REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH (Sebuah Telaah Sosiologi Sastra) REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH (A SociologicalStudyof Literature) Tesis Oleh A K M A L Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH
(A SociologicalStudyof Literature)
Tesis
Oleh
A K M A L
Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2014
i
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk MencapaiMagister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
A K M A L Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MEGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2014
ii
TESIS
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL ATHIRAH KARYA
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 11 November 2014
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. NBM. 988463 NBM. 922699
iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis
dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah (Sebuah telaah Sosiologi Sastra)
Nama : A k m a l
NIM : 04.07.750.2012
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konsentrasi : -
Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 11 November 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 21 Januari 2015
Tim Penguji:
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. ............................................... (Ketua/Pembimbing/Penguji)
Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. ............................................... (Sekretaris/Penguji)
Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. ............................................... (Penguji)
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. ............................................... (Penguji)
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Akmal
Nomor Pokok : 04.07.750.2012
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagaian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 21 Januari 2015
Yang menyatakan,
Matrai 6000
Akmal
v
ABSTRAK
AKMAL, 2014 Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah. Tesis Megister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. (Dibimbing oleh Muhammad Rapi Tang sebagai Ketua Komisi dan Abdul Rahman Rahim sebagai Anggota).
Penelitian sosiologi sastra novel Athirahkarya Alberthiene Endah bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur novel Athirah yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra dan (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel Athirah.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Data dalam penelitian ini adalah unsur struktur yang membangun novel Athirah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi kematian(maut), cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terungkap dalam novel Athirah. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Athirah karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta , Desember 2013 cetakan pertama setebal 404 halaman. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research) dan teknik simak catat. Penelitian ini menggunakan beberapa tahap pengolahan data, yaitu deskripsi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan evaluasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Athirah,diperlihatkan adanya hubungan antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra tersebut. Rangkaian kejadian yang disusun menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokohmembentuk sebuah jalinan peristiwa sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya.latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh tersebut dihubungkan oleh latar tempat. Sedangkan, kehidupan sosial budaya Bugis yang terefleksikan dalam novel ini adalah masalahmaut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Kehidupan sosial tersebut direfleksikan dalam pristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Disarankan kepada penikmat sastra agar novel ini dibaca karena di dalamnya dipaparkan mengenai perjuangan seorang ibu dan sosok dibalik kesuksesan Jusuf Kalla. Layak dibaca oleh para generasi muda agar
vi
dipetik manfaatnya. Diharapkan kaum muda lebih menghormati ibu dan mengambil teladan.
vi
ABSTRACT
AKMAL,2014 Reflection of Bugis Social Culture Life in Athirah Novel Created by Albhertine Endah. Thesis of Magister Laguage Education and Indonesian Literature the Program of the Post Graduate for Makassar Muhammadiyah University. (Guided by Muhammad Rapi Tang as the commision chief and Abdul Rahman Rahim as a member).
The research of the literature sociology Athirah novel created by Alberthine Endah has aimed (1) is it to describe the structure of Athira novel that contains plot, figure, background theme and massage wich are used as the beginning step of analisyis for the literature sociology and (2) it is to describe the life of the social culture Bugis society that has been expressed in Athirah novel.
This research is the leabrary reseach kind of descriptive with the qualitatif approaching. Data in this reseach is the structure element in building the Athirah novel and the life of social culture for the Bugis society include the death, love, tragedy, hopeness, dedication, and the transendental cases have been expressed in the Athirah novel. The data source in this reseach is the Athira novel created by Alberthiene Endah. Noura Books Edition Jakarta, December 2013 the first edition as 440 pages. The technical collecting data in this reseach is the library reseach and the tecnical of gatherin record. This reseach uses some stages of processing data, namely, the data description, the data classification, data interpretation, and evaluation.
The result of this research shows that in the Athirah novel has shown us there is relationship between the element that build literature creation the series of events which are arranged to use cronology plot and the cartain stages the story is arrange with flashback need doers involved in it. Event by event which has been undergone by the doers it well from on event relation so iti can from a plot. Here is place of relationship between a plot and figure because the plot will not be formed without the figures narrated and moved in the series of its story. A place setting has played an important role in arranging a plot. A story plot formed because the events have been undergone by its figures and the figures are related by a setting place. While the life of Bugis social culture has been reflected in this novel is death, love, tragedy, hopeness, dedication and the transendental cases. The social life is reflected in the events undegone by its figures. It is suggested to the literature users in order this novel can be read because in novel has been explained abaut the struggle of a mothers and the succes of Yusuf Kalla. It is suitable read by the young generation in order to take its benefit. It is hoped to the youth to respect a mother and take a good example.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, menganugerahi
kesehatan dan keselamatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam
Novel Athirah Karya Albertthiene Endah”. Menyadari bahwa dalam
menyelesaikan tesis ini, berbagai macam kesulitan yang penulis alami,
tetapi dengan bekal keyakinan, ikhtiar yang maksimal dan tawakkal
kepada-Nya akhirnya tesis ini selesai sesuai rencana.
Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M. S.,
sebagai pembimbing I dan Dr. Rahman Raahim, M. Hum., sebagai
pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam merampungkan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said. DM, M.Pd.,
sebagai Penguji I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai Penguji II
yang memberikan saran dan kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan
tesis ini.
viii
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M. Pd.,
sebagai Rektor Unismuh Makassar dan Prof. Dr. H. M.Ide Said. DM, M.Pd.,
sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar. Terima kasih pula kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
serta para karyawan yang telah memudahkan pelayanan administrasi
kepada penulis selama ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada seluruh tenaga pengajar pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan
segalanya kepada penulis, baik dalam bentuk material serta doa tulusnya.
Juga kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis
untuk meraih kesuksesan. Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang
diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah, Swt.
Makassar, November 2014
Akmal
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS........................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRACT .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR................................................................................ vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv
DAFTAR ISTILAH ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................ 11
C. Tujuan Kajian ................................................................ 11
x
viii
D. Manfaat Kajian ............................................................. 12
E. Definisi Istilah ............................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................... 14
A. Tinjauan Hasil Penelitian .............................................. 14
B. TinjauanTeoridan Konsep ............................................ 16
C. Kerangka Pikir ……....................................................... 44
BAB III METODE KAJIAN ............................................................. 46
A. Pendekatandan Jenis Penelitian .................................. 46
B. Sumber Data ................................................................... 48
C. Objek Kajian ................................................................. 48
D. Teknik Pengumpulan Data............................................ 48
E. Teknik Pengolahan Data .............................................. 49
F. Teknik Penarikan Kesimpulan .................................... 50
G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian ................................. 50
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ........................... 52
A. Analisis Unsur Intrinsik Novel ....................................... 52
B. Analisis Sosiologi Sastra............................................... 87
C. Pembahasan Hasil Penelitian...................................... 101
BAB V KESIMPILAN DAN SARAN ............................................ 108
A. Kesimpulan.... .............................................................. 108
B. Saran........................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 112
xi
viii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 114
Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini
terlebih dahulu akan mengkaji karya sastra dengan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural berarti menganalisis unsur-unsur intrinsik karya
sastra. Analisis unsur intrinsik adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra
yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur yang membangun karya
sastra dari dalam dan mencari keterjalinan antarunsur tersebut dalam
rangka mencapai kebulatan makna.
Dalam penelitian ini unsur intrinsik yang akan dikaji adalah unsur
alur, penokohan, latar, tema, dan manat sebagai unsur yang paling
dominan membagun karya tersebut.
1. Alur
Dilihat dari segi penyusunan peristiwanya, novel Athirah ini
menggunakan alur kronologis yaitu ceritanya mengalir dari tahapan satu
ke tahapan berikutnya secara berurutan. Tapi pada tahap-tahap tertentu
cerita disusun dengan sorot balik (flahback) yaitu ditarik ke belakang untuk
mengenang masah lalu.
Di awal cerita dalam novel ini mengisahkan tentang masa kecil
Jusuf bersama emma (Athirah, ibu Jusuf) di Makassar. Jusuf adalah anak
53
beruntung yang lahir dari keluarga berkecukupan secara materi. Ia
dibesarkan berlumuran cinta dengan kehidupan orang tua yang
sempurna. Bapaknya seorang saudagar yang memiliki kantor berlantai
empat. Kemajuan bisnisnya yang pesat membuat orang tua Jusuf banyak
mengenal orang penting di Makassar. Kehidupan Jusuf memang dinilai
sempurna sejak matanya melihat dunia. Oleh karena itu, ia sangat jarang
merasakan gelisah, apalagi dirundung duka. Bahkan jika kesedihan
datang menyapanya, hawa kegembiraan berlimpah ruah dengan segera
membersihkan perasaanya. Ia memang nyaris tak pernah berduka. Pada
suatu hari, ia merasakan sesuatu yang tak enak, sesuatu yang seperti
hadir sebagai pertanda. Ibu, yang selama ini dikenalnya sebagai
perempuan yang tentram mendadak mengalirkan gelombang gelisah.
Pertanda ia dikalahkan ketakutan. Ada sesuatu yang menganjal
perasaannya ketika melihat perubahan pada gaya hidup suaminya.
Tentang hal tersebut bisa kita lihat dalam kutipan berikut.
“Bapakmu aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir tiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah.” Emma menarik tirai tenunan sustra berwarna gading dengan corak garis putih yang sangat lembut. Aku melihat sesuatu yang tak terlihat. Ibuku gelisah dalam ketenangan yang kentara diciptakan dengan susah pbapak. “Apa kau melihat perubahan itu Jusuf? Aku masih tercenung. Awal percakapan yang belum kumengerti arahnya. Usai mengucapkan kalimat itu, ia tertunduk di kursi tamu. Empasan tubuhnya jelas terdengar. Aku percaya, jika tak berkata-kata, perempuan akan menunjukkan amarah dengan bebunyian benda. Ibuku, yang kupanggil Emma, menunjukkanitu dengan suara empasan lembut tubuhnya di jok kursi empuk. Aku tak pernah melihatnya emosi. Usiaku 14 tahun saat itu. Makassar sedang diguyur cahaya matahari yang membakar kulit, sudah lebih dari sebulan tak turun
54
hujan. Tapi aku melihat kilat yang lebih terik di mata emma.” (Alberthiene Endah, 2013:11) Setelah menyaksikan sikap suaminya itu, wajah Athirah semakin
membatu, matanya lurus terhunus ke depan. Jusuf sangat mengenal hati
ibunya. Ia tidak pernah membiarkan kulitnya membiaskan emosi sedikit
pun. Apalagi matanya. Ia orang yang sangat lurus. Inilah pertama kalinya
Jusuf menyaksikan wajah emmanya berbeda. Pertama kali terlihat ada
rona keberatan di wajahnya. Pandangan jauh menembus pikirannya
sendiri. Akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran Athirah benar terjadi.
Suaminya mengambil keputusan untuk menikah lagi. Keputusan sang
suami benar-benar menjadi tamparan buat Athirah dan anak-anaknya.
Seakan mereka tak sanggup menerima kenyataan itu.
“Aku syok. Tak tahu apakah aku lebih layak marah atau sedih. Aku tak bisa merumuskan perasaanku. Yang pasti, aku terluka. Luka yang tak pernah kubayangkan ada dalam hidupku. Aku pernah beberapa kali terjatuh. Bahkan, pernah sobek pahaku saat tinggal di Bone sebelum kami pindah ke Makassar. Aku pernah berkelahi dengan kawanku. Pernah besitegang dengan Nur. Tapi sakit hati dan fisik yang kurasakan tidak sengilu saat kudengar Bapak hendak menikah lagi. Entahlah, itu seperti bumbu siluman tak kentara yang harus menekan-nekan ulu hatiku tanpa henti sejak aku terbangun tidur hingga hendak beranjak tidur. Benar-benar sebuah perasaan yang menyiksa. Aku mengenal kata poligami. Tapi tidak kubayangkan itu akan menjadi bagian dari sejarah keluargaku.” (Alberthiene Endah, 2013:22) Sejak pernikahan bapaknya, Jusuf seakan dipaksa untuk menjadi
dewasa, bahkan lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Ia
melewati waktunya yang penuh bumbu emosi. Sebagai anak laki-laki
tertua, ia harus mendampingi ibunya yang sakit hati.
55
Alur mengalami sorot balik sejenak ketika diceritakan kisah
tentang latar belakang ibunya. Bahwa, sesungguhnya kisa poligami sudah
terjadi dalam kehidupan ibunda Jusuf. Karena Athirah, ibu Jusuf lahir dari
istri keempat dari bapaknya.
“sesungguhnya kisah poligami sudah terjadi dalam kehidupan Emma. Bahkan, sejarah poligami yang mengantarnya hadir di dunia. Emma lahir dari istri keempat laki-laki dari Bukaka. Kakekku. “ibumu lahir dari rahim kesabaran,” tutur seorang tetua, dulu saat aku masih berusia di bawah sepuluh tahun.” (Alberthiene Endah, 2013:30) Sorot balik juga terjadi ketika Jusuf mengenang kembali kampung
halamannya di Bone. Kampung yang memanjakan penduduknya dengan
segalah kekayaan alamnya. Warga Bone tidak ada yang hidup miskin asal
mereka mau bekerja.
“Bone pada tahun ’20-an sebagai surga yang memenjara penduduknya. Semua orang tak ingin pergi dari tempat sedamai itu. Alam Bone memelihara penduduknya dengan kasih. Tak ada yang merasa miskin karena laut dan tanah memberi anugerah. Para petarung nasib bermimpi bisa menginjak Makassar. Tapi, Bone memiliki magnetnya tersendiri. Tak pernah bersalah untuk ditinggalkan.” (Alberthiene Endah, 2013:31) Lebih jauh lagi, sorot balik kisah Jusuf diceritakan tentang
kehidupan kakeknya (Muhammmad) yang berpoligami, bahkan Kerra
nenek Jusuf adalah istri keempat dari pernikahan Muhammmad. Sebuah
pernikahan yang sangat kontroversial karena mendapat cibiran dari orang-
orang sekampung, tak terkecuali tiga istri Muhammmad yang lain.
“Pertengahan 1923. Muhammmad dan Kerra menikah dengan resepsi yang sangat sederhana. Hujatan yang terlalu deras membuat Muhammmad menghindari pesta besar yang ia inginkan. Ia sangat mencintai Kerra. Tak ingin istri keempatnya sakit hati. Itu adalah pernikahan yang sulit. Muhammmad
56
memberi Kerra sebuah rumah kecil. Letaknya berdempetan dengan rumah-rumah para istri Muhammad yang lain. Sebuah kehidupan suram yang tajam.” (Alberthiene Endah, 2013:35) Alur kembali maju ketika dinceritakan tentang kelanjutan kisah
kehidupan Jusuf, tentang pengalaman terberat seorang anak dalam kasus
poligami. Ia menyaksikan kehidupan ibunya menahan pedih atas peristiwa
itu. Sejak pernikahan bapaknya itu, Jusuf merasakan semangat hidup di
rumahnya semakin redup. Meskipun dirundung kesedihan, Athirah tak
menampakkan perasaan itu pada anak-anaknya. Namun, Jusuf tetap
menangkap perasaan ibunya walau dunia selalu melihat kebahagiaanya.
“Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari tu, ia dikenal sebagai perempuan kuat, dan ingin terus seperti itu. Ia ingin melewati hari yang tidak pernah ada jejak sakit hati. Kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013:39) Sorot balik dalam novel ini kembali berkisah tentang kehidupan
Athirah yang diwarnai oleh tekanan sekaligus kemenangan mental, dan
pelajaran itulah yang mewarnai kehidupanya saat ini. Ia sangat meresapai
bagaimana ibundanya, Mak Kerra, mengandung, melahirkan, dan
membesarkan dirinya. Sebuah kisah hidup yang dinilainya tidak mudah
untuk dijalani. Ia menjadi pengikut jejak Mak Kerra. Pantang mengeluhkan
nasib.
“Kehidupan yang tidak mudah. Ia menjadi pengikut Mak Kerra. Pantang mundur dalam hidup. Jika mungkin, terus menjadi kuat. Pernikahannya dengan Bapak sebetulnya telah menjadi kapal yang berlayar dengan sangat jaya. Siapa sangka kapal itu kemudian tersangkut di celah karang. Kejayaan itulah yang sempat didongengkan orang tuaku. Bapak bercerita. Emma
57
berkisah. Keduanya bangga akan masa lalu mereka.” (Alberthiene Endah, 2013:57) Setiap kali orang tua Jusuf bercerita tentang bagaimana mereka
mengawali biduk rumah tangganya, maka saat itu pula tergambar betapa
kukuhnya mereka. Tidak setitik pun Jusuf menyangka bahwa suatu hari
ketangguhan pernikahan orang tuanya akan menemukan titik yang
melukai. Persoalan besar bagi anak-anak keluarga poligami adalah,
apakah harus berpihak kepada ayah atau kepada ibu? Atau berpura-pura
tidak ada masalah, dan memihak diri sendiri. Namun, Jusuf tidak sanggup
memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut. “Kehilangan” Bapak
membuatnya sedih. Tapi jauh lebih sedih tatkala muncul “perlawanan”
Emma. Dan, sama sedihnya ketika ia menyadari kalau ia sesungguhnya
hendak melawan.
Alur maju kemudian berlanjut, meskipun maslah demi masalah
yang dijalani Jusuf, ia tetap memusatkan perhatian pada sekolah,
kesempatan tak akan disia-siakan. Apalagi dukungan dari bapaknya
masih tetap kuat.
“Memasuki tahun 1958 aku berusaha memusatkan perhatianku pada sekolah. Aku baru masuk SMA Negeri 1 Makassar, dan tak ingin kusia-siakan waktuku. Aku ingin kuliah. Bapak telah memberikan sinyal itu. Jika aku berhasil mengambil kuliah ekonomi di Universitas Hasanuddin, ia akan sangat bangga. Perusahaanya, katanya, tak akan mencari-cari pemimpin yang lebih layak daripada aku. Akulah tumpuan harapannya.” (Alberthiene Endah, 2013:68) Pada saat ini Jusuf berjuang untuk memahami arti sebuah
ketentraman. Ledakan emosi tak ada lagi. Ibunya, ia, dan saudara-
58
saudaranya sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun
sebelumnya dan sudah mulai bisa meniti hari tanpa persoalan berarti.
Persoalan-persoalan yang pernah hadir sebagi bumerang, kini sedikit
demi sedikit sudah mulai dilupakan meskipun jejaknya susah untuk
dihapus.
Alur sorot balik kemudian muncul lagi saat Jusuf mengenang
kembali masa kecil di kampung halamanya di Bone. Subuah kenangan
yang tidak bisa dilupakan oleh keluarga Jusuf.
“Sekarang aku berlari pada masa kecilku. Lagi-lagi Bone. Watampone. Pasar Bajoe tempat bapak berjualan. Ah, pengalaman masa kecil itu. Benar kata Nur, aku dibesarkan oleh kedua tangan halus yang menempatkan aku di tempat terhormat, terindah, sesempurna mungkin. Emma. Aku mengenang kampung halamanku pada masa kecil sebagai sebuah surga. Bone pada tahun ’40-an. Masih sangat kuingat rumah panggung yang indah di desa kami. Berjejer rapi, dipisahkan satu sama lain oleh kebun-kebun mini. Setiap pagi bukan hanya suara alam yang membangunkan kami, melainkan juga teriakan orang-orang. Bukan, mereka bukan sedang bertengkar. Rumah-rumah orang Bone tidak saling berimpitan seperti di Jawa. Itu sebabnya antar penghuni rumah saling menyapa dengan berteriak, agar terdengar. Aku mendengar suara teriakan itu sebagai bagian dari seni kehidupan di desa kami.” (Alberthiene Endah, 2013:74)
Alur cerita kemudian berlanjut, saat itu Jusuf sudah mulai merasa
tenang, ia berupaya untuk tidak banyak lagi mempertanyakan tentang
persoalan Bapak dan Emmanya. Hal tersebut dapat di simak dalam
kutipan berikut.
“Memasuki tahun 1959 adalah masa ketika aku mulai menghirup rasa tenang. Kubiarkan diriku terlontar-lontar secara alami dalam pertempuran emosi. Kuajari diriku untuk tidak banyak mempertanyakan tentang persoalan Bapak dan Emma. Aku belajar semakin giat. Dan, beberapa kali dalam seminggu aku bertandang ke kantor Bapak di jalan Pelabuhan. Aku berbaur
59
dengan pegawai-pegawai Bapak dan melakukan apa saja yang dapat kulakukan. Aku juga ikut ajakan Bapak untuk menemaninya bertemu dengan relasi-relasi bisnisnya. Aku melihatnya bernegosiasi dan merasakan degup menyenangkan kehidupan berdagang.” (Alberthiene Endah, 2013:125)
Dari catatan keberhasilan orang tua Jusuf, ia mengusir jauh-jauh
perasaan buruk sangka. Ia hanya menyerap energi positif agar bisa
belajar banyak dari kantor bapaknya. Pelajaran tentang pembukuan,
pembuatan surat-surat dagang, perizinan, dan juga teknik-teknik dagang.
Bahkan tak jarang ia menangkap pandangan penuh cahaya simpati dari
karyawan-karyawan bapaknya. Salah satunya adalah Daeng Rahmat. Ia
adalah karyawan yang cukup dekat dengan Jusuf. Banyak nasihat serta
semangat yang didapatkan Jusuf dari wejangan Daeng Rahmat.
Kemudian diceritakan tentang kedatangan seorang perempuan
asal Sumatra, namanya ibu Mela, ia adalah rekan bisnis ibu Athirah. Untuk
keperluan bisnis di Makassar ia menyewa mobil dari ibu Athirah. Memang
ada beberapa mobil yang dioprasikan sebagai taksi gelap dengan sewa
perjam. Kehadiran ibu Mela biasanya selalu memprovokasi ibu Athirah
dengan kondisinya sebagai istri yang di madu.
“Hei, Athirah! Kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua dari suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yang kau pegang dan lain-lain juga menguntungkan. Tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apakah kau tak gunda memikirkan itu?” (Alberthiene Endah, 2013:136)
Kalimat provokatif dari bu Mela tak mampu menyulut ketegaran dan
kesabaran Athirah. Jawaban bijak dari Athirah membuat tawa ibu Mela
60
yang melengking-lengking itu menjadi redah. Memang saat itu Athirah
telah menemukan kejernihan hatinya, seluruh masalahnya dikelola
dengan baik.
Kisah kemudian berlanjut, sekitar tahun 1960-an seolah telah
menjadi gelombang baru dalam hidup Jusuf. Gelombang yang
menggairahkan kerena ia sudah disibukkan dengan urusan bisnis.
Mengurus toko yang dipercayakan oleh bapaknya. Tiap hari agendanya
sudah terjadwal.
“Sepulang sekolah, langsung tancap gas menuju Jalan Pelabuhan. Menunggui toko atau sekadar memantau operasional. Sore aku sudah berada di rumah kembali. Pada waktu-waktu tertentu aku ikut Daeng Rahmat ke pelabuhan, mengurus pengambilan barang-barang impor yang dipesan perusahaan Bapak. Berkecimpung di tengah pekerja-pekerja pelabuhan dan kaum saudagar. Dan, pada akhir pekan aku leluasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku. Aku melewatkan kelas 1 SMA di Sekolah Menegah Islam. Tapi aku pinda ke SMA Negeri 2 Makassar. Aku menikmati hariku!” (Alberthiene Endah, 2013:161)
Tidak lama Jusuf sekolah di SMA 2 sebab, kemudian muncul kebijakan
untuk memekarkan sekolah karena muridnya sudah terlalu banyak.
Mereka yang bernomor urut ganjil di absen dipindahkan ke sekolah baru,
SMA negeri 3 dan Jusuf ternyata masuk dalam kategori itu.
Lebih jauh lagi, diceritakan tentang awal Jusuf mulai menaruh hati
kepada perempuan. Di SMA 3 ini ia mengagumi sosok perempuan yang
muncul dan menyita perhatiannya. Meski dirasakannya masih berupa
gelagat tapi hatinya sudah tersedot dengan cepat. Inilah awal Jusuf
mengagumi sosok Mufidah.
61
“Gadis itu tengah duduk di bangku koridor, berdua dengan temannya. Mereka mengobrol. “Yang kiri kan?” Anwar meyakinkan. Kami berdiri di balik rimbun pohon Palem. “Ya yang berambut sebahu itu...” “Astaga” Abdullah menepuk pundakku. “Itu, kan, Mufidah! Bodoh sekali kau ini, Jusuf! Dia adik kelas kita dari sekolah lama. Ikut pindah ke sini karena nomor urutnya ganjil, sama dengan kita.” Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat-ingat. Ya, barangkali aku pernah melihatnya. Tapi tidak semengesankan saat aku melihatnya di SMA 3. Atau, baru sekarang hatiku memiliki mata? “Dia memang cantik, Jusuf! Orangnya halus sekali...” Abdullah mendesis.” (Alberthiene Endah, 2013:177)
Sosok Mufidah betul-betul membuat Jusuf jadi penasaran, ia mencari
data-data tentang dia, mulai dari data biasa hingga data yang sangat
pribadi. Jusuf memanfaatkan temanya untuk mengumpulkan data. Jadilah
Abdullah, anwar, dan Abduh sebagai pemburu data yang gesit tentang
Mufidah. Setelah data dianggap cukup, mereka berpresentasi.
Perjuangan memburu gadis impian terkadang memang sangat
berat, apalagi respon baliknya masih nihil. Itulah pengalaman Jusuf dalam
mengejar Mufidah. Berbagai terik yang ia lakonkan untuk mendapat
simpati dari Mufida. Namun, hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda
keberhasilan, malahan tanda-tanda penolakan yang nyaris lebih nampak.
Tapi, Jusuf tidak pernah mengendorkan perasaan. Upayanya untuk
mengenal Mufidah masih menggebu-gebu.
Alur mengalami sorot balik sejenak ketika cerita beralih pada saat
Athirah menghadiri resepsi pernikahan anak sahabatnya, Daeng Rusdi.
Namun, suaminya tidak dapat mendampingi karena ada urusan bisnis di
luar kota. Padahal, kebiasaan orang Makassar dalam acara-acara resmi,
termasuk resepsi pernikahan pasangan suami istri akan hadir berdua.
62
Kala itu Athirah merasa canggung hadir tanpa suaminya. Tawaran Jusuf
untuk menemani Ibunya disambut hangat oleh Athirah.
“Jika Emma mau, aku bersedia menemani, tak mengapa kita datang berdua. Yang penting hati Daeng Rusdi senang. Kita jelaskan saja bahwa bapak sedang ke luar kota. Aku memberi usul. Emma menatapku dan tersenyum lembut. “Emma juga tadi memikirkan itu. Daripada kita datang ke rumah Daeng Rusdi untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa hadir di resepsi, lebih baik kita usahakan hadir pada hari bahagia itu. Betul katamu, tak mengapa kita datang berdua....” Aku mengangguk dan tersenyum. Kami telah menjadi dua orang yang saling menguatkan.” (Alberthiene Endah, 2013: 212)
Alur kembali berjalan maju saat Jusuf menyadari bahwa sikap
Mufidah yang tidak serta merta menerima cintanya itu wajar. Ia
memaklumi kalau setiap perempuan harus memahami betul karakter dari
laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Jusuf sangat memahami
betul, karena ia banyak belajar dari kondisi ibunya.
“Jadi, aku sama sekali tak marah kepada Mufidah. Ia benar. Laki-laki memang tak sepenuhnya bisa diyakini. Cinta yang sangat kuat dengan fondasi yang kukuh di awal tak menjamin munculnya kesetiaan yang abadi. Setiap perempuan boleh angkuh memutuskan kepada siapa cinta dan kepercayaan hendak diberikan. Kubiarkan hatiku untuk tak bergejolak ketika ia terlihat berlari ke dalam kelas saat aku melewati lorong depan kelasnya. Ia menghindar dariku. Juga, aku tak lagi menghampirinyadalam jarak dekat saat ia mengeluarkan sepedanya dari dalam barisan parkir saat pulang sekolah. Aku menatapnya saja dari jauh. Ia melihatku, lalu mengayuh sepedanya lebih cepat. Tak apa. Mufidah. Ia benar dalam sikapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 219)
Jusuf juga sangat paham kalau Mufidah bukanlah seorang yang bisa
begitu saja didekati. Jadilah Jusuf bertarung dengan hasratnya sendiri. Ia
menjaga sikap, mengatur jarak dan memperhitungkan waktu dan
kesempatan. Ia tak ingin karena perlakuanya hingga Mufidah tidak
63
simpatik kepadanya. Jusuf ingin betul-betul mendapatkan Mufidah dengan
caranya sendiri yang tak umum diperagakan oleh laki-laki lain yang
kasmaran. Jusuf membiarkan waktu berjalan dengan tenang untuk segera
mendapatkan Mufidah. Suatu waktu Jusuf memberanikan diri
mengunjungi rumah Mufidah dengan segala perasaan ia siap untuk
menerima risiko, termasuk jika kedatangannya harus di tolak oleh
keluarga Mufidah. Selama di rumah Muufidah, Jusuf disambut dengan
baik oleh Mufidah, juga oleh bapak Mufidah menghargai kedatangan Jusuf
layaknya sebagai seorang tamu. Respon ini membuat hati Jusuf legah.
