REFERAT OBAT-OBAT ANESTESI MUSCLE RELAXANT Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi RSUD DR. Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang Disusun oleh: Alfrino Patriando A (012075349) Muhammad Ulil Albab (012106228) Pembimbing: dr. Meriwijanti, Sp. An (KIC) 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
OBAT-OBAT ANESTESI
MUSCLE RELAXANT
Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi
RSUD DR. Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang
Disusun oleh:
Alfrino Patriando A (012075349)
Muhammad Ulil Albab (012106228)
Pembimbing:
dr. Meriwijanti, Sp. An (KIC)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO
SEMARANG
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid,
maka penggunaan obat pelumpuh otot jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu
dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis
tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia". Obat pelumpuh otot
sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-
masing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena
berbedanya cara kerja. 1
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2
kelompok obat yang sangat berbeda. Pertama' kelompok yang digunakan selama
prosedur pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek
paralisis pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan
kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah
kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi
neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini
sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk
memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan
menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. 1,2
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia
umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional, dan memberikan
pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi
jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya. 1
Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh
otot sangat terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan
penawar opioid, maka penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu
dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis
2
tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai "the triad of anesthesia" dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali.1.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Maka
pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.1.
Walaupun obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi
obat ini sangat membantu pelaksanaan anestesia umum, antara lain
memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea,
serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali.3
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Farmakologi Dasar Obat-Obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-
obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi
(meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi
menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat
pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid.
Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi'
blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.2
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan asetilkolin.
Sebagai contoh' suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang berikatan pada
kedua ujungnya Sebaliknya' obat-obat nondepolarisasi (misal pancuronium)
mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang memberi
muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik membuat
obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke sistem saraf
pusat.2
2.2 Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot
Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis' metode yang
umum dipakai untuk menentukan tipe' kecepatan onset' magnitudo' dan durasi
blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal
yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.
Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai / Hz) setelah stimulasi
4
n.ulnaris.5
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata' digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor
pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan
dalam penutupan glottis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat' di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor
pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi
pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis.
Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat '
periode paralisis otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek
maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah
dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade
diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek
(m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh
karena itu' m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai
indikator blokade otot laring.6
2.3 Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang
merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis'
dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini
terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg).
Sebagai tambahan' obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati
5
sawar membran lipid seperti sawar darah otak' epitel tubulus renal' epitel
gastrointestinal' atau plasenta. Oleh karena itu ' obat pelumpuh otot tidak dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat' reabsorpsinya di tubulus renal minimal'
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak
mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini.5,6
Klirens plasma' volume distribusi' dan waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia' anestesi volatil' dan penyakit hati
atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat
yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga
mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah
reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh
otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya
bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang
signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot. 6
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam
aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil. 6
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein '
dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja
obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena. 6
6
2.4 Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan
sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit
(20 nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi
terminalnya, terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium
channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan
membran terminal dan melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul
asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor
kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-
plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat
kontraksi otot normal hanya dibutuhkan sekitar 500.000 reseptor.
Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1
beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada
reseptor subunit α-β dan δ-α menyebabkan pembukaan channel yang
menimbulkan potensial motor end-plate. Magnitudo potensial end-plate
berhubungan secara langsung dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika
potensialnya kecil permeabilitas dan potensial end-plate kembali normal tanpa
penyampaian impuls dari ujung end-plate ke seluruh membran sel serabut
otot. Jika potensial end-plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan
terpolarisasi, dan potensial aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot.
Kontraksi otot kemudian akan diinisiasi oleh proses kopling eksitasi-
kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh
enzim substrat spesifik asetilkolinesterase. Enzim kolinesterase spesifik atau
kolinesterase asli ditemukan dalam end-plate membran sel motorik yang
berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion
channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi
terhenti, channel natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium
kembali masuk ke retikulum sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.
7
Gambar 1. Struktur NMJ
8
2.5 Penggolongan Muscle Relaxant
A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
1. Cara Kerja
Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja sebagai agonis ACh. Terjadi
hambatan penurunan kepekaan membrane ujung motor. Obat tersebut
menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng akhir saraf. Terjadi karena
serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi menetap sehingga akhirnya
kehilangan respons berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan. Ciri
kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat
bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterasi. 2.
2. Ciri Kelumpuhan
a. Ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat
pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada
perangsangan tunggal maupun tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik
SCh menempatkan reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa dan
bekerja seperti asetikolin (mendepolarisasi membran post jungtion).
Hambatan neuromuskuler terjadi membran post sinaps tidak dapat
memberikan respons pada pelepasan asetilkolin berikutnya yang disebut juga
hambatan fase I. SCh menyebabkan keluarnya kalium dari sel yang akan
meningkatkan K plasma 0,5 meq/L
SCh dosis tunggal besar(>2mg/kgBB), dosis ulangan atau infus
kontinyu lama akan menyebabkan membran post sinap kehilangan respon normal