BAB I PENDAHULUAN Dalam praktik kedokteran di rumah sakit, cukup banyak dijumpai di instalasi gawat darurat, pasien datang sebagai korban gigitan binatang. Luka yang ditimbulkan dapat bervariasi dari ringan sampai berat, dari tidak berbahaya hingga ke taraf yang mematikan. Gigitan binatang dapat berupa gigitan anjing dan ular yang merupakan kasus terbanyak yang cukup mengkhawatirkan, kemudian disusul oleh gigitan oleh serangga dan binatang lain. Dewasa ini ilmu pengobatan semakin berkembang, namun masih banyak orang yang belum merasakan perkembangan tersebut dikarenakan ketidaktahuannya. Oleh karena itu dalam referat ini saya akan membahas mengenai penanganan dan pencegahan gigitan binatang, khususnya anjing dan ular,. Sumber data yang saya gunakan dalam penyusunan referat ini berasal dari beberapa jurnal elektronik dan hasil penelitian yang telah ada sebelumnya, yang kemudian saya kombinasikan supaya lebih mudah untuk dipahami mengenai hal-hal yang penting dan utama. Referat ini dibuat dengan harapan dapat berguna bagi kepentingan umum dan meningkatkan kewaspadaan serta pengetahuan masyarakat mengenai penanganan dalam hal luka akibat gigitan binatang, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dalam kasus gigitan binatang. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam praktik kedokteran di rumah sakit, cukup banyak dijumpai di instalasi gawat
darurat, pasien datang sebagai korban gigitan binatang. Luka yang ditimbulkan dapat
bervariasi dari ringan sampai berat, dari tidak berbahaya hingga ke taraf yang mematikan.
Gigitan binatang dapat berupa gigitan anjing dan ular yang merupakan kasus terbanyak yang
cukup mengkhawatirkan, kemudian disusul oleh gigitan oleh serangga dan binatang lain.
Dewasa ini ilmu pengobatan semakin berkembang, namun masih banyak orang yang
belum merasakan perkembangan tersebut dikarenakan ketidaktahuannya. Oleh karena itu
dalam referat ini saya akan membahas mengenai penanganan dan pencegahan gigitan
binatang, khususnya anjing dan ular,. Sumber data yang saya gunakan dalam penyusunan
referat ini berasal dari beberapa jurnal elektronik dan hasil penelitian yang telah ada
sebelumnya, yang kemudian saya kombinasikan supaya lebih mudah untuk dipahami
mengenai hal-hal yang penting dan utama.
Referat ini dibuat dengan harapan dapat berguna bagi kepentingan umum dan
meningkatkan kewaspadaan serta pengetahuan masyarakat mengenai penanganan dalam hal
luka akibat gigitan binatang, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
dalam kasus gigitan binatang.
1
BAB II
GIGITAN BINATANG
(1)Gigitan adalah masalah yang sangat umum dan dapat menyebabkan nyeri yang
signifikan dan dapat cepat berlanjut menjadi infeksi dan kekakuan di tangan. Pengobatan dini
dan tepat adalah kunci untuk meminimalkan potensi masalah dari gigitan.
Ketika binatang menggigit, bakteri dari mulutnya mencemari luka. Bakteri ini
kemudian dapat tumbuh dalam luka dan menyebabkan infeksi. Hasil infeksi beragam dari
ketidaknyamanan yang ringan sampai komplikasi yang mengancam jiwa.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan infeksi, termasuk jenis dan
lokasi, kondisi kesehatan yang merusak kekebalan (seperti diabetes, penyakit pembuluh
darah, kanker, HIV) yang sudah ada pada pribadi yang mengalami luka gigitan,
keterlambatan dalam pengobatan, kehadiran benda asing dalam luka (seperti potongan gigi),
dan jenis hewan yang menggigit individu.
2.1 GIGITAN ANJING
A. EPIDEMIOLOGI
(2)Kurangnya standar pelaporan di banyak negara membuat perkiraan akurat tentang
kejadian gigitan mamalia sulit untuk ditentukan. Bergantung pada keterangan lokal, kisaran
hewan yang menimbulkan gigitan sangat luas dan termasuk kucing besar (harimau, singa,
macan tutul), anjing liar, hyena, serigala (Eurasia), buaya, dan reptil lainnya. Seperti di
Amerika Serikat, gigitan paling banyak adalah dari anjing domestik. Di negara berkembang,
gigitan mamalia (terutama oleh gigitan anjing, kucing, rubah, sigung, dan rakun) membawa
resiko tinggi infeksi rabies.