Saat ini Jusuf mengayu dua perasaan utama, menjaga hati ibunya dan
merebut hati Mufidah. Ia tak ingin kehilangan orang tua yang dikasihi dan
gadis yang dicintainya itu.
Alur kemudian beralih pada cerita tentang kondisi ekonomi
perusahaan dagang Haji Kalla yang agak memburuk, nilai tukar rupiah
turun. Bahkan situasi ini mengguncang perekonomian Indonesia. Ada hal
yang unik, karena usaha transportasi yang dikendalikan ibu Athirah justru
mengalami peningkatan pendapatan, begitu pula dengan bisnis kain sutra
dan berlian cukup meraup keuntungan setiap hari. Saat itu memang
sedang terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, semua kota-kota besar di
Indonesia turut dialiri ketegangan.
Selanjutnya diceritakan tentang pengalaman Jusf selama kuliah di
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dari segi akademik Jusuf
memang termasuk mahasiswa berprestasi. Sementara Mufidah sendiri
64
setamatnya dari SMA ia masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim
Indonesia (UMI). Padahal Jusuf sangat berharap Mufida bisa kuliah di
Unhas juga. Meskipun demikian, selalu saja ada jalan untuk dapat
bertemu dengan Mufidah. Kebetulan saat itu Jusuf menjadi asisten Pak
Rudi dengan mata kuliah statistik. Meskipun tugas utama Pak Rudi adalah
dosen Unhas tetapi ia juga mengajar di beberapa kampus lain termasuk di
UMI. Kesempatan itu digunakan oleh Jusuf untuk mengambil alih tugas
Pak Rudi di UMI.
“Telah kudapat kepastian bahwa aku akan membantu Pak Rudi mengajar para mahasiswa tingkat satu di UMI. Mahasiswa baru. Bisa dipastikan, salah satu yang akan kuajar adalah kelas tempat Mufidah berada. Ya Tuhan, aku sangat gemetar. Sekian lama kuburuh Mufidah dengan susah payah, bahkan bisa berdekatan dengannya saja sangat sulit, kini aku akan mengajarnya! Ini jalan yang luar biasa.” (Alberthiene Endah, 2013: 292) Kedekatan Jusuf dengan Mufidah memang sudah intens, tapi
Jusuf belum mendapatkan kepastian akan perasaanya kepada Mufidah.
Jusuf berupaya untuk mendapatkan jawaban itu, namun ia tidak mau
terkesan terburu-buru. Jusuf memberanikan diri untuk mengajak Mufidah
jalan-jalan, bukan main senangnya saat Mufidah merespon keinginan
Jusuf. Dipilihnya Pantai Losari sebagai tujuan. Setelah menikmati
panorama pantai, Jusuf kemudian memilih Restoran Malabar untuk
mencicipi kuliner Losari. Saat itulah Jusuf meggunakan kesempatan untuk
mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah.
“Mufidah, aku ingin membicarakan sesuatu. Aku berusaha menjaga nyaliku. “Sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan padamu.” Mufidah menatapku dengan tenang. Pancara matanya tak gentar. Nyaliku nyaris berhamburan. Tapi tidak. Aku tak boleh
65
menunggu terlalu lama lagi. Bertahun-tahun sudah lewat dan aku seperti berjalan di tempat. Pelayan menata cangkir teh dan piring datar berisi penganan, juga dua lipatan serbet polos berwarna biru mudah.ia kemudian pergi dengan langkah cepat. Aku menyiapkan diri. “Mufidah....” Ya Tuhan, betapa beratnya mengatakan ini. “Mufidah aku suka kepadamu. Aku mencintaimu. Kau... aku mengejarmu sudah lama...” Aku kehilangan kata-kata. Astaga. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Mufidah masih menatapku dengan tenang. “Mufidah....” Aku mengumpulkan lagi energi keberanianku. Dan aku ingin kau bisa menerimaku. Menerima cintaku.... ” (Alberthiene Endah, 2013: 305) Setelah kalimat itu diucapkan, suasana jadi hening bahkan
tegang. Jusuf seperti kehilangan udara. Terasa sesak dan berat. Seperti
ada hawa mencekam yang menyambut akhir kalimat Jusuf. Ia mengharap
Mufidah dapat memberikan jawaban yang diharapkan. Jusuf serius dan
tulus menempatkan cintanya pada Mufidah. Jusuf tidak memaksa Mufidah
untuk menjawab saat itu, tapi perasaannya sudah tak sabar lagi untuk
mendapatkan kepastian dari Mufidah. Semakin terbebani, itulah yang
dirasakan Mufidah. Ia memang sulit untuk menyembunyikan perasaannya
kepada Jusuf, namun ia juga masih ragu, apalagi orang tua Mufidah
mengetahui tentang latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami dan
inilah jawaban Mufidah:
“Ia menatapku. “Ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu .... Maafkan aku ....” Suara Mufidah terhenti bersamaan dengan geraknya yang sangat cepat. Ia berlari. Menuju pintu. Cepat sekali. Lalu menghilang. Aku mematung. Tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahkan tak berpikir sampai ke sana. Tetapi itulah jawabannya. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah.” (Alberthiene Endah, 2013: 307)
66
Mendengar jawaban itu Jusuf seakan tak percaya, ia mematung beberapa
lama, jawaban Mufidah terasa perih buatnya. Bahkan tidak terasa air mata
Jusuf berleleran, ia seakan tidak sanggup menerima jawaban Mufidah,
tapi itulah kenyataannya.
Kemudian diceritakan tentang ajakan Bapak untuk berlibur ke
kampung halaman di Bone. Ajakan itu disambut gembira oleh keluarga
Jusuf. Mereka memang merindukan berwisata ke kampung halaman. Tapi
berbeda dengan Jusuf, ia masih tetap terobsesi dengan jawaban Mufidah.
Dalam hati Jusuf menggumam. “Apa yang kau ciptakan untuk kami, Pak.
Kau ada ketika kau mau. Dan, kau pergi ketika kami masih ingin
bersamamu. Sekarang gadis yang kucintai bahkan menolakku karena
kisah yang kau buat.” Jusuf dijerat dengan perasaan pilu yang membakar.
Ia hanya mendekam dalam kamar. Hingga akhirnya ajakan Bapaknya ke
Bone datang, Jusuf masih dijerat dengan perasaanya. Perjalanan ke Bone
hingga kembali ke Makassar benar-benar tidak dinikmati Jusuf, ia
terpenjara oleh pikiran dan perasaanya.
Cerita selanjutnya adalah setelah beberapa lama, musim berganti
mengiringi perasaan Jusuf. Ia lebih sibuk dengan kulih dan pekerjaanya
dalam membantu mengembangkan perusaha bapaknya. Tapi, bayang
Mufidah tidak bisa menguap begitu saja. Hingga di suatu hari ia
menempuh langkah nekat. Ia mengunjungi rumah Mufidah, ingin
memastikan perasaan Mufidah yang sejujurnya. Saat itu Jusuf
mendapatkan jawaban bahwa susnggunya Mufidah tidak hanya sekadar
67
mencintai Jusuf tetapi juga ia memercayainya. Tugas Jusuf selanjutnya
adalah meyakinkan orang tua Mufidah atas ketulusan dan keikhlasan
cintanya. Jusuf terus-menerus datang ke rumah Mufidah, menemui
ayahnya untuk melunakkan hatinya. Upaya Jusuf tak sia-sia, 27 Agustus
1967 Jusuf direstui oleh keluarga Mufidah untuk menikah.
“Sebuah hari yang baru. Aku terjaga saat beduk Subuh terdengar. Menyentuh sejuk seperti embun di atas daun. Syahdu. Syukurku tak habis-habis. Masih bisa menemui pagi dengan jembatan yang tentram. Subuh yang menghanyutkan. Aku pernah mendngar kalimat Emma. Azan subuh adalah pelembut ragamu sebelum memulai hari. Aku percaya itu. Kutatap sosok lembut di sebelahku. Mufidah juga telah bangun. Hanya matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ada rasa tak percaya, Mufidah ada bersama pagiku. Dan akan selalu ada. Senyum perempuan yang kucintai menjadi bagian yang menentramkan di dalam kedamaian pagi.” (Alberthiene Endah, 2013: 331)
Setelah pernikahannya, dengan restu ibu, Jusuf memutuskan
untuk tinggal di rumah Mufidah. Agar Mufidah merasa nyaman dan bisa
menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam kehidupan pernikahan jika ia
masih tinggal di rumahnya, dibandingkan tinggal di rumah mertua.
Sorot balik kembali terjadi saat Jusuf mengenang perjuanganya
dalam menggapai cintanya. Setelah ia di wisuda di Fakultas Ekonomi
Universitas Hasanuddin, ia nyaris putus asa karena sangat susah untuk
menggapai cinta Mufidah, ia mendatangi paman Mufidah untuk meminta
bantuan agar hubungan Jusuf dan Mufida mendapat restu dari ayah
Mufidah.
“Kudapatkan alamat sang paman dari Mufidah ketika ia sudah benar-benar kehilangan kemampuan untuk menjawab. “Ayahku
68
sulit menerimamu, Jusuf. Ini takdir kita. taka akan bisa kau menikahiku.” Mufida mengucapkan itu sambil berurai air mata. “Aku tak menyerah.” Aku menatap wajahnya dengan tajam. Ingin kusampaikan bahwa aku tak akan begitu saja mundur dan melepaskan harapanku. Seperti menepis debu. Aku telah lumat di dalam harapanku dan tak mungkin keluar dari gumpalan itu. Mufidah memberiku sebuah alamat pamannya. Barangkali dia bisa membantu. Kalau pamanku mau bicara pada ayahku, mungkin pikiran ayahku berubah ....” Suara Mufidah lembut. Kutangkap sepercik kabar baik dari kalimatnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 334) Sebenarnya Mufidah telah dijodohkan oleh orang tuanya.
Seorang pemudah Minang yang kuliah di Amerika dan cukup kaya. Ayah
Mufidah sangat merestui. Hanya saja, Mufidah tak menyukai pemuda itu.
Ia tidak tergiur dengan kekayaan dan label lulusan Amerika. Ia tetap
menaru hati pada Jusuf. Ia menolak dijodohkan meskipun jodoh yang
disodorkan memiliki masa depan yang menjajikan.
Alur cerita kemudian berjalan maju dengan kisah Jusuf yang
mengambil alih estafet kepemimpinan perusahaan orang tuanya. NV Haji
Kalla dan PT. Bumi Karsa semakin mengibarkan bendera kejayaan. Modal
pemdidikan bisnis yang memadai membuat perusahan yang dipimpinnya
betul-betul berada pada puncak kejayaan. Sementara Haji Kalla lebih
menjalakan fungsi pengayom. Sebagai seorang tokoh di Makassar, ia
sering bertemu dengan orang-orang pemeritahan, warga Nahdatul Ulama,
juga sibuk memimpin Yayasan Al Gazali, yang menaungi Perguruan
Tinggi Al Gazali yang menggusung pemikiran NU. Selain itu ia juga aktif
mengurus Mesjid Raya Makassar.
69
Di bagian akhir kisah dalam novel ini diceritakan bahwa di balik
ketegaran seorang Athirah sebagai sosok seorang perempuan tangguh,
kondisi fisik Athirah yang makin menua kesehatannya pun semakin
menurun. Tak ada lagi keceriaan dan kelincahan menyambangi dapur di
pagi buta, lalu memulai ritual menebarkan aroma masakan yang sedapnya
tiada terkira. Athirah terbaring sakit, wajahnya pucat pasi dan sangat kuyu.
Matanya redup, kedua tangannya tampak kurus, dan yang paling
mengkhawatirkan adalah perutnya yang buncit dan membatu. Hasil
diagnosa dokter, ia sedang menderita sirosis atau pembengkakan hati.
penyakit inilah yang membawa Athirah menemui ajalnya.
“Benar. Operasi itu menjawab dugaan dokter. Emma menderita kangker hati. sironisnya luar biasa parah. Namun, operasi itu tak berhasil membawa kesembuhan. Emma keluar dari ruang operasi dengan tubuh kaku. Matanya tertutup rapat. Tak ada gelagat harapan, kecuali napanya yang muncul satu-satu.” Pada dini hari 19 Januari, Emma kami bawa pulang. Beberapa selang yang terpasang di tubuhnya kami lepas. Halim menagis dan mengankat tabung oksigeng di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan kami berdoa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Innalillah waninna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenag dalam usia 56 enam tahun, tepat di muka rumah. Tyempat yang paling ia cintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang hidupnya di Makassar.” (Alberthiene Endah, 2013: 377) Sepeninggalan Athirah, Haji Kalla larut dalam duka yang
mendalam. Bahkan sebagian besar orang berasumsi kalau cahaya aura
dari Haji Kalla telah hilang, jiwanya telah mati. Ia tak perna lagi tersenyum
apalagi tertawa. Ia betul-betul berkabung tanpa jedah. Suram wajahnya
70
tak bisa lagi disibak. Ia salat dan mengaji dalam tangis, susah diajak untuk
bicara. Seisi pikiranya hanya tertuju pada Athirah. Ia berulang kali
mengajak Jusuf mengantarnya ke pemakaman istrinya. Ia betul-betul
merasakan kehilangan, hingga larut dalam kesedihan. Duka Haji kalalla
tak habis-habis. Hingga ia pun meninggal hanya berselang tiga bulan
setelah Athirah meninggal.
“April 1982, hanya berselang tiga bulan setelah Emma wafat, seorang kerabat kami berlari panik di halaman rumahku. “Jusuf, Jusuf! Bapak wafat, bapak wafat...” bapak menyusl Emma kurang dari seratus hari setelah napas terakhir Emma terhembus. Kesedihan yang luar biasa telah memangkas semangat hidup Bapak. Habis sudah harapannya terhadap hidup. Tubuhnya lemah karena ia jarang menyentuh makanan. Sore menjelang Magrib, ia sedianya hendak ke Mesjid Raya. Ia masuk ke kamar Mandi lalu tak keluar lagi. Bapak meninggal dalam kondisi tertelungkup di sana.” (Alberthiene Endah, 2013: 380)
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh yang terdapat dalam novel Athirah adalah Athirah, Haji
Kalla, Jusuf, Mufidah, Pak Rudi, Bu Mela. Berikut ini adalah pengambaran
watak masing-masing tokoh yang terdapat dalam novel Athirah sebagai
berikut:
a. Athirah (Emma)
Athirah diungkapkan oleh pengarang secara fisiologis bahwa
diera 1957 Athirah adalah seorang ibu rumah tangga muda yang cantik
umurnya 32 tahun, namun masih kelihatan lebih mudah dari umurnya.
