TETANUS Ririt Yuliarti Taha, Irmayani Aboe Kasim I. PENDAHULUAN Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala. 1 Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TETANUS
Ririt Yuliarti Taha, Irmayani Aboe Kasim
I. PENDAHULUAN
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan
oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus
dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi
sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang
cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials)
mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833
kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya
negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki
informasi yang lengkap. Hasil survei menyatakan bahwa hanya sekitar 3%
tetanus neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian
yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan
insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per
tahun. 1
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum
1
program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan
untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan
jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak misalnya akibat
perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa
menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan
program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena
vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang
telah menurun seiring berjalannya waktu.1
II. Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal.2,
Masa inkubasi adalah interval antara waktu terjadi luka dan gejala awal
tetanus. Period of onset adalah interval antara gejala awal dengan kejang
pertama, sedangkan periode gejala klinis adalah waktu dari gejala awal sampai
gejala kejang/kekakuan terakhir meliputi period of onset, progresifitas penyakit
dan kesembuhan sampai remisi kejang.3
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih
berat.2 Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya
kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum
semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin
lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya kematian.1
2
III. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadik dan hampir selalu menimpa individu non
imun, individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh
yang kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan
vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicengah dengan imunisasi, tetanus
masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara
beriklim tropis dan Negara-negara sedang berkembang, sering terjadi di Brazil,
Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara lain dibenua Asia.2
Penyakit ini umum di daerah yang tanahnya dibudidayakan, daerah
pertanian, daerah pedalaman, beriklim panas, selama musim panas, dan pada
laki-laki. Dinegara tanpa program imunisasi utama, tetanus neonatal dan tetanus
pada orang muda mendominasi. Secara khusus, orang berusia lanjut sangat
mencolok terjangkiti. Kurang dari 100 kasus telah dilaporkan pada the Centers
for Disease Control (CDC) setiap tahun; 94 persen kasus terjadi pada orang yang
berusia 20 tahun dan 68 persen pada orang berusia lebih dari 50 tahun.
Walaupun demikian, beban penyakit ini lebih besar karena pelaporan tidak
lengkap.4
IV. Etiologi
Clostridium tetani adalah basillus anaerobik bakteri Gram positif anaerob
yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak
selalu terlihat. C.tetani merupakan bakteri yang motile karena memiliki flagella,
dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun ke
sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang
diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen
fisik maupun agen kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih
3
selama beberapa menit (meski dengan autoclave pada suhu 1210C selama 15-20
menit).5
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drum stik” pada bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x) (Dikutip dari kepustakaan no.5)
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkemang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).5 Sel
yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif
terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri ini
jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.2
V. Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port
d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :1
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka
bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan
4
merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk
ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor
(kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak
dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis
sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang
sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan
dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor
end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa
kasus, pada sistem saraf simpatis.1
5
Gambar 2. Mekanisme Tetanus (Dikutip dari kepustakaan No. 6)
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada
lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan
fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi
sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada
simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat
dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan
spasme terutama pada otot yang besar. Dampak toksin antara lain :1
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.
VI. Gejala Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan
tanah, kotorna binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka
gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik,
persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan.1
6
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1,7
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung
dari jarak luka dengan SSP.1
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat
terjadi disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
untuk membuka mulut sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot
masseter menyebabkan trismus (rahang terkunci). Spasme secara progresif
meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas
‘rhisus sardonicus’. 2
Rhisus sardonicus (senyuman sengit) dapat terjadi akibat spasme otot
muka dan mulut. Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung,
pinggang dan paha, penderita dapat berpostur lengkung (opistotonus).
Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan. Karena toksin tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau
fungsi korteks, penderita tetap sadar dan merasakan nyeri yang sangat.
