LAPORAN KASUS MANAJEMEN REGIONAL ANASTESI – SUBARACHNOID BLOCK PADA KASUS STRIKTUR URETRA Disusun Oleh : Mega Ramadhiyaswari 0710710027 Pembimbing : dr. Ristiawan Muji, Sp.An LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF 1
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN REGIONAL ANASTESI – SUBARACHNOID
BLOCK PADA KASUS STRIKTUR URETRA
Disusun Oleh :
Mega Ramadhiyaswari 0710710027
Pembimbing :
dr. Ristiawan Muji, Sp.An
LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR
MALANG
2012
1
BAB 1
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Sdr. R
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds. Sumber Dawesari Grati Pasuruan
Berat Badan : 53 kg
Register : 12225xx
Dirawat di : Ruang 19
Tanggal dilakukan Anestesi : 3 Agustus 2012
Lama anestesi : 07.45 – 09.45 WIB
Diagnosis pra bedah : Striktur uretra pars pars membranacea-
bulbosa
Jenis pembedahan : Panendoskopi k/p sachse
Jenis anesthesia : Regional Anestesia-Sub Arachnoid Block
1.2 Preoperatif
1.2.1 Anamnesis ( 2 Agustus 2012 )
Alergi : : Tidak didapatkan riwayat alergi terhadap obat/ makanan
Medication : Tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya.
Past Medical History : DM (-), HT (-), asma (-)
Last Meal : Minimal sejak 6 jam sebelum operasi (Pukul 02.00 WIB)
Event : Pasien tidak dapat BAK terpasang kateter
.
1.2.2 Pemeriksaan Fisik (2 Agustus 2012)
B1 (Breathing) : airway paten, napas spontan, RR 14x/menit, rhonki
(-), wheezing (-), Skor Mallampati I, gerak leher
bebas, buka mulut >3jari
B2 (Blood) : akral hangat, CRT <2 detik, nadi 84x/mnt, TD
135/65 mmHg, S1S2 single regular, murmur (-),
gallop (-)
2
B3 (Brain) : compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+
B4 (Bladder) : Post cystostomy BAK via DC (-), Produksi urine (+)
± 50 ml/jam (urine tampung)
B5 (Bowel) : Flat, soefl, bising usus (+) normal, mual (-), muntah
(-)
B6 (Bone) : edema -/-.
1.2.3 Pemeriksaan Penunjang Preoperasi
1) Pemeriksaan Laboratorium (2 Agustus 2012)
Darah Lengkap
Hb : 15,10 gr/dL (N : 11 – 16,5 gr/dl)
Leukosit : 6700/µl (N : 3.500 – 10.000 /µl)
Trombosit : 292.000/µl (N : 150.000 – 390.000 /µl)
PCV : 43,7% (N : 35,0 – 50,0 %)
MCV : 85.900 fL
MCH : 29.700 pg
MCHC :34.600
Faal Hemostasis
PPT : 11,9 (K: 12,5) detik
INR : 1,04
APTT : 23,5 (K: 27,5) detik
Kimia Darah
GDA : 85 mg/dl (N: <200 mg/dl)
Ureum : 21,3 mg/dl (N: 20- 40 mg/dl)
Kreatinin : 0,98 mg/dl (N: <1.2 mg/dl)
SGOT/SGPT : 23/22 mU/ml (N: 0-40 mU/dl)
Albumin : 4,72 mg/dL (N: <200 mg/dl)
Serum Elektrolit
Natrium : 145 mmol/l (N: 136-145 mmol/L)
Kalium : 4,17 mmol/l (N: 3.5- 5.0 mmol/L)
Chlorida : 106 mmol/l (N: 98-106 mmol/L)
3
2) ECG (2 Agustus 2012)
Sinus rhythm dengan heart rate 78x/menit
2) Foto Thorax PA (12 Juli 2012)
Kesimpulan : foto thorax PA normal
3) Bipolar Voiding Cysto Urethrography (12 Juli 2012)
Tampak kontras mengisi penuh buli. Kemudian pasien ingin berkemih,
tampak kontras keluar dengan baik melalui orificium uretra externa,
tampak kontras mengisi uretra pars prostatika, pars membranacea, pars
bulbosa, pars cavernosa dan pars naviculare. Tampak penyempitan di
membranacea dengan jarak 1 cm dan ekstravasasi (periurethral filling)
dengan tepi irreguler di pars bulbosa.
Kesimpulan : Striktur uretra partial pars membranacea sepanjang ± 1
cm sesuai dengan ruptur urethra pars bulbosa.
1.2.4 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA I
Diagnosa prabedah striktur uretra pars membranacea-bulbosa
Keadaan prabedah (3 Agustus 2012, pukul 08.00 WIB) :
BB 53 kg, golongan darah O
TD 130/80 mmHg, nadi 84 x/menit, suhu 36,5°C
Hb 15,10 mg/dL
Dipuasakan 6 jam preoperasi
Jenis pembedahan: Panendoskopi k/p sachse
1.2.5 Persiapan Preoperatif
1.2.5.1 Di Ruangan (R.19)
Surat persetujuan operasi + surat persetujuan tindakan anestesi
IVFD RL 100 cc/jam selama dipuasakan
Inj. Ranitidin 50 mg sesaat sbelum berangkat ke OK
Inj. Metoclopramide 10 mg
Sedia PRC 2 labu
4
1.2.5.2 Di Kamar Operasi
Scope stetoskop, laringoskop
Tubes ETT (cuffed) size 7,0 kink fix
Airway orotracheal airway
Tape plester untuk fiksasi
Introducer untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector penyambung antara pipa dan alat anestesi
Suction memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Obat emergensi : sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin
1.3 Durante Operatif
1.3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesia : Regional anestesia-Sub Arachnoid Blok
Teknik anestesia :
1. memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan
punggung dan kaki, tapi tetap dalam keadaan tidak tegang, dan
menundukkan kepala.
2. Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan savlon.
3. Identifikasi ruang interspinosus diantara L4-L5.
4. Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 2% di area L4-L5
5. Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino catheter ukuran 27
gauge, barbotage (+), dan cairan serebrospinal (+)
6. injeksi bupivacaine 0.5% 12 mg dan adjuvant morfin 0.1 mg,
kemudian dilakukan pengecekan area sensoris, motoris dan
tanda-tanda toksikasi pada pasien.
Lama anestesi: 07.45 – 09.45 WIB
Lama operasi : 08.05 – 08.25 WIB
1.3.2 Tindakan Regional Anestesia
Posisi anestesi : pasien duduk dengan mendekap bantal, kepala
menekuk ke dada, punggung tidak tegang, kedua
kaki lurus.
Teknik anestesi : infiltrasi lokal dengan lidokain 2% 2cc
5
Anestesi regional spinal dengan bupivacaine 0.5%
12mg dan adjuvant morfin 0.1 mg
1.3.3 Monitoring
Pernafasan : O2 nasal canule, 2 lpm
Medikasi durante operasi :
Ondansetron 4 mg i.v
Ketorolac 30 mg i.v
Pethidin 25 mg i.v
Cairan masuk:
Preoperatif : Kristalloid RL 1000 cc
Durante operatif : RL 500 cc
Cairan keluar : durante operatif :
Preoperatif : 50cc/jam (urine tampung)
Durante operatif : sde
EBV : 3710 cc
ABL : 371 cc
M : 93 cc / jam
O4 : 106 cc / jam
1.4 Postoperatif
1.4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar
Pasien masuk jam 09.20
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : airway paten, napas spontan, Rh (-), Wh (-)
B2 : nadi 80x/menit, TD 113/67 mmHg, CRT <2detik
B3 : compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek
cahaya+/+
B4 : Dower catheter (+)
B5 : soefl, BU (+)
B6 : akral hangat, kering, kemerahan, mobilitas (-), edema (-)
6
Terapi Pasca Bedah
O2 nasal canul 2 liter/menit
Infus: RL 100 cc/jam selama dipuasakan
Antibiotika : Ciprofloxacin 2x 500mg p.o
Inj. Metoclopramide 3x10 mg iv
Inj. Ranitidin 2x50 mg iv
Inj. Ketorolac 3x30 mg iv prn
Bila mual muntah : Inj.Ondansetron 4 mg
1.4.2 Monitoring
Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam
Bila RR <10x/menit, berikan O2 NRBM 10 liter/menit
Bila nadi ≤50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv cepat
Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL 500 cc dalam 30
menit efedrin 5 mg iv
Pindah ruangan jika aldrete score > 8
Makan dan minum: diberikan secara bertahap bila pasien tidak
mual dan muntah
Bila pasien kesakitan dapat diberikan injeksi ketorolac 30mg i.v
1.4.3 Aldrete Score
Kesadaran
Sadar penuh 2
Tak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tak ada reaksi terhadap rangsangan 0
Pernafasan
Teratur, kuat, batuk 2
Nafas berat, depresi 1
Nafas dibantu 0
Tensi
Sama dengan nilai awal+ 20% 2
Berbeda 20-30% dari nilai awal 1
Berbeda >30% dari nilai awal 0
7
Pergerakan
Gerak terkendali 2
Gerak tak terkendali 1
Tak bergerak 0
Warna kulit
Merah 2
Pucat 1
Sianosis 0
------------------------
Jumlah total skor 10
8
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anesthesia Regional – Subarachnoid Block
Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa
terjadi hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua
kelompok teknik – central neuraxis blockade (blokade epidural atau
subarachnoid) dan peripheral nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent
(izin dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan
pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT).
Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-
Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.
Tabel 2.1 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal
Indikasi/Kontraindikasi/
Komplikasi
Keterangan
Indikasi Transurethral prostatectomy (blok pada T10
diperlukan karena terdapat inervasi pada buli
buli kencing)
Hysterectomy
Caesarean section (T6)
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian
bawah seperti arthroplasty
Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
Indikasi Kontra Absolut Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat
9
Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
Peningkatan tekana intracranial.
Indikasi Kontra Relatif Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi sekitar tempat penyunikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Nyeri punggung kronis
Komplikasi Tindakan Hipotensi berat
Bradikardia
Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Komplikasi Pasca
Tindakan
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urine
Meningitis
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien
duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering
dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal
dengan blok subarachnoid:
10
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat
tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di
atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil
27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introdusersedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah
1,003 – 1,008. Anestetik local dengan berat jenis sama dengan CSS
disebut isobaric. Anestetik local dengan berat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik. Anestetik local dengan berat jenis lebih kecil dari CSS
disebut hipobarik. Anestetik local yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik local dengan
dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
11
2.2 Preoperatif
2.2.1 Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian
tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif. (Wiryana dkk, 2010)
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan. (Wiryana dkk, 2010)
Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis.
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan
anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi. (Wiryana dkk, 2010)
Pada pasien didapatkan riwayat trauma pada pelvis akibat
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan fraktur pelvis. Pasien kemudian
menjalani operasi open cystotomy pada September tahun 2010, operasi
PER pada November 2010, operasi end to end anastomose pada Juni
2011. Pasien selanjutnya berturut-turut menjalani operasi k/p sachse
sebanyak lima kali akibat striktur uretra yakni pada bulan Agustus,
September, November tahun 2011 dan Februari, April 2012. Sebelumnya
tidak didapatkan penyakit sistemik, pemakaian obat-obatan, dan tidak
didapakan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik.
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
12
untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan
fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi,
hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital
dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument.
(Wiryana, dkk, 2010).
Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang
digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi (Mallampati,et al.
1985) Hal ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama
didasari terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan
palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke
depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan
intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi
untuk terjadi apneu (Nuckton, et al. 2006).
Skoring Mallampati (Nuckton, et al. 2006):
Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum
13
Pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal, skor Mallampati I,
leher bebas, buka mulut >3jari. Pada pasien tidak didapatkan kelainan
yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan tindakan
anastesi.
Pada pasien pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak
didapatkan kelainan yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya
operasi dan tindakan anastesi. Pasien digolongkan dalam kategori
Mallampati 1, leher bebas, buka mulut >3jari.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya.
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.
Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang
menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus
sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap,
pemeriksaan radiologi, evaluasi kardiologi terutama pada pasien berumur
diatas 35 tahun, pemeriksaan spirometri pada pasien PPOM. (Wiryana
dkk, 2010).
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan laboratorium yang
hasilnya dalam batas normal, tidak ada anemis maupun kelainan fungsi
organ ginjal dan hepar. Lalu dilakukan juga pemeriksaan EKG dan foto
thorax PA hasilnya juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan bipolar
voiding cysto urethrography didapatkan kesimpulan striktur uretra partial
pars membranacea sepanjang ± 1 cm sesuai dengan ruptur urethra pars
bulbosa.
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital.
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait
bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana
atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus
elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun
bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi
dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD
(Wiryana dkk, 2010).
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif.
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American
Society of Anesthesiologist (ASA) (Wiryana dkk, 2010).
14
Tabel 1. Klasifikasi ASA (Twersky RS dan Phillip BK, 2008)
Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang
ASA 3
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.
ASA 4pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
ASA 5
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun
tidak dalam 24 jam pasien meninggal.
ASA 6pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ
untuk donor.
EJika pprosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori.
Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead
organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan
tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah
satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif.
Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring (Barash,
2009).
Dari evaluasi pre operasi, didapatkan diagnosis striktur uretra partial
pars membranacea sepanjang ± 1 cm sesuai dengan ruptur uretra pars
bulbosa, dapat disimpulkan bahwa tidak didapatkan kelainan bermakna
15
pada pasien ini yang dapat mengganggu proses anestesi. Pasien
digolongkan dalam kategori Mallampati 1. Menurut American Society of
Anaesthesiologist (ASA), status fisik pasien ini bisa diklasifikasikan sebagai
ASA 1 yaitu pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.. Pada
pasien ini disarankan untuk dilakukan Regional Anastesia Sub Arachnoid
Block. Inform consent juga telah dilaksanakan.
2.2.2 Persiapan Preoperatif
a. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa
6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih,
teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Tabel 2. Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif (Twersky RS
dan Phillip BK, 2008)
Pada pasien ini, dipuasakan selama minimal 6 jam sebelum
operasi.
b. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit
cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin,
16
sekresi gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari
kulit dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
Tabel 3. Kebutuhan Maintenance Normal
Berat Badan Kadar (mL/kg/jam)
10kg pertama 4
10 kg berikutnya +2
Tiap kg di atas 20kg +1
Pasien ini mempunyai berat badan 53 kg sehingga kebutuhan cairan per
jamnya adalah:
(4x10) + (2x10) + (1x33) = 93 cc/jam
Oleh karena pasien ini dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi. Jadi
defisit cairan pasien ini secara total adalah 558 cc. Pada pasien, diberikan cairan
maintenance sebanyak ±1000 cc cairan RL sebelum operasi.
c. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
17
induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid
misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor
H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5
mg atau ondansetron 2-4 mg.
Tabel 3. Obat-obatan yang bekerja di H2 receptor untuk
mencegah pnemonia aspirasi (Morgan, 2006)
Drug Route Dose Onset Duration
Cimetidine
(Tagamet)
PO 300–800 mg 1–2 h 4–8 h
IV 300 mg
Ranitidine
(Zantac)
PO 150–300 mg 1–2 h 10–12 h
IV 50 mg
Famotidine
(Pepcid)
PO 20–40 mg 1–2 h 10–12 h
IV 20 mg
Nizatidine
(Axid)
PO 150–300 mg 0.5–1 h 10–12 h
Nonparticulate
antacids
(Bicitra,
Polycitra)
PO 15–30 mL 5–10 min 30–60 min
Metoclopramide
(Reglan)
IV 10 mg 1–3 min 1–2 h
PO 10–15 mg 30–60 min2
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50mg untuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
18
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian
bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan
lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
pnemonia aspirasi.
2.3 Durante Operasi
2.3.1 Persiapan Pasien
Pasien dengan tindakan panendoskopi k/p sachse dapat terjadi
evaporasi. Oleh karena itu, pasien ini diselimuti dan dilakukan monitor balans
cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan.
2.3.2 Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine 0.5% heavy 12.5 mg.
2.3.3 Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
19
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat
menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika
spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang diperkirakan 370 cc. Kehilangan
cairan intraoperatif juga dapat terjadi akibat evaporasi dan distribusi ke ruang
ketiga (contoh akibat luka bakar, inflamasi, infeksi, dll). Kehilangan cairan dalam
bentuk ini dapat diperkirakan berdasarkan jenis operasinya.
Tabel 4. Jumlah Cairan yang hilang Secara Distribusi ke ruang ketiga dan
Evaporasi (Morgan, 2006)
Degree of Tissue Trauma Additional Fluid Requirement
Minimal (eg, herniorrhaphy) 0–2 mL/kg
Moderate (eg, cholecystectomy) 2–4 mL/kg
Severe (eg, bowel resection) 4–8 mL/kg
Pasien ini menjalani operasi panendoskopi k/p sachsce, jenis operasi ini
termasuk operasi dengan derajat trauma jaringan yang sedang. Pada pasien ini,
estimated blood volume adalah sebanyak 3710 mL. Allowed Blood Loss (ABL)
20
diperkirakan sebanyak 371 mL (10% dari EBV pasien). Selain itu, pasien ini
membutuhkan cairan maintenance sebanyak 93 cc/jam. Selama durante operasi,
pasien telah diberikan cairan sebanyak 106 cc/jam (M+O = 93 cc + O2 = 199cc).
2.3.4 Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
2.3.4.1 Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak
lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan
(2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk
mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
21
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak
pernah <95%, tekanan darah pasien rata-rata normal, meskipun sesaat sempat
terjadi penurunan sedikit dari normal, namun dengan MAP masih
mengkompensasi kebutuhan organ-organ vital (S 100-120, D 60-80), nadi 80-
100x/menit, frekuensi napas 16x/ menit (dengan ventilator).
2.4 Postoperatif
2.4.1 Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011).
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-
pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah,
perbuhan vaskular, dan pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu
dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka
ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk
mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan
sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah
dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu
pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien
dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, gaun pasien yang basah (karena
darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan gaun yang kering untuk
menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien
diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side rail harus
dipasang untuk mencegah terjadinya risiko injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan
cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari
kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika
kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat
diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses
22
transfer tersebut berjalan dengan lancar (The Association of Anaesthetists of
Great Britain and Ireland, 2007).
2.4.2 Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang (WebMD, 2011). Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih
terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia
pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas
individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat
ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi
diketahui.
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar
pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan
seperangkat alat berikut (The Association of Anaesthetists of Great Britain and
Ireland, 2007).
1. Pulse oximeter
2. Non-invasive blood pressure monitor
Berikut ini juga harus segera tersedia (The Association of Anaesthetists of Great
Britain and Ireland, 2007).
1. Elektokardiograf
2. Nerve stimulator
3. Pengukur suhu
4. Capnograph
Periode kritis yang segera dimulai setelah pembedahan dan anesthesia
diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anesthesia. (Wiryana dkk, 2010)
Risiko Pasca anesthesia, dibagi dalam 3 kelompok: (Wiryana dkk, 2010)
o Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga
perlu nafas kendali pasca anesthesia/bedah, pasien ini langsung
dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
23
o Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.
o Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan
rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan
selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan
kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.
Ruang Pulih (Wiryana dkk, 2010)
o Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau
secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah
respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem
respirasi dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi,
mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.
o Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di
ruang pulih: pasien dengan anesthesia local yang kondisinya
normal, pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di
ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan
terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di
ruangan.
Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik (Wiryana dkk,
2010)
o Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),
sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan
saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu
tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca
anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan
Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari
pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat,
saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 30 menit setelah operasi selesai
dilakukan. Pasien mulai sadar, bisa bernapas, dan tidak didapatkan mual atau
24
muntah. Tanda vital: tekanan darah 100/60, nadi 100x/menit, frekuensi napas
18x/menitdengan bantuan Jackson Rees, dan saturasi oksigen 99%.
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU
berdasarkan discharge criteria. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.
Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care
Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
Tabel 4 Aldrete Score
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria Modified Criteria PointValue
Color Oxygenation
Pink SpO2 >92% on room air
2
Pale or dusky SpO2 >90% on oxygen
1
Cyanotic SpO2 <90% on oxygen
0
Respiration
Can breathe deeply and cough Breathes deeply and coughs
freely
2
Shallow but adequate exchange Dyspneic, shallow or limited
breathing
1
Apnea or obstruction Apnea 0
Circulation
Blood pressure within 20% of
normal
Blood pressure ± 20 mmHg of
normal
2
Blood pressure within 20–50%
of normal
Blood pressure ± 20–50mmHg
of normal
1
Blood pressure deviating >50%
from normal
Blood pressure more than ± 50
mmHg of normal
0
Consciousness
Awake, alert, and oriented Fully awake 2
25
Arousable but readily drifts back
to sleep
Arousable on calling 1
No response Not responsive 0
Activity
Moves all extremities Same 2
Moves two extremities Same 1
No movement Same 0
Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth
1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah:
b. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
c. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
d. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
e. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
f. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
g. Mual dan muntah dalam kontrol
h. Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai
adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas
motorik. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60
menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general
anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris
dan motoris.
Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien dinilai dengan Aldrete
Score > 8 dimana saturasi oksigen >90% dengan oksigen, pernapasan pasien
spontan, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, sadar penuh, dan
mampu menggerakkan ekstremitasnya.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
26
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor
pasien sendiri.
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan
operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya
tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali
mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan
insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3)
antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron
0.01–0.04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga
sangat efektif untuk mencegah PONV dan menerapi PONV yang sudah terjadi.
Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan
alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi
akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh
metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg
(0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya
efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam
sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis
non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20
mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).
Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi untuk
pencegahan tetap diberikan metoclopramide 3x10 mg dan ranitidine 2x50 mg
intravena. Jika terjadi muntah diberikan ondansetron 4 mg, kepala dimiringkan,
dan suction aktif.
27
BAB III
PENUTUP
Pasien adalah laki-laki usia 21 tahun dengan striktur uretra pars
membranacea pars bulbosa, yang dilakukan operasi panendoskopi k/p sachse
pada tanggal 3 Agustus 2012. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi
regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai
dengan indikasi anestesi regional.
Evaluasi pre operasi pada pasien tidak menunjukkan adanya kelainan.
Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi
regional.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif
stabil sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak
didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup
stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga
pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (R.19).
28
DAFTAR PUSTAKA
Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.
Barash, Paul G; Gullen, Bruce F; Stoelting, Robert K; Cahalan, Michael K; Stock,
M. Christine. 2006. Clinical Anesthesia, Sixth Edition. United Staes of
America: Lippincott Williams & Wilkins.
Mallampati S, Gatt S, Gugino L, Desai S, Waraksa B, Freiberger D, Liu P. 1985.
"A clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.".
Can Anaesth Soc J 32 (4): 429–34.
Morgan, G. Edward; Mikhail, Maged S.; Murray, Michael J. 2006.Clinical
Anesthesiology, Fourth Edition. United States: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006. "Physical
examination: Mallampati score as an independent predictor of obstructive
sleep apnea". Sleep 29 (7): 903–8
The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2007.
Recommendation for Standards of Monitoring during Anaesthesia and
Recovery.
http://http://www.aagbi.org/sites/default/files/standardsofmonitoring07.pdf.
Diakses tanggal 4 Agustus 2012 pukul 16.00 WIB.
Twersky, Rebecca S.; Philip, Beverly K; et al. 2008.Handbook of Ambulatory
Anesthesia, Second Edition. United States of America: Springer
Science+Business Media, LLC.
WebMD. 2011. Recovering from Anesthesia. http://http://www.webmd.com/pain-
management/tc/anesthesia-recovering-from-anesthesia. Diakses tanggal 4
Agustus 2012 pukul 12.08 WIB.
Wiryana I M, Sinardja I K, Sujana I B G, Budiarta I G. 2010. BUKU AJAR ILMU
ANESTESIA DAN REANIMASI, dr. Gde Mangku, Sp An. KIC, dr.
Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An. Indeks, Jakarta. Hlm 87-91, Hlm
136-148.
29