“Aku tertengung mendengar pertanyaan terakhir Emma. Apaka ini artinya ia kalah? Oh, ia tak seharusnya mendapatkan cobaan seperti ini. Aku memandang wajahnya. Sangat cantik. Dalam usia 32 tahun saat itu ibuku tampak bagaikan perempuan di bawah
71
usia 30 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya yang tak pernah dirias memperlihatkan kecantikan murni yang sangat indah. Ia juga teramat baik. Tidak seharusnya ia dimadu.” (Alberthiene Endah, 2013: 56) Secara analitik pengarang pengarang memaparkan watak tokoh
Athirah sebagai perempuan yang tangguh, sabar, penyayang, dan ikhlas.
Ia bisa melewati hari-harinya dengan semangat bersama segenap anak-
anaknya, meskipun cintanya harus dibagi oleh sang suami karena memilih
menikah lagi. Statusnya sebagai istri yang dimadu bisa dijalani dengan
segenap kesabaran dan ketabahannya.
“Tenggorokanku tercekat. Rasanya tak adil. “Emma pikir, tak perlu lagi kita mengharapkan kebaikan Bapak....” Aku menanti kalimat Emma selanjutnya. Takut sekali aku pada dugaanku. Apaka ia akan mengatakan sesuatu yang mencekam? Cerai? Ini semua telah terjadi. Barangkali sudah takdir Emma menempu hidup seperti ini.” Emma memandangku dan tersenyum lembut. Tidak ada tanda-tanda perasaan pedih. Aku melihat pancaran bening. Ringan. Tulus. Ikhlas. “Kita tak perlu lagi mencari-cari Bapak. Tak perlu berusaha membuatnya kembali seperti dulu. Ada di rumah ini untuk kia semua, setiap waktu. Biarlah bapak dengan pilihannya. Memiliki dua keluarga. Dan kita lakoni hidup dengan takdir kita, sebaik-baiknya....” Aku seperti melihat cahaya kembali. Berkali-kali lebih terang dan jernih. Emma telah kembali.” (Alberthiene Endah, 2013: 129) Dilihat dari segi sosiologis, Athirah adalah seorang pebisnis. Ia
memiliki banyak relasi bisnis baik di Makassar maupun di daerah-daerah.
Bisnis yang dilakoni adalah angkutan transportasi, jualan kain sutra, dan
perhiasan berlian. Hampir setiap hari rumahnya sesak oleh gegap-gempita
para pembeli.
“Rumah kami menjadi sagat hidup. Yang datang bukan lagi sekadar pelanggan bisnis transportasi atau rekan-rekan bisnis Bapak yang berkepentingan bertemu dengan Emma, melainkan pelanggan dagangan Emma. Benar-benar bernyawa. Emma
72
benar-benar memainkan cahayanya. Pagi-pagi sekali ia merapikan kain-kain di kamar. Ketika pembeli mulai berdatangan pada siang hari, ia menjelma menjadi penjual yang sangat lincah. Disampirkannya kain-kain sutra di bahunya, di lengannya, di kursi-kursi, dan Emma mulai bercerita banyak hal tentang kain itu. Ia seperti dihujani energi. Para pembeli kebanyakan datang dari luar Makassar, menatapnya dengan takzim. Kemudian belasan, bahkan puluhan kain berpindah tangan. Aku tidak melihat lembar-lembar uang yang masuk sebagai penanda keberhasilan Emma. Tidak. Tapi bagaimana ia bisa berenag dengan kain-kain indah itu dan merajut satu warna kehidupan yang cerah. Itu membuatku bertekuk lutut. Aku hormat pada cara ibuku untuk bangkit.” (Alberthiene Endah, 2013: 164)
b. Haji Kalla
Secara analitik, Sebagai petarung nasib yang gagah berani
membuat sosok Haji Kalla di segani dan terpandang di seantero
Makassar. Prihal kesuksesannya dalam berniaga menjadi teladan dalam
menginspirasi orang-orang untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko
mereka. Tentang karakter di atas dapat di simak dalam petikan berikut.
“Aku menghormati ayahku. Sangat. Haji Kalla yang terpandang di seantero Makassar. Haji Kalla yang mewarnai Bone dengan teladan kesuksesan berniaga hingga orang-orang di sana terinspirasi untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko mereka. Haji Kalla yang meninggalkan Bone dengan jejak keberhasilan dan sanggup menaklukkan Makassar pedagan yang telah menyandang gelar haji sejak usia 15. Petarung nasib yang gagah berani melanjutkan hidupnya di atas “kapal” sendiri lewat kios sederhana di sebuah pasar. Ia menang atas cita-citanya.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)
Secara dramatik, pengarang menggabarkan Haji Kalla sebagai
sosok yang berwibawa. Ia juga termasuk orang visioner, meskipun
awalnya ia adalah seorang pedagang kecil dari Bone, ia tidak pernah
minder bersaing dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di
73
Makassar. Ia sangat cekatan beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Gambaran karakter Haji Kalla ini tersirat dalam kutipan berikut.
“Yang kukagumi pula dari Bapak adalah kemampuannya beradaptasi dengan zaman. Ia berlari dengan waktu, juga mencumbunya. Bapak tak pernah merasa minder untuk terlibat dalam berbagai kemajuan di dunia dagang. Sungguhpun semula ia hanya pedagang kecil dari bone, dibanding dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di Makassar. Bapak mengimpor banyak barang. Susu, tekstil, furitur, obat-obatan, makanan awet, kebutuhan rumah tangga macam-macam. Berkahnya sepertinya ada di bidang itu. Usahanya, NV Hadji Kalla, berjalan dengan sukses.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)
c. Jusuf
Secara analitik, Jusuf dikemukakan oleh pengarang sebagai
pemuda yang tabah, ikhlas, dan bertanggung jawab. Di usianya yang
masih sangat muda, sebagai anak laki-laki pertama dengan ayah seorang
poligamer, terpaksa harus menjadi pendamping ibu dalam memimpin adik-
adiknya. Tanggung jawab ini harus diemban oleh Jusuf sejak usianya baru
16 tahun. Ketabahan dan sifat bertanggun jawab pada diri Jusuf
dijelaskan dalam kutipan berikut.
“Hati kami telah menjadi kuat. Lebih kuat dari yang kuduga. Aku terbiasa dengan hari-hari yang kehilangan satu pilarnya. Pada mulanya batin kami seperti berongga. Ada yang hilang dan terasa kosong. Namun, lama kelamaan kami terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong. Keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Aku belajar banyak dari kisa Bapak dan Emma. Sangat banyak. Meskipun baru beberapa tahun berjalan, aku terdidik untuk paham apa makna ikhlas. Ketika kau tak lagi berontak, bahkan untuk sesuatu yang pantas kau teriakkan. Aku bukan lagi melupakan atau sengaja mengubur rasa sakit hati. Melainkan, berdamai. Menerima dan mendewasakan diri. Tentu saja tak sempurna. Usiaku belum lagi mencapai 20 tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 132)
74
Karakter Jusuf yang lain adalah orang yang optimis. Awal
perjalanan cintanya untuk menaklukkan hati Mufidah tak mudah ia raih.
Berbagai tanjakan yang harus ia taklukkan, tapi karena optimisme yang di
miliki oleh Jusuf, akhirnya cintanya bercokol juga dalam hati Mufidah.
Akhirnya hubungan mereka kukuhkan dalam ikatan pernikahan pada
tahun 1967. Tentang perjuangan dan optimisme Jusuf dalam
menaklukkan hati Mufidan dan keluarganya tergambar dalam kutipan
berikut.
“Kami menikah pada 1967. Sebuah pesta yang sederhana, tapi sangat meriah. Bertahun-tahun pendekatan dan setahun masa pacaran. Setahun yang sarat dengan suka cita. Aku melimpahkan hatiku kepadanya, perempuan yang sangat kucintai. Ibuku menyediakan banyak waktu untuk berbicara banyak hal dengan Mufidah. Aku terus menerus datang ke rumahnya, menemui ayahnya, melunakkan hatinya. Setelah cintaku dan Mufidah bersatu, kami terus berjuang. Upaya kami tak sia-sia. Orang tuanya merestui kami menikah. Bapak dan Emma memelukku. Berlinangan air mata.” (Alberthiene Endah, 2013: 329)
d. Mufidah
Secara analitik, Mufidah dipaparkan sebagai sosok perempuan
yang lembut dan menjaga pergaulan. Ia tidak mudah percaya kepada
orang yang dekat padanya. Butuh waktu untuk mempelajari maksud,
tujuan dan memahami karakternya. Itulah yang di alami Jusuf ketika
mengejar cinta Mufidah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menaklukkan
hatinya. Karakter Mufidah ini terefleksikan dalam kutipan berikut.
“Tapi kemudian sebuah sentuhan lembut mengenai bahuku ketika rombongan bergegas menuju bus. Aku menoleh. Terkejut. Mufidah tersenyum samar. Aku tak mengeluarkan suara sangking begitu kagetnya. Hanya mataku yang membelalak, dan itupun segera kubenahi. Aku memandangnya tanpa senyum. Kagetku
75
membekukan wajahku. “Maafkan aku.” Ia melebarkan senyumnya. “Bukan maksudku tidak ingin berkenalan denganmu. Tapi, aku memang tidak mudah dekat dengan orang yang baru kukenal ....” Mufidah tersenyum lagi. Aku masih syok. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mataku tegak menatapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 223) Selain itu, Mufidah juga adalah sosok permpuan yang
bertanggung jawab dan peduli terhadap keluarga. Meskipun ia kuliah, ia
masih menyempatkan dirinya untuk bekerja di BNI demi membantu
prekonomian keluarga. Jadwal kuliahnya diatur sedemikian rupa agar
tidak saling menggaggu dengan pekerjaanya.
e. Ibu Mela
Ibu Mela digambarkan oleh penulis secara dramatik sebagai
sosok perempuan yang provokatif. Ia senang memprovokasi Athirah
dengan kata-kata yang menghasut agar Athirah mencurigai suami dan istri
kedua suaminya. Tentang hal itu dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Kau tak pernah bertanya berapa uang yang diberikan suamimu kepada istri keduanya?” ibu Mela melontarkan pertanyaan kepada Emma. Pertanyaan yang tidak sejuk. Barangkali perlu. Tapi itu mengganggu. “saya menghormati sikap Pak Kalla. Dia pasti memutuskan paling tepat....” Suara lembut Emma Muncul. “Hei, Athirah kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yan kau pegang dan lain-lain dengan menguntungkan, tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apa kau tak gundah memikirkan itu?” suara Bu Mela melengking-lengking, membelah sore yang semula tentram. “coba kau selidiki, Athirah. Istri tua biasanya hanya dapat yang sisa. Atau, yang rutin-rutin saja. Selebihnya, yang banyak itu akan jatuh kepada istri muda. Kalau kau tak pandai-pandai menyelidiki, habislah jatah kau dan anak-anakmu!” ibu mela semakin berapi. Aku jadi tak konsentrasi. Kututup buku pelajaranku. Telingaku makin tajam menyedot pembicaraan mereka.” (Alberthiene Endah, 2013: 136)
76
Setiap kata-kata Bu Mela selalu diiringi dengan tawa tak sedap
yang melengking-lengking. Namun, setiap itu pula Athirah menjawab
dengan kata-kata bijak yang diiringi dengan tawa lembut. Akhirnya Bu
Mela mengalah sendiri ia meredahkan kata-kata dan tawa provokasinya.
f. Daeng Rahmat
Secara analitik penulis mengambarkan perwatakan Daeng
Rahmat baik dari segi fisik, sosial, maupu psikis. Tentang karakter Daeng
Rahmat dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Daeng Rahmat seorang pria berprawakan gempal, berkulit gelap rahangnya kuat, tetapi memiliki sorot mata yang teduh. Wajahnya khas laki-laki Sulawesi Selatan. Aku bisa bercerita apa saja kepadanya. Kecuali, tentang Emma. Namun, suatu kali ia dapat membaca pikiranku. “Kau sangat dewasa dibandingkan dengan usiamu, Jusuf. Kurasa kau selama ini sangat cakap menjaga dan memimpin adik-adikmu....” Daeng Rahmat seperti memberi tekanan pada kata “menjaga dan memimpin”. Aku mengangguk pelan. Bisa meraba kedalama kalimat Daeng Rahmat. “Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Daeng....” Ia tersenyum memandangku dengan sorot yang damai. “Ibumu sangat baik. Dan, sebagai anak laki-laki tertua, kulihat kau pun mewarisi kedewasaan sikap ayahmu. “Terima kasih Daeng.” Aku senang. “Doakan kami selalu dalam keadaan baik.” “Jagalah hati ibumu ....” Akhirnya Daeng Rahmat mengeluarkan puncak dari topik percakapan kami. “Hanya kau yang bisa berbuat itu di rumah.” (Alberthiene Endah, 2013: 126) Secara analitik, fisik Daeng Rahmat dipaparkan sebagai lelaki
berbadan kekar namun memiliki sorot mata yang teduh. Bentuk fisik ini
juga tercermin pada psikis. Daeng Rahmat, meskipun kelihatan kekar tapi
ia memiliki hati yang lembut dan penyayang. Sifat sosial Daeng Rahmat
adalah perhatiannya kepada pihak lain sangat menonjol, ia senang
77
berbagi kepada sesama, meskipun itu kepada orang yang lebih mudah
dari dirinya.
g. Pak Rudi
Secara dramatik, pengarang menggambarkan tokoh Pak Rudi
sebagai sosok yang cerdas, perhatian, dan sosial. Asumsi tersebut di
peroleh dari profesi Pak Rudi sebagai dosen di dua perguruan tinggi yaitu
Unhas dan UMI. Pengangkatan Jusuf sebagai asisten menujukkan kalau
Pak Rudi adalah orang yang memiliki perhatian dan jiwa sosial. Ia mau
berbagi dengan orang yang memiliki kapabel di bidangnya. Tentang hal
tersebut tersirat dalam kutipan berikut.
“Pak Rudi mengangguk dan tersenyum arif. “Jusuf saya yaki kau dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Nilaimu selalu lebih dari cuku. Hanya saja satu pesan saya, kau tak boleh terlambat. Seorang asisten dosen harus biasa menjadi teladan mahasiswa. Usahakan datang tepat waktu di kelas....” Aku menyalami Pak Rudi dengan gembira. “Semoga saya tidak mengecewakan Bapak!” Aku krluar dari ruangan dosen dengan hati berbunga.”
h. Abdullah
Secara analitik, Abdullah memiliki sikap jail. Namun, pada kondisi
tertentu, ia juga terkadang serius untuk memberi perhatian dan semangat
kepada temanya. Tentang karakter Abdullah bisa kita cermati dalam
kutipan berikut.