2
B. BAHAYA GIGITAN ANJING
Gigitan anjing biasanya menimbulkan luka tipe crushing karena gigi mereka bulat dan
rahang kuat. Anjing dewasa dapat mengerahkan tekanan 200 pon per inci persegi (psi), dan
beberapa anjing besar mampu mengerahkan tekanan 450 psi. Kekuatan yang ekstrim tersebut
dapat merusak struktur yang lebih dalam seperti tulang, pembuluh darah, tendon, otot, dan
saraf.
Gambar 1. Luka Pada Tangan Kiri Akibat Serangan Anjing Pitbull.
Gigitan pada tangan umumnya memiliki risiko tinggi untuk infeksi karena pasokan
darah yang relatif miskin, banyak struktur di tangan, dan pertimbangan anatomis yang
membuat pembersihan luka yang sulit memadai. Secara umum, semakin baik pasokan
pembuluh darah dan semakin mudah luka dibersihkan (contoh, laserasi vs tusukan), semakin
rendah risiko infeksi.
Bakteri umum yang terlibat dalam infeksi luka gigitan meliputi:
o Staphylococcus species
o Streptococcus species
o Eikenella species
o Pasteurella species
o Proteus species
o Klebsiella species
o Haemophilus species
o Enterobacter species
o DF-2 or Capnocytophaga canimorsus
3
o Bacteroides species
o Moraxella species
o Corynebacterium species
o Neisseria species
o Fusobacterium species
o Prevotella species
o Porphyromonas species
(3)Rabies adalah penyakit virus akut yang menyebabkan encephalomyelitis di hampir
semua hewan berdarah panas termasuk manusia. Agen penyebab ditemukan di beberapa
hewan domestik dan hewan liar, dan ditularkan ke hewan lain dan ke manusia melalui kontak
dekat dengan air liur mereka (yaitu gigitan, goresan, jilatan pada kulit yang rusak dan selaput
lendir). Di daerah perkotaan, penyakit terutama ditularkan oleh anjing, yang bertanggung
jawab untuk sekitar 95% kasus gigitan hewan. Manusia adalah akhir dari infeksi dan
karenanya tidak memainkan peran apa pun dalam penyebarannya ke host baru.
C. GEJALA KLINIS
(4)Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7
hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi
kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa
inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi
dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke
sistem saraf pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada
kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,
(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak
yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies
yang mendalam.
4
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea,
dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif.
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau
fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan
multiplikasi virus dalam ganglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.
Gejala ini terdapat pada 50% sampai 80% pasien.
Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik.
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,
rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan
alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis
fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi
bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai
pasien akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap
cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada
pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. Abnormalitas sistem saraf otonom
meliputi dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih.
Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya
refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.
Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran
tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien
menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan
kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari
ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari,
dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.
D. PENANGANAN PERTAMA
5
(3)Perlakuan pasca pajanan adalah melalui tiga cabang pendekatan. Ketiganya
mempunyai peranan yang sama penting dan harus dilakukan.
Managemen luka
Imunisasi pasif
Imunisasi aktif
Pembersihan luka
Sejak virus rabies memasuki tubuh manusia melalui gigitan atau goresan, sangat
penting untuk menghapus sebanyak mungkin air liur dan juga virus dari luka seperti yang
dimungkinkan oleh pembersihan luka yang efisien, yang seharusnya tidak mengakibatkan
trauma tambahan. Karena virus rabies dapat bertahan dan bahkan berkembang biak pada
tempat gigitan untuk waktu yang lama, pembersihan luka harus dilakukan bahkan jika
pasien terlambat melaporkan.
Hal ini dapat dilakukan dengan pencucian yang menyeluruh yang dilakukan cepat dan
lembut dengan sabun atau deterjen dan pembilasan luka dengan air mengalir selama 10
menit. Jika sabun dan deterjen tidak segera tersedia, cuci dengan air yang mengalir minimal
10 menit. Hindari menyentuh langsung luka dengan tangan kosong. Mengingat pentingnya
langkah tersebut, klinik anti rabies seharusnya memiliki fasilitas mencuci luka.
Penerapan tanah, cabe, oli, dll adalah tidak perlu dan malah merusak. Dalam kasus
dengan tanah, cabe, minyak dll yang telah diterapkan pada luka, cukup cuci lembut dengan
sabun atau deterjen untuk menghilangkan bahan asing, khususnya minyak, harus dilakukan
dan segera diikuti dengan pembilasan dengan jumlah air yang berlebih selama 10 menit.
