Page 1
REFERAT
Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total
untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral
( The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy
for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter )
Diajukan Kepada :
Dr. Andik Nurcahyono, Sp.B
Disusun Oleh :
Nurul Masruroh
2008 031 0214
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SALATIGA2013
Page 2
LEMBAR PENGESAHAN
Referat
Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau Hampir- total
untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral
( The Feasibility of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy
for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter )
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal Juni 2013
Menyetujui :
Dokter Pembimbing
(Dr. Andik Nurcahyono, Sp.B)
Page 3
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Segala puji bagi Allah atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau
Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral ( The Feasibility
of Total or Near-Total Bilateral Thyroidectomy for the Treatment of Bilateral
Multinodular Goiter )”.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak rasanya mustahil
dapat menyelesaikan referat ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Agus Sunaryo, Sp. PD selaku direktur RSUD salatiga.
2. Dr.H.Andik Nurcahyo Sp.B selaku dokter pembimbing di RSUD Salatiga yang
telah banyak membantu, memberikan bimbingan, ilmu serta waktunya kepada
penulis.
3. Segenap staf RSUD Salatiga
4. Teman-teman Co-assisten.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari bahwa hasil penulisan ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik yang bersifat membangun dan saran dari
pembaca akan sangat membantu dalam perbaikan tulisan dalam masa-masa yang
akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.
Salatiga, Juni 2013
Penulis
Page 4
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan.......................................................................................................2
Kata Pengantar...............................................................................................................3
Daftar Isi........................................................................................................................4
Bab I
Pendahuluan...................................................................................................................5
Bab II
Tinjauan Pustaka............................................................................................................6
Bab III
Pembahasan..................................................................................................................21
Kesimpulan..................................................................................................................27
Daftar Pustaka
........................ .............................................................................................................28
Page 5
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Apabila
dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik1.
Struma nodosa non toksik, dapat multinodosa atau soliter dan
uninodosa. Disebabkan kekurangan masukan iodium dalam makanan
(biasanya didaerah pegunungan) atau dishormogenesis (defek bawaan)2.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa
biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa.hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma
multinodosa.dapat dihambat oleh tiroksin3.
II. BATASAN MASALAH
Referat ini membahas tentang Kelayakan Tiroidektomi Bilateral Total atau
Hampir- total untuk Pengobatan Multinodular Goiter Bilateral.
III. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Memahami mengenai struma atau goiter.
2. Mengetahui kelayakan tiroidektomi bilateral total atau hampir- total untuk
pengobatan multinodular goiter bilateral.
Page 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti
tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut
struma3.
2. Embriologi
Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari
penebalan entodermal (divertikulum tiroid) pada dasar primitive faring, dan
terhubung dengan foramen sekum oleh duktus tiroglosus. Kemudian, pada masa
embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid sudah turun, dan posisi terakhirnya berada
di ventral trakea, setingkat vertebra C5, C6, dan C7 serta vertebra T1, sedangkan
duktus tiroglosus rudimenter kadang masih tersisa, yang kemudian bisa kita
jumpai sebagai lobus piramidalis, yang terletak d isthmus menuju hyoid (50%).
Kelenjat tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke- 12 masa
kehidupan intrauterin3.
3. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid3.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
Page 7
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari
a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular.
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan4.
4. Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
Page 8
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk
lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin
(BM 650.000)4.
5. Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk
organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa
DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam
koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya
menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,
globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin
pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA)3.
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian
T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi
T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan
hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3
(reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur
metabolisme pada tingkat seluler4.
Page 9
Pengaturan faal tiroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid 4:
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-
TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga
pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid 4 :
a. Kalorigenik
b. Termoregulasi
c. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
d. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
e. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
Page 10
sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
f. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
g. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
6. Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan
perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH
reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis,
seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu
kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar
tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.
Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar
hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di
kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin6.
Page 11
7. Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan) Menurut American society for
Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa
dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa5
Struma non toxic nodusa dalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
tanpa gejala-gejala hipertiroid. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non
toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma
yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah
kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
c. Goitrogen :
- Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
- Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
Page 12
- Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput
liar.
