-
Pendahuluan
Istilah retinopati pada prematuritas (RPP) pertama kali
diutarakan oleh Terry pada tahun
19421 dan didefinisikan sebagai suatu perkembangan abnormal
pembuluh darah retinal pada
bayi yang lahir prematur, menetap sebagai salah satu penyebab
utama kebutaan yang,
kejadiannya dapat dicegah2. Sebagian besar bayi dengan RPP tidak
berkembang melebihi tahap
sedang sehingga, gangguan hilang secara spontan tanpa
pengobatan. Pada kasus minoritas,
ROP berkembang menjadi gangguan penglihatan berat sehingga semua
bayi dengan resiko
tinggi memerlukan pemeriksaan dini retina untuk mencegah
kebutaan.
Dikutip oleh Flynn dari Silvermann, selama 1 dekade period
1943-1953, RPP telah
mengakibatkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10 000 anak
di seluruh belahan
dunia3. Palmer et al, melaporkan 65.8% bayi dengan BB lahir 1250
gram dan 81.6% bayi
dengan BB lahir 1000 gram, mengalami RPP pada berbagai tingkat
pada sebuah penelitian
meliputi 4099 bayi BBLR4. Phelps melaporkan insidensi kebutaan
akibat RPP di Amerika
Serikat selama tahun 1979 telah menyentuh 546 kasus dan
diestimasikan 2 100 bayi akan
mengidap RPP pada tingkat sikatrik setiap tahun di negara
tersebut5.
Sistem vaskularisasi retina yang normal berawal dari diskus
optikus menuju ke perifer dan
terbentuk sempurna pada sisi nasal pada usia kehamilan 36 minggu
dan pada sis temporal pada
kehamilan 40 minggu1. Pemahaman mengenai terjadinya RPP belum
sepenuhnya dimengerti
namun, kecenderungan kuat mengacu pada jaringan mesenkim bakal
pembuluh darah yang
berkembang dari sentral ke perifer retina adalah jaringan yang
sensistif terhadap sitotoksisitas
sampai terbentuk menjadi pembuluh1. Paparan terhadap oksigen
yang berlebihan saat periode
ini dapat berujung pada gangguan dan hambatan vaskularisasi
lebih lanjut, sehingga bagian
depan retina akan terisolasi dari aliran darah6,7.
Diagnosis RPP ditegakan berdasarkan pemeriksaan optalmoskopi1.
Terdapat beberapa
kriteria pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya RPP8,9.
American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan
pemeriksaan untuk mendeteksi
kemungkinan adanya RPP pada bayi dengan berat badan
-
Sembilan puluh persen retinopati tingkat I dan II menghilang
secara spontan, laporan
terbaru menunjukan 50% tingkat III+ juga hilang secara spontan1.
Akibat dari RPP yang lambat
mendapat penatalaksanaan setelah mengalami regresi berupa
miopia, strabismus, ambliopia,
glaukoma, dan ablatio retina yang muncul lambat8,9.
Perkembangan ICU neonatus pada akhir dekade 60-an dan kemajuan
pesat dalam
teknologi penunjang kelangsungan hidup bayi-bayi prematur, buka
hanya meningkatkan
jumlah bayi dengan berat badan lahir sangat rendah yang bertahan
hidup, tapi juga
meningkatkan jumlah bayi yang beresiko terhadap RPP1. Insidensi
meningkatnya BBLR yang
bertahan hidup telah meningkatkan minat untuk menelaah
dasar-dasar dan perjalanan penyakit
ini1.
Penelitian kolaboratif seperti ini ditunjukan secara spesifik
terhadap faktor resiko RPP
diantaranya, berat badan lahir bayi yang sangat rendah, lamanya
pemberian oksigen dan
konsentrasi oksigen sebagai faktor resiko yang berperan dalam
kejadian RPP5. Dalam
penelitian lain, ditemukan faktor usia kehamilan, apne yang
memerlukan faktor usia
kehamilan, apne yang memerlukan resusitasi dengan sungkup,
sepsis, beratnya penyakit,
transfusi darah, perdarahan intraventrikular, dan ventilasi
mekanis, sebagai faktor yang juga
berperan meningkatkan resiko terjadinya RPP10.
-
Retinopati Pada Prematuritas (RPP)
I. Batasan
Retinopati pada prematuritas (RPP) adalah suatu retinopati
poliferatif pada bayi prematur
akibat terpapar pada oksigen konsentrasi tinggi11. RPP
didefinisikan secara beragam oleh
penulis lain namun, prinsipnya mengacu pada penyakit dengan
poliferasi retina akibat
gangguan pembuluh darah retina yang belum sempurna12.
II. Epidemiologi
Flynn mengutip dari Silvermann, selama 1 dekade period
1943-1953, RPP telah
mengakibatkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10 000 anak
di seluruh belahan
dunia3. Palmer et al, melaporkan 65.8% bayi dengan BB lahir 1250
gram dan 81.6% bayi
dengan BB lahir 1000 gram, mengalami RPP pada berbagai tingkat
pada sebuah penelitian
meliputi 4099 bayi BBLR4. Phelps melaporkan insidensi kebutaan
akibat RPP di Amerika
Serikat selama tahun 1979 telah menyentuh 546 kasus dan
diestimasikan 2 100 bayi akan
mengidap RPP pada tingkat sikatrik setiap tahun di negara
tersebut5.
III. Fisiologi Retina
Perkembangan Vaskularisasi Retina Normal18
Pembuluh darah yang memperdarahi mata bagian dalam selalu
mengalami perkembangan.