Perlu dicatat bahwa pencucian luka dengan segera adalah prioritas. Namun, korban
tidak boleh kehilangan makna dari pembersihan luka, selama ada luka yang belum
tersembuhkan yang dapat dicuci bahkan jika pasien terlambat melaporkan. Manfaat
maksimal dari mencuci luka diperoleh ketika luka segar segera dibersihkan. Menjahit luka
harus dihindari sedapat mungkin. Jika tidak dapat dihindari, jahitan longgar harus diterapkan
setelah pengobatan lokal yang memadai bersama dengan infiltrasi serum anti rabies yang
tepat.
6
Kauterisasi dari luka tidak lagi dianjurkan karena meninggalkan bekas luka yang
sangat buruk, dan tidak memberi keuntungan tambahan bila dibandingkan dengan mencuci
luka dengan air dan sabun. Injeksi tetanus toksoid harus diberikan kepada individu yang
tidak diimunisasi. Untuk mencegah sepsis pada luka, prosedur pemberian antibiotik yang
sesuai dapat direkomendasikan.
Setelah mencuci menyeluruh dan pengeringan luka, salah satu agen kimia yang
tersedia harus diterapkan: Savlon (dalam pengenceran sesuai yang direkomendasikan),
Dettol (dalam pengenceran sesuai yang direkomendasikan), yodium povidone, alkohol dll.
Type of contact with a suspect or
confirmed rabid domestic or wild
animal, or animal unavailable for
observation
I. Touching or feeding of animals
Licks on intact skin
II. Nibbling of uncovered skin
Minor scratches or abrasions
without bleeding
Licks on broken skin
III. Single or multiple transdermal
bites or scratches Contamination
of mucous membrane with saliva
(i.e. licks)
Recommended treatment.
None, if reliable case history is available
Administer vaccine immediately. Stop
treatment if animal remains healthy
throughout an observation period of 10
days or if animal is killed humanely and
found to be negative for rabies by
appropriate laboratory techniques
Administer rabies immunoglobulin and
vaccine immediately. Stop treatment if
animal remains healthy throughout an
observation period of 10 days or if
animal is killed humanely and found to
be negative for rabies by appropriate
laboratory techniques.
7
A. Exposure to rodents, rabbits and hares seldom, if ever, requires specific anti-
rabies treatment
B. If an apparently healthy dog or cat in or from a low-risk area is placed under
observation, the situation may warrant delaying initiation of treatment
C. This observation period applies only to dogs and cats. Except in the case of
threatened or endangered species, other domestic and wild animals suspected
as rabid should be killed humanely and their tissues examined using
appropriate laboratory techniques
Source : Guidelines for post-exposure treatment in 8th Report of the
WHO Expert Committee on Rabies,
WHO Technical report Series 824, 1992
Tabel 1. Panduan WHO untuk Penanganan Paska Pajanan Rabies
D.PENGOBATAN
(2)Topik ini adalah salah satu hal yang paling kontroversial dalam perawatan luka,
karena mengingat bahwa perawatan luka yang tepat (inspeksi, debridemen, irigasi,
penutupan, jika diindikasikan) lebih mengurangi infeksi dibandingkan dengan pemberian
antibiotik. Secara umum, luka berisiko rendah tidak memerlukan profilaksis antibiotik.
Namun, terapi ini direkomendasikan untuk luka yang berisiko tinggi (misalnya, gigitan
kucing yang berupa tusukan, gigitan ke tangan, cedera hancur yang besar, keterlambatan
pelaporan luka, kesehatan umum yang buruk).
Tujuan dari terapi awal adalah untuk mengatasi staphylococci, streptococci, anaerob,
dan spesies Pasteurella. Antibiotik profilaksis dapat diberikan untuk 3 - 5 hari saja. Terapi
oral lini pertama adalah amoksisilin dan klavulanat. Untuk infeksi risiko tinggi, dosis
pertama antibiotik intravena dapat diberikan (yaitu, ampisilin-sulbaktam, tikarsilin-
klavulanat, piperasilin-tazobactam, atau carbapenem). Kombinasi terapi oral lainnya
termasuk cefuroxime ditambah klindamisin atau metronidazole, fluoroquinolone ditambah
8
klindamisin atau metronidazol, sulfamethoxazole dan trimethoprim ditambah klindamisin
atau metronidazole, penisilin ditambah klindamisin atau metronidazol, amoksisilin ditambah
klindamisin atau metronidazol dan azitromisin yang kurang efektif atau doksisiklin ditambah
klindamisin atau metronidazol. Jika luka terinfeksi, rangkaian antibiotik dianjurkan 10 hari
atau lebih.