Kejang tetani ditandai dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak dengan
menggenggam tinju, lengan fleksi dan adduksi, kaki hiperekstensi. Kisaran
kejang dapat beberapa detik hingga beberapa menit dengan selang berhenti
diantaranya. Pemicu ringan seperti pandangan, sentuhan atau suara dapat
memicu kejang. Disuria dan retensi urin akibat spasme otot sfingter kandung
kemih dapat terjadi. Demam hingga 40O C dapat terjadi akibat energi
metabolik yang dihabiskan akibat otot-otot spastik. Spasme dapat terjadi
berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu
hingga beberapa bulan.2,4
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh
7
menyebabkan opistotonus, gangguan respirasi berupa sianosis bahkan sampai
apnea dan terjadi penurunan kelenturan dinding dada. Tingkat kesakitan dpat
ringan (rigiditas otot dan sedikit dan atau tanpa spasme), sedang (trismus,
disfagia, rigiditas, dan spasme), atau berat (serangan yang berulang yang
hebat dan sering). Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,
sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.2
Gambar 3. Opistotonus pada tetanus (Dikutip dari kepustakaan no.8)
Disfungsi autonomik sering menjadi komplikasi pada kasus yang berat
dan ditandai oleh hipertensi yang labil atau menetap, takikardia, aritmia,
hiperpireksia, berkeringat yang berlebihan, vasokontriksi perifer, dan
peningkatanan kadar katekolamin plasma dan urin. Henti jantung yang
mendadak dapat terjadi, tetapi dasar alasannya tidak diketahui.4
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang
tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga
beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus
lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih
ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi
setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis
motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal
8
hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari.
Prognosis biasanya buruk.1
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi
pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah
kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi.
Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit
minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat
melebihi 70%. 1
Gambar 4. Opistotonus Tetanus Neonatorum(Dikutip dari kepustakaan no.8)
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit,
tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel).
Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis (Dikutip dari kepustakaan no.
1)
Derajat Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau
disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit;
9
disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju
napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell,
disfagia berat
IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk
kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat
diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia,
dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap
VII.Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti.
Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat
diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati
setelah potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
10
VIII.Penatalaksanaan
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi
utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang
belum terikat, meminimalkan efek dari toksin yang belum terikat dengan
mempertahankan jalan napas yang adekuat. Penanganan umum, sebisa mungkin
tempat perawatan pasien tetanus dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada
ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta terlindungi dari stimulasi taktil dan
suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya segera dibersihkan.5
Imunoterapi: antitoksin yang berasal dari manusia, sejak tahun 1960-an para
ahli merekomendasikan sedapat mungkin menggunakan HTIG, dan hanya
menggunakan ATS apabila tidak ada persediaan HTIG. Dosis HTIG yang
direkomendasikan untuk terapi tetanus 3.000 IU hingga 6.000 IU yang
diberikan secara intramuskular, meskipun disebutkan pula pemberian 500 IU
memiliki efektivitas yang sama.10 Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk
menginaktifkan toksin. Pemberiaan 10.000-20.000 U equine antitoksin dosis
tunggal secara intramuscular sudah cukup, namun hati-hati reaksi anafilaktoid.5
Antibiotik : pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam
(baik secara IV maupun oral) selama 7 hari. Alternativ lain adalah Penicillin G
100.000-200.000 IU/kgBB/hari secara intravena, terbagi 2-4 dosis.
Pengontrolan spasme otot: Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat
ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai
kontrol spasme tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal
600 mg/hari). Pada anak, dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB, dinaikkan
sampai tercapai kontrol spasme yang baik. Magnesium sulfat bersama dengan
benzodiazepine dapat digunakan untuk mengontrol spasme dan gangguan
autonomik dengan dosis loading 5 gram (75 mg/kgBB) secara intravena,
dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam sampai spasme terkontrol.5
Kontrol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor
11
pernapasan, karena obat-obatan yang digunakan apat menyebabkan depresi
napas, serta kemungkinana spasme laring tidak bias disingkirkan. Penggunaan
ventilator mekanik dapat dipertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme,
trakeostomi juga dapat dilakukan bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi
spasme laring saat pemasangan pipa endotrakeal. Pemberian cairan dan nutrisi:
pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat membantu dalam proses
penyembuhan tetanus.5
IX. Komplikasi
Aspirasi dan pneumonia hingga apneu
Luka pada mulut dan lidah, hematom intramuskuler atau rhabdomiolisis
dengan mioglobinuri dan gagal ginjal.
Fraktur spinalis
Trombosis venosa, emboli pulmonal, ulserasi lambung, ileus paralitikus, dan
ulserasi dekubitus
Aritmia jantung, tekanan darah dan suhu yang tidak stabil1
X. Prognosis
Perjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosa yang jelek.
Selain itu umur dan tanda-tanda vital juga menunjukkan prognosis dari penyakit
tetanus.5
Tabel 2. Faktor-faktor prognosis yang menunjukkan perburukan penyakit
tetanus (Dikutip dari kepustakaan no. 5)
Tetanus Dewasa Neonatal Tetanus
Umur lebih dari 70 tahun Kejadian umur yang lebih muda,
kelahiran premature
Periode inkubasi < 7 hari Inkubasi < dari 6 hari
Waktu saat gejala awal muncul Keterlambatan Penanganan di rumah
12
sampai penanganan di rumah sakit sakit
Adanya luka bakar, luka bekas
operasi yang kotor
Higiene yang buruk, saat proses kelahiran
Onset periode <48 jam
Frekuensi
Tekanan darah sistolik > 140 mm
Hg
Spasme yang berat
Temperatur > 38,50C
XI. Pencegahan
Tetanus dicengah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi.
Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan,
booster pertama saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhit saat
dewasa. Di Amerika, CDC merekomendasikan booster tambahan saat umut 14-
16 bulan disertai booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima
imunisasi saat masih anak-anak, namun tidak mendapat booster,
direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.5
Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil
yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu
tiap dosisnya. Hal tersebut untuk mencengah tetanus maternal dan neonatal. 5
XII. Simpulan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa
bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus
generalisata dan gangguan neurologis lokal.
13
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan
tanah, kotorna binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka abakar, ulkus gangren, luka
gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik,
persalinan, injeksi intramuscular dan pembedahan. Masa inkubasi tetanus
umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa
bulan). Secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa
inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin
tinggi kemungkinan terjadinya kematian.
Pengobatan untuk tetanus dengan pemberian antitoksin Anti Tetanus
Serum (ATS) dan Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) dan antibiotik.
Pencengahan tetanus dapat dilakukan dengan imunisasi aktif atau imunisasi
toxoid tetanus, perawatan luka yang segera dan penggunaan alat tindakan yang
steril.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Satari HI, dkk. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2008
2. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit. Edisi V. Jilid III.
Penerbit Interna publishing; 2009. h. 2911-23
3. Rampengan NH, Pangestu Y, Tatura SNN, Rampengan TH. Profil Kasus
Tetanus Anak Di RS Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Sari Pediatri, Volume
14 Nomor 3; 2012. h. 173-178
4. Abrutyn E. Tetanus. Dalam: Buku Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit.
Edisi 13. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran. EGC; 2013. h. 711-13
5. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit. Edisi VI. Jilid I.
Penerbit Interna publishing; 2014. h. 639-642
6. Jones HR. Tetanus. Netter's Neurology; 2012. h. 595
7. Ogunrin OA. Tetanus-A review of current concepts in management. Journal
of postgraduate medicine. Vol 11 No 1; 2009. p. 46-61
8. Rhee P, et al. Tetanus and Trauma: A Review and Recommendations. The
Journal of Trauma. Vol 58 No.5; 2005. p. 1082-88
9. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature.
British Journal of Anaesthesia; 2001. p. 477-87
10. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan anti tetanus serum dan human
tetanus immunoglobulin pada tetanus anak. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, FKUI. Sari Pediatri, Volume 12 No 4; 2010. h. 283-288