REFARAT AGUSTUS 2015 “ULKUS PEPTIKUM” Nama : Ribka Elda Patandianan No. Stambuk : N 111 14 048 Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp.A DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
REFARAT AGUSTUS 2015
“ULKUS PEPTIKUM”
Nama : Ribka Elda Patandianan
No. Stambuk : N 111 14 048
Pembimbing : dr. Amsyar Praja, Sp.A
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD UNDATA –FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
AGUSTUS
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Lambung sebagai reservoir makanan berfungsi menerima makanan/ minuman,
menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan kedalam duodenum. Lambung
yang selalu berhubungan dengan semua jenis makanan, minuman dan obat-obatanakan
mengalami iritasi kronik.1
Di USA, ada 4 juta pasien yang mengalami gangguan asam-pepsin dengan prevalensi
12% pada pria dan 10% pada wanita. Secara klinis ulkus duodenum lebih sering terjadi
dibandingkan ulkusgaster.2
Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi ulkus
peptikum pada pasien yang diendoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,9%
di Medan, dengan prevalensi infeksi H.pylori diatas 90%. 3
Peningkatan prevalensi dihubungkan dengan beberapa faktor agresif seperti
penggunaan dari OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid).obat ini merupakan salahsatu
obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan, seperti antipiretik, anti
inflamasi, analgetik, antitrombotik yang sebagian besar dijual bebas di pasaran. Budaya
masyarakat Indonesia yang sering mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter
ditambah dengan munculnya obat alternative berbagai merek yang mengandung zat aktif
OAINS ini meningkatkan risiko terjadinya ulkus peptikum.1, 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI ULKUS PEPTIKUM
Menurut The American Collage of Gastroenterology, ulkus peptikum berasal dari
kata “ulcer” yang berarti luka berlubang dan kata “peptic” yang mengacu pada masalah
yang disebabkan oleh asam lambung.5Secara anatomis, ulkus peptikum merupakan defek
mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus lapisan muskularis mukosa
sampai lapisan serosa sehingga dapat menyebabkan perforasi. Secara klinis, ulkus adalah
hilangnya epitel dengan diameter ≥ 5mm yang dapat diamati secara endoskopu atau
radiologi.6 terminologi ulkus harus dibedakan dengan erosi, erosi adalah kerusakan
mukosa yang tidak meluas hingga lapisan di bawah mukosa.3
Ulkus Peptikum didefinisikan sebagai kerusakan intergritas mukosa pada gaster
dan/atau duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi aktif.7Ulkus yang mengenai
mukosa gaster disebut Ulkus Gaster sedangkan ulkus yang terjadi pada duodenum
disebut sebagai Ulkus Duodenum yang masing-masing memiliki ciri khas masing-
masing.2
B. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LAMBUNG
Secara anatomi, lambung dibagi menjadi empat bagian, yaitu cardia, fundus,
corpus, dan pylorus.Cardia merupakan bagian atas yang langsung berhubungan
dengan esofagus, tepat di bawah sphincter esofagus setinggi vertebrae torakal ke-10
dan berada di bagian posterior yang menghadap ke costae ke-7. Bagian kiri cardia
yang disebut Fundus merupakan bagian kubah di daerah sinistra yang langsung
bersentuhan dengan diafragma dan letaknya setinggi sulcus inercostal ke-5. Corpus
merupakan bagian tengah dari lambung yang berukuran paling besar. Corpus
dibatasi oleh pankreas dan bagian descenden diafragma. Sementara pylorus
merupakan bagian berbentuk saluran/ cerobong pada bagian ujung dari lambung.
Sphincter pylorus merupakan otot sirkular yang termodifikasi pada ujung pylorus
yang bersambungan dengan usus halus. Pylorus berada setinggi vertebrae lumbal ke-1
dan 2,5 cm kanan dari midline. Persambungan ini mengatur pergerakan chyme
menuju usus halus dan menghambat aliran balik ke arah lambung. Pylorus terbagi
menjadi bagian antrum (menghubungkan corpus dari gaster), canal (menghubungkan
gaster ke duodenum), dan sphincter (otot polos yang menghubungkan pylorus ke
duodenum).4
Secara Histologi, lambung dilapisi oleh epitel selapis silindris yang menghasilkan
mucus yang tebal serta mengandung bikarbonat untuk mencegah terjadinya autodigestive
dari asam lambung. Mukosa lambung membentuk cekungan ke arah dalamyaitu Faveola
gastric/ gastric pits (sumur lambung) yang memperluas area penghasil enzim dan zat
lainnya.8
Gaster memiliki Kelenjar Tubuloalveolar yang terdiri beberapa sel yang
antaralain9:
Sel Mukus (Sel leher/neck cell) menghasilkan mucus yang bersifat asam
Sel Parietal (Sel HCl) menghasilkan HCl dan faktor intrinsik vit. B12
Sel Zimogen (Chief Cell)menghasilkan pepsinogen yang akan diubah menjadi
pepsin di lumen lambung
Sel Arginafin (enteroendokrin) menghasilkan hormon pengatur yaitu sekretin, gastrin
dan kolesistokinin
Secara skematis, susunan kelenjar Tubuloalveolar dapat
dilihat pada Gambar I.
