Top Banner

of 37

Referat SLE

Oct 14, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    REFERAT

    LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

    Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu

    Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

    Disusun oleh :

    Arby Shafara Sekundaputra

    20090310177

    Diajukan kepada :

    dr. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.kes

    PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

    BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

    RSUD KRT. SETYONEGORO WONOSOBO

    2013

  • ii

    HALAMAN PENGESAHAN

    REFERAT

    LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

    Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal :

    18 November 2013

    Oleh : Arby Shafara Sekundaputra

    Disetujui oleh,

    Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

    Bagian ilmu Penyakit Dalam

    RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

    dr. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Assalamu alaikum wr. Wb.

    Allahamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan

    hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan REFERAT untuk memenuhi

    sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi kedokteran di

    bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo dengan judul:

    LUPUS ERITEMATOSUSU SISTEMIK

    Penulisan REFEREAT ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, maka

    dengan kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:

    1. Dr. Arlyn Yuanita, Sp. PD, M.Kes , selaku dosen pembimbing dan penguji

    2. Segenap perawat bangsal cempaka dan IGD RSUD Wonosobo

    3. Teman-teman dokter muda

    Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan REFERAT ini,

    untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

    menyempurnakannya.

    Wasalamualaikum wr.wb.

    Wonosobo, November 2013

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    HALAMAN PENGESAHAN ii

    KATA PENGANTAR iii

    DAFTAR ISI iv

    BAB I 1

    PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang 1

    B. Tujuan Penulisan 2

    BAB II 3

    TINJAUAN PUSTAKA 3

    A. Definisi 3

    B. Epidemiologi 3

    C. Patogenesis 4

    D. Manifestasi Klinik 6

    E. Penegakan Diagnosis 9

    F. Pemeriksaan Penunjang 11

    G. Derajat Berat Ringannya Penyakit 12

    H. Penatalaksanaan LES Secara Umum 14

    I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus 21

    J. Prognosis 29

    BAB III 31

    KESIMPULAN 31

    DAFTAR PUSTAKA 32

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang

    ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi

    patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang

    bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis,

    kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat1.

    Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang

    merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-

    370 s.m) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus

    (1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea

    kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti

    kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi

    sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William Osler

    (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan

    endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan

    gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan

    Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree2.

    Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000

    penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000

    penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat

    data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun

    2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus

    LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,

    sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5%

    dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.

    Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat,

    dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan

  • 2

    klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode

    aktif, terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul,

    LES dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat4.

    Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data

    yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien

    dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-

    tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi

    (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam

    jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis5.

    Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam

    dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta

    penatalaksanaan yang tepat, untuk inilah referat ini dibuat.

    B. Tujuan Penulisan

    Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,

    etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta terapi dan prognosis dari Lupus

    Eritematosus Sistemik (LES).

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Definisi

    Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun

    yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap

    organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi

    autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan

    jaringan1.

    Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang

    ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan

    kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada

    beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang)

    yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan

    mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi

    mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan

    kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ

    yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir

    dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis

    banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya,

    artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES

    belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem

    imun.

    B. Epidemiologi

    Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama

    didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering

    ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi

    dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat

  • 4

    ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun

    (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar

    antara 5,5-9 : 11.

    Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat

    dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian

    pada periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000

    perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per

    10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per

    10.000 perawatan1.

    C. Patogenesis

    Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat

    banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor

    genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.

    Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

    resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.

    Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama

    gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan

    gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,

    yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang

    berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4,

    dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen

    yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin6.

    Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

    dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa

    gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi

    autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi

    komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan

    komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem

    fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

  • 5

    Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis

    sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun6.

    Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti

    radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada

    self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis

    keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada

    penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara

    langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila

    normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor

    lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok

    memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung

    dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga

    memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah

    satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan

    lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada

    penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel

    permukaan dan apoptosis6.

    Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor

    hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa

    penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon

    estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal

    sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES7.

    Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (

    ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel

    lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam

    pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang

    mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan

    ginjal9.

  • 6

    D. Manifestasi Klinik

    Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang

    terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan

    perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh

    serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada

    keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena

    manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.

    Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang

    berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh

    manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada

    akhirnya akan memenuhi kriteria LES.

    1. Manifestasi konstitusional1

    Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita

    LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya,

    kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan

    kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan,

    serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh

    aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar

    C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons

    terhadap pemberian steroid atau latihan.

    Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi

    dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat

    badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala

    gastrointestinal.

    Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari

    sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa

    adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya

    tidak disertai menggigil.

    2. Manifestasi Muskuloskeletal1

    Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling

    sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi

  • 7

    berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu

    artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali

    dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi

    yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,

    kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.

    Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit

    dan terapi steroid.

    3. Manifestasi Kulit9

    Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,

    butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi

    psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat

    ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,

    livedo retikularis, ulkus jari, gangren.

    4. Manifestasi Paru9

    Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa

    radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi

    pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara

    akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita

    akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal.

    Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau

    pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus

    ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.

    5. Manifestasi Kardiologis1,9

    Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,

    dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan

    perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh

    takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai

    gagal jantung.

    Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan

    bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung

    kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia

  • 8

    muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid

    jangka panjang.

    6. Manifestasi Renal1

    Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak

    sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai

    keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.

    7. Manifestasi Gastrointestinal1,9

    Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,

    secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric

    valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit

    hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,

    splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan

    SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis

    autoimun.

    8. Manifestasi Hemopoetik9

    Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai

    dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat

    penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan

    dan anemia hemolitik autoimun.

    Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%

    kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.

    Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-

    mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali

    kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES

    yang lain.

    9. Manifestasi Susunan Saraf9

    Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa

    migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan

    tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab

    terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama

    tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.

  • 9

    Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering

    ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan

    psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan

    serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,

    kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi

    (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak

    kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau

    perdarahan.

    E. Penegakan Diagnosis

    Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau

    lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu

    1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

    2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

    penurunan berat badan.

    3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis

    4. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,

    alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

    5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

    6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

    7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.

    8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

    9. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali

    10.Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

    11.Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis

    transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

    Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboraturium.

    American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11

    kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis

    LES dapat ditegakan (lihat tabel 1).

  • 10

    Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik10

    No Kriteria Batasan

    1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

    2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada

    LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik

    3. fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,

    baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.

    4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh

    dokter pemeriksa.

    5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,

    ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia. 6. serositis

    a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh

    dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

    b. Perikarditis Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau

    terdapat bukti efusi perikardium

    7. Gangguan renal Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. atau

    Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

    8. Gangguan neurologi

    a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan

    elektrolit). atau

    b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan

    elektrolit).

    9. Gangguan

    hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. atau

    b. Lekopenia

  • 11

    antinuklear positif (ANA)

    imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

    perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan

    dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

    Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki

    sensitifitas 85% dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria

    dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis

    bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

    kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi

    klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang

    diperlukan.

    F. Pemeriksaan Penunjang

    1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin

    Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus

    Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan

    pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES

    menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau

    leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama

    penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,

    ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,

    hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya

    proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,

    heme granular atau sel darah merah pada urin.

    2. Pemeriksaan imunologik

    Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

    LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

    dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah

    pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar

    95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit

  • 12

    lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi

    kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective

    tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan

    atau pada orang normal.

    Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak

    diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES

    seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes

    ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran

    klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2

    sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES

    umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.

    Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif

    adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-

    dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan

    ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes

    spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya

    hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan

    diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat

    rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.

    Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif

    menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak

    menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -

    30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang

    normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk

    diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti

    anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.

    G. Derajat Berat Ringannya Penyakit

    Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama

    menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan

  • 13

    pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya

    yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah

    dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.

    Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam

    nyawa11

    1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:

    a. Secara klinis tenang

    b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

    c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

    gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

    Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

    2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:

    a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

    b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

    c. Serositis mayor

    3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:

    a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,

    miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.

    b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,

    emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

    c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

    d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

    e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh

    (blister).

    f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati

    transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,

    sindroma demielinasi.

  • 14

    g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit

  • 15

    dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan

    aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

    Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu

    apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau

    imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak

    mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat

    diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan

    mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi

    agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan

    lainnya.

