BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDi antara penyakit
degenerative atau penyakit yang tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya dimasa yang akan mendatang, diabetes adalah salah satu di
antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes mellitus di beberapa
negara berkembang adalah akibat dari peningkatan kemakmuran di
negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan
gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan
prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner
(PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data
epidemiologis Negara berkembang masih belum banyak, oleh karena itu
angka prevalensi yang dapat di telusuri terutama berasal dari
Negara maju.1WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita
NonInsulinDependentDiabetesMellitus(NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data
Badan Pusat Statistik,diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang
berusia diatas 20 tahun adalah
sebesar113jutajiwa,denganprevalensiDMpadadaerahurbansebesar14,7%dandaerahrural
sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Diabetes
Melitus (DM) jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata,
ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dll.2Gagal ginjal
kronik atau cronic kidney disease merupakan salah satu komplikasi
berat yang terjadi pada penderita DM. MenurutdatadariWHO,Indonesia
termasuk dalamurutanke-4 sebagai negara denganpenderita gagalginjal
kronik terbanyak yang jumlahnyamencapai 16 juta jiwa. Pada gagal
ginjal kronik, fungsi ginjal mengalami penurunan yang signifikan.
Sehingga,keadaaninimemerlukanterapi pengganti seperti cuci darah
maupun transplantasi ginjal yang memerlukan biayabesar. Dengan
penatalaksanaan yang cepat dapat mencegah atau menghilangkan
komplikasi serta menghambat prgresifitas sehingga menjadi gagal
ginjal.3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 DefinisiDiabetes Melitus Menurut American Diabetes
Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan gangguan fungsi insulin. 4Penyakit ginjal kronik
adalah suatu proses patofisologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang irreversible dan pada suatu derajat memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.5,6,7
Tabel 2.1 Kriteria penyakit ginjal kronik1.Kerusakan ginjal
(renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging
tests)
2.Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan,
dan LFG sana atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2 tidak termasuk
criteria penyakit ginjal kronik.6,7
2.2 EpidemiologiWorld Health Organization (WHO) memperkirakan,
prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171
juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan
Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes
di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya
30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratuhr. Beberapa
dari penderita diabetes juga telah mengalami komplikasi salah satu
komplikasi terbanyak adalah penyakit ginjal konik.3 (ferdi) Di
Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.6 World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa sebanyak 155 juta penduduk
dunia pada tahun 2002 mengidap penyakit ginjal kronik dan
diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat hingga melebihi angka
200 juta pada tahun 2025.7 Survei yang dilakukan oleh Pernefri
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009 menyatakan
prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%.82.3
Etiologi dan Klasifikasi2.3.1 Penyakit Ginjal KronikUmumnya gagal
ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsik difus dan
menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar
ginjal, misal nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan
ginjal instrinsik dan berakhir dengan gagal ginjal
kronik.6Glomerulonefritis, hipertensi esensial dan pielonefritis
merupakan penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik,
kira-kira 60%. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit
ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%.
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal
progresif dan difus, seringkali berakhir dengan gagal ginjal
kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur antara 20-40
tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan calon utama
untuk transplantasi ginjal. Glomerulonefritis mungkin berhubungan
dengan penyakit-penyakit sistem (glomerulonefritis sekunder)
seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa,
granulomatosus wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang
berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak
jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering
dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti
tuberkulosis, lepra, osteomielitis, artritis reumatoid dan
mieloma.6Penyakit ginjal hipertensi (arteriolar nephrosclerosis)
merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Insiden
hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik
kurang dari 10 %. Pada orang dewasa gagal ginjal kronik yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis)
tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses
multipel, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan
yang adekuat.Nefritis interstisial menunjukkan kelainan
histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamasi atau radang dari
jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai
juga kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah.
Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiologi nefritis
interstisial.6Pehimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2012
mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, dikelompokan menjadi diantaranya glomerulopati primer,
nefropati diabetika, nefropati lupus/SLE, penyakit ginjal
hipertensi, ginjal polikistik, nefropati asam urat, lain-lain dan
penyebab yang tidak diketahui.9
Tabel 2.4 Penyebab Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis di
Indonesia8
PenyebabInsiden
Penyakit ginjal hipertensiNefropati diabetikaGlomerulopati
primerNefropati obstruksiPielonefritis kronisLain-lainTidak
diketahui35%26%12%8%7%6%2%
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal
yaitu, berdasarkan derajat (stage) penyakit dan berdasarkan
diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit,
dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockkcroft-Gault sebagai berikut6:LFG
(ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) x berat badan *)72 x kreatinin plasma
(mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85Tabel 2.2 Klasifikasi
Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit6,7
DerajatPenjelasanLFG (ml/menit/1,73 m2)
1Kerusakan ginjal dengan FLG normal atau> 90
2Kerusakan ginjal dengan FLG ringan 60 - 89
3Kerusakan ginjal dengan FLG sedang30 - 59
4Kerusakan ginjal dengan FLG berat15 - 29
5Gagal Ginjal< 15 atau dialisis
Tabel 2.3 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis
Etiologi5,6
Penyakit ginjal diabetes Penyakit ginjal non diabetesDiabetes
Mellitus tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)Penyakit vaskular(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)Penyakit
tubulointerstitial(pieloneftritis kronik, batuk, obstruksi,
keracunan obat)Penyakit kistik(ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasiRejeksi kronikKeracunan obat
(sikloporin/takrolimus)Penyakit recurrent (glomerular)Transplant
glomerulopathy
Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai
berikut :1. Penurunan cadangan faal ginjal ( LFG = 40 75 %)Pada
tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi
masih dapat dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep
intac nephron hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan
kebetulan pada laboratorium rutin.
1. Insufisiensi renal (LFG = 20 50 %)Pasien GGk pada tahap ini
masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah
memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi
azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia
(penurunan HCT) dan hiperurikemia. Pasien pada tahap ini mudah
terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya gambaran
klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal
kronik (GGK), dengan faktor pencetus (triger) yang memperburuk faal
ginjal (LFG) Sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor
yang memperburuk faal ginjal (LFG).Sindrom acute on chronic renal
failure ditandai dengan oliguria, tandatanda overhidrasi (bendungan
paru, bendungan hepar, kardiomegali), edema perifer (ekstrimitas
& otak), asidosis, hiperkalemi, anemia dan hipertensi berat.1.
Gagal ginjal (LFG = 5 25 %)Gambaran klinik dan laboratorium makin
nyata yaitu anemia, hipertensi, overhydration atau dehidrasi,
kelainan laboratorium seperti penurunan HCT, hiperurikemia,
kenaikan ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia
dilusi atau normonatremia, kalium K+ serum biasanya masih normal.1.
Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %)Sindrom azotemia (istilah
lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan
banyak organ (multi organ).102.3.2 Fungsi Ginjal Sebagai
Keseimbangan Asam BasaPengaturan keseimbangan cairan perlu
memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:volume cairan
ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol
volume cairanekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan
mengontrol osmolaritas cairanekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankankeseimbangan ini dengan
mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk
mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam
tersebut.Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan
keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan
ion bikarbonat dalam urin sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang
turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan
mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimia
dalam cairan tubuh.
Keseimbangan Cairan dan ElektrolitPengaturan keseimbangan cairan
perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:volume cairan
ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol
volume cairanekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan
mengontrol osmolaritas cairanekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankankeseimbangan ini dengan
mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk
mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam
tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan
darah arteri denganmenurunkan volume plasma. Sebaliknya,
peningkatan volume cairan ekstrasel dapatmenyebabkan peningkatan
tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma.Pengontrolan
volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah
jangkapanjang. Pengaturan volume cairan ekstrasel dapat dilakukan
dengan cara sbb.:a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran
(intake & output) airUntuk mempertahankan volume cairan tubuh
kurang lebih tetap, maka harus adakeseimbangan antara air yang ke
luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini terjadikarena adanya
pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan
lingkunganluarnya. b. Memperhatikan keseimbangan garamSeperti
halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu
dipertahankansehingga asupan garam sama dengan keluarannya.
Permasalahannya adalah seseoranghampir tidak pernah memperhatikan
jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuaidengan kebutuhannya.
Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranyadan
cenderung lebih dari kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi
harusdiekskresikan dalam urin untuk mempertahankan keseimbangan
garam.
Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan cara:1.
Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan
Laju FiltrasiGlomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate(GFR).2.
Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal Jumlah Na+
yang direabsorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan
mengontroltekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
mengatur reabsorbsi Na+ danretensi Na+ di tubulus distal dan
collecting. Retensi Na+ meningkatkan retensi airsehingga
meningkatkan volume plasma dan menyebabkan peningkatan tekanan
daraharteri .Selain sistem renin-angiotensin-aldosteron, Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) atauhormon atriopeptin menurunkan
reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi olehsel atrium
jantung jika mengalami distensi akibat peningkatan volume
plasma.Penurunan reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal
meningkatkan eksresi urinsehingga mengembalikan volume darah
kembali normal.
2. Pengaturan osmolaritas cairan ekstraselOsmolaritas cairan
adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam
suatularutan. Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi
konsentrasi solute atau semakinrendah konsentrasi air dalam larutan
tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosisdari area yang
konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke
area yangkonsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih
rendah).Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi
solut yang tidak dapat menembusmembran plasma di intrasel dan
ekstrasel. Ion natrium merupakan solut yang banyakditemukan di
cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam
menentukanaktivitas osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam
cairan intrasel, ion kaliumbertanggung jawab dalam menentukan
aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yangtidak merata dari
ion natrium dan kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion
inibertanggung jawab dalam menentukan aktivitas osmotik di kedua
kompartmen ini.Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh
dilakukan melalui:a. Perubahan osmolaritas di nefron Di sepanjang
tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritasyang pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai
dengan keadaan cairan tubuhsecara keseluruhan di duktus koligen.
Glomerulus menghasilkan cairan yang isosmotikdi tubulus proksimal (
300 mOsm). Dinding tubulus ansa Henle pars desending
sangatpermeable terhadap air, sehingga di bagian ini terjadi
reabsorbsi cairan ke kapilerperitubular atau vasa recta. Hal ini
menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadihiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap
air dan secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini
menyebabkan reabsorbsi garam tanpaosmosis air. Sehingga cairan yang
sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadihipoosmotik.
Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen
bervariasibergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH). Sehingga
urin yang dibentuk diduktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke
pelvis ginjal dan ureter juga bergantungpada ada tidaknya
vasopresin/ ADH.
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/
ADH)Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan
merangsang osmoreseptordi hypothalamus. Rangsangan ini akan
dihantarkan ke neuron hypothalamus yangmenyintesis vasopressin.
Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalamdarah
dan akan berikatan dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan
vasopressindengan resptornya di duktus koligen memicu terbentuknya
aquaporin, yaitu kanal air dimembrane bagian apeks duktus koligen.
Pembentukan aquaporin ini memungkinkanterjadinya reabsorbsi cairan
ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urin yang terbentuk diduktus
koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga
cairan di dalamtubuh tetap dapat dipertahankan. Selain itu,
rangsangan pada osmoreseptor di hypothalamus akibat peningkatan
osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di
hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan
cairan di dalam tubuh kembali normal. Pengaturan Neuroendokrin
dalam Keseimbangan Cairan dan ElektrolitSebagai kesimpulan,
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit diperankan olehsystem
saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf mendapat informasi adanya
perubahankeseimbangan cairan dan elektrolit melali baroreseptor di
arkus aorta dan sinus karotiikus,osmoreseptor di hypothalamus, dan
volumereseptor atau reseptor regang di atrium.Sedangkan dalam
sistem endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh
mengalamikekurangan cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan
Vasopresin/ ADH denganmeningkatkan reabsorbsi natrium dan air.
Sementara, jika terjadi peningkatan volumecairan tubuh, maka
hormone atripeptin (ANP) akan meningkatkan ekskresi volumenatrium
dan air . Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi
pada beberapa keadaan. Sebagai contoh Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit diantaranya ialah
umur, suhu lingkungan, diet, stress, dan penyakit.
Keseimbangan Asam-BasaKeseimbangan asam-basa terkait dengan
pengaturan pengaturan konsentrasi ion H bebasdalam cairan tubuh. pH
rata-rata darah adalah 7,4, pH darah arteri 7,45 dan darah vena
7,35.Jika pH darah < 7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah
> 7,45 dikatakan alkalosis. Ion Hterutama diperoleh dari
aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan
kontinyuakan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:1.
pembentukan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi
ion H danbikarbonat2. katabolisme zat organik3. disosiasi asam
organic pada metabolisme intermedia, misalnya pada metabolismelemak
terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini akan
berdisosiasimelepaskan ion H. Fluktuasi konsentrasi ion h dalam
tubuh akan mempengaruhi fungsi normal sel, antara lain:1. perubahan
eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat,sebalikny pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.2.
mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh.3. mempengaruhi konsentrasi
ion KBila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha
mempertahankan ion H sepertinilai semula dengan cara:1.
mengaktifkan sistem dapar kimia2. mekanisme pengontrolan pH oleh
sistem pernapasan3. mekanisme pengontrolan pH oleh sistem
perkemihanAda 4 sistem dapar kimia, yaitu:1. Dapar bikarbonat;
merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel teutama untukperubahan
yang disebabkan oleh non-bikarbonat.2. Dapar protein; merupakan
sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel.3. Dapar hemoglobin;
merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan
asamkarbonat.4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem
perkemihan dan cairan intrasel.Sistem dapar kimia hanya mengatasi
ketidakseimbangan asam-basa sementera. Jika dengandapar kimia tidak
cukup memperbaiki ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH
akandilanjutkan oleh paru-paru yang berespons secara cepat terhadap
perubahan kadar ion H dalamdarah akibat rangsangan pada
kemoreseptor dan pusat pernapasan, kemudian mempertahankankadarnya
sampai ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal
mampu meregulasiketidakseimbangan ion H secara lambat dengan
mensekresikan ion H dan menambahkanbikarbonat baru ke dalam darah
karena memiliki dapar fosfat dan ammonia.
Ketidakseimbangan asam-basaAda 4 kategori ketidakseimbangan
asam-basa, yaitu:1. Asidosis respiratori, disebabkan oleh retensi
CO2 akibat hipoventilasi. PembentukanH2CO3 meningkat, dan disosiasi
asam ini akan meningkatkan konsentrasi ion H.2. Alkalosis
respiratori, disebabkan oleh kehilangan CO2 yang berlebihan
akibathiperventilasi. Pembentukan H2CO3 menurun sehingga
pembentukan ion H menurun.3. Asidosis metabolik, asidosis yang
bukan disebabkan oleh gangguan ventilasi paru.Diare akut, diabetes
mellitus, olahraga yang terlalu berat, dan asidosis uremia
akibatgagal ginjal akan menyebabkan penurunan kadar bikarbonat
sehingga kadar ion Hbebas meningkat.4. Alkalosis metabolik, terjadi
penurunan kadar ion H dalam plasma karena defisiensiasam
non-karbonat. Akibatnya konsentrasi bikarbonat meningkat. Hal ini
terjadikarena kehilangan ion H karena muntah-muntah dan minum
obat-obat alkalis.Hilangnya ion H akan menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk menetralisirbikarbonat, sehingga kadar bikarbonat
plasma meningkat.Untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan
asam-basa tersebut, fungsi pernapasan danginjal sangat penting.
2.3.3 Diabetes MelitusKlasifikasi Diabetes Melitus menurut
American Diabetes Association (ADA), 2005, yaitu11 :1. Diabetes
Melitus Tipe 1DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah
yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi,
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin
(glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam
hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM
tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada
usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.2. Diabetes Melitus
Tipe 2DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan
baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat
tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau
kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan
obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30
tahun.3. Diabetes Melitus Tipe laina. Defek genetik pada fungsi sel
betab. Defek genetik pada kerja insulinc. Penyakit eksokrin
pankreasd. Endokrinopatie. Diinduksi obat atau zat kimiaf.
Infeksig. Imunologi
4. DM GestasionalKLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998
DM GESTASIONALDM TIPE LAIN :1. Defek genetik fungsi sel beta
:Maturity onset diabetes of the youngMutasi mitokondria DNA 3243
dan lain-lain2. Penyakit eksokrin pankreas
:PankreatitisPankreatektomy3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
hipertiroidisme4.akibat obat : glukokortikoid,
hipertiroidisme5.Akibat virus: CMV, Rubella6.Imunologi: antibodi
anti insulin7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, KlinefelterDM TIPE
2 :Defisiensi insulin relatif :1, defek sekresi insulin lebih
dominan daripada resistensi insulin.2. resistensi insulin lebih
dominan daripada defek sekresi insulin.
