Referat
CONSULTATION LIAISON PSYCHIATRIC PADA PENYAKIT KANKER
Oleh:
Oleh:Imanda Husna Silalahi, S.Ked0405481416Ceyka Maduma, S.
Ked0405481416100Ayu Hasim, S. Ked0405481416099Sabrina Sinurat, S.
Ked04111001066Jim Christover Niq, S.Ked04111001076
Pembimbing:dr. H. M. Zainie Hassan AR, Sp.KJ (K)
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWARUMAH SAKIT JIWA ERNALDI
BAHARFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYAPALEMBANG2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ilmiah yang berjudul Consultation Liaison Psychiatry pada
Penyakit Kanker sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. H. M. Zainie Hasan, AR, SpKJ
(K) selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan
memberi masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
tugas ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi siapa saja
yang membacanya.
Palembang, April 2015
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.........................................................................................................DAFTAR
ISI........................................................................................................................BAB
I
PENDAHULUAN....................................................................................................BAB
II TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi Consultation Liaison
Psychiatry.....................................................................2.2
Sejarah Consultation Liaison
Psychiatry......................................................................2.3
Tim Consultation Liaison
Psychiatry...........................................................................2.4
Konsep Manajemen Kerja Consultation Liaison
Psychiatry........................................2.5 Faktor
Predisposisi Gangguan Psikiatrik pada Penderita
Kanker.................................2.6 Pengaruh Faktor
Psikologis terhadap Gangguan
Kejiwaan..........................................2.7 Gangguan
Kejiwaan dan
Manajemennya......................................................................2.8
Dukungan
Emosional....................................................................................................2.9
Konseling......................................................................................................................2.10
Ketersediaan
Informasi...............................................................................................2.11
Terapi
Psikologis.........................................................................................................2.12
Pengobatan Fisik pada
Depresi...................................................................................BAB
III
KESIMPULAN......................................................................................................DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................................
iiiii 1
2 3 5 7 9171719192020212223
iii
BAB IPENDAHULUAN
Kanker menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti dokter
untuk disampaikan kepada pasien, meskipun pengobatannya telah
banyak mengalami kemajuan. Kebanyakan orang berpikir bahwa
keganasan berhubungan dengan rasa sakit berat, kerusakan, kualitas
hidup yang terganggu, dan pengurangan harapan hidup secara drastis.
Pengobatan berupa operasi seringkali ditakuti karena hasil operasi
yang menyebabkan perubahan penampilan dan bentuk tubuh. Kemoterapi
dan radioterapi juga sering ditakuti. Kemoterapi ditakuti karena
telah terbayang akan rasa mual, muntah, rasa lelah, dan rambut
rontok.Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika prevalensi penderita
psikiatrik pada pasien keganasan sangat tinggi. Beberapa kanker
berhubungan dengan masalah yang melibatkan kehilangan anatomi,
kesulitan seksual, dan berkurangnya fertilitas. Literatur
menunjukan setengah pasien kanker memiliki gangguan klinis jiwa
setiap saat (Cull 1990; McDaniel et al. 1995). Gangguan afektif
paling sering terjadi. Fallowfield et a.l (1990) mendapatkan hasil
bahwa seperempat pasien wanita mengalami gangguan afektif setelah
menjalani pengobatan operasi kanker payudara. Parle et al. (1996)
mengadakan studi prospektif terhadap 600 pasien kanker selama 2
tahun dan mendapatkan hasil adanya gangguan afektif pada 20% pasien
tersebut. Studi Amerika menggunakan Brief Symptom Inventory
memeriksa sampel pasien secara acak pada 12 pusat onkologi dan
mendapatkan hasil bahwa 35% diantaranya memiliki gangguan
psikiatrik (Zabora et al. 1997). Sharpe et al. (2004) menemukan 8%
pasien yang mendatangi pusat kanker nasional memiliki gangguan
depresi berat yang kebanyakan tidak mendapakan terapi efektif yang
potensial. Banyaknya penderita kanker yang mengalami gangguan
kejiwaan menunjukan pentingnya diagnosa dan penatalaksanaan
terhadap gangguan tersebut agar tidak semakin memperberat penyakit
kanker yang ada dan menimbulkan penyakit lain. Tujuan referat ini
adalah untuk membahas gangguan psikiatrik yang terjadi pada
penderita kanker, penyebab, dan penatalaksanaannya dari segi
kejiwaan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Consultation Liaison PsychiatryConsultation
biasanya mengacu pada respon seorang psikiater pada permintaan yang
diajukan oleh teman rekan medis untuk saran diagnostik dan terapi
menyangkut status perilaku dan psikologi dari pasien. Secara
operasional, konsultan psikiatri berhadapan dengan kompleksitas
dari pasien dan mengintegrasikan relevansi antara faktor-faktor
biomedis dan psikosomasi. Sebuah diagnosis psikosososial dibuat dan
rekomendasi diberikan menyangkut pendekatan pemberian obat dan
regimen. Pada dasarnya, mereka yang merujuk telah meminta bantuan
karena mereka tidak tahu apa yang salah atau mereka merasa tidak
mampu menangani masalah yang dihadapan mereka (Hamburg,
1987).Liaison mengacu pada intervensi psikiater pada tingkat
sistem. Berbagai macam jenis intervensi mungkin terlibat di
dalamnya. Psikiater bekerja sama dengan anggota tim medis
profesional untuk efektivitas kolaborasi pada tujuan pengobatan.
