123 REHABILITASI DAN KONSERVASI TANAH PASCA-ERUPSI GUNUNG MERAPI Abdullah Abas Idjuddin, Deddy Erfandi, Yoyo Soelaeman, Mamat H Suwanda, dan Husein Suganda ABSTRAK Material piroklastik atau tuf-volkanik dari erupsi Gunung Merapi menimbulkan kerusakan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain. Kerusakan yang berdampak berat terhadap lahan pertanian adalah penurunan sifat fisik dan kimia tanah. Materi kasar erupsi mengubah sifat-sifat tanah produktif menjadi tidak subur dan menurunkan produktivitasnya dalam tempo relatif singkat. Sifat fisik material tuf-volkanik pada umumnya bertekstur kasar/pasir, berat volume tanah tinggi, dan kapasitas daya pegang air sangat rendah, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya longsor, terutama pada wilayah berlereng. Lapisan atas dari bahan tuf-volkanik umumnya memiliki unsur dan kapasitas tukar kation sangat rendah. Meskipun kadar P dan K total tanah tergolong tinggi, namun sebagian besar P dan K tanah berada dalam bentuk yang tidak dapat dipertukarkan, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Upaya yang diperlukan untuk perbaikan lahan rusak adalah rehabilitasi dan konservasi tanah, yang mencakup tiga aspek, yaitu: 1) memperbaiki tanah yang telah rusak (didasarkan atas peta-peta tanah – tataguna lahan – bahaya erosi – kapabilitas lahan); 2) melindungi tanah dari kerusakan (didasarkan atas pertanian – konservasi – usahatani konservasi – sistem pengawasan), dan 3) membuat tanah semakin subur (didasarkan atas konservasi tanah – komprehensif - mempercepat tercapainya suksesi alami). Penyuluhan kepada masyarakat akan menginspirasi mereka dalam upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dan perbaikan lingkungan. PENDAHULUAN Pulau Jawa dikategroikan sebagai daerah tektonik aktif, memiliki banyak gunung api aktif, dan bertopografi kasar. Rata-rata ketinggian puncak gunung apinya lebih dari 2.000 m dpl, dengan lebar penampang utara-selatan sekitar 159 km, yang menyebabkan lereng permukaan umumnya relatif kasar. Jalur gunung berapi yang terletak pada bagian tengah merupakan indikataor besarnya lereng permukaan, yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya bencana. Bencana pada kawasan yang berpenduduk padat umumnya akan menimbulkan korban jiwa, harta benda, dan lingkungan. Menurut van Bemmelen (1949), Gunung Merapi sudah sangat aktif sejak tahun 1906, pada saat itu erupsinya mengarah ke selatan. Sejak tahun 1909,
14
Embed
REHABILITASI DAN KONSERVASI TANAH PASCA-ERUPSI GUNUNG …balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku kajian... · Jalur gunung berapi yang terletak pada bagian tengah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
123
REHABILITASI DAN KONSERVASI TANAH PASCA-ERUPSI GUNUNG MERAPI
Abdullah Abas Idjuddin, Deddy Erfandi, Yoyo Soelaeman,
Mamat H Suwanda, dan Husein Suganda
ABSTRAK
Material piroklastik atau tuf-volkanik dari erupsi Gunung Merapi menimbulkan kerusakan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain. Kerusakan yang berdampak berat terhadap lahan pertanian adalah penurunan sifat fisik dan kimia tanah. Materi kasar erupsi mengubah sifat-sifat tanah produktif menjadi tidak subur dan menurunkan produktivitasnya dalam tempo relatif singkat. Sifat fisik material tuf-volkanik pada umumnya bertekstur kasar/pasir, berat volume tanah tinggi, dan kapasitas daya pegang air sangat rendah, sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya longsor, terutama pada wilayah berlereng. Lapisan atas dari bahan tuf-volkanik umumnya memiliki unsur dan kapasitas tukar kation sangat rendah. Meskipun kadar P dan K total tanah tergolong tinggi, namun sebagian besar P dan K tanah berada dalam bentuk yang tidak dapat dipertukarkan, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Upaya yang diperlukan untuk perbaikan lahan rusak adalah rehabilitasi dan konservasi tanah, yang mencakup tiga aspek, yaitu: 1) memperbaiki tanah yang telah rusak (didasarkan atas peta-peta tanah – tataguna lahan – bahaya erosi – kapabilitas lahan); 2) melindungi tanah dari kerusakan (didasarkan atas pertanian – konservasi – usahatani konservasi – sistem pengawasan), dan 3) membuat tanah semakin subur (didasarkan atas konservasi tanah – komprehensif - mempercepat tercapainya suksesi alami). Penyuluhan kepada masyarakat akan menginspirasi mereka dalam upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dan perbaikan lingkungan.