Pada awalnya, mata bagian dalam mendapat bantuan metabolik
melalui vaskularisasi choroid
hyaloid, jaringan pembuluh darah di dalam vitreus dan chroid.
Chroid mulai berkembang pada
umur gestasi 6 minggu dan secara sempurna terbentuk pada umur
gestasi 8 minggu. Retina
bertahan tanpa vaskularisasi sebagai choroid hyaloid vasculature
dan choroid di bawahnya
membawa nutrisi kepada retina yang sedang berkembang pada usia 4
bulan gestasi. Pada
stadium perkembangan yang lebih lanjut, hyaloid vasculature akan
berubah menjadi retinal
vasculature ketika sirkulasi choroid tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan retina19.
-
Embryogenesis Vaskularisasi Retina
Dikutip dari
http://www.clgei.org/eye-treatments.php?act=vitreoretinal pada
12/5/15
Pada saat sistem vaskular hyaloid regresi, jaringan vaskular
retina mulai berkembang
menjadi superficial dan depper capillary plexus pada umur
gestasi 16 minggu19. Sel spidel
mesenkimal mengalami poliferasi endotel sedangkan pembuluh
retina berkembang menjadi
diskus optik diikuti oleh pembentukan kapiler. Superficial
capillary plexus terbentuk pada
permukaan retina di dalam lapisan sel ganglion. Pembuluh retina
juga berkembang dari diskus
optik, mencapai ora serrata nasal pada umur gestasi 32 minggu.
Saat perkembangan
vaskularisasi retina, astrosit akan membentuk cetakan untuk
migrasi sel endotel di dalam retina
untuk mencapai vitreus yang berfungsi sebagai sumber penting
bagi vascular endothelial
growth factor (VEGF)20. VEGF yang diregulasi dalam kondisi
hipoksia, telah dibuktikan
memiliki peran yang penting dalam proses neovaskularisasi
patologis21. Pada pembelajaran
terbaru, juga dilaporkan bahwa astosit di dalam retina memiliki
peran yang beragam termasuk
perkembangan fisiologis angiogenesis dan neovaskularisasi
patologis dalam keadaan
hipoksia22. Pada bayi prematur, retina tidak matan dan tidak
mendapatkan vaskularisasi secara
sempurna, tergantung dari umur gestasi15.
Beberapa faktor angiogenik seperti: insulin-growth factor-1
(IGF-1)23, VEGF20, basic
fibroblast growth factor (FGF), transforming growth factor beta
(TGF-), platelet derived
growth factor (PDGF), dan hepatocyte growth factor, telah
dibuktikan memiliki peran dalam
perkembangan vaskularisasi retina18. VEGF adalah vasoactive
cytokine, potent mitogen untuk
sel endotel vascular yang sangat penting untuk pembentukan
angiogenesis fisiologis25. VEGF
dibentuk secara umum pada retina avascular yang sedang mengalami
pematangan dan
diregulasi oleh keadaan hipoksia jaringan18. Oleh sebab itu gen
VEGF sangat bergantung pada
kadar oksigen: transkripsi gen VEGF distimulasi pada keadaan
hipoksia namun pada keadaan
hypoeroxia, transkripsi mengalami penurunan20. Pembentukan
retina menghasilkan kebutuhan
metabolik dan keadaan hipoksia secara lokal relatif sebelum
terbentuknya pembuluh darah
retina18.
-
IV. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang telah diidentifikasi:
1. Penggunaan Oksigen
Peran oksigen sebagai faktor resiko RPP telah dipelajari sejak
1950-an oleh penelitian
kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokter V.E Kinsey
yang kemudian hasilnya
didukung oleh penelitian lain10.
Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum
matang pada
binatang percobaan, menunjukan terjadinya vasokonstriksi
retina1. Ketika fenomena ini
bertahan, akan disertai penutupan pembuluh darah pada berbagai
tahapan, kemudia akan
menimbulkan destruksi endotel yang berujung pada penutupaan
sempurna pembuluh
darah yang bersifat imatur1. Pembuluh darah baru akan terbentuk
pada area yang
mengalami kerusakan kapiler sehingga menyebar di permukaan
retina dan berkembang
sampai ke badan vitreus10. Penelitian dengan bintang percobaan
yang dikondisikan
hyperoxia, menunjukan hanya pembuluh darah imatur yang sensitif
terhadap oksigen,
semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar resikonya
terhadap suplementasi
oksigen. Oleh karena itu, bayi dengan pembuluh darah retina yang
sudah matang tidak
memiliki resiko terhadap RPP. Atas dasar teori inilah predileksi
RPP bagian temporal
retina dapat dijelaskan10.
Vasokonstriksi awal pada vaskularisasi retina imatur terjadi
dalam beberapa menit
pertama setelah paparan oksigen, ukuran pembuluh darah berkurang
sampai 50%, namun
kemudia kembali ke ukuran normal1. Oksigen yang dilakukan terus
menerus selama 4-6
jam akan mengakibatkan vasospasme bertahap sampai pembuluh darah
tersebut mengecil
sampai 80%1. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah
retina bersifat
reversible, namun ketika keadaan ini bertahan (10-15 jam) maka
pembuluh darah perifer
retina yang imatur akan menutup secara permanen10.
