1 Rekomendasi Untuk Draft SRAN HIV & AIDS 2015 – 2019 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional A. Pengantar Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN 2015-2019 Salah satu isu strategis di dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV & AIDS Tahun 2015-2019 (SRAN 2015-2019) yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah isu tentang pentingnya integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Hal ini merupakan isu baru yang membedakan dengan SRAN sebelumnya. Integrasi dalam dokumen SRAN 2015-2019 sangat kuat tampak pada keinginan untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS baik secara vertikal (pusat dan daerah) dan horizontal (lintas sektor dan lintas program) dalam aspek tata kelola, pembiayaan, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan obat dan perlengkapan medik, pengembangan sistem informasi, pengelolaan dan penyediaan layanan kesehatan dan penguatan partisipasi masyarakat. Berbagai bentuk integrasi dalam berbagai aspek tersebut bisa ditemukan pada dokumen Draft SRAN 2015-2019 seperti di bawah ini: (1) Integrasi isu AIDS dengan pembangunan nasional dan daerah pada tingkat strategi dan implementasi. Isu integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasioal dan operasional melalui berbagai inisiatif pokok seperti LKB, PMTS, SUFA, PMTCT. (2) Integrasi perencanaan HIV dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah. Perencanaan menjadi salah satu poin pokok dalam integrasi HIV dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah. (3) Integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, misalnya integrasi HIV di puskesmas menjadi salah satu bentuk dari pendekatan fungsi pada sektor-sektor layanan kesehatan dasar. Contoh lainya, Test HIV dan pengembangan layanan CST untuk fasyankes yang telah dipilih, dikembangkan melalui program LKB, PMTS, PITC dan PMTCT. Bentuk-bentuk integrasi ini menjadi strategi yang dikembangkan untuk implementasi layanan HIV. (4) LKB merupakan bentuk integrasi yang dipilih untuk mencapai pelayanan komprehensif berkesinambungan dengan partisipasi aktif masyarakat. Inisiatif melalui
16
Embed
Rekomendasi Untuk Draft Sran Hiv-Aids 20152019 Komisi Penanggulangan Aids Nasional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Rekomendasi Untuk Draft SRAN HIV & AIDS 2015 – 2019
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
A. Pengantar
Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN 2015-2019
Salah satu isu strategis di dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV &
AIDS Tahun 2015-2019 (SRAN 2015-2019) yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional adalah isu tentang pentingnya integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS
ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Hal ini merupakan isu baru yang
membedakan dengan SRAN sebelumnya. Integrasi dalam dokumen SRAN 2015-2019 sangat
kuat tampak pada keinginan untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS
baik secara vertikal (pusat dan daerah) dan horizontal (lintas sektor dan lintas program)
dalam aspek tata kelola, pembiayaan, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan obat
dan perlengkapan medik, pengembangan sistem informasi, pengelolaan dan penyediaan
layanan kesehatan dan penguatan partisipasi masyarakat. Berbagai bentuk integrasi dalam
berbagai aspek tersebut bisa ditemukan pada dokumen Draft SRAN 2015-2019 seperti di
bawah ini:
(1) Integrasi isu AIDS dengan pembangunan nasional dan daerah pada tingkat strategi
dan implementasi. Isu integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya
dilakukan dalam strategi nasioal dan operasional melalui berbagai inisiatif pokok
seperti LKB, PMTS, SUFA, PMTCT.
(2) Integrasi perencanaan HIV dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan
sektor lain di dalam anggaran pemerintah. Perencanaan menjadi salah satu poin
pokok dalam integrasi HIV dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah.
(3) Integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, misalnya
integrasi HIV di puskesmas menjadi salah satu bentuk dari pendekatan fungsi pada
sektor-sektor layanan kesehatan dasar. Contoh lainya, Test HIV dan pengembangan
layanan CST untuk fasyankes yang telah dipilih, dikembangkan melalui program LKB,
PMTS, PITC dan PMTCT. Bentuk-bentuk integrasi ini menjadi strategi yang
dikembangkan untuk implementasi layanan HIV.
(4) LKB merupakan bentuk integrasi yang dipilih untuk mencapai pelayanan
komprehensif berkesinambungan dengan partisipasi aktif masyarakat. Inisiatif melalui
2
pengembangan program LKB ke dalam layanan kesehatan dan masyarakat menjadi
kata kunci. LKB merupakan satu bentuk dan tujuan dari integrasi.
