REFERAT THT
KOLESTEATOMA
DISUSUN OLEH :
NISRINA KARIMA LISDIANINGTYAS1102010208
PRESEPTOR
dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
dr. Elananda, Sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSU Dr. SLAMET GARUTPERIODE 02 MARET
2015 03 APRIL 2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.Alhamdulillah, puji syukur penyusun
ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan referat
dengan judul KOLESTEATOMA yang disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut. Pada
kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. W. Gunawan Kurnaedi Sp.THT-KL selaku kepala SMF dan
konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan
memberikan ilmu kepada penyusun.
2. Dr. Elananda Sp.THT-KL selaku Konsulen THT RSU dr. Slamet
Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada
penyusun.
3. Dr. Sofyan Sp.THT dosen Ilmu Kedokteran THT FK Universitas
YARSI yang telah memberi bimbingan serta pengajaran kepada penyusun
selama ini.
4. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu
penyusun dalam kegiatan klinik sehari-hari.
5. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi
kasih sayang, mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
6. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi
dan dukungannya.Penyusun menyadari bahwa tulisan ini jauh dari
sempurna, untuk itu penyusun mengharapkan kritik serta saran.
Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi semua pihak.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Garut, Maret 2015
Penulis DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR . 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
4BAB II ANATOMI TELINGA
5
BAB III KOLESTEATOMA
3.1 Definisi Kolesteatoma
11
3.2 Epidemiologi Kolesteatoma
11
3.3 Klasifikasi Kolesteatoma
13
3.4 Patofisiologi Kolesteatoma 13
3.5 Patofisiologi Kerusakan Tulang
17
3.6 Manifestasi Kolesteatoma
18
3.7 Diagnosis Kolesteatoma
19
3.8 Penatalaksanaan Kolesteatoma
21
3.9 Komplikasi Kolesteatoma
24
3.10 Prognosis Kolesteatoma 25DAFTAR PUSTAKA
26BAB I
PENDAHULUANKolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi
deskuamasi epitel (keratin). Istilah kolesteatoma mulai
diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena disangka
tumor yang ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing
stratified squamous epithelium) pada tubuh berada pada lokasi yang
terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga
merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen
padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel
kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap
sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di
liang telinga, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa
penuh serta kurang dengar. Bila tidak ditanggulangi dengan baik
akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga.
Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek
penekanan oleh penumpukan debris keratin maupun akibat aktifitas
mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui, sering
terjadi pada pasien dengan kelainan paru kronik, seperti
bronkiektasis, juga pada pasien sinusitis. Namun kejadian
kolesteatoma sangat jarang terjadi.BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGATelinga merupakan salah satu indera
yang dimiliki manusia yang cukup penting, karena tanpa adanya
pendengaran maka seseorang juga akan mengalami kesulitan dalam
berbicara. Telinga merupakan organ yang bersifat sensori yang
sangat kompleks jika dibandingkan dengan organ sensori lainnya.
Secara anatomi, pada dasarnya telinga dibagi menjadi 3 bagian
secara garis besar, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Telinga dalam sendiri nanti akan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu koklea yang berfungsi dalam pendengaran dan juga aparatus
vestibuli yang berperan dalam keseimbangan. Telinga luar dan
telinga tengah akan menyalurkan suara menuju koklea, yang dimana
pada koklea suara tersebut akan dipisahkan berdasarkan frekuensinya
sebelum mengalami transduksi oleh sel-sel rambut pada koklea yang
akan mengubah rangsangan suara tersebut menjadi stimulus neural
pada saraf yang bertanggung jawab atas pendengaran yaitu saraf
kranial ke VIII yaitu nervus vestibulocochlear.1
Gambar 1. Anatomi TelingaTelinga luar pada dasarnya sebagian
terbentuk dari kartilago yang dilapisi oleh kulit pada bagian luar
dan tulang yang langsung dilapisi oleh kulit pada bagian dalam.