Adanya komponen pendidikan yang kuat di mana psikiater penghubung
meningkatkan keterampilan perilaku dan pengetahuan staf. Akhirnya,
ada komponen penelitian di mana psikiater biasanya berkolaborasi
dengan rekan medis yang lain, menyelidiki isu-isu yang menyangkut
biomedis/behavior (perilaku) (Hamburg, 1987).Consultation Liaison
Psychiatry berkaitan dengan pelayanan klinis, pengajaran, dan
penelitian dalam suatu pengaturan, di mana psikiatri dan segenap
ilmu kedokteran lainnya bertemu (Lipowski, 1983). Karena itu
dibutuhkan pengetahuan kedokteran yang baik dan ketrampilan khusus
dalam perawatan psikiatri pada gangguan emosi tertentu dan gejala
penyakit medis pasien (Moris and Mayou, 1996).Masalah yang dihadapi
seorang tim Consultation Liaison Psychiatry seringkali berbeda
dengan mereka yang hanya bekerja sebagai psikiater umum, karena
kesulitan yang dihadapi pasien tidak sesuai dengan kategori
diagnostik pada umumnya (Tarigan, 2003). Seorang psikiater CLP
harus mengidentifikasi interaksi antara psikologis, sosial, dan
fisik serta bagaimana keseimbangan ketiganya memberikan kontribusi
pada permasalahan yang dihadapi pasien. Pelayanan bertujuan untuk
meminimalkan intervensi medis, mempersingkat rawat inap,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi tekanan dalam
lingkungan medis dan bedah (Idrus dan Irmasanty, 2009).Morris dan
Mayou (1996) menjelaskan pola layanan Consultation Liaison
Psychiatry ada dua jenis. Model yang pertama adalah konsultasi,
melibatkan sebuah penilaian yang dilakukan setelah rujukan
diterima. Hal ini bergantung dari kemampuan staf perujuk untuk
mendeteksi gangguan jiwa dan kemauannya untuk merujuk pasien kepada
psikiater. Model ini memberikan kesempatan untuk berdialog, yang
merupakan salah satu kekuatan utama dalam interaksi klinik. Model
yang kedua adalah, liaison (penghubung). Model ini melibatkan
integrasi psikiater ke dalam satu tim. Di sini, psikiater
memberikan nasihat dalam penilaian atau penanganan dan tidak
bergantung pada rujukan yang dibuat. Hal ini memakan waktu dan
biaya, tetapi mungkin sesuai pada bagian-bagian tertentu di mana
pasien berada pada gangguan jiwa yang beresiko tinggi, seperti
bagian yang menangani pasien dengan penyakit kronis.Dalam
prakteknya, model yang digunakan adalah sintesis dari dua
pendekatan tersebut. Ada konsultasi yang ditawarkan kepada seluruh
rumah sakit disertai juga dengan adanya layanan liaison
(penghubung) pada bagian-bagian tertentu di rumah sakit yang
beresiko tinggi (Meadows et al. 2007). Idealnya, model mana yang
akan digunakan harus melibatkan diskusi rinci tentang pasien
sebelum dan sesudah penilaian.Jadi dapat disimpulkan bahwa
Consultation Liaison Psychiatry atau yang biasa disingkat CLP
merupakan bentuk pendekatan biopsikososial. Pada CLP, seorang
dokter psikiatri berperan sebagai konsultan bagi sejawat dokter
lainnya dalam menangani pasien dengan berbagi kondisi medis.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi gangguan mental dan respon
psikologis terhadap penyakit fisik pasien, sarana psikologis dan
sosial, gaya menghadapi masalah guna menganjurkan intervensi
terapeutik yang paling tepat untuk kebutuhan pasien
2.2 Sejarah Consultation Liaison PsychiatryPada tahun 1920,
psikiatri mulai menjadi bagian penting dalam tatanan di rumah
sakit. Saat inilah konsep hubungan psikosomatis dan peran status
emosi serta psikologi mulai berkembang. Dengan demikian,
Consultation Liaison Psychiatry menjadi bentuk terapan dari ilmu
psikosomatik (Hanna, 2012).Berikut adalah orang-orang yang menjadi
pelopor terbentuknya Consultation Liaison Psychiatry sampai menjadi
seperti sekarang ini:1. Benjamin Rush (1745-1813), yang dikenal
sebagai Father of American Psychiatry, merupakan orang pertama yang
dianggap sebagai pencetus utama dari gagasan integrasi psikiatri
dengan ilmu kedokteran lainnya. Ia menekankan bahwa penyakit
pikiran adalah obyek pasti dari ilmu kedokteran sebagai penyakit
yang berasal dari tubuh (Hellemans and Bunch, 1988).2. Adolf Meyer
(1866-1959), yang juga merupakan orang penting dalam dunia
psikiatri, mengembangkan kosep psikobiologi. Ia mendorong
dokter-dokter untuk belajar tentang manusia bukan hanya dalam
konteks fisik, namun juga sosial dan peristiwa kehidupan
psikologisnya (Snchez et al. 2011).3. Helen Flanders Dunbar
(1902-1959), dianggap sebagai salah satu pelopor untuk ilmu
kedokteran psikosomatik. Ia bekerja di Rumah Sakit
Presbyterian-Colombia sebagai seorang psikiater yang ditugaskan di
bagian ilmu penyakit dalam. Tahun 1963 ia menerbitkan kesimpulan
dari hasil studinya pada 600 pasien dengan penyakit jantung,
diabetes, dan patah tulang. Ternyata faktor psikologis dengan
proporsi yang besar tampaknya mempengaruhi baik etiologi maupun
perjalanan penyakit dari pasien (McGovern et al. 2000).Pada tahun
1934-1935 Yayasan Rockefeller menghibahkan lima rumah sakit umum
untuk mengembangkan departemen psikiatri dan merangsang kerjasama
yang lebih erat antara psikiater dan dokter lainnya. Pertengahan
1960-1970 literatur ilmiah tentang subspesialisasi telah
dikembangkan. Tahun 1974 pendidikan psikiatri cabang NIHM
memutuskan untuk mendukung pengembangan dan perluasan layanan
Consultation Liaison Psychiatry di seluruh Amerika Serikat (Saravay
et al. 1984). NIHM mendukung secara material 130 program yang
berkontribusi pada pelatihan lebih dari 300 psikiater. Consultation
Liaison Psychiatry terus bertumbuh selama 1980-an meskipun terjadi
pemotongan anggaran federal. Sampai pada tahun 2000an pencapaian
terbesar dengan adanya penyetujuan Consultation Liaison Psychiatry
sebagai subspesialisasi dari American Board of Medical Specialty
(Philbrick et al. 2012).Tahun 2003 di Amerika Serikat adalah
merupakan awal permulaan yang menggembirakan bagi perkembangan
secara formal dari bidang Consultation Liaison Psychiatry. The
American Board of Psychiatry and Neurology (ABPN) mengesahkan
Consultation Liaison Psychiatry sebagai subspesialisasi ketujuh dan
diberi nama Psychosomatic Medicine. Selanjutnya American Board of
Medical Specialty (ABMS) juga mengesahkan hal ini pada Maret 2003.
