BAB I PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan
prevalensi yang terus meningkat. Rinitis alergi mewakili
permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 25% populasi
dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir
(Ciprandi, et.al., 2005). Rinitis alergi merupakan kondisi kronik
tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak.
Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas
hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan
beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan
pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan
berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang
(Suprihati, 2005). Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan
pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya
saluran nafas bawah.
Rinitis alergi merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan
sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada di udara. Rinitis alergi adalah
peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang
diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung
cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata (Sumarman,
2001). Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis
alergi harus dianggappenyakit yang serius karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untukmengobatinyapun
akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi
(Suprihati, 2005).
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk
amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak
lebih sering terjadi terutama anaklaki-laki. Memasuki usia dewasa,
prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensitertinggi
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia
8-11tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari
usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan
menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi
jarang ditemukan (Irawati, et.al., 2001). Di Indonesia, angka
kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai
saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rhinitis alergi di Jakarta besarnya sekitar 20% (Suprihati,
2005).
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Becker, 1994). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.
2.2Klasifikasi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam
berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 1. Rinitis alergi musiman
(seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun
(perenial) Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat
berlangsungnya (Peralmuni, 2006). Saat ini digunakan klasifikasi
rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermiten
(kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4
hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat
berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan,
bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu. 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari
gangguan tersebut diatas (Becker, 1994). 2.3Etiologi Rinitis alergi
melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Melya, 2008). Penyebab
rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan ( Becker,
1994).Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor
resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: 1. Alergen
Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. 2.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. 3. Alergen Injektan,
yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah. 4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak
dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau
perhiasan (Kaplan, 2003). 2.4Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi
terbanyak dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun
(kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak
kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah
pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%.
Valovirta7 dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien rinitis
alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma
bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari
Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di
AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis
alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar 3-5% dari
total populasi.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children
(ISAAC, 2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania,
Rumania, Georgia dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang
rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu juga dengan prevalensi asma
bronkial juga kurang dari 5%. Prevalensi rinitis tertinggi di
Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan Hongkong
(25-30%).
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan bahwa rinitis
alergi yang menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma
atopi dan non atopi pada 30,3% kasus.
2.5Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan
dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1
dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5, dan IL-13.
Gambar 1. Patofisiologi rhinitis alergika
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor
H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8
jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi
oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (Peralmuni, 2006). Secara mikroskopik tampak adanya
dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan
sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler
dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang
ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan
terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi
reaksi yang secara garis besar terdiri dari:a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag
tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder. b. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat
spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier. c. Respon tersier Reaksi
imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4
tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate
hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang
banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
(Peralmuni, 2006).2.5 Gejala KlinikRinitis alergi ditandai dengan
trias gejala yaitu beringus, bersin-bersin, dan hidung tersumbat
disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.
Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada
palatum, gatal pada tenggorok serta asma dapat menyertainya apabila
reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain. Gejala- gejala
tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat (Fuhlbrigge,
2003).2.6. DiagnosisDiagnosis rinitis alergi ditegakkan
berdasarkan:
a. AnamnesisAnamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara
umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih spesifik meliputi
gejala hidung, termasuk keterangan mengenai tempat tinggal, tempat
kerja dan pekerjaan penderita. Gejala gejala rhinitis alergi yang
perlu ditanyakan adalah:1) Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali
(setiap kali serangan)2) Rinore (ingus bening, encer) dan banyak3)
Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit 4) Gatal di mata, berair
dan kemerahan5) Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)6)
Hiposmia/anosmia7) Sekret belakang hidung /pos nasal drip atau
batuk kronik8) Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi
hari-siang hari dan membaik saat malam hari.9) Penyakit penyerta;
sakit kepala berhubungan dengan tekanan pada hidung dan sinus
akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi,
gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak
nafas/asma.10) Frekuensi serangan, lama sakit ( intermiten/
persisten), beratnya penyakit, efeknya pada kualitas hidup seperti
adakah gangguan pada pekerjaan, sekolah, berolahraga, bersantai dan
melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol
adalah bersin-bersin, gatal, rinore dan kadang-kadng hidung
tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat, gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia (
Irawati, 2002)Perlu ditanyakan riwayat atopi keluarga serta
manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan
rhinitis seperti asma bronchial, dermatitis atopi, urtikariaa dan
alergi terhadap makanan (Irawati, 2002).Sumber penting allergen di
lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana kualitas udara dan
system ventilasi dirumah maupun di lingkungan kerja, adanya
binatang peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang
bawah tanah sebagai gudang (bila ada). Faktor pemicu timbulnya
gejala juga perlu dipertanyakan seperti lingkungan di rumah, kamar
tidur, tempt kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu
terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala
memburuk di dalam rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga
dipicu bila pasien membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit
sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur, gejala dapat
terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan dengan kelembaban
tinggi dan pada sore hari. Adanya keadaan hipereaktivitas hidung
terhadap iritan non spesfik seperti asap rokok, udara dingin, bau
merangsang seperti bau parfum, masakan dan polutan juga dapat
memicu serta memperberat gejala rhinitis. Riwayat pengobatan yang
pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan serta kepatuhan berobat
juga perlu dipertanyakan ( Irawati, 2002).b. Riwayat
PenyakitRiwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi
akuratnya diagnose rhinitis alergi, pengukuran tingkat beratnya
penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rhinitis sering juga dibagi
menjadi tipe sneezers and runners dan tipe blockers. Pasien
rhinitis alergi biasanya tipe tipe sneezers and runners. WHO
initiative ARIA (2000) membedakan kedua tipe rhinitis sebagai
berikut:
Sneezers and RunnersBlockers
Sneezing (sering bersin)Little or no sneezing (jarang atau tidak
bersin)
Watery mucus anterior (lendir yang cair pada hidung)Thick nasal
mucus (lendir yang kental pada hidung)
Itchy nose (hidung terasa gatal)No itch (hidung tidak terasa
gatal)
Nasal blockage variable (hidung tersumbat)Nasal blockage often
severe (hidung tersumbat lebih parah)
Diurnal rhythm, worse during day and improving during night
(buruk pada siang hari dan memberat pada malam hari)Constant day
and night but maybe worse at night (menetap sepanjang hari dan
dapat memburuk saat malam hari)
c. Pemeriksaan FisikGejala spesifik pada anak adalah adanya
bayangan gelap di kelopak mata bawah akibat sumbatan vena di daerah
orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat bocornya
hemosiderin (Allergic shiners), Dennie-Morgan liners adalah garis
pada kulit di kelopak bawah mata, Allergic salute adalah kebiasaan
anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan telapak tangan
kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi sepertiga bawah ( Allergic crease). Pada anak dengan
sumbatan hidung kronik dapat menimbulkan fasies adenoid karena
sering bernafas lewat mulut.Hal ini akan menyebabkan lengkung
palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi sehingga terjadi
penonjolan ke dapan dari gigi seri atas. Pasien sering
mengerak-gerak mulut dn gigi saat tidur terutama pada anak untuk
mengatasi masalah gejala rasa penuh di telinga akibat sumbatan
tuba. Kadang-kadang ditemukan adanya krusta dan kulit yang kasar di
daerah nostril/ lubang hidung ( Irawati, 2002).Pada mata dapat
ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media
pucat/livid, dilipuri secret hidung seromukoid, udema ( boggy) atau
hipertrofi. Perhatikan juga daerah septum nasi ( lurus, deviasi,
spina/ krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia
dapat dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa
atao polip kecil di daerah meatus medius serta keadaan kompleks
osteomeatal ( Irawati,2002).Pada pemeriksaan tenggorok mungkin
didapatkan bentuk geographic tounge (permukaan lidah sebagian licin
dan sebagian kasar) yang bsanya akibat alergi makanan adenoid yang
membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (cobble stone
appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bonds akibat secret
mengalir ke tenggorok yang kronik (Irawati, 2002).2.7Pemeriksaan
Penunjanga. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).b. Pemeriksaan IgE total serumSecara umum, kadar IgE total
serum rendah pada orang normal dan meningkat pada penderita atopi,
tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi.
Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir ( 0-1 KU/L)
sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah
usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap
normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60 % penderita rhinitis
alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana
kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (
dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun
pada imunodefisiensi serta multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi
juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan
nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih
dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan
lagi untuk menegakkan diagnostic ( Irawatu, 2002).c. Pemeriksaan
IgE spesifik serum ( dengan metode RAST Pemeriksaan ini untuk
membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu allergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik ( >85%), akurat
dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian
membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan
tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan
allergen terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi
dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara lain adalah
Modified RAST dengan system scoring ( Irawati, 2002).d. Pemeriksaan
LainPemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk
menegakkan diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan
penunjang atau untuk mencari penyebab lain yang mempengaruhi
timbulnya gejala klinik (Irawati, 2002).1) Hitung jenis sel darah
tepiPemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak
tersedia. Jumlah sel eosinofil darah tepi kadang meningkat
jumlahnya pada penderia rhinitis alergi tetapi kurang bermakna
secara klinik.2) Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidungBahan
pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan dan biopsy mukosa. Pengambilan sediaan untuk
pemeriksan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan
allergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk
keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih.3)
Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas
tersedia).Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian
antara hasil pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan
gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit untuk diulang
dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes
provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko terjadinya
reaksi anafilaksis.4) Tes fungsi mukosilier ( menilai gerakan
silia)Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian5) Pemeriksaan
aliran udara hidungDerajat obstruksi hidung diukur secara
kuantitatif dengan alat rinomanometri (anterior atau posterior)
atau rinomanometri akustik, misalnya pasca tes provokasi hidung.