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi 6:
a. Defisiensi Iodium
b. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
c. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
d. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
e. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
f. Terpapar radiasi
g. Penyakit deposisi
h. Resistensi hormon tiroid
i. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
j. Silent thyroiditis
k. Agen-agen infeksi
l. Suppuratif Akut : bacterial
m. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
n. Keganasan Tiroid
Page 13
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi 7:
a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
b. Aktivasi reseptor TSH
c.Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin
like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa. Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah
grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum
diketahui penyebab pastinya8.
8. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
a. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
b. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
c. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
d. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Page 14
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
9. STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid,
tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan
simetri atau nodular. Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu
nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Kelainan ini sangat
sering dijumpai bahkan dapat dikatakan bahwa dari semua kelainan tiroid, struma
nodusa non- toksik merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Sebagai
gambaran, di RS Hasan Sadikin, bandung, menemukan diantara 696 pasien
struma, sebanyak 415 (60%) menderita struma nodusa dan hanya 31 yang bersifat
toksik. Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005
struma nodusa toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %)
dan 435 orang perempuan (87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259
orang (52,3 2%), struma multinodusa toksik yang terjadi pada 1.912 orang
diantaranya17 orang laki-laki (8,9 %) dan 174 perempuan (91,1%) dengan usia yang
terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03 %).
Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma
multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi, dapat pula terjadi perubahan
lain, yaitu terbentuknya nodul autonom yang pada sidikan tiroid menunjukkan
gambaran suatu nodul panas. Bila hanya sedikit sel- sel yang berubah menjadai
autonom maka hal ini tidak akan banyak artinya, tetapi bila nodul tersebut terdiri
atas banyak sel, maka dapat menyebabkan hipertiroidisme.
Page 15
Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan
foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.
a. Klasifikasi dan Karakteristik
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal:
- Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
- Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif : nodul dingin,
nodul hangat, dan nodul panas.
- Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang
dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan
pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Biasanya tidak disertai rasa
nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. Keganasan tiroid yang
infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada
leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada
kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil.
Atau penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase
karsinoma tiroid pada kranium.
b. Diagnosis
Page 16
Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam
kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah
penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita
(struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher
bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah
ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma
tiroid tipe meduler) 9,10.
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai2:
a. jumlah nodul
b. konsistensi
c. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
d. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian
depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah.
Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.Pada palpasi
harus diperhatikan :
- lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
- ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
- konsistensi
- mobilitas
- infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
- apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
Page 17
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah
satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler10.
c. Pemeriksaan penunjang meliputi 9 :
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk
lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan
ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik
tiroid dibedakan 3 bentuk :
o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa
bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau
jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Page 18
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap
cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. Dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum
halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-sel
ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena
lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat
yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu
tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C
dan dingin apabila < 0,9 o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada
yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik
bila dibanding dengan pemeriksaan lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak
rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
10. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif (terapi supresi dengan levotiroksin)
Terapi ini merupakam pilihan yang paling sering dan mudah dilakukan.
Terapi supresi dapat menghambat pertumbuhan nodul serta mungkin
bermanfaat pada nodul kecil. Bila kadar TSH sudah dalam keadaan tersupresi,
terapi l-tiroksin tidak diberikan. Terapi supresi dilakukan dengan memberikan l-
tiroksin dalam dosis supresi dengan sasaran kadar TSH sekitar 0,1- 0,3 mIU/ml.
Biasanya diberikan selama 6- 12 bulan, dan dalam waktu tersebut nodul tidak
mengecil atau bertambah besar perlu dilakukan biopsi ulang atau disarankan
Page 19
operasi. Bila setelah satu tahun nodul mengecil, terapi supresi dapat dilanjutkan.
Efek samping dari pemakaian terapi supresi jangka panjang adalah
hipertiroidisme subklinik dengan efek samping berupa osteopeni atau gangguan
pada jantung11.
Terapi iodium radioaktif (I-131) dilakukan pada nodul tiroid autonom
atau nodul panas (fungsional) baik dalam keadaan eutiroid maupun hipertiroid.
Terapi iodium radioaktif juga dapat diberikan pada struma multinodusa non-
toksik terutama bagi pasien yang tidak bersedia dioperasi atau mempunyai
resiko tinggi untuk operasi. Iodium radioaktif dapat mengurangi volume nodul
tiroid dan memperbaiki keluhan dan gejala penekanan pada sebagian besar
pasien11.
2. Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang inoperable, kontraindikasi
operasi, ada residu tumor setelah operasi, metastase yang non resektabel.