Populasi pasien yang menjadi perhatian layanan kedokteran
psikosomatik adalah pasien medis yang kompleks. The Academy of
Psychosomatic Medicine (APM) yang merupakan organisasi para
Consultation Liaison Psychiatry mendorong terbentuknya suatu dewan
yang secara formal menyelenggarakan suatu pendidikan lanjutan
subspesialisasi Psychosomatic Medicine dan ujian kompetensi bagi
para peserta pendidikan tersebut. Di dalam klausal yang diajukan ke
ABPN, psikiater yang telah mendapatkan pendidikan kedokteran
psikosomatik (Psychosomatic Medicine) adalah psikiater yang
mempunyai kompetensi khusus dalam mendiagnosis dan mengobati
gangguan psikiatri atau gejala psikiatri pada pasien dengan kondisi
medis yang kompleks. Ujian board yang diselenggarakan oleh The
Academy of Psychosomatic Medicine untuk meluluskan psikiater
subspesialisasi kedokteran psikosomatik pertama kali dilakukan pada
tahun 2005 (Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997; McIntyre,
2002).Istilah Psychosomatic Medicine sebagai subspesialisasi yang
sebelum tahun 2003 disebut sebagai Consultation Liaison Psychiatry
hanya digunakan di Amerika Serikat. Walaupun pada kenyataan di
lapangan terutama di Amerika Serikat, penggunaan istilah
Consultation Liaison Psychiatry dan Psychosomatic Medicine
seringkali dipakai secara berkebalikan dan bergantian dengan makna
yang sama. Namun secara formal, semua buku teks yang sebelumnya
berjudul Consultation Liaison Psychiatry telah diubah namanya
menjadi Psychosomatic Medicine. Negara Eropa sampai saat ini
menggunakan istilah Liaison Psychiatry untuk merujuk kepada
Consultation Liaison Psychiatry sebagai suatu bidang
subspesialisasi dari psikiatri. Bahkan di Jerman dan Jepang,
Psychosomatic Medicine adalah suatu bidang spesialisasi yang
terpisah dari psikiatri dan mempunyai pendidikan formal
spesialisasi sendiri (Lobo et al. 2007; Sharpe et al. 1997;
McIntyre, 2002).
2.3 Tim Consultation Liaison PsychiatryTim CLP yang bekerja di
rumah sakit umum tidak berbeda dari tim psikiatri komunitas yang
juga beroperasi dalam cara yang multidisiplin. Seperti halnya tim
multidisiplin lainnya, penekanan harus pada keberagaman
keterampilan dibandingkan latar belakang profesional. Keterampilan
diperlukan dalam wawancara dan penilaian serta dalam memberikan
terapi psikologis seperti pemecahan masalah, terapi interpersonal
dan terapi perilaku kognitif. Idealnya tim psikiatri liaison
terdiri dari konsultan dengan pelatihan khusus dalam psikiatri
liaison, psikiater junior, perawat psikiatri liaison, terapis
okupasi, psikolog klinis, pekerja sosial, ahli fisioterapi dan staf
administrasi/sekretaris. Secara umum perawat psikiatri liaison
harus memiliki pengetahuan khusus dan mampu mengelola kasus yang
lebih kompleks serta telah mengikuti pelatihan tambahan, misalnya
dalam terapi perilaku kognitif. Jenis keterampilan yang sangat
berharga dalam tim psikiatri liaison. Selain perawat senior, juga
dibutuhkan perawat junior yang dapat memberikan pemantauan dan
dukungan. Psikolog dapat memberikan penilaian yang terampil dan
spesialis psikoterapi serta neuropsychologists berperan dalam
penilaian dan pengelolaan pasien dengan gangguan neuropsikiatri.
Selain itu, tim psikiatri liaison dapat akan lebih baik lagi jika
memiliki terapis yang mampu memberikan pendekatan rehabilitasi
seperti terapis okupasi dan fisioterapi. Anggota tim ini berperan
dalam memberikan terapi perilaku untuk pasien dengan gangguan
somatoform.Tim Consultation Liaison Psychiatry sebagai tim
psikiater yang menjadi penghubung antara psikiatri dan spesialisasi
yang lain akan mengembangkan satu set ketrampilan yang unik. Tim
ini akan bekerja dalam hal-hal yang bersangkutan dengan
manifestasi, penilaian, dan penanganan dari kondisi-kondisi resiko
tinggi dan memiliki pengetahuan tentang bidang si perujuk. Ini
adalah kesempatan untuk mendukung tim di luar psikiatri dan
memperluas pemahaman mereka terhadap gangguan mental dan respon
emosional individu menyangkut penyakitnya. Hal ini akan
memungkinkan tim Consultation Liaison Psychiatry untuk membangun
hubungan yang kooperatif dengan tim-tim yang lain, memperoleh rasa
hormat dari mereka, dan mempersilahkan mereka untuk menawarkan
penilaian dan intervensi pada tahap awal. Pendekatan ini sangat
penting untuk penanganan penyakit gangguan somatofom (Jorsh,
2006).Dalam pelaksanaan tugasnya, ada keterampilan dasar yang
dibutuhkan Consultation Liaison Psychiatry. Pada umumnya mereka
perlu melakukan suatu penilaian kompleks di bangsal medis atau
bedah, memahami bagaimana merespon rujukan meskipun tidak ada
kelainan psikiatri yang muncul pada saat itu, meningkatkan
keterampilan wawancara khusus, menilai depresi pada pasien yang
sakit secara fisik, mendeteksi gangguan psikologi yang muncul
dengan gejala somatik, dan menilai perilaku penyakit. Mereka juga
perlu untuk mengasimilasi semua fakta relevan ke dalam suatu
perumusan kasus yang meliputi aspek fisik maupun psikologis
(Guthrie and Creed, 1996).Untuk jelasnya mari melihat ruang lingkup
dari Consultation Liaison Psychiatry itu sendiri:1. Memahami dampak
dari penyakit medis dan sistem di mana penyakit di perlakukan dan
bagaimana ini mempengaruhi presentasi, pengalaman, dan dampak
morbiditas psikiatri dan psikososial2. Melakukan penilaian
biopsikososialkultural, membuat formulasi, dan menerapkan perawatan
yang tepat dalam konteks rumah sakit umum termasuk komunikasi
efektif dengan seluruh tim yang melakukan pengobatan3. Menilai
reaksi terhadap penyakit, dan membedakan presentasi dari depresi
dan kecemasan dalam kondisi medis umum4. Memahami gabungan dari
penyakit dan masalah perkembangan dari orang dengan masalah
kesehatan jiwa dan penyakit mental5. Kemampuan untuk menilai dan
mengobati gangguan somatisasi dan somatoform.6. Kemampuan untuk
menilai dan menangani gangguan neuropsikiatri, dengan penekanan
khusus pada delirium7. Memahami kebutuhan khusus dari populasi
tertentu dengan morbiditas psikiatri dan psikososial dalam
pengaturan medis, termasuk orang muda, orang tua, penduduk asli,
dan orang-orang dengan cacat intelektual8. Menilai dan mengelola
presentasi akut dan darurat dari morbiditas psikiatri dalam kondisi
medis umum.Seorang Consultation Liaison Psychiatry maupun tim
adalah dokter yang memiliki kualifikasi secara medis, yang mampu
mendiagnosis dan melakukan pengobatan pada:1. Penyakit kejiwaan
yang secara medis sakit2. Penyakit kejiwaan dan faktor psikologi
lainnya yang mengganggu pemulihan dari penyakit medis3.
