BAB I PENDAHULUAN Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal (kematian). 1,2 Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan sekitar 800.000 – 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik. 3 Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditunjukkan dengan gangguan
neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan, dan kejang otot disebabkan oleh eksotoksin
kuman spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani yang dapat berakibat fatal
(kematian).1,2
Tetanus merupakan salah satu penyakit yang umumnya jarang, namun
berkontribusi cukup penting dalam hal penyebab kematian di dunia. Tingginya tingkat
mortalitas pada penyakit ini dan sering terjadi pada negara berkembang. Diperkirakan
sekitar 800.000 – 1.000.000 kematian tiap tahunnya akibat tetanus. Saat ini dengan
penanganan intensive care mampu mencegah tingginya kematian akibat gagal napas, tetapi
komplikasi kardiovaskular dan penyebab kematian lainnya masih problematik.3
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif tetanus toksoid, higenitas persalinan
yang baik, dan manajemen perwatan luka yang adekuat, oleh karena pencegahan dan
penatalaksanaan yang adekuat dapat menurunkan tingkat mortalitas pada pasien tetanus.
1
BAB II
TETANUS
2.1 Definisi
Tetanus merupakan suatu gangguan neuromuskuler akut berupa peningkatan tonus
otot dan spasme yang disebabkan oleh eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman
anaerob Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya
tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. 1,2
2.2 Mikrobiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-
mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang
peliharaan dan manusia.1,2,3 Kuman ini mudah dikenal karena pembentukan spora yang
khas, ujung sel menyerupai ujung tongkat pemukul gendering atau raket squash.
Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak,
dan merupakan bakteri anaerob obligat yang mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan
tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat
bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari,
spora ini terdapat pada tanah debu serta tahan terhadap pemanasan 1000C, dan bahkan
pada otoklaf 1200C selama 15-20 mnt, dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak
jarang ditemukan pada feses manusia, fesef kuda, anjing, dan kucing toksin diproduksi
dalam bentuk vegetatifnya.1,2,3 dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal.
Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya dengan
reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai ringan (50kDa) berperan
untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui urutan genom dari
Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara parsial bersifat
homolog. 3
2
Gambar 1. Clostridium Tetani4
Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin.
Fungsi tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanoospasmin adalah neurotoksin dan
menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah
satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah
2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia.1,2
2.3 Epidemiologi
Tetanus terjadi di seluruh dunia tetapi yang paling sering ditemui di daerah-daerah
padat penduduk, tempat yang panas, iklim lembab dengan tanah kaya akan bahan organik.
Organisme ditemukan terutama di tanah dan usus saluran hewan dan manusia.5
Gambar 2. Penyebaran kasus tetanus di USA (2001-2008)5
3
Transmisi terutama oleh luka yang terkontaminasi (dengan atau tanpa gejala), baik
itu luka besar ataupun kecil. Data-data terbaru melaporkan bahwa proporsi yang lebih
tinggi dari pasien memilikiluka ringan, mungkin karena luka berat lebihdikelola dengan
baik. Tetanus bisa didapat oleh tindakan operasi, luka bakar, luka tusukan yang dalam,
luka robek,otitis media (infeksi telinga), infeksi gigi, gigitan hewan,aborsi, dan
kehamilan.3
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara
adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi,
tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia.6
Pada tahun 2002, jumlah estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua
kelompok adalah 213.000, yang terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%).
Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20%
kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100
kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit
7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18%
kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi.5,6,7
2.4 Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman
ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah
tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar
ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya
menyebar ke SSP. 1,2
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman
4
atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia
timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami
kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,
sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,
saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan
irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf
otonom. 1,2,3,6
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai gnada dengan
berat 150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan
(50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah
oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua
rantai ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino
memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik
untuk mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengarugi. Tetanoplasmin
yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida
GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika otkisn yang dihasilkan banyak, ia
dpat memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf
di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan
saraf spinal.1,2,3
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf
otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh,
gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi
dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak
jelas. 1,2,3
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai
ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin
merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang
mengandung neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase
5
zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegahperlepasan
neurotrnasmiter. 1
Gambar 3. Mekanisme neurotoksin botulinum 7
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebarangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik
ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik
juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang
mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron
motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat
medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari ujung
neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan pada
paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah
pemulihan.1,3
6
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan dan kaki relatif jarang terlibat. 1,3
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya
kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma
yang berlebihan, Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus
berdurasi lama. Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di
dalam luka memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf
terminal: sawar darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem
saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf,
serabut saraf yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini
menjelaskan urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata. 1,3
Pengaruh terhadap respirasi
Rigiditas otot dan spasme dari dinding dada, diafragma, dan abdomen dapat
mengakibatkan defek restriktif. Spasme faring dan laring juga sebagai penyebab gagal
napas. Penurunan mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk oleh karena rigiditas,
spasme dan efek sedasi memungkinkan terjadi atelektasis dan meningkatnya resiko
pneumonia. Ketidakmampuan menelan dari adanya saliva berlebihan dan sekresi mukus
brochial, adanya spasme laring, penigkatan tekanan intrabdominal, sering menyebabkan
aspirasi. Dapat terjadi ketidakefektifan dari ventilasi sehingga konsekuensinya dapat
terjadi hipoksia sedang hingga berat.3
Pengaruh terhadap kardiovaskular
7
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan
gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada
tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :
o Kendala etik
o Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,
infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-
basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
o Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik
mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
Pengaruh terhadap ginjal
Pada kondisi tetanus derajat berat dapat mengakibatkan penurunan dari laju filtrasi
glomerulus dan menurunnya fungsi tubulus ginjal. Penyebab paling sering dari gagal
ginjal dalam hal ini adalah adanya dehisrasi, sepsis, rhabdomiolisis, perubahan dari
aliran darah ginjal oleh katekolamin. Dapat juga terjadi karena poliuri atau oliguria,
oleh adanya instability autonomic. Dari gambaran histologi menunjukkan normal atau
adanya nekrosis tubular akut.3
Gangguan Metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya
kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat
dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan
adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta
penurunan serum protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
8
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
2.5 Manifestasi klinis
Tetanus biasanya berhubung dengan adanya fokal luka. Kontaminasi luka terhadap
tanah, pupuk, besi berkarat dapat menimbulkan tetanus. Dapat juga berasal dari luka bakar,
ulkus, ganggren, luka gigitan ular, otitis media, sepsis aborsi, proses kelahiran, injeksi
intramuskular, dan pembedahan. Keadaan ini biasa terjadi pada luka ringan mencapai
lebih dari 50% karena tidak cukup dalam hal penanganan luka tersebut.3
Masa inkubasi kuman tetanus berkisar antara tiga sampai dengan empat minggu,
kadang berlangsung lama rata-rata delapan hari. Berat penyakit berhubungan erat dengan
masa inkubasi. Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama orang yang telah
mendapat imunisasi gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka
yang terkontaminasi basil tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus lokal
tipe sefalik. Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut saraf kepala
yang terkena ( N III,IV,V,VI,VII,IX,X dan XII ) kita sebagai dokter harus memperhatikan
apabila adanya kaku otot di sekitar luka mungkin merupakan gejala tetanus. Yang paling
sering terjadi adalah tetanus umum gejala pertama yang dilihat dan terasa oleh pasien
adalah kaku otot masseter yang menggakibatkan gangguan membuka mulut (trismus)
selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku
punggung. Selain dinding perut mejadi seperti papan, tampak sirdus sardonikus karena
kaku otot wajah dan keadaan kekakuan ektrmitas dan penderita terganggu dengan proses
menelan. 1,2,8
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar, dan berkeringat sering di jumpai pada
umumnya ditemukan demam serta bertambahnya frekuensi napas, kejang otot yang
merupakan kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul karena
rangsangan yang lemah, seperti bunyi-bunyian, dan cahaya selama sakit, sensorium tidak
terganggu sehingga hal tersebut menimbulkan penderitaan terhadap pasien karena merasa
nyeri akibat kaku otot, dan dapat pula timbul gangguan pernapasan yang menyebabkan
9
anoxia dan kematian. Penyebab kematian pada penderita tetanus merupakan kombinasi
berbagai keadaan seperti kelelahan otot napas dan infeksi sekunder di paru yang
menyebabkan kegagalan pernapasan serta gangguan keseimbagan cairan dan elektrolit.1,2,8
Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median
onset setelah trauma adalah 7 hari. 1,2
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut,
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot
untuk menelan dan menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal
dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas
otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan opistotonus dan
gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon
dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan
kesadaran tidak terpengaruh. 1,2
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi
berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga
menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus
menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal napas.
Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme
faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya
aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya pertama kali
terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk mempengaruhi seluruh
10
tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal
dijmpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas sangatlah
berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus lokal yang
berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih mendominasi
gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum
terjadi dan mortalitasnya tinggi.
Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi berat,
bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan
kekuatan jantung. Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain
mencakup salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare,
dan gagal ginjal curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan
gangguan otonomik. 1,2
Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan setelah potongan
tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong
umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum.
Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada
yang bertahan hidup. 1,2
Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas
hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin
pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan
dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi.
Namun demikian secara umum prognosismya baik. 1,2
11
Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus
dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia
dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 1,2
2.6 Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari. Periode
inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan
rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama)
bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu
tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson
terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4
minggu. 1,2,3
2.7 Derajat Keparahan Tetatus
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan. Seperti
skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Namun sistem yang paling sering dipakai
adalah sistem yang dilaporkan oleh Ablett.1
Tabel 1. Skoring Tetanus berdasarkan Ablett1
I (ringan ) Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan
pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 30 x/ menit, disfagia ringan.
III (berat) Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme dan kejang spontan
12
berkepajangan, yang berlangsung lama. Gangguan pernapasan dengan
takipnea > 40 x/menit, kadang apnea, disfagia berat dan takikardia >
120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat
dan menetap.
IV
(sangat berat)
Gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana
dijumpai hipertensi berat dengan takikardi berselang dengan hipotensi
relatif dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
Tabel 2. Skoring Tetanus berdasarkan Dakar13
Prognostic Factor Score 1 Score 0
Incubation period < 7 days ≥ 7 days or unknown
Period of onset < 2 days ≥ 2 days
Entry site Umbilicus, burn, uterine,
open fracture, surgical
wound, IM injection
All others plus unknown
Spasms Present Absent
Fever > 38.4oC < 38.4oC
Tachycardia Adult > 120 beats/min
Neonate > 150 beats/min
Adult < 120 beats/min
Neonate < 150 beats/min
Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut :
Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas <10%
Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6 :tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%
Tabel 3. Skoring Tetanus berdasarkan Phillips13
13
Factor Score
Incubation Time
< 48 hours 5
2-5 days 4
5-10 days 3
10-14 days 2
> 14 days 1
Site of infection
Internal and umbilical 5
Head, neck, and body wall 4
Peripheral proximal 3
Peripheral distal 2
Unknown 1
State of protection
None 10
Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8
Protected > 10 years ago 4
Protected < 10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factors
Injury or life threatening illness 10
Severe injury or illness not immediately life threatening 8
Injury or non life threatening illness 4
Minor injury or illness 2
ASA Grade 1 0
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa
inkubasi, port d entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan
jumlah angka yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi: a) tetanus
ringan (skor < 9), b) tetanus sedang (skor 9-18), dan c) tetanus berat (skor > 18). 8
Tabel 4. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia13
Grade 1 (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
14
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia
Grade 2 (sedang): Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga
sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥30 kali/menit,
disfagia ringan
Grade 3 (berat): Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan, yang