Bagian luar dari telinga ini disebut juga sebagai aurikula yang
dimana terdapat banyak bagian dari aurikula yang memiliki nama
masing-masing. Dalam fungsi pendengaran terdapat cekungan pada
telinga luar yang disebut juga sebagai concha yang sangat berperan
penting dalam mengumpulkan dan mengantarkan suara yang akan
berujung pada koklea.1,3
Gambar 2. Auricula
Kanalis telinga dilapisi oleh epitel yang mensekresikan serumen
dan disertai oleh rambut pada permukaannya. Pada epitel yang
melapisi kanalis telinga ini tidak terdapat kelenjar keringat. Oleh
karena epitel pada liang telinga ini tidak seperti epitel pada
daerah lainnya yang sering tergosok secara natural, maka epitel
didaerah ini dapat membersihkan sel kulit yang mati dan juga
serumen yang berada pada kanalis telinga, kegagalan dalam
pembersihan sendiri dari sel epitel ini merupakan salah satu teori
yang berkembang dalam patofisiologi dari terjadinya kolesteatoma.
Terdapat dua sel yang berperan dalam pembentukan serumen yaitu
kelenjar sebaseus dan kelenjar serumen.1,3Bagian kedua dari telinga
adalah telinga bagian tengah yang terdiri dari membran timpani dan
juga 3 tulang yang berperan penting dalam pendengaran yaitu
malleus, incus, dan stapes. Pada telinga tengah juga terdapat dua
otot kecil, yaitu otot tensor timpani dan juga otot stapedius yang
akan berperan dalam refleks akustik. Pada telinga tengah juga
terdapat chorda tympani yang merupakan cabang dari nervus fasialis
yang melewati telinga tengah yang dimana chorda tymphani ini akan
menginervasi 2/3 depan dari lidah. Pada telinga tengah juga
terdapat tuba Eustaschian yang akan menghubungkan telinga tengah
dengan faring.1,3Rongga telinga tengah pada dasarnya berbentuk
seperti kubus dengan enam sisi yang dimana dinding posterior dari
kubus ini sedikit lebih besar daripada dinding anteriornya. Berikut
ini merupakan batas-batas dari rongga telinga tengah :
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas bawah : Vena jugularis Batas belakang : Aditus ad antrum,
kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak), tegmen timpani ini
akan memisahkan resesus epitimpanic dari fossa kranial bagian
tengah.
Batas dalam: Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval
window), promontorium, dan tingkapbundar (round window)Salah satu
struktur penting yang berada pada telinga tengah adalah membran
timpani. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat
dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang
telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (membran Shrapnell),
sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membran propia). Pars flaksida
hanyaberlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu
lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen
dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.
Gambar 3. Membran Tympani
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani
disebut umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light)
ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan
pukul 5 untuk membran timpani kanan. Membran timpani dibagi dalam 4
kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus
dan garis yang tegaklurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta
bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran
timpani.3Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran
yang tersusun dari luarke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes.
Tulang pendengaran didalam telinga tengah salingberhubungan.
Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus
melekatpada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak
pada tingkap lonjong yangberhubungan dengan koklea. Hubungan antar
tulang-tulang pendengaran merupakanpersendian.3
Gambar 4. Telinga Tengah dan DalamTelinga tengah dibatasi oleh
epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis
yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga
tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes
yang mempunyai fungsi konduksi suara. Pada pars flaksida terdapat
daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum,
yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.3Telinga
tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius
(tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan
antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka
ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi
suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik
untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut
terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba
auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama
antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani.3 Telinga
tengah dapat juga dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu
mesotympanum, hypotympanum, epitympanum. Yang menjadi batasan dari
ketiga kompartemen ini adalah kanalis auditori eksternal.