Gejala-gejala fisik yang timbul, yang secara medis tidak bisa
dijelaskan dengan penyakit fisik yang mendasari4. Penggunaan
obat-obat psikiatri dan terapi psikilogis dalam konteks penyakit
fisik.Layanan Consultation Liaison Psychiatry berbasis di rumah
sakit umum, namun semakin besar kerjasamanya dengan perawatan
primer dalam pengelolaan penyakit medis dan kejiwaan.
2.4 Konsep Manajemen Kerja Consultation Liaison PsychiatryKonsep
kerja Consultation Liaison Psychiatry tidak berbeda dengan
manajemen umum, sebaliknya lebih meningkatkan kualitas dan
spesifitasnya dalam upaya pelayanan kesehatan dengan tujuan pokok
meningkatkan kualitas hidup pasien sehubungan dengan kondisi
sebelumnya dengan secara terpadu. Langkah tersebut dapat diuraikan
dengan kegiatan sebagai berikut :1. Pencegahan primer, sekunder,
dan tersierDengan menggunakan model pencegahan Caplan yaitu
mengantisipasi dan mencegah berkembangnya gejala psikiatri atau
psikologi (pencegahan primer), mengobati gejala saat ditemukan
(pencegahan sekunder), dan mencegah kekambuhan gejala (pencegahan
tersier), Consultation Liaison Psychiatry meningkatkan kualitas
perawatan psikiatri dan kedokteran saat prinsip liaison diterapkan
(Kornfeld, 1964).Pencegahan primer berusaha untuk mencegah gejala
psikiatri sebelum terjadi melalui tindakan dini. Sebagai contoh
dari pencegahan primer adalah mengatur wawancara psikiatri pada
semua pasien sebelum pembedahan jantung. Tindakan ini dapat
mencegah terjadinya delirium. Pada pencegahan sekunder, dokter
menggunakan strategi untukberusaha mengurangi faktor-biologis,
psikologis, dan sosial yang mencetuskan penyakit; berusaha untuk
menekan penyakit; dan menangani gejala akut seperti kecemasan,
depresi, dan sifat karakter yang berlebihan yang dapat memperburuk
stress dan menghalangi pemulihan. Pada pencegahan tersier, liaison
psychiatry berusaha untukmenghambat kekambuhan psikologis yang
dapat mengikuti suatu episode akut (sebagai contoh, konflik
psikologis yang menghasilkan gangguan mood, kecemasan, dan
penghambatan dan fobia tentang kembali bekerja atau melakukan
aktivitas seksual meskipun secara psikologis mampu melakukannya).
Tindakan tersier psikiatri membantu pasien beradaptasi dengan
keterbatasan psikologis mereka, sehingga mengurangi kemungkinan
kekambuhan penyakit. Mencegah kekambuhan penyakit sering
membutuhkan follow-up pasien rawat jalan setelah pulang dari RS
untuk efektivitas yang maksimal.2. Deteksi dan DiagnosisDeteksi
kasus dalam pelayanan kesehatan adalah keahlian yang dimiliki oleh
psikiater CLP yang akan dihubungi oleh rekan sejawat. Konsultan
psikiater secara khusus mempunyai kesulitan dalam mendeteksi
gangguan psikososial dan dapat menjadi resisten terhadap tindakan
psikiatri. Pada kenyataannya, karena konsultasi psikiatri
bergantung pada rujukan dari rekan yang motivasinya rendah dan
informasinya kurang, akhirnya menjadi tindakan pencegahan
sekunder.Archinard menjelaskan, psikiater liaison mendidik rekan di
masa mendatang untukmendapatkan dan menganalisa data, yang
meningkatkan kewaspadaan, deteksi, diagnosis, dan/atau rujukan
morbiditas psikiatri, berbeda dengan konsultan psikiater, yang
menunggu rekan untuk mencarinya. Gangguan mental yang diakibatkan
oleh penyakit medis dan gangguan mental yang disebabkan penggunaan
zat adalah contoh model dari gangguan psikofisiologis yang sering
muncul, tetapi sering tidak terdeteksi pada pelayanan medis atau
bedah. Strategi dan rencana untuk deteksi kasus dan merujuk penting
dalam pelayanan medis-bedah dan menjadi dasar dari liaison
psikiatri: tindakan skrining diagnosis untuk gangguan fungsi
kognitif, depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan obat untuk saat
ini telah tersedia jika struktur diubah dari model konsultasi
kepada sesuatu yang menggabungkan metodologi rujukan.3. Penilaian
dari Penyedia Layanan KesehatanModel kerjasama dari liaison
psikiatri menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk perawatan
psikiatri dari penyakit medis tidakdapat dilimpahkan secara tunggal
kepada psikiater. Tanggung jawab menjadi milik bersama dari
gabungan para dokter, perawat, dan pekerja sosial, anggota keluarga
yang penting, dan lainnya yang memberikan pengaruh psikoligis di
bangsal. Fungsi penting dari Consultation Liaison Psychiatry adalah
untuk menilai tingkat stress yang disebabkan pasien terhadap
