BAB 1
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Laryngopharyngeal Reflux (LPR) terjadi ketika asam lambung dan
enzim pepsin naik dari lambung menuju esofagus dan mengiritasi
laring dan faring. Gejala dari LPR ini akan mengakibatkan perubahan
suara, nyeri pada tenggorokan, batuk kering, susah menelan ataupun
rasa penuh pada tenggorokan. Adanya kegagalan dari fungsi sfingter
atas esofagus atau upper oesophagal sphincter (UOS) merupakan salah
satu faktor untuk terjadinya LPR.1,2
Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi
refluks ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal
reflux (GERD), hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan
disfungsi dari sfingter bawah esofagus atau lower esophagal
sphincter. Angka kejadian LPR cukup sering, diperkirakan LPR
menyerang sekitar 20% dari populasi dewasa di Amerika Serikat dan
pada beberapa studi dikatakan 50% yang mengalami suara serak
menderita LPR.3,4,5
Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala GERD. Kebanyakan
pasien dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar di dada.
Tujuh puluh satu persen penderita mengeluhkan suara serak yang
disertai rasa penuh di tenggorokan. Pada setiap penderita yang
dicurigai menderita LPR harus dilakukan 2 penilaian untuk melihat
skor reflux. Penilaian tersebut adalah Reflux System Indtex (RSI)
dan Reflux Finding Score (RFS). Dua penilaian ini digunakan untuk
menegakkan diagonosis dari LPR. 6,7
Penatalaksanaan LPR dibagi menjadi 3 yaitu perubahan pola hidup
dan edukasi pasien, terapi medikamentosa dan terapi bedah. Hal yang
perlu diperhatikan dari LPR adalah skreening untuk menilai adanya
kanker esofagal dan esofagus Barret, karena LPR merupakan salah
satu faktor risiko untuk terjadinya esophageal adenocarcinoma
(EAC).1,3,81.2 Tujuan PenulisanTujuan penulisan ini adalah untuk
mengetahui tentang laryngopharyngeal reflux (LPR) yang berguna
dalam pelaksanaan praktek kedokteran.
1.3 Metode PenulisanMetode penulisan makalah ini adalah dengan
menggunakan berbagai literatur sebagai sumber kepustakaan.1.4
Manfaat Penulisan1.4.1 Manfaat bagi Mahasiswa
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi
lebih dalam kepada mahasiswa laryngpharyngeal reflux.1.4.2 Manfaat
bagi Masyarakat
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan masyarakat
mengenai penyakit laryngopharyngeal reflux.BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
2.1.1. Faring
Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang
merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus. 9,10
Farinng adalah kontong fibrous yang membentuk seperti corong dimana
kantong ini dimulai dari dasar tengkorang dan menyambung dengan
esofagus setinggi vertebre servikal ke enam. Faring berhubungan
dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan mulut
melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan dengan
laring melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan
esofagus.10 Faring terbagi menjadi tiga, yaitu: 91. Nasofaring
adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga
nasal melalui dua naris internal (koana). Pada nasofaring terdapat
dua tuba eustacius dan amandel faring (adenoid) adalah penumpukan
jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran
adenoid dapat menghambat aliran udara.9 Nasofaring yang relatif
kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa struktur
pentung yaitu adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut dengan fossa russenmuller,
kantong rathke, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di
atas penonjolan akrtilsgo tuba eustacius, koana, foramen jugulare,
yang dilalui oleh nervus glossofaring, nervus vagus dan nervus
asesirius spinal saraf kranial dan vena jugularis interba, bagian
petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius. 102. Orofaring disebut juga mesofaring, dimana batas
atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglotis, batas depan rongga mulut, sedangkan ke belakang dengan
vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga faring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior , uvula, tonsil lingual, dan foramen
sekum.103. Laringofaring mengelilingi mulut esofagus dan laring
yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik
selanjutnya(sloane). Batas superiornya adalah tepi atas epiglotis,
batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta
batas posterior adalah vertebre servikal. Pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung struktur pertama kali yang terlihat
adalah valekula (pill pockets). Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral. Di bawah valekula terdapat
terdapat epiglotis, epiglotis berfungsi juga untuk melindung
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada
saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada
saat pemberian anestesi lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung. 10
Gambar 2.1. Anatomi Faring (Dikutip dari Grevers, 2006)Faring
mendapatkan perdarahan dari cabang arteri carotis eksterna (cabang
faring asenden dan fausial) serta dari cang arteri maksilaris
interna yakni cabang dari arteri palatina superior. Persarafan
faring terdiri dari sensorik dan motorik yang berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk dari cabang nervus
vagus, cabang nervus glossofaringeal dan serabut saraf simpatis.