3. Operasi/ pembedahan:
1. Tiroidektomi total/ near total
2. Tiroidektomi subtotal/ parsial
3. Isthmolobektomi
4. Isthmectomy
Indikasi prosedur pembedahan tiroid:
Isthmolobectomy Solitary NodulesUnilateral Multinoduler disease
Subtotal Thyroidectomy Grave’s DiseaseMultinoduler BilateralPlummers DiseaseHassimotios Disease
Total Thyroidectomy Ca ThyroidGrave’s DiseaseMultinodular Bilateral
Isthmectomy Anaplastic CaLimphomaRiedels Thyroiditis
Indikasi operasi pada struma adalah:
Page 20
- struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
- struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
- struma dengan gangguan tekanan
- kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
- struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
- struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
- struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan
yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering
dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun
laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
- struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi dan
sering hasilnya tidak radikal.
Tiroidektomi totalTiroidektomi total yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Pasien
yang menjalani tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang
besar dosisnya beragam pada setiap individu dan dapat dipengaruhi oleh usia,
pekerjaan, dan aktifitas.
Tiroidektomi near total adalah hanya meninggalkan jaringan kelenjar
tiroid ± 1 gram di satu sisi, bisa disebut juga ismolobektomi dekstra dan
lobektomi subtotal sinistra atau sebaliknya.
Page 21
Tiroidektomi sub total/ parsial
Tiroidektomi subtotal artinya mengangkat sebagian besar tiroid lobus
kanan dan sebagian besar lobus kiri dari jaringan tiroid dengan sisa masing-
masing 3 gram. Lobus kiri atau kanan yang mengalami pembesaran diangkat
dan diharapkan kelenjar yang masih tersisa masih dapat memenuhi kebutuhan
tubuh akan hormon- hormon tiroid sehingga tidak diperlukan terapi
penggantian hormon.
Lobektomi artinya mengangkat satu lobus saja.
lobektomi totalis dekstra atau lobektomi totalis sinistra
lobektomi subtotal dekstra, artinya mengangkat sebagian besar lobus
kanan, sisa 3 gram.
Ismolobektomi artinya mengangkat satu lobus dan ismus juga.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid,
sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan
dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid
yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang
adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-
4 minggu setelah tindakan pembedahan.
Komplikasi tiroidektomi
• Recurrent Larygeal Nerve Injury
• External Superior Laryngeal Nerve Injury
• Hypoparathyroidism
• Laryngealoedema
• Bleeding --- Haematoma
• Hypothyroidism
• Hyperthyroidism
• Wound Infection
• Keloid
• Suture Granuloma
Page 22
BAB III
PEMBAHASAN
Struma multinodular adalah masalah klinis yang umum, yang biasanya
berkembang tahap akhir struma. Meskipun biasanya jinak dan tanpa gejala, gondok
multinodular dapat mempengaruhi pasien untuk gejala tekan, mengembangkan nodul
fungsi otonom, atau membentuk nodul yang mencurigakan. Pengobatan klinis
gondok tergantung pada sejauh mana pembesaran, tanda dan gejala, dan potensi
penyebab yang mendasari.
Meskipun tiroidektomi total untuk pengelolaan gondok multinodular jinak
telah menimbulkan setidaknya 30 tahun sekarang, banyak ahli bedah belum mencapai
konsensus tentang masalah ini. Beberapa ahli bedah masih lebih suka melakukan
tiroidektomi parsial atau subtotal berharap untuk melestarikan fungsi tiroid
endogeneous dan mengurangi risiko terkait hipoparatiroidisme pasca operasi dan
kerusakan saraf laring berulang (RLN/ recurrent laryngeal nerve). Namun, sisa-sisa
jaringan piramida mengakibatkan kekambuhan pasca operasi gondok, dengan tingkat
kejadian yang tinggi 18-30%. Eksplorasi leher berulang dapat mempengaruhi pasien
untuk komplikasi akibat adhesi berat dan anatomi terdistorsi. Di sisi lain, prosedur
radikal seperti tiroidektomi total terlepas dari penyakit tiroid yang mendasarinya
adalah ketergantungan seumur hidup pada subtitusi hormon tiroid oral. Dalam studi
saat ini, total atau nyaris total tiroidektomi dilakukan pada 165 pasien dengan gondok
multinodular selama 5 tahun terakhir. Sementara itu, 181 pasien lainnya mengalami
tiroidektomi parsial atau subtotal tradisional. Kejadian komplikasi pasca operasi serta
tingkat kekambuhan dibandingkan untuk mengevaluasi kelayakan dan keamanan dari
kedua pengobatan untuk gondok multinodular bilateral.
