Bagian Ilmu Kesehatan AnakRefleksi Kasus Neurologis
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
LUPUS NEFRITIS
Disusun oleh:
Ria Afriyanti
Pembimbing:
dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
JULI 2015
Refleksi Kasus
Lupus Nefritis
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak
RIA AFRIYANTI
Menyetujui,
dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
JULI 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Laporan yang berjudul LUPUS NEFRITIS.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial kasus
ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan
ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
:
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas
Mulawarman
2. Bapak dr. H. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Sukartini, Sp. A selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman selaku
Ketua Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unmul serta
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A., selaku dosen Pembimbing yang
dengan sabar memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang
sangat berharga dalam penyusunan laporan kasus ini dan juga yang
selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran,
dan solusi selama penulis menjalani co.assisten di lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak.Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya
kepada penulis hingga pendidikan saat ini.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf
pengajar Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang
telah diajarkan kepada kami..
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
AWS/FK UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa
penulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan tutorial kasus ini. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semuanya.
Samarinda, 4 Juli 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Nefritis lupus, salah satu dari manifestasi paling serius dari
lupus erimatosus sistemik (SLE). Lupus eritematosus sistemik
(systemic lupus erythematosus, atau SLE) adalah penyakit autoimun
sistemik idiopatik yang berbeda dari penyakit autoimun lainnya
dalam hal keberagaman manifestasi klinis, perbedaan perjalanan
penyakit, dan dasar anomali imunologisnya. SLE dapat melibatkan
seluruh sistem organ. Biasanya pada nefritis lupus muncul dalam 5
tahun setelah diagnosis. Nefritis lupus tampak jelas secara
histologis pada kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik,
bahkan mereka yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit
ginjal.6
Secara histologis, ginjal terpengaruh sampai derajat tertentu
pada pasien lupus erimatosus sistemik (SLE). Perkiraan prevalensi
keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien lupus erimatosus
sistemik (SLE) berkisar antara 30-90% pada studi-studi yang sudah
dipublikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis lupus klinis
pada pasien lupus erimatosus sistemik (SLE) kemungkinan sekitar
50%, lebih sering pada anak-anak dan etnis tertentu. Lupus
erimatosus sistemik (SLE) lebih sering pada orang kulit hitam dan
ras hispanik. Nefritis lupus yang berat terutama lebih sering
ditemukan pada orang kulit hitam dan ras Asia dibandingkan ras
lain. Karena prevalensi lupus erimatosus sitemik lebih tinggi pada
wanita ( rasio wanita : pria= 9:1 ), nefritis lupus juga lebih
sering dijumpai pada wanita. Kebanyakan pasien dengan lupus
erimatosus sistemik (SLE) terkena nefritis lupus pada awal
perjalanan penyakitnya. Lupus erimatosus sistemik lebih sering
terjadi pada wanita di dekade tiga kehidupannya, dan nefritis lupus
juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun.7
Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manamejen nefritis
lupus telah meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini
rata-rata 10 year survival rate dari lupus erimatosus sistemik
(SLE) telah melebihi 90%, sebelum tahun 1995,5-year survival rate
kurang dari 50%, penurunan mortalitas terkait SLE dapat merupakan
kontribusi diagnosis lebih awal, perbaikan pengobatan spesifik dan
kemajuan ilmu kedokteran secara umum.7
Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya
sendiri, selain komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti
penyakit kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat
berakhir pada anemia, uremia dan gangguan asam basa serta
elektrolit. Komplikasi infeksi yang terkait SLE aktif dan
pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama kematian
pada SLE fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah
penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut. Framingham Offspring
Study menunjukkan bahwa wanita usia 35-44 tahun dengan LES adalah
50 kali lebih mudah mengalami iskemia miokardial dibandingkan
wanita sehat. Penyebab PJK dini pada pasien LES bersifat
multifaktorial, termasuk disfungsi endotel, mediator inflamasi,
atherogenesis yang diinduksi kortikosteroid dan dislipidemia yang
terkait dengan penyakit ginjal.2
Perbedaan presentasi klinis dan histologis serta kendali
komplikasi pengobatan yang kompleks dari pasien LES menuntut adanya
suatu pendekatan individualisasi terapi yang tepat. Saat ini pun,
sedang berlangsung banyak penelitian pada obat-obatan yang mungkin
dapat menjadi harapan baru bagi penderita LES seperti mycophenolate
dan rituximab. Pe ndekatan diagnosis dan kemungkinan terapi dari
pasien dengan manifestasi renal dari lupus eritematosus sistemik,
yang dicurigai suatu nefritis lupus.9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus
sitemik (SLE). Lupus erimatosus sistemik (SLE) adalah penyakit
reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. Diagnosis nefritis lupus ini
ditegakkan bila pada lupus erimatosus sistemik (SLE) terdapat
tanda-tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau sama dengan
1gram/24jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 30%.10
Nefritis lupus merupakan suatu proses inflamasi ginjal yang
disebabkan oleh sistemik lupus erimatosus, yaitu suatu penyakit
autoimun, selain ginjal, SLE juga dapat merusak kulit, sendi,
system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh.12
Gambar 1: Proses terjadinya Nefritis Lupus.