penyedia layanan medis dan anggota keluarga, dan kemampuan dari
staf RS dan anggota keluarga untukberadaptasi terhadap pasien dan
penyakitnya (dan melakukan tindakan terhadap perawatan psikologis),
dan di atas semuanya itu, kemampuan dari staf dan keluarga untuk
melakukan perawatan psikiatris atau psikologis.4. Memberikan
kewenangan pada staf nonpsikiatriBoutin (2003) menjelaskan beberapa
kewenangan dari pengetahuan dan keahlian kesehatan yang digunakan
sebagai skema untuk mengajar dan mengambil keputusan. Ini
mengijinkan pendidik dan penilai untukmenetapkan tujuan bagi
program pelatihan mereka atau untuk disiplin khusus: psikiatri,
perawatan primer, psikologi, pekerja sosial, perawat klinik,
konseling pastoral, rencana pemulangan, masalah hukum pasien, dan
bahkan perawat kesehatan desa pada negara berkembang.5. Perubahan
stuktural dalam pelayanan kesehatanConsultation Liaison Psychiatry
berusaha untuk memberikan perubahan struktural pada departemen
psikiatri dan departemen lainnya melalui RS (sebagai contoh, unit
pengobatan psikiatri, klinik nyeri, dan unit penilaian postpartum)
yang akan bertahan melalui tantangan yang diberikan.2.5 Faktor
Predisposisi Gangguan Psikiatrik Pada Penderita KankerAda beberapa
faktor terkait keganasan yang perlu dipertimbangkan oleh seorang
dokter dalam memahami perkembangan gejala psikologis, yaitu sebagai
berikut. Perjalanan penyakitKanker merupakan penyakit yang
meninggalkan stigma. Kanker bukan merupakan penyakit yang mudah
diceritakan atau didiskusikan dengan nyaman kepada orang lain
bahkan pada keluarga sekalipun. Harapan hidup rendah yang paling
menyulitkan pasien terutama pasien usia muda. Kebanyakan pasien
hidup dengan rasa cemas akan berulangnya tumor dan takut tidak akan
hidup cukup lama untuk melihat anak mereka tumbuh bahkan saat
pengobatan mereka telah dianggap sukses. Penyakit kanker berulang
sering dikaitkan dengan rasa sakit yang muncul terus-menerus dan
kebanyakan pasien takut ketika pengobatan kuratif atau paliatif
tidak lagi tersedia. Beberapa jenis kanker memiliki etiologi yang
berasal dari faktor gaya hidup. Merokok merupakan predisposisi
pasti kanker paru-paru, orofaring, dan saluran pencernaan. Konsumsi
alkohol berat jangka lama juga merupakan predisposisi kanker
orofaring, kanker kolorektal, dan tumor hati. Kebiasaan seksual
juga merupakan etiologi beberapa kanker terutama kanker serviks
yang berhubungan dengan gaya hidup seksual yang berganti-ganti
pasangan. Sebenarnya, faktor risiko yang paling penting dari kanker
serviks adalah jumlah pasangan seksual yang dimiliki wanita.
Kebiasaan seksual juga berperan pada tumor yang terjadi setelah
AIDS. Sarkoma kaposi dan limfoma non-Hodgkin mengalami peningkatan
risiko lebih dari 300 dan 100 kali (Boshoff dan Weis, 2002). Tumor
lain yang mengalami peningkatan prevalensi pada pasien AIDS adalah
angiosarkoma, penyakit Hodgkin, beberapa jenis leukimia, multipel
mieloma, dan tumor otak. Pasien dengan penyakit kanker sering
merasa bersalah karena memikirkan kontribusi mereka terhadap
penyakitnya sendiri. terdapat rasa penyesalan mendalam terhadap
pola kebiasaan yang mereka percaya menyebabkan penyakit kanker
tersebut seperti merokok, minum alkohol, kecanduan obat-obatan, dan
berganti-ganti pasangan seksual. Rasa bersalah pasien semakin
meningkat karena menyadari bahwa perubahan gaya hidup sekalipun
tidak akan memperbaiki atau mengubah penyakit kanker yang ada.
Walaupun faktor gaya hidup menyebabkan kanker masih belum jelas,
namun pasien tetap menyalahkan diri sendiri karena timbulnya
penyakit tersebut. Pasien akan bersifat menyalahkan diri sendiri
dengan cara tidak mampu mengatasi stress. Sebaliknya, beberapa
pasien justru menyalahkan orang lain atas penyakitnya. Pada kasus
kanker yang berhubungan dengan pekerjaan, alasan ini mungkin baik.
Beberapa kanker, seperti kanker paru-paru, kandung kemih, dan
skrotum berhubungan dengan proses bekerja dan penggunaan bahan
kimia spesifik saat bekerja. Pekerja dapat meminta
pertanggungjawaban jika peringatan terhadap hal tersebut memang
tidak adekuat untuk melindungi pekerja terhadap bahan berbahaya
tersebut. Pengetahuan akan efek perokok pasif telah meningkat dan
pekerja telah mengambil langkah dengan melarang merokok di tempat
bekerja karena jika tidak, akan ada kompensasi dalam jumlah besar
terhadap penyakit yang diinduksi faktor yang tak bisa dihindari
pada tempat kerja.