Gambar 1. Gambaran skematis sel
pada kelenjar Tubuloalveolar
(diadaptasi dari S Ito, RJ Winchester:
Cell Biol 16:541, 1963)
Sel Parietal (Sel HCl / Oxytic cell) dalam keadaan tidak terstimulasi, sitoplasmanya
didominasi oleh vesikel tubular dan kanalikuli intraselular dengan mikrovili yang pendek
pada permukaan apikalnya. Dalam keadaan terstimulasi, sel ini akan mengekpresikan
H+,K+-ATPase pada membran vesikel tubular dan kanalikuli intraselular akan
bertranformasi dengan membentuk mikrovili yang panjang.2Gambar 2 menunjukkan
perbandingan antara sel parietal pada keadaan istirahat dengan keadaan terstimulasi.
Gambar 2. Sel Parietal dalam keadaan istirahat dan terstimulasi
(diadaptasi dari SJ Hersey, G Sachs:Physiol Rev 75:155, 1995)
Hidroclorida (HCl) dan Pepsinogen merupakan produk dari sekresi gaster yang
mampu menginduksi kerusakan pada mukosa.Sekresi asam pada gaster terjadi dalam dua
keadaan yakni pada keadaan basal dan pada keadaan terstimulasi.Pada keadaan basal,
produksi asam dipengaruhi oleh irama sirkadian impuls kolinergik melalui nervus vagus
dan impuls histaminergik yang berasal dari sumber gaster itu sendiri. Pada keadaan ini,
asam lambung mencapai level puncak pada malam hari dan menurun hingga level
terendah pada pagi hari.2
Produksi asam lambung yang terstimulasi melalui tiga fase antaralain fase sefalik,
fase gastrik dan fase intestinal.Bentuk, aroma dan rasa makanan merupakan komponen
dari fase sefalik yang mampu mempengaruhi sekresi gaster melalui stimulasi nervus
vagus.Fase gastrik teraktivasi ketika makanan mencapai lambung, dimana komponen
nutrient menstimulasi Sel Arginafin untuk mensekresikan gastrin yang mampu
menstimulasi aktivasi dari sel parietal.Fase intestinal diinisiasi ketika makanan mencapai
duodenum.Fase penghasilan asam ini dapat dihambat oleh hormone somatostatin yang
dihasilkan oleh sel endokrin pada mukosa gaster.Somatostatin dapat menghambat secara
langsung (menghambat kerja sel parietal) dan secara tidak langsung (menurunkan
produksi histamin dan pelepasan hormone gastrin dari sel argifinin).10 Fase sekresi asam
lambung secara skematis dijelaskan pada Gambar 3.
Gambar 3.Fase Sekresi Gaster dan Regulasinya (diadaptasi dari Guyton &
Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-Hill
Companies)
A. PERTAHANAN MUKOSA GASTRODUODENAL
Mukosa gaster dan duodenum memiliki peran penting untuk melindungi dari berbagai zat
agresif baik endogen (HCl, Pepsin, garam empedu) maupun eksogen (obat-obatan,
bakteri dan alkohol).sistem pertahanan mukosa terdiri dari 3 level, yaitu:2, 11
1. Pertahanan Pre-Mukosa
Pertahanan ini terdiri dari lapisan mucus bikarbonat yang melindungi mukosa dari
beberapa molekul salahsatunya H+.mucus dihasilkan oleh sel epitel permukaan,
dengan komposisi 95% air dan 5% campuran antara lipid dan glikoprotein.