    2. Program Rehabilitasi

    Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan

    LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal

    penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila

    pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari

    2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-

    5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk

    mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian

    panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan

    kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti

    transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat

    yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

    3. Terapi Konservatif

    a) Athritis, athralgia dan myalgia1

    Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang

    sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat

    diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid.

    Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek

    sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek

    samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus

  • 16

    diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara

    berkala.

    Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak

    memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian

    obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam

    waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera

    distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin

    lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini

    mempunyai efek toksik terhadap retina.

    Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons

    adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat

    antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis

    rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat

    dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk

    mengatasi arthritis pada penderita LES.

    b) Lupus Kutaneus1

    Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.

    Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar

    ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar

    fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap

    paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,

    kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan

    menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa

    krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,

    benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar

    ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah

    mandi atau berkeringat.

    Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat

    dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal

    harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat

    diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,

  • 17

    teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan

    penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak

    diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan

    dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya

    betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik,

    misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan

    glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason

    dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi

    harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang

    berkekuatan lebih rendah.

    Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus

    kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.

    Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan

    imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,

    dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson

    dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,

    vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem

    hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan

    anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di

    kulit.

    c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik1

    Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada

    penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.

    Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan

    penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh

    pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi

    masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup

    menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan

    yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES

    dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

    d) Serositis1

  • 18

    Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat

    merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat

    diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria

    atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang

    berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol

    penyakitnya

    4. Terapi Agresif

    a) Kortikosteroid12

    Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien

    dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan

    efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak

    dipakai sebagai antiinlamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid

    yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah

    interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi

    berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.

    Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid

    Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari

    Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison

    atau setara perhari

    Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison

    atau setara perhari

    Dosis sangat tinggi >100 mg prednison atau setara perhari

    Terapi pulse >250 mg prednison atau setara perhari

    untuk 1 hari atau beberapa hari

    Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana

    kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang

    relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang

    aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut

    yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

  • 19

    Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang

    mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini

    biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram

    metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturut-turut.

    b) Sparing Agen Kortikosteroid

    Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan

    menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol

    penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent

    ini adalah siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.

    1) Siklofosfamid1

    Indikasi siklofosfamid pada LES :

    1.1) Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid

    sparing agent).

    1.2) Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis

    tinggi.

    1.3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid

    jangka lama atau berulang.

    1.4) Glomerulonefritis difus awal.

    1.5) LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

    1.6) Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin

    serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.

    1.7) LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

    Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl

    0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24

    jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada

    terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan

    interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

    pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap

    dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan

    penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid

    diturunkan sampai 500-750 mg/m2.

  • 20

    Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus

    dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis

    siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan

    jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid

    yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada

    pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan

    muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan

    fungsi ovarium dan azoospermia.

    2) Azatioprin1

    Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai

    alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari

    dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12

    bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan

    dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga

    dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya

    betul-betul terkontrol dengan baik.

    Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,

    peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.

    3) Siklosporin1

    Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES

    adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini

    dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun

    dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus

    diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.

    Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin

    darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus

    diturunkan.

  • 21

    Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

    Keterangan :

    TR : tidak respon

    RS : respon sebagian,

    RP : respon penuh

    OAINS : obat anti inflamasi non steroid,

    CYC : siklofosfamid,

    NPSLE : neuropsikiatri SLE.

    KS : kortikosteroid setara prednison

    AZA : azatioprin

    MP : metilprednisolon

    I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus

    1. Lupus dalam Kehamilan12

    Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.

    Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan

    namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis

    masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam

  • 22

    keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami

    kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia

    juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor

    predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).

    Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca

    persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

    a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah

    6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi

    total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan

    remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.

    b) Kontrasepsi untuk LES12

    Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus

    sangatlah terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara

    individual, tergantung kondisipenderita. Kontrasepsi oral merupakan

    pilihan bagi penderita dengan keadaan yang stabil, tanpa sindrom

    antifospolipid (APS). Kekhawatiran penggunaan kontrasepsi oral ini

    sebelumnya adalah kekambuhan penyakit akibat hormon estrogen yang

    ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian mendapatkan bukti ini

    sangat lemah. Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada

    penderita LES dengan APS karena dapat mengakibatkan trombosis.