(3)Imunisasi pasif menggunakan Imunoglobulin rabies
Antirabies serum / ERIG: Serum antirabies memberikan kekebalan pasif dalam bentuk
antibodi antirabies siap pakai untuk selama tahap awal infeksi. Antirabies serum (ARS)
memiliki sifat mengikat virus rabies, sehingga mengakibatkan hilangnya infektivitas virus.
Sebuah versi dimurnikan dari serum antirabies yang disebut sebagai equine rabies
immunoglobulins (ERIG) sekarang juga tersedia.
Human Rabies Imunoglobulin (HRIG): HRIG bebas dari efek samping yang dihadapi
pada serum heterolog, dan karena waktu paruh yang lebih lama, maka cukup diberikan
dalam setengah dosis ERIG. Serum antirabies harus selalu disimpan dalam suhu kamar (20 -
25oC) sebelum digunakan.
Dosis Imunoglobulin rabies: Dosis ERIG serum adalah 40 iu per kg berat badan pasien
dan diberikan setelah pengujian sensitivitas, sampai maksimum 3000 iu. ARS yang
diproduksi di India mengandung 300 iu, per ml. Dosis dari imunoglobulin rabies manusia
(HRIG) adalah 20 iu badan per kg berat badan (Maksimum 1500 i.u.). HRIG tidak
memerlukan pengujian sensitivitas sebelumnya. Persiapan HRIG tersedia pada konsentrasi
150 iu per ml. Dalam Kategori III dari gigitan hewan, serum antirabies setelah uji sensitifitas
diinfiltrasikan dalam dan di sekitar luka bahkan jika lesi telah mulai menyembuh, diikuti
dengan pemberian vaksin antirabies.
Toleransi dan efek samping: Dengan HRIG, mungkin ada nyeri sementara di tempat
suntikan dan peningkatan singkat suhu tubuh yang tidak memerlukan pengobatan apapun.
Reaksi kulit sangat jarang. HRIG tidak boleh diberikan secara intravena karena ini dapat
menghasilkan gejala-gejala syok, terutama pada pasien dengan sindrom defisiensi antibodi.
Dengan antiserum yang berasal dari kuda, shock anafilaksis dapat terjadi dan dengan
demikian pengujian sensitivitas adalah wajib sebelum memberikan ERIG. Tes kulit dapat
9
dilakukan sesuai petunjuk yang diberikan produsen dalam produk.
Jika tidak, sebagai pedoman umum imunoglobulin heterolog dapat diencerkan 1:10 pada
garam fisiologis steril dan 0,1-0,2 ml dapat diberikan intradermal di fleksor lengan bawah.
Suntikan intradermal dengan larutan garam fisiologis yang setara dapat digunakan sebagai
kontrol. Bacaan yang dibuat 15 menit kemudian dapat dianggap positif jika eritema (> 6
mm), odema lokal atau didapati reaksi sistemik dan kontrol negatif.
Sebuah tes kulit negatif tidak boleh meyakinkan dokter bahwa tidak ada reaksi anafilaksis
akan terjadi. Mereka yang mengelola ERIG harus selalu siap untuk mengobati reaksi
anafilaksis awal dengan adrenalin. Dosisnya adalah 0,5 ml o (0,1 persen solusi (1 dalam
1000, 1mg/ml) untuk orang dewasa dan 0,01 ml / kg berat badan untuk anak-anak,
disuntikkan subkutan atau IM. Jika pasien sensitif terhadap ERIG, HRIG harus digunakan.
Jika imunoglobulin tidak diberikan saat vaksinasi dimulai, dapat diberikan sampai hari
ketujuh setelah pemberian dosis pertama vaksin. Di luar hari ketujuh, Imunoglobulin Rabies
(RIG) tidak diindikasikan karena respon antibodi terhadap vaksin rabies anti dianggap telah
terjadi.
Imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam jarum suntik yang sama atau di lokasi
anatomi yang sama seperti vaksin.