Epitympanum sendiri berada superior dan medial dari kanalis
auditori eksternal. Hypotympanum terletak inferior dan medial dari
kanalis auditori eksternal, sedangkan yang terakhir adalah
mesotympanum terletak di medial dari eksternal auditori
kanal.Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa
dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah
kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibule.3Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak
lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap.3Pada irisan
melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane
vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.3Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang
membentuk organ corti.3Gambar 5. Organ Corti
Dibelakang dari rongga telinga tengah terdapat mastoid antrum
yang merupakan penonjolan dari tulang temporalis, dan rongga
mastoid ini berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus ad
antrum. Rongga mastoid merupakan sebuah rongga yang berbentuk
seperti segitiga dengan puncaknya mengarah ke kaudal. Mastoid
antrum ini memiliki panjang 12-15mm, tinggi 8-10mm, dan lebar
antara 6-8mm.
Fisiologi Pendengaran
Gambar 6. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara
atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui
membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,
sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan
ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.1,3BAB IIIKOLESTEATOMA
3.1Definisi
Kolesteatoma telah diakui selama beberapa dekade sebagai lesi
destruktif dasar tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan
struktur penting pada tulang temporal. Potensinya dalam menyebabkan
komplikasi sistem saraf (misalnya abses otak, meningitis)
membuatnya menjadi lesi yang berpotensi fatal.6Kolesteatoma
diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada telinga tengah,
mastoid, atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga tengah dilapisi
oleh berbagai jenis epitel di berbagai regio: kolumnar bersilia di
bagian anterior dan inferior, kuboidal di bagian tengah dan
pavement-like di bagian attic. Telinga tengah tidak dilapisi oleh
epitel skuamosa berkeratin. Oleh karena itu, adanya epitel skuamosa
pada telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum disebut
kolesteatoma. Dengan kata lain, kolesteatoma adalah kulit di tempat
yang salah.6,7,8Pada dasarnya, kolesteatoma terdiri dari dua
bagian, (i) matriks, yang terdiri dari epitel skuamosa berkeratin
yang bertumpu pada stroma jaringan ikat dan (ii) central white
mass, yang terdiri dari debris keratin yang dihasilkan oleh
matriks. Maka, kolesteatoma juga disebut sebagai epidermosis atau
keratoma.63.2Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma beraneka ragam dimana salah satu
penyebabnya adalah praktek medis yang berbeda-beda di setiap
Negara, seperti contohnya di Israel ditemukan adanya penurunan
kejadian dari kolesteatoma, ketika pada pasien yang menderita
otitis media kronik dilakukan penanganan dengan grommets ataupun
aural ventilation tube.Baik laki-laki ataupun perempuan dapat
mengalami kolesteatoma, dengan perbandingan laki-laki berbanding
wanita sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak
ditemukan akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius,
anterior mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan
pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi
pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif. 43.3 Klasifikasi
a) Kolesteatoma KongenitalKolesteatoma kongenital terjadi
sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa yang terjebak dalam tulang
temporal selama embriogenesis. Lokasi kolesteatoma biasanya di
mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di
cerebellopontin angle. Sering diidentifikasi pada anak-anak usia 6
bulan hingga 5 tahun.
Gambar 7. Kolesteatoma Kongenital
Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma dapat menyumbat tuba
eustachius dan memproduksi cairan telinga tengah kronis dan
mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma juga dapat melebar ke
arah posterior dan mengelilingi tulang-tulang pendengaran hingga
menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe kolesteatoma
lainnya, kolesteatoma kongenital biasnaya diidentifikasi di
belakang membran timpani yang masih utuh dan terlihat normal. Anak
biasanya tidak memiliki sejarah infeksi telinga berulang, tidak
pernah dioperasi telinga sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah
perforasi membran timpani.6,7b) Kolesteatoma Akuisital Primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi
membran tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari
membran tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di
telinga tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari
retraksi membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik
berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial membran
timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai epitimpanum. Saat
proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitympanum (disebut
juga skutum) secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada
dinding lateral epitympanum yang perlahan meluas. Membran timpani
terus mengalami retraksi di bagian medial sampai melewati pangkal
dari tulang-tulang pendengaran hingga ke epitympanum posterior.