Cabang farin dar nervus vagus berisi saraf motorik. Dari faring
yang eksternsif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring
kecuali muskulus stilofaring yang langsung dipersarafi oleh nervus
glossofaringeal. 10
Gambar 2.2. Anatomi Otot Penyusun Faring (Dikutip dari Grevers,
2006)2.1.2. Laring
Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea.
Laring berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh
sembilan kartilago tiga berpasangan dan tiga tidak berpasangan.9
Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya
ialah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring tersusun dari
satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang
hiolid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan
lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu
menelan, kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik
ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja
untuk membuka mulut dan membantu menggerakan lidah. Tulang rawan
yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid,
kartilago aritenoid, kartilago kunikulata, kartilago tiroid. 12
Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh
ligamentum krikotiroid. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang
terletak dekat permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan
kartilago krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang
kartilago kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di daerah
apex, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam
lipatan ariepiglotik.Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu
artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid Gerakan laring
dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
intrinsik. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas
tulang hioid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang
hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid ialah
m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m.milohioid. Otot
yang infrahioid ialah m.sternohioid, m.omohioid dan m.tirohioid.
Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik
laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas.
Otot-otot intrinsik laring ialah m.krikoaritenoid lateral,
m.tiroepiglotika,m.vokalis, m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika,
m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring.
Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah
m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid
posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali
m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor
(kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral. 12
Gambar 2.3. Anatomi Laring (Dikutip dari Hermani B & Hutaruk
S, 2007)
Gambar 2.4. Otot penyusun Laring (Dikutip dari Hermani B &
Hutaruk S, 2007)Pada laring terdapat pita suara asli ( plika
vokalis ) dan pita suara palsu (plika ventrikularis). Bidang antara
plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, dan bidang antara
plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika
vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3
bagian, yaitu : vestibulum laring/supraglotik (di atas plika
ventrikularis), glotik, dan subglotik (di bawah plika vokalis).
12Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.
laringis superior dan n. laringis inferior. Nervus laringis
superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi
pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula
terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah medial
a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor
tulang hioid, dan setelah menerima hubungan dengan ganglion
servikal superior, membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus
eksternus dan ramus internus. Nervus laringis inferior merupakan
lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya
menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari
n.vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan di
bawahnya, sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang arkus aorta.
12Pendarahan laring terdiri dari 2 cabang, yaitu: 121. Arteri
laringis superior, merupakan cabang dari arteri tiroid superior.
Berjalan melewati bagian belakang membran tirohioid dan menembus
membran ini untuk berjalan di submukosa dari dinding lateral dan
lantai sinus piriformis untuk mendarahi mukosa dan otot-otot
laring.
2. Arteri laringis inferior, merupakan cabang arteri tiroid
inferior. Berjalan ke belakang sendi krikotiroid, lalu masuk laring
melalui daerah pinggir bawah dari m. konstriktor faring inferior
dan mendarahi mukosa dan otot laring.