Tissue Culture Vaccines (TCVs)
Telah ada peningkatan penggunaan Vaksin Kultur Jaringan (TCVs) di India. Tiga jenis
vaksin yang saat ini tersedia adalah:
Human diploid cell strain vaccine (HDCV)
Purifed chick embryo cell vaccine (PCEC)
Purified Vero cell vaccine (PVRV)
Seperti yang direkomendasikan oleh Komite Ahli WHO dalam Rabies (1992),
rangkaian untuk profilaksis pasca pajanan harus terdiri dari lima suntikan (Harian 0, 3, 7, 14
dan 28). Injeksi keenam (D90) harus dipertimbangkan sebagai opsional, tapi harus
10
dipertimbangkan untuk orang-orang yang kekebalannya kurang, dan pada usia ekstrem dan
pada terapi steroid. Hari 0 menunjukkan hari injeksi pertama.
Dosis vaksin per injeksi adalah 1 ml untuk HDCV dan vaksin PCEC dan 0,5 ml untuk
PVRV terlepas dari usia dan berat. Dosis PVRV yang diproduksi oleh Pasteur Institute of
India, Coonoor adalah 1 ml per injeksi.
Indikasi: Semua kasus gigitan hewan, terlepas dari keparahan paparan, memerlukan
jumlah suntikan dan dosis per injeksi yang sama. Kategori III membutuhkan administrasi
imunoglobulin rabies seperti yang dibahas sebelumnya
Situs inokulasi: Wilayah deltoideus sangat ideal untuk inokulasi vaksin ini. Daerah
gluteal tidak dianjurkan karena lemak hadir di wilayah ini dan memperlambat penyerapan
antigen dan karenanya merusak generasi kekebalan yang optimal.
Efek samping dengan vaksin kultur jaringan: vaksin kultur jaringan ini secara luas
diterima setidaknya sebagai vaksin rabies yang reaktogenik yang tersedia saat ini. Berbagai
penelitian sekarang menunjukkan bahwa efek samping dapat bersifat umum atau alergi.
Reaksi samping yang umum termasuk lengan sakit, sakit kepala, malaise, mual, demam dan
edema lokal di tempat suntikan. Pengobatan simtomatik mungkin diperlukan.
Pergeseran dari satu merek ke merek TCV lain juga tidak dianjurkan, sebagaimana
literatur mendukung bahwa kekebalan yang baik yang terbaik dicapai dengan merek yang
sama.
Mengelola pajanan yang terjadi setelah profilaksis pra pajanan menggunakan TCV
Jika seseorang yang divaksinasi terkena rabies setelah profilaksis pra-pajanan yang
direkomendasikan, pembersihan luka yang baik harus dilakukan dan dua dosis IM Vaksin
Kultur Jaringan diberikan pada hari ke 0 dan 3. Pengobatan dengan RIG tidak diperlukan.
Profilaksis prapajanan mungkin ditawarkan kepada kelompok risiko tinggi seperti
petugas laboratorium yang menangani virus dan bahan yang terinfeksi, dokter dan para-
medis yang mengobservasi kasus anjing gila, dokter hewan, pawang binatang dan
11
penangkap, sipir satwa liar, petugas karantina dan wisatawan dari daerah bebas rabies untuk
daerah endemis rabies. Imunisasi prapajanan harus tiga dosis IM penuh TCV diberikan pada
hari 0, 7 dan 28 atau 0, 28 dan 56 diikuti dengan booster pada satu tahun dan kemudian
booster setiap tiga tahun.
Pendekatan kepada pasien yang membutuhkan Imunoglobulin Rabies ketika tidak ada
yang tersedia
Dalam keadaan di mana tidak ada imunoglobulin tersedia proritas lebih besar harus
diberikan untuk pembersihan luka yang baik diikuti dengan jadwal vaksin kultur jaringan
dengan dosis ganda pada hari 0 pada 2 lokasi intramuskuler yang berbeda (0 hari - 2 dosis,
masing-masing di deltoid kiri dan kanan, 3, 7, 14 dan 28 hari).
Manajemen paparan hewan gigitan pada wanita hamil dan ibu menyusui
Kehamilan dan menyusui bukanlah kontraindikasi untuk vaksinasi rabies. Profilaksis
pasca kejadian terhadap rabies mempunyai prioritas di atas pertimbangan lainnya karena
merupakan prosedur penyelamatan hidup. Selain itu, vaksin rabies tidak memiliki efek
buruk pada janin, ibu, dan jalannya kehamilan. Oleh karena itu pengobatan lengkap pasca
pajanan harus diberikan tergantung pada kategori pajanan.