DM TIPE 1:Defisiensi insulin absolut akibat destuksi sel beta,
karena:1.autoimun2. idiopatik
A
2.4 Patofiologi2.4.1 Penyakit Ginjal KronikPatofisiologi
penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya.2 Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional pada nefron yang masih tersisa sebagai
upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus.6,10 Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas sistem RAA
(renin-angiotensin-aldosteron) intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, skelrosis dan
progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksi renin
angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
(TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, disiplidemia.11 Terdapat variabilitas
interinvidual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial.6,10,11Pada stadium paling dini penyakit
ginjal kronik, terjadinya kehilangan daya cadang ginjal, pada
keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif yang di tandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum sampai pada LFG sebesar 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.2,6 Sampai pada LFG
dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme, fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG
dibawah 15%, akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau tranplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.6
2.4.2 Diabetes MelitusTubuh manusia membutuhkan energi agar
dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil
pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam
saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari
makanan tersebut. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi
menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat
makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin
memegang peranan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam
sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Pengeluaran
insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa
darah sebesar > 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin.
Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel target, akan
mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa
protein, glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa
ke dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan
transporter glukosa (GLUT 4).
InkretinSuatu hormone yang diproduksi di usus ( jejunum dan
ileum) akibat adanya makanan dalam usus dan dilepaskan ke darah
dengan tujuan respon insulin menjadi lebih intensif.Respon lebih
intensif karena : Adanya proliferasi dan peningkatan massa sel
Pankreas Menghambat apoptosis sel Mensupresi pelepasan glukagon sel
. 1
Patofisiologi DM tipe 1Pada saat diabetes mellitus tergantung
insulin muncul, sebagian sel beta pancreas sudah rusak. Proses
perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meski rinciannya
masih samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap
penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai proses ini
pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini
merupakan satu mekanisme pemicu tetapi agen non infeksius juga
dapat terlibat. Ketiga, dalam rangkaian respon peradangan pankreas,
disebut insulitis. Sel yang mengifiltrasi sel beta adalah monosit
atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat, adalah perubahan
atau transformasi sel beta sehingga tidak dikenali sebagai sel
sendiri, tetapi dilihat oleh sistem imun sebagai sel. Kelima,
perkembangan respon imun karena dianggap sel asing terbentuk
antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan
diabetes.Patofisiologi DM tipe 2Pasien Diabetes Mellitus tipe 2
mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin abnormal dan
resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga
fase normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun
terlihat resistensi urin karena kadar insulin meningkat. Kedua,
resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin
banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang.
Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi,
terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut
sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya
tidak begitu jelas, tetapi faktor berikut ini turut berperan :
Obesitas terutama sentral. Diet tinggi lemak rendah karbohidrat.
Tubuh yang kurang aktivitas. Faktor keturunan.Baik pada DM tipe 1
atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas
ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.Pada DM tipe II,
jumlah insulin normal atau mungkin jumlahnya banyak, tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel berkurang.
Akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa di
dalam pembuluh darah meningkat (Suyono, 2002).DM TIPE II.
11Gangguan reseptor insulin
Insulin darah tinggi tapi glukosa darah juga tinggi
Gula intrasel rendah Nafsu makan meningkat
Merangsang sel Pankreas terus berproduksi
Kerusakan sel Pankreas
Insulin darah rendah
Failed counter pada glukagon
Glukagon meningkat
Hepato Glucos Production meningkat
Gula darah meningkat
2.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik Akibat Diabetes
MelitusPenyebab pasti dari nefropati diabetik belum diketahui namun
berbagai macam studi mengatakan hal tersebut karena hiperglikemia
yang memicu terjadinya hiperfiltrasi dan kerusakan pada ginjal,
kelanjutan glikosilasi, dan aktivasi dari sitokin. Adanya
pengontrolan terhadap glukosa darah menunjukan keseimbangan antara
asupan atau intake, glukoneogenesis, penggunaan pada jaringan atau
penyimpanan sebagai glikogen atau lemak dan oksidasinya.
Keseimbangan ini diatur lewat produksi insulin oleh sel beta pada
pankreas. Insulin mengatur serum glukosa di hati, otot skelet, dan
jaringan lemak. Ketika terjadi resistensi insulin, insulin tidak
dapat lagi melakukan glukoneogenesis di hepatik dan menyebabkan
terjadinya hiperglikemia. Sementara itu resistensi insulin
menyebabkan terjadinya peningkatan lipolisis pada jaringan adipose
dan otot skelet yang akan menyebabkan terjadinya hiperlipidemia.
