Top Banner

of 33

Referat Spastisitas

Oct 13, 2015

Download

Documents

Semoga bermanfaat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Daftar Isi1PENDAHULUAN

3ANATOMI DAN FISIOLOGI

10PATOFISIOLOGI SPASTISITAS

12EVALUASI SPASTISITAS

12PEMERIKSAAN FISIK SPASTISITAS

12PENILAIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SPASTISITAS

17EVALUASI FUNGSIONAL SPASTISITAS

18REHABILITASI PADA SPASTISITAS PASCA STROKE

19MANAJEMEN KONVENSIONAL

23MANAJEMEN FARMAKOLOGIS

31TINDAKAN BEDAH

34DAFTAR PUSTAKA

PENDAHULUAN

Spastisitas yang berasal dari bahasa Yunani spasticus (berarti untuk menarik) merupakan salah satu komponen dari sindromUpper Motor Neuron. Dapat disebabkan oleh lesi yang terjadi di proksimal dari sel kornu anterior pada medula spinalis, batang otak, atau pada otak.1Spastisitas dapat menyebabkan hambatan dalam beraktivitas atau berpartisipasi pada orang-orang dengan berbagai gangguan neurologis dan merupakan salah satu tantangan besar bagi tim rehabilitasi medik.2Definisi spastisitas yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Lance (2200) : Spastisitas adalah suatu gangguan motorik yang ditandai oleh peningkatan tonus otot yang terkait kecepatan gerak dengan sentakan tendon berlebihan, yang dikarenakan hipereksitabilitas dari refleks regang, sebagai suatu komponen dari sindroma Upper Motor Neuron.2Spastisitas pasca stroke (Post Stroke Spasticity PSS) adalah komplikasi yang umum ditemukan bersamaan dengan tanda dan gejala lain dari sindrom Upper Motor Neuron UMN, meliputi agonis-antagonis, co-contraction, kelemahan serta gangguan koordinasi. Bersama-sama gangguan tersebut akan menyebabkan impairmen yang pada akhirnya menyebabkan komplikasi. Tujuan dari manajemen PSS tidak hanya mengurangi tonus otot yang berlebihan tetapi juga memperbaiki dampak PSS terhadap fungsi dan rasa sejahtera. Intervensi difokuskan pada strategi perifer dan sentral, dalam arti terapi fisik untuk meningkatkan panjang otot melalui peregangan dan penggunaan obat-obatan. Studi perbandingan satu metode dengan metode lain dalam penanganan PSS ini belum banyak, tetapi terlihat bahwa manajemen yang optimal dari PSS didapat dari kombinasi dan koordinasi dari beberapa metode yang mencakup obat-obatan serta intervensi bedah, bersama-sama dengan pendekatan dari rehabilitasi medik.Insidens PSS bervariasi antara berbagai studi. Studi yang dilakukan tahun 2004 oleh Sommerfeld dan kawan-kawan melaporkan prevalensi terjadinya spastisitas sebesar 21% sampai 35% pada penderita stroke 3 bulan setelah serangan, dan studi lain yang dilakukan oleh Watkins dan kawan-kawan di tahun 2002 melaporkan insidensi terjadinya spastisitas sebesar 38% pada 1 tahun setelah serangan.Beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai prediktor PSS adalah lesi pada batang otak, stroke perdarahan pada usia muda, hemiparesis dan hemihipestesi yang berat saat onset. 1Walaupun tidak selalu merugikan, spastisitas dapat menjadi permasalahan serius dalam fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari pasien seperti misalnya spastisitas yang berat pada kaki dapat menyebabkan kesulitan berjalan, spastisitas pada pinggang selain dapat menyebabkan kesulitan berjalan juga menyebabkan kesulitan membersihkan diri di toilet dan kesulitan berpakaian. Spastisitas pada lengan dan tangan dapat menyebabkan kesulitan membuka jari atau mengangkat bahu sehingga menyebabkan masalah kebersihan karena fungsi tangan dan lengan yang tidak baik. Spastisitas dapat pula menyebabkan nyeri serta dapat menyebabkan kesulitan berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang diinginkan.3Pada beberapa penderita, spastisitas akan bertambah berat dengan berjalannya waktu dan masalah tersebut akan bertambah dengan adanya nyeri. Jika spastisitas ini terjadi dalam waktu lama, otot yang kaku akan menjadi pendek secara permanen yang disebut kontraktur. Bila terjadi kontraktur, terapi menjadi sangat sulit, sehingga tak jarang memerlukan terapi bedah untuk koreksi parsial. Penanganan spastisitas yang baik akan mencegah terjadinya kontraktur.3Penanganan spastisitas meliputi evaluasi klinis dan langkah-langkah perawatan pada spastisitas. Evaluasi klinis spastisitas meliputi pemeriksaan fisik spastisitas, penilaian kualitatif dan kuantitatifserta evaluasi fungsional dari spastisitas. Langkah perawatan untuk spastisitas mulai dari perawatan yang paling konservatif dengan efek samping paling sedikit, sampai yang lebih invasif, lebih ireversibel dan mempunyai lebih banyak efek samping. Tidak semua spastisitas harus diterapi karena dalam keadaan tertentu spastisitas dapat membantu fungsional pasien, sebagai contoh spastisitas ringan sampai sedang dari ekstensor kaki dapat memberi penguat dan membantu berdiri dan aktifitas-aktifitas ambulasi. Bagaimanapun, bila berat atau menghambat fungsional, maka spastisitas harus diterapi. Dengan membatasi efek spastisitas, deformitas dan kontraktur dapat dicegah, pelayanan perawatan dapat ditingkatkan, penguat atau bracing lebih dapat ditoleransi, dan fungsional pasien dapat ditingkatkan.4Beberapa hal tersebut diatas mendasari untuk mempelajari dan memahami spastisitas lebih jauh, sehingga diharapkan dapat memberikan penanganan yang optimal bagi pasien dengan spastisitas.