Gambar 2.5. Anatomi Perdarahan dan Persarafan Laring (Dikutip
dari Iro & Waldfahrer, 2006)
Gambar 2.6. Aliran darah dan Kelenjar Getah Bening Laring
(Dikutip dari Hermani B & Hutaruk S, 2007)Vena laringis
superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.
laringis superior dan inferior. Pembuluh limfa untuk laring banyak,
kecuali di daerah lipatan vokal. Disini mukosanya tipis dan melekat
erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh
limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. 122.1.3.
Esofagus
Esofagus adalah tuba muskulara dengan panjang 9 sampai 10 inch,
dengan diameter 1 inch, dimana esofagus berawal pada area terbawah
laringofaring, melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) pada
torakal kesepuluh dan membuka ke arah lambung. 14 Esofagus adalah
bagian daei saluran cerna yang menghubungkan hipofaring atau
laringofaring dengan lambung yang mana bagian proksimalnya disebut
introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah kaertilago
krikoid dan setinggi vertebre servikal enam. Dalam perjalananya
esofagus dari daerah servikal esofagus masuk ke dalam rongga torak,
di dalam rongga torak, esofagus berada di mediastinum superior,
antara trakea dan kolumna vertebrata, terus ke mediastinum
posterior di belakang atrium kiri dan menembus diafragma setinggi
vertebra torakal sepulu dengan jarak kurang lebih tiga sentimeter
di depan vetrebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen
dan bersatu dengan lambung di daerah kardia setinggi vertebra
torakal XI. 15
Gambar 2. 7 Anatomi Esofagus (Dikutip dari Grevers,
2006)Struktur dinding esofagus terdiri dari tiga lapis yang mana
mukosa tersusun dari epitel skuamosa yang diatasnya dilapisi dengan
lamina propria dan mukosa otot. Submukosa terbuat dari jaringan
elastis dan fibrosa dan yang mana adalah lapisan terkuat dari
dinding esofagus. Otot esofagus tersusun dari otot sirkuler pada
sisi dalam dan otot longitudinal pada lapisan. Pada sepertiga tiga
atas dari susunan otot esofagusterdiri dari otot luruik dan susuan
dua pertiga bawah terdiri dari otot polos. Sfingter atas esofagus
terbentuk dari otot krikofaringeus dengan muskulus konstriktor
faring inferior dan serabur dari dinding esofagus. Sfingter
esofagus bawah tidak terlalu jauh berbeda dengan struktur anatomi
sfingter esofagus atas. Namun sfingter esofagus bawah tidak
mempunyai lapisan serosa. 162.2. Definisi
Manifestasi dari penyakit refluks gastroesofagus di luar
esofagus didefinisikan sebagai refluks ekstraesofagus (REE).
Istilah Refluks lagringo Faring (RLF) adaalh REE yang menimbulkan
manifestasi dari penyakit penyakit oral, faring, laring dan paru.
Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks laringofaring adalah
pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke
laringofaring. (charles). Sehingga perlu diketahui adanya hubungan
yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh Penyakit
refluks gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagia
rinitis non alergi dengan sekret belakang hidung, rinofaringitis
nonspesifik, sinusitis rekuren. Keluhan yang timbul akibat REE
adalah keluhan tenggorokan terasa nyeri dan kering, panas di pipi,
sensai ada rasa menyumbat (globulus sensation), kelainan laring
dengan suara serak, batuk kronik, asma.82.3. Etiologi
Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai
berikut 8,17 : Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya (
pepsin) atau keduanya ke esofagus proksimal dan SEA yang berlanjut
dengan kerusakan mukosa faring dan laring.
Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang
menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah,
menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring. Defek pada
enzim karbonat anhydrase isoenzyme III
2.4. Epidemiologi
Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadapat
penyakit yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara
retrograde ini. Pada penelitian yang di lakukan di amerika
diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD, dimana
50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal
reflux (EER). 18Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar
antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter
spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10%
terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak
hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering
terlewatkan. 5Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara
15-20% dan lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter
spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR. Kasus LPR 4-10%
terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria, wanita, bayi, anak-anak
hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering
terlewatkan. 5Prevalensi variasi GERD dengan lokasi geografik
menurut studi epidemiologi terhadpat lima belas penelitian
didapatkan bahwa 8-27% pada populasi kelompok western mempunyai
rasa terbakar pada ulu hati dan regurgitasi asam satu atau lebih
perminggunya. Di asia sendiri di laporkan prevalensi cukup rendah
yaitu 3-5 %. 172.5. Patofisiologi
Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR
akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung
refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen
esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring,
laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus
distal yang merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya
batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga
menyebabkan perubahan inflamsi dari laring. 8Refluks laringofaring
berbeda dengan Gastro esofageal reflux, dimana refluks
laringofaring tidak menunjukkan gejala rasa terbakar di dada dan
regurgitasi. Dimana ada beberapa agen yang bertanggung jawab
menimbulkan munculnya gejala saluran nafas atas dan kelainan
patologi pada laring yaitu HCL, pepsin, asam empedu dan tripsin.
Hubungan dari masing-masing agen dalam patogenesis munculnya gejala
tersebut saih dalam perdebatan. Pepsin yang dikobinasi kan dengan
asam sering ditemukan dan menjadi agen yang paling banyak melukai
dengan gejala yang spesifik pada lesi di laring. Pada penelitian
yang dilakukan pada binatang dan secara invitro menunjukan secara
bahwa pepsin dapat aktif dan menyebabkan kerusakan pada sel samapi
Ph 6. Refluks dapat berupa gas, cairan atau gabungan keduanya.
Paling banyak refluks faringeal adalah berupa gas dengan penurunan
pH yang umum terjadi pada pasien LPR. 17Sebetulnya pada saluran
cerna sendiri terdapat mekanisme atau barrier pelindung untuk
melawan refluks. Terdapat empat penghalang fisiologis yang
melindungi saluran jalan napas bagian atas dari trauma akibat
refluks, yaitu: spingter esofagus bawah, pembersihan asam dengan
motor esofagus, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan spingter
esofagus atas. Pengaktivasi produksi pompa bikarbonat pada ruangan
ekstraseluler pada esofagus, tetapi tidak ada di dalam laring
sehingga tidak dapat bertahan terhadap asam. Namun penelitian
terbaru menemukan bahwa jaringan laring juga diproteksi dari
kerusakan refluks oleh Karbonat anhidrase yang dihasilkan oleh
mukosa laring posterior. Karbonat anhidrase mengkatalisis hidrasi
karbon dioksida menghasilkan bikarbonat. Bikarbonat ini berfungsi
untuk menetralkan asam yang terdapat pada cairan refluks. Enzim
karbonik anhidrase diekskresikan tinggi oleh mukosa faring yang
ditemukan pada biopsi spesimen pasien LPR. 17Ada dua mekanisme yang
dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR akibar GERD, teori yang
pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks asam lambung dan
pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang
berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru.