Metode dan Bahan (Kategori Indikasi untuk Tiroidektomi)
Semua pasien dengan nodul tiroid menjalani pemeriksaan fisik, radioisotop,
tes fungsi tiroid, dan evaluasi USG nodul, kelenjar tiroid, dan kelenjar getah bening
Page 23
leher. Pasien dengan gondok multinodular yang dipertimbangkan untuk reseksi bedah
sesuai dengan kategori indikasi berikut: (1) Pasien dengan deformitas kosmetik yang
parah akibat pembesaran difus atau nodular asimetris; (2) kompresi esofagus atau
trakea menyebabkan ketidaknyamanan seperti disfagia dan tersedak; (3) nodul
dengan fitur yang mencurigakan di USG seperti mikrokalsifikasi dan kalsifikasi
kasar; (4) nodul dengan sedikit serapan pada radioisotop; (6) setiap limfadenopati
teraba dengan kecurigaan tertentu; (7) Hasil tak tentu pada biopsi aspirasi jarum
halus ditunjukkan dengan panduan USG; dan (8) riwayat iradiasi leher.
Fitur demografi
Antara Januari 2003 dan Desember 2006, 346 (78 laki-laki dan 268
perempuan) pasien, mulai 22-72 tahun, direkrut dalam penyelidikan saat ini
berdasarkan indikasi dengan informed consent. Tak satu pun dari peserta memiliki
riwayat tiroidektomi. Data pada pasien, seperti informasi pasien, prosedur operasi,
patologi, dan komplikasi, dikumpulkan secara prospektif. Semua pasien dengan
resiko tinggi dan komplikasi dari skema pengobatan yang diusulkan. Sebanyak 165
pasien (36 laki-laki dan 129 perempuan) bersedia menjalani tiroidektomi total atau
hampir- total dan ditetapkan sebagai grup A. Sisa 181 pasien (42 laki-laki dan 139
perempuan) digolongkan ke dalam kelompok B dan mengalami tiroidektomi sebagian
atau subtotal.
Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa semua pasien yang terdaftar
dalam penelitian kami memiliki gondok multinodular bilateral. Pasien-pasien ini
dapat dikelompokkan berdasarkan diameter nodul terbesar: 55 pasien dengan 1,0-2,0
cm, 147 dengan 2.0-3.0cm, 80 dengan 3,0-4,0 cm, 49 cm dengan 4,0-5,0, dan 15
dengan nodul> 5 cm. Di antara nodul tersebut, diameter terbesar adalah 6,0 cm dan
diameter rata-rata adalah 2,66 ± 1,17 cm. Dengan pemeriksaan ultrasonografi, 65
pasien memiliki satu nodul bilateral, 76 pasien memiliki satu nodul pada satu lobus
dan dua di lobus kontralateral, dan 42 pasien memiliki satu nodul di satu sisi dan
Page 24
lebih dari tiga di lobus kontralateral. Ada 128 pasien dengan lebih dari dua nodul
bilateral. Selain itu, nodul dari 63 pasien yang padat dan substansi kaya aliran darah
di daerah yang berdekatan dengan pot refleksi homogen. Lima puluh satu pasien jenis
padat, 113 pasien dengan echogenitas yang lemah, dan dari 104 pasien lain dengan
echogenitas non homogen. Sebanyak 101 pasien mengalami pemeriksaan radioaktif,
di antaranya 54 kasus dianggap nodul panas, 33 adalah nodul dingin, dan nodul yang
tersisa adalah nodul hangat.
Tindak lanjut kunjungan dimulai pada minggu keempat pasca operasi.
Konsentrasi serum parameter hormon tiroid, seperti free triiodothyronine (FT3), free
thyroxine (FT4), dan thyroid-stimulating hormone (TSH) yang supersensitif,
diperkirakan selama kunjungan pertama pasca operasi. Kemudian substitusi tiroksin
ditetapkan untuk orang-orang dengan fungsi tiroid yang tidak cukup. Investigasi
biokimia diulang sampai fungsi tiroid pasien masih dalam kisaran normal. Semua
pasien dengan tindak lanjut yang lengkap dengan pemeriksaan ultrasonografi setiap 3
bulan pasca operasi untuk estimasi kekambuhan.
