LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan Judul:PTERIGIUMDiajukan untuk memenuhi salah satu
syarat menyelesaikanKepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata RSUD
BekasiPeriode 5 Januari 2015 7 Februari 2015
Disusun oleh:Oryza Sativa030.08.189
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Ria Mekarwangi, Sp.M
selaku dokter pembimbing Ilmu Kesehatan Mata RSUD Bekasi pada
tanggal , 21 Januari 2015
Jakarta, Januari 2015Mengetahui,
dr. Ria Mekarwangi, Sp.M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat
yang berjudul Pterygium ini. Adapun penulisan referat ini dibuat
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu
Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi periode 5 Januari 2015 s/d 7
Februari 2015.Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Ria Mekarwangi, Sp.M selaku pembimbing
yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan
referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua
pihak yang turut serta membantu penyusunan referat ini yang tidak
mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak.Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk
segala kekurangan dalam referat ini, penulis memohon maaf dan juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif bagi
perbaikan referat ini. Terima kasih.
Jakarta, Januari 2015
(Penulis)
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN1KATA PENGANTAR2DAFTAR ISI 3BAB I :
PENDAHULUAN4BAB II : PEMBAHASAN5Definisi 5Epidemiologi dan
Insidens5Anatomi
Konjungtiva6Etiologi10Klasifikasi11Patofisiologi13Gambaran
Klinis17Diagnosis19Diagnosis
Banding19Penatalaksanaan21Komplikasi22Prognosis23BAB III :
KESIMPULAN24BAB IV : PENUTUP 25DAFTAR PUSTAKA26
BAB IPendahuluan
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa,
kasus-kasus pterigium cukup sering didapati. Mereka yang sering
bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropis.
Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA
& UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada pada di
lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.
13Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratifdan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga,
dan umumnya bilateral di sisi nasal. Temuanpatologik pada
konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin
dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah
pupil, lesi harus diangkat secarabedah bersama sebagian kecil
kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft
konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko
kekambuhan.7
BAB IIPEMBAHASAN
I. DEFINISI
Pterigium merupakan penyakit mata yang umumnya terjadi di
wilayah beriklim tropis dan dialami oleh orang yang bekerja atau
beraktivitas di luar dibawah terik sinar matahari dan terpapar
dengan debu dan angin. Umumnya terjadi pada usia yang lebih tua,
meskipun terdapat juga pada usia muda. Diduga paling sering adalah
paparan berlebihan dari sinar matahari, namun penyebab pastinya
masih belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Selain itu
dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti asap, debu,
zat alergen, kimia dan pengiritasi lainnya..1 Pterigium (L.
Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik
dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada
konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman2-4. Pterigium dapat
bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi
fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat
merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian
tengah optik kornea.5 Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu
kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti
tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan
tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup
berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6 Banyak literatur
melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi
penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang
mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus
juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor
etiologi.1-3,7
II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak
bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara
0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap
paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi
geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 370 utara dan
selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.8 Sebuah studi epidemiologis
oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun)
di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara
khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%)
sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia
40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi
pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan
Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih
dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga
melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat
prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua
ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan
penduduk kulit hitam dari Barbados. 9Secara umum studi lain
pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring
bertambahnya usia.9 Hal yang jarang terjadi untuk seseorang
menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari
40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium,
sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden
tertinggi terjadinya pterigium.10 Hal yang berbeda dengan beberapa
studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.9
Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 %
- 52 %. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada
penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun.
Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa
kekambuhan pasca transplantasi limbal sel sebesar 14 % dan
kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival
graft sebesar 3-5%.3
III. ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi
permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran
mukosa ini karena fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan
kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan
membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang
terbuka di depan fisura palpebral.2Konjungtiva dapat dibagi menjadi
3 bagian (Gam. 2): Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi
permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus.
Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal,
tarsal, orbital.2,11 Konjungtiva marginal membentang dari tepi
kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke
alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona
transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva
tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini
melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak
mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva
orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.2Konjungtiva
bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada
limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea.2,11 bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh
jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran
tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea
disebutkonjungtiva limbal.2 Konjungtiva fornix, merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya
dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan
struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior
serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika
otot-otot tersebut berkontraksi.11Secara histologis, konjungtiva
terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan
lapisan fibrosa.2 1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva
bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian
sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel
gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel:
lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam
terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris
memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel
silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan
dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi
lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng. 2.
Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan
terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana
terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di
forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan
berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan
bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi
folikuler.3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat
kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan
adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini
sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari
konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di
daerah konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi
musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari
sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel),
Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz
(ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini
mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar
Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks,
sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan
kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior
dan sepanjang batas bawah tarsus inferior). 2,12
Gambar 1. Anatomi Konjungtiva
Gambar 2. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,
konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.dikutip dari
kepustakaan 11
Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan
2Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna
merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas
bebas lateralnya berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil,
oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada
kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan
ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.2Arteri yang
memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yaitu arkade
arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan
arteri ciliaris anterior (Gam. 2). Konjungtiva palpebralis dan
forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer
dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set
pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan
cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior
yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang
terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan
arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena
konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan
beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris
anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan,
yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral
bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke
limfonodus submandibular.2,12 Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.12
IV. ETIOLOGI
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit
ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena
itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek
berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari
(sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini,
beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi
mungkin.1-3,7 Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel
induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi
limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang
menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV
tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa
gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat dalam
patogenesis pterigium.8
V. KLASIFIKASIPterigium dapat dibagi ke dalam beberapa
klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan
berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 131.
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3: Tipe I: Pterigium
kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4mm dan mengganggu aksis
visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks
dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium
yaitu:7,13 Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang
transparan dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya
terbatas pada limbus kornea. Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh
darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi kornea tapi belum
mencapai pupil. Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang
menutupi pupil, vaskularisasi yang jelas Stadium 4: pertumbuhan
telah melewati pupil.3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya,
pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13 Pterigium progresif: tebal
dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di depan kepala
pterigium (disebut cap dari pterigium) Pterigium
regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membrane, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan terlihatnya
pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan
slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:13 T1(atrofi):pembuluh darah
episkleral jelas terlihat. T2(intermediet):pembuluh darah
episkleral sebagian terlihat. T3(fleshy,opaque):pembuluh darah
tidak jelas.
VI. PATOFISIOLOGI Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis
memainkan peran utama, patogenesis pterigium belum sepenuhnya
dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling matriks
ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic
mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat
dalam pathogenesis.8,14 Patogenesis pterigium ditandai dengan
degenerasi kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang
menutupi epitel.4, 5 Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada
gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada
terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium.
Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel
yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan
inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung
jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis
yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan
invasi pterigium ke dalam kornea.1,6,8 Sinar UV menyebabkan mutasi
pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast
elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada
program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen
lainnya. Hal ini menyebabkan multistep perkembangan pterigium dan
tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal.12,15
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga
menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur
p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting
TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterigium dapat menjelaskan
macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada
pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal)
menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang
menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel
pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju
ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva.
Karena produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan
pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi
sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan
pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom
lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh
epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea.
Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium
menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam
lapisan epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal
berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak
dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran
lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi
fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast
yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran
bowman.15 Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 4. 15
Gambar 4. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya
pterigium dikutip dari kepustakaan 15.
Gambar 5. Patogenesis invasif pterigium dikutip dari kepustakaan
15
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat
terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. 1,6,8 Limbal
stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan
membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi
localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar
UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6,12
Gambar 6. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh
karena sinar UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central
kornea. B. defisiensi limbal stem cell menyebabkan
conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari
kepustakaan 6
Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi,
seperti sejumlah besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T
(CD3 +), ditemukan di substantia propria spesimen pterigium. Hasil
ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin dari tipe
hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis
pterigium.6,16
VII. GAMBARAN KLINISPterigium lebih sering terjadi pada pria tua
yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi
unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan
segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal.
tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi
kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis
Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian Apeks (bagian apikal
pada kornea), Collum (bagian limbal), dan Corpus (bagian scleral)
membentang antara limbus dan yang canthus2Pterigium hanya akan
bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea.
Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada
jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu
motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda
atau diplopia.2,11
Gambar 7. Pterigium
Gambar 8. PterigiumA. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona
abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast,
menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada korneaB. Whitish:
Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea C.
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada
konjunctiva bulbi, area paling ujung
VIII. DIAGNOSIS Anamnesis Pada anamnesis didapatkan adanya
keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,
gangguan penglihatan, terasa mengganjal. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak
bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari
yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil
dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.12Pemeriksaan
fisikPada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskuler berbentuk segitiga pada permukaan kojungtiva,
berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera
dan selaput lendir luarmata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan. Pterigium dapat memberikan gambaran
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal. 2,12Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan
yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk
menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang
di sebabkan oleh pterigium. 12Test: Uji ketajaman visual dapat
dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium
tersebut.11Dengan menggunakan sonde dibagian limbus, pada pterigium
tidak dapat dilalui oleh sonde seperti padapseudopterigium.10IX.