ANATOMI DAN FISIOLOGISpastisitas (dan gejala sindroma Upper Motor Neuron lainnya) terjadi karena terganggunya jaras desendens yang terlibat dalam kontrol motorik. Jaras ini mengatur proprioseptif, refleks spinal nosiseptif dan kutaneus, yang menjadi hiperaktif dan bertanggungjawab terhadap mayoritas gejala positif dari sindroma Upper Motor Neuron. Teori awal menyebutkan bahwa spastisitas terjadi bila terjadi gangguan pada sistem piramidal. Sistem ini terdiri dari serabut saraf yang berasal dari area presentral (60%) dan postsentral (40%) pada korteks serebri. Kontrol motorik sendiri berasal dari korteks presentral : duapertiganya berasal dari korteks motorik primer (area 4 Brodmann) dan sisanya berasal dari korteks premotorik (area 6). Hasil penelitian pada monyet dan kera menunjukkan bahwa pada level kortikal, lesi yang terbatas pada korteks motorik primer area 4 tidak selalu menyebabkan spastisitas. Pada lesi tersebut, tonus dan refleks tendon cenderung menurun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa spastisitas terutama ditimbulkan oleh lesi yang mengenai area 6.5Selain itu, terdapat juga area yang disebut dengan parapiramidal (untuk membedakan dengan ekstrapiramidal) yaitu serabut saraf nonpiramidal yang berasal dari korteks presentral, terutama dari area 6, yang berjalan bersama-sama dengan traktus piramidal. 5Area batang otak yang mengontrol refleks spinalDari area batang otak, terdapat dua sistem pengontrol refleks spinal yang saling mengimbangi, satu bersifat inhibitor dan yang lainnya eksitator/fasilitasi.5 (Gambar 1). Masing-masing sistem tersebut secara simultan melakukan fasilitasi dan inhibisi terhadap pusat motorik yang bekerja. Sebagai contoh, pusat yang membangkitkan ekstensi anggota gerak memberikan fasilitasi ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot ekstensor dan memberikan inhibisi ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot fleksor. Disepakati bahwa sistemeksitator/fasilitasi (berupa nukleus atau lintasannya) adalah sistem yang memberikan fasilitasi reflek ekstensor dan menginhibisi reflek fleksor, sedangkan sistem inhibitor (nukleus, pengelompokan inti, atau lintasan) adalah pusat yang menginhibisi reflek ekstensor dan memberikan fasilitasi reflek fleksor.6,7Sistem Inhibitorik