Pengobatan bedah
Sebuah reseksi ekstrakapsular diterapkan pada tiroidektomi total, yang
dijelaskan secara rinci. Para pasien dibius dengan anestesi endotrakeal umum. Sebuah
standar sayatan tiroid leher 8 sampai 10 cm dibuat 2 sampai 3 cm di atas takik
sternum dan klavikula dan diperpanjang di otot sternokleidomastoid. Platysma itu
dipisahkan untuk menghasilkan flap kulit subplatysmal atas dan bawah, dengan
pemanjangan flap kulit atas di atas kartilago tiroid dan klavikula. Otot-otot kemudian
dipisahkan di garis tengah menggunakan elektrokauter dan ditarik ke lateral. Ketika
kelenjar tiroid diidentifikasi, sisi dengan patologi yang paling menonjol ditangani
secara awal. Diseksi dimulai dengan transeksi isthmus kelenjar tiroid serta isolasi otot
kelenjar tiroid, setelah otot superior dimobilisasi. Cabang-cabang pembuluh otot
superior diisolasi, diikat, dan ditranseksi berturut-turut. Diseksi bagian yang tersisa
dari lobus dilakukan sama dengan deskripsi yang disebutkan di atas. Potensi cedera
Page 25
atau trauma RLN diperkecil selama proses pembedahan. Keempat kelenjar paratiroid
dilindungi, di mana suplai darah yang adekuat. Untuk 33 pasien dalam kelompok A,
sebagian kecil kelenjar tiroid (kurang dari 1 mg) yang tersisa di tempat pemasukan
RLN ke laring. Untuk memastikan reseksi nodul lengkap, eksplorasi luas intraoperatif
diterapkan di grup B berdasarkan lokasi pra operasi.
Penilaian komplikasi
Mobilitas pita suara dinilai dengan laringoskopi tidak langsung sebelum
prosedur operasional pada semua pasien. Ini diulang setelah operasi pada pasien
dengan dyspnea, suara serak, atau penurunan kualitas suara. Mereka yang mobilitas
lemah dalam waktu 2 bulan setelah operasi dianggap memiliki cedera RLN
permanen. Sebaliknya, pasien dianggap menderita cedera sementara. Pemeriksaan
kalsium serum dilakukan pada pasien yang acroanesthesia dan tetani setelah operasi,
untuk mengidentifikasi status hipokalsemia. Hipoparatiroidisme biasanya bersifat
sementara, jika pasien membutuhkan suplemen kalsium oral atau vena kurang dari 2
bulan. Itu permanen jika pasien yang diperlukan suplemen kalsium oral atau vena dan
vitamin D untuk waktu yang relatif lama dengan tingkat hormon paratiroid plasma
tidak terdeteksi.
Analisis Statistik
Hasil disajikan sebagai rata-rata ± SD. Perbandingan antar kelompok
dilakukan pada pasien yang menjalani tiroidektomi total atau nyaris total (kelompok
A) dan mereka yang memiliki tiroidektomi parsial (kelompok B) menggunakan
analisis Chisquared. Signifikansi didefinisikan sebagai p <0,05.
Hasil
Saraf laring berulang dalam semua pasien kelompok A berhasil terbuka dan potensial
cedera dapat dihindari. RLN Bilateral terkena pada 67 pasien kelompok B, 104 pasien
terkena RLN unilateral, dan 10 pasien tidak terkena sama sekali. Kelenjar paratiroid yang
Page 26
tidak terdeteksi pada jaringan yang dipotong dari kedua kelompok. Analisis diagnostik
patologis bagian snap-beku menunjukkan bahwa semua pasien yang terdaftar dalam
penelitian ini memiliki gondok nodular jinak. Namun, analisis selanjutnya bagian tertanam
lilin ditentukan bahwa enam pasien dalam kelompok A dan dua pasien dalam kelompok B
memiliki karsinoma papiler. Pasien menerima pengobatan yang tepat, meskipun mereka
dikeluarkan dari analisis selanjutnya.
Setelah operasi, kejadian komplikasi antara pasien dipantau (lihat Tabel 1). Tidak ada
dyspnea yang diamati pada setiap pasien. Dua individu dalam kelompok B mengalami
reoperations karena perdarahan. Suara serak Transient terjadi pada tiga pasien masing-masing
dari kedua kelompok A (1,89%, 3/159) dan kelompok B (1,68%, 3/179) pasca operasi.
