REFERAT GAGAL NAFAS Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Anak Diajukan Kepada : Pembimbing : dr. Galuh Ramaningrum, SpA Disusun Oleh : Nuzulia Ni’matina H2A010037 Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Anak FAKULTAS KEDOKTERAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
GAGAL NAFAS
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Anak
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Galuh Ramaningrum, SpA
Disusun Oleh :
Nuzulia Ni’matina H2A010037
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Anak
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD TUGUREJO SEMARANG
Periode 03 November 2014 – 11 Januari 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)
merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan
tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.
Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien
masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan
pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan keadaan
klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam
mempertahankan pertukaran gas normal atau tercukupinya aliran oksigen.1-5
Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan
nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat
disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular
dan gangguan sistem saraf pusat. Terdapat dua tipe gagal nafas, yaitu gagal nafas
tipe hiperkapnik dan gagal nafas tipe hipoksemia.1-5
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah
kelahiran, dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab
utama kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan komplikasi
perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun 2006
disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan
pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%), respiratory distress 4%, dan
aspirasi 8%.6-7
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN
Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea,
alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior,
lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan
lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus
superior dan lobus media, sedangkan fissura oblique membagi lobus media
dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fissura oblique yang membagi
lobus superior dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2
yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut
terdapat rongga pleura (cavum pleura). Kantong berdinding sangat tipis pada
bronkioli terminalis. Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 - 500
juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat
kolagen, dan elastis halus.8,9
Sel epitel alveolus terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel
alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya
hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II)
jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di
dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili
pendek, permukaan licin, memilki badan berlamel. Sel alveolar besar
menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi
kolaps alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut
interstisial. Mengandung serat, sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit.
Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar
disebut makrofag alveolar.8,9
2
1. Fisiologi ventilasi paru
Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru.
Pergerakan udara ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
a) Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru
dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O,
yang merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan
paru agar tetap terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama
inspirasi normal, pengembangan rangka dada akan menarik paru ke
arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan
menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).
b) Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika
glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar
paru, maka tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya
sama dengan tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas)
yaitu tekanan 0 cm H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus
sedikit di bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O)
dapat menarik sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik.
Selama ekspirasi, terjadi tekanan yang berlawanan.
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru
yang cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang
disebut tekanan daya lenting paru.10
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat
volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron
motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat
pernafasan otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan
keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di
antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.
3
Berbagai rangsang yang memengaruhi pusat pernafasan11Pengendalian kimiaCO2 (melalui konsentrasi H+ di LCS dan cairan interstitiel otak)O2H+Pengendalian non-kimiaAferen nervus vagus dari reseptor di saluran pernafasan dan paruAferen dari pons, hipothalamus dan sistem limbikAferen dari proprioseptorAferen dari baroreseptor: arteri, atrium, ventrikel, pulmonal
(melalui glomus karotikum dan aortikum)
3. Pengaturan aktivitas pernafasan
Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun
penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di
medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan
mengakibatkan efek inhibisi ringan. Pengaruh perubahan kimia darah
terhadap pernafasan berlangsung melalui kemoreseptor pernafasan di
glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel di medulla
oblongata maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi
dalam darah. Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang
pusat pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan
kimiawi, berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang
memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang
yang memengaruhi pusat pernafasan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:11
4. Pengendalian kimiawi pernafasan
Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi
sedemikian rupa sehingga PCO2 alveoli pada keadaan normal
dipertahankan tetap. Dampak kelebihan H+ di dalam darah akan dilawan,
dan PO2 akan ditingkatkan apabila terjadi penurunan mencapai tingkat
4
yang membayakan. Volume pernafasan semenit berbanding lurus dengan
laju metabolisme, tetapi penghubung antara metabolisme dan ventilasi
adalah CO2, bukan O2. Reseptor di glomus karotikum dan aortikum
terangsang oleh peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah arteri
atau oleh penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum,
respons terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah
denervasi glomus karotikum adalah penekanan langsung pada pusat
pernafasan. Respon terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri pada
pH 7,3-7,5 juga dihilangkan, meskipun perubahan yang lebih besar masih
dapat menimbulkan efek. Sebaliknya, respons terhadap perubahan PCO2
darah arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan penurunan tidak lebih dari
30-35%.11
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi
pada peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan
aortikum didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut
kemoreseptor medulla oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron
respirasi baik dorsal maupun ventral, dan terletak pada permukaan
ventral medulla oblongata.11
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan
juga cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus
membran, termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih
lambat menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera
dihidrasi. H2CO3 berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal
meningkat. Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara dengan
PCO2 darah arteri.11
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan
volume pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg,
perangsangan pada pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan
ventilasi yang kuat hanya terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun
5
setiap penurunan PO2 arteri dibawah 100 mmHg menghasilkan
peningkatan lepas muatan dari kemoreseptor karotikum dan aortikum.