Ketika terjadi resistensi insulin, pankreas berusaha ntuk
meningkatkan pengeluaran insulin yang mengakibatkan stres pada sel
beta. Tingginya kadar glukosa dan asam lemak menjadi mediator
inflamasi yang mengaktifkan innate immunity pada seseorang.9
Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya peningkatan dari ekspresi
Transforming Growth Factor (TGF- ) pada glomerulus dan matriks
protein serta adanya Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
berkontribusi terhadap hipertrofi dan meningkatkan sintesis kolagen
serta menginduksi perubahan vaskular pada seorang dengan nefropati
diabetik. Hiperglikemia juga mengaktivasi protein C kinase yang
berkontribusi terhadap penyakit ginjal dan berbagai komplikasi
vaskular dari diabetes.13Terdapat 3 perubahan histologi mayor utama
pada glomerulus seorang dengan nefropati diabetik:1. Ekspansi dari
mesangial yang langsung diinduksi oleh hiperglikemia, diperkirakan
melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari protein
matriks.2. Penebalan dari membran basalis glomerulus terjadi.3.
Terjadi sklerosis dari glomerulus akibat hipertensi (diinduksi oleh
dilatasi dari arteri aferen renalis atau dari kerusakan atau
iskemia yang diinduksi oleh penipisan hialin dari pembuluh darah
yang menyuplai ke glomerulus)
Ketiga perbedaan pola histologi ini memiliki signifikansi nilai
prognostik yang sama. Perubahan pada glomerulopati diabetik ini
akibat adanya penimbunan dari matriks ekstraseluler. Perubahan
morfologi paling awal pada nefropati diabetik ini adalah penebalan
dari membran basalis glomerulus dan ekspansi dari mesangium selama
terjadi akumulasi dari matriks ekstraseluler. Derajat dari
glomerulopati diabetik ini diperkirakan melalui penebalan dari
membran basalis perifer, mesangium, serta ekspresi dari matriks
atau sama dengan fraksi atas ruang yang sesuai (volum fraksi dari
mesangium/, matriks /mesangium, atau matriks/glomerulus).9
Glomerulus dan ginjal biasanya normal atau mengalami pembesaran
ukuran pada nefropati diabetik Selain itu adanya perubahan
hemodinamik, pasien dengan nefropati diabetik biasanya mengalami
hipertensi sistemik. Hipertensi adalah faktor utama pada seluruh
penyakit ginjal progresif terutama untuk nefropati diabetik. Efek
dari hipertensi mempengaruhi vaskularisasi ataupun
mikrovaskularisasi. Hipertensi yang berhubungan dengan obesitas,
sindroma metabolik, dan diabetes memiliki peran penting terhadap
patogenesis dari nefropati diabetik. Obesitas sentral, sindroma
metabolik, dan diabetes memicu terjadinya peningkatan tekanan
darah. Obesitas sentral menginduksi terjadinya hipertensi melalui
peningkatan reabsorbsi dari natrium pada tubulus renalis dan
menyebabkan terjadinya hipertensi renalis dan natriuresis melalui
berbagai mekanisme, termasuk pengaktifan dari sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) yang dapat menyebabkan
terjadinya kompresi fisik dari ginjal. Hipertensi juga menyebabkan
terjadinya peningkatan dari tekanan kapiler intraglomerular dan
kelainan metabolik (dislipidemia dan hiperglikemia) saling
berinteraksi untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pada ginjal.
Seperti obesitas yang berhubungan dengan hiperfiltrasi glomerulus,
vasodilatasi renalis, penurunan nilai LFG, peningkatan tekanan
kapiler intraglomerular, dan peningkatan tekanan darah menjadi
karakteristik dari nefropati diabetik. Peningkatan tekanan darah
sistolik memiliki eksaserbasi dari progresivitas proteinuria dan
penurunan dari LFG yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit
ginjal kronik stadium akhir (gagal ginjal kronik).13
2.6 Etilogi yang menyebabkan CKD pada penderita DM121.
HiperglikemiaEfek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan
hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-
yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C yang termasuk
dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular
seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler.Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan
terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada
awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara
non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan
ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih
reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini
berlanjut terus, akan terbentukAdvanced Glycation End Product(AGEs)
yang ireversibel
2. Mikrongiopati menyebabkan kerusakan pembuluh darah perifer
pada ginjal oleh gula darah tinggi yang akan mengakibatkan
kerusakan glomerulus menjadi glomerulopati yang nantinya akan
membuat kerja ginjal semakin berat sehingga terjadi gagal ginjal
kronik 3. Glikolisasi Non EnzimatikHiperglikemia kronik dapat
menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan
protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya
akan merusak seluruh glomerulus.4. PolyolpathywayDalam
polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan
peran utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar
glukosa darah meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel
ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang
akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.5.
GlukotoksisitasKonsistensi dengan penemuan klinik bahwa
hiperglikemia berperan dalam perkembangan nefropati diabetik studi
tentang sel ginjal dan glomerulus yang disolasi menunjukkan bahwa
konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks
ekstraselular sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.
6. MikroalbuminuriaLaju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat
menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin
adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan
volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
7. Kelainan glomerulusKelainan glomerulus disebabkan oleh
denaturasi protein karena tingginya kadar glukosa, hiperglikemia
dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi pada
membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel
mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan
berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan
pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai dengan
timbulnya albuminuria.8. ProteinuriaProteinuria merupakan predictor
independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal baik pada
nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya
filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi.
Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan
kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila
reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi
akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan
pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan
monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor ini akan
merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan
infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari
tubulointertisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan
insufisiensi.
Patofisiologi penyakit ginjal diabetik
Diubah menjadi sorbitolPerubahan fungsional jaringan
Uptake mio-inositol intra sel menurunAktifitas K+, Na+, ATPase
menurunSel bengkak
Difusi cairan ke intra selTekanan osmotik meningkatAkumulasi
sorbitol intra selHiperglikemiaGlukosa inrtrasel meningkat
Hiperglikemia terhadap aktifnya protein kinase
CHiperglikemia
Mengaktifkan jalur protein kinase C
Disfungsi endotel Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat
Peningkatan pH intrasel Peningkatan proliferase dan vaskularisasi
Perangsangan sintesis kolagen membran basal Rangsangan perubahan
ekpresi gen
2.6 Penegakan Diagnosa CKD
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari
gambaran klinis, laboratorium, gambaran radiologis, dan apabila
perlu gambaran histopatologis serta biopsi.5,61. Gambaran
klinisGambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi; a).
gejala pada penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) dan lain
sebagainya, b). sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,
neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma, c). gejala komplikasi antara lain: hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).5,62. Gambaran
laboratoriumGambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi
a). sesuai dengan penyakit yang mendasarinya, b). penurunan fungsi
ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault,
c). kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis
metabolik, d). kelainan urinalisis meliputi proteiuria, leukosuria,
dan terdapat cast.5,6 3. Gambaran radiologisPemeriksaan radiologis
penyakit ginjal kronik meliputi a). foto polos abdomen, bisa tampak
batu radioopak, b). pielografi intravena jarang dikerjakan karena
kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping
kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal
yang sudah mengalami kerusakan, c). pielografi anterograd atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi, d). ultrasonografi
ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa
dan klasifikasi.5,64. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
GinjalBiopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada
pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal kontra indikasi dilakukan pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan
obesitas.5,6
BAB IIIKESIMPULAN
Dari pembahasan di atas,
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
1. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Edisi
IV:Diabetes Melitus DiIndonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p:
1875.2. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam.
1995. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima,
2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.3. Hogg RJ et al. National Kidney
Foundations Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Clinical
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Children and
Adolescents: Evaluation, Classification, and Stratification.
Pediatrics 2003;111:1416-1421.4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta :
PERKENI, 20115. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice
Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
and Stratification. United States: 2002. Available
https://www.kidney.org/professionals/
kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html Accessed on August 10,
2014.6. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A W,
Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-4 Jilid ke-2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI 2009; p.1035-7.7. National Kidney Foundation. KDOQI
Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification. United States:
2002. Available at: https://www.kidney.org/professionals/
kdoqi/guidelines_ckd/p9_approach.html. Accessed on: July 31th
2014.8. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Annual Meeting 2009
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Available at:
http://www.pernefri-inasn.org/ Accessed on: August 14, 2014.9.
Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Program Indonesian Renal Registry.
5th Report of Indonesian Renal Registry 2012;5:p.1-4010. Price SA,
Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. In: Brahm U. Pendit, editors. 6th ed. Jakarta: EGC, 2005.
p. 931-2.11. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison
Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5.
Jakarta : EGC, 2000; 2196.12. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A.,
Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.13. Batuman V. Diabetic
Nephropathy. Medscape. Update on May 28th, 2014. At :
http://emedicine.medscape.com/article/238946-overview. Accessed
January 8th 2014.14. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Hipertensi. Azis R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW,
Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.15.
22