PENDAHULUAN
Pulau Jawa dikategroikan sebagai daerah tektonik aktif, memiliki banyak
gunung api aktif, dan bertopografi kasar. Rata-rata ketinggian puncak gunung
apinya lebih dari 2.000 m dpl, dengan lebar penampang utara-selatan sekitar 159
km, yang menyebabkan lereng permukaan umumnya relatif kasar. Jalur gunung
berapi yang terletak pada bagian tengah merupakan indikataor besarnya lereng
permukaan, yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya bencana.
Bencana pada kawasan yang berpenduduk padat umumnya akan menimbulkan
korban jiwa, harta benda, dan lingkungan.
Menurut van Bemmelen (1949), Gunung Merapi sudah sangat aktif sejak
tahun 1906, pada saat itu erupsinya mengarah ke selatan. Sejak tahun 1909,
Abdullah Abas Idjuddin et al.
124
arah erupsinya berubah ke barat. Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1920,
1930, 1942, 1951, 1962, 1969, dan 1976. Di sebelah timur gunung, sisa-sisa
erupsi membentuk dinding tua, di sebelah utara makin tinggi mencapai 2.500 m,
dan makin ke selatan menurun 1.800 m (Team LPT, 1978). Dinding tua ini
melindungi daerah di bagian timur dari ancaman lahar.
Bencana akibat erupsi Gunung Merapi pada Oktober-November 2010
tidak hanya pada saat terjadinya letusan yang disebabkan oleh aliran lava, lahar
panas, dan awan panas, tetapi ancaman masih terus berlangsung pada tahun-
tahun berikutnya. Bahaya ini antara lain disebabkan oleh adanya sisa-sisa bahan
letusan yang tertumpuk di sekitar puncak gunung, terutama di tempat-tempat
berlereng curam, yang terbawa oleh aliran sungai setelah hujan lebat. Bahan
yang terangkut oleh aliran air hujan terdiri dari pasir, debu, kerikil, dan batu yang
setelah diguyur hujan membentuk suspensi kental (BD 2,50 g/cm). Sebagian
besar daerah yang terkena dampak letusan hingga saat ini masih terbuka atau
gundul (bare land). Bila terjadi hujan lebat dalam waktu lama maka banjir lahar
dapat terjadi.
Untuk mengurangi bahaya lahar dingin di daerah yang masih terbuka
perlu dilakukan upaya rehabilitasi, sementara pada daerah pertanian yang
terpapar endapan volkanik diperlukan usaha konservasi. Makalah ini antara lain
mengemukakan upaya rehabilitasi dan konservasi tanah pada lahan-lahan
terpapar endapan volkanik pasca-erupsi Gunung Merapi. Implementasi teknologi
hasil penelitian dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya rehabilitasi dan
perbaikan produktivitas lahan pertanian. Upaya perbaikan lahan meliputi
rehabilitasi lahan pasir, konservasi untuk perbaikan sifat fisik, kimia, dan kualitas
tanah.
DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI TERHADAP LAHAN
Tanah eks lahar terdiri atas tumpukan abu dari letusan Gunung Merapi.
Abu volkan tersebut terdiri dari bahan vulkan yang belum melapuk sehingga
tergolong abu muda. Abu volkan adalah semua bahan volkan yang lepas yang
terdiri dari pasir, debu, kerikil, dan batu. Mengingat bahan belum melapuk, maka
kandungan liat (clay) sangat rendah (1-3%). Struktur tanah yang buruk, air
tersedia rendah, dan unsur hara tersedia juga rendah merupakan faktor
pembatas bagi vegetasi untuk beradaptasi di wilayah ini. Material piroklastik yang
berasal dari erupsi Gunung Merapi (5 Oktober - 18 November 2010) merupakan
sebaran batuan hasil endapan lahar dan awan panas, yang tersebar luas di
beberapa kabupaten di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Ketebalan dan susunan
Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Pasca Erupsi Gunung Merapi
125
material volkanik beragam, yang ditentukan oleh morfologi kerucut bagian atas,
morfologi lereng, dan morfologi sungai (citra landsat 15 November 2010).