Destruksi tulang-tulang pendengaran umum terjadi. Jika kolesteatoma
meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan tulang mastoid
itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur dura dan/atau
erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan
mengakibatkan ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran
posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian
posterior telinga tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan
posterior, epitel skuamosa akan menyelubungi bangunan-atas stapes
dan membran tympani tertarik hingga ke dalam sinus timpani.
Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani posterior
cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang
kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.c) Kolesteatoma
Akuisital SekunderMerupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah
adanya perforasi membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai
akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir
perforasi membran tympani ke telinga tengah (Teori Migrasi) atau
terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena iritasi
infeksi yang berlangsung lama (Teori Metaplasi).Kolesteatoma
akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari beberapa
jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa
perforasi yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau
trauma, atau mungkin karena manipulasi bedah pada gendang telinga.
Suatu prosedur yang sederhana seperti insersi tympanostomy tube
dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya
menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian posterior
adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan kolesteatoma.
Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan kolesteatoma
jika retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel
deskuamasi.6,73.4Patofisiologia) Kolesteatoma KongenitalPatogenesis
kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga saat ini. Ada
beberapa teori yang dipakai untuk menjelaskan patogenesis dari
kolesteatoma kongenital.6 Epithelial rest theoryTeori ini
dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian penemuan ini
dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed mengemukakan bahwa
ia menemukan adanya sisa sel epitelial pada tulang temporal fetus
yang normalya menghilang pada minggu ke-33 gestasi. Adanya sel
epitelial tersebut menjadi pencetus terjadinya kolesteatoma
kongenital. Sisa sel epitelial ini ditemukan pada dinding lateral
tuba eustachius, di bagian proksimal tympanic ring, di kuadran
anterosuperior dari telinga tengah. Dikemukakan bahwa cedera
inflamasi pada membran timpani yang intak akan mengakibatkan
mikroperforasi pada lapisan basalis. Kemudian hal ini membuat
invasi dari epitel skuamosa dengan adanya aktivitas proliferasi
epithelial cones. Epithelial cones ini kemudian terus
berproliferasi, menyebar dan terus berekspansi dan membentuk
kolesteatoma pada telinga tengah.6,7
Gambar 8. Epithelial Rest Theory Acquired inclusion theoryTeori
ini dipopulerkan oleh Tos. Tos mengobservasi dan menemukan bahwa
kolestatoma anteroposterior sering mengalami penempelan pada bagian
anterior handle atau neck dari maleus, dan posterior kolestatoma,
lebih sering menempel pada bagian posterior handle malleus dan
incudostapedial joint. Lokasi ini jauh dari anterior annulus
timpani dan dinding lateral tuba eustachius seperti yang dikemukan
pada teori epitelial rest. Tod berspekulasi bahwa lokasi originnya
adalah lateral tuba eustachius dan daerah anterior dari annulus
timpani. Kolesteatoma akan memblok tuba eusthacius sebelum menyebar
ke kavitas timpani dan handle dari malleus. Kemudian, Tos
mengemukakan teori inklusi sebagai penjelasan patogenesis dari
kolesteatoma kongenital. Tos berspekulasi bahwa epitel skuamosa
berkeratin mungkin berimplantasi ke kavitas timpani selama proses
patologi pada membran timpani dan telinga tengah pada
anak-anak.6,7Stadium pada kongenital kolesteatoma : Stage I
Terbatas pada 1 kuadran Stage II Melibatkan beberapa kuadran tanpa
melibatkan ossiculus Stage III Melibatkan ossiculus tanpa ektensi
ke mastoid Stage IV Melibatkan mastoid (67% resiko kolesteatoma
residual)Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital kolesteatoma
