BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKafein merupakan suatu senyawa alkaloid yang
termasuk dalam golongan methylxanthine, mempunyai rasa pahit dan
berbentuk kristal (Maughan & Griffin, 2003). Produksi Kafein
dilakukan dengan mengekstraksi tanaman tertentu dan juga diproduksi
secara sintetis. Tujuan dari produksi kafein adalah untuk memenuhi
kebutuhan industri minuman, sebagai penguat rasa atau bumbu pada
industri makanan. Kandungan kafein secara alami terdapat pada lebih
dari 60 jenis tanaman terutama teh, kopi dan biji kola (Misra &
Mehta dkk, 2008). Kafein juga terdapat pada kokoa dan minuman
ringan. Obat migrain dan stimulan yang dijual bebas mengandung
lebih banyak kafein dari pada kafein yang terkandung dalam
secangkir kopi (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).Di Amerika
Serikat, 80 % terutama penduduk dewasa mengkonsumsi kafein setiap
hari dengan jumlah rata-rata 200 mg kafein per hari yaitu dalam
bentuk kopi atau minuman bersoda. Dua puluh sampai tiga puluh
persen penduduk dewasa mengkonsumsi lebih dari 500 mg kafein per
sehari. Dalam setiap satu cangkir kopi mengandung 100 sampai 150 mg
kafein, sedangkan teh mengandung sepertiga dari jumlah tersebut
(Kaplan, Sadock & Grebb, 1997). Negara Indonesia, merupakan
negara yang menempati urutan kedua pengkonsumsi kopi terbesar di
Asia setelah Jepang, yaitu dengan jumlah konsumsi sebanyak 3,6 juta
bungkus pada tahun 2012, hasil tersebut didapatkan dari
International Coffee Organization (ICO). Masyarakat dunia mengenal
kafein terutama kopi untuk menahan rasa kantuk, meningkatkan mood
dan kognisi, serta menghasilkan efek stimulasi (Haskell, Kennedy
dkk, 2005 & Lieberman, Tharion dkk, 2002).
1.2 Masalah Bagaimanakah gangguan mental dan prilaku akibat
penggunaan kafein?
1.3 Tujuan Penulisan1. Mengetahui neurofarmakologi dari
penggunaan kafein.2. Mengetahui gangguan mental dan prilaku terkait
dengan penggunaan kafein.3. Mengetahui perbedaan gejala intoksikasi
kafein dan putus kafein4. Mengetahui tata laksana dari
penyalahgunaan kafein.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 KafeinNama lain dari kafein adalah 1,3,5-trimethylxanthine.
Kafein mempunyai rumus molekul C8H10N4O2. Proses metabolisme kafein
terjadi di hati menjadi tiga metabolit utama yaitu paraxanthine (84
%), theobromine (12 %) dan theophylline (4 %) (Misra & Mehta
dkk, 2008).
2.2 Sumber KafeinMakanan, minuman dan obat-obatan yang
mengandung kafein adalah sebagai berikut:Sumber Kandungan kafein
(mg)
Beverages and foods (5- 6 oz)
Kopi murni, kopi buatan90 -140
Kopi instan66 -100
Tea (daun/ kantung)30 -100
Cocoa5 -50
Kopi tanpa kafein2-4
Chocolate bar atau cokelat masak25-35
Soft drinks (8 12 oz) Pepsi, Coke, Tab, Royal Crown Cola, Dr.
Pepper, Mountain Dew25-50
Canada Dry Ginger Ale, Caffeine-Free Coke, Caffeine-Free Pepsi,
7-Up, Sprite, Squirt, Caffeine-Free Tab
Prescription medications (1 tablet or capsule )
Cafergot, Migralam100
Anoquan, Aspir-code, BAC, Darvon, Fiorinal32-50
Over-the-counter analgesics and cold preparations (1 tablet or
capsule) Excedrin60
Aspirin compound, Anacin, B-C powder, Capron, Cope, Dolor,
Midol, Nilain, Norgesic, PAC, Trigesic, Vanquish~30
Advil, aspirin, Empirin, Midol 200, Nuprin, Pamprin
Over-the-counter stimulants and appetite suppressants (1 tablet
or capsule)
Caffin-TD, Caffedrine250
Vivarin, Ver200
Quick-Pep140-150
Amostant, Anorexin, Appedrine, Nodoz, Wakoz100
(Adapted from table by Jerome H. Jaffe, M.D.)(Kaplan, Sadock
& Grebb, 1997)
2.3 NeurofarmakologiKafein dalam tubuh manusia kafein memiliki
waktu paruh 3-10 jam, mencapai konsentrasi puncak dibutuhkan waktu
30-60 menit. Kafein dapat melewati barier darah otak dengan cepat.