“Tapi lama kelamaan mereka berhenti menertawaiku. Mereka paham, sedihku tak lagi dalam ranah lelucon. Aku bahkan tak tertawa ketika mereka sibuk mencari celah lucu dari ceritaku. Orang yang sungguh-sungguh jatu cinta sangat muda diajak bercanda, atau justru tidak sama sekali. “Kau bersabarlah, Jusuf. Gadis-gadis kadang memerlukan waktu lebih lama daripada perjalan naik haji untuk menilai laki-laki,” ujar Abdullah. “Justru kau harus bangga. Dia tidak begitu saja mau menerimamu. Dia
78
benar-benar menilaimu.” Benar. Abdullah sunggu benar. Aku tak pernah tersinggung dengan sikap tak ramah Mufidah.” (Alberthiene Endah, 2013:204) Terlepas dari karakter Abdullah yang jail, ia juga memiliki
solidaritas yang tinggi. Untaian kata-kata penyemangat yang dilontarkan
cukup memberi ketenangan kepada Jusuf. Ini mengisyaratkan kalau
Abdullah adalah sosok yang sangat memiliki kepekaan sosial.
i. Abduh
Secara analitik, pengarang menjelaskan bahwa salah satu dari
tiga sahabat Jusuf saat sekolah di SMA, Abduh yang paling jail. Setiap
saat selalu menggoda Jusuf dengan kata-kata usil dengan sindiran karena
sampai SMA Jusuf belum punya pacar, padahal ia adalah anak orang
tepandang dan saudagar kaya.
“Kau tak pernah membonceng perempuan.” Abduh paling jail. “sulit dibayangkan, anak muda cakap seperti dirimu, berayah saudagar terpandang, punya toko, punya rumah besar, ada skuter, tapi tak seorang gadis pun pernah menclokdi boncengan skutermu ....” (Alberthiene Endah, 2013: 167)
Dari kutipan tersebut tergambar tingkah laku tokoh Anwar. Kata-katanya
yang bermuatan ejekan, usil tapi menantang, mengisyarakan kalau tokoh
ini memiliki karakter jail. Meskipun demikian, ia juga memiliki kepekaan
sosial yang tinggi.
j. Anwar
Ketiga sahabat Jusuf digambarkan pengarang secara dramatik
memiliki karkter yang sama. Serupa dengan Abduh dan Abdullah, Anwar
juga memiliki karakter yang jail. Kata-katanya terkesan pedas tapi
79
sesungguhnya ia hanya melucu. Hal tersebut dapat disimak dalam
petikan berikut.
“Dia sangat pendiam. Dingin. Sepertinya belum pernah pacaran. Dia hanya keluar untuk pergi sekolah saja. Selebihnya di rumah, membantu ibunya. Anwar menambahkan. Aku masih belum puas. “Di mana rumahnya? Tiga sahabatku tertawa. “di mana? “Hei, seorang kesatria tak boleh hanya mengandalkan informasi orang lain. Kau berjuanglah mencari tahu di mana rumanya. Kalau kau benar kepincut kepadanya, jangan tunggu matahari tenggelam untuk berkenalan dengannya.” (Alberthiene Endah, 2013: 179)
Dari kutipan tersebut tergambar karakter Anwar yang jail.
Meskipun ia telah membantu mencari informasi tentang gadis yang di
taksir Jusuf, namun kata-kata yang berupa ledekan kepada Jusuf terus
dilancarkan.
3. Latar
a. Latar Tempat
Sebagian besar peristiwa-persitiwa yang ada dalam novel Athirah
berlatar tempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone,
Bantimurung, dan Sengkang. Berikut ini akan dipaparkan latar tempat
dalam novel dengan kutipan-kutipan.
Tempat terjadinya peristiwa pertama dalam novel ini yaitu di
Makassar tepatnya di ruamah kediaman Jusuf di Jalan Andalas . Diawali
saat sebuah percakan antara Athirah (Emma) dengan Jusuf. Dalam
80
suasana santai mereka sedang memperbincangkan gerak-gerik ayah
Jusuf yang dinilainya aneh.
“1955. Sebuah percakapan sederhana. Aku tak pernah menyangka bahwa percakapan singkat itu akan membawa perubahan besar dalam hidup kami. Diucapkan saat Makassar sedang dibakar matahari pada tengah hari. Itulah kali pertama aku melihat ibuku disakiti dunia.” (Alberthiene Endah, 2013: 10) Tak hanya di rumah Jusuf, latar tempat peristiwa dalam novel ini
juga terjadi di rumah Mufidah, sebuah rumah sederhana dan mungil.
Gambaran tentang latar ini dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Aku tak melewatkan kesempatan itu. Pada hari yang dipastikan aku kembali datang ke rumahnya. Persis seperti waktu yang ia minta, ketika sore masih diwarnai matahari garang. Dan, kutemui pemandangan yang membuatku geli. Delapan orang adiknya dari yang tertua hingga yang termuda berkumpul di ruang tamu mengelilingi kotak catur. Padat sekali. Aku tidak bisa melangkah dengan leluasa ke kursi. “Lewat sini....” Mufidah menggeser sebuah kursi dan memberi jalan kepadaku. Suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk teriakan adik-adiknya. Sangat berisik. Aku bahkan tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Semuanya berseru-seru.” (Alberthiene Endah, 2013: 248) Masih di wilayah Makassar, peristiwa yang diceritakan dalam
novel ini juga terjadi di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Sebuah kampus selain Unhas yang menjadi favorit bagi anak muda
Makassar dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan yang ingin melanjutkan
pendidikan di Perguruan Tinggi. di kampus ini Jusuf menjadi asisten
dosen, ia mengajarkan mata kuliah Statistik yang di bina oleh Pak Rudi.
Gambaran tentang hal ini dapt di simak dalam kutipan berikut.
“Aku memacu skuterku dengan cepat pada hari pertama aku mengajar. Kampus itu terasa romantis pada sore hari. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menciptakan bayangan indah di layar langit kemerahan. Angin pantai mengibas-ngibas tengkuk.
81
Lorong depan kelas-kelas di UMI seperti gelaran karpet merah yang menyambutku dengan antusias. Entalah, perasaanku yang antusias barangkali yang akhirnya memantulkan gelombang riang.” (Alberthiene Endah, 2013:293)
Pantai Losari juga tak pelak menjadi latar tempat dalam novel ini.
Pantai Losari merupakan tempat favorit bagi warga Makassar yang ingin
menikmati wisata pantai. Di pantai ini kita bisa menyaksikan
pemandangan menakjubkan di sore hari karena di sini kita bisa
menyaksikan dengan langsung matahari terbenam di seberang laut.
Tentang latar pristiwa yang tergambar dalam novel Athirah dapat disimak
dalam kutipan berikut.
“Kau menyukai pantai pada sore hari? Aku mengulang kalimat Mufidah. Kami sudah duduk di sebuah kedai es kelapa dan ikan bakar yang mengarah ke bibir Pantai Losari. Angin pantai buas menerpa wajah dan rambut kami. Cuaca sedang sedikit ekstrem. Anak-anak kecil riang bermain bola di atas pantai dan memekik-mekik setiap kali angin kencang, disusul bunyi ombak yang bergemuruh. Tapi langit cerah.” (Alberthiene Endah, 2013:293)
Peristiwa dalam novel ini juga terjadi di kampus SMA 2 Makassar
tempat Jusuf mengenyam pendidikan sebelum sebelum pinda ke SMA 3.
Di sini jusuf bertemu dengan tiga sahabat yang mereka yang memiliki
chemistry.
“Di SMA 2 aku bersahabat dengan tiga siswa, Abdullah, Abduh, dan Anwar. Sejak kali pertama duduk di kelas kami segera merasakan chemitry. Sama seperti persahabatanku dengan Bahar, Rudi, dan somad, aku pun merasakan karakter hangat pada diri mereka. Tiga sahabatku di SMP itu sayangnya berpencar di SMA yang berbeda-beda. Abdullah, Abduh, dan Anwar punya karakter yang nyaris mirip dengan Somad, Bahar, dan Rudi. Terutama dalam hal usil.” (Alberthiene Endah, 2013: 167)
82
Tidak hanya di SMA 2, latar tempat dalam novel ini juga di SMA 3 karena
adanya kebijakan untuk memekarkan sekolah ini sangkin banyaknya
murid. Jusuf dan tiga sahabatnya bersyarat pindah ke sekolah baru
tersebut.
“Tidak lama aku sekolah di SMA 2. Sebab, kemudian muncul peraturan untuk memekarkan sekolah, sangking muridnya sudah terlalu banyak. Mereka yang urutan absenya ada di nomor ganjil harus pindah ke sekolah baru, SMA Negeri 3. Aku termasuk siswa yang bernomor ganjil. Ketika kenaikan kelas dari kelas 2 ke kelas 3 aku hijrah ke SMA baru itu. Yang membuatku riang, Abdullah, Abduh, dan Anwar pun termasuk siswa yang pindah.” (Alberthiene Endah, 2013: 176)
SMA Negeri 3 merupakan pemekaran dari SMA Negeri 2, sebagian besar
siswanya merupakan pindahan dari sekolah induk.
Selain Makassar, latar tempat cerita dalam novel ini adalah
Taman Wisata Bantimurung, Kabupaten Maros. Saat itu beberapa siswa
dari teman kelas Mufidah berinisiatif untuk melakukan perjalan wiasata ke
Bantimurung. Untuk lebih meriah mereka mengajak siswa dari kelas lain
untuk berpartisipasi. Tak pelak lagi, Jusuf, Abdullah, Abduh, dan Anwar
ikut ambil bagian.
“Bantimurung dan segala pesonanya menjadi tempat bagiku untuk menerima penegasan sikap Mufidah. Ia memang sungguh-sungguh tak tertarik berteman denganku. Aku bisa membuktikannya dari bagimana ia berusaha tak berpapasan denganku, apalagi saling bertegur sapa. Ia membuat dunianya sendiri. Aku, terpaksa pula memuaskan diri dengan duniaku sendiri, berkelompok bersama Abdullah, Abduh, Dan Anwar. Beberapa siswa bergabung dengan kami.” (Alberthiene Endah, 2013: 222)
Selain Makassar dan Bantimurung, pristiwa dalam novel ini juga
terjadi di Sengkang. Sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Bone.
83
Sengkang sangat terkenal dengan sentra kain hasil tenunan terbaik di
Sulawesi Selatan. Sauatu ketika Athirah mengajak Jusuf untuk
mengunjungi kota ini guna membeli barang-barang hasil tenunan asli
sengkang. Gambaran tentang perjalanan mereka dapat disimak dalam
kutipan berikut.
“Banyak Hal yang ia lakukan di sana. Kami mengunjung sentra-sentra penenun. Emma melihat alat-alat tenun mereka dan entah apa yang ia katakan. Ia juga membicarakan desain. Memperlihatkan benang-benang sutra yang telah ia celupkan dan menerangkan dengan sangat lincah. Selama Emma melakukan banyak hal dalam kunjungan itu, aku lebih banyak berada di luar rumah-rumah tenun. Menikmati ketentraman baru yang mendadak menyeruak masuk ke dalam batin. Aku memandang jalan utama di Sengkang yang sangat legang. Hening mengalir perasaan tenang. Sayup suara Emma bersama penenun terdengar dan mengemakan kidung kegembiraan. Kutatap langit biru jernih yang bersih.dari awan. Kuharap luka pada diri Emma menjelma benih semangat yang tak pernah lagi luruh.” (Alberthiene Endah, 2013: 145) Persitiwa dalam cerita juga terjadi di Bone. Bone adalah tanah
kelahiran Jusuf, masa kecilnya ia habiskan di Bone sebelum ayahnya
kemudian hijrah ke Makassar. Suatu saat, ayah Jusuf mengajak
keluarganya berlibur ke Bone. Selama di Makassar, sudah lama memang
mereka tak mengunjungi Bone dan mereka sangat rindu. Saat itu Jusuf
masih dalam suasana kalut, ia baru saja menyampaikan hasratnya
kepada Mufidah. Namun, jawaban yang didapatkan adalah penolakan
dengan alasan latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami. Keluarga
Mufidah tak ingin hal yang sama terjadi pada dirinya. Jadilah wisata ke
Bone hal yang tak menggairahkan oleh Jusuf.
84
“Bone yang hangat, terasa sunyi untukku. Emma menikmati pertemuan dengan ibunda dan adik-adiknya. Ia telah jauh lebih bercahaya. Harum dalam kematangannya. Kukuh setelah lulus ditempa ujian. Bapak terus menerus menatap Emma. Entah apa dalam pikirannya. Tapi aku menangkap cinta yang besar dalam tatapannya. Dan, sedikit penyesalan. Aku terkubur dalam sedihku. Matahari datang menghangatkan Bone, lalu pergi saat senja telah mencapai keindahannya. Tawa riang-saudara-saudaraku dan kecipak suara para tetua keluarga Bapak dan Emma mengudara melintasi hari.” (Alberthiene Endah, 2013: 145).
b. Latar Waktu
Waktu terjadinya peristiwa dalam novel Athirah secara rinci
diceritakan dari tahun 1955 hingga tahun 1982. Dimulai saat melihat
gelagat perubahan pada sang suami, ibu Athirah mecoba berbagi
tanggapan dengan Jusuf dalam sebuah percakapan sederhana. Usia
Jusuf saat itu baru 14 tahun, adalah umur tergolong masih sangat mudah
jika ingin diajak berbagi tentang perasaan orang tua. Kemudian peristiwa
susul menyusul terjadi hingga terjadi peristiwa paling akhir dalam novel ini
yaitu saat Haji Kalla meninggal dunia tepatnya pada bulan April 1982.
c. Latar Sosial Budaya
Latar sosial budaya dalam novel Athirah adalah kehidupan sosial
budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang digambarkan
dalam novel ini adalah kehidupan sosial budaya masyarakat yang sangat
majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan tingkat
ekonomi yang berbeda.
Budaya Bugis dalam novel ini sangat terasa. Hal ini tergambar
dari kutipan-kutipan bahasa Bugis yang disisipkan pengarang dalam
85
tulisan ini. Misalnya kata kue Barongko dan Sarebba. Kue Barongko
adalah makanan khas orang Bugis dan hanya bisa ditemukan di tengah-
tengah masyarakat Bugis. Hal ini dapat kita simak dalam kutipan ini “aku
duduk di kursi kayu dalam dapur. Tanganku sudah menjama kue
Barongko yang kelima. Sunggu lezat barongko buatan Emma. Santan dan
gulanya terasa pas. Kepadatan dan empuknya sempurna.” (Alberthiene
Endah, 2013: 211). Barongko adalah sejenis kue khas orang Bugis,
sedangkan Sarebba adalah sejenis minuman khas orang Bugis. Minuman
ini merupakan ramuan berbahan dasar jahe ini tidak sulit ditemukan ketika
berada wilayah oarng Bugis.