Kerusakan lahan akibat erupsi Gunung Merapi yang berasal dari awan panas
atau yang sering disebut “wedus gembel” dan guguran lahar di beberapa lokasi
nampaknya sangat beragam. Kerusakan lahan pertanian yang lebih dekat dari
puncak Gunung Merapi lebih berat dibandingkan dengan yang lebih jauh.
Namun tingkat kerusakan lahan juga dipengaruhi oleh perubahan aliran lahar
karena dasar sungai yang tertimbun, kelokan sungai, dan tebing sungai rendah.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi antara lain rumah
penduduk dan bangunan lainnya, sumber dan saluran air, dam SABO, tanaman
dan ternak (Tim Badan Litbang Pertanian, 2010).
Lahar panas menyebabkan tertutupnya sumber-sumber air dan rusaknya
saluran air, sehingga mengganggu suplai air ke daerah pertanian dan penduduk
setempat. Kerusakan sumber dan saluran air yang lebih parah terjadi pada
wilayah dengan radius sekitar 13 km dari puncak Gunung Merapi (komunikasi
pribadi dengan BNPB-DIY, 19 November 2010). Rehabilitasi Daerah Aliran
Sungai (DAS) di bagian hulu diperlukan untuk memperbaiki fungsi hidrologis
sungai, selain itu diperlukan pula pengkajian terhadap sumber-sumber air baru
dan perbaikan saluran air yang rusak. Sumber-sumber air yang hilang karena
tertutup abu volkan antara lain terdapat di Sumber Tuk Kaliurang, Kepuharjo,
Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, Srunen, Singlar, Glagah Malam, Ngancar,
Besalen, dan Kecamatan Cangkringan. Saluran air di beberapa sungai antara
lain Kali Boyong di Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik; Kali Kuning di Desa
Berembe, Kecamatan Ngemplak, dan Sungai Krasak mengalami pendangkalan
1-3 m. Pengerukan material volkanik memerlukan waktu yang cepat agar fungsi
hidrologis sungai dan suplai irigasi dapat pulih kembali, dan menekan bahaya
banjir lahar dingin yang berpotensi meluap melalui sungai.
REHABILITASI LAHAR GUNUNG MERAPI
Rehabilitasi adalah upaya pengembangan lahan (land development)
yang bertujuan untuk mengubah lahan yang tidak produktif menjadi tergunakan
(usable). Lahan yang terkena lahar erupsi Gunung Merapi saat ini tidak produktif
karena terbuka/gundul (bare land) dan bila terjadi hujan lebat maka lahar dingin
akan datang mengancam. Dalam hal ini rehabilitasi berarti meningkatkan
ketergunaan lahan (usableness).
Abdullah Abas Idjuddin et al.
126
Tanah Eks Lahar
Tanah-tanah eks lahar merupakan abu volkan (pasir, debu, kerikil, dan
batu) dari erupsi Gunung Merapi. Tanah eks lahar termasuk Regosol kelabu
(Inceptisol), berwarna abu-abu, bertekstur pasir berkerikil, struktur tanahnya butir
tunggal (masif), dan konsistensi lepas atau teguh. Hasil analisis sifat tanah eks
lahar Gunung Merapi tertera pada Tabel 36.