Teori yang kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang
merangsang reflek vagal, yang menyebabkan terjadinya batuk dan
bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah, sehingga menyebabkan
perubahan inflamsi dari laring. 8Pada kenyataan kedua teori
tersebut memeran peranan penting dan berhubungan. Gejala yang
muncul akibat dari kerusakan langsung pada mukosa yang disebabkan
kerusakan pada silia yang menimbulkan stasis dari mukus, chronic
throat clearing dan batuk. Namum biasanya gejala pada esofagus
tidak muncul ini disebabkan karena epitel respirasi bersilia pada
laring lebih sensitif terhadap asam. Namun waktu dan frekuensi
untukmenimbulkan penyakit ini masih diperdebatkan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Koufman dan kawan- kawan bahwa
sekali episode dari refluks cukut untuk menyebabkan kerusakan pada
mukosa hal ini dapat disimpulkan setelah percobaan yang dilakukan
terhadap binatang dimana pada penelitian ini dia memberikan paparan
asam dan pepsin sebanyak tiga kali seminggu pada bagian aritenoid
dan itu cukup membuat kerusakan pada mukosanya. 172.6 Gejala
Klinis
Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling
sering di jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala
lainnya merupakan disfonia, throat clearing, globus pharingeus,
disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi
penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan.19,20
Gambar 2.8 Manifestasi klinik laryngipharyngeal reflux (Dikutip
dari: Tarafder et al, 2012)
Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran
eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya
pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus, nodul, polip,
leukoplakia dan kerusakan ventrikular band.3
2.7 Diagnosis
Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang
dilakukan oleh American Bronchoesophagological Association
ditemukan dari anamesis pasien yang dicurigai mengalami LPR
mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing (98%), batuk-batuk
kronik (97%) dan globus pharingeus (95%).5 Terdapat dua bentuk
penilaian yang digunakan dalam menentukan diagnosis LPR, yaitu
reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS). Penilaian
skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem
RSI ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien,
setiap pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0
menampilkan tidak ada masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai
masalah berat. Jumlah total dari RSI adalah 45 dan dikatakan
sugestif LPR apabila skor RSI >13.7,20Tabel 2.1 Reflux Score
Index
(Dikutip dari: Tarafder et al, 2012) Pada RFS, skor dinilai
berdasarkan delapan temuan fisik yang berhubungan dengan gejala
LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan jumlah total skor
26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif untuk
terjadinya LPR.7,20 Tabel 2.2 Reflux Finding Score
(Dikutip dari: Tarafder et al, 2012)
2.8 Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut
atau kronik, stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada
laringitis akut, terjadi infeksi pada laring yang tidak lebih dari
3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri. Penyebab dari
laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului
oleh infeksi saluran nafas atas.3Tabel 2.3 Perbedaan gejala klinik
LPR dan penyebab suara serak lainnya
(Dikutip dari : Ford, 2005)2.9 Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
setiap kasus yang dicurigai LPR, yaitu:
1. Laringoskopi Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR
terbagi menjadi dua yaitu laringoskopi indirek (indirect
laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel (flexible fibreobtic
laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan
hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica
vokalis dan kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk menilai Reflux Finding Score. Adanya edema dan
eritema pada plika vokalis, walaupun bukan tanda patogmonis namun
sudah dapat menguatkan adanya tanda peradangan pada laring. Temuan
lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-75% pasien yang
terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan tampak granuloma pada
pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga merupakan
salah temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang
terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran pseudokulkus.5,20
Gambar 2.9 Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah)
pada pemeriksaan laringoskopi (dikutip dari: Ford, 2005)
2. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun
pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan
mukosa pada esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi.8,21
3. 24-hour pH MonitoringPemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged
Ambulatory pH Monitoring berfungsi untuk menilai refluks yang
terjadi pada kasus GERD maupun LPR. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon yang baik dan
gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan gold
standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang
terjadi pada sfingter esofagus atas ataupun
bawah.8,20,21Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat
memantau perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah
sfingter esofagus bawah dan elektroda kedua di letakkan pada
laringofaring (hipofaring). Elektroda tersebut tersambung pada
komputer yang akan merekam setiap perubahan dari pH, setelah
pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di
analisa.20
Gambar 2.10 Gambaran 24-hour pH Monitoring (dikutip dari:
Tarafder et al, 2012)4. Pemeriksaan Videotoboskopi
Pemeriksaan videotoboskopi merupakan pemeriksaan dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang di aktivasi oleh
pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat dalam bentuk
lambat. Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah pada
suaranya saat diperiksan dengan pemeriksaan videotoboskopi
ditemukan adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria
diagnostik, pemeriksaan ini juga dapat memantau perkembangan
penyakit LPR yang sedang dala pengobatan, fungsinya untuk menilai
apakah terapi yang diberikan antireflux yang diberikan berhasil
atau tidak.21,22
Gambar 2.11 Gambaran edema eritonoid pada pemeriksaan
videostoboskopik (dikutip dari: Raghunandhan, 2011)
Gambar 2.12 Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada
pemeriksaan videostroboskopik (dikutip dari: Raghunandhan,
2011)2.10 Tatalaksana
Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan
LPR tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan
perubahan pola hidup, terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal
yang perlu diperhatikan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
dengan kondisi kronik yang berulang sehingga pengobatan yang
diberikan tidak akan menghasilkan proses penyembuhan yang
cepat.8,10
Gambar 2.13 Algoritma penatalaksanaan LPR (Dikutip dari: Ford,
2005) 1. Edukasi pasien dan Perubahan pola hidup
Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat
meningkatkan aliran refluks asam lambung. Pasien sebaiknya
mengurangi atau hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan
2-3 jam sebelum tidur, tidak memakai pakaian yang ketat atau ikat
pinggang yang terlalu ketat serta meninggikan kepala tempat tidur.