Selain itu, dalam novel ini juga kita temukan kata patellu. Patellu
artinya dalam bahasa Indonesia adalah saudagar atau pedagang. Di sini
diungkapkan bahwa dalam keluarga Jusuf, profesi dagang sudah menjadi
urat nadi kehidupannya. Hal ini bisa disimak dalam kutipan berikut.
“Mereka sangat mengagumkan. Ini dunia yang menyenangkan. Aku
menyukai niaga. Darah patellu mengalir kuat di sekujur tubuhku. Yang
kukagumi dari bapak adalah kemampuanya beradaptasi dengan zaman.”
(Alberthiene Endah, 2013: 243)
4. Tema dan amanat
Tema merupakan suatu gagasan sentaral yang menjadi dasar
suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau
amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993:42). Tema dapat
86
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah
karya novel (Nurgiyantoro, 1995:70).
Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa
menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur
manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia (Sudjiman,
1988:57).
Hubungan antara tema dengan amanat sangat erat. Jika tema
merupakan ide sentral, maka amanatlah yang menjadi penjelas dari ide
tersebut. Jika tema merupakan perumusan pertanyaan, maka amanatlah
yang menjadi perumusan jawabannya.
Novel Athirah memiliki tema jamak, artinya dalam novel ini
memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam novel ini terdiri dari satu tema
mayor dan beberapa tema minor. Tema mayor dalam novel ini adalah
Kesetiaan dan ketulusan dalam setiap kondisi kapan dan dimana pun.
Sedangkan tema minor yang terdapat dalam novel ini antara lain:
a) Sifat dan watak manusia berbeda-beda.
b) Usaha dengan kerja keras adalah kunci kesuksesan.
c) Kesabaran dalam menyikapi masalah dalam kehidupan
Novel Athirah terdiri dari beberapa tema, maka novel ini juga
mengandung beberapa amanat di antaranya:
a) Kesetiaan sesuatu yang tidak hanya ada saat kau dihadapkan pada
sesuatu yang membuatmu bahagia tapi, juga saat kau berhadapan
87
dengan sesuatu yang membuatmu berat. Ketika kita mencintai
sesuatu maka cintailah dengan ketulusan, cinta yang tidak
bersyarat, kecuali yang disyaratkan oleh cinta itu sendiri.
b) Sifat dan karakter setiap manusia berbeda-beda. Oleh karena itu,
janganlah menilai baik dan buruknya sesorang hanya dari sisi
luarnya saja termasuk latar belakang kehidupan keluarganya.
c) Ketika mengupayakan sesuatu harus dilakukan dengan total
kemampuan dengan iringan doa. Seperti yang tertera dalam
d) Setiap orang akan diuji sesuai dengan kemampuanya, jalanilah
ujian dengan ikhlas agar Sang Penguji menghadiaimu benteng
dengan sifat sabar.
B. Analisis Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra meninjau karya sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978: 2). Karya
sastra merupakan refleksi kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang
dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di masyarakat sebagai
makhluk sosial. Oleh karena itu, dalam analisis sosiologi sastra ini akan
dijabarkan bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat setempat
yang terefleksikan dalam novel Athirah. Latar sosial budaya dalam novel
ini adalah kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial yang
digambarkan dalam novel ini adalah kehidupan sosial masyarakat yang
88
sangat majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan
tingkat ekonomi yang berbeda.
Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali
problem dasar kehidupan (Santosa, 1993:40). Masalah-masalah dasar
kehidupan sosial budaya masyarakat adalah masalah-masalah yang
sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kematian
(maut), cinta, pengharapan, tragedi, pengabdian, arti dan tujuan hidup,
serta hal-hal transendental. Penelitian ini difokuskan pada masalah
kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terefleksikan dalam
novel Athirah yang meliputi kematian, cinta, tragedi, harapan, pengabdian,
dan hal-hal transendental.
1. Kematian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maut berarti mati
atau kematian terutama tentang manusia (Moeliono, 1990:518).
Pengertian mati dapat dijelaskan dengan tiga hal, yaitu:
a) Kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad
b) Terputusnya hubungan antara roh dan badan
c) Terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85).
Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian
adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat
menentukan kapan, dimana dan apa sebab datangnya kematian tersebut.
Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam sesuai
dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:
89
a. Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik
karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai
makna rohaniah.
b. Orang yang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap
bahwa kematian adalah peristriwa alamiah yang tidak ada makna
rohaninya.
c. Orang yang merasa keberatan atau takut untuk mati karena
terpukau oleh dunia materi.
d. Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap
kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena
banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi
keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).
Persoalan maut di lukiskan dalam novel Athirah dengan peristiwa
meninggalnya Athirah karena komplikasi penyaki diabetes dan sirosis atau
pengerasan hati yang menderanya. Pertolongan medis dengan operasi
pun tak mampu lagi menyelamatkan nyawa Athirah.
“Pada dini hari 19 Januari 1982, Emma kami bawa pulang. Berbagai selang yang terpasang di tubuhnya dilepas. Halim menangis dan mengangkat tabung oksigen di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan, kami membaca doa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenang dalam usia 56 tahun, tepat di muka ruamah. Tempat yang paling dicintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang masa hidupnya di Makassar”. (Alberthiene Endah, 2013: 377)
90
Kematian Athirah semakin mengharu biru, Haji Kalla seakan tidak
sanggup menerima kenyataan ini. Ia larut dalam sedih dan duka yang
dalam. Banyak orang mengatakan bahwa sejak kepergian Athirah, cahaya
di wajah Pak Haji Kalla telah hilang, bahkan mati. Ia tidak pernah lagi
tersenyum apalagi tertawa. Betul-betul merasakan kehilangan, ia
berkabung tanpa pernah berjedah. Matanya terus-menerus nanar dan
menerawang. Pikiranya hanya tertuju pada sosok Athirah. Sekan ada
penyesalan besar di sana atas penghianatan cinta yang di lakukannya
terhadap Athirah.
Persoalan maut yang diceritakan dalam Novel Athirah juga
tentang kematian Haji Kalla yang cukup mengagetkan. Hanya berselang
tiga bulan setelah Athirah wafat, tepatnya pada bulan April 1982, Haji
Kalla pun menyusul istrinya tercinta. Rasa sakit dan kepedihan yang
dialaminya sepeninggalan Athirah benar-benar menyayat, hidupnya tak
bergaira lagi, tak bisa lepas dari bayang sosok seorang Athirah.
2. Cinta
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali,
sayang benar, kasih sekali, atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan)
(Moeliono, 1990:168). Kata cinta selain mengandung unsur perasaan aktif
juga menyatakan tindakan yang aktif pengertiannya sama dengan kasih
sayang sehingga jika seseorang mencintai orang lain berarti orang
tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap
orang lain tersebut (Sulaeman, 1998:49). Seseorang yang mencintai
91
harus mempunyai beberapa sikap, antara lain harus memeriksa tepat
tidaknya suatu tindakan dan bertanya-tanya bagaimanakah ia semestinya
memberi bentuk kepada cinta dalam situasi yang konkret. Selain itu, sikap
lain yang seolah-olah merupakan prasyarat untuk dapat disebut mencintai
adalah kesetiaan, kesabaran, kesungguhan, dan memberi kepercayaa
(Leenhouwers, 1988:246).
Abdul Kadir Muhammad (1988:29) mengungkapkan bahwa cinta
kasih adalah perasaan kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan
pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung
jawab. Tanggung jawab artinya adalah akibat yang baik, positif, berguna,
saling menguntungkan, menciptakan keserasian,keseimbangan, dan
kebahagiaan. Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan
manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria
dan wanita, cinta antarsesama manusia, cinta antara manusia dan Tuhan,
dan cinta antara manusia dengan lingkungannya (Muhammad, 1988:30).
Cinta adalah bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Perasaan cinta adalah anugerah dari Tuhan yang datangnya membawa
pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang
mencintai sesuatu akan merasa senang terhadap sesuatu itu dan apabila
yang dicintainya itu meninggalkannya, ia akan merasa kehilangan.
Cinta memang sesuatu yang tak pernah habis untuk di bicarakan.
Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level kasta terendah cinta
merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan
92
tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet
dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tidak pernah
lekang oleh waktu.
Dalam novel Athirah kembali mengulas dan tentang cinta. Akan
tetapi, dalam novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Cinta
diartikan sebagai keinginan untuk berkorban melindungi serta mengayomi
orang yang dicintai. Perasaan cinta tak selalu diaktualkan dengan pacaran
sebagaimana presepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat
diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan
membantu sebagaimana kisah cinta antara Jusuf dan Mufidah.
Dalam novel ini juga terungkap permasalahan-permasalahan
yang berhubungan dengan cinta. Di antaranya kisah cinta antara Jusuf
dan Mufidah. Cinta yang terjalin di antara mereka bukanlah sesuatu yang
tanpa melewati tantangan. Status sosial, keinginan, adat istiadat, dan
karakter yang dimiliki oleh setiap orang terkadang menjadi alasan untuk
mengakhiri hubungan cinta antara sepasang kekasih. Tapi, oleh Jusuf dan
Mufidah, dengan kekuatan cinta dan perjuangan, mereka dapat
melewatinya. Cinta mereka adalah cinta yang tulus. Cinta yang mereka
jalani adalah keinginan untuk memberi tanpa mengharap pamrih dari yang
dicintainya. Oleh karena itu, keagungan cinta mereka sangat layak untuk
ditunjukkan dengan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Itulah
makna cinta yang dapat dipetik dari dari kisah cinta Jusuf dan Mufidah
dalam novel Athirah ini.
93
3. Tragedi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti peristiwa
yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah suatu peristiwa
menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh setiap manusia.
Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia
mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan
manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga
yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas
penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang
belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan
bermacam-macam. Ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu
penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya.
Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi
seseorang, sebagai langkah awal untuk
mencapai kenikmatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan
belum tentu tidak bermanfaat (Sulaeman, 1989:66).
Seseorang yang tegar akan menganggap kejadian yang
menyedihkan itu sebagai suatu cobaan yang harus dilewati dan mencari
hikmah dari kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan pedoman dalam
menjalani hidup selanjutnya agar kejadian yang menyedihkan itu tidak
terulang atau dapat ditanggulangi. Sedangkan seseorang yang lemah dan
tidak tegar dalam menghadapi cobaan dan rintangan akan menganggap
kejadian itu sebagai suatu bencana dan seringkali terjerumus pada hal-hal
94
yang menyimpang dari norma agama maupun sosial. Pada tahap
selanjutnya, tragedi akan berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan
seseorang.
Tragedi yang terlukis alam novel Athirah ini di antaranya adalah
tragedi yang menimpa Athirah dan anak-anak atas perkawinan kedua
yang dilakukan oleh suaminya. Mereka tak menyangka hal itu akan terjadi
dalam keluarganya. Untung saja Athirah adalah sosok perempuan yang
cukup kuat, diterimanya peristiwa itu dengan ikhlas dan sabar, “ia
mengalah tapi bukan kalah”. Itulah realitas yang harus ia terima meski
dalam hati terasa berat. Tentang tragedi itu dapat disimak dalam kutipan
berikut.
“Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salahsatu dari orang tua menahan pedih atas peristiwa menekan itu. Kadan tak kupikirkan lukaku sendiri. Lebih sedih memikirkan luka seorang yang menjadi payung hidupku. Emma. Sejak bapak menikah lagi, rumah kami redup tapi ibuku adalah perempuan pemantik cahaya. Aku bisa menagkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya. Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari itu, ia dikenal sebagai perempuan yang kuat, dan ia ingin terus seperti itu.ia ingin melewati hari yang tak pernah ada jejak sakit hati. kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika mereka membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013: 39) Tragedi selanjutnya yang terjadi selajutnya adalah saat perahu
yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang berwisata
dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari. Pulau yang
sering dijadikan tujuan wisata masyarakat Makassar. Kejadian itu
membuat panik Jusuf. Ia tidak ikut dengan ibunya saat itu, karena banyak
95
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Trgadi tersebut dapat di simak
dalam kutipan berikut.
“Aku berlari tak tentu arah. Kuhampiri kerumunan demi kerumunan yang berpencar bagai pulau-pulau kecil. Di antara bising tangis dan teriakan panik aku berusaha mencari orang-orang yang kucintai. “Emmaaaaaa!” Aku mulai kesetanan. “Jusuf” Ya Allah, suara itu. “Jusuf!” Aku menoleh cepat. Diantara kerumunan dipenuhi perempuan paru baya kulihat ibuku. Emma duduk memeluk Zohra dan Farida. Tubuh mereka basa kuyup. “Emmaaa!” Aku menyeruduk cepat. Kupeluk mereka dengan erat. Aku menangis. Entah berapa lama. Tubuh basah mereka terasa dingin. “Emma, aku takut sekali!” Emma bisa menyelamatkan dirinya, padahal ia tak bisa berenang. Ia menemukan sebatang kayu yang mengapung saat perahu terbalik. Dengan kayu itu ia, Zohra, dan Farida berpegangan.” (Alberthiene Endah, 2013: 256) Tragedi yang lain adalah tragedi yang menimpa Jusuf. Saat
pertama kali ia menyatakan perasaanya kepada Mufidah, ia mendapat
penolakan dengan alasan latar belakan keluarga yang berpoligami. Jusuf
stres memikirkan hal itu. Sejak kejadian itu ia tampak tak menikmati hidup,
perjalananya ke Bone saat itu terasa hambar. Ia terus terobsesi dengan
kata-kata Mufidah. Tentang hal tersebut tergambar dalam cuplikan berikut.
“Skuter telah menyusuri jalan depan rumahnya. Dan, berhenti. Mufidah turun dengan tenang. Tubuhnya sedikit oleng. Ia tidak langsung masuk, tapi berhenti di sisiku dan memandangku. “Jusuf.” Ia menatapku. “ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu.... Maaafkan aku....” Suara mufidah berhenti bersamaan dengan gerakannya yang sangat cepat. Ia berlari menuju pintu. Cepat sekali. Lalu, menghilang. Aku mematung tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahakan tak berpikir sampai ke sana. Tapi itulah jawaban Mufidah. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah. Aku masih mematung beberapa lama. Sesuatu yang perih menggigit perasaanku. Nyerih sekali.” (Alberthiene Endah, 2013: 307).
96
4. Harapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harapan berarti sesuatu
yang dapat diharapkan atau keinginan supaya menjadi kenyataan
(Moeliono, 1990:297). Harapan dalam kehidupan manusia merupakan
cita-cita, keinginan, penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi
(Sulaeman, 1998:81).
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis (besar harapan)
dan harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya
sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat
dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul.
Harapan yang pesimistis mempunyai tanda-tanda yang rasional bahwa
sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman,1998:82).
Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan kepribadian
seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar
kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang yang
mempunyai kepribadian kuat akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan
seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak merugikan dirinya atau
orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman, 1998:82).
Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki harapan. Manusia memilki
sesuatu keinginan yang diharapkan bisa terwujud di masa yang akan
datang.
97
Harapan yang dimiliki oleh manusia dilukiskan dalam novel
Athirah lewat harapan para tokohnya. Di antaranya adalah harapan Jusuf
yang sangat besar untuk menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidup.
Berbagai upaya yang telah dilalui oleh Jusuf untuk mewujudkan harapan
ini. Perjuangannya untuk mewujudkan harapan ini sangat luar biasa.
Apalagi ia harus menghapus image negatif tentang poligami yang
menyelimuti keluarga Jusuf. Gambaran tentang beratnya perjuangan
Jusuf untuk mewujudkan harapanya dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Pengakuan Mufidah begitu melukai perasaanku. Bukan, bukan aku marah kepadanya. Tidak. Ia sangat berhak mengucapkan pemikiran orang tuanya. Ya, orang tua mana yang mau putrinya memiliki potensi untuk di madu? Untuk dilukai perasaannya? Aku bisa menerima, orang tuanya khawatir jika menikah denganku, aku akan meniru jejak Bapak, menikah lagi dan membiarkan Mufidah terluka. Tapi, yang tidak bisa aku terima, aku tidak diberi kesempatan untuk mengatakan bahwa aku berbeda dengan Bapak. Aku Jusuf Kalla, anak laki-laki yang telah melihat perjalan seorang perempuan untuk sembuh dari sakit hatinya. Dan, tak pernah ingin kubuat penyebab sakit hati seperti itu. Amat tak ingin.” (Alberthiene Endah, 2013: 313)
Inilah yang membuat Jusuf memiliki harapan besar untuk
menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidupnya. Meskipun ia berasal
dari keluarga dengan latar belakang poligami, tapi bagi Jusuf, itu cukup
dijadikan pelajaran berharga. Dari situ ia paham betapa sakitnya
perempuan yang dimadu dan betapa susahnya ia untuk bangkit dari
keterpurukannya.
Dalam novel ini juga digambarkan bagaimana harapan besar Haji
Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usahanya. Sejak awal Jusuf sudah
98
ditempa dengan kiat-kiat memajukan usaha. Ia banyak belajar dari Bapak
dan karyawan bapaknya.
“Memasuki paruh kedua dasawarsa ’60-an, rencana Bapak melebarkan sayap usaha mulai teralisasi satu demi satu. Payung usahanya NV Hadji Kalla, terus menguat. NV kependekan dari Namlozee Venonschap atau perseroan terbatas. Lewat payung inilah kreativitas Bapak membesarkan usaha tak kenal letih. Emma mengatakan setelah kondisi ekonomi tanag air berangsur-angsur membaik, bapak tak mau membuang kesempatan untuk membenahi keadaan. Jaringan usahanya mulai merambah bidang produksi tekstil dan konstruksi. Bshksn, Bapak juga telh mulai membicarakan mimpinya. Ia ingin menjemput kesempatan menjadi diler mobil untuk wilayahSulawesi Selatan. Bila mungkin, lebih luas lagi. Industri otomotif segera berkembang di Indonesia, kata Bapak. Kemajuan negara dan peningkatan ekonomi akan menciptakan kebutuhan yang tinggi pada kendaraan bermotor. Aku mengamini semua harapan Bapak. Aku tahu semua harapanya berporos pada satu hal: kesejahtraan keluarga. Selain juga, segenap karyawan tentu saja.” (Alberthiene Endah, 2013: 31-312)
5. Pengabdian
Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang
artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses,
perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian
merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh,
dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai,
berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapat diartikan
pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas
dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung
jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam,
antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,
99
dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93). Timbulnya suatu pengabdian berawal
dari rasa percaya akan sesuatu hal untuk mengabdi. Kepercayaan yang
demikian akan menimbulkan ketulusan sikap dalam pengabdian. Setiap
pengabdian akan menuntut pengorbanan, baik besar maupun kecil.
Pengabdian manusia dapat bermacam-macam, antara lain
pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan, alam, dan
lain-lain (Sulaeman, 1998:93).
Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang
menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap
keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam
memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga
yang kedua. Gambaran tentang pengabdian ini dapat disimak dalam
kutipan berikut.
“Aku berusaha membangun perasaan yang baik di rumah. Kulayangkan pikiranku kepada banyak anak yang malang. Yang kehilangan orang tua. Yang berada dalam kehidupan yang tak tentu arah. Aku masih jauh lebih beruntung. Orang tuaku lengkap walau ada peristiwa yang harus meninggalkan jejak luka. Tetapi pada 1958 adalah masa aku berjuang keras untuk mengartikan apa itu ketentraman. Ya. Apa arti ketentraman.rumah kami hening tanpa ada keributan. Kami juga berlaku sama sehari-hari. Tak ada yang meledakkan emosi. Kami, Emma, aku, dan saudara-saudaraku sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun sebelumnya dan mulai bisa menitihari tanpa persoalan berarti." (Alberthiene Endah, 2013: 69) Selain pengabdian Jusuf, dalam novel ini digambarkan juga
pengabdian yang ditunjukan oleh Athirah kepada suaminya. Meskipun ia
dimadu, tetapi penghargaan kepada suaminya tetap ia jalankan dengan
ikhlas. Tentang gambaran ini dapat di simak dalam kutipan berikut.
100
“Pertemuanku dengan Bapak seperti sebuah lembaran baru menuju fase lanjutan dari kehidupan kami yang diwarnai awan poligami. Tidak hanya siang itu ternyata Bapak berkunjung. Aku kemudian mulai melihatnya terbiasa datang pada siang hari dan lama-lama baring di kamar Emma. Nur mengatakan Bapak sedang banyak pikiran. Aku percaya, sebabkulihat letih di wajahnya. Emma tak banyak bicara tentang Bapak. Ia menambahkan ritual baru dengan menghidangkan santap siang khusus bagi Bapak, sebuah kebiasaan yang telah menghilang selama beberapa tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 259) Masalah pengabdian juga ditunjukkan oleh Mufidah. Sebagai
bentuk tanggung jawab kepada keluarganya, Mufidah memilih kuliah
sambil bekerja demi meringankan beban keuangan orang tuanya. Tentang
pengabdian Mufidah ini tergambar dalam kutipan berikut.
“Sebuah info muncul lagi. Mufidah mengambil kuliah sore. Sebab, pagi hari ia bekerja di BNI ’46. Cekatan sekali Mufidah. Memang kudengar bank terkemuka itu membuka banyak lowongan pekerjaan. Gadis itu rupanya memilih untuk memanfaatkan kesempatan itu sambil terus melanjutkan pendidikannya. Aku tahu, Mufidah pasti ingin membantu perekonomian keluarganya.” (Alberthiene Endah, 2013: 291)
6. Hal-hal Transendental
Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang
bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono,
1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia
yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari hal-hal yang
bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin dalam novel Athirah.
Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat pada kebiasaan
Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid Raya Makassar di jalan Andalas
101
nomor 2 yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Ia
membawa gelisa ibu dalam doa-doanya. Hal tersebut tergambar dalam
petikan berikut.
“Aku membawa gelisah Emma dalam shalatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Mataku terbang di permmukaan karpet berwarna hijau tua yang melapisi masjid besar itu. Masjid Raya, yang dibangun menjadi lebih besar oleh campur tangan Bapak dan kawan-kawan pedagang. Aku selalu merasakan mesjid ini bagai rumahku. Karpet hijau tua itu bagai kerabat yang mengenal baik diriku. Kumaki diriku yang kurang cakap menebak isi kepala Emma. Apa yang bisa kuterjemahkan dari keterangannya?” (Alberthiene Endah, 2013: 16)
Dari kutipan tersebut tergambar jelas tentang ketergantungan
hamba dengan penciptanya. Seluruh masalah Jusuf bermuara pada doa-
doa yang ia panjatkan dalam shalatnya. Di situlah tumpuan terakhir
segalah permasalahan hidup dilabuhkan.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam novel
Athirah, terefleksikan tentang kehidupan sosial budaya masyarakat.
Beberapa diantara kehidupan sosial budaya yang terefleksikan adalah
maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental.
Tidak hanya menyodorkan kenyataan yang ada dalam masyarakat saja
tetapi juga mengolahnya sesuai dengan pandangan-pandangannya.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini diuraikan pembahasan temuan yang diperoleh
dari hasil analisis data penelitian tentang refleksi kehidupan sosial budaya
masyarakat Bugis yang terdapat dalam novel “Athirah”. Berdasarkan hasil
102
analisis unsur intrinsik dari segi kuantitasnya, novel Athirah mempunyai
alur jamak (plot dan sub-sub plot) yaitu mengisahkan pengalaman hidup,
permasalahan, dan konflik yang dihadapi oleh lebih dari seorang tokoh.
Ada urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh hubungan
sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lainnya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 119). Alur
utama dalam novel ini pusat penceritaannya terletak pada tokoh sentral,
yaitu Athirah. Sedangkan alur tambahan pada novel ini pusat
penceritaanya terletak pada tokoh bawahan, yaitu Jusuf, Mufidah, Haji
Kalla, Daeng Rahmat, Bu Mela, Pak Rudi, Abdullah, Abduh, dan Anwar.
Sedangkan dari segi kualitasnya, novel Athirah menggunakan alur
longgar, yaitu hubungan antar peristiwa dalam novel ini tidak erat benar
sehingga memiliki kemungkinan untuk disisipi alur lain.
Karakter dari masing-masing tokoh dalam novel Athira
digambarkan secara analitik yaitu pengarang menceritakan secara rinci
watak tokoh-tokohnya. Selain itu, penggambaran karakter tokoh juga
diungkapkan secara dramatik yaitu pengarang tidak secara langsung
menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan tokoh-
tokohnya melalui: pelukisan tempat dan lingkungan sang tokoh,
mengemukakan atau menampilkan dialog tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain, dan menceritakan perbuatan dan tingkah laku atau reaksi tokoh
terhadap suatu peristiwa (Semi, 1993:40).
103
Dalam novel Athirah , latar menginformasikan tentang situasi baik
tempat, waktu, maupun suasana cerita apa adanya (Semi 1993: 46). Latar
tempat yang digambarkan oleh pengarang dalam novel ini sebagian besar
bertempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone, Bantimurung,
dan Sengkang. Latar waktu secara rinci diceritakan berawal dari tahun
1955 saat itu Athira melihat adanya gelagat perubahan pada suaminya
hingga berakhir pada saat Haji Kalla meninggal pada bulan april 1982.
Sedangkan latar suasana yang digambarkan pengarang dalam nove ini
adalah latar sosial budaya masyarakat Bugis yang majemuk, dengan
kondisi latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat ekonomi yang
berbeda. Di sini latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan.
Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang
sedang di ceritakan.
Hubungan antara tema dan amanat dalam novel Athirah sangat
erat. Tema merupakan ide sentral dalam cerita sedangkan amanat adalah
penjelas ide tersebut (Semi, 1993: 42). Dalam novel Athirah memiliki tema
jamak, artinya dalam novel ini memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam
novel ini terdiri dari satu tema mayor dan beberapa tema minor. Dengan
demikian amanat dalam novel ini hakikatnya merupakan penjelasan tema-
tema yang ada. Setiap tema memiliki pesan moral tersendiri dan itulah
yang menjadi amanat dalam novel ini.
Dengan pendekatan sosiologi sastra, penelitian terhadap novel
Athirah difokuskan pada masalah kehidupan sosial budaya masyarakat
104
Bugis yang terefleksikan dalam novel ini meliputi kematian, cinta, tragedi,
harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Dari hasil analisis data
diungkapkan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak dapat diduga
kedatangannya. Penyebab terjadinya kematian pun bermacam-macam.
Kematian bisa terjadi karena usia yang sudah tua, dibunuh, kecelakaan,
ataupun karena penyakit. Oleh karena itu kita harus selalu siap untuk
menerima kematian ini (Sulaeman 1998:87).
Masalah cinta juga terefleksikan dalam novel Athirah. Kisah cinta
dua pasang tokoh yaitu kisah cinta Athirah dengan Haji Kalla dan kisah
cinta Mufidah dengan Jusuf cukup banyak memberi pesan moral. Cinta
merupakan salah satu permasalahan kehidupan yang sangat kompleks.
Hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan-permasalahan hidup yang
berhubungan dengan cinta (Muhammad 1998: 29). Oleh karena itu, dalam
mencintai harus didasari dengan tulus dan ikhlas. sebab hanya dengan
ketulusan, cinta akan tetap kokoh. Ketulusan cinta yang diperakan oleh
Athirah kepada keluarganya membuat keluarga ini tetap eksis hingga
akhir hayatnya, meskipun keluarga ini dirundung dengan prahara
poligami. Demikian halnya ketulusan cinta yang diperagakan oleh Jusuf,
berkat pelajaran yang di dapat dari pengalaman orang tuanya ia dapat
mempertahankan keutuhan keluargnya.
Tragedi adalah masalah kehidupan yang juga tereflesikan dalam
novel Athirah. Setidaknya ada tiga tragedi yang paling mengesankan
dalam novel ini yaitu saat Haji Kalla memilih untuk berpoligami, saat
105
perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang
berwisata dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari, dan
tragedi penolakan yang diterima Jusuf ketika pertama kali
mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah. Respon penulis terhadap
tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang menyedihkan
dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa seseorang akan
memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu, dalam menyikapi
tragedi harus dibarengi dengan keimanan agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan (Sulaeman: 1989: 66).
Masalah harapan, adalah hal yang juga terefleksikan dalam novel
Athirah. Harapan besar Jusuf untuk menjadikan Mufidah sebagai
pendamping hidupnya harus melewati perjuangan yang sangat luar biasa.
Demikan halnya harapan Haji Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan
usahanya. Lebih awal Jusuf sudah ditempa dengan kiat-kiat memajukan
usaha. Setiap manusia selalu memiliki harapan yang terbaik untuk dirinya.
Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada harapan, yang
menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu, manusia harus
berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya. Setelah ikhtiarnya
sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang penentu takdir
(Sulaeman: 1989: 82).
Dalam novel Athirah, masalah pengabdian terefleksikan pada
pengabdianJusuf mendampingi ibu dalam memimpin saudara-saudaranya
karena ayahnya memilih untuk berpoligami adalah sebuah tanggung
106
jawab besar. Hal ini sudah dilakoni Jusuf meskipun usianya pada saat itu
baru 14 tahun, usia yang masih tergolong anak-anak. Inilah awal Jusuf
ditempa dengan sikap tanggung jawab yang besar. Demikian halnya
pengabdian Athirah kepada suaminya. Meskipun ia dimadu, tetapi
pengabdian dan penghargaan kepada suaminya tetap dijalankan dengan
ikhlas. Pengabdian terhadap keluarga juga dilakukan Mufidah dalam
membantu perekonomian keluarganya dengan kuliah sambil bekerja.