Bikarbonat disekresikan ke lapisan mucus untuk menciptakan gradient pH antara 1-2
pada lumen gaster dan 6-7 pada permukaan sel epitel.2 bikarbonat dihasilkan oleh sel
epitel permukaan melalui stimulasi dari prostaglandin, pakreas dan juga garam
empedu. Bikarbonat juga berperan dalam menetralisir asam pada makanan sebelum
menuju duodenum karena proses di duodenum membutuhkan suasana pH
netral.Adapun reaksi bikarbonat adalah sebagai berikut11:
HCO3-+ H+ CO2 + H2O
2. Pertahanan Mukosa
Mukosa memberikan pertahanan antaralain produksi mucus, transport ion untuk
menjaga pH intraselular, produksi bikarbonat, dan tight junction intraselular. Ketika
system pertahanan preepitel rusak, sel-sel epitel yang berbatasan dengan daerah
cidera akan bermigrasi dan mengganti sel daerah yang rusak. Proses ini diikuti
dengan pembelahan sel yang membutuhkan suasana pH basa, pembuluh darah yang
tidak terganggu serta melibatkan beberapa factor pertumbuhan (EGF, TGF, FGF)
guna memodulasi proses resusitasi. Untuk kerusakan dengan ukuran yang lebih besar,
dibutuhkan proses proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel. Proses ini dimodulasi
oleh prostaglandin dan factor pertumbuhan EGF, TGF. Proses ini juga diikuti dengan
proses angiogenesis dengan factor pertumbuhan VEGF.2,10,11
3. Pertahanan Submukosa
Sistem mikrovaskular pada lapisan submukosa merupakan komponen kunci dari
pertahanan subepitel.Mikrovaskular memberikan suplai karbonat yang menetralkan
H+ dari sel parietal, menyediakan nutrisi dan oksigen serta mengeluarkan metabolik
berbahaya.11
Sistem pertahanan gastroduodenal yang kompleks di atas, diringkas secara skematis pada
Gambar 4 di bawah ini.
B. PATOFISIOLOGI ULKUS PEPTIKUM
1. Infeksi Helicobater Pylori
Helicobater pylori merupakan bakteri gram negatif berbentuk basil.Bakteri ini
pertama kali dapat dikultur tahun 1982 di Perth Australia. Pada tahun 1993 nama
bakteri ini diganti menjadi Helicobacter Pylori.12
Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan bakteri ini mampu
bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6% dari total protein bakteri.
Bakteri ini mampu menghasilkan urease yang menyebabkan bakteri ini mampu
bertahan dalam pH asam gaster. Urease dihasilkan 6% dari total protein bakteri.
Bakteri ini juga menghasilkan VacA (Vacuolating Cytotoxin) yang menyebabkan
apoptosis pada sel eukariotik dengan cara pembentukan vakuola sitoplasma multipel
berukuran besar. 12,13
Gambar 5.Reaksi enzim Urease yang menetralisir pH lambung (Prescott, Harley.Microbiology 5th edition. 2002. USA: The
McGraw−Hill Companies)
Helicobater pylori terkolonisasi pada sel gaster yang memproduksi mukus.Gambar 6
merupakan gambaran mikroskop electron dari bakteri Helicobacter pylori.Bakteri ini
melekat pada glikoprotein yang terdapat di permukaan dari sel epitel dengan
menggunakan fimbriae.Selanjutnya bakteri akan berpindah ke lapisan mukosa.Urease
yang dihasilkan bakteri ini mampu memproduksi ammonia, berperan dalam
menciptakan suasana netral bagi pertumbuhan bakteri.Ketika bakteri melakukan
aktivitas pada lapisan mukosa gaster, mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi
dengan adanya infiltrasi dari sel-sel mononuclear pada lapisan lamina propria. Reaksi
ini akan terus meningkat hingga mampu memicu terjadinya inflamasi hebat dengan
munculnya netrofil, limfosit serta terbentuknya mikroabses. Inflamasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh efek dari urease dan VacA.Selain itu, adanya bakteri ini pada
mukosa mampu menstimulasi NAP (Neutrophil Activating Protein). Proses inflamasi
yang terus menerus ini mengakibatkan terjadinya kematian pada sel epitel dan
memicu terjadinya ulkus. 12, 13
Gambar 6.Helicobacter pylori pada mukosa gaster menggunakan mikroskop electron (Prescott, Harley.Microbiology 5th edition. 2002.