Efek pengobatanPengobatan keganasan seringkali amat sangat tidak
menyenangkan. Intervensi pembedahan dibutuhkan banyak jenis kanker
pada beberapa stadium. Kanker payudara sebelumnya diobati dengan
mastektomi radikal yang merupakan prosedur mengerikan bagi
kebanyakan wanita yang telah menjalaninya. Efek mutilasi dari
pembedahan dan perasaan hilangnya feminitas telah banyak
dilaporkan. Wanita takut kecantikan seksualnya berkurang dan
pasangan menolak mereka. Wanita juga mengeluh berat sebelah atau
tidak imbang. Komplikasi lainnya adalah rasa sakit dan rasa malu
yang terus berkembang akibat adanya lympoedema pada lengan sebagai
efek samping. Morbiditas mastektomi menyebabkan terdapatnya
pendekatan pembedahan yang lebih konservatif. Simpel mastektomi
atau pengangkatan tumor lokal (lumpektomi) lebih banyak dilakukan.
Jika mastektomi dilakukan, wanita dapat segera ditawari pilihan
rekonstruksi payudara dengan implan. Bagi mereka yang menjalani
radioterapi, maka rekonstruksi dapat ditawarkan
setelahnya.Laki-laki biasanya mengalami komplikasi seksual setelah
operasi kanker prostat. Prostatektomi menyebabkan inkontinensia
urin yang membatasi kehidupan sosial pasien.Kolostomi juga
mempengaruhi psikologis. Penampilan tubuh yang berubah sulit
diterima. Pasien mungkin merasa menjadi tidak bersih dan kantong
stoma mungkin bocor atau mengeluarkan bau yang tidak enak.
Ketakutan seperti itu cenderung mengurangi kepercayaan diri dan
membatasi kehidupan sosial. Stoma membuat aktivitas seksual menjadi
sulit. Penolakan oleh pasangan seksual merupakan kecemasan yang
sering terjadi bila operasi merusak potensi seksual karena
kerusakan suplai saraf pada pelvis. Prosedur operasi lain yang
mengganggu psikologis adalah laringektomi, glosektomi, dan amputasi
anggota gerak tubuh. Kemoterapi memiliki banyak efek samping buruk
seperti menginduksi gejala psikologis. Kemoterapi dapat menyebabkan
kecemasan terus-menerus akibat mual dan muntah yang sering terjadi
walaupun obat antiemetik telah mengurangi frekuensinya. Mual dan
muntah bisa sangat berat pada pengobatan pertama atau kedua. Pasien
menjadi cemas dan mual akibat pengobatan dan menolak untuk berobat
kembali walaupun pasien sadar bahwa pengobatan tersebut diperlukan
untuk memperbaiki prognosis. Respon cemas akan terbentuk bahkan
pada kasus berat, kecemasan dapat terjadi ketika melewati rumah
sakit atau ketika disebutkan nama pegawai rumah sakit atau nama
rumah sakitnya. Rambut rontok juga sering menjadi sumber stres,
terutama pada wanita. Walaupun rontoknya rambut dapat kembali lagi,
namun beberapa pasien menjadi terpengaruh terhadap kebutuhan akan
rambut palsu untuk mencegah penolakan sosial dan depresi. Obat
kemoterapi seperti vincristine dan t-asparaginase memiliki efek
langsung pada fungsi serebral yang menyebabkan depresi dan
delirium. Steroid sebagai kombinasi dengan kemoterapi juga terkenal
memiliki risiko yang menginduksi depresi, mania, atau
delirium.Radioterapi lebih dapat ditoleransi dibandingkan
kemoterapi. Namun, radioterapi dapat menyebabkan rasa lelah berat
sehingga menimbulkan depresi. Iradiasi terhadap otak menyebabkan
kelelahan berat dibandingkan iradiasi pada area lain. Atrofi
serebral merupakan komplikasi iradiasi otak dan terdapat bukti
klinis terjadinya demensia.Transplantasi sumsum tulang belakang
digunakan untuk pengobatan leukimia, limfoma, dan tumor padat.
Kemoterapi dan radioterapi biasa diberikan untuk menghancurkan sel
ganas. Prosedur tersebut melibatkan injeksi intravena sel sumsum
tulang yang berada pada sumsum tulang penerima yang menghasilakn
sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Transplantasi
allogenik menggunakan sumsum tulang sehat atau sel stem dari donor
yang cocok. Transplantasi autolog menggunakan sumsum tulang pasien
sendiri yang telah dipanen dan dibekukan sebelumnya untuk
kemoterapi dan radioterapi. Transplantasi sumsum tulang sendiri
telah menyebabkan stres (Baker et al. 1997) karena prosedurnya yang
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Setelah transplantasi
dilakukan, maka pasien harus dirawat di ruang isolasi karena
tingginya risiko beberapa infeksi oportunistik seperi herpes
simpleks, sitomegalovirus, Pneumocystis carinii, dan variasi
infeksi jamur. Pasien harus menunggu secara cemas untuk membuktikan
bahwa sistem hematologi mereka kembali pulih. Bagi pasien yang
bertahan, hasil transplantasi biasanya bagus dengan perbaikan
kualitas hidup akibat perubahan keterbatasan fungsional dan gejala
somatik (Broers et al. 2000).
Penurunan fertilitasRadioterapi dan kemoterapi memiliki efek
berbahaya pada fungsi gonad dan mempengaruhi fungsi seksual dan
fertilitas yang menyebabkan stres emosional mendalam sehingga
menyebabkan berkembangnya gangguan depresi pada pasien, pasangan,
atau keduanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan lagi jika sering
terjadi perselisihan dalam perkawinan. Testis paling sering
terkena. Efek radioterapi dan kemoterapi pada epitelium germinal
menyebabkan berkurangnya spermatogenesis. Terdapat bukti adanya
hipogonadisme. Pada beberapa kondisi keganasan, terdapat bukti
berkurangnya spermatogenesis sebelum pengobatan dimulai. Selama
radioterapi, seluruh pencegahan untuk melindungi testis dari
pajanan terhadap radiasi telah dilakukan. Jika kemoterapi yang
dipilih, maka dipilih regimen toksik tanpa mengurangi efikasi. Efek
pengobatan terhadap fertilitas harus didiskusikan secara penuh
dengan pasien saat tahap perencanaan pengobatan kanker. Fungsi
testikular dapat kembali lagi, tapi jika tidak kembali maka
penyimpanan sperma beku, cryopreservation, sudah tersedia secara
luas bagi laki-laki yang ingin menjadi ayah ketika pengobatan telah
selesai. Teknik fertilisasi in-vitro dapat memperbaiki kemungkinan
fertilitas jika kualitas semen jelek.Fungsi ovarium juga dapat
tertekan akibat pengobatan yang menyebabkan hanya sedikitnya jumlah
absolut oosit terutama pada wanita dengan usia dekade kedua akhir
atau lebih tua saat pengobatan. Wanita perlu diinformasikan secara
baik akan berkurangnya fertilitas dan variasi pilihan yang tersedia
untuk memperbaiki kemungkinan konsepsi dan kehamilan yang sukses.