B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, prevalensi lupus erimatosus sistemik adalah 1 kasus
per 2000 penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan diagnosis
dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar
peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih dekat ke 1
kasus per 500-1000 populasi. Data prevalensi lupus erimatosus
sitemik di indonesia sampai saat ini belum ada, jumlah penderita
lupus erimatosus di indonesia menurut yayasan lupus indonesia
sampai dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang.8
Keterlibatan ginjal lupus erimatosus sistemik merupakan manifestasi
penyakit yang umum di jumpai dan merupakan prediktor kuat luaran
yang buruk. Prevalensi penyakit ginjal pada studi kohort besar yang
terdiri atas 2649 pasien lupus erimatosus sitemik bervariasi antara
31-65%. Di dapatkan insidensi penyakit ginjal akut sebesar 10%,
bedasarkan data dari Asia, keterlibatan renal berkisar antara
6-100% secara keseluruhan.13
Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada
pasien Sle berkisar antara 30-90% pada studi-studi yang sudah di
pulikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis lupus klinis
pada pasien SLE kemungkinan sekitar 50%. SLE lebih sering ditemukan
pada orang yang berkulit hitam dan ras Asia dibandingkan denganras
lain, karena prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita (rasio
wanita:pria=9:1) nefritis lupus juga sering dijumpai pada wanita.
Kebanyakan pasien dengan lupus erimatosus sistemik (SLE) terkena
nefritis lupus pada awal perjalanan penyakitnya. Lupus erimatosus
sistemik lebih sering terjadi pada wanita di dekade tiga
kehidupannya, dan nefritis lupus juga sering terjadi pada pasien
usia 20-40 tahun. Anak dengan SLE memiliki risiko penyakit ginjal
lebih tinggi daripada dewasa dan lebihsering mengalami cedera
akibat penyakit agresif dan toksisitas akibat pengobatan.
Selama 4 dekade terakhir, perubahan dari manamejen nefritis
lupus telah meningkatkan kemungkinan hidup pasien, saat ini
rata-rata 10 year survival rate dari lupus erimatosus sistemik
(SLE) telah melebihi 90%, sebelum tahun 1995,5-year survival rate
kurang dari 50%. Penurunan mortalitas terkait SLE dapat merupakan
kontribusi diagnosis lebih awal (termasuk kasus ringan), perbaikan
pengobatan spesifik dan kemajuan ilmu kedokteran secara umum.11
Morbiditas dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya
sendiri, selain komplikasi pengobatan dan komorbiditas seperti
penyakit kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif dapat
berakhir pada anemia, uremia dan gangguan asam basa serta
elektrolit. Hipertensi akan semakin meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner dan stroke. Sindroma nefrotik dapat menimbulkan
edema, asites dan hiperlipidemia. Komplikasi infeksi yang terkait
SLE aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab
utama kematian pada SLE fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis
dini adalah penyebab kunci mortalitas pada fase lanjut. Framingham
Offspring Study menunjukkan bahwa wanita usia 35-44 tahun dengan
LES adalah 50 kali lebih mudah mengalami iskemia miokardial
dibandingkan wanita sehat. Penyebab PJK dini pada pasien LES
bersifat multifaktorial, termasuk disfungsi endotel, mediator
inflamasi, atherogenesis yang diinduksi kortikosteroid dan
dislipidemia yang terkait dengan penyakit ginjal.12
C. ETIOLOGI
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody)
dan komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya
peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom
nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat progresi cepat
menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran
darah, lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang berbagai struktur
internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial dan
glomerulonefritis membranosa.18
D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya lupus erimatosus sitemik (SLE) diawali
oleh, estrogen memegang peranan kunci sebagai penyebab SLE. Faktor
lain yang berpengaruh pada kejadian SLE adalah genetik, lingkungan,
kontrasepsi hormonal, sosial dan pola antibodi. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi adalah sinar matahari atau ultra violet yang
dapat meningkatkan, eksaserbasi SLE. interaksi faktor- faktor
tersebut ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon
imun yang menimbulkan peningkatan sel T dan sel B, sehingga terjadi