USA: The McGraw−Hill Companies)
Infeksi primer Helicobacter Pylori tidak memberikan gejala spesifik.Gejala mual dan
nyeri abdomen bagian atas mulai dirasakan pada minggu kedua.Namun nyeri
abdomen bersifat intermitten dengan kualitas yang rendah.Dalam waktu 1 tahun,
nyeri semakin jelas, frekuensi dan intensitas meningkat, disertai dengan mual,
muntah, anoreksia dan nyeri epigatrium.Beberapa pasien bahkan tidak mengeluhkan
gejala apapun selama hampir satu decade.Infeksi bakteri ini mampu menyebabkan
terjadinya perforasi gaster dengan perdarahan serta menimbulkan terjadinya
peritonitis.12, 13
Penegakkan diagnosis paling sensitif untuk mengetahui keterlibatan dari Helicobater
pylori adalah dengan menggunakan endoskopi.Pada endoskopi dilakukan biopsi dan
kultur pada mukosa gaster. Metode non invasive adalah dengan menggunakan
pemeriksaan Urea Breath Test. Pada pemeriksaan ini pasien diminta untuk
mengkonsumsi 13C -14C yang telah dilabel urea. Jumlah urea pada gaster akan
dihitung sesuai dengan jumlah CO2 pada pernapasan.2, 12, 13
2. Penggunaan NSAID
Nonsteroid Anti-Inflammatory Drug(NSAID) merupakan golongan obat yang
memiliki kegunaan klinis sebagai antipiretik, analgesic dan anti inflamasi.Obat ini
mampu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam sehingga efektif sebagai
antipiretik.Obat golongan ini berguna untuk analgesic pada nyeri ringan hingga
sedang seperti myalgia, sakit gigi, dysmenorrhea dan sakit kepala. . Berbeda dengan
analgesic opioid, obat ini tidak menimbulkan depresi SSP. Sebagai agen anti
inflamasi, NSAID digunakan secara luas dalam pengobatan nyeri kronik seperti
artritis rheumatoid, osteoarthritis, arthritis gout, dan ankhilosing spondylitis.14
NSAID bekerja dengan menghambat kerja dari COX (Cyclooxigenase) baik COX-1
maupun COX-2.COX-2 adalah COX dominan yang memproduksi prostaglandin
selama proses inflamasi. Prostaglandin menimbulkan beberapa manifestasi inflamasi
local maupun sistemik seperti vasodilatasi, hyperemia, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, tumor dan dolor.14 Prostaglandin memiliki peran penting dalam
menjaga integritas dan perbaikan mukosa gastroduodenal. Cidera pada mukosa terjadi
karena adanya paparan dengan NSAID.NSAID dalam lingkungan gaster yang asam
bersifat lipofilik terionisasi, sehingga mampu bermigrasi melintasi membran lipid sel
epitel dan menimbulkan kerusakan pada intraselular.NSAID yang berada pada gaster
juga mampu menimbulkan difusi kembali dari ion H dan Pepsin yang menyebabkan
kerusakan lebih lanjut.2Pada gambar di bawah ini, secara singkat faktor-faktor yang
berkaitan dengan pathogenesis ulkus peptikum.
Gambar 7.Gambaran Skematik faktor yang mempengaruhi
terjadinya Ulkus Peptikum (Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of
Pathophysiology. New York: Thieme)
3. Faktor pathogenesis yang tidak berhubungan dengan NSAID dan Helicobater pylori pada
Ulkus Peptikum
Kebiasaan merokok memiliki keterlibatan dalam pathogenesis ulkus peptikum.Pada
perokok insidensi ulkus peptikum terjadi lebih sering dibandingkan pada orang yang
bukan perokok, menurunkan tingkat penyembuhan, mengganggu respon terapi serta
meningkatkan komplikasi. Beberapa hipotesis menyebutkan rokok mampu
menurunkan produksi bikarbonat pada duodenum proksimal, peningkatan risiko
infeksi Helicobater pylori dan menginduksi pembentukan radikal bebas yang
berbahaya terhadap mukosa.2, 5
Factor psikologis dipikirkan memiliki keterkaitan terhadap terjadinya ulkus peptikum
namun studi menunjukkan factor psikologis tidak memiliki hubungan bermakna
terhadap insiden ulkus. Factor psikologis ini lebih dikaitkan dengan insiden
Dyspepsia Non Ulcer.2, 5
Pola diet memiliki keterkaitan dengan terjadinya ulkus peptikum.Dari penelitian
didapatkan bahwa konsumsi alcohol dan kafein memiliki hubungan bermakna dengan
insidensi ulkus peptikum.2, 5
C. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
Nyeri abdomen adalah gejala umum yang ditemukan pada pasien dengan
gangguan pencernaan.Nyeri epigatrium pada ulkus peptikum dirasakan seperti
terbakar atau seperti digerogoti. Pola nyeri khas pada Ulkus duodenum yaitu nyeri
muncul 90 – 3 jam setelah makan dan berkurang dengan makanan serta konsumsi
antasida. Pada Ulkus Gaster, nyeri dipicu oleh makanan dan mual serta ditemukan
penurunan berat badan. 2 Nyeri yang terus menerus, menjalar hingga punggung tidak
berkurang dengan makanan atau antasida mengindikasikan adanya penetrasi ke
pancreas. Nyeri yang muncul tiba-tiba pada semua regio abdomen menunjukkan
adanya perforasi.Pada gejala nyeri yang disertai dengan muntah makanan yang
belum tercerna mengindikasikan adanya obstruksi lambung.BAB yang berwarna
hitam menunjukkan adanya perdarahan pada gaster.2, 5
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan regio epigatrium.Pemeriksaan
fisik amat penting guna menegakkan adanya komplikasi dari ulkus.Takikardi
menunjukkan adanya dehidrasi sekunder akibat muntah atau kehilangan darah aktif
melalui saluran cerna.Nyeri tekan yang ditemukan pada semua regio abdomen
menunjukkan adanya perforasi lambung.2, 5, 7
3. Diagnosis
Dengan gejala klinis yang tidak khas pada ulkus peptikum, dibutuhkan pemeriksaan
penunjang yang berperan dalam penegakkan diagnosis.Modalitas yang dapat
digunakan yaitu radiografi (barium enema) dan endoskopi.Radiografi dengan barium
paling umum digunakan untuk menegakkan ulkus peptikum.Tingkat sensitivitas
mencapai 90%. Sensitivitas ini menurun jika terdapat ulkus dengan ukuran < 0,5 cm,
adanya jaringan parut, atau pada pasien pasca operasi. Endoskopi lebih sensitif dan
spesifik dalam menilai gangguan gastrointestinal.Gambaran radiologi pada ulkus
peptikum dapat dilihat pada Gambar 8.Dengan endoskopi, memungkinkan untuk
melihat visualisasi langsung dari mukosa gaster dan duodenum, serta mampu
mengambil sampel jaringan untuk mengesampingkan kemungkinan
keganasan.Pemeriksaan endoskopi mampu mengidentifikasi lesi berukuran kecil
yang tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi.2, 5, 7Gambar 9
memperlihatkan adanya ulkus peptikum pada gaster dan duodenum.