Konseling seharusnya tersedia untuk memungkinkan wanita berdiskusi
tentang pilihan pengobatan agar tidak terburu-buru mengambil
keputusan. Amenorea sering terjadi dan biasanya disertai penurunan
libido dan manifestasi lain dari prematur, menopause palsu. Terapi
pengganti hormon seharusnya dipertimbangkan kecuali jika terdapat
kontraindikasi karena alasan medis lain. Oosit dapat dipanen dengan
USG (ultrasound guidance) setelah stimulasi ovarium tiruan. Setelah
cryopreservation, fertilisasi in-vitro dapat dicoba kemudian.
Terdapat laporan terjadinya kehamilan setelah cryopreservation dari
jaringan ovarium yang di tanam ulang pada pedikel ovarium.
Faktor organik lainTumor serebral, baik primer maupun sekunder,
telah diketahui sebagai predisposisi pada gejala psikiatri dalam
sebagian besar kasus. Hal ini dapat berkembang sebelum tanda-tanda
fokal neurologi, epilepsi atau kejadian peningkatan tekanan
intrakranial bermanifestasi dan pasien akhirnya menemui psikiater.
Gejala-gejala psikiatri biasanya berkembang sepanjang perjalanan
penyakit, sejak pertama sekali ditegakkannya diagnosis tumor.
Perubahan kognitif dapat dikenali dengan baik. Gangguan pada
tingkat kesadaran merupakan tanda yang paling sering muncul dan
dapat diikuti oleh berbagai gejala untuk memenuhi diagnosis
delirium. Perubahan kognitif dapat terjadi tanpa penurunan
kesadaran. Jika perubahan mempengaruhi kapasitas intelektual secara
keseluruhan, pasien akan tampak mengalami proses demensia. Di sisi
lain, kemungkinan dapat terjadi defisit fokal seperti disfasia,
dispraksia atau sindrom amnesia. Perubahan kepribadian, tanpa
kejadian demensia lain, dapat menunjukkan adanya tumor pada lobus
frontalis, terutama saat pertumbuhannya masih lambat dan belum
menyebabkan tanda-tanda neurologis yang jelas. Tumor lobus
frontalis bisa juga ditunjukkan dengan adanya gejala klasik
depresi. Onset gejala psikiatri yang muncul pertama kalinya pada
usia pertengahan atau lebih tua, tanpa faktor predisposisi
psikologi yang jelas, dapat meningkatkan kecurigaan bahwa terdapat
penyebab fisik yang mendasari dan perlu dilakukan penilaian medis
secara keseluruhan.Efek jauh dari kanker menyebabkan berkembangnya
gangguan neuropsikiatri. Pada beberapa kasus, efek tersebut
merupakan komplikasi metabolik seperti hiperkalemia atau
hiponatremia. Pada kasus lainnya, etiologi diperkirakan berkaitan
dengan immunologi karena produksi antibodi oleh tumor dengan
aktivitas antineuronal. Efek klinis ini dikenal sebagai sindrom
paraneoplastik. Encephalomyelitis merupakan salah satu komplikasi
dan biasanya ditunjukkan dengan gambaran klinis delirium. Kadang
kala, patologi terbatas pada sistem limbik dan menyebabkan limbic
encephalomyelitis yang ditunjukkan dengan kehilangan memori onset
cepat disertai kegelisahan dan depresi.
Stress terdahulu dan gangguan psikiatriGangguan psikiatri pada
penderita kanker memiliki hubungan dekat dengan status mental
pasien sebelum diagnosis. Sebagaimana telah diketahui bahwa hidup
yang penuh stres merupakan predisposisi terjadinya kanker (Ramirez
et al. 1989). Peneliti pada studi ini menemukan bahwa peristiwa
kehidupan yang sangat mengancam secara signifikan lebih sering
dialami oleh wanita dengan kekambuhan kanker payudara yang pertama
kalinya dibandingkan dengan wanita dengan kanker yang secara tetap
berkurang. Namun, terjadi pertentangan bukti untuk pernyataan
tersebut dan penelitian berikutnya yang berasal dari unit sama
tidak mengulangi observasi tersebut (Graham et al. 2002). Peristiwa
kehidupan yang penuh stres lebih memiliki hubungan dengan penyakit
depresi. Jadi, setiap pasien yang menghadapi kesulitan besar lain
yang berbeda ketika kankernya mulai bermanifestasi lebih rentan
mengalami depresi.Jika pasien sudah mengalami depresi sebelum
diagnosis, depresinya akan cenderung kambuh atau menjadi lebih
buruk. Ada bukti yang menyatakan bahwa orang yang menderita
penyakit jiwa lebih rentan untuk mengalami kanker. Dalam tinjauan
ekstensif literatur Harris dan Barraclough (1998) menemukan bahwa
angka kematian akibat penyakit alami dua kali lipat dari populasi
total lebih dari 50.000 pada seluruh pengobatan psikiatri. Tingkat
kematian penderita kanker meningkat secara signifikan tetapi saat
dianalisa berdasarkan jenis kelamin, observasi ini berlaku hanya
untuk wanita. Alasan untuk observasi ini masih belum dapat dipahami
kemungkinan berkaitan dengan gaya hidup. Implikasi dalam praktik
klinis adalah bahwa penderita kanker lebih sering mengalami
penyakit kejiwaan sebelum penegakan diagnosis. Timbulnya kanker
hampir dipastikan akan memperburuk keadaan pada sebagian besar
penderita.