peningkatan auto-antibody (DNA-anti-DNA), sebagian auto-antibodi
ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom
(DNA-histon)kromatin, C1q, laminin Ro(SS-A), ubiquitin dan ribosom,
yang kemudian akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil nefritis lupus tidak
ditemukan deposit kompleks imun dengan sediaan imunofluoresens atau
mikriskop electron, sehingga disebut sebagai pauci-immune
necrotizing glomerulonefritis.4
Patofisiologi terjadinya Lupus Nefritis, Gambaran klinis
kerusakan glomerolus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya
deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel
terletak proksimal terhadap membrane basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah tersebut
ini akan mengaktifkan komplemen yang kemudian membentuk
kemoatraktan C3a dan C3a. Selanjutnya terjadi influx sel neutrofil
dan sel mononuclear. Deposit pada mesangium dan subendotel secara
histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferative fokal,
dan proliferative difus; secara klinis memberikan gambaran sedimen
urin yang aktif (ditemukan eritrosit, leukosit,silinder sel, dan
granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan
pembuluh darah karena dipisahkan oleh membrane basalis glomerulus
sehingga tidak terjadi influx neutrofil dan sel mononuclear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara
klinis hanya memberikan gejala proteinuri.14
Respon autoantibodi pada LES tampaknya terarah terhadap
nukleosom yang terbentuk dari sel apoptotik. Pasien dengan LES
memiliki mekanisme klirens seluler yang buruk. Debris nuklear dari
sel apoptotik menginduksi interferon-alfa melalui sel-sel dendritik
plasmasitoid, yang merupakan induser sistem imun dan autoimunitas.
Pada LES, limfosit B autoreaktif yang secara normal tidak aktif
menjadi aktif karena malfungsi mekanisme homeostasis normal,
sehingga autoantibodi diproduksi. Autoantibodi lain, termasuk
anti-dsDNA terjadi lewat suatu proses penyebaran epitop.
Autoantibodi ini akan bertambah banyak seiring waktu secara
bertahap, beberapa bulan sampai tahun sebelum onset LES klinis.
Lupus nefritis terkait dengan produksi autoantibodi nefritogenik
dengan ciri-ciri sebagai berikut 18
1. Yang dianggap antigen secara spesifik adalah nukleosom atau
dsDNA : beberapa antibodi dsDNA bereaksi silang dengan membran
basal glomerulus.
2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks
imun intravaskular, yang menumpuk dalam glomerulus.
3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi
dengan membran basal glomerulus yang bersifat anionik.
4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat
mengaktivasi komplemen.
Kompleks imun terbentuk intravaskular dan kemudian diendapkan
dalam glomeruli. Selain itu, autoantibodi dapat berikatan langsung
dengan protein pada membran basal glomerulus (yang kemungkinan
adalah -aktinin) dan membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun
mencetuskan respons inflamasi dengan mengaktivasi komplemen dan
menarik sel-sel radang, termasuk limfosit, makrofag dan netrofil.
Tipe histologis dari nefritis lupus yang terjadi tergantung dari
berbagai faktor, termasuk spesifisitas antigen dan sifat lain
autoantibodi serta tipe respons inflamasi yang ditentukan oleh
faktor-faktor host lainnya. Pada bentuk yang berat dari nefritis
lupus, proliferasi sel endotel, mesangial dan epitel serta produksi
matriks protein dapat berakhir pada fibrosis.16 11
Nefritis lupus yang signifikan secara klinis biasanya terkait
dengan penurunan klirens kreatinin 30%, proteinuria >1000
mg/hari dan temuan biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis lupus
aktif. Antibodi anti-nukleosom muncul dini pada perjalanan respons
autoimun pada LES, mereka memiliki sensitivitas dan spesifisitas
tinggi untuk diagnosis LES serta titernya berkorelasi dengan
aktivitas penyakit. Antibodi anti-C1q berkaitan erat dengan
nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan penyakit ginjal
aktif. Abnormal urinalysis findings (albuminuria, leucocyturia,
haematuria, granular casts, hyaline casts, red blood cell casts,
fatty casts, oval fat bodies)Abnormal urinary sediment findings
(leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline casts) .15
Klasifikasi patologis dari nefritis lupus direvisi oleh
International Society of Pathology/Renal Pathology Society
(ISN/RPS) tahun 2003 dan didasarkan pada pemeriksaan mikroskop
cahaya,imunofluoresensi dan mikroskop elektron dari spesimen biopsi
renal.