Gambar 8. Gambaran Radiologi Barium pada Ulkus Peptikum (Harrison's
Principles of Internal Medicine 17th.Braunwald.McGraw-Hill. 2008)
Gambar 9.Gambaran ulkus Dueodenum dan Ulkus Gaster pada
Ulkus menggunakan Endoskopi (Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th.Braunwald.McGraw-Hill. 2008)
Untuk mendeteksi penyebab dari ulkus peptikum dapat menggunakan beberapa
modalitas.Deteksi infeksi Helicobater pylori dapat memanfaatkan tes serologi, Urea
Breath Test, dan Tes antigen Helicobater pylori fekal.2, 5
D. Terapi
I. Non Farmakologi
Penderita ulkus peptikum harus mulai memperhatikan pola dan asupan makanan.Pola
makan dengan jumlah besar harus mulai dihindari karena mampu membebani
lambung.Menghindari makan malam 3-4 jam sebelum tidur karena dapat memicu
pelepasan gastrin dan HCl yang lebih banyak.Pola makan yang diajurkan adalah pola
makan dengan jumlah kecil namun dengan intensitas yang ditingkatkan.Hal ini
bertujuan untuk mengurangi beban kerja gaster dan menurunkan sekresi asam
lambung yang mampu menimbulkan sensasi nyeri.Pasien diminta untuk mengurangi
konsumsi alcohol, kafein, kopi yang memiliki keterikatan dengan kejadian ulkus
peptikum.7
II. Farmakologi
Ada beberapa obat-obatan yang menjadi modalitas dalam pengobatan ulkus peptikum
antaralain:
1. Penetralisir Asam (Antasida)
Antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan HCl menghasilkan
garam dan air. Ia juga memiliki sifat protektif terhadap mukosa dengan
menstimulasi produksi prostaglandin. Kemampuan atau kapasitas netralisasi
asam lambung bervariasi bergantung pada derajat disolusi (tablet vs cairan),
kelarutan dalam air, laju reaksi dengan asam, dan laju pengosongan lambung. 14
Semua antasida menghambat penyerapan sejumlah obat seperti digoxin,
phenytoin, cimetidine, fluoroquinolone. Mekanismenya adalah dengan
berikatan pada obat tersebut atau meningkatkan pH lambung sehingga
mempengaruhi kelarutan obat (terutama obat-obat basa lemah atau asam lemah). 14
Efek samping penggunaan antasida bervariasi sesuai dengan bentuk dan sediaan
dari antasida, antaralain:14
Natrium bikarbonat (NaHCO3)
NaHCO3 + HCl CO2 + NaCl
Karbon dioksidamenyebabkan distensi lambung dan sendawa. Senyawa alkali
ini langsung diserap tubuh sehingga berpotensi menyebabkan alkalosis
metabolik.
Kalsium karbonat (CaCO3)
CaCO3 + HCl CO2 + CaCl2
Kelarutan kalsiumkarbonat kurang dan reaksinya lebih lambat dari natrium
bikarbonat. Kalsium karbonat juga menyebabkan sendawa. Dosis berlebih
NaHCO3 atau CaCO3 ditambah dengan makanan kaya kalsium dapat
menyebabkan hiperkalsemia, insufisiensi renal dan alkalosis metabolik (milk-
alkali syndrome).
Magnesium Hidroksida[Mg(OH)2]/ Aluminium hidroksida[Al(OH)3]
Mg(OH)2 + HCl MgCl2 + H2O
Al(OH)3 + HCl AlCl3 + H2O
Kedua senyawa ini bereaksi lama dengan HCl. Namun, tidak menyebabkan
sendawa karena tidak menghasilkan gas. Alkalosis metabolik juga jarang terjadi.
Hal ini disebabkan garam Mg yang tak diserap dapat menyebabkan diare
osmotik diimbangi dengan garam Al yang memberikan efek konstipasi.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa kombinasi keduanya menghasilkan efek
netralisasi yang seimbang dan lama. Baik Mg maupun Al akan diserap untuk
kemudian dieksresi melalui ginjal maka dari itu tidak dianjurkan pemberian
jangka panjang pada pasien insufisiensi renal.
2. Antagonis Reseptor H2
Obat-obat ARH2 adalah cimetidine, ranitidine, famotidine (paling poten), dan
nizatidine.Antagonis reseptor H2 diserap di lumen intestinal kecuali
nizatidine.Selanjutnyaakan mengalami metabolisme first pass di hati sehingga
bioavailabilitasnya (F) menurun hingga 50%. Nizatidine hanya sedikit
mengalami metabolisme sehingga bioavailabilitasnya hampir 100%.Waktu paruh
di serum berkisar 1-4 jam, bergantung pada dosis yang diberikan. Antagonis
H2 dieliminasi melalui metabolisme hati, filtrasi glomerulus, dan sekresi
tubular.Obat ini dapat melewati plasenta dan juga dapat disekresikan ke dalam
ASI.15
Manusia memiliki 4 jenis reseptor histamin dalam tubuh, yaitu reseptor H1, H2, H3
dan H4.Reseptor H2 di lambung salahsatunya berfungsi meningkatkan sekresi
gastrin yang pada akhirnya akan menstimulus produksi asam lambung. Antagonis
H2 bekerja sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor H2 di sel parietal sehingga
menekan sekresi asam. Volume sekresi gastrin dan pepsin juga ikut menurun.15
Antagonis H2sangat efektif menginhibisi sekresi asam pada malam hari, sekitar
90%, yang mana sekresinya sangat bergantung terhadap histamin. Namun
pengaruhnya menurun menjadi sekitar 60-80% pada siang hari karena sekresi
asam di siang hari utamanya dipengaruhi oleh gastrin dan Asetilkolin akibat
adanya makanan yang masuk.15
Sebaiknya obat ini tidak diberikan kepada wanita hamil dan menyusui bila tidak
mendesak. Antagonis H2 ini dapat melintasi plasenta dan disekresikan ke dalam
ASI. Walaupun belum ditemukan adanya data yang menyatakan ARH2berbahaya,
kewaspadaan harus dipertahankan.14
3. Proton Pump Inhibitors (PPI)
Yang termasuk obat-obat PPI adalah Omeprazole, esomeprazole, lansoprazole,
pantoprazole, dan rabeprazole.PPI merupakan prodrug yang membutuhkan
suasana asam untuk dapat teraktivasi. Dengan demikian, beberapa jenis PPI
diproduksi dengan lapisan pelindung untuk mencegah zat aktif yang berada di
dalamnya terdegradasi oleh pH asam lambung. Setelah masukke lumen intestinum
yang alkali, lapisan tersebut akan larut. Prodrug diabsorpsi enterosit dan
mengalami metabolisme fase 1 di hati (first pass hepatic metabolism) dan
kemudian masuk ke sirkulasi sistemik. Obat ini dimetabolisme di hati oleh
sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4.15
Waktu paruh PPI sekitar 1,5 jam, namun efek inhibisi asamnya berlangsung
hingga 24 jam. PPI sangat kuat berikatan dengan protein.Ia tidak mengalami
eliminasi di renal. PPI diberikan 30 menit sebelum makan. Obat ini dapat pecah
bersama makanan di lambung pecah di lambung kemudian akanberikatan dengan
berbagai gugus sulfihidril yang ada di makanan sehingga bioavailabilitasnya akan
menurun sampai 50%.14, 15
Dari sirkulasi sistemik, PPI berdifusi ke kompartemen asam sel parietal
lambung. Di sini, prodrug terprotonasi (adisi proton atau H+) dan mengalami
aktivasi insitu menjadi sulfonamid tetrasiklik. PPI bekerja dengan memblokir
jalur akhir sekresi asam lambung. Bentuk aktif Sulfonamid akan berikatan
kovalen dengan gugus sulfihidril enzim H+/K+ ATPase (enzim pompa proton).
Ikatan tersebut menyebabkan produksi asam lambung terhenti 80-95%.