Daerah utama yang mengatur inhibisi di medula, yaitu formasio ventromedial retikular, berasal dari daerah parapiramidal di korteks premotor, dorsal dari piramidal. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa stimulasi yang dilakukan pada daerah ini menyebabkan berkurangnya refleks patela, flaksiditas, penurunan tonus otot dan penghambatan refleks fleksor dan vibrasi tonik. Jaras ini akan berlanjut menjadi traktus retikulospinal yang berlokasi di funikulus dorsolateral. 5Sistem Eksitatorik

Pada daerah batang otak yang lebih tinggi, terdapat area difus dan ekstensif yang berfungsi memfasilitasi refleks regang. Area ini berasal dari sub dan hipotalamus (diensefalon basalis), dengan jalur eferen yang melewati dan mendapat kontribusi dari substansia grisea, tegmentum, pontin, dan formasio retikular bulbar. Stimulasi pada area ini meningkatkan refleks patela, tonus ekstensor dan menyebabkan klonus. Area ini akan berlanjut menjadi traktus retikulospinal medial yang berlokasi di kornu anteromedial. 5

Area eksitatorik lain berlokasi di medula, dekat dengan pons dan akan berlanjut menjadi traktus vestibulospinal lateralis yang berlokasi di anteromedial, dekat dengan traktus retikulospinal medial. 5

Gambar 1.5Gambar skematik dari jaras desendens yang mengatur inhibisi dan eksitasi supraspinal. (A) Lesi pada jaras kortikospinal dan kortikoretikular yang memfasilitasi sistem inhibisi utama yaitu traktus retikulospinal dorsal. (B) Lesi inkomplit pada medula spinalis yang mengenai jaras kortikospinal dan retikulospinal. (C) Lesi komplit medula spinalis, mempengaruhi jaras kortikospinal, retikulospinal dorsal dan jalur eksitatorik(+) jalur eksitatorik/fasilitatorik; (-) jalur inhibitorik. Jalur eksitatorik mempunyai pengaruh inhibisi terhadap refleks fleksor

Di Tingkat Medula Spinalis

Pada tingkat medula spinalis di daerah kornu anterior dikenal adanya inhibisi postsinaps dan inhibisi presinaps.7 Sinaps merupakan hubungan antara dua neuron (neuron presinaps adalah akson terminal pada neuron, neuron postsinaps adalah badan sel/dendrit dari neuron kedua). Masing-masing sinapsselalu bersifat eksitatorik atau inhibitorik saja.8

Gambar 2.Neuron dan sinaps

Gambar 3.7 Inhibisi di tingkat medulla spinalisPada dasarnya inhibisi postsinaps bekerja bila terjadi aktivitas pada serabut aferen dari muscle spindle (reseptor regang pada otot) yang kemudian merangsang neuron motorik/motorneuron (dalam kornu anterior) yang mempersarafi otot yang bersangkutan dan kemudian menimbulkan impuls penghambat (inhibisi) terhadap neuron antagonis, yang pada gilirannya akan menghambat kontraksi otot antagonis tersebut. Sedangkan inhibisi presinaps adalah suatu proses dimana jumlah neurotransmiter yang dilepaskan berkurang sehingga potensial aksi tidak tercapai.7,8Interneuron spinal seperti interneuron Ia dan Ib, sel Renshaw dan interneuron propriospinal juga mempunyai peran penting dalam kontrol motorik yang normal dan spastisitas. Aferen Ib dari organ berhubungan dengan interneuron Ib yang menerima input dari supra dan propriospinal dan kemudian memfasilitasi otot antagonis dan menghambat otot agonis. Sementara neuron aferen Ia yang ada pada gelendong otot mengaktivasi interneuron Ia. Ketika teraktivasi, interneuron Ia tersebut akan memfasilitasi otot agonis dan menghambat otot antagonis dan menimbulkan gerakan ko-kontraksi. Interneuron Ia ini juga berada dibawah kontrol supraspinal, sehingga adanya lesi supraspinal dapat mengganggu ko-kontraksi dan berperan dalam timbulnya spastisitas serebral (Gambar 4).1Sel Renshaw, yang menerima input langsung dari motor neuron ., berperan dalam proses inhibisi rekuren. Jalur ini merupakan jalur polisinaptik (karena terdiri lebih dari 1 sinaps). Proses ini menghambat aktivitas agonis lewat efek langsung terhadap motor neuron dan juga memfasilitasi fungsi antagonis yang diperantarai oleh interneuron Ia. Inhibisi sel Renshaw ini berperan pada terjadinya spastisitas karena lesi medula spinalis (Gambar 5).1Gambar 4.9 Jalur monosinaptik