Pasien juga harus diingatkan untuk memodifikasi dietnya, seperti
tidak memakan makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus
seperti kopi, minuman berkarbonasi, coklat, jus citrus, alkohol,
tomat ataupun makanan berlemak.8,20 2. Terapi Medikamentosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI
atau Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat
prokinetik dan obat-obat proteksi sel atau cytoprotective.
Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan utama
dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya diberikan adalah
Omeprazole dengan dosis 20mg perhari (terapi rumatan). Obat lain
yang dapat dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis 30mg per hari.
Pengobatan PPI ini diberikan selama 6 bulan sebelum di follow up
kembali apakah pengobatan berhasil atau tidak.5,8Obat lain yang
sering digunakan adalah ranitidin yang merupakan golongan antagonis
reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat
proteksi yang sering diberikan adalah antasid sedangkan obat
prokinetik yang sering dipakai adalah metoclopramid dengan dosis
5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari. Obat proteksi dapat
menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari mukosa
serta mencegah aktivitas pepsin.8 3. Terapi BedahApabila modifikasi
gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi mengobati LPR
maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi
bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau
Toupet atau Bore (parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk
memperbaiki kompetensi dari sfingter esofagus bawah (SEB).
Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah terapi bedah standar yang
aman dan efektif dalam pengobatan LPR. 5,82.11 Komplikasi
Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada
saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau
subglotis stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat
mengakibatkan disfungsi dari tuba eustachius yang akan
mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada orang
dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.3,20
BAB 3
KesimpulanRefluks lagringo Faring (RLF) adalah REE yang
menimbulkan manifestasi dari penyakit penyakit oral, faring, laring
dan paru yang disebabkan oleh pergerakan retrograde dari isi
lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringofaring. Ada dua teori
mengenai patogenesis, teori yang pertama mengatakan adanya kontak
langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan
segmen esofagus atas yang berlanjut dengan kerusakan pada mukosa
faring, laring, dan paru. Teori yang kedua mengenai pajanan asam
esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang menyebabkan
terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah,
sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring.
Gejala klinis yang dari LPR bervariasi, yaitu suara serak,
disfonia, throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal
drip, voice fatigue, batuk kronik, sensasi penuh pada tenggorokan
yang tidak hilang dengan menelan. Sehingga untuk menegakan
diagnosis dari LPR harus berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang. Selain itu untuk menegakan diagnosis
LPR dapat digunakan reflux system index (RSI) dan reflux finding
score (RFS). Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan
gambaran eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya
pseudosulkus vokalis dengan gambaran ulkus.Penatalaksanaan LPR
tidak lepas dari edukasi pasien dan perubahan pola hidup, terapi
medikomentosa serta terapi bedah. Pada anak-anak, komplikasi LPR
sering mengakibatkan masalah pada saluran pernafasan seperti
penyempitan di bawah pita suara atau subglotis stenosis, ulkus dan
suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba
eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut. Pada orang
dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan
mengakibatkan karsinoma esofagus.DAFTAR PUSTAKA1. Spencer M.