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.6) Pemeriksaan
radiologikPemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun
MRI (bila fasilitas tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk menyingkirkan adanya
kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi terutama bila
respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos
dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis
akibat alergi) perselubungan homogeny serta gambar batas udara
cairan di sinus maksila.7) Pemeriksaan lain yaitu: fungsi penghidu
dan pengukuran kadar NO (nitric oxide) (Irawati, 2002).e. Tes
KulitTes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : tes
gores, tes kulit cukit, tes suntik intradermal dan skin
endointiration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus
dilaksanakan setelah terlampaui massa wash out untuk kortikosteroid
berkisar antara 2-3 bulan (Sumarman, 2001).Tes kulit sebagai salah
satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak allergen merupakan alat
diagnostic yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase
sensitisitas oleh allergen tertentu pada seorang individu. Hasil
tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang
segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada epikutan
individu tersebut terdapat komplek IgE-sel mast (Sumarman,
2001).Tes kulit telah digunakan sebagai salah satu untuk menegakkan
diagnosis alergi terhadap allergen dan merupakan indikator yang
aman, mudah dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang relative
murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring. Tes kulit cukit dapat mendiagnosis rhinitis
alergi berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan
sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat
korelasi dengan gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat
kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit negatif. Tindakan
yang perlu dilakukan adalah :1) Periksa obat-obatan yang dapat
mempengaruhi hasil tes2) Periksa adakah penyebab hasil negative
palsu3) Observasi pasien selama adanya paparan allergen yang
tinggi4) Lakukan tes provokasi atau tes intradermal (Irawati,
2002).2.8Diagnosis BandingRinitis alergi perlu dibedakan dari
rhinitis vasomotor ataupun idiopatik, rhinitis infeksiosa, rhinitis
sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephine dan kokain)
maupun sistemik (beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rhinitis
sekunder dari faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore
serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis dan mastositosis
hidung. Disamping alergi, penderita polip hidung perlu dievaluasi
terhadap sinusitis infeksiosa dan pada anak fibrosis kistik.
Sinusitis dengan etiologi nonalergi, misalnya trauma, zat kimia,
imunodefisiensi, fibrokistik, sindrom kartaganer, penyakit
granulomatosa kronik dan infeksi perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding (Blumenthal, 19997).
2.9Terapi Rinitis AlergiPenatalaksanaan rinitis alergika
meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan
imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya
merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama
bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya
selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang
berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama
dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus
menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi
sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.
Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat,
efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan
andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3
menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun
dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin
H1 dengan dekongestan.
Antihistamin-H1 oralAntihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok
reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini
tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi
generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain
klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu
setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.Generasi terbaru
antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum
sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini
kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.Efek samping
antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek
antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian
besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek
antikolinergik atau kardiotoksisitas.Antihistamin-H1
lokalAntihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin)
juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai
beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja
sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung
atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin
memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.Kortikosteroid
intranasalKortikosteroid intranasal (misalnya beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon)
dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini
merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis
alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat
setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa
hari.Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal
obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah
pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis
steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa
dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini
diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung
tersumbat yang menonjol.Kortikosteroid oral/IMKortikosteroid
oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,
prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk
mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka
pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid
intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid
oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping
sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada
anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.Kromon lokal (local chromones)Kromon lokal
(local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme
kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif,
sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya
singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya
baik.Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator
sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini
biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai
efek samping.Dekongestan oralDekongestan oral seperti efedrin,
fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang
dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping
obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi,
tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi
urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat
meningkat, namun efek samping juga bertambah.Dekongestan
intranasalDekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.Pemberian vasokonstriktor topikal
tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l
tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang
sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan
sistem saraf pusat.Antikolinergik intranasalAntikolinergik
intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala
beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik.
Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik
sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada
anak dengan keluhan hidung beringus yang
menonjol.Anti-leukotrienAnti-leukotrien, seperti montelukast,
pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan
merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan
banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat
ditoleransi tubuh dengan baik.Jenis obat yang sering digunakan :a.
Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan
3-4 kali/harib. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah:
2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1
kali/hari.c. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25
tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1
kali/hari.d. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah
: 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari,
2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.e. Azelastine, dosis
pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.f.
Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun
: 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari;
> 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2
semprotan, 2-3 kali/hari.g. Kortikosteroid intranasal : Digunakan
pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih
parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.h.
Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia
> 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.i. Mometasone
intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun:
1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.j. Budesonide intranasal diberikan
dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas
yang rendah dan keamanannya lebih baik.k. Zafirlukast yang
diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.Rinitis
alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergik dapat merupakan masalah pada usia
tua. Dengan mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat
mengurangi kekerapan timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis
medikamentosa profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang
timbul.2.10Komplikasia. Polip hidung. Rinitis alergi dapat
menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.b. Otitis
media yang sering residif, terutama pada anak-anak.c. Sinusitis
paranasal.d. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari
pernafasan mulut yang lama khususnya pada anak-anak.e. Asma
bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
mendapat asma bronkial.
2.11PrognosisBanyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah
diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang
mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi
kurang sensitif pada alergen.
BAB IIIKESIMPULAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Rinitis Alergi adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus
yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada diudara. Gejala utama pada hidung yaitu
hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair seperti
air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair,
kemerahan dan gatal.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran
alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin
tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran
alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi
penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat
diidentifikasi.
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Prognosis yang
terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan
hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik
akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.