(5) Integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke
dalam sistem asuransi sosial. Sistem asuransi sosial menjadi satu terobosan untuk
memberikan perlindungan bagi ODHA termasuk perlindungan kesehatan ODHA
secara berkelanjutan.
(6) Integrasi kebijakan penanggulangan HIV & AIDS pada tingkat provinsi dan
kabupaten untuk menjamin mekanisme layanan HIV terintegrasi dengan layanan
kesehatan di daerah.
(7) Integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostic ke dalam sistem pengadaan
logistic yang ada di setiap level pemerintahan. Misalnya integrasi penyediaan obat
dan perlengkapan diagnosis untuk mendukung program SUFA.
(8) Integrasi informasi yang terkait dengan HIV diterjemahkan dalam SIHA yang
merupakan bagian integral dari monitoring dan evaluasi di dalam SRAN 2015-2019.
Berbagai bentuk integrasi seperti di atas diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya
penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri
semakin berkurang. Demikian pula, pada masa lima tahun terakhir ini upaya untuk
membangun kebijakan yang bersifat lintas sektor dan lintas program juga semakin banyak
dan pendanaan dalam negeri cenderung meningkat. Kebijakan desentralisasi juga menjadi
dasar untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang.
Dalam dokumen SRAN 2015-2019, tujuan dari integrasi adalah sebagai berikut :
(1) Meningkatkan cakupan layanan kesehatan dengan pengembangan inisiatif
pencegahan secara aktif oleh Nakes melalui prosedur LKB, PITC, PMTS, dan PMTCT.
(2) Mengurangi biaya layanan dengan implementasi integrasi layanan dalam sistem
kesehatan dan sistem layanan komunitas.
(3) Meningkatkan keadilan dan aksesibilitas dalam pelayanan kesehatan dan masyarakat
(4) Meningkatkan peran dan tanggungjawab daerah di dalam penanggulangan HIV &
AIDS
(5) Mengurangi stigma dan diskriminasi khususnya di tingkat masyarakat.
3
Secara garis besar upaya integrasi yang tercantum dalam dokumen SRAN 2015-2019
bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, menyediakan perlindungan
finansial bagi mereka yang mengalami situasi kesehatan tersebut dan peka terhadap
perubahan-perubahan kebutuhan kesehatan masyarakat. Diyakini bahwa tujuan tersebut
bisa dimungkinkan terwujud jika berbagai upaya integrasi ke dalam sistem kesehatan ini bisa
berjalan dengan baik.
B. Input Untuk Perbaikan Draft SRAN 2015 – 2019
Perlunya memahami tantangan untuk melakukan integrasi penanggulangan HIV &
AIDS ke dalam sistem kesehatan
Upaya untuk mewujudkan integrasi penanggulangan HIV & AIDS ini tentu saja bukan
sesuatu yang mudah dilakukan karena secara alami permasalahan HIV dan AIDS pada
dasarnya bukan permasalahan kesehatan semata bahkan seringkali dianggap sebagai
permasalahan sosial sehingga upaya untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat
multisektoral dan lintas program seringkali mengalami berbagai hambatan baik di tingkat
nasional maupun daerah. Dalam bagian berikut ini akan disajikan beberapa tantangan
integrasi yang perlu dilihat oleh KPA Nasional agar bisa mengembangkan konsep integrasi
yang kuat di dalam SRAN 2015-2019.
a. Kompleksitas Tata Kelola Upaya Penanggulangan HIV & AIDS
Kelemahan mendasar pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS terlalu bertumpu pada
“pengadaan” kebijakan dan kelembagaan. Studi review yang dilakukan PKMK terkait
sistem, mekanisme dan prosedur pengelolaan upaya penanggulangan HIV & AIDS
memperkuat argumen penekanan pada produksi kebijakan dan kelembagaan sejak
dikeluarkannya mandat PP 36 Tahun 1994 tentang pembentukan kelembagaan KPAN
dan KPAD. Terdapat setidaknya 66 Kebijakan Nasional dan 55 Peraturan Daerah termasuk
Perbub dan Pergub. Fakta ini menunjukkan bahwa tata kelola upaya penanggulangan
HIV & AIDS pada tataran implementasi adalah titik kritis yang perlu dikuatkan.
Selain itu, banyak kebijakan daerah yang diinisiasi oleh kebijakan pusat. Berbagai
kebijakan berupa Permenkokesra, Permenkes, Permendagri dan rencana strategi nasional
semuanya menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat sangat kuat. Kebijakan dan
program penanggulangan HIV & AIDS di daerah yang ada hampir semuanya merupakan
turunan dari program nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama ini
4
program pencegahan HIV & AIDS di Indonesia bersifat vertikal, yang mengakibatkan
persoalan HIV dan AIDS dianggap sebagai persoalan sektoral oleh pemerintah daerah.