dibagi menjadi 3 tipe, yaitu : Type 1 Terbatas pada telinga tengah,
ossiculus tidak terlibat Type 2 Melibatkan kuadran posterior
superior dan attic Type 3 Campuran tipe 1 dan 2 serta mastoidb)
Kolesteatoma Akuisital PrimerTeori patogenesis :1. Invaginasi dari
membran timpani (kolesteatoma kantung retraksi)Disfungsi tuba
eustachius dipikirkan menyebabkan retraksi membran timpani sehingga
menyebabkan tekanan negatif di epitympanic space sehingga pars
flaccida tertarik ke arah medial ke atas maleus dan menyebabkan
terjadinya kantung retraksi. Pars flaccida yang tidak memiliki
lapisan fibrosa akan lebih mudah terkena kondisi ini. Kantung
retraksi akan menyebabkan gangguan pada fisiologi normal migrasi
epitel sehingga memicu terjadinya pengumpulan keratin. Saat kantung
retraksi menekan semakin ke dalam, keratin yang mengalami
deskuamasi berakumulasi dan tidak dapat dikeluarkan dari kantung
hingga menyebabkan terjadinya kolesteatoma.42. Teori Papillary
IngrowthReaksi inflamasi di rongga Prussaks dengan pars flaccida
yang masih utuh, dapat menyebabkan kerusakan di membran basal
hingga sel epitel dapat berproliferasi ke dalam. 3. Teori
MetaplasiaEpitel yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi epitel
skuamosa karena disebabkan oleh otitis media kronik atau
berulang.4
Gambar 9. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Primerc)
Kolesteatoma Akuisital SekunderKolesteatoma yang didapat secara
sekunder dijelaskan sebagai akibat dari terjadinya migrasi sel-sel
epidermis yang berasal dari membran timpani ke dalam rongga telinga
tengah pada tempat terjadinya perforasi marginal ataupun sebagai
hasil dari implantasi keratinosit ke rongga telinga tengah.
Implantasi dapat terjadi ketika terdapat kerusakan membran timpani
yang disebabkan karena suara ledakan yang akan menyebabkan
terjadinya implantasi dari keratin ke dalam rongga telinga tengah
dan terjebak disana ketika terjadi penyembuhan dari membran
timpani. Selain dari trauma pada membran timpani, implantasi dari
keratin ini juga dapat terjadi ketika terjadi fraktur pada tulang
temporal ataupun implantasi yang disebabkan karena tindakan medis
atau yang biasa kita sebut sebagai iatrogenik. Beberapa tindakan
operasi yang berhubungan dengan telinga tengah seperti
stapedectomy, tympnaoplasty, pemasangan pressure equalization tube,
dan tindakan eksplorasi dari telinga tengah dapat menjadi penyebab
dari terjadinya kolesteatoma sekunder.
Patofisiologi Kolesteatoma23
Gambar 11. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Sekunder
3.5 Patofisiologi Kerusakan TulangTerdapat dua mekanisme
bagaimana terjadinya osteolysis pada kolesteatoma telinga tengah
yaitu resorpsi tulang akibat penekanan dan disolusi enzym pada
tulang oleh cytokine mediated inflammation. Nekrosis akibat
penekanan pertama kali disebutkan oleh Steinbru pada tahun 1879 dan
Walsh pada tahun 1951, sedangkan resorpsi tulang secara langsung
dideskripsikam oleh Chole dan coworkers pada tahun 1985. Chole
mengimplant silicon pada telinga tengah gerbil tanpa kolesteatoma
dan hasilnya menunjukan adanya resorpsi tulang di area yang
mengalami penekanan. Mereka mengestimasi bahwa tekanan 50-120mm Hg
menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoclast.6Tidak jelas bagaimana
aktivasi oleh tekanan memicu osteoclast melakukan perusakan tulang
pada kolesteatoma. Namun perusakan tulang yang dipicu oleh enzym
dan sitokin telah dipelajari pada 2 abad terakhir. Matrix
metalloproteinase (MMP), suatu enzym dari family zinc
metalloenzymes yang mendegradasi matrix ekstraselular telah
diketahui terdapat pada kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9 terdapat pada
lapisan epitel suprabasal kolesteatoma.6
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan
kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas
aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu respons imun lokal yang
mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi dan berbagai
sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks
kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
tumor necrosis factor- (TNF-), tumor growth factor (TGF). Zat-zat
ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma
bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu
berangiogenesis.
Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media
Supuratif Kronis dengan Kolesteatoma5Jenis KumanJumlah temuan
Pseudomonas aeruginosa931,5%
Proteus mirabilis1758,5%
Difteroid13,3%
Streptococcus -hemolyticus13,3%
Enterobacter sp.13,3%
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya
proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan
reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis,
dan abses otak.
3.6 Manifestasi Klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri,
yang terus-menerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma
terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit dihilangkan.
Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi),
maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada
kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan
mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus
beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma
terinfeksi yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis terapi
antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul ataupun berulang
meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada
kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga
tengah dengan epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret
mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang akhirnya
menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi
tidak akan terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi
tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada stapes
footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena
merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih
serius.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma
adalah drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga
tengah yang tidak responsif terhadap terapi antimikroba. Suatu
perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus.
Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali
gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga tengah cukup
besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel skuamosa
kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada membran
tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma
kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma
tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah
sebuah kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus
mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala menghilangkan
infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik
sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan.
Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada
membran tympani pada pars flaksida atau kuadran posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi
berdasarkan salah satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan
pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan kolesteatoma dapat
menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses
di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali
dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau
meningitis.
3.7DIAGNOSIS
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan
pemriksaan sederhana untuk mengetahui gangguan pendengaran. Untuk
mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan
pemeriksaan audiometric nada murni, audiometric tutur (speech
audiometric), dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response
audiometric) bagi pasien anak yang tidak koperatif dengan
pemeriksaan audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh: penurunan
kemampuan mendengar otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak ena
otalgia obstruksi nasal tinnitus, intermiten dan unilateral
vertigo
Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :
otitis media kronik
perforasi membran timpani
operasi telinga sebelumnya
Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat
ditemukan :
perforasi tipe marginal atau atik
terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus
lanjut
polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal
dari telinga tengah)
secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
Pemeriksaan Penunjanga) RADIOLOGIDapat dilakukan foto rontgen
mastoid, CT scan, atau MRI. CT scan merupakan pilihan radiologi
yang dapat mendeteksi gangguan tulang. Namun CT scan tidak selalu
dapat membedakan antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma.
Gaurano (2004) telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum
mastoid dapat dilihat pada 92% kolesteatoma telinga tengah dan 92%
mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran.8CT scan yang
digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm tanpa kontras dengan
potongan axial dan coronal.Tanda kolesteatoma pada CT scan adalah
:1) Masa jaringan lunak di telinga tengah terutama di prussaks
space pada kolesteatoma lanjut, terdapat bagian telinga tengah yang
terisi udara yang menunjukan masa dan bukan effusi2) Erosi tulang
scutum (dinding lateral epitimpanum) semisirkular kanal lateral
tegmen timpani incus dan stapes
Beberapa dokter hanya melakukan preoperative imaging pada kasus
spesial dan cukup yakin untuk menjalankan operasi tanpa melakukan
pemeriksaan radiologi terlebih dahulu. Biasanya dokter meminta
dilakukannya preoperative CT scan pada keadaan : Bila diagnosa
masih belum pasti, diagnosa belum pasti biasanya pada pasien dengan
retraksi attic kecil yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. CT
scan pada pasien ini dapat membantu membedakan antara retraksi
tanpa perluasan jaringan lunak ke epitympanic space dengan masa
jaringan lunak ekstensif disertai erosi tulang. Bila pasien
menghindari operasi, sebaiknya operasi tidak dilakukan bila CT scan
telah dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil CT scan Bila
anatomi tidak dapat ditentukan dan luasnya penyakit tidak diketahui
Pasien dengan kelainan congenital (ex: atresia) Bila dicurigai
adanya komplikasi Bila dicurigai terdapat fistla labyrinthine atau
erosi tuba fallopi Bila terdapat perluasan ke intracranial,
peradangan dura, meningitis, abscess, atau trombosis sinus sigmoid
diindikasikan dilakukan MRI
Namun terdapat pendapat lain bahwa kolesteatoma yang
direncanakan untuk dilalukan pembedahan harus dilakukan
preoperative CT scan sebelumnya.