Pada individu normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak
menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih rendah dari
60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah bila dibandingkan
dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan hemoglobin
kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+
dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung menghambat
pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi,
akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung menghambat
pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan hipoksia
pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia cukup kuat
untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi
H+ dan PCO2 darah arteri.11
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya
bersifat aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda
halnya dari CO2 dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2
dihilangkan apabila peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh
CO2 dicegah. 60% sisa respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh
CO2 pada konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak.11
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu
bergantung pada: jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya
pertukaran gas dalam paru yang adekuat, aliran darah menuju jaringan dan
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada
derajat konstriksi jalinan vaskular di dalam jaringan serta curah jantung.
Jumlah oksigen di dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut,
jumlah hemoglobin dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen.11
6
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-
masing mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai
polipeptida. Heme adalah kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan
satu atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat
mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam
bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi
oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat,
membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8
juga berlangsung sangat cepat.11
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8
B. GAGAL NAFAS
1. Definisi
Gagal nafas merupakan ketidakmampuan sistem respirasi dalam
memenuhi kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida
antara udara dan darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan
oksigen dan ekskresi karbondioksida, akibat kegagalan paru atau pompa
nafas. Keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2.
Secara klasik, umumnya seseorang dianggap menderita gagal nafas bila
PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan PaO2 kurang dari 50 mmHg saat bernafas
dalam udara ruang. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru
yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi
ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot
pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan sistem saraf
pusat.1,4,12
Gagal nafas tipe hiperkapnik terjadi akibat CO2 tidak dapat
dikeluarkan dengan respirasi spontan sehingga berakibat pada
peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan turunnya pH. Hiperkapnik dapat
7
terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau bawah, kelemahan otot
pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang berlebihan. Gagal
nafas tipe hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya akibat
pirau dari kanan ke kiri atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch).1,4,12
2. Etiologi
Penyebab gagal nafas antara lain:1
a) Gangguan pada dinding dada, abdomen dan diafragma, contoh:
(sangat penting untuk compliance), dan humidifikasi. Berbagai
teknik/device antara lain adalah: 1
1) Kanul nasal
Dipergunakan untuk memberikan oksigen dengan laju aliran rendah.
Konsentrasi oksigen bervariasi perubahan laju aliran inspirasi
(inspiration flow rate) pasien. Pada neonatus, aliran oksigen
maksimum dianjurkan tidak melebihi 2 L/menit. FiO2 inspirasi yang
dihasilkan amat bergantung pada pola nafas pasien.
2) Oxygen hood/head box
Alat ini dirancang untuk memberikan konsentrasi oksigen yang stabil
pada neonatus atau bayi kecil. FiO2 hingga 100% dapat diberikan
dengan laju aliran oksigen yang sesuai. Bukaan pada oxygen hood
tidak boleh ditutup dengan plastik atau bahan lain agar tidak terjadi
retensi karbondioksida.
3) Masker
18
Beberapa tipe masker dibuat untuk menghasilkan berbagai konsentrasi
oksigen. Aliran oksigen minimal harus sekitar 6 L/menit untuk
mendapat konsentrasi oksigen yang diinginkan dan mencegah
terhisapnya kembali CO2.
- Masker oksigen sederhana (simple mask) dapat memberikan
konsentrasi oksigen rendah hingga sedang tergantung kecepatan
aliran oksigen. Masker ini bukan pilihan ideal jika kita
menginginkan FiO2 yang stabil.
- Non-rebreathing mask didesain memiliki katup satu arah dan
sebuah kantong reservoir yang akan kolaps saat inspirasi. Alat ini
dapat menghasilkan konsentrasi okssigen tinggi.
- Partial rebreathing mask mirip dengan masker sederhana, tetapi
dilengkapi dengan kantong reservoir dan mampu menyalurkan
konsentrasi oksigen hingga 100%.
- Venturi mask dapat menghasilkan konsentrasi oksigen yang tepat
yaitu antara 24-50%.