E. MANIFESTASI
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap
hipertensi atau hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering
pada pasien dengan nefritis lupus difus proliferatif atau
membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria
berat. Gejala lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat
nefritis lupus proliferatif difus termasuk sakit kepala, pusing,
gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung.6
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi
manifestasi kelainan ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal
seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat, system hematologi,
persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri
didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien,
hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80%
pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada
40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30%
pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk
yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang
dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien
diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4
mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl.
F. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi
mempunyai nilai yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai
hubungan dengan gejala klinis yang ditemukan pada pemeriksaan dan
juga menentukan pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu
biopsy ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi. Pada
tahun 1995 WHO memperbaiki klasifikasi kelainan histopatologi NL
seperti terlihat dibawah ini:
Klasifikasi Nefritis Lupus Menurut WHO 1995:9
I: Glumeruli normal
a. Normal dengan sesuai teknik pemeriksaan
b. Normal dengan mikroskop cahaya, akan tetapi di temukan
deposit dengan cara imunohistologi dan/atau dengan mikroskop
elektron.
II: perubahan pada mesangial
a. Pelebaran mesangial dan atau dengan hiperselular ringan
b. Proliferasi sel mesangial
III: focal segmental glomerulonefritis (dengan perubahan
ringa/sedangmesangial, dan/atau deposit epimembran segmental)
a. Lesi nefrotik aktif
b. Lesi sklerotik aktif
c. Lesi sklerotik
IV :glomerulonefritis difus (deposit luas
mesangial/mesangiokapiler dansubendotel)
Klasifikasi lupus menurut International Society of Nephrology/
Renal Pathology Society (ISN/RPS) 2003 :
Class I : Minimal mesangeal lupus nephritis
Class II : Mesangeal proliferative lupus nephritis
Class III : Focal lupus nephritis
Class IV : Diffuse segmental (IV-S) or global (IV-G) lupus
nephritis
Class V : Membranous lupus nephritis
Class VI : Advance sclerosing lupus nephritis
G. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal
dengan edem, hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di
jantung dan paru yang menandakan overload cairan .9Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan: 9
Tes ANA tes ini sangat sensitif untuk SLE, tetapi tidak
spesifik. ANA juga dapat ditemukan pada pasien atritis rematoid,
skleroderma, sindroma syogren, poli miositis dan infeksi HIV. Titer
ANA tidak mempunyai kolerasi yang baik dengan berat kelainan
ginjal.
Tes anti ds DNA ( anti double stranded DNA) lebih spesifik
tetapi kurang sensitif. Tes ini untuk kira-kira 75% pasien SLE
aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik
Radiomunoassay Farr atau teknik ELISA. Anti ds DNA mempunyai
kolerasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.
Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperti anti
Sm dan anti-nRNP.
Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama
pada nefritis lupus tipe proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering
sudah dibawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi.
Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
Basal urea nitrogen dan kreatinin
Urinalisis
Urine immunoglobulin rantai pendek
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal membantu menentukan tipe nefritis dan berguna
untuk terapi lebih tepat tetapi beberapa ahli tidak
merekomendasikan biopsi ginjal sebagai tindakan rutin pada setiap
nefritis, karena merupakan tindakna invasif ( Bertias dkk,
2000).
Indikasi biopsi ginjal menurut beberapa ahli adalah perburukan
protein uria respon pengobatan minimal, nefritis kambuh, dan gagal
ginjal akut.17
Indikasi biopsi ginjal menurut ahli yang lain.3
Hematuria dan silinder uria positif atau hematuria dan protein
uria > 0,5 gr sehari
Hematuria dengan protein uria < 0,5 gr sehari tetapi kadar C3
rendah atau dan ds DNA positif
Protein uria > 1gr sehari terutama di tambah kadar komplemen
C3 rendah dan ds DNA positif
H. DIAGNOSIS
Diagnosis lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria
klinis dan laboratorium. Kriteria yang dikembangkan oleh American
College of. Rheumatology (ACR). Pada diagnosis klinis NL ditegakan
bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4 dari kriteria ARA)
didapatkan protein urea 1gr/24 jam dengan atau hematuria (>8
eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%
sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi
ginjal. Protein uria umumnya di peruksa dengan cara mengukur jumlah
secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara
lain yang lebih praktis dan sekarang banyak mulai dilakukan ialah
mengukur rasio protein dengan kreatinin pada sample urin sewaktu
(ekskresi kreatinin normal 1000mg/24jam /1,75m2; rasio protein
keatinin normal ,0,2). Pemeriksaan ini lebih mudah dikerjakan
terutama diperiksa menilai perubahan jumlah protein setelah
dilakukan pengobatan.
Kriteria ARA
1. Ruam Malar
2. Ruam Diskoid
3. Foto sensitif
4. Ulkus di mulut
5. Artritis/artralgia
6. Serositis
a. Efusi perikardial
b. Efusi paru
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria (>0.5 gr//24 jam)
b. Cellular cast
8. Kelainan neurologis
9. Kelainan darah
a. Anemia hemolitik
b. Leukopenia (< 4000)
c. Limfopenia (8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi
ginjal sampai 30% sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus
ditegakan dengan biopsi ginjal.
Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada
strategi terapi yang bertujuan untuk mengurang progresifitas
penyakit ginjal, menghambat perkembangan penyakit vaskuler,
menghambat kambuhnya penyakit dan mengurangi efek samping
pengobatan. Pengobatan pada NL bertujuan untuk terjadinya induksi
dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula maintenance
pengobatan jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent sering
disertai dengan terjadinya efek samping dan morbiditas. Rata-rata
kejadian relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardoin SP, Pisetsky DS. Development in the scientific
understanding of lupus.Arthritis Research & Therapy 2008,
10:218
2. Belmont MH. Lupus Clinical Overview. In: James K, Blaire M,
eds. Nephritis Lupus. 5th ed. New York, PA: McShane; 2006:
123-58.
3. Bertias G, Sidiropoulos P, Boumpas DT. 2000. Systemic Lupus
Erythematosus: Treatment Renal Invelotment. Rheumatology.
Philadelphia: Mosby Elsevier.
4. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison
Principles Of International Medicine ed 16th. Vil II. McGraw-Hill
Medical Publishing Division
5. Boletis JN, Marnaki S, Skalioti C. Rituximab and
Mycophenolate Mofeil For Relapsing Moliferative Lupus Nephritis : A
Long Term Prospective Study. Nephrol Dial Transplant; 2009 24:
2157-2160
6. Brent LH, Hamed FA. Lupus Nephritis. In: James K, Blom, eds.
LupusErythematosus. 12th ed. Washington, PA: Lippincott Williams
and Wilkins; 2008: 849-67.
7. Brunner HI, Gladman DD, Ibaez D, Urowitz MD, Silverman ED.
Difference in disease features between childhood-onset and
adult-onset systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Feb
2008;58(2):556-62..
8. Gill JM et al. Diagnosis of systemic lupus erythematosus. Am
Fam Physician. (Journal).2003;68:2179-86.
9. Hugh RB, Yvonne M, OMeara, Barry MB. Glomerular Disease.
2005. Harrison Principles Of International Medicine ed 16th. Vil
II. McGraw-Hill Medical Publishing Division.
10. Laskari K. Mavragani P. 2010. Tziofag Moustopoulys M.
Mycephenolat Mofeil as Maintenance therapy for Proliferative Lupus
Nephritis: a Long term obervasitional prospective study arthritis
reasearch & therapy.
11. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl
J Med. 2008;358(9):929-39
12. Schur PH. General symptomatology and diagnosis of systemic
lupus erythematosus in adults. (Letter). 2005:60: 125
13. Sudoyo AW et al. Nefritis lupus. In : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam UI, 2007
14. Tumlin JA. Lupus Nephritis : Histology,diagnosis and
treatment. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases
2008;66(3):188-94
15. The 8th International Congress on SLE; May 23-27, 2007;
Shanghai, China. Updating the American College of Rheumatology
revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus [Letter]. Arthritis Rheum 1997;40:1725.
16. Sidiropoulos P et al. Lupus nephritis flares. Lupus 2005;14:
49-52
17. Vasuvedan AR, Ginzler EM. 2000. Clinical feature of Sistemic
Lupus Erythematosus. Rheumatologiy. Philadelphia: Mosby
Elsevier.
18. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus
nephritis.Kidney Int 2006; 70 : 1403-12
19. Weening JJ, DAgati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE,
Appel GB. The classification of glomerulonephritis in systemic
lupus erythematosus revisited. J Am Soc Nephrol.
2004;15(2):241-50
24