Komunikasi dengan staf medisPemberian informasi kepada pasien
kanker seringkali melibatkan penyampaian berita buruk, baik itu
pada saat diagnosis kanker baru ditegakkan dan saat pemeriksaan
klinis atau pemeriksaan khusus yang menunjukkan adanya kekambuhan
setelah pengobatan. Penyampaian berita buruk merupakan tugas yang
sangat tidak nyaman untuk sebagian besar dokter. Namun, cara
penyampaian mempengaruhi tingkat tekanan psikologis yang dialami
pasien.Tanggung jawab untuk menyampaikan berita buruk kepada pasien
biasanya jatuh kepada dokter, baik dokter pelayanan primer maupun
spesialis senior di rumah sakit. Hal ini merupakan praktik yang
biasa, tetapi banyak dokter merasa tidak siap untuk menangani jenis
konsultasi klinis ini.Dokter merasa sulit dengan alasan: kurangnya
pelatihan formal ragu dengan reaksi pasien takut akan meningkatkan
penderitaan pasien merusak hubungan dokter-pasien ragu memberi
tanggapan terhadap pertanyaan pasienKetika informasi medis tentang
penyakit yang disampaikan berupa prognosis buruk, hal ini tidak
boleh dipotong pasien. Setiap gagasan melindungi pasien dari berita
buruk dianggap merendahkan dan ketinggalan jaman. Namun, dokter
harus mempertimbangkan apakah lebih baik untuk memberikan informasi
jenis ini dengan kehadiran seorang kerabat. Kemungkinan ini harus
digali dengan pasien. Kadang kala dibutuhkan penyampaian informasi
secara bertahap, selama lebih dari satu kali konsultasi, terutama
jika pasien memiliki pemahaman yang minim mengenai penyakitnya.
Kesimpulannya sebagai berikut:a. Persiapan pribadi. Sediakan waktu
yang cukup. Pertimbangkan tingkat pengetahuan pasien mengenai
penyakitnya dan tingkat sumber daya pasien. Bersiaplah untuk
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan oleh pasien.
Bersiaplah untuk berurusan dengan respon emosional pasien.b.
Pengaturan fisik. Gunakan ruangan yang memberikan privasi. Jika
tidak memungkinkan, jangan menyampaikan berita buruk di tempat
terbuka atau koridor atau melalui telepon. Dokter harus duduk
sejajar dengan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa dokter tidak
terburu-buru dan bersedia untuk menanggapi setiap pertanyaan yang
ingin ditanyakan pasien.c. Berbicaralah kepada pasien dan merespon
dengan penuh perhatian. Lakukan secara perlahan dan tunjukkan rasa
empati. Cari tahu apa yang sudah pasien tahu dan juga mengerti apa
yang ingin dia ketahui. Berikan informasi secara bertahap dan
ringkas maksud dari informasi tersebut. Diskusikan dengan pasien
bagaimana pasien mengatasi kesulitan pribadi sebelumnya. Tanamkan
harapan yang realistis.d. Rencanakan follow-up. Konsultasi lebih
lanjut harus direncanakan untuk memberikan dukungan, mengetahui
kecemasan pasien dan untuk mengklarifikasi poin-poin yang belum
dimengerti pada saat wawancara pertama.e. Umpan balik untuk kolega.
Anggota lain dari tim multidisiplin harus segera diberitahu
mengenai konsultasi dengan pasien dan apa yang telah disampaikan
kepada pasien dan kerabatnya.
Skrining kankerSkrining penyakit telah menjadi praktik rutin
untuk beberapa jenis kanker. Mammography rutin telah terbukti
mengurangi angka kematian akibat kanker payudara pada wanita usia
lanjut dengan deteksi dini. Pengobatan konservatif juga
dimungkinkan untuk dilakukan. Pemeriksaan sitologi dari apusan
serviks telah menjadi prosedur standar untuk mendeteksi lesi
prakanker serviks dan kolonoskopi digunakan untuk mendeteksi kanker
stadium awal pada orang-orang yang berpredisposisi mengalami kanker
kolon, sebagai contoh pada mereka dengan riwayat keluarga mengalami
polyposis coli. Pengujian DNA prediksi, yang menunjukkan
kecenderungan seseorang untuk mengembangkan penyakit tertentu,
sedang dilakukan dengan frekuensi yang meningkat, akan tetapi
menimbulkan beberapa kesulitan dalam penentuan terapi pada mereka
yang memiliki hasil positif. Wanita yang memiliki satu gen untuk
kanker payudara, BRCA1 dan 2, dihadapkan pada pilihan untuk
mengikuti mammography rutin atau menjalani tindakan profilaksis
mastektomi bilateral. Manfaat skrining harus dibandingkan dengan
kemungkinan kerugiannya seperti tekanan psikologis sebelum
pengujian dan perburukannya terutama pada mereka dengan hasil yang
positif atau samar-samar. Untungnya, bukti menunjukkan bahwa
skrining tidak menimbulkan gejala psikologis pada sebagian besar
partisipan. Sebuah tinjauan oleh Marteau dan Croyle (1998) mencatat
bahwa pengujian genetik jauh lebih berguna apabila pengobatan yang
efektif dan strategi preventif sudah tersedia. Orang-orang yang
menjalani pemeriksaan biasanya mengharapkan hasil negatif sementara
mereka yang sangat yakin berisiko tinggi karena riwayat keluarga
akan lebih siap untuk hasil yang positif. Orang yang mendapat hasil
positif lebih cenderung tertekan tetapi tekanan ini biasanya tidak
sangat parah. Kebanyakan bergantung pada kualitas konseling yang
tersedia baik sebelum maupun sesudah pemeriksaan. Walaupun masih
dibutuhkan banyak penelitian untuk mendapatkan bentuk konseling
yang tepat, sangat penting untuk merencanakan konseling sebelum
pemeriksaan sehingga keterbatasan pemeriksaan dapat didiskusikan
bersama dengan implikasi dari hasil yang positif atau negatif.
Penelitian tentang dampak emosional dari pemeriksaan genetik
prediktif menunjukkan bahwa orang dewasa dengan rasa optimis atau
percaya diri yang rendah cenderung mengalami kecemasan secara
klinis dan disarankan untuk menargetkan konseling pada orang-orang
dengan sumber daya psikologis yang rendah (Michