BAB I PENDAHULUAN Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya, histoplasmosis). 1 Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2: kelompok dermatofitosis dan non- dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang sama di antara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah
dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur
serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial
pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan
hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap
berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya,
histoplasmosis).1
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2:
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan
yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan
kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita
yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita
termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang
sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-
tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
dermatofita dapat masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia
dan arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus microsporum dan
tricophyton. 2
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh
karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai
kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit
lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi
laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini
banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal
konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan
daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab. Prevalensi di Indonesia,
dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau
pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan
pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis
menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja
pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara
Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa
50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari
data sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai
prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan
angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit
Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase
terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 %
(Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.3
BAB II
PEMBAHASAN
A.DERMATOFITOSIS
Definisi
DERMATOFITOSIS adalah setiap infeksi fungal superfisial yang
disebabkan oleh dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku,
termasuk onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga
epidermomycosis dan epidermophytosis. 4
Jamur dermatofit dinamai sesuai dengan genusnya (mycrosporum,
trichophyton, dan epidermophyton) dan spesiesnya misalnya, microsporum canis, t.
rubrum). Beberapanya hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainya
terutama menyerang hewan (zoofilik), walau kadang bisa menyerang manusia.
Apabila jamur hewan menimbulkan lesi dikulit pada manusia, keberadaaan jamur
tersebut sering menyebabkan suatu reaksi inflamasi yang hebat (misalnya, cattle
ringworm).1
Etiologi
Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum,
tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia
adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis,
M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.5
1. Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.
Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah: 6
SPECIES CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)
Microsporum audouinii Anthropophilic
Microsporum canis Zoophilic (Cats and dogs)
Microsporum cooeki Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and
rodents)
Microsporum
ferrugineum
Anthropophilic
Microsporum gallinae Zoophilic (fowl)
Microsporum gypseum Geophilic (also isolated from fur of rodents)
Microsporum nanum Geophilic and zoophilic (swine)
Microsporum persicolor Zoophilic (vole and field mouse)
Tabel 2.1 Spesies Microsporum.
Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau powder.
Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25°C mungkin melambat atau
sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman.
Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol
halus yang masih putih atau menguning sampai cinamon.6
2.Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan
Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia.
E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat.
Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku
(onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E.
floccosumtumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C
pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklata.
3.Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau
manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan
geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian
tenggara Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi
pada rambut, kulit, dan kuku pada manusia.8
NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES
Species Natural Reservoir
Ajelloi Geophilic
Concentricum Anthropophilic
Equinum zoophilic (horse)
Erinacei zoophilic (hedgehog)
Flavescens geophilic (feathers)
Gloriae Geophilic
Interdigitale Anthropophilic
Megnini Anthropophilic
Mentagrophytes zoophilic (rodents, rabbit) /
anthropophilic
Phaseoliforme Geophilic
Rubrum Anthropophilic
Schoenleinii Anthropophilic
Simii zoophilic (monkey, fowl)
Soudanense Anthropophilic
Terrestre Geophilic
Tonsurans Anthropophilic
Vanbreuseghemii Geophilic
Verrucosum zoophilic (cattle, horse)
Violaceum Anthropophilic
Yaoundei anthropophilic
Tabel 2.2 Spesies Trichophyton.
Insidensi
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga
dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit
jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi
antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk
negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insiden
dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan
kedua setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama
dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini
mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda.
Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita dermatomikosis
yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya
dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari
pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus
terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir
sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea Kapitis,
Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis, Kandidiasis Oral, dan Kandidiasis
Vulvovaginalis.
Jenis organisme penyebab dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada
beberapa rumah sakit tersebut yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis,
herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi). 6
Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh trauma, atau
pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan
tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua
mata.5,6
MANIFESTASI KLINIK
Pasien biasanya datang dengan keluhan rasa mengganjal, nyeri yang
bertambah berat, penglihatan menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata,
lakrimasi berlebihan, dan fotofobia. Manakala tanda klinis yang dapat ditemukan
berupa injeksi konjungtiva, defek epitel, supurasi, infiltrasi stroma dan adanya reaksi
bilik mata depan. Manifestasi klinis yang lebih spesifik berupa adanya infiltrasi yaitu
bercak-bercak putih, lesi satelit, hipopion, dan plak endotel. 2
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut : 1
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa
di bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi
mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan
reaksi radang yang cukup berat. 5,6,7
Pasien dengan keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi
yang minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri dan
hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis filamentosa
sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi tampak kering dengan tepi
ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas filamentosa. Lesi superficial mungkin
muncul sebagai elevasi dari permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan
permukaan kering, kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan
kerokan kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat jarang
terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi jamur cukup dalam
atau cukup luas. 6,7,8
DIAGNOSIS
Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat unilateral),
seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa. Dapat juga ditemukan hipopion.
Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan infiltrasi stroma berwarna keputihan, terutama
keratomikosis yang disebabkan oleh Candida albicans. Infiltrasi dan ulkus menyebar
secara sangat perlahan. Lesi satelit, yaitu beberapa infiltrat kecil yang berdekatan,
berkelompok disekitar pusat lesi yang lebih besar. Lesi satelit ini merupakan
karakteristik untuk keratomikosis, tetapi tidak selamanya muncul pada infeksi
tersebut.5
Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura).1 Semua pasien suspek keratomikosis hendaklah dilakukan
kerokan kornea.2 Kerokan diambil di daerah luar dari tepi ulkus dan pada daerah di
mana kultur bakteri memberikan hasil negatif.2,5 Sampel diambil dengan
menggunakan spatula platinum, silet surgikal, atau apusan kalsium alginate
terinokulasi di medium agar Sabouraud, dan dipertahankan pada suhu 25°C untuk
pertumbuhan fungi.2 Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India.1 Pemeriksaan Gram dan Giemsa mempunyai 50% sensitivitas dalam
menegakkan diagnosa.6,7,8
Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff (memberi pewarnaan merah pada dinding sel serta septa dan biru
pada nukleus) atau Methenamine Silver (memberi pewarnaan hitam pada dinding sel).
Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan efluoresensi. Ultrasound B-scan
oftalmik dilakukan untuk membantu menyingkirkan endoftalmitis akibat jamur dari
diagnosa banding.7,8
DIAGNOSIS BANDING
1.Keratitis bakterialis
Secara klinis onset nyeri keratitis bakterialis sangat cepat disertai dengan
injeksio konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea
bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada.
Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob
infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid,
kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi
terjadinya infeksi bakterial.7,8
2. Keratitis viral
Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat nfeksi herpes simplex sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas pula menurun, bahkan pada infeksi herpes zoster bisa hilang sama sekali.8
3. Endoftalmitis
Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua-dua bilik mata depan dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan visus, hiperemis konjungtiva, nyeri yang memberat, edema palpebra, dan hipopion. Kemosis konjugtiva dan edema kornea dapat ditemukan. Penyebab terjadi endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. pasca operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen ; mis. jalur IV yang terinfeksi, atau dari organ tubuh lain yang terinfeksi).8
PENGOBATAN
Larutan nistatin dan amfoterisin B yang diberikan tiap jam.pemberian dapat
dijarangkan bila terjadi perbaikan.larutan digunakan amfoterisin B mengandung 1,0 mg per
ml larutan garam faal atau akua destilata.pada tahun-tahun akhir larutan derivat azol juga
dengan hasil cukup baik.
PROGNOSIS
Baik bila diagnosis dilakukan dini dan pengobatan cepat dan tepat.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Rippon J.W. Medical Mycology, Edisi ke 3. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988.
2. Hay R.J. Ashbee H.R. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C. editor. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke 8. Oxford : Wiley-Blackwell,
8. Faergemann J.N. Pityriasis (Tinea) vesicolor, Tinea Nigra and Piedra. Dalam:
Jacobs PH and Nall L. editor. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker,
1990: 23-9.
9. Cemizares 0, Herman R.R.M. Clinical tropical Dermatology. Edisi ke 2. Boston:
Blackwell Scientific, 1992.
10. Sawitri, Zulkarnain I, Suyoso S. Tinea Nigra Palmaris, A case report. Dalam
Abstracts The 15th Congress of The Asia Pacific Society for Medical Mycology.
Bali, 1997: 114.
11. James WD, Berger TG & Elston DM. Andrews’Diseases of the skin. Clinical
Dermatology. Edisi ke 10 Philadelphia : Saunders Elsevier, 2006.
12. Clayton YM, Moore MK. Superficial fungal infection. Dalam : Harper J, Oranje A
dan Prose N editor. Textbook of Pediatric Dermatology edisi ke 2. Massachusetts :
Blackwell Publishing 2006 : 542-569.
13. Paller AS & Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke 3.
Philadelphia : Elsevir Saunders, 2006.
14. Mendoza N, Arora A, Arias C.A, Hernandez C.A, Madkam V, Tyring S.K.
Cutaneous and Subcutaneous Mycosis. Dalam : Anaissie E.J., McGinnis M.R.,
Pfaller M.A. editor. Clinical Mycology. Edisi ke-2. USA : Churchill Livingstone
Elsevier 2009 : 509-523.
1. Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata In: Cermin dunia kedokteran. [Online]. 1993 [Cited 2009 September 25] ; [screens] Available from :URL: http://www.kalbe.co.id
2. Singh D. Keratitis fungal. [Online]. 2008 June 12 [Cited 2009 September 25] ; [4 screens] Available from :URL: http://www.emedicine.medscape.com
3. Arora U, dkk. Fungal Profile and Susceptibility Pattern in Case of Keratomycosis. In JK Science Vol 8 no.1. Medical College Punjab. India. 2006 Hal : 39-41
4. Sutpin J.E, Dana M.R, et al. External disease and cornea. Section 8. In : Skuta G.L., Cantor L.B., Weiss J.S. Basic and clinical science course 2008-2009. San francisco, United states of america, American academy of ophthalmology; 2008. p.179-187.
5. Benvenuto A. Anatomi mata. [Online]. 2009 March 25 [Cited 2009 September 25] ; [2 screens]. Available from :URL: http://www.doctorology.net.6. Ilyas Sidarta. 2005.Ilmu penyakit mata.Ed ke 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia. p.167 – 9
7. Lt Coll, SS. M, et al, Medical and Surgical Management of Keratomycosis. In : MJAFI vol 64 no.1. 2008. Hal 40-42.