Mobilitas lipatan vokal dinilai oleh laringoskopi fiberoptik dan cedera RLN itu dikonfirmasi
dengan kelumpuhan lipatan vokal unilateral. Dua bulan setelah operasi, dua pasien pada
kelompok A dan satu di kelompok B mengalami perubahan nada vokal, tetapi ditampilkan
mobilitas pita suara normal. Mobilitas satu sisi pita suara dicatat dengan laringoskopi
fiberoptik, yang mengungkapkan kelumpuhan saraf superior laring (SLN). Tidak ada
perbedaan yang jelas pada cedera RLN dan SLN antara kedua kelompok (p> 0,05) dan semua
pasien membaik dalam waktu 3 bulan. Sebelas (6.92%, 11/159) dan 9 (5,03%, 9/179) kasus
dalam masing-masing kelompok A dan B, menderita gejala hypocalcemic sementara,
walaupun perbedaan ini tidak signifikan (p> 0,05). Hipoparatiroidisme permanen dan
thyropenia tidak diamati pada kedua kelompok.
Page 27
Selain itu, kami menguji efek dari dua manuver operasi pada fungsi tiroid
pasca operasi (lihat Tabel 2). Tingkat serum FT3, FT4, dan S-TSH ditentukan
sebelum atau setelah operasi. Sebelum operasi, lima pasien tingkat
FT3(8.76±3.02pmol / L) dan FT4 (23.67 ± 6.88 pmol / L) relatif tinggi, meskipun
tanpa adanya sindrom hipertiroidisme. Para pasien yang tersisa menunjukkan fungsi
tiroid normal. Dua minggu setelah operasi, tingkat serum FT3 dan FT4 pada pasien
dari kelompok A secara menurun drastis, sedangkan pada pasien kelompok B sedikit
atau hampir tidak berkurang.
Secara konsisten, nilai S-TSH dalam kelompok A yang sangat ditingkatkan,
namun, yang di grup B berubah sedikit. Sehubungan dengan pengobatan dengan
levothyroxine (Euthyrox), tidak ada hipotiroidisme diidentifikasi selama pemeriksaan
tindak lanjut pada kedua kelompok. Terapi levothyroxine berlanjut selama periode
follow-up, dan yang akan diatur sesuai dengan fungsi tiroid untuk seumur hidup.
Pasien dalam kelompok A menerima levothyroxine 50-75 mg / hari untuk
Page 28
euthyroidism, sedangkan di kelompok B diberi 75-125 mg / hari untuk
mempertahankan tingkat TSH ke batas bawah dari kisaran normal.
Median masa tindak lanjut adalah 36 bulan (kisaran 1-62 bulan) untuk
kelompok A dan 39 bulan (1-64 bulan) untuk kelompok B dan tidak ada perbedaan
statistik. Semua pasien menerima pemeriksaan ultrasonografi setiap 3 bulan, dan
kambuh didefinisikan sebagai de novo nodul lebih dari 3 mm sisa tiroid. Meskipun
tidak ada nodul jelas yang tersisa di kedua kelompok pada operasi yang asli,
dibandingkan dengan kelompok A, tingkat kekambuhan dalam kelompok B secara
signifikan lebih tinggi dalam kunjungan pasca operasi. Secara khusus, 0 dan 12 kasus
berulang dilaporkan dalam masing-masing kelompok A dan B. Di antara mereka 12
kasus kekambuhan di grup B, tujuh memiliki dua nodul pada lobus bilateral, satu
memiliki tiga nodul pada lobus bilateral, dan empat pasien lain memiliki dua nodul di
satu sisi dan tiga di lobus kontralateral. Nodul terbesar dari 12 kasus kekambuhan
lebih besar dari 10 mm, yang dikonfirmasi sekitar 28 bulan setelah prosedur bedah
awal.