Tabel 36. Sifat fisik dan kimia tanah lahar Gunung Merapi
Sifat Kimia Lahar
Nilai Sifat Fisik Lahar Nilai
pH Bahan Organik - C - N - C/N Dalam HCl 25% - P2O5 - K2O Pelarut Olsen - P2O5 - K2O Kation tukar : Ca me/100 g Mg me/100 g K me/100 g Na me/100 g Adsorpsi Kejenuhan Basa
2 Bw2-2 Bw3) sangat dalam (>200 cm). Tanah berlereng 15-30%, bertekstur pasir
geluhan (loamy sand) yang peka erosi (Puslittanak, 1994). Penggunaan lahan
berupa tegalan dan kebun campuran. Konstruksi teras lahan belum sempurna
sehingga perlu pembenahan dengan menerapkan teknik konservasi secara
benar. Kemempanan teknik konservasi dalam mengendalikan erosi dan
dampaknya terhadap produktivitas lahan dapat diukur dengan metode erosi
menurut Zachar (1982) dan Drajad (2004). Peranan teknik konservasi terhadap
pengendalian erosi dan perbaikan mutu lahan merupakan indikator teknologi
yang berhasil dalam memulihkan produktivitas lahan endapan volkanik.
Peran teknik konservasi vegetatif terhadap laju erosi di Desa Glagaharjo
pada tanah Andic Eutropepts lereng 15-30% pada MH 1995/1996 disajkan pada
Tabel 39.
Abdullah Abas Idjuddin et al.
132
Tabel 39. Pengaruh teknik konservasi terhadap laju erosi pada tanah Andic Eutropepts di Desa Glagaharjo, MH 1995/1996.
No. Teknik Konservasi Vegetatif Erosi (t/ha/th)
1. Satu lajur rumput (raja dan guatemala) 14,57b
2. Satu lajur (rumput raja, guatemala dan gajah) 14,77b
3. Satu lajur (rumput raja, guatemala,gajah) dan gliriside 12,85e
4. Satu lajur (rumput raja, guatemala, gajah) dan Flemingia 11,67d
5. Kontrol 23,76a
Angka selajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji Berjarak Ganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test)
Teknik konservasi secara vegetatif menggunakan satu lajur rumput
(grass strip) raja (Pennisetum purpuroides), rumput guatemala (Tripsacum
laxum), lajur rumput raja, guatemala dan gajah (Pennisetum purpurem) dan
tanaman legum gliside (Gliricidia sepium) mampu menekan erosi hingga 11,67-
14,77 t/ha/th (49-62%) dan berbeda nyata dibanding kontrol 23,76 t/ha/th.
Teknik konservasi vegetatif (rumput raja, guatemala, gajah) yang
dibarengi oleh tanaman legum (glirisida dan flemingia) menunjukkan laju erosi
(11,7-12,9 t/ha/th) lebih kecil dibandingkan dengan hanya lajur rumput (raja,
guatemala, dan gajah) maupun kontrol (Tabel 39). Hal ini disebabkan tajuk kedua
legum (gliriside dan flemingia) dapat mengurangi tenaga kinetik butiran curah
hujan, menambah intersepsi hujan dan akarnya berperan dalam meningkatkan
porositas tanah. Tingkat erosi di Desa Glagaharjo telah mencapai ambang batas
terbolehkan (permissible of soil erosion), yaitu 13,5 t/ha/th (Thompson, 1957) dan
16,8 t/ha/th (Arsyad, 1989).
PENGELOLAAN LAHAN VOLKANIK
Aspek yang diperlukan dalam penyediaan prasarana pengelolaan lahan
endapan volkanik adalah data dasar (database) berupa klasifikasi dan pemetaan
yang terdiri dari a) agrohidrologi (berdasarkan lengas tanah), b) tanah (soil
taxonomy), c) bahaya erosi (kerentanan lahan terhadap erosi), d) kemampuan
lahan (kriteria pembeda kelas yang sesuai dengan biofisik lahan volkanik), dan e)
penggunaan lahan saat ini (ragam penggunaan yang ada di wilayah endapan
volkanik). Proses pengelolaan lahan volkanik tertera pada Gambar 33.
Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Pasca Erupsi Gunung Merapi
133
Gambar 33. Proses pengelolaan lahan volkanik
Tahap awal pengelolaan lahan volkanik adalah membuat sarana kalibrasi
hasil pengelolaan. Sarana ini berupa tataguna lahan yang dibuat berdasarkan
data dasar tersebut. Menurut Jordahl (1984), tataguna lahan adalah proses
pembuatan anjuran mengenai alokasi ruang bagi berbagai kegiatan manusia.
Pengertian ini menonjolkan tataruang. Sebetulnya tataguna lahan mengandung
makna yang lebih luas daripada tata ruang. Pengertian yang lebih sempurna
ialah pembimbingan penggunaan lahan dengan kebijakan dan program tataruang
untuk memperoleh manfaat yang sebaik-baiknya secara sinambung dari
kemampuan yang tersediakan (Notohadiprawiro, 1985; Anonim, 1977). Tataguna
lahan tidak diperuntukkan hanya untuk penggunaan lahan atau masyarakat,
melainkan bagi keduanya secara berimbang. Oleh karena itu, tataguna lahan
merupakan kebijakan yang dapat bergerak dalam batas-batas suatu program.
Dengan tataguna lahan dibuat peta penggunaan lahan anjuran. Peta ini menjadi
pedoman dalam pelaksanaan program tataruang dan sekaligus menjadi acuan
dalam pengelolaan lahan volkanik.
Tatagunalahan
Peta tanah PetaAgrohidrologi
Peta BahayaErosi
Peta penggunaanlahan kini
PetaKemampuan
lahan
PetaPenggunaan
Lahan Anjuran
Masukan:-teknologi
-Ketrampilan- ekonomi-kebijakan
Alternatif caraperbaikan
ketimpangan
Kebijakan dan Program Pengelolaan
Lahan Volkanik
KetimpanganPenggunaanLahan dan
Dampaknya
Sistim Monitoring karakter lahan
volkanik
Tatagunalahan
Peta tanah PetaAgrohidrologi
Peta BahayaErosi
Peta penggunaanlahan kini
PetaKemampuan
lahan
PetaPenggunaan
Lahan Anjuran
Masukan:-teknologi
-Ketrampilan- ekonomi-kebijakan
Alternatif caraperbaikan
ketimpangan
Kebijakan dan Program Pengelolaan
Lahan Volkanik
KetimpanganPenggunaanLahan dan
Dampaknya
Sistim Monitoring karakter lahan
volkanik
Sistim Monitoring karakter lahan
volkanik
Abdullah Abas Idjuddin et al.
134
Tahap kedua adalah membandingkan peta penggunaan lahan saat ini
dengan peta penggunaan lahan anjuran. Dari pembandingan ini diperoleh
pengetahuan tentang: 1) macam dan tingkat ketimpangan penggunaan lahan, 2)
letak dan luas daerah yang mengalami ketimpangan penggunaan lahan, dan 3)
berbagai alternatif cara perbaikan ketimpangan penggunaan lahan beserta
tingkat konsekuensi masing-masing atas tata ruang dan pola penggunaan lahan.
Tahapan ketiga adalah membuat petak-petak pengujian pada lahan yang
representatif. Langkah ini sebagai cara dalam memperbaiki ketimpangan
penggunaan lahan yang menimbulkan konsekuensi berat. Pengujian ini penting
dalam hal konsekuensi perbaikan pola penggunaan lahan, karena menyangkut
sistem usahatani (farming system) maupun kehutanan (forestry), dan
sebagainya. Pengujian mencakup aspek tanah, hidrologi medan, agronomi,
sosial dan ekonomi. Konsekuensi perbaikan tata ruang adalah melibatkan
konversi bentuk dan ragam penggunaan lahan. Hal ini bersifat regional sehingga
harus diselesaikan secara makro.
Penggunaan lahan bersifat dinamik karena lahan merupakan konsep
dinamik dan mengikuti perkembangan teknologi dan lingkungan sosial dan
ekonomi. Oleh karena itu, suatu sistem pemantauan (monitoring system) karakter
lahan yang merupakan hasil interaksi ganda antara kebutuhan dengan
kecakapan manusia dan sumberdaya serta kendala alam sangat diperlukan.
Sistem ini terdiri atas stasiun pengamatan erosi, longsoran, hidrologi, dan
agrometeorologi. Stasiun didirikan di tempat-tempat yang pencatatannya
menjangkau kelerengan lahan yang ditempati oleh ragam penggunaan lahan
utama, yaitu a) hutan, b) tegalan, c) perkebunan, d) perumputan pakan, e)
sawah, dan f) pemukiman pedesaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Material piroklastik/eks lahar/abu volkan dari erupsi Gunung Merapi (Oktober-November 2010) menurunkan produktivitas lahan pertanian dalam waktu singkat, namun dalam jangka panjang meningkatkan tingkat produktivitasnya.