Salah satu penyebab dominannya kebijakan pusat, selain anggaran adalah akses
terhadap data. Sebagian besar data yang digunakan sebagai dasar untuk penyusunan
program, dikelola oleh pemerintah pusat sehingga apa yang disebut sebagai ’evidence-
based programming’ sepertinya menjadi hak istimewa pemerintah pusat. Inisiatif
stakeholder daerah dalam banyak kasus tidak kuat dalam penggunaan data sebagai
basisnya, lebih banyak berdasar anekdot dan kasus.Praktek ’top down’ seperti ini terus
berlanjut karena secara teknis mempunyai basis argumen yang kuat, namun banyak kritik
terutama dalam hal kontekstualisasi dengan agenda stakeholder lokal. Pendekatan
vertikal atau yang sifatnya top-down cenderung membawa agenda dan gagasan yang
dianggap ‘luar’ dan jika pelibatan stakeholder lokal kurang, rasa kepemilikan yang akan
berimplikasi pada dukungan sumber daya lokal akan rendah. Risiko lainnya adalah
kesesuaian dengan program dan prioritas daerah.
Fakta lain yang dapat menjadi salah satu tantangan dalam upaya integrasi ini adalah
rujukan pengambilan kebijakan di setiap level pada praktiknya merupakan ‘tarik-menarik
kepentingan’, antara rujukan kepada data teknis/epidemiologis dan pertimbangan politik
ekonomi. Di beberapa kasus pertimbangan politik ekonomi lebih kuat dibandingkan
rujukan kepada data teknis epidemologis sebagai basis utama dalam pengambilan
keputusan. Selain itu, kurangnya koordinasi dan harmonisasi layanan AIDS dengan
layanan kesehatan baik antar program maupun antar jenjang. Tantangan konkrit dalam
implementasi peran KPA dan KPAD dengan pemangku kepentingan lainnya adalah
kelemahan koordinasi dan harmonisasi dalam layanan AIDS dengan layanan kesehatan,
seperti pada implementasi LKB.
Terbatasnya SDM yang dapat menunjang upaya pelaksanaan kebijakan juga menjadi
tantangan kunci dalam implementasi kebijakan dan layanan AIDS. Rasio nakes yang
memiliki kompetensi dalam penanganan layanan masih sangat terbatas.
b. Fragmentasi Aktor/ Sektor dalam Sistem Kesehatan
Selama ini terjadi kontestasi kebijakan, pendekatan dan ketersediaan sumber daya untuk
penanggulangan AIDS dan penyediaan layanan kesehatan lainnya. Dengan demikian,
integrasi masih menjadi permasalahan serius dengan kenyataan tersebut di atas.
5
Selain itu, secara kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS adalah inisiatif pemerintah
pusat yang kemudian mengalami penyesuaian karena adanya kebijakan desentralisasi
pemerintahan di Indonesia mulai 2001. Secara struktural, KPA Provinsi dan
Kabupaten/Kota memang tidak langsung dibawah KPA Nasional, namun dari sisi
program, desain dan agenda program KPA Daerah merupakan refleksi dari kebijakan
program KPAN. Terlebih dengan minimnya dana (yang sebagian besar untuk biaya non-
program) dan terbatasnya sumber daya manusia di tingkat KPA Daerah, kebergantungan
akan program dari KPAN masih besar. Program GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund,
misalnya semakin memperkuat relasi pusat-daerah ini. Beberapa KPA Daerah
menunjukkan respon dan perkembangan tingkat kelembagaan yang berbeda. Di daerah
di mana masyarakat sipilnya aktif, misalnya Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali, KPAnya
daerah cenderung lebih aktif.
Terkait relasi KPAN dengan KPAP/KPAD, sekalipun secara struktural KPAN bukan atasan
KPAP/KPAD, dalam relasi suatu proyek, KPAP/KPAD bisa berperan sebagai lembaga
pelaksana KPAN yang bertindak sebagai pemegang kontrak dengan donor. Akibatnya,
sering Perda yang ada hanya sebagai dokumen kebijakan yang tidak ditindaklanjuti
dengan mekanisme pendanaan yang jelas dan program yang sesuai kondisi daerah.