b) Audiometri, harus dilakukan sebelum operasi, kapanpun dapat
dilakukan kecuali operasi dilakukan segera karena komplikasi.Pada
audiometri didapatkan : tuli konduktif sedang hingga berat yaitu
lebih dari 40 dB : mengindikasikan diskontinuitas tualng
pendengaranc) Histologi
Pemeriksaan histology dari kolesteatoma yang telah diangkat
menunjukan sel epitel skuamosa.d) Patologi Anatomi Kolesteatoma
Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi Matrix :
keratinizing stratified squamos epitel Perimatrix : jaringan
granulasi, mensekresi enzim proteolitik yang dapat menyebabkan
erosi tulang Hiperkeratosis e) Kultur dan uji resistensi kuman dari
secret telinga
3.8PENATALAKSANAAN
a) Terapi Non BedahTujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah
menurunkan derajat inflamasi dan aktivitas infeksi pada bagian
telinga yang terinfeksi. Prinsip pengobatan medikasi kolesteatoma
adalah membuang debris dari liang telinga. Irigasi harus dilakukan
dengan tepat, air harus dikeluarkan seluruhnya dari telinga untuk
mencegah kelanjutan kontaminasi. Selain irigasi, diperlukan juga
antimikroba topikal untuk menekan infeksi, yang umumnya disebabkan
oleh organisme sebagai berikut : Pseudomonas aeruginosa,
Streptococci, Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba
yang umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B.
Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa penggunaan
aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya. Akan tetapi, belum
ada studi yang adekuat yang mendukung teori tersebut. Namun, untuk
kepentingan pasien, dianjurkan untuk menghindari penggunaan agen
ototoksik dan tetap menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa
klinisi juga menggunakan steroid topikal untuk menurunkan
inflamasi, namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai
efektivitas dari penggunaan agen ini.Pada beberapa kasus, infeksi
yang berlangsung tidak sepenuhnya teratasi. Hal ini biasanya
terjadi pada kasus adanya kolesteatoma sac dengan debris keratin
yang tidak diobati dengan antimikroba lokal secara efektif. Namun,
setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan teratasi.b)
Terapi PembedahanTujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat
atau menyingkirkan kolesteatoma. Teknik operatif yang umum
dilaksanakan antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-down
(open). Apabila pasien memiliki riwayat episode kekambuhan
kolesteatoma, dan berharap dapat menghindari tindakan operatif di
kemudian hari, teknik canal-wall-down merupakan pilihan yang tepat
dan lebih aman. Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan
kondisi telinga yang kering dan aman. Proses-proses yang
menyebabkan erosi tulang, inflamasi kronik, dan infeksi harus
ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, seluruh matriks
kolesteatoma harus disingkirkan sepenuhnya. Apabila hal ini gagal
dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah kekambuhan dari
kolesteatoma. Tabel di bawah ini menunjukaan beberapa teknik
pembedahan disertai keuntungan dan kerugiannya.6
Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi dalam
membersihkan kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-up prosedur
memiliki keuntungan mempertahankan penampilan normal, tetapi mereka
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kolesteatoma persisten
atau berulang. Risiko kekambuhan cukup tinggi sehingga ahli bedah
menyarankan suatu tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai
1 tahun setelah operasi awal. Di Amerika Serikat, kebanyakan
prosedur bedah kolesteatoma dilakukan dengan insisi pada belakang
telinga dikombinasikan dengan insisi pada external auditory canal.
Kemudian menyingkirkan air cell dari mastoid secara keseluruhan.
Mengelevasi membran timpani dan evaluasi mastoid. Singkirkan
kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat, maka bagian tersebut
perlu disingkirkan juga untuk menghindari kekambuhan dari
kolestetoma. Membran timpani pada umumnya juga direkonstruksi pada
prosedur ini. Apabila dilakukan canal-wall-up, tulang
direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila menggunakan teknik
canal-wall-down, maka perlu dibuat meatoplasty yang besar agar ada
sirkulasi udara yang adekuat ke cavitas telinga.6Karakteristik
prosedur canal-wall-up : Menyingkirkan semua air cell Functional
tuba eustachius Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan baik
Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga tengah
melalui additus ad antrum. Eliminasi dari tulang attic dilengkapi
dengan cartilage atau bone graft.Karakteristik teknik
canal-wall-down : Membersihkan semua air cell termasuk yang dalam
retrofacial, retrolabyrinthine, and subarcuate air cell tracts.
Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanun sehingga
tegmen mastoideum dan tegmen timpani menjadi lembut. Biasanya
amputasi dari mastoid tip dianjurkan. Saucerization dari lateral
margin kavitas. Perbesaran meatusTerapi postoperatif yang diberikan
antara lain antimikroba yang sesuai dan steroid bila diperlukan.
Antimikroba yang dipakai adalah antimikroba topikal, contohnya
ialah aminoglycoside and fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba
ini efektif untuk bakteri gram negatif. Selain itu, untuk
menghindari efek ototoksik, dapat juga dipakai ciprofloxacin atau
ofloxacin. Selain antimikroba, agen yang umum diberikan adalah
steroid, yaitu steroid cream. Steroid berfungsi untuk mengontrol
perkembangan dari jaringan granulasi.6Setelah tindakan bedah
dilakukan, pasien dianjurkan untuk kontrol secara rutin. Pasien
yang menajalani prosedur canal-wall-down dianjurkan untuk kontrol
setiap 3 bulan untuk pembersihan liang telinga. Tujuanny aialah
untuk menjaga agar telinga pasien tetap bebas daei deskuamasi
epitel dan serumen. Pada pasien yang menjalani prosedur
canal-wall-up umumnya memerlukan tindakan operatif kedua, setelah
6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.
3.9KOMPLIKASI
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi
berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi
segera termasuk parese nervus fasialis, kerusakan korda timpani,
tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada
sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi
pasca-operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi,
lateralisasi tandur, stenosis liangg telinga luar, displasi atau
lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang. Pada
kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu
operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah
pada pars vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga
terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat
stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid
ataupun dari arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi
bila tpografi daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik,
misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena
operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karean
kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut
klasifikasi House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG
untuk melihat derajat kerusakan pada saraf dan menentukan prognosis
penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera,
sebab vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi
selam operasi, belum tentu karena cedera operasi. Trauma terhadap
labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah
aditus ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi
oleh jaringa kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan
fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk
sistem konduksi telinga tengah sedapat mungkin langsung
rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater sehingga
terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit
sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus
sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat menyebabkan
perdarahan besar.3.10PROGNOSIS
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu
berhasil, namun terkadang membutuhkan tindakan operasi yang
berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma dengan pembedahan
pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena itu komplikasi
yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak terkontrol
sangatlah jarang terjadi.Pada penanganan canal-wall-down
tympanomastoidectomy akan memberikan angka persentase rekurensi
ataupun persistensi yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari
kolesteatoma hanya terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh
karena itu tehnik ini jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan closed-cavity technique yang memiliki angka rekurensi antara
20-40%.15Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan
ataupun membran timpani tidak dapat mengalami resolusi secara
sempurna kembali kedalam keadaan normal, kolesteatoma tetap secara
relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli konduktif
yang bersifat permanent.DAFTAR PUSTAKA
1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29,
2009 (cited August 25, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.
2. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama.
Jakarta : Penerbit Hipokrates; 2002
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008
4. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine.
May 1, 2007 (cited August 27, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview5. Helmi.
Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2005
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997
7. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM,
Desai AP. Profile of congenital cholesteatomas of the petrous apex.
J Postgrad Med [serial online] 1989 [cited 2015 March 19]; 35:93.
Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/57028. Makishima T,
Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited March 19,
2015). Available at
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf
26