Gambar 5.9 Jalur polisinaptikDi tingkat otot

Untuk dapat berfungsi secara efektif, sistem motorik harus dapat mengintegrasikan umpan balik dari sensorik, mengontrol aktivitas refleks, dan mengkoordinasi gerakan yang disadari. Oleh karena itu, sistem motorik harus mendapatkan informasi mengenai posisi otot, kecepatan otot, dan sendi. Selain itu, sistem motorik juga harus mampu merespon gaya eksternal dengan cepat untuk dapat mengontrol aktivitas refleks, memulai dan juga menghentikan aktivitas motorik.1Untuk itu diperlukan reseptor. Terdapat dua macam reseptor di otot, yaitu gelendong otot (muscle spindle) yang terletak pada muscle belly dan berfungsi mendeteksi perubahan pada panjang otot, dan Golgi tendon organyang berfungsi untuk mendeteksi adanya perubahan pada tegangan otot (muscle tension).8Gelendong otot terdiri dari serabut intrafusal yang diinervasi oleh motor neuron gamma dan serabut ekstrafusal yang mendapat inervasi dari motor neuron alfa (Gambar 6). Peregangan otot akan dideteksi oleh ujung saraf sensorik yang ada pada serabut intrafusal. Input aferen ini kemudian akan diteruskan melalui sinaps langsung dengan motor neuron alfa yang menginervasi serabut ekstrafusal sehingga otot akan berkontraksi. Inilah yang disebut dengan refleks regang. Contoh yang paling jelas adalah refleks tendon patela (Gambar 7). Pada saat otot agonis berkontraksi untuk merespon adanya regangan, otot antagonis harus relaksasi (ko-kontraksi). Relaksasi ini terjadi karena adanya neuron inhibisi pada medula spinalis.8Gambar 6.8Hubungan antara motor neuron alfa dan gamma

Gambar 7. Contoh refleks regang : Refleks tendon patela(http://apbrwww5.apsu.edu)Sementara Golgi tendon organ (GTO), yang berlokasi pada tendon otot, terdiri dari serabut aferen yang terbungkus oleh jaringan konektif tendon. Ketika serabut ekstrafusal teregang dan menyebabkan tarikan pada tendon, GTO juga akan teregang dan mengirimkan input aferen ke otak. Input ini digunakan untuk melindungi otot dari tegangan yang berlebihan.8PATOFISIOLOGI SPASTISITASSpastisitas timbul bila terdapat peningkatan tegangan otot yang berlangsung terus menerus pada saat otot tersebut diregangkan secara pasif. Tegang otot ini disebabkan reflek regang yang berlebihan, adanya peningkatan kepekaan terhadap rangsang pada reseptor proprioseptif yang terdapat dalam otot. Ketegangan otot tidak timbul pada awal gerakan pasif, tetapi timbul dan meningkat bersamaan dengan semakin teregangnya otot.7,10Teori spastisitas menunjukkan bahwa timbulnya spastisitas merupakan ketidakseimbangan antara sistem eksitatorik dan sistem inhibitorik di otak bagian tengah serta formasio retikularis batang otak.7,10Beberapa bentuk kenaikan tonus otot dapat timbul disebabkan karena: 71. Kerusakan yang mengenai area motorik di korteks2. Pemutusan impuls superior ke area inhibitor retikuler di batang otak 3. Penguatan rangsang dari area fasilitasi atau retikuler di otak bagian tengah dan batang otak. Keadaan tersebut diatas akan menimbulkan luapan fasilitasi ke medula spinalis, yang dijalarkan melalui lintasan retikulospinal, vestibulospinal dan lain-lain, dan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan antara sistem motor neuron alfa dan gamma. Kegagalan/hilangnya pengaruh inhibisi sentral yang secara normal menekan/mengurangi reflek regang spinal (spinal stretch reflex)akan diikuti oleh kontraksi otot yang berlebihan (hipereksitabilitas)apabila diregangkan.7,10 Hal ini merupakan dasar utama terjadinya spastisitas.Beberapa faktor yang menekan hiperaktivitas meliputi:31. Jaras inhibisi serebral ( adanya pusat-pusat inhibisi di otak bagian tengah dan formatio retikularis batang otak ). Dan mekanisme spinal seperti :