Laryngopharyngeal Reflux and Singers: Diabolus in Gula. Journal of
Singing. 2006: 63(2):177-812. Smith J, Houghton L. The Oesephagus
and Cough: Laryngo-pharyngeal Reflux, Microaspiration and Vagal
Reflexes. Smith and Houghton Cough Journal. 2013: 9(12): 1-43.
Amirlak B. Reflux Laryngitis. 2014 [Diakses pada 6 Oktober 2014].
Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview
4. Rees L, et al. The Mucosal Immune Response to Laryngopharyngeal
Reflux. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2008: 177: 1187-88.5. Ford C. Evaluation and Management of
Laryngipharyngeal Reflux. JAMA. 2005: 294 (12): 1534-39.6. Diamond
L. Laryngopharyngeal Reflux-Its Not GERD. Blue Ridge ENT. 2005: 18
(8): 1-37. Mattoo O, Muzaffar R, Mir A, Yousuf A, Charag A, Ahmad
A. Laryngipharyngeal Reflux: Prospective Study Analyzing Various
Nonsurgical Treatment Modalities for LPR. Interntional Journal of
Phonosurgery and Laryngology. 2012: 2 (1): 5-78. Yunizaf M,
Iskandar M. Penyakit Refluks Gastroesofagus Dengan Manifestasi
Otolaringologi. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti R, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007:303-099. Sloane E. Sistem
Pernafasan: Anatomi Fungsional Saluran Pernafasan. Dalam:
Widayastuti P, Penyunting. Anatomi & Fisiologi untuk Pemula.
Jakarta. EGC: 2003 : 267-68.10. Hermani B, Rusmarjono. Odinofagia.
Dalam : Soepardi EA, dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal
212-5
11. Grevers G.Oral Cavity and Pharynx: Anatomy, Physiology and
Immunology of the Pharynx and Esophagus. In Basic Otorhinolaringy.
Thieme: 2006: 98-100.12. Sloane E. Sistem Pencernaan: Rongga Oral,
Faring, Esofagus. Dalam: Widayastuti P, Penyunting. Anatomi &
Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC: 2003 : 285.13. Hermani B,
Hutauruk SM. Disfonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan
Telinga Kepala dan Leher, edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; hal 312.14. Iro H,
waldfahrer F. Larynx and Trachea: Embryology, Anatomy, and
Physiology of the Larynx and Trachea. In Basic Otorhinolaringy.
Thieme: 2006: 338-4415. Soepardi EA, Esofagoskopi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Hidung dan Telinga Kepala dan Leher, edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007; hal 231-6.16. Patti MG, Herbella FA, and Korn M. Benign &
Malignant Disorders of the Esophagus Current Diagnosis and
Treatment Otolaryngology Head and Neck. Lange: 2008:486.17.
Andersson O. Laryngopharyngeal reflux-development and refinement of
diagnostic tools. Sweden: Intellecta DocuSys AB. V. Frolunda. 2009;
hal 1-75 18. Jecker P, Orloff LA, Mann WJ. Extraesophageal Refl ux
and Upper Aerodigestive Tract Diseases. ORL 2005;67:18519119. Barry
D, Vaezi M. Laryngpharyngeal Reflux: More Questions than Answers.
Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2010: 77 (5): 327-3320.
Tarafder K, Datta P, Amin A, Chowdhury M, Tariq A, Das P.
Laryngopharyngeal Reflux A New Paradigm of Airway Disease. Science
Journal of Medicine and Clinical Trials. 2012: 1-521. Irfandy D.
Laryngophryngeal Reflux. [Diakses pada tanggal 6 Oktober 2014]. Di
dapat dari:
http://repository.unand.ac.id/17718/1/laryngopharingeal%20reflux.pdf
22. Raghunandhan S, Nagasundaram J, Natarajan K, Prashant S,
Karneswaran M. Videostroboscopy in Laryngopharyngeal Reflux
Disorder. International Journal of Phonosurgery and Laryngology.
2011: 1(2): 52-56
1