Mekanisme kerja utama kafein adalah sebagai antagonis reseptor
adenosin. Aktivasi reseptor adenosin mengaktifkan suatu protein G
inhibisi (Gi), sehingga menginhibisi pembentukan second-messenger
cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Kafein menyebabkan
peningkatan konsentrasi cAMP intraneuronal di dalam neuron yang
mempunyai reseptor adenosin. Diperkirakan bahwa 3 cangkir kopi
menyebabkan peningkatan kafein di dalam otak, sekitar 50 % reseptor
adenosin dihambat oleh kafein. Pada beberapa penelitian terbukti
bahwa kafein, khususnya dalam dosis atau konsentrasi tinggi, dapat
mempengaruhi neuron dopamin. Secara spesifik, aktivitas dopamin
meningkat dengan adanya kafein, dan hal ini dapat menjelaskan
hubungan kafein dengan suatu eksaserbasi gejala psikotik pada
pasien dengan skizofrenia (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997 &
Misra, Mehta dkk, 2008).
2.4 Penyalahgunaan KafeinKafein dapat bekerja sebagai penguat
(reinforcer) yang positif, terutama pada dosis rendah. Pada dosis
sekitar 100 mg, kafein dapat menyebabkan euforia ringan pada
manusia dan perilaku kecanduan zat tersebut secara berulang. Namun,
kafein dalam dosis 300 mg dapat meningkatkan kecemasan dan disforia
ringan pada manusia. Toleransi terhadap gangguan tidur yang
disebabkan oleh kafein terlihat setelah mengkonsumsi 400 mg kafein
3 kali sehari selama 7 hari (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
2.5 Diagnosis Gangguan Berhubungan dengan KafeinPenggalian
riwayat konsumsi produk yang mengandung kafein sangat penting
dilakukan untuk menegakkan diagnosis gangguan berhubungan dengan
kafein. Riwayat harus mencakup apakah pasien telah mengalami adanya
gejala putus kafein selama periode konsumsi kafein dihentikan atau
sangat dikurangi. Terdapat beberapa diagnosis banding yang juga
harus dipikirkan, yaitu gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan
panik dengan atau tanpa agorafobia, gangguan defisit atensi/
hiperaktivitas, dan gangguan tidur (Kaplan, Sadock & Grebb,
1997).
2.6 Intoksikasi kafeinInsidensi intoksikasi kafein per tahun
diperkirakan melebihi 10 %. Gejala yang sering berhubungan dengan
intoksikasi kafein adalah kecemasan, agitasi, dan keluhan
psikofisiologis, seperti kedutan otot, wajah kemerahan, mual,
diuresis, gangguan gastrointestinal, keringat berlebihan dan
insomnia. Konsumsi kafein lebih dari 1 gram dapat menyebabkan
pembicaraan yang melantur, aritmia jantung, kelelahan, agitasi
jelas, tinnitus, dan halusinasi visual ringan (kilatan cahaya).
Konsumsi lebih dari 10 gram kafein dapat menyebabkan kejang
tonik-klonik umum, gagal pernafasan, dan kematian (Kaplan, Sadock
& Grebb, 1997). DSM-IV menyebutkan kriteria diagnostik untuk
intoksikasi kafein pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis intoksikasi kafein.
2.7 Putus KafeinTimbulnya gejala putus merupakan suatu
pencerminan toleransi dan ketergantungan fisiologis yang berkembang
pada pemakaian kafein secara terus menerus. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa gejala putus kafein terjadi pada 50-70% pemakai
kafein yang diteliiti. Gejala putus kafein yang paling sering
ditemukan adalah nyeri kepala dan kelelahan. Gejala lain yang
timbul dapat berupa kecemasan, iritabilitas, gejala depresif
ringan, gangguan kinerja psikomotor, mual, muntah, kecanduan
kafein, serta nyeri dan kekakuan otot. Jumlah dan beratnya gejala
putus kafein berhubungan dengan jumlah kafein yang digunakan dan
waktu penghentian kafein. Gejala putus kafein mempunyai onset 12-48
jam setelah konsumsi terakhir dan gejala mencapai puncak pada 24-48
jam, kemudian menghilang dalam 1 minggu (Kaplan, Sadock &
Grebb, 1997).