F. PENCEGAHAN
(3)Meskipun hewan yang tidak divaksinasi lebih mungkin menularkan rabies, hewan
yang telah divaksinasi juga dapat melakukannya jika vaksinasi hewan tidak efektif untuk
alasan apapun. Risiko anjing yang terinfeksi rabies sangat berkurang jika tampak sehat dan
ada dikonfirmasi sejarah vaksinasi dengan minimal dua imunisasi dengan vaksin rabies
ampuh dalam dua tahun terakhir.
2.2 GIGITAN ULAR
12
(5)Sejak zaman kuno, ular telah disembah, ditakuti, atau dibenci di Asia Selatan. Kobra
muncul dalam banyak kisah dan mitos dan dianggap suci oleh umat Hindu dan Buddha.
Sayangnya, ular tetap menjadi kenyataan yang menyakitkan dalam kehidupan sehari-hari
jutaan warga desa di wilayah ini.
(6)Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya
bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi
(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan
ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya
masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek
dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungaruscandidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king
kobra (Ophiophagus hannah).Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat
dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada
dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung
dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).
A. EPIDEMIOLOGI
(5)Gigitan ular adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling diabaikan
di masyarakat pedesaan miskin yang tinggal di daerah tropis. Karena salah pelaporan yang
serius, beban sebenarnya dari gigitan ular tidak diketahui. Asia Selatan adalah wilayah dunia
yang terkena paling parah, karena kepadatan penduduk yang tinggi, kegiatan pertanian luas,
banyak spesies ular berbisa, dan kurangnya program fungsional pengendalian gigitan ular.
Gigitan ular adalah cedera pekerjaan yang mempengaruhi petani, pekebun, peternak,
dan nelayan. gaya huni terbuka dan praktek tidur di lantai juga mengekspos orang untuk
tergigit dari ular nokturnal.
India memiliki jumlah tertinggi kematian akibat gigitan ular di dunia dengan 35,000-
50,000 orang meninggal per tahun menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di
Pakistan, 40.000 gigitan dilaporkan setiap tahun, yang menghasilkan sampai dengan 8.200
korban jiwa. Di Nepal, lebih dari 20.000 kasus envenoming terjadi setiap tahun, dengan
13
1.000 kematian dicatat. Di Sri Lanka, sekitar 33.000 korban gigitan ular berbisa setiap
tahunnya dilaporkan dari rumah sakit pemerintah. Sebuah survei dilakukan di 21 pos dari 65
distrik administratif Bangladesh memperkirakan kejadian tahunan sebesar 4,3 per 100.000
populasi dan 20% kasus kematian. Namun, data epidemiologi yang ada tetap terfragmentasi
dan dampak sebenarnya dari gigitan ular sangat mungkin dianggap remeh.
(7)Keracunan dari gigitan ular adalah masalah seluruh dunia dan mengakibatkan sekitar
30.000 kematian tahunan. Di Amerika Serikat, antara 40.000 dan 50.000 orang digigit ular
setiap tahun, dari 8.000 sampai 10.000 berasal dari ular berbisa, 15 yang yang fatal.
Di Costa Rica, sebuah negara dengan berbagai macam ular berbisa hampir 700 orang digigit
ular setiap tahun, dengan 10 sampai 15 kematian. Bothrops asper menyumbang lebih dari
50% dari gigitan ular dan sebagian besar kematian.
B. POTENSI BAHAYA
(5)Terdapat keyakinan bahwa gigitan ular pasti menghasilkan keracunan. Namun,
gigitan oleh ular yang tidak berbisa yang umum dan gigitan oleh spesies berbisa tidak selalu
disertai dengan suntikan racun (gigitan kering). Selain itu, gejala yang berhubungan dengan
panik atau stres kadang-kadang meniru gejala envenoming awal, dokter mungkin memiliki
kesulitan dalam menentukan apakah envenoming terjadi atau tidak. Ketika envenoming
terjadi, dapat dengan cepat mengancam jiwa. Bisa ular adalah campuran kompleks dari
racun dan enzim, yang masing-masing mungkin bertanggung jawab untuk satu atau lebih
tindakan beracun yang berbeda.
(8)Gigitan ular biasanya dikategorikan menurut tindakan utama dari racun mereka ke
sitotoksik, haemotoksik dan neurotoksik. Namun, banyak ular menyuntikkan berbagai
senyawa beracun yang dapat menyebabkan lebih dari satu jenis sindrom.
(6)Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular
tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat
dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa
terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
14
Gambar 2. Bekas Gigitan Ular.
(A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa dengan bekas taring
Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu
bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang
diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai
spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan
tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal,