dalam kerangka inilah, bentuk saling menyalahkan dan
egoisme muncul yang berujung pada fanatisme buta.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
14
2012
D. TENDENSI AGAMA DAN IDEOLOGI DALAM SOSIAL
KEMASYARAKATAN
Agama adalah sistem kepercayaan, kenyakinan dan pengetahuan
yang sampai kini masih mendominasi dan mengatur keberadaan banyak
masyarakat. Khususnya Islam, kenyataan tersebut menjadi sangat penting
karena berbagai gerakan revollusioner yang dikenal luas dan
diasosiasikan dengan Islam menimbulkan berbagai pristiwa menakjubkan
yang semuanya mengatasnamakan Tuhan dan ajaran-Nya.20
Dewasa ini, sebagian kelompok sosial berpandangan bahwa
ideologi sebagai sebuah visi konseptual diklaim dapat melindungi identitas
mereka dan pada akhirnya memperluas pada kelompok lain. Tentu saja
merupakan suatu hal yang tak dapat dihindarkan bahwa agama
dimanipulasi oleh banyak kelompok sosial yang kemudian
mentransformasikannya kedalam bentuk ideologi. Kita haru meluruskan
pandangan ini karena Agama merupakan suatu perspektif terbuka yang
memungkinkan munculnya makna-makna dan aktualisasi eksistensi dan
ko-eksistensi manusia. Adapun ideologi hanya terbatas pada kondisi-
kondisi serta tujuan-tujuan budaya, ekonomi dan politik yang sulit.
Agama dan ideologi mempunyai fungsi yang sama, tetapi keduanya
memainkan perangakat yang berbeda dan membuka jalan yang juga
berbeda. Keduanya mempunyai tatanan imajiner dan tatanan nyata
masyarakat, keduanya menimbulkan harapan, baik skala individual
maupun kelompok dan memberikan dukungan imajiner pada tatanan etnis
dan politis. Namun, pada sisi lain Agama merujuk pada sesuatu yang
sifatnya transenden dan memperkuat momentum mistik menuju yang
absolut. Adapun ideologi, mengarah pada suatu bentuk tatanan praktis
dan terbatas yang di idealkan oleh suatu kelompok saja. Menurut
pernyataan tersebut, Agama tidak bisa hanya dipertentangkan dengan
sekularisasi sebagaimana yang sering dilakukan dalam tradisi keilmuan
barat. Kita menyadari kehidupan masyarakat muslim belum sepenuhnya
menjawab dinamika itu sehingga masih mennjadi hambatan besar untuk
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
15
2012
bergerak menuju rasionalitas baru. Kesabaran, keteguhan dan waktu
dibutuhkan untuk menerobos batu karang yang tidak bisa dihindari yang
diwarisi dari masa lalu dan rintangan-rintangan baru yang diciptakan oleh
tata politik dan ekonomi modern. Kita semua menghadapi tantangan yang
sama dan harus menentukan sutu jalan untuk memperkenalkan sebuah
praktik simbolik dan semantik baru yang dibutuhkan pada abad ke-21.21
Salah satu soslusinya ialah rekonstruksi kembali ajaran-ajaran agama
dalam perspektif sosial kemasyarakatan.
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam
ternyata menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan
ibadah. Ia menyimpulkan empat hal dalam al-Quran tentang kepedulian
terhadap masalah sosial. Pertama, al-Quran dan kitab-kitab hadis,
proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial; kedua, dalam kenyataan
bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan); ketiga, bila ibadah mengandung segi kemasyarakatan diberi
ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan; keempat,
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar
pantangan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.22
Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini Masjid,
tempat mengabdi kepada Allah. Konsekuensi pandangan diatas tentunya
tidak melupakan sisi luar sosial Islam dalam menjalin kerukunan umat
beragama. Merujuk pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 (kemerdekaan
agama), kita menyaksikan meluasnya diversifikasi kegiatan lembaga-
lembaga agama hingga menjangkau banyak bidang, tak terkecuali bidang
politik dan sosial itu sendiri.23 Kondisi seperti ini secara tidak langsung
melibatkan peranan negara atau bangsa pada satu sisi. Melihat
perkembangan yang ada, justru menunjukkan kontradisksi antara realita
dan konteks. Meluasnya budaya kekerasan, kolusi, korupsi, kriminalitas
dimana-mana dan lebih ironisnya disertai kemerosotan mental dan
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
16
2012
spritual. Kesalahan sepenuhnya terletak pada pribadi masing-masing
yang memberi dampak gagalnya sistem menanggapi realita yang ada. Ini
adalah salah satu tawaran untuk merekonstruksi moral umat untuk
menciptakan masyarakat yang ideal. Pertimbangannya bahwa perubahan
sistem tidaklah menjamin perbaikan yang signifikan karena sistem
hanyalah sebuah kendali yang monoton.
Pencapaian utama dalam rekonstruksi moral umat adalah
perubahan kondisi dari buruk ke baik atau perubahan menuju kondisi
semula. Realisasi tersebut harus diawali dengan merubah kondisi
subyektifnya, yakni sikap mental. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
ekonomi yang kuat akan menjadi salah satu faktor terjadinya perubahan.
Hanya saja, menurut mazheruddin didasarkan pada Surah Saba ayat 37,
bahwa kebutaan spritual biasanya akan tersebar luas dikalangan mereka
yang memiliki kekuasaan materi dan politik untuk jangka waktu yang
cukup lama. Demikian ini karena kekuatan spritual dan moral tidak dapat
diukur melalui statistik kekayaan dan, jumlah penduduk atau kesenangan
dan fasilitas yang mereka nikmati. Argumen ini secara jelas digambarkan
oleh al-Quran melalui kisah Qarun yang membuktikan bahwa kekayaan
tampa disertai kekuatan spritual, sikap rendah hati dan rasa tanggung
jawab kepada Allah, justru menuntun sesorang kapada jurang
kehancuran.24
Proses pelembagaan prilaku keagamaan melalaui mazhab-mazhab
sebgaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara
lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi
sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun
masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi, ketika tradisi
agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa
jadi spirit agama yang paling hanif lalu terkubur oleh simbol-simbol yang
diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada taraf
ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan menyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
17
2012
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Sikap eksklusufisme teologis dalam memandang perbedaan dan
pluralitas agama tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga
merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya
mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat
hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa. Inilah yang
selanjutnya dapat dijadikan landasan untuk membangun konsep
toleransi dalam beragama.
Dalam hubungan ini menarik sekali apa yang dikatakan M. Qurais
Shihab. Menurutnya bahwa dengan menggali ajaran-ajaran agama,
meninggalkan fanatisme buta serta berpijak pada kenyataan, jalan akan
dapar dirumuskan. Bukankah agama-agama monoteisme dengan ajaran
ketuhanan Yang Maha Esa pada hakikatnya menganut universalisme.
Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan manusia. Pandangan ini
merupakan modal besar. Disamping itu, diyakini secara sempurana
oleh setiap penganut Agama bahwa Tuhan yang merupakan
sumber ajaran agama, tidak membutuhkan pengabdian manusia.
Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah dan mengurangi
kesempurnaan-Nya.
Dengan demikian, karakteristik ajaran Islam dalam visi
keagamaanya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakandan saling
menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur
kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.
Kita harapkan dengan memaknai nilai-nilai ajaran agama dapat
memberikan warna dalam tindakan kita. Sebab inilah buah yang dapat
dipetik dalam menjalankan agama serta dapat mengangkat marbat
manusia. Beragama tanpa disertai tindakan lanjut yang real adalah
hampa. Progresif kita ke depan dengan modal moralitas yang terpuji
diharapkan terciptanya komunitas yang homogen sebagai langkah awal
menuju masyarakat yang ideal.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
18
2012
DAFTAR PUSTAKA
Allam, A. Khalid, dkk. (2005). Al-Quran dalam Keseimbangan Alam
dan Kehidupan, Jakarta: Gema Insani.
Arkoun, Muhammed. (2001). Islam Kontemporer: Menuju Dialog
antar Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hakim, A Husnul. (2011). Mengintip Takdir Ilahi: Mengungkap
makna sunnatullah dalam al-Quran, Depok: Lingkar Studi al-Quran ()
Kimlicka, Will. (2002). Kewargaan Multikultural, Jakarta:Pustaka
LP3ES
Marlow, Louise. (1999). Masyarakat Egaliter: Visi Islam, Bandung:
Mizan.
Muis, Andi Andul. (2001). Komunikasi Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Najati, M. Utsman. (2005). Psikologi dalam Al-Quran, Bandung: CV
Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. (2009). Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT
RawaGrafindo Press.
Qardhawy, Yusuf. (1999). Anatomi Masyarakat Islam, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar.
Saefuddin, AM. (2010). Islamisasi Sains dan Kampus, Jakarta: PT
PPA Consultans
Syaefuddin, AM. (1987). Wawasan Kebudayaan Islam dalam
Mewujudkan Tata Sosial yang Maju, dalam “Perspektif Islam dalam
Pembangunan Bangsa”, Yogyakarta: PL2PM.
Wiladjo, Liek, dkk. (2006). Ilmu, Etika dan agama: Menyingkap
Tabir Alam dan Manusia, Yogyakarta: CRCS.
Rekonstruksi Moral Umat Menuju Masyarakat Ideal: Kritik atas Fanatisme Agama
19
2012
ENDNOTE
1 AM. Syaefuddin 1987, h. 138 2 Yusuf Qardhawy 1999, h. 91-92 3 A. Khusnul Hakim 2011, h. 89-90 4 A. Khusnul Hakim, h. 90 5 M. Utsman Najati 2005, h. 23 6 M. Utsman Najati, h. 69 7 M. Utsman Najati, h. 84 8 A. Khalid Adam, dkk 2005, h. 223 9 Louise Marlow 1999, h. 73 10 Will Kymlicka 2002, h. 293 11 Andi Abdul Muis 2001, h. 159 12 AM. Syaefuddin 2010, h. 138-139 13 AM. Syaefuddin 1987, h. 143 14 Liek Wilardjo 2006, h. 248 15 Liek Wilardjo, h. 249-248 16 A. Khalid Adam, dkk, h. 228 17 Louise Marlow, h. 73 18 Louise Marlow, h. 106 19 Muhammed Arkoun 2001, h. 101-102 20 Muhammed Arkoun, h. 99-100 21 Muhammed Arkoun, h. 145 22 Abuddin Nata 2009, h. 2 23 Andi Abdul Muis, h. 297 24 A. Khusnul Hakim, h. 132
SEKIAN