Perubahan pembagian kekuasaan dan wewenang pusat dan daerah yang tidak diimbangi
dengan pembagian sumber daya yang mencukupi ke daerah, menyebabkan kebijakan
desentralisasi menyisakan banyak permasalahan dalam hal keseimbangan antara
pembagian kekuasaan dan kewenangan yang berkonsekwensi pada isu pembagian
sumber daya yang cukup antara pusat dan daerah.
Hingga kini masih ada kesulitan untuk merubah pola pikir dari ’project oriented’ atau
’budget oriented’ kepada ”performance based-budgeting’ dan ’client oriented’.
Paradigma orientasi proyek ini masih kuat mengakar dalam benak para pengambil
kebijakan. Berakhirnya GF pada 2015 membuktikan para pemangku kepentingan menjadi
‘khawatir’ dan ‘tidak punya inisiatif’ untuk melakukan perubahan-perubahan pengelolaan
dari ’project oriented’ menjadi ’performance based-budgeting’ dan ’client oriented’.
Faktor ini di banyak tempat membuat layanan tidak berjalan, mati suri atau diam di
tempat ketika projek berakhir, kecuali di daerah-daerah yang pemerintah daerahnya
memiliki kepedulian terhadap isu HIV & AIDS.
6
Antar Mitra Pembangunan Internasional (MPI) masing-masing membawa pendekatan
(school of thoughts) yang berbeda, misalnya World Bank menekankan pada
pengembangan kelembagaan dan piloting intervensi Penyakit Menular Seksual,
AusAID/DFAT mendorong kebijakan nasional, keterlibatan unit pemerintah (Puskesmas),
meningkatkan penganggaran HR oleh pemerintah daerah serta memperluas program
HR. USAID melalui program ASA dan SUM menekankan pada Community-based
approach dan menciptakan lingkungan kondusif untuk pelayanan STD dan HIV/AIDS
(kebijakan, bimbingan teknis, peningkatan kapasitas, riset aksi dan surveillance).
Partnership Fund dan GFATM menekankan pada penguatan kelembagaan KPA di
nasional dan sub-nasional (staff, operasional kantor), memastikan intervensi berlangsung
di 141 kota/kabupaten prioritas serta penyediaan ARV.
Upaya ini menunjukan kepedulian dari MPI dalam penanggulangan HIV & AIDS di
Indonesia. Namun implikasi dari pendekatan dan fokus yang berbeda-beda salah satunya
adalah timbulnya fragmentasi dan tidak terintegrasinya program MPI dengan sistem
kesehatan nasional dan sistem kesehatan daerah. Sehingga sebuah program yang
dikembangkan, ketika sudah habis periode pendanaan bias berhenti karena tidak sinkron
dengan kebijakan lokal kecuali program-program yang terintegrasi dengan sistem
kesehatan primer yang langsung berkontribusi pada peningkatan kualitas layanan
maupun SDM.
c. Kompleksitas Mekanisme Pembiayaan Penanggulangan HIV & AIDS
Adanya persaingan anggaran antara program kesehatan lainnya dengan program HIV
dan AIDS. Program AIDS setelah GF dan lembaga donor masuk menjadi dominan dan
cukup menentukan. Ketika proses integrasi penanggulangan AIDS dilakukan ke dalam
sistem kesehatan nasional, persaingan dengan program kesehatan lain tidak bisa
dihindari.
Dominansi pusat atas daerah sangat kuat terkait pilihan pembiayaan penanggulangan
AIDS. Alokasi pembiayaan dari pusat menunjukkan peningkatan signifikan terkait
dengan alokasi untuk layanan AIDS yang mencapai 43 % pada tahun 2013. Banyak
daerah telah mengalokasikan dana APBD tapi untuk program dan layanan masih
terbatas. Komitmen daerah untuk menganggarkan dana APBD untuk sektor kesehatan
7
mengalami peningkatan akan tetapi alokasi untuk program dan layanan AIDS masih
sangat terbatas.
Lahirnya UU BPJS menjadi alternatif baru untuk pembiayaan perawatan, pengobatan dan
dukungan terhadap ODHA walaupun cakupan yang dicover oleh BPJS belum
komprehensif, misalnya; obat ART, test viral load. Selain itu, sistem kapitasi yang
diberlakukan untuk program pencegahan di level layanan primer berpotensi untuk
dijadikan sumber pendanaan program pencegahan HIV/AIDS tergantung pada prioritas
daerah.
