REFERAT DRUG ERUPTION Penyusun: Tiara Rahmawati 030.08.240 Pembimbing: dr. Dewi Anggreni, Sp.KK dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK dr. A. A Sri Budhyani Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RSAU Dr. Esnawan Antariksa Periode 15 Juli 2013 – 24 Agustus 2013
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
DRUG ERUPTION
Penyusun:
Tiara Rahmawati
030.08.240
Pembimbing:
dr. Dewi Anggreni, Sp.KK
dr. Iwan Trihapsoro, Sp.KK
dr. A. A Sri Budhyani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSAU Dr. Esnawan Antariksa
Periode 15 Juli 2013 – 24 Agustus 2013
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti – Jakarta
2013
DRUG ERUPTION
I. PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat melalui
mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat
kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical. Obat adalah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara
topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh
kulit.1
Obat semakin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga
reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug
reaction) atau RSO. Salah satu bentuk RSO adalah reaksi obat alergik (ROA).
Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). 1
Konsekuensi dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Satu macam obat dapat
menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat
disebabkan oleh bermacam-macam obat. 1
Erupsi Obat dapat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Reaksi obat dapat terjadi hanya pada kulit ataupun
pada kelainan sistemik, seperti Sindrom Hipersensitivitas Obat (Drug
Hypersensitivity Syndrome) atau Toxic Epidermal Necrolysis. 2
II. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi,
uji klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari
keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.3
Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling
muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun.(6)
2
Kajian dari NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%),
sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi
dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%).4
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada
bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.3 Di internasional, drug
eruption terjadi pada 2-3% pasien rawat inap. 5
Di Amerika Serikat, lebih dari 100.000 kematian diakibatkan karena reaksi
simpang obat (RSO) atau adverse drug reactions yang serius. 3-6% pasien rawat
jalan dan 6-15% dari pasien rawat inap mengalami reaksi simpang obat yang
serius. Faktor yang berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi
hipersensitivitas obat adalah asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau
pada pengguna beta bloker. Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi
oleh obat, tetapi pasien atopic memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi
alergi serius.6
III. ETIOPATOGENESIS
a. Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik
Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respon
terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis
normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit,
atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.7
Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A
dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi,
bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat
terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus
RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim
terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan
farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini
meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan
pseudoalergi. Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.7
Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang
3
berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek
withdrawal (tipe E) dan kegagalan terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi
tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif, misalnya
pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik serta penekanan
aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat
dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang
kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D
tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau
kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat, misalnya efek
karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim
terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate
withdrawal syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis,
dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis
kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi
enzim spesifik.6
Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan
dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan
bagian dari RSO (reaksi tipe B).6 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis
tertentu, yaitu :
1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.
2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.
3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.
4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh
di bawah kisaran dosis terapeutik.
5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan
proses alergi.
6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat,
yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan
pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik,
reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).6
1. Sifat Obat
4
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum,
streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen
kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.
Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah 1000 Dalton)
merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.6
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk
tersensitisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil
untuk tersensitisasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi
produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang –
kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan
respons imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus
eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan
hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7
Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi
dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.
Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya
pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin
lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.7
3. Usia
Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan,
namun umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat
dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius
dapat juga terjadi pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang
mengalami alergi obat dan kalau pun terjadi lebih ringan, hal tersebut
dikaitkan dengan imaturitas atau involusi sistem imun. 7.8
4. Genetik
Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat.
Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu
dewasa yang orang tuanya mengalami reaksi alergi terhadap
5
antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikroba;
sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%
mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat
sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka
waktu tidak terbatas. Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi,
misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat
hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya
sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi
penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi
terhadap antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada
hipersensitivitas tipe cepat.7
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi
sistem imun seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi
terjadinya ROA.5 Hal tersebut terjadi akibat tertekannya sistem imun
sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T supresor yang
mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam
makulopapular setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi
selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan
leukemia limfatik. 6,7
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi
terhadap obat.7
b. Erupsi Obat Alergik
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. 1,6
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.1
6
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik
(EOA).1,6
Mekanisme imunologik
EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah
mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya
berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya
reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih dahulu
menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif. Untuk memudahkan
pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi
secara imunopatogenesis, yaitu : 6
1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :
a) IgE : eritema, urtikaria, angioedema.
b) IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.
2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas
3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik
fenobarbital, dan bahkan retinoid.1,6 Penyebab utama adalah antibiotika β
laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat bahwa tidak semua eksantem
morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu
khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan
dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan
dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.6
b. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.
Urtikaria merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema
setempat yang pucat atau kemerahan dengan halo yang timbul mendadak
dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa
jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak muncul lesi urtika yang
baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa
milimeter hingga 10-20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti
demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit
kepala.3,6,8
Gambar 2. UrtikariaSumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2005.
Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan
jaringan subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya
berkembang pada lokasi tertentu saja.1 Edema biasanya simetris. Daerah
predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung
tangan dan kaki.1,6 Edema pada glottis, laring dan lidah merupakan reaksi
edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat
17
menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah
penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.1
Gambar 3. AngiooedemaSumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian
dari reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan
juga melalui pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria
adalah penisillin, asam asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian
mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam (melalui mekanisme alergi)
bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme
pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi
urtikaria yang diinduksi obat.
c. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA
yang selalu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.1 Tidak ada faktor
etiologi lain yang dapat mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering
dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa eritema dan vesikel berbentuk
bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang berat dapat
timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan
daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin
18
karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan
rasa panas setempat.1 Lesi kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan sering menetap.
Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.11
Gambar 4. Fixed drug eruptionSumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate,
trimethoprim dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter
hingga sentimeter. Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat
terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya
pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.1
Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamide
19
Sumber : Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
.
Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor.
Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit
yang nekrotik.5,7 Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam
memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang
sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan
peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan
limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi
limfosit T ke epidermis. Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid,
tetrasiklin, barbiturat, fenazon, fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.1,5
d. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)
DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu
atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat. Erupsi berupa
eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan
dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah
penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema
tanpa skuama, skuama baru timbul pada stadium penyembuhan. 6,12
Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
20
Kedokteran EGC ; 2005.
Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe
IV. DE dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih
dilanjutkan.2 DE selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan
penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya seperti psoriasis, atau
berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan keganasan lainnya.1,5
Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering
adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin,
fenilbutason, allopurinol, dan garam emas.1
e. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa
bercak/pembengkakan berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila
ditekan.1 Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.
Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, termasuk
pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas.
Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna
merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan disertai rasa
gatal.1,5 Kelainan dapat berupa Petekie (makula merah, diameter 2-3 mm,
merah, kemudian ® coklat & akhirnya menghilang), Ekimosis (makula
kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih dalam;
kemudian ® menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura
berbentuk linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit /
mukosa. Berjumlah cukup banyak ® pembengkakkan & fluktuasi)1
21
Gambar 7. Purpura pada tungkai bawahSumber Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003
Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh
trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubung dengan
pembentukan kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit.
Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa
mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik
atau purpura vascular/purpura primer. Purpura non
trombositopenik/purpura sekunder secara umum berkaitan dengan deposit
kompleks imun di dinding venula.
Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam
15.Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139