Penghambatan bersifat ireversibel dan produksi asam baru dapat terjadi kembali
setelah 3-4 hari setelah pengobatan dihentikan.15
Golongan Obat Contoh Obat Dosis
Penekan Sekresi
Asam
1. Antasida Mylanta, Maalox 100-140meq 1 –
3 jam setelah
makan
2. Antagonis
reseptor H2
CimetidinRanitidinFamotidinNizatidine
400 mg300 mg40 mg300 mg
3. Penghambat Pompa Proton
OmeprazolLansoprazolRabeprazolPantoprazolEsomeprazol
20 mg/ hari30 mg/ hari20 mg/ hari40 mg/ hari20 mg/ hari
Agen Proteksi Mukosa
1. Sukralfat2. Prostaglandin
Analog
SukralfatMisoprostol
1 gram q/d200 pikogram q/d
Tabel I. Golongan Obat dan Dosis yang digunakan dalam Terapi pada Ulkus Peptikum
(John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine 17th.Braunwald.McGraw-Hill. 2008)
4. Agen Protektif Mukosa
a. Sukralfat
Merupakan kompleks garam sukrosa dengan Al(OH)3 yang tersulfatasi.
Sukralfat dipecah menjadi sukrosa sulfat serta garam Al. Obat ini hampir tak
dapat diserap tubuh dan dikeluarkan bersama feses. 14
Di dalam lambung, sukralfat dan air akan membentuk pasta kental yang
melindungi ulkus atau erosi hingga 6 jam. Sukrosa sulfat yang bermuatan
sangat negatif akan berikatan dengan dasar ulkus/erosi yang bermuatan
positif. Terbentuk barrier fisik sehinggamencegah kerusakan lebih lanjut.
Barier ini akan memberi kesempatan sel dibawahnya untuk mensekresikan
Prostaglandin dan HCO3 untuk perbaikan mukosa.14, 15
Walaupun sukralfat dengan selektif menutupi ulkus, namun ia juga dapat
berikatan dengan berbagai obat lain, seperti, digoxin, phenytoin, cimetidine,
fluoroquinolone.14
b. Analog Prostaglandin
Mukosa saluran cerna mensintesi sejumlah prostaglandin terutama PGE dan
PGF. Misoprostol adalah senyawa metil yang analog dengan PGE1. Obat ini
diserap dan dimetabolisasi menjadi bentuk metabolit yang aktif . Waktu
paruhnya sekitar 30 menit, sehingga butuh 3-4 kali minum per hari.
Walaupun Misoprostol dieksresikan melalui urin, tidak perlu penurunan dosis
pada pasien insufisiensi renal.15
Misoprostol memiliki fungsi ganda, sebagai penghambat sekresi asam
sekaligus pelindung mukosa.Obat ini menstimulasi sekresi mukus dan HCO3
dan meningkatkan laju darah di mukosa. Selain itu, obat ini juga berikatan
dengan reseptor Prostaglandin di sel parietal, menurunkan cAMP yang
distimulasi histamin, sehingga memberikan efek inhibisi asam walaupun
hanya sedikit. 14, 15
Efek samping pada sejumlah pasien dilaporkan mengalami diare dan nyeri
abdomen. Prostaglandin juga memiliki fungsi lain seperti merangsang
kontraksi uterus, sehingga misoprostol menjadi kontraindikasi pada wanita
hamil. Namun setelah melahirkan, obat ini dapat diberikan karena mampu
menghentikan perdarahan post-partum. Sampai saat ini belum
ditemukanadanya interaksi signifikan misoprostol dengan obat lain.14, 15
Selain obat-obatan di atas, untuk ulkus peptikum yang disebabkan oleh infeksi
Helicobater pylori digunakan beberapa antibiotic yang berfungsi mengeradikasi
bakteri tersebut.Penggunaan antibiotik tunggal pada infeksi memberikan hasil yang
lebih buruk dibandingkan dengan pemberian antibiotic kombinasi.Adapun antibiotic
yang digunakan antaralain metronidazole, tetrasiklin, klaritromisn, dan senyawa
Bismuth.Triple therapy yang digunakan diawal adalah penggunaan 2 antibiotik
ditambah dengan satu diantara PPI, Antagonis H2 memiliki tingkat keberhasilan yang
lebih baik. Penggunaan obat-obat yang menekan produksi asam bertujuan untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan proses eradikasi bakteri.Dalam pemilihan
antibiotic perlu diperhatikan beberapa faktor seperti efikasi obat, toleransi pasien
serta resistensi obat.15
Meskipun Triple Therapy efektif dalam eradikasi Helicobater pylori, namun
dapat menimbulkan penurunan dari kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi
obat.Terapi ini harus dikonsumsi selama 14 hari, dua kali dalam sehari.Oleh sebab
itu, edukasi kepada pasien amat dibutuhkan agar tidak terjadi resistensi dan mampu
mencapai target eradikasi.2tabel di bawah ini merupakan regimen yang
direkomendasi untuk eradikasi Helicobacter pylori.