Diskusi
Ada berbagai pilihan operasi termasuk subtotal, nyaris total, dan tiroidektomi total
untuk gondok tiroid. Setiap pilihan tergantung pada ukuran, lokasi, bentuk, dan jumlah
nodular. Karena nodular sisa jaringan abnormal merupakan sumber potensi kekambuhan dan
keganasan, manfaat tiroidektomi total untuk kondisi tiroid jinak disarankan oleh Kocher lebih
dari 100 tahun yang lalu. Namun, beberapa ahli bedah berpendapat bahwa tiroidektomi total
menjadi pengobatan lampau untuk penyakit jinak sebagai standar prosedur didasarkan pada
beberapa pertimbangan berikut: (1) Kontroversi antara reseksi radikal dengan substitusi
tiroksin seumur hidup dan reseksi penetapan fungsi dengan risiko kekambuhan, dan (2)
komplikasi yang terkait dengan tiroidektomi total.
Meskipun sebagian besar nodul tiroid jinak, kanker tiroid terjadi pada sekitar
5% dari seluruh nodul tiroid independen dari ukuran mereka. Oleh karena itu, dalam
pandangan kami, untuk pasien dengan gondok multinodular dalam satu lobus,
Page 29
tiroidektomi nyaris total dan total dari sisi yang sama dianggap sebagai pilihan
terbaik, yang dapat memenuhi diagnosis dan pengobatan dalam satu prosedur.
Didukung oleh evaluasi patologi intraoperatif, tiroidektomi nyaris total dan total
dapat menghindari potensi keganasan dengan prognosis yang baik. Di sisi lain,
jumlah jaringan tiroid yang normal tersisa di gondok multinodular sangat sedikit dan
sebagian besar fungsi tiroid telah hilang. Meninggalkan sisa jaringan abnormal
menunjukkan kekambuhan dan kebutuhan selanjutnya untuk reoperation.
Tiroidektomi subtotal menyebabkan gondok berulang pada pasien sampai dengan
23%. Selain itu, pengobatan supresif dengan tiroksin sering tidak efektif, mungkin
karena adanya faktor lain selain thyrotropin terlibat dalam stimulasi pertumbuhan sel
tiroid. Oleh karena itu, risiko nodul berulang secara signifikan lebih tinggi dalam
melestarikan fungsi dibandingkan pada pasien standar operasi radikal. Menurut hasil
penelitian kami, tingkat kekambuhan pada kelompok B adalah sampai dengan 6,7%,
terungkap hanya dalam kunjungan panjang 4 tahun. Randolph telah menunjukkan
bahwa kejadian komplikasi, termasuk paratiroid dan cedera RLN, dapat ditingkatkan
dengan 5 sampai 10 kali lipat dalam reoperation. Dalam seri kami yang lain, 52 kasus
berulang mengambil operasi berulang (dua operasi dalam 41 kasus, tiga tujuh kasus,
dan empat dalam dua kasus), di antaranya empat pasien menderita cedera RLN dan
hipoparatiroidisme permanen mungkin karena jaringan parut di sekitar RLN dan
tangkai vaskular untuk kelenjar paratiroid suplai darah. Oleh karena itu, tiroidektomi
total dianggap menjadi pilihan yang berharga bagi gondok multinodular karena risiko
kekambuhan tinggi, terutama yang memiliki nodul yang lebih besar dari 3,0 cm, lebih
dari dua nodul di setiap lobus, nodul terletak posterior, dan nodul padat.
Dalam beberapa dekade terakhir, telah ada pengumpulan data yang
menunjukkan kejadian yang sama dari kedua kelumpuhan RLN permanen dan
hipokalsemia sementara untuk tiroidektomi parsial dan total. Dalam penelitian kami,
suara serak transien terjadi pada tiga pasien masing-masing dari kelompok A (1,89%,
3/159) dan kelompok B (1,68%, 3/179) pasca operasi. Sebelas (6.92%, 11/159) dan
sembilan (5,03%, 9/179) kasus dalam masing-masing kelompok A dan B, menderita
Page 30
gejala hipokalsemia sementara, dan hipoparatiroidisme permanen tidak diamati pada
kedua kelompok. Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara kedua
kelompok (p> .05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kejadian hipokalsemia
berhubungan dengan teknik bedah dan pelatihan prosedur operasi. Dalam pandangan
kami, pengalaman bedah dan pengetahuan yang baik tentang variasi dalam hubungan
topografi antara kelenjar tiroid, RLN, dan kelenjar paratiroid adalah faktor yang
paling penting dalam mengurangi morbiditas pascaoperasi. Identifikasi RLN bisa
meminimalkan tingkat cedera kurang dari 2%, dibandingkan dengan 4-6,6% pada
kasus tanpa pengetahuan saraf yang jelas. Beberapa pendekatan dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan melestarikan RLN. Dalam kelompok kami, pendekatan
menemukan saraf pada titik masuk laring, yang kira-kira 0,5 cm di bawah kornu
inferior kartilago tiroid. Setelah RLN diidentifikasi, otot dapat dibagi rendah di leher
dan RLN yang diikuti sepanjang jalurnya. Teknik ini menunjukkan RLN itu masuk
laring, meminimalkan kekurangan suplai darah ke kelenjar paratiroid superior, dan
membatasi sejauh mana diseksi yang melibatkan saraf. Kelenjar paratiroid inferior
biasanya dapat dihindari dengan diseksi ekstrakapsular, meninggalkan mereka in situ.