2. Inhibisi nonresiprokal Ib (Golgi tendon organ)

Adanya regangan akan merangsang GTO dan impuls berjalan lewat serabut Ib untuk mengaktivasi interneuron agar melepaskan mediator inhibisi

3. Inhibisi presinaps pada terminal Ia ( sinap aksoaksonik antara 2 akson )

Spastisitas disebabkan oleh hilangnya inhibisi presinaptik pada terminal Ia. Dalam keadaan normal, inhibisi presinaptik dibawa oleh aksi dari inhibisi interneuron Ia presinaptik traktus retikulospinalis yang bersifat GABA ergik. Pada spastisitas, input retikulospinal desendens hilang, diawali dengan kegagalan inhibisi presinaptik dan juga hipereksitabilitas pada reflek regang.104. Inhibisi resiprokal Ia (inhibisi pada otot antagonis)

5. Inhibisi rekuren Renshaw (inhibisi feedbackpada badan sel motor neuron alfa oleh inhibisi interneuron)

Gambar 8.3 Mekanisme supresi hiperaktivitas di tingkat spinalEVALUASI SPASTISITASSpastisitas berkembang secara perlahan setelah onset timbulnya lesi sistem saraf pusat. Durasi berkembangnya spastisitas bervariasi tergantung pada kelainan neurologis yang mendasari. Saat terjadi pemulihan dari defisit neurologis, spastisitas juga cenderung menjadi stabil.3Evaluasi klinis spastisitas sebaiknya mencakup kualitas dan kuantitas serta efek fungsional dari pasien, sehingga program rehabilitasi dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan pasien dan perkembangan yang terjadi dapat dibandingkan dari waktu ke waktu.4PEMERIKSAAN FISIK SPASTISITASAnggota gerak diposisikan dalam keadaan yang rileks, kemudian tiba-tiba difleksikan atau diekstensikan. Munculnya spastisitas tergantung kecepatan gerak (velocity dependent) sedangkan spasme, kontraktur, atau keadaan lain dari hipertonia tidak tergantung kecepatan gerak. Spastisitas biasanya melibatkan fleksor anggota gerak atas dan ekstensor anggota gerak bawah. Hal ini terjadi pada awal lingkup gerak sendi/LGS dan khas ditandai relaksasi yang terjadi tiba-tiba (seperti pada mekanisme pisau lipat) dari anggota gerak ketika suatu kekuatan statis yang digunakan terus menerus pada sebuah anggota gerak spastik. Gejala lain yang sering dikaitkan dengan spastisitas adalah klonus (sebuah siklus hiperaktif dari otot-otot antagonis sebagai respon terhadap peregangan) dan spasme (contohnya spasme nyeri fleksor dan ekstensor). PENILAIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SPASTISITASSkala Ashworth ModifikasiMerupakan skala yang paling umum digunakan dalam menilai spastisitas. Skala ini mengukur resistensi yang terjadi ketika jaringan diregangkan secara pasif dan dilakukan sebagai berikut11 :

Pemeriksaan dilakukan dalam posisi supine (posisi ini menghasilkan pengukuran yang lebih akurat dan skor yang lebih rendah karena adanya tekanan pada bagian tubuh akan meningkatkan spastisitas).

Anggota gerak digerakkan dengan kecepatan yang sesuai dengan kecepatan gravitasi (didefinisikan sebagai kecepatan ketika anggota gerak yang non-spastik jatuh secara alami atau dengan kata lain, cepat).

Tes dilakukan maksimal tiga kali untuk setiap sendi. Apabila dilakukan lebih dari tiga kali, efek singkat dari peregangan akan mempengaruhi skor spastisitas.

Tes dilakukan sebelum pemeriksaan lingkup gerak sendi karena pemeriksaan lingkup gerak sendi dapat menyebabkan peregangan singkat dan dapat mempengaruhi skor.SkorSkala Ashworth ModifikasiSkala Ashworth

0Tidak ada peningkatan tonus ototTidak ada peningkatan tonus

1Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan sebagai tahanan dan pelepasan atau dengan perlawanan minimal pada akhir LGS ketika bagian yang diperiksa difleksikan/diekstensikanSedikit peningkatan pada tonus otot berupa tahanan ketika anggota gerak difleksi/diekstensikan

1+Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan sebagai tahanan diikuti dengan perlawanan minimal pada sisa (