DIAGNOSIS BANDING
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium.
Pseudopterigiumadalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada
kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar
dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka
bakar akibat zat kimia pada mata.2 Pada pengecekan dengan sonde,
sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea. Pada
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya
kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain
pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan
pannus dan kista dermoid.6
Gambar 9. pseudopterigium
Beda pterigium dengan
pseudopterigiumPterigiumPseudopterigium
SebabProses degeneratifReaksi tubuh penyembuhan dari luka bakar,
GO, difteri, dll.
SondeTak dapat dimasukkan di bawahnyaDapat dimasukkan
dibawahnya
KekambuhanResidifTidak
UsiaDewasaAnak
Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulae
yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di
daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak
bisa karenairitasi maupun karena air mata yang kurang baik. Pada
umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat
diberikan steroid topikal.12
Gambar 9. Pinguekulae
X. PENATALAKSANAAN
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,
penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat
diobati dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan
pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa
mungkin. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk
pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali
sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan padapenderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.10
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang
dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan
lanjutan yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah
mencapai daerah pupil, tunggu sampai melintasi di sisi lain), (3)
diplopia karena gangguan di gerakan okular.2Tujuan utama pembedahan
adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah
terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan saat
ini untuk pengelolaan pterigium.4,12 1. Bare sclera : bertujuan
untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sclera.
Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca
pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,122. Simple closure:
menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik
ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.2,123.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4.
Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.125. Conjungtival graft:
menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.2,4,8,12
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni
sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara
berikut:2,81. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi2. Post
poerasi beta iradiasi3. Conjungtival autograft4. Limbal and
limbalconjunctival transplantation5. Amniotic membrane
transplantation6. Cultivated conjunctival transplantation7.
Lamellar keratoplasty8. Fibrin glue
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia,
distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan
otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi,
diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment,
perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang
terjadi. 4,10Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia
dapat meliputi: Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia
dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah
perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk
ditangani.10Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium
adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi
tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi
sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal
atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada
kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang
melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.10
XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakn pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post
operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi
ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi
membrane amnion.10
BAB IIIKesimpulan
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada
mata dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah
katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis indonesia di
sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar
ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari
pterigium. Pterigiumbanyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktivitas laki-laki lebih banyak di luarruangan, serta dialami oleh
pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. Penderita dengan
pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun(asimptomatik), bisa
juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda
asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari
stadiumnnya. Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus,
tempat pemunculan pertamanya. Pertumbuhannya berjalan tidak
konstan. Terdapat periode klinis yang tenang, dan periode
pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat lambat.
Pterigium yang progresif tumbuh dan menjalar sampai ke tengah
kornea sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada fase awal yang
berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian
pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang
progresif pasien akan mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan
yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium tersebut. Bila
pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan harus
dilakukan
BAB IVPenutup
Demikian telah dibahas mengenai anatomi, definisi,
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan, diagnosis banding,
komplikasi, sertapenatalaksanaan pterigium. Semoga semua yang telah
kami bahas dalam referat ini dapat bermanfaat agar dapat lebih
memahami tentang pterigium danpenatalaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological
characteristics of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL
SCIENCE. 2010;10(4):308-13.
2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA,
editors. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age
International. 2007. p. 51 - 82.
3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska
Ekstirpasi Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi
Limbal Stem Sel. Medical Faculty of Diponegoro University. 2008;
1-18.
4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A
Brief Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical
Technique. Journal Of The Bombay Ophthamologists Association.
2008;11(4):129-30.
6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell
Disorder with Premalignant Features. The American Journal of
Pathology. 2011;178(2):817-27.
7. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto
Grafting in Pterigium Surgery. Postgraduate Department of
Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques
in pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308313.
9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence,
severity, and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:134146.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed
July 7,2012.
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang
EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook
Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.
Updated : 2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed
July 7 ,2012.
13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys
General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company.
2007. p. 67 - 72.
14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and
ligans ephrins. Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia
Pathogenesis: Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase
Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol.
2001;119:695-706.
16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and
Dacryocytis. The Antiseptic. 1998;95(11):1-4.
5