2. Anemia dan Tranfusi Darah
Beberapa penelitian dapat menunjukan bahwa transfusi darah atau
anemia adalah
salah satu faktor resiko RPP namun, laporan ini masih
diperdebatkan1. Beberapa penelitian
menyimpulkan bahwa anemia adalah faktor resiko untuk terjadinya
RPP sedangkan
laporan lain menyatakan bahwa hematokrit yang tinggi dan
transfusi berulang pada
kejadian anemia yang merupakan faktor independen terjadinya
kasus RPP26. Sacks et al,
pada penelitian 90 bayi dengan berat badan lahir 1250 gram
(Pennsylvania, 1980)
-
menunjukan asosiasi bermakna antara insiden RPP dengan transfusi
tukar27. Clark et al
menemukan hubungan yang berarti antara insiden RPP dengan
transfusi darah pada
penelitian 59 bayi dengan baerat badan lahir 1000 gram dan 70
bayi dengan berat lahir
renfah yang menerima suplementasi oksigen dengan berbagai
variasi berat badan28.
Anemia pada BBLR akan kemudian mendapatkan transfusi darah
berulang sehingga
baji akan mendapat sejumlah darah dari orang dewasa (donor
dewasa)1. Tindakan tersebut
akan meningkatkan resiko RPP yang diasosiasikan dengan
peningkatan penumpukan zat
besi1. Akibatnya, aktivitas anti oksidan yang terkait dengan
peningnkatan level zat besi,
akan mengalami peningkatan3. Brooks et al, pada penelitian 50
bayi dengan BB 1250
gram tidak menemukan perbedaan insiden RPP antara kelompok bayi
yang diberikan
transfusi untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi
yang diberikan
transfusi untuk mempertahankan kadar hematokrit >40% (26
bayi)26.
3. Defisiensi Vitamin E
Flynn melaporkan peran vitamin E dalam mencegah kejadian RPP
pada kelompok
bayi prematur10. Pemberian 50 mg vitamin E secara secara oral
tiga kali sehari bersamaan
dengan dimulainya pemberian makanan peroral diketahui dapat
menekan insiden RPP10.
Penelitian ini dilakukan pada bayi dengan berat badan 1360
gram3. Payne
memperlihatkan adanya perubahan dasar pada struktur sel spindel
retina bayi-bayi
prematur beresiko tinggi. Sel spindel retina bayi prematur yang
mendapat oksigen secara
terus menerus akibat distress pernafasan menunjukan peningkatan
gap junction, yang
diyakini dapat dapat mengganggu proses pembentukan pembuluh
darah yang normal29.
Vitamin E secara in vitro merupakan anti oksidan lipofilik yang
poten, sedangkan
kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga
asisiasi ini menjadi dasar
asumsi faktor resiko RPP10. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa
peningkatan kadar
vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian
RPP30. Pemberian vitamin
E pada bayi prematur diketahui memiliki beberapa kemungkinan
efek samping
enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan intra ventrikular,
perdarahan retina,
perubahan respons imun, dan penekanan aktivitas bakteriostatik
sel leukosit3.
4. Paparan Cahaya
Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga
menimbulkan pengaruh
untuk terjadinya RPP, namun masih diperdebatkan terdapat
mekanisme terjadinya ROP
dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada tempat
perawatan bayi intesif31.
-
Glass melaporkan bahwa bayi prematur yang dirawat di ruangan
dengan cahaya terang
benderan 32% lebih besar peluangnya terkena RPP diabandingkan
mata bayi yang
mendapat perlindungan dari paparan cahaya. Meskipun hal ini
tidak secara kuat
menunjukan kepada pengaruh cahaya pada retinopati pada
prematuritas, tapi Glass
menyatakan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menyatakan
cahaya fluoresen aman
bagi mata bayi32. Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur
diduga menimbulkan
pengaruh untuk terjadinya RPP, namun masih diperdebatkan
terdapat mekanisme
terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada
tempat perawatan
bayi intesif31. Hasil yang didapat pada penelitian ini sangat
dipengaruhi oleh perbedaan
intensitas paparan yang tidak terlalu besar1.
5. Karbondioksida
Retensi karbondioksida dapat mengakibatkan destruksi pembuluh
darah retina bayi
prematur oleh terapi oksigen3. Patz melaporkan bahwa retensi
karbondioksida adalah
faktor tunggal terpenting yang membedakan kejadi RPP pada
penelitiannya pada bayi
dengan berat badan lahir < 1000 gram, namun Biglan dan Brown
tidak melihat pengaruh
retensi karbondioksida terhadap insiden RPP dan malah
mendapatkan bahwa bayi dengan
RPP tingkat lanjut memiliki PCO2 serum yang lebih rendah
dibandingkan kelompok
kontrol10.
6. Septikemia
Beberapa penulis menunjukan septikemia sebagai salah satu faktor
resiko RPP10.
Gunn et al, pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat badan
1500 gr yang
mendapatkan suplementasi oksigen: sepsis adalah salah satu
faktor yang kuat akan
terjadinya insiden RPP. Mittal et al mejelaskan bahwa sepsis
oleh kandida adalah faktor
resiko yang berdiri sendiri dalam memperberat kejadian RPP dan
mengakibatkan bayi
prematur membutuhkan terapi bedah laser.
7. Faktor Resiko Lain
Beberapa keadaan yang juga dilaporakan sebagai faktor resiko
untuk timbulnya RPP,
namun karena belum banyak peneliti lain yang juga menilai faktor
yang sama, perannya
masih membutuhkan lebih banyak data untuk mendapatkan
validitasnya. Faktor tersebut
adalah sianosis, apnea, ventilasi mekanis, perdarahan
intraventrikular, kejang, PDA,
-
preparat xanthine, preparat indometasin, asidosis, hipoksia
intrauterin, distres
pernafasan3,10,31.