Secara spesifik, tatalaksana gagal nafas amat tergantung pada
penyebabnya. Pemberian β-agonist melalui nebulizer dapat sangat efektif
bila penyebab gagal nafas adalah serangan akut asthma bronchial
sementara pungsi pleura efektif bila penyebabnya tension pneumothorax.1
Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan
pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai
intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan
atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang
diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.15
Tabel 5. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse
oxymetri15
> 95% Bayi aterm
88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)
85-92% < 28 minggu
Penatalaksanaan Non Respiratorik
19
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan
neonatus yang mengalami distress pernafasan. Keadaan hipotermi maupun
hipertermi harus dihindari. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang
36,5−37,5oC.15-17
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress
nafas yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk
mencegah keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan
glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan
jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose
10% atau ¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis
6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan.
Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian
protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3
g/kgBB/hari.5,15,18
Prinsip lain perawatan neonatus yang mengalami distress nafas adalah
minimal handling. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan monitor
sekaligus untuk menilai keadaan kardiorespiratorik, temperatur, dan
saturasi oksigen pada bayi.18
Pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai
sampai hasil kultur terbukti negatif, karena perlu dipertimbangkan
kemungkinan sepsis. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah
ampicillin dan gentamicin.3,17,18
Penatalaksanaan di ruang NICU
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif
neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan
surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide (iNO), telah
banyak dilakukan dan berakibat pada berkurangnya penggunaan
extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak efek
samping.19
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif
dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi
20
mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi
pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang
minimal. Derajat distress pernafasan, derajat abnormalitas gas darah,
riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta
keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam
memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai
mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh
klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang
diinginkan.20,21
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1)
prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang
bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2
lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang
menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk
penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea,
(2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada
pemberian surfaktan.20-22
8. Prognosis
Keselamatan penderita dapat diharapkan pada anak-anak yang
sebelumnya normal dan mengalami gagal nafas bersamaan dengan suatu
serangan penyakit akut. Jika gagal nafas akut bersamaan dengan suatu
penyakit kronis yang mendasari, maka prognosisnya berkaitan dengan
sifat penyakit kronis tersebut serta berat dan lamanya proses akut yang
terjadi.12
21
BAB III
KESIMPULAN
Gagal nafas merupakan ketidakmampuan sistem respirasi dalam
memenuhi kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara
udara dan darah secara normal tanpa bantuan. Keadaan ini ditandai dengan
abnormalitas nilai PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan PaO2 kurang dari 50 mmHg
saat bernafas dalam udara ruang. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit
paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi
ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot
pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat.
Gambaran klinis yang dapat terjadi pada neonatus peningkatan respirasi,
peningkatan usaha nafas, periodic breathing, apnea, sianosis yang tidak berkurang
dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat,
kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi dan penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan. Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor
Downes. Analisis gas darah merupakan pemeriksaan penunjang utama.
Penatalaksanaan non respiratorik dengan monitoring temperatur, minimal
handling dan menghindari enteral feeding. Penatalaksanaan respiratorik awal
adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari lendir atau
sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan
pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Tujuan utama dalam penatalaksanaan
gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah
dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan
menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi AH dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.h.84-8.
2. Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. Disorders of the lung parenchyma. Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.h.683-93.
3. Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, dkk. Clinical characteristics, diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term neonates. Chin Med J. 2010;123(19):2640-44.
4. Levy M. Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest. 2005;128:547-53.
5. Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, dkk. European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory distress syndrome in preterm infants: 2010 Update. Neonatology. 2010;97:402-17.
6. UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November 2014); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.
7. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan kesehatan: Peran penelitian kesehatan. 2006; (Diunduh 23 November 2014); Tersedia dari: http://www.depkes.go.id.
12. Frankel L. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Sunders Elsevier; 2007. h. 421-4.
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 3 cetakan ke-11. Jakarta: Percetakan Infomedika, 2007.h. 990-8.
23
14. Carlo W. Assisted ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders; 2001. h. 277-300.
15. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).
16. Frankel L. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman R, Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Sunders Elsevier; 2007. h. 421-4.
17. Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.
18. Metropolitan health and aged division victorian government. Neonatal Handbook. (Diunduh 23 November 2014); Tersedia dari: www.neonatalservices.health.vic.gov.au.
19. Allen M. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA; 2009. h. 179.
20. Hamm C. Respiratory management. Dalam: Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures, on-call problems, disease, and drugs. Edisi 6. USA: McGraw-Hill; 2009. h. 48-67.
21. Van Kaam A, Rimensberger P, Borensztajn D, De Jaegere A. Ventilation practices in the neonatal intensive care unit: A cross-sectional study. J Pediatr 2010;157:767-71.
22. Eichenwald E. Mechanical ventilation. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E, Stark A, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 331-42.