Putus kafein seringkali bersifat iatrogenik. Dokter sering
meminta pasien untuk menghentikan asupan kafein sebelum prosedur
medis tertentu seperti endoskopi, kolonoskopi, dan kateterisasi
jantung. Selain itu, dokter juga umumnya menganjurkan pasien dengan
gejala kecemasan, aritmia jantung, esofagitis, dan insomnia, untuk
menghentikan konsumsi kafein. Seseorang yang sudah sering
mengkonsumsi kafein, harus menurunkan secara bertahap penggunaan
produk yang mengandung kafein selama periode 7-14 hari, bukan
menghentikannya secara mendadak. Dengan demikian, gejala putus
kafein dapat dihindari (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Tabel 2.3 Putus kafein
2.8 Gangguan Kecemasan Akibat KafeinGangguan kecemasan akibat
kafein yang dapat terjadi selama intoksikasi kafein, adalah suatu
diagnosa DSM-IV. Kecemasan yang berhubungan dengan penggunaan
kafein dapat tampak mirip dengan gejala kecemasan umum. Pasien
dengan gangguan mungkin terlihat lebih kasar, senang berbicara
secara berlebihan, iritabel, mengeluh tidak dapat tidur dengan
baik, dan mempunyai energi yang berlebih. Meskipun kafein dapat
menyebabkan atau mengeksaserbasi serangan panik pada seseorang
dengan gangguan panik, suatu hubungan sebab akibat antara kafein
dan gangguan panik masih belum dapat dibuktikan (Kaplan, Sadock
& Grebb, 1997).Kafein merupakan stimulan yang dapat
meningkatkan denyut jantung, sehingga mengakibatkan kegugupan dan
agitasi, meningkatkan tingkat kecemasan. Bagi seseorang yang
memiliki gangguan cemas, kafein dapat mencetuskan serangan panik,
dan bagi seseorang yang tidak biasanya cemas, kafein dapat
menyebabkan kecemasan. Kafein dapat mencetuskan maupun memperberat
kecemasan atau gangguan panik (Nawrot, Jordan dkk, 2001).
2.9 Gangguan Tidur Akibat KafeinKafein dapat mempercepat
tindakan otak agar tetap dalam keadaan waspada. Kafein berikatan
dangan reseptor adenosin di otak. Adenosin merupakan senyawa
nukleotida yang berfungsi menurunkan aktivitas sel saraf saat
terikat pada sel tersebut. Sama seperti adenosin, molekul kafein
juga terikat pada reseptor yang sama, namun memiliki efek yang
berbeda. Kafein tidak menurunkan aktivitas sel saraf, melainkan
menghambat fungsi adenosin. Dengan demikian, aktivitas otak
meningkat dan mengakibatkan hormon epinefrin dilepaskan. Hormon
tersebut akan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan
darah, meningkatkan suplai darah ke otot-otot, dan mengurangi
suplai darah ke kulit dan organ dalam. Selain itu, kafein juga
mempunyai efek meningkatkan neurotransmitter dopamin di otak, yang
mempunyai peran dalam kontrol motorik, motivasi, arousal, reward
dan kognisi. Hal ini dapat menjelaskan gangguan tidur seperti
insomnia, yang dapat terjadi sebagai akibat dari penggunaan kafein
(Chawla, 2011).Kafein diserap dan dieliminasi secara cepat oleh
tubuh. Proses metabolisme kafein berlangsung terutama di hati.
Dibutuhkan waktu kira-kira 5-7 jam untuk mengeliminasi setengah
jumlah kafein dari tubuh. Setelah 10 jam, kira-kira 75% kafein
sudah tereliminasi. Pada umumnya, orang yang mengkonsumsi 1-2
cangkir kopi di pagi hari tidak akan mengalami gangguan tidur pada
malam harinya. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh sensitivitas
setiap orang yang berbeda-beda, bergantung pada metabolisme tubuh
dan jumlah kafein yang dikonsumsi (Chawla, 2011). Penelitian
sebelumnya oleh Drapeau et al (2006) yang meneliti efek penggunaan
kafein 200 mg sebelum tidur menunjukkan hasil peningkatan dari
onset tidur, penurunan jumlah jam tidur, dan perburukan kualitas
tidur (Drapeau, Bert dkk, 2006).
2.10 Kafein dan SkizofreniaBlokade reseptor adenosin oleh kafein
dapat meningkatkan aktivitas dopaminergik dan mengakibatkan
eksaserbasi gejala psikotik. Sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap 78 pasien dengan skizofrenia menunjukkan bahwa konsumsi
kafein berhubungan dengan gejala positif, namun tidak memberikan
efek pada gejala negative (Goff, Henderson & Amico, 1992).2.11
Tata LaksanaPengobatan utama untuk gangguan berhubungan dengan
kafein adalah menghentikan atau mengurangi konsumsi produk yang
mengandung kafein dari diet atau kebiasaan seseorang. Pengetahuan
pasien tentang berbagai produk yang mengandung kafein adalah
penting untuk keberhasilan pengobatan. Pasien yang memiliki
kebiasaan mengkonsumsi kopi atau minuman berkafein dapat dianjurkan
untuk menggantinya dengan air atau kopi tanpa kafein. Selain
mengganti kebiasaan, analgesik seperti aspirin juga dapat diberikan
untuk mengatasi nyeri kepala dan nyeri otot yang mungkin menyertai
penghentian kafein. Jika diperlukan, dapat diberikan pula
benzodiazepine dosis kecil untuk menghilangkan gejala putus kafein
(Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
BAB IIIKESIMPULAN
3.1KesimpulanKafein ialah senyawa alkaloid yang tergolong dalam
kelompok methylxanthine, berbentuk kristal dan mempunyai rasa yang
pahit. Kafein terkandung secara alami pada lebih dari 60 jenis
tanaman terutama teh (1- 4,8 %), kopi (1-1,5 %), dan biji kola
(2,7-3,6 %). Kafein berlaku sebagai perangsang sistem saraf pusat
dan merupakan zat psikoaktif yang paling umum dikonsumsi oleh
masyarakat di dunia, namun kafein juga seringkali disalahgunakan.
Pada dosis tertentu, kafein dapat menyebabkan euforia ringan,
perilaku kecanduan zat tersebut secara berulang, kecemasan,
meningkatkan kecemasan, disforia, serta gangguan tidur seperti
insomnia. Konsumsi kafein dalam dosis yang berlebih dapat
menimbulkan intoksikasi kafein, seperti kecemasan, agitasi dan
keluhan psikofisiologis, seperti kedutan otot, wajah kemerahan,
mual, diuresis, gangguan gastrointestinal, dan keringat berlebihan.
Selain kecemasan dan gangguan tidur, kafein juga terbukti
menimbulkan eksaserbasi gejala psikotik pada pasien dengan
skizofrenia. Pengobatan utama untuk gangguan berhubungan dengan
kafein adalah menghentikan atau mengurangi konsumsi produk yang
mengandung kafein dari diet atau kebiasaan seseorang. Selain itu,
analgesik seperti aspirin juga dapat diberikan untuk mengatasi
nyeri kepala dan nyeri otot yang mungkin menyertai penghentian
kafein.
DAFTAR PUSTAKA
Maughan RJ, Griffin J (2003). Caffeine ingestion and fluid
balance: a review. J Human Nutrition Dietetics.Misra HD, Mehta BK,
Mehta M, Soni DC, Jain (2008). Study of Extraction and HPTLCUV
Method for Estimation of Caffeine in Marketed Tea (Camellia
sinensis) Granules. International Journal of Green Pharmacy. Kaplan
HI, Sadock BJ, Grebb JA (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi
ke-7. Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. Haskell
CF, Kennedy DO, Wesnes KA, Scholey AB (2005). Cognitive and mood
improvements of caffeine in habitual consumers and habitual
non-consumers of caffeine. Psychopharmacology (Berl). Lieberman HR,
Tharion WJ, Shukitt-Hale B, Speckman KL, Tulley R (2002). Effects
of caffeine, sleep loss, and stress on cognitive performance and
mood during U.S. Navy SEAL training. Sea AirLand.
Psychopharmacology (Berl). Misra HD, Mehta BK, Mehta M, Soni DC,
Jain (2008). Study of Extraction and HPTLCUV Method for Estimation
of Caffeine in Marketed Tea (Camellia sinensis) Granules.
International Journal of Green Pharmacy.Nawrot P , Jordan J,
Eastwood J, Rotstein A, Hugenholtz, Feeley (2001). Effects of
Caffeine on Human Health. Food Additives and Contaminats. Chawla J(
2011). Neurologic Effects of Caffeine. 2011. Drapeau, Bert,
Robillard, Selmaoui, Filipi N, Carrier (2006). Challenging sleep in
aging: the effects of 200 mg of caffeine during the evening in
young and middle-aged moderate caffeine consumers. J Sleep Res.Goff
DC, Henderson DC, Amico E (1992). Cigarette smoking in
schizophrenia: relationship to psychopathology and medication
side-effects. American Journal of Psychiatry.
10