Kecenderungan untuk menilai bahwa RPP diakibatkan oleh
terpaparnya bayi
prematur terhadap berbagai faktor resiko setelah lahir namun,
pada kenyataannya ada bayi
yang sudah mengalami threshold RPP pada hari pertama atau kedua
kehidupan yang
memberi kesan bahwa retinopati sudah terjadi intrauterin sebelum
bayi terpapar degan
berbagai faktor resiko setelah lahir1. Ogden memperkirakan
sepertiga kasus RPP memiliki
kecenderungan untuk dipengaruhi oleh faktor-faktor prenatal
dibandingkan faktor-faktor
setelah lahir31.
V. Patofisiologi
RPP adalah penyakit 2 fase. Fase pertama mengacu pada obliterasi
pembuluh darah
hyperoxia dan fase kedua adalah kondisi neovaskularisasi pada
keadaan hipoksia35. Keadaan
neonatal hyperoxia, terjadi pada bayi prematur usai kelahiran
dan saat hari pertama kehidupan,
mengakibatkan penutupan bagian dari pembuluh darah retina via
proses apoptosis dan regresi
kapiler secara luas. Akibatnya, vaskularisasi normal akan
terganggu sehingga menciptakan
keadaan iskemik dari retina.
Fase 1: Hyperoxia-Vasocessation40
Fase pertama RPP terjadi setelah kelahiran dengan umur gestasi
berkisar 30-31 minggu.
Administrasi oksigen pada fase ini juga akan memperburuk
hyperoxia, meningkatkan level
obliterasi pembuluh darah. Pada saat kebutuhan metabolik
perkembangan mata meningkat,
bagian mata yang imatur tidak mendapatkan perfusi yang cukup
sehingga daerah tersebut
menjadi lebih hipoksia sehingga menstimulasi produksi VEGF
berlebihan yang bersifat
patologis. Oleh sebab itu, akan terjadi neovaskularisasi
abnormal pada retina yang disebut
sebagai RPP.
Fase 2: Hypoxia-Vasoproliferation40
Fase ini terjadi pada umur gestasi 31-32 tahun. Tingkat VEGF
meningkat ketika retina
berada pada keadaan hipoksia dan VEGF mRNA akan dieksperikan
pada zona avaskular pada
mata bayi dengan threshold RPP36. IGF-1 adalah faktor
pertumbuhan lain yang penting dan
levelnya bergantung pada berat badan bayi dan umur gestasi37.
IGF-1 penting dalam
perkembangan pembuluh darah normal di retina dan seluruh tubuh
dengan meregulasi tingkat
-
VEGF tanpa pengaruh tingkat oksigen37. Ketika level IGF-1,
pembuluh darah tidak akan
berkembang. IGF-1 bergantung pada ketersediaan nutrisi dan
diatur dengan mekanisme yang
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Oleh sebab itu, IGF-1 yang
tidak bergantung pada oksigen
dan VEGF yang bergantung pada oksigen, memiliki relasi sinergik.
Tingkat IGF-1 yang rendah
dapat digunakan untuk memprediksi RPP namun, IGF-1 juga
dihasilkan pada jaringan lain
sehingga tingkat IGF-1 yang rendah dapat menjadi marker umum
pada bayi yang sakit dengan
resiko RPP.
Peningkatan level IGF-1 secara bertahap akan mencapai level
threshold, sehingga
menstimulasi VEGF untuk memulai neovaskularisasi39. Pada proses
ini, hormon lain seperti
growth hormone (GH) juga berperan dalam neovaskularisasi tanpa
bergantung pada level
oksigen39.
VI. Karakteristik
Pada tahun 1984, 23 oftamologi dari 11 negara membentuk
International Classification of
Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini
membagi lokasi penyakit ini dalam
zona-zona pada retina (1,2, dan 3), penyebaran penyakit
berdasarkan arah jarum jam (1-12),
dan tingkat keparahan penyakit dalam stadium (0-5)41. RPP dapat
dinilai berdasarkan:
Lokasi / Zona1
Zona I RPP
Dikutip dari:
http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall
-
I: Terletak pada retina posterior dalam area dekat dengan titik
pusat N. Optikus. Pada zona
pertama, sifatnya paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus
optikus. RPP yang terletak pada
zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap sebagai kondisi
yang kritikal dan harus
dimonitor dengan ketat. Zona I tidak mengikuti aturan ICROP41.
Area ini sangat kecil dan
perubahan pada area dapat terjadi dengan sangat cepat,
kadangkala dalam hitungan hari. Tanda
utama dari perburukan penyakit ini bukanlah didapatinya
neovaskularisasi (seperti pada zona
lain, menurut ICROP) tetapi dengan ditemukannya pembuluh darah
yang mengalami
peningkatan dilatasi41.
Zona II RPP
Dikutip dari:
http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall
II: Terletak dari cincin posterior (zona 1) ke arah oraserata
nasal. Zona 2 dapat berkembang
dengan cepat namun biasanya didahului dengan tanda bahaya
(warning sign) yang
memperkirakan terjadinya perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda
bahaya tersebut antara lain:
(1) tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan
vaskular meningkat);
biasanya merupakan tanda bahwa penyakit ini mulai agresif. (2)
dilatasi vaskular yang
meningkat. (3) tampak tanda hot dog pada ridge; merupakan
penebalan vaskular pada ridge;
hal ini biasanya terlihat di zona posterior 2 (batas zona 1) dan
merupakan indikator prognosis
yang buruk.
-
Zona II RPP
Dikutip dari:
http://emedicine.medscape.com/article/976220-overview#showall
III: Berbentuk bulan sabit yaitu daerah yang tidak dicakup zona
2 pada daerah temporal.
Biasanya zona ini mengalami vaskularisasi lambat dan membutuhkan
evaluasi dalam setiap
beberapa minggu. Banyak bayi yang tampak memiliki penyakit pada
zona 3 dengan garis
demarkasi dan retina yang nonvaskular. Kondisi ini ditemukan
pada balita dan dapat
dipertimbangkan sebagai penyakit sikatrisial. Pada zona ini,
jarang ditemukan penyakit yang
agresif sehingga squale penyakit juga tidak didapati.
Luas1
Penyebaran penyakit dapat dibagi berdasarkan arah jarum jam
(1-12).
Stadium / Tingkat Berat1
Stadium 0 adalah bentuk yang paling ringan dari RPP. Bentuk ini
merupakan vaskularisasi
retina yang imatur. Stadium ini tidak memiliki demarkasi retina
yang jelas antara retina yang
tervaskularisasi dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat ditentukan
perkiraan perbatasan pada
pemeriksaan.
-
Zona I: Akan ditemukan vitreus yang berkabut dengan saraf optik
sebagai satu-
satunya landmark. Oleh sebab itu, lebih baik dilakukan
pemeriksaan ulang setiap
minggu.
Zona II: Sebaiknya dilakukan pemeriksaaan setiap 2 minggu.
Zona III: Pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai.
Garis Demarkasi pada Stadium I RPP
Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm
Stadium I ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular
dan avaskular pada
retina. Garis ini tidak mempunyai ketebalan.
Zona I: Tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya
pertama kali pada
daerah nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pebuluh
retina rampak
halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap
minggu.
Zona II: Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
Zona III: Sebaiknya dilaukan setiap 3-4 minggu
-
Ridge Menebal pada Stadium II RPP
Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm
Stadium II: Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area
vaskular dan avaskular
retina.
Zona I: Apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini
merupakan tanda
bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit
ini dapat
dipertimbangkan telah memburuk dan harus segera dilakukan
tatalaksana dalam 72
jam.
Zona II: Apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak
terjadi pembesaran
ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.
Zona III: Pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali
ditemukan
adanya pembentukan arkade vaskular.
-
Extraretinal Fibrovascular Poliferation pada Stadium III RPP
Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm
Stadium III: Ditemukan poliferasi fibrovaskular extraretinal
(neovaskularisasi) pada ridge,
pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga
vitreus.
Zona I: Apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi
ini merupakan
kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.
Zona II: Prethreshold adalah bila terdapat stadium III dengan
penyakit plus
(keberadaan tortous dilated vessels pada posterior pole dengan
stadium apapun
pada RPP).
Zona III: Pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali
bila ditemukan
adanya pembentukan arkade vaskular
-
Subtotal Retinal Detachment pada Stadium IV RPP
Dikutip dari www.rostimes.com/2011RJO/RJO20110113.htm
Stadium IV: Ablasio retina terjadi secara subtotal yang berawal
dari ridge. Retina tertarik
ke anterior ke dalam vitreus oleh ridge fibrovaskuler.
Stadium 4A: Tidak mengenai fovea
Stadium 4B: Mengenai fovea
Stadium V: Ablasio retina terjadi secara total berbentik seperti
corong (funnel)
Stadium 5A: Corong terbuka
Stadium 5B: Corong tertutup
V. Pemeriksaan Penunjang41
Standar baku untuk menegakan diagnosis RPP adalah pemeriksaan
retina dengan
menggunakan oftalmoskop binokular indirek. Dibutuhkan
pemeriksaan dengan dilatasi fundus
dan depresi skleral. Alat-alat yang digunakan adalah spekulum
Sauer (untuk menjaga mata
tetap dalam keadaan terbuka), depresor skleral Flynn (untuk
merotasi dan mendepresi mata),
-
dan lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih
akurat). Bagian pertama pada
pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis
retina bila ditemukan. Tahap
berikutnya adalah pemeriksaan pada kutub posterios, untuk
mengidentifikasi adanya penyakit
plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya
penyakit zona I. Apabila
pembuluh nasal tidak terletak pada nasal ora serrata, temuan ini
dinyatakan masih berada pada
zona II. Apabila pembuluh darah nasal telah mencapai nasal ora
serrata, makan mata berada
pada zona III.
VI. Tatalaksana
Terapi Bedah Ablatif (Ablative Therapy)
Tatalaksana RPP telah berubah dari penggunaan kiroterapi menjadi
terapi diode laser
photocoagulation setelah pembelajaran klinis menunjukan
kelebihan dari terapi laser42. Terapi
laser dapar diaplikasikan melalui 2 media: transpupillary atau
trans-scerally dan waktu
pengobatannya telah diubah menjadi pada awal terjadinya RPP43.
Walaupun ablasi dari retina
perifer dengan laser memang dapat menurunkan perjalanan dan
insiden penyakit seperti pada
pembelajaran ETROP, pasien masih memiliki penglihatan yang buruk
setelah terapi tersebut,
terutama RPP pada zona I18. Oleh sebab itu, hasil dari terapi
mungkin juga bergantung pada
kemampuan bedah operator atau tingkat VEGF dalam vitreus yang
tidak dapat diturunkan
dengan retinal laser photocoagulation18. Selain itu, terapi
laser juga memiliki beberapa
kekurangan seperti edema kornea, reaksi anterior chamber,
perdarahan intraocular,
pembentukan katarak, perubahan tekanan intraokular18. Terapi
laser juga memiliki efek
samping yang berkelanjutkan seperti penurunan penglihatan yang
cukup dalam, strabismus,
pelepasa retina18. Namun satu-satunya tatalaksana RPP yang telah
terbukti secara evidence-
based hanyalah laser photocoagulation, tegantung dengan tingkat
keparahannya, dapat
dikombinasikan dengan pembedahan vitreoretinal18.