Sistem rayonisasi dalam BPJS bisa menghambat ODHA untuk mengakses layanan yang
sesuai kebutuhan di tempat ODHA berada.
d. Masih perlunya penguatan partisipasi masyarakat yang berkelanjutan
Terkait dengan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi, dalam SRAN KPAN 2010-
2014 menjelaskan bahwa dalam konteks HIV dan AIDS, masyarakat sipil berperan dan
mendukung pemerintah dalam upaya penanggulangan AIDS. Terdapat kelompok-
kelompok masyarakat yang telah terorganisasi, antara lain orang yang terinfeksi HIV dan
populasi kunci, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemasyarakatan, tenaga
profesional, organisasi profesi, dan lembaga pendidikan tinggi. Mereka dapat menjadi
penggerak utama dan berperan aktif dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia,
dalam proses perumusan kebijakan, perencanaan dan implementasi setiap program yang
dilakukan, serta monitoring dan evaluasi. Seyogyanya peran masyarakat perlu
ditingkatkan tidak saja sebagai keterwakilan komunitas/lembaga tetapi juga peran aktif
dalam kegiatan perencanaan, implementasi, dan monitoring program penanggulangan
HIV dan AIDS di berbagai level.
Selama ini pilihan layanan kesehatan untuk ODHA masih terbatas. Idealnya masyarakat
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, terjangkau dan tidak
diskriminatif. Terkait dengan layanan kesehatan untuk ODHA, belum semua layanan
kesehatan bisa memenuhi kebutuhan ODHA, seperti layanan ARV terbatas pada layanan
di RS rujukan ARV saja, belum sampai pada layanan kesehatan dasar (Puskesmas). Upaya
masyarakat sipil untuk mendorong ketersediaan layanan ini sudah banyak dilakukan dan
telah direspon oleh pemerintah secara bertahap, seperti upaya membuka layanan MMT
di beberapa layanan kesehatan.
8
C. Rekomendasi untuk Perbaikan Draft SRAN 2015- 2019 terkait dengan Integrasi
Penanggulangan HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan
Catatan awal: rekomendasi yang dipaparkan di bawah ini berfokus pada dua hal. Pertama,
sistematika penulisan terkait dengan integrasi di dalam Draft SRAN. Kedua, bentuk integrasi
yang efektif dan bisa diadopsi sesuai dengan konteks Indonesia. Namun rekomendasi kedua
ini perlu menunggu hasil dari penelitian tahap I : Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS
dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional yang akan selesai pada Desember 2014.
Dalam mengkaji dokumen SRAN 2015-2019, meski upaya integrasi sudah disebutkan
sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS
di masa mendatang tetapi di dalam dokumen tersebut belum bisa ditemukan definisi dan
konsep integrasi ke dalam sistem kesehatan secara tegas. Hal ini penting karena tujuan
dan bentuk integrasi ditentukan oleh definisi dan konsep yang perlu disepakati sebelumnya.
Berbagai bentuk integrasi yang disebutkan dalam dokumen masih terbatas pada ‘gejala-
gejala’ yang diharapkan daripada sebuah konsep yang memiliki dasar yang kuat. Untuk itu,
perlu untuk mengembangkan kejelasan konsep integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS
ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Pengembangan konsep ini penting
karena secara sistematis bisa digunakan untuk memandu operasionalisasi rencana aksi
penanggulangan HIV dan AIDS baik pada tingkat nasional maupun daerah. Meski demikian,
integrasi tidak bisa dipandang sebagai tujuan, melainkan merupakan sarana untuk
mengoptimalkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
Terdapat banyak definisi integrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal1.
Merujuk pada Shigayeva, Atun, McKee dan Coker (2010), definisi integrasi yang lebih sesuai
untuk digunakan di dalam SRAN 2015-2019 adalah: sebuah struktur dan fungsi yang
berhubungan dengan penguatan dan keberlanjutan sistem kesehatan beserta komponen-
komponennya untuk menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, efisien, dan adil.
Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, maka kerangka pikir untuk integrasi ke dalam
1 Lihat: Richard Cooker, et al., A Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of Country case
studies: HIV and TB Control programmes and Health System integration. Health Policy and Planning 2010: 25; 121 – 133, bdk Rifat Atun et al., Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis Health Policy and Planning 2010: 25; 104 -111; A. Conseil S.et al., Integration of health systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 2010 ; 25 suppl1: i32-i36; R. Windisch,D. de Savigny, G.Onadja et al., HIV treatment and reproductive health in the health system in Burkina Faso: Resource allocation and the need for integration. Reproductive Health Matters, 2011:19; 163 -175.
9
sistem kesehatan berbasis pada tujuh komponen; (1) regulasi dan tata kelola; (2)