Karena berbagai hubungan anatomi dengan arteri tiroid superior, cabang SLN
eksternal mungkin adalah saraf yang paling sering terluka selama tiroidektomi.
Dalam kelompok kami, teknik yang ligates cabang terminal dari arteri tiroid superior
dekat dengan kapsul tiroid mungkin menurunkan tingkat cedera 0,9% (3/346).
Sekaligus, hemostasis intraoperatif dan pemahaman anatomi sangat penting untuk
mengidentifikasi dan menjaga saraf dan kelenjar paratiroid dari tipe prosedur yang
dilakukan.
Pada pemantauan fungsi tiroid, pasien dengan hypothyroidism menerima
substitusi levothyroxine setelah operasi. Bagi mereka yang tiroidektomi total atau
nyaris total, tujuan terapi adalah euthyroidism dan dosis pemeliharaan yang benar
diperbolehkan TSH berada dalam batas normal. Meskipun praktek administrasi
tiroksin untuk mencegah kekambuhan setelah tiroidektomi adalah kontroversial,
stimulasi TSH dari hipotiroidisme tetap alasan utama untuk nodular gondok. Oleh
Page 31
karena itu, tingkat TSH pasien kelompok B berhasil di batas bawah dari kisaran
normal. hormon tiroid bebas dan total dan tingkat TSH dari semua pasien dalam
penelitian kami diperkirakan setiap 6-12 bulan untuk memastikan dosis obat yang
tepat.
Singkatnya, hasil kami diverifikasi bahwa tiroidektomi total atau near total
dapat dianggap sebagai pilihan yang berharga dalam pengobatan gondok
multinodular bilateral dengan morbiditas yang rendah. Mereka dapat mengurangi
kekambuhan pasca operasi, kebutuhan untuk reoperation, dan kebutuhan tiroksin
untuk perawatan tindak lanjut. Sebuah strategi operasi hati-hati, melibatkan
identifikasi rutin RLN dan pelestarian kelenjar paratiroid, yang dilakukan oleh
seorang ahli bedah yang berpengalaman endokrinologis adalah sangat penting.
Page 32
BAB IV
KESIMPULAN
Page 33
DAFTAR PUSTAKA
1. Mulinda, james, R. 2005. Goiter, eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic916.htm
2. Mansjoer, Arif,dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi ketiga. Media
Esculapius: FKUI. Jakarta
3. De jong,W, Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta
4. Djokomoeljanto. 2001. Kelenjar Tiroid, Embriologi, Anatomi dan Faalnya.
Dalam: Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta
5. Lee, Stephanie L. 2004. Goiter, Nontoxic, eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
6. Mulinda, james, R. 2005. Goiter, eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic916.htm
7. Davis, Anu Bhalla. 2005. Goiter, Toxic Nodular. eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic920.htm
8. Adediji, Oluyinka S. 2004. Goiter, Diffuse Toxic. eMedicine.
http://www.emedicine.com/med/topic917.htm
9. Hartini, Sri. 2000. Struma Nodosa non- toksik. Dalam: Noer, Sjaifoellah. 2000.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
10. Tim penyusun. 2000. Struma Nodusa non toksik, Pedoman Diagnosis dan Terapi.
lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dokter sutomo. Surabaya
11. Mansjhur, S. Johan. 2006. Nodul tiroid. Dalam: Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV. FKUI. Jakarta
12. Yang, Weiping, Shao, Tanglei,et. al. 2009. The Feasibility of Total or Near-Total
Bilateral Thyroidectomy for the Treatment of Bilateral Multinodular Goiter.
Journal of Investigative Surgery, 22, 195-200. Informa Healthcare USA.