Antivascular Endothelial Growth Factor Therapy
VEGF adalah potent mitogen untuk sel endotel vaskuler dan
dibutuhkan untuk
angiogenesis fisiologis yang diregulasi dengan hipoksia
jaringan37. Namun VEGF juga dapat
menstimulasi angiogenesis patologis. Oleh sebab itu,
menghentikan fungsi VEGF
berkemungkinan untuk menurunkan aktivitas pembuluh darah yang
diasosiasikan dengan
RPP23. Penggobatan saat ini adalah terapi ablasi retina dengan
menggunakan krio atau laser
photocoagulation yang secra tidak langsung menurunkan VEGF
dengan meng-ablasi retina
-
perifer yang tidak memiliki pembuluh darah18. Pada sisi lain,
obat anti-VEGF bekerja dengan
unggul karena dapat mengurangi kehancuran jaringan namun
menurunkan VEGF pada retina
dan vitreus44. Beberapa obat yang tersedia: pegaptanib sodium
untuk partial blockage dari
VEGF-A atau ranibizumab, bevacizumab, dan aflibercept untuk
pan-VEGF blokage.
Pegaptanib sodium adalah anti-VEGF yang dianggap opsi yang lebih
aman untuk
perkembangan fisiologis bayi prematur karena bekerja sebagai
selective VEGF-165 tanpa
membloke seluruh isoform VEGF. Autrata et al berhasil menunjukan
hasil yang baik dengan
penggunaan intravitreal pegaptanib untuk tatalaksana RPP stadium
3+ tanpa adanya
komplikasi sistemik dan okular45. Ranibizumab memiliki yang
lebih pendek dibandingkan
bevacizumab sehingga secara teori, dapat menurunkan resiko
komplikasi sistemik pada bayi
prematur46. Afibercep ada protein gabungan yang memblokade
seluruh isoform VEGF-A dan
memiliki ikatan afinitas yang tinggi sekaligus half-life
intraocular yang lebih panjang sehingga
efek klinis menjadi lebih panjang di bandingkan ranibizumab atan
bevacizumab46.
Bevacizumab adalah antibodi recombinant yang mengikat seluruh
isoform VEGF-A47. Hal
ini berpotensi merugikan karena pembentukan vaskular fisiologis
dapat terganggu pada waktu
yang bersamaan. Namun berat molekular yang tinggi dan sifatnya
sebagai antibodi
recombinant dengan paruh hidup, membuat obat tersebut memiliki
periode efektivitas yang
lebih lama. Ketika terapi ablasi membutuhkan pelatihan dan alat
khusus, bevacizumab adalah
obat yang tidak mahal dan dapat diadministrasikan dengan mudah.
Oleh sebab itu
penggunaanya sangat populer pada bayi dengan RPP47. Namun,
bavacizumab adalah obat
untuk kanker dengan penggunaan intravena, yang belum mendapatkan
persetujuan untuk
penggunaan di mata ataupun pada bayi18.
Propanolol
Propanolol telah digunakan untuk pengobatan infantile
hemangiomas, dan propanolol
dihipotesis memiliki efek untuk menurunkan VEGF yang bergantung
pada apikasi
sistemiknya48. VEGF dilaporkan memiliki efek blokade terhadap
-adrenergic receptor pada
regulasi angiogenesis retina sehingga menurunkan ekspresi VEGF
dan IGF-1, neovaskularisasi
retina, dan vascular leakage pada model tikus yang memiliki
RRP49. Di sisi lain propanolol
memiliki efek samping yang buruk seperti bradikardi, blokade
jantung, hipotension,
bronkospasme, hipoglikemi, dan dislipidemi50. Efek dari obat ini
mungkin akan
mengecewakan pada bayi prematur yang sangan rentan sehingga
keuntungan dan keamanan
propanolol untuk pengobatan RPP masih membutuhkan lebih banyak
data agar validitas
penggunaannya bisa tercapai.
-
Terapi Gen
Chowers et al, dapat menunjukan bahwa gen transfer intravitreal
dapat dilakukan pada
model tikut dengan RPP51. Lokal gen tranfer yaitu transfer
intraocular dengan menggunakan
virus recombinant yang membawa gen angiostatic protein,
berpotensi memberikan regulasi
vaskularisasi retina yang spesifik dan dapat dipertahankan51.
Walaupun terapi gen menunjukan
hasil yang baik pada penelitian hewan, namun keamanannya masih
belum dapat dipertanggung
jawabkan pada bayi prematur.
Terapi Suplementasi51
Omega-3 polyunsaturated fatty acids dilaporkan memiliki efek
protektif terhadap
neovaskularisasi patologis karena peningkatan pemulihan pembuluh
darah usai hilangnya
pembuluh tersebut. Efek ini dihipotesis memiliki korelasi dengan
supresi tumor necrosis
factor-alpha (TNF-). Suplementasi omega-3 mungkin dapat
menguntungkan untuk mencegah
RPP namun lebih banyak data lagi untuk mengegakkan keuntungan
dan keamanan
penggunaannya.
Erythropoietin (EPO) dilaporkan sebagai oxygen-regulated retinal
angiogenic growth
factor. Namun sebenarnya fungsi dari erythropoietin dalam
angiogenesis fiosogis masih belum
diketahui. Ditemukan beberapa studi yang menunjukan adanya
asosiasi administrasi EPO
dengan RPP pada bayi prematur. Suk et al berhasil menunjukan
bahwa bayi prematur dengan
RRP yang mendapatkan terapi EOP, ternyata memiliki threshold RPP
yang lebih tinggi
dibandingkan yang tidak mendapatkan terapi EPO. Namun tinjauan
lebih lanjut diperlukan
untuk memvalidasi efikasi dan keamanan pengunaan EPO.