Masalah pengabdian memang membutuhkan pengorbanan. Oleh karena
itu, pengabdian harus dilaksanakan secara penuh dan ikhlas. Pengabdian
yang tidak dilakukan secara penuh dan ikhlas akan membuat
kekecewaan (Sulaeman: 1989: 93).
Dalam novel Athirah juga terrefleksikan hal-hal transendental.
Secara bahasa dalam istilah filsafat transendental berarti suatu yang tidak
dialami tapi dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas pada
fenomena, namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.
Menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan
abstrak (Moeliono, 1990: 959). Dalam istilah agama diartikan suatu
pengalaman mistik atau supernatural karenanya berada diluar jangkauan
dunia materi. Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas
secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah
komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam
bidang agama. Kepercayaan terhadap Tuhan telah membantu memberi
semangat manusia dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Menerima
107
nasib yang tidak baik, bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran
yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Dalam kehidupan, manusia
tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis terhadap novel Athirah karya
Alberthiene Endah, maka penulis dapat merumuskan kesimpulan bahwa
berdasarkan strukturnya, novel Athirah memperlihatkan adanya hubungan
antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra
tersebut. Rangkaian kejadian dalam novel Athirah yang disusun
menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita
disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang
terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokoh
yang ada dalam novel Athirah ini membentuk sebuah jalinan peristiwa
sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur
dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang
diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya. Dalam novel
Athirah ini, latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur
cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh itu dihubungkan oleh latar tempat awal
mereka bertemu yaitu di SMA Negeri 3 Makassar. Dari sekolah inilah
peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya diceritakan. Di
sinilah letak keterjalinan antara latar dengan alur dan penokohan. Tema
yang merupakan gagasan pengarang diwujudkan dalam jalinan alur,
109
latar, dan penokohan sehingga amanat yang ingin disampaikan
pengarang dapat sampai kepada pembaca. Jalinan peristiwa yang
terbentuk tersebut dijadikan langkah awal untuk pembahasan selanjutnya
pada analisis sosiologi sastra.
Sebagai sebuah karya sastra, novel Athirah merupakan refleksi
kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang tentang kehidupan sosial
budaya. Latar sosial budaya dalam novel ini adalah kehidupan sosial
budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang tercermin
dalam novel ini meliputi maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan
hal-hal transendental. Persoalan maut dilukiskan dalam novel Athirah ini
dengan dua peristiwa yaitu saat peristiwa kematian Athirah dan kemudian
disusul oleh sang suami, Haji Kalla yang hanya berselang tiga bulan dari
kematian Athirah. Permasalahan cinta yang terefleksikan dalam novel
Athirah ini adalah cinta yang diartikan sebagai keinginan untuk berkorban,
melindungi, serta mengayomi orang yang dicintai. Perwujudan cinta dalam
bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu
sebagaimana kisah cinta Jusuf dan Mufidah. Tragedi yang terlukis alam
novel Athirah ini di antaranya adalah tragedi yang menimpa Athirah dan
anak-anak atas perkawinan kedua yang dilakukan oleh suaminya. Tragedi
selanjutnya adalah saat perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-
anaknya terbalik saat pulang berwisata dari sebuah pulau kecil tidak jauh
dari Pantai Losari. Kejadian itu membuat panik Jusuf. Respon penulis
terhadap tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang
110
menyedihkan dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa
seseorang akan memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu,
dalam menyikapi tragedi harus betul-betul dibarengi dengan keimanan
agar tidak tejadi hal-hal yang tidak diinginkan. Harapan yang dimiliki oleh
manusia dilukiskan dalam novel Athirah lewat harapan para tokohnya. Di
antaranya adalah harapan Jusuf yang sangat besar untuk menjadikan
Mufidah sebagai pendamping hidup. Selanjutnya adalah harapan Haji
Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usaha niaga yang telah dirintis
dengan susah payah. bahwa setiap manusia selalu memiliki harapan yang
terbaik untuk dirinya. Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada
harapan, yang menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu,
manusia harus berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya.
Setelah ikhtiarnya sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang
penentu takdir. Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang
menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap
keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam
memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga
yang kedua. Selain itu, pengabdian yang tulus juga di tunjukkan oleh
Athirah kepada suaminya meskipun dalam kondisi dimadu. Sedangkan
hal-hal transendental yang terefleksi dalam novel ini bahwa manusia tidak
terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin
dalam novel Athirah. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat
pada kebiasaan Haji Kalla dan Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid
111
Raya, bahkan oleh Jusuf menganggap bahwa Masjid Raya adalah rumah
keduanya. Di tempat ini ia selalu mengadu dan menumpahkan doa-
doanya.
B. Saran
Hal-hal yang perlu penulis sampaikan sebagai saran terhadap
pembaca antara lain:
1. Novel Athirah adalah nove berlatar belakang lokal Sulawesi Selatan
yang ditulis dan diterbitkan oleh penerbit nasional, ini perlu dibaca
karena novel ini mengetengahkan bagaimana besarnya pengaruh
seorang ibu dalam membentuk karakter anak. Aneka nasihat
kehidupan yang juga disajikan dalam buku ini.
2. Ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan terhadap novel Athirah,
tentunya dengan teori, pendekatan, dan metode yang berbeda
sehingga dapat memberikan variasi dalam khasanah penelitian sastra
Indonesia.
3. Novel ini sarat dengan nilai pendidikan atau edukasi sehingga
penelitian lanjutan terhadap novel ini disarankan menggunakan
pendekatan yang berkaitan dengan nilai edukasi.
112
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Yelmi. 2011. Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi. Padang: Universitas Andalas.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endah, Alberthiene. 2013. Athirah. Jakarta: Noura Books. Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah.
Jassin, HB. 1985. Tifa Penyiar dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Junaso, Shintya. 2008. Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah.
Junus, Umar. 1983. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia. Luxemburg, J van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M dkk 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya. Muhammad, Abdul Kadir. 1988. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Fajar Agung.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pramudya, Ardiyonsih. 2012. Problem Sosial Novel Orang-orang Proyek
Karya Amad Tohari. Surakarta: Univesitas Sebelas Maret. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Sastra.
Bandung: Angkasa.
113
113
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, M. Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Soekanto, Sarjono. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia.
Subroto, 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudjiman, Panutti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama. Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:
Nur Cahaya. Syani, Abdul. 1993. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta:
Pustaka Jaya. Tarigan, Henry G. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wallek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: UNS Press.
115
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
SINOPSIS NOVEL “ATHIRAH”
ATHIRAH
Berawal sejak tahun 1955, sebuah percakapan sederhana yang
membawa perubahan besar dalam hidup kami. Itulah kali pertama aku
(Jusuf) melihat ibuku (Athirah) disakiti dunia. Ada perasaan tidak enak
yang hadir sebagai pertanda. Ibuku, perempuan paling tentram yang aku
kenal, mendadak mengalirkan gelombang gelisah. “Ayahmu (Haji Kalla)
aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak-geriknya. Ia menyisir
rambutnya hampir setiap jam.Memakai krim rambut berulang-ulang hingga
wanginya mencolok. Sering keluar tanpa kopiah.” Aku tercenung awal
percakapan yang aku belum kumengerti arahnya. Selanjutnya kulihat
wajahnya membatu. Matanya lurus terhunus ke depan. Aku mengenal hati
emma. Ia tak pernah membiarkan kulitnya membiasakan emosi sedikit
pun. Ini adalah kali pertama aku melihat rona keberatan di wajahnya.
“Jika ada perubahan bapak, apakah itu sesuatu yang perlu
dikhawatirkan, Emma (Athirah)?” Aku bereaksi sopan. Kupikir, ada hal
yang perlu kupahami dari perempuan. Bagaimana mereka mengelolah
116
kegelisahan. Emma tak bicara. Beberapa detik kemudian wajahnya
melembut.
Percakapan dengan Emma siang itu adalah awal dari perjalan
batinyang tak pernah kuduga akan datang pada hidupku. Aku membawa
gelisa Emma dalam salatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Aku tak
pernah membayangkan ada sesuatu yang buruk di rumahku. Seharusnya
rumahku adalah pelabuhan damai. Tak pernah ada penjelasan dari Emma
tentang apa yang ia gelisahkansetelah percakapan yang membingungkan
aku.
Banyak di antara kita, khususnya orang Bugis Makassar
mengenal sosok Athirah hanya sebagai ibu dari Pak Jusuf Kalla, di mana
padanya beliau mengabadaikan namanya di salah satu sekolah yang
terkemuka di kota Makassar. Dari bapak, Pak Jusuf Kalla belajar tentang
perdagangan, kegigihan, Kemandirian, dan kejujuran. Tapi banyak yang
tidak pernah tau dari Emma pak Jusuf Kalla belajar arti sebuah kesetiaan,
keikhlasan dan rasa tanggung jawab.
Sosok seorang ibu sangat tegar mengetahui suaminya menikah
lagi dan memilih tinggal di rumah keduanya. Mengharuskan dia harus
lebih mandiri, mengasuh ke sepuluh anaknya menjadi ibu sekaligus
sebagai bapak untuk mereka. Mengingat bapaknya telah memiliki
keluarga baru lagi.
117
Berbagai gejolak rumah tangga yang harus dihadapinya, bersama
Pak Jusuf tanggung jawab dibebankan oleh bapaknya menjaga Emma
dan adik-adiknya. Pada umur masih sangat mudahnya tugas itu harus dia
jalankan yaitu di umur 16 tahun. Hanya dengan Jusuf, Emma Athirah
menentramkan keadaan rumah bahwa semua baik-baik saja ada bapak
atau tak ada bapak. Emma Athirah sanggat tangguh, keadaan
mengharuskan beliau meredam emosi hati melanjutkan hidup dengan
separuh hati yang hilang.
Emma Athirah dengan pengenalannya tentang kain sutra yang
dia dapat dari Emma Kerra yaitu ibunya dari kecil, mewujudkan impiannya
dengan berbisnis kain sutra. Rumah di Jalan Andalas diubahnya menjadi
butik kain sutra. Tak ada papan terpasang di depan rumah. Semuanya
dari mulut ke mulut ibu Athirah mengenal beberapa orang penting di kota
Makassar dari orang pemerintahan sampai ibu-ibu pengajian dan
pengusaha.
Selain itu pula Emma Athirah mengeluti bisnis angkutan Cahaya
Bone, Bisnis berjalan dengan baik di balik gejolak rumah tangganya.
Tuhan merahmati segala usahanya, semua bisnis yang dia jalankan
mampu mengobati segala sakit hatinya, mampu membantu menopang
ekonomi keluarganya.
Jusuf remaja tumbuh di tengah gejolak rumah tangga orang
tuanya penuh badai, tumbuh di tengah poligami yang dilakukan bapaknya,
118
tumbuh di tengah gejolak hati Emmanya sangat perih, mau tidak mau
sangat mempengerahui untuk mengenal kawan wanita seusianya.
Novel ini juga meceritakan kisah awal pertemuan Pak Jusuf dan
Ibu Mufidah. Yang dibumbui oleh aroma asmara anak muda. Pertemuan
awal dan pegejaran Pak Jusuf sungguh membuat pembaca tersenyum
senyum sendiri hehehe. Semua berawal di bangku SMA 3 Makasar.
Sosok seorang begitu pendiam, dingin dan orangnya sangat
halus. Seperti itulah Mufidah di kenal. Belum pernah malamku berjalan
dengan kegelisahan yang asing. setelah Emma yang sangat merana yang
membuat sulit tidurku. Memikirkan Mufidah, malamku bagai di ayun-ayun,
Mufidah... Mufidah aku harus mengenalmu. Lebih cepat lebih baik.
Tidak mudah mendapatkan cinta Mufidah mengingat Jusuf
berasal dari orang tua yang berpoligami, dan Mufidah telah ada calon dari
orang tua, tapi Jusuf tidak mundur sekalipun, “kau tidak akan melihat
indahnya puncak jika Kau tak melewati beberapa tanjakan”. Sabar!
Hampir tiap pulang sekolah menemani Mufidah pulang tidak dengan naik
skuternya, karena Mufidah tidak ingin naik skuter untuk diantar pulang,
jadinya di tengah panas matahari Makassar Jusuf mendorong skuternya
dan Mufidah berjalan di sisinya, begitu seterusnya.
Hari berganti hari waktu berlalu begitu cepat, Mufidah tidak
sekalipun menunjukkan perasaannya ke Jusuf. Ketegasan Pak Jusuf
Kalla terlihat dari pengambilan-pengambilan keputusan. Ternyata dalam
119
urusan hati pun demikian . Akhir dari pengejarannya, suatu sore Jusuf
bertandang ke rumah Mufidah di berinya dia kartu hijau dan merah. “Ida
jika engkau memilih kartu hijau itu kau mencintaiku dan kartu merah kau
menolakku dan tidak mencintaiku. Mufidah diam terpaku. Lama dia
memandang kartu itu.aku bersabar. kemudian perlahan tangannya
mengambil kartu hijau. membawanya, dan menghilang di kamar. Mufidah
menerima cinta Jusuf.
Yang cukup mengelikan Pak Jusuf kalla Menikah dengan
memakai baju adat Makassar dan Ibu Mufidah mengenakan baju Minang.
Satu yang tidak biasakan? Selama kebersamaan Mufidah dan Emma ia
banyak belajar tentang cara berumah tangga, sementara Emma sendiri
merasa sangat terhibur dengan kehadiran Mufidah sebagai anggota
keluarga yang baru. Sementara itu, diluar dugaan Bapak (H. Kalla) juga
cocok dengan Mufidah dalam berbagi rasa. Kehadiran Mufidah, diam-
diam menjadi tempat curhat Bapak tentang keluarga keduanya. Pesan
dari Bapak Jusuf (H. Kalla), jaga Mufidah dengan baik, jangan engkau
lakukan apa yang telah aku lakukan kepada Emma. Sungguh penyesalan
itu di bawa Pak Kalla sampai Emma Athirah harus duluan meniggalkannya
dari dunia setelah menjalani operasi karena komplikasi penyakit diabetes
dan sirosis atau pengerasan hati yang dideritanya.
Sejak sepeninggalan Athirah, Pak Haji Kalla seakan tak semangat
lagi menjalani hari-harinya. Ia betul-betul larut dalam suasana duka yang
mendalam. Bahkan, banyak orang mengatakan bahwa cahaya di wajah
120
Pak Haji Kalla telah hilang. Jiwa Pak Haji Kalla telah mati. Ia berkabung
bahkan nyaris tanpa jeda. Perasaan kehilangan yang mendala itu jugalah
yang mengantar Pak Haji Kalla menemui ajalnya. Hanya selang tiga bulan