Obat Dosis
Triple Therapy1. Bismuth
subsalisilat plusMetronidazol plusTetrasiklin
2. Ranitidin Bismuth citrate plusTetrasiklin plusClaritromisin
3. Omeprazole plusClaritromisin plusMetronidazol atauamoksisilin
2 tablet 4x sehari250 mg 4x sehari500 mg 4x sehari400 mg, 2x sehari500 mg , 2x sehari500 mg, 2x sehari20 mg, 2x sehari250-500 mg, 2x sehari500 mg , 2x sehari1 gram, 2x sehari
Quadruple TherapyOmeprazolBismuth subsalisilatMetronidazolTetrasiklin
20 -30 mg/hari2 tablet 4x sehari250 mg 4x sehari500 mg 4x sehari
Tabel II. Regimen yang direkomendasikan untuk eradikasi Helicobater
pylori
(John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal
Medicine 17th.Braunwald.McGraw-Hill. 2008)
Untuk kasus ulkus peptikum yang diinduksi oleh NSAID, intervensi yang harus
dilakukan adalah menghentikan penggunaan NSAID yang menyebabkan ulkus. Jika tidak
mungkin, NSAID dapat diganti dengan rejimen lain yang lebih selektif terhadap COX-2
(celecoxib, rofecoxib) yang digunakan secara bersamaan dengan misoprostol, atau
Antagonis H2 dosis tinggi. 2, 15
BAB III
KESIMPULAN
Ulkus Peptikum merupakan penyakit yang memiliki tingkat insidensi cukup
tinggi.Penyakit ini berkaitan dengan berbagai faktor yang ditemukan dalam masyarakat seperti
pola makan yang kurang baik, konsumsi obat-obatan yang mampu meningkatkan risiko ulkus
peptikum sampai kebiasan buruk seperti merokok.Penyakit ini kadang tidak disadari oleh pasien
bahkan hanya dianggap sakit perut biasa.Penyakit ini perlu mendapatkan perhatian serius karena
menyangkut prognosis yang buruk jika tidak ditangani dengan baik.
Dalam penatalaksanaan sendiri, diperlukan kecermatan dalam mengidentifikasi dan
mengenali tanda dan gejala dari ulkus peptikum.Ulkus peptikum ini dapat bermula dari Sindrom
Dispepsia yang tidak dikontrol dengan baik.Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penyakit ini
sulit dibedakan dengan penyakit lain yang berkenaan dengan gaster. Pasien sebagian besar
datang ke dokter ketika telah terjadi perdarahan atau bahkan perforasi.
Penegakkan diagnosis Ulkus Peptikum definitif adalah melalui pemeriksaan endoskopi.Dari
pemeriksaan tersebut, dapat diketahui kedalaman ulkus dan dapat juga diambil contoh jaringan
yang selanjutnya dapat diperiksa untuk menilai ada atau tidak infeksi dari H. Pylori.Untuk
pengobatan ulkus peptikum menggunakan berbagai golongan obat yang bertujuan untuk
mengontrol sekresi asam lambung, perlindungan terhadap mukosa lambung dan antibiotic jika
terbukti adanya infeksi H. Pylori.Tatalaksana yang baik memberikan prognosis yang lebih baik
untuk kasus ulkus peptikum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tarigan, P. Tukak Gaster, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi V Jilid I. Editor
Aru. W Sudoyo, dkk. Interna Publising. 2009
2. John Del Valle. Acid Peptic Disorder, on Harrison's Principles of Internal Medicine
17th. Braunwald. McGraw-Hill. 2008
3. Akil HAM. Tukak Duodenum dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna
Publishing. Jakarta. 2010. P 523-8
4. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology. 12th edition. Asia:
John Wiley & Sons, 2009. p. 921 – 950
5. Schafer, TW. Peptic Ulcer Disease. The American College of Gastroenterology,
Bethesda, Maryland. 2008.
6. Price, ASylvia.Patofisiologi Edisi 6 Volume II. EGC. Jakarta. 2007 Hal 1388
7. Shyne, P. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. Departement of Emergency Medicine, Emory
University School of Medicine. 2009[diunduh 14 Januari 2013] diakses dari www.
Emedicine.org
8. Junqueira, Carlos. Histologi Dasar Teks dan Altas Edisi X. 2007. Jakarta: EGC. Hal
196-197; 213-216
9. Histologi bloom fawset
10. Guyton & Hall. 2006. Textbook of Medical Physiol 11th ed. USA: Mc Graw-Hill
Companies page 795-800
11. Stefan Silbernagl. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. Page
142-147
12. Prescott, Harley. Microbiology 5th edition. 2002. USA: The McGraw−Hill
Companies. Page 918-919
13. Ryan, Kenneth J. Sherris Medical Microbiology an Introduce to Infection Disease 4 th
Edition. 2004. The McGraw−Hill Companies. Page 380-384
14. Modern pharmacology with Clinical Applications 425-428
15. Laurence, L. Bruton. Goodman & Gilman’s, The Pharmacological Basis of
Theurapeutics 11thedition. USA: The McGraw-Hill Companies. Page 967-972