2. Sifat-sifat fisik material abu volkanik umumnya bertekstur pasir, BV relatif tinggi, dan daya pegang air sangat rendah yang menyebabkan potensial bahaya longsor cukup besar, terutama pada kawasan berlereng dan erosivitas hujan tinggi. Kadar unsur hara dan kapasitas tukar kation sangat rendah yang menyebabkan daya adsorpsi pupuk/hara rendah sehingga tanaman relatif lambat beradaptasi.
Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Pasca Erupsi Gunung Merapi
135
3. Usaha rehabilitasi eks lahar Gunung Merapi dengan memperhatikan faktor pembatas tanah, curah hujan (energi kinetik tinggi) dan peran vegetasi Flemingia congesta penutup tanah dapat menstabilkan tanggul-tanggul sungai dan mengurangi bahaya longsor lahar dingin.
4. Teknik konservasi vegetatif (lajur rumput raja, guatemala, gajah) dan Flemingia congesta terhadap perbaikan produktivitas lahan endapan volkanik cukup efektif menurunkan erosi tanah di bawah ambang batas erosi terbolehkan (permissible of soil erosion). Tingkat erosi yang makin rendah meningkatkan nilai indeks-storie (mutu tanah) dan produktivitas lahan.
5. Metodologi pengelolaan lahan-lahan volkanik perlu diimplementasikan di lapangan. Kegiatan prasarana data dasar (basedata) adalah klasifikasi dan pemetaan (tanah, agrohidrologi, bahaya erosi, kemampuan lahan dan penggunaan lahan kini). Dengan bekal data dasar akan memberikan landasan biofisik kepada pengelolaan lahan, latar belakang sosial-ekonomi-budaya, dan sikap masyarakat.
Saran
Perlu didirikan stasiun-stasiun pengamat erosi dan hidrologi mengingat
penggunaan lahan bersifat dinamik (mengikuti perkembangan teknologi dan
lingkungan sosial dan ekonomi). Stasiun-stasiun pemantauan (pengamatan erosi,
hidrologi, agrometeorologi) didirikan di tempat-tempat yang representatif untuk
dapat mencatat ragam penggunaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977. A Framework for land evaluation. ILRI Publ. 22. Wageningen.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Laporan Hasil Kajian Singkat (Quick Assessment) Dampak Erupsi Gunung Merapi di Sektor Pertanian. Desember 2010.
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. IA. General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. The Haque
Bronto Sutikno, D. Sayuti, dan G. Hartono. 1996. Variasi Luncuran Awan Panas Gunung Merapi dan Bahayanya. Dalam Proceedings of the 25
th Annual
Convention of the Indonesian Association of Geologist. Diselenggarakan oleh STTN dengan Akademi IP Yogyakarta.
Dradjad, M. 2004. Strategi dalam Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan dengan Konsep Eco- Farming. Makalah dalam Lokakarya Strategi Pengembangan Sistem Pertanian Kehutanan (Agroforestry) Berkelanjutan
Abdullah Abas Idjuddin et al.
136
untuk Peningkatan PAD dan Kesejahteraan Masyarakat Yogyakarta, 15-18 Februari 2004, Hlm 22.
Suryatmodjo dan Soedjoko. 2008. Pemilihan Vegetasi untuk Pengendalian Longsor Lahan. Jurnal Kebencanaan Indonesia 1(5). November 2008.
Notohadiprawiro, T. 1985. Peranan Ilmu Tanah dalam Menunjang Pengelolaan DAS. Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu. Yogyakarta 3-5 Oktober 1985, UGM, Departemen Kehutanan.
Pusposutardjo dan Suprodjo. 1984. Peranan Hutan Sebagai Pengendalian Air. Seminar Ilmiah Program Pendidikan Pasca Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Jordahl, Jr. 1984. Land use Planning. Land use Planning Technique and Policies. SSSA Publ.12
Tim Lembaga Penelitian Tanah. 1978. Laporan Penelitian dan Pengembangan Teknk Konservasi Tanah di Daerah Eks Lahar Gunung Merapi. Proyek Survey Pengukuran Persiapan Penanggulangan Akibat Bencana Banjir.