Granulocyte colony-stimulating factor (GCSF) adalah sitokin
biologis yang bekerja
meningkatkan jumlah leukosit. GCSF dapat meningkatkan IGF-1 yang
mempromosikan
vaskularisasi normal. Oleh sebab itu GCSF dapat mendukung proses
angiogenesis pada retina
iskemik tanpa memberikan efek negatif terhadap VEGF.
Vitamin E adalah antioksidan yang berfungsi mencegah stress
oksidative pada bayi
prematur yang rentan terhadapnya, sehingga mengakibatkan
penyakit oxygen-radical disease,
salah satunya RRP. Namun penggunaanya masih menghasilkan data
yang konflik sehingga
penggunaanya tidak diannjurkan. Vitamin E memiliki efek samping
peningkatan kejadian
sepsis dan necrotizing enterocolitis pada bayi prematur apabila
diberikan cepar melalui
intravena.
-
VII. Tindak Lanjut41
Dasar pemeriksaan untuk menindaklanjuti pasien dengan RPP adalah
hasil dari
pemeriksaan awal. Semakin imatur vaskularisasi retina aatau
semakin serius kondisi
penyakitnya, semakin pendek masa interval follow-up lanjutan
yang harus dolakukan oleh
pasien sehingga perkembangan sekecil apapun mengenai perjalanan
penyakit akan segera
dideteksi.
Setelah intervensi bedah dilaksanakan, oftamologis harus
melakukan pemeriksaan setiap
1-2 minggu untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan.
Pasien yang dimonitor ini
harus menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur.
Banyak pasien yang
kehilangan penglihatannya akibat monitor yang tidak teratur.
Pada pasien yang tidak
mendapatkan tatalaksana, ablasio retina biasanya akan terjadi
pada usia kelahiran 38 -42
minggu.
Juga 20% dari bayi prematur akan mengalami strabismus dan
kelainan refraksi. Oleh sebab
itu, penting untuk melakukan pemeriksaan oftamologis setiap 6
bulan hingga bayi berusi 3
tahun. Dan juga 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita
glaukoma dikemudian hari,
maka pemeriksaan harus dilakukan setiap tahun.
VIII. Prevensi41
Satu-satunya pencegahan yang bermakna adalah pencegahan
kelahiran bayi prematur. Hal
ini dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin
matur bayi yang lahir,
semakin kecil kemungkinan bayi menderita RPP. Penelitian
menunjukan bahwa pemberian
kortikosteroid dalam masa antenatal memiliki efek protektif
terhadap tingkat keparahan RPP.
Selain itu, penelitian lain juga melaporkan bahwa terapi
suplementasi oksigen dengan target
saturasi 83-93% dapat menurunkan insiden RPP.
IX. Komplikasi
Komplikasi jagka panjang dari RPP antara lain: miopia,
ambliopia, strabismus, nistagmus,
katarak, ruptur retina, dan ablasio retina. Vanderveen et al
meneliti bahwa strabismus pada
penyakit ini dapat membaik pada usia 9 bulan.
X. Prognosis
Prognosis RPP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan
stadiumnya. Pada pasien yang
tidak mengalami perburukan dari stadium I atau II memiliki
prognosis yang baik dibandingkan
pasien dengan penyakit pada zona I posterior atau stadium III,
IV, dan V.
-
Daftar Pustaka
1. Alfian N. Faktor-faktor untuk terjadinya retinopati pada
prematuritas. Sari Pediatri vol. 3.
No. 3. December 2001.
2. Royal college of paediatrics and child health. Guideline
screening and treatment of
retinopathy of prematurity. UK Retinopathy of Prematurity
Guideline. May, 2008.
3. Flynn JT. Retinopathy of prematurity. Pediatric opthalmology.
Edisi ke-3. Philadelphia.
Sounders, 1991, h. 59-77.
4. Palmer EA et al. Incident and early course of retinopathy of
prematurity. Opthalmology
1991.
5. Phelps DL. Retinopathy of prematurity. An estimate of vision
loss in the United States-
1979. Pediatric, 1981.
6. Quinn GE. Retinopathy of prematurity. Intensive care of the
featus and neonate. St. Luois.
Mosby, 1996.
7. American academic of opthalmology. Retina and vitreous. Basic
and clinical science
course section. USA, 1997.
8. Grasber JF. Retinopathy of prematurity. Neonatology:
Management, procedures, on call
problems, diseases, and drugs. Edisi ke-4. Standford. Appleton
& Lange, 1999.
9. Flynn JT et al. Retinopathy of prematurity diagnosis,
severity, and natural history.
Opthalmology, 1987.
10. Patz A, Palmer EA. Retinopathy of prematurity. Retina vol
II. St. Louis. Mosby, 1989.
11. Kansky JJ. Retinal vascular disorder. Clinical opthalmology.
Edisi ke-3. London.
Butterworth Heinemann, 1994.
12. Miller SJH. Disease of retina. Persons disease of the eye.
Edisi ke-18. Edinburg. Churchill
livingstone, 1990.
13. Campbell K (1951). Intensive oxygen therapy as a possible
cause of retrolental fibroplasia.
A clinical approach. Med J Aust, 1951.
14. Ashton N et al. Role of oxygen in the genesis of retrolental
fibroplasia. A preliminary
report. Br J Opthhalmol, 1953.
15. Jing C, Lois E et al. Retinopathy of prematurity. Original
paper. Angiogenesis, 2007.
16. Kinsey VE et al. PaO2 levels and retrolental fibroplasia. A
report of the cooperative study.
Pediatrics, 1977.
-
17. Flynn JT. Acute proliferative retrolental fibroplasia.
Multivariate risk analysis. Trans Am
Opthamol Soc, 1983.
18. Fatih MM, Serdar UC. Treatment of retinopathy: A review of
conventional and promising
new therapeutic options. Int J Opthalmol, 2013.
19. Fruttiger M. Development of the retinal vasculature.
Angiogenesis, 2007.
20. Mecolm JR et al. VEGF isoforms and their ecpression after a
single episode of hypoxia or
repeated fluctuations between hyperoxia and hypoxia. Relevance
to clinical ROP, 2004.
21. Dorell MI et al: retinal vascular development is mediated by
endothelial filopodia, a
preexsisting astrocytic template and specific R-cadherin
adhesion. Invest Opthalmol,
2002.
22. Weidemann A et al. Astrocyte hypoxic response is essential
for pathological but not
developmental angiogenesis of the retina. Glia, 2010.
23. Smith LE et al. Essential role of growth hormone in
ischemia-induced retinal
neovascularization. Science, 1997.
24. Seghezzi G et al. Fibroblast growth factor-2 (FGF-2) induces
vascular endothelial growth
factor (VEGF) expression in the endothelial cells forming
capillaires: an autocrine
mechanism contributing to angiogenesis. J Cell Biol, 1998.
25. Senger DR et al. Tumor cells secrete a vascular permeability
factor that promotes
accumulation of ascites fluid. Science, 1983.
26. Brooks SE et al. The effect of blood transfusion protocol on
retinopathy of prematurity
prospective. Randomized study. Pediatrics, 1999.
27. Sacks et al. Retrolental fibroplasea and blood transfusion
in a very low birth weight infants.
Pediatric, 1981.
28. Clark et al. Blood transfusion: a possible risk factor in
retrolental fibroplasia. Acta Pediatr
Scond, 1981.
29. Payne JW. Retinoapthy of prematurity. Disease of the
newborn. Edisi ke-5. Philadelphia.
Sounders, 1984.
30. Sullivan L. Iron, plasma antioxidants and the oxygen radical
of prematurity. AJDC, 1988.
31. Risk factor for retinopathy of prematurity. Country hills
eye centre. Dikutip dari:
www.connection.com/eyedoc/roprisk.html.
32. What causes retinopathy of prematurity. Dikutip dari:
www.rdcbraille.com/pbpb-c.html.
33. Reynolds JD et al. Effect of light reduction on retinopathy
of prematurity (Linght-ROP).
N Engl J Med, 1998.
34. Gunn TR et al. Risk factors in retrolental fibroplasia.
Pediatrics, 1980.
-
35. Smith LE et al. Essential role of growth hormone in
ischemia-induced retinal
neovascularization. Science, 1997.
36. Young TL et al. Histopathology and vascular endothelial
growth factor in untreated and
diode laser-treated retinopathy of prematurity. JAAPOS,
1997.
37. Mutlu FM et al. Screening for retinopathy of prematurity in
a tertiary care newborn unit in
Turkey: frequency, outcome, and risk factor analysis. J
Pediatric Opthalmol Strabismus,
2008.
38. Chen et al. Current update on retinopathy of prematurity:
screening and treatment. Curr
Opin Pediatr, 2011.
39. Ola DS. Retinopathy of prematurity: What is new? Original
article. University of Olso,
2015.
40. Faith M, Serdar US. Review: Treatment of retinopathy of
prematurity: a review of
conventional and promosing new therapeutic options.
41. Bashour M. Retinopathy of prematurity. Emedicine. November,
2008. Diakses:
www.emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis.
42. Connoly BP et al. A comparison of laser photocoagulation
with cryotherapy for threshold
retinopathy of prematuriy at 10 years part 2. Refrective
outcome. Opthalmology, 2002.
43. Cooke WI et al. Genetic polymorphisms and retinopathy of
prematurity. Invest Opthalmol.
Vis Sci, 2004.
44. Naug H et al. Vitreal macrophages express VEGF165 in
oxygen-induced retinopathy. Clin
Experiment Opthalmol, 2000.
45. Autrata R et al. Intravitreal pegaptanib combined with diode
laser therapy for stage 3+
retinopathy of prematurity in zone 1 and zone II. Eur J
Opthalmol, 2012.
46. Stewart MW. The expanding role of vascular endothelial
growth factor inhibitors in
opthalmology. Myo Clinic Proc, 2012.
47. Krohne T et al. Intraocular pharmacokinetics of bevacizumab
after a single intravitreal
injection in humans. Am J Opthalmol, 2008.
48. Filippi L et al. Study protocol: Safety and efficact of
propanolol in newborns with
retinopathy of prematurity (PRO-ROP). BMC Pediatr, 2011.
49. Ristori C et al. Role of the adrenergic system in a mouse
model of oxygen-induced
retinopathy: Antiangiogenic effects of beta-adrenoreceptor
blokade. Invest Opthalmol,
2011.
50. Chen J et al. Propanolol inhibition of -adrenergic receptor
does not supress pathologic
neovascularization in oxygen-induced retinopathy. Invest
Opthalmol, 2012.
-
51. Chowers et al. Gene transfer by viral vectors into blood
vessels in a rat model of
retinopathy of prematurity br J Opthalmol, 2001.