    Sementara penggunaan intra uterine device (IUD) pada penderita yang

    mendapat kortikosteroid atau obat imunosupresan tidak

    direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi, sehingga pilihan

    hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron acetate

    (DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini

    dikhawatirkan adanya kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang

    (menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan berdasarkan

    indikasi tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan kelainan

    perdarahan dan keterbelakangan mental, DPMA merupakan pilihan

    yang terbaik.

  • 23

    c) Medikamentosa:

    1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak

    melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.

    2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan

    penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan

    obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.

    Tabel 3. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui12

    Nama obat Kehamilan Menyusui

    NSAID Boleh (hindari setelah

    minggu ke 32

    boleh

    Anti malaria boleh boleh

    Kortikosteroid Boleh sebaiknya dosis

    tidak lebih dari 7.5

    mg/hari

    Boleh sampai 20

    mg/hari

    Siklosporin boleh boleh

    Azitosprin Boleh, dosis sebaiknya

    tidak lebih dari 1,5-2

    mg/kgBB/hari

    boleh

    Metrotrexat Tidak, dan harus

    dihentikan minimal 3

    bulan sebelum konsepsi

    Tidak

    Siklofosfamid Tidak Tidak

    Wafarain Tidak boleh

    Heparin boleh boleh

    Aspirin dosis rendah boleh boleh

    2. Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)12

    Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma

    Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana

    terjadi akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid.

    Penyakit ini merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang

  • 24

    atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang

    menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan

    (LA). Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan konsensus internasional

    kriteria klasifikasi sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati

    tahun 2006, apabila terdapat 1 gejala klinis dan 1 kelainan

    laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:

    Kriteria Klinis:

    a) Trombosis vaskular: Penyakit tromboembolik vena (Trombosis

    vena dalam, emboli pulmonal)

    b) Penyakit tromboemboli arteri : Trombosis pembuluh darah kecil

    c) Gangguan pada kehamilan:

    > 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia 10

    minggu kehamilan atau

    > 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan 34

    minggu atau

    > 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada

    usia kehamilan < 10 minggu

    Kriteria Laboratorium:

    a) Positif lupus antikoagulan

    b) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang

    atau tinggi).

    c) Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein

    (anti 2 GP) I (sedang atau tinggi).

    Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang

    berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat persistensinya

    3. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)12

    Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada kriteria

    diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis NPSLE

    sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi dan

    dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan

    psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari

  • 25

    kasus NPSLE akibat tidak adanya kesepakatan dalam definisi

    penyakit, karena itu American College of Rheumatology (ACR)

    mengeluarkan suatu klasifikasi untuk membuat keseragaman tersebut.

    Tabel 4.Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR

    Sistem saraf pusat Sistem saraf perifer

    Acute confusional state Polineuropati

    Disfungsi kognitif pleksopati

    psikosis Mononeuropati (tunggal/ multi

    pleks)

    Gangguan mood Sindrom guillain-Barre

    Gangguan cemas Gangguan otonom

    Nyeri kepala (termasuk migrain dan

    hipertensi intrakranial ringan)

    Mistenia gravis

    Penyakit serebrovaskular

    Mielopati

    Gangguan gerak

    Sindrom demielinisasi

    Kejang

    Meningitis aseptik

    Neuropati kranial

    Berdasarkan kriteria ACR ini, beberapa penelitian mendapatkan

    manifestasi terbanyak NPSLE adalah disfungsio gknitif dan sakit ekpala.

    Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti,

    namun tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja,

    namun berbagai mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan

    penyebabnya sehingga disimpulkan LES sendiri sebagai penyebab

    manifestasi tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan

    oleh faktor sekunder yang berhubungan dengan LES seperti infeksi, efek

  • 26

    samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain

    dalam tubuh.

    Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE

    Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan

    NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47% penderita

    dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI

    konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan

    penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization

    Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi

    secara kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam

    mendeteksi NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka

    dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.

    4. Lupus Nefritis12

    Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.

    Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang

    perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar

    tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan

    transplantasi atau cuci darah.

    Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka

    seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,

    evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan

    menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World

    Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh

    International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)

    tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari

    imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi

    fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.

  • 27

    Tabel 5. Klasifikasi lupus nefritis oleh

    International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS)12

    Kelas I Minimal mesangial lupus nefritis

    Kelas II Mesangial proliferative lupus nefritis

    Kelas III Fokal lupus nefritis

    III(A) : Lesi aktif : fokal proliferatif lupus nefritis

    III (A/C) : Lesi aktif dan kronis : fokal proliferatif dan sklerosing

    lupus nefritis

    III (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar

    Kelas IV Difuse lupus nefritis

    IV-S(A) : Lesi aktif : difus segmental proliferatif lupus nefritis

    IV-G(A) : Lesi aktif: difus global prolifertif lupus nefritis

    IV-S (A/C) : Lesi aktif dan kronis

    IV-G (A/C) : Lesi aktif dan kronis

    IV-S (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar

    IV-G (C) : Lesi kronis tidak aktif dengan skar

    Kelas V Membranous lupus nefritis

    Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis

    Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala sering

    tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria atau

    hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut

    adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti

    dsDNA dan C3.

    Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi prognosis.

    Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut adalah ras

    hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal terhadap terapi

    imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk

  • 28

    Tatalaksana Lupus Nefritis12

    a. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak

    terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap

    komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan

    tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan

    sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan

    biopsi ginjal diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis

    dimana terapi tambahan agresif diperlukan.

    b. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama

    sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen,

    anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung

    situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive glomerulonephritis

    diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk parameter lain

    diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.

    c. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien

    dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat

    antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan

    angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama

    untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja

    atau dengan kombinasi. Diet rendah garam direkomendasikan pada

    seluruh pasien hipertensi dengan lupus nefritis aktif. Bila diperlukan loop

    diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan mengontrol hipertensi

    dengan monitor elektrolit yang baik.

    d. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko prematur

    aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga

    harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target

    terapi menurut Guidelines American Heart Association (AHA) adalah

    kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan

    LES masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus

    dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat penurun lemak

    seperti HMG Co-A reductase inhibitors

  • 29

    e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena

    infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES

    f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko

    osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam

    dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih

    dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi,

    obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat

    (kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.

    g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan

    parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit,

    kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot,

    fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan

    situasi klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari

    kortokosteroid.

    h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,

    karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan

    hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi

    bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).

    Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam

    waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.

    i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat

    risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian

    gagal ginjal juga meningkat.

    J. Prognosis

    Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.

    Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada

    pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,

    tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang

    dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun

    terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita

  • 30

    pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup

    penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih

    rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan

    dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,

    perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan

    medis umum.

  • 31

    BAB III

    KESIMPULAN

    Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun

    yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap

    organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi

    autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan

    jaringan.

    Lupus Eritematosus Sistemik merupakan saalah satu penyakit yang tidak

    mudah didiagnosa dikarenakan banyaknya variasi dari manifestasi klinis yang

    ditimbulkannya. Dalam melakukan penegakan diagnosa LES dibutuhkan

    adanya pengamatan klinis yang baik serta pemeriksaan Antibodi Antinuklear

    (ANA), yang keduanya harus menunjukan hasil yang positif.

    Penatalaksanaan pada LES dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi

    non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis

    diantaranya edukasi dan program rehabilitasi, sedangkan terapi farmakologis

    meliputi terapi konservatif dan terapi agresif

  • 32

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. 2009.

    Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam

    Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

    2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :

    http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf

    3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS.2006. Epidemiology of systemic lupus

    rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus;308-318.

    4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :

    http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat

    alaksanaannya.pdf

    5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,

    Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus

    Erythematosus. Am J Med;60:221-225.

    6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.

    J Clin Pathol; 481-490.

    7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus

    erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110

    8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production

    by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282-

    288

    9. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:

    pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].

    Available from

    http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf

    10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al.

    1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus

    erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277

  • 33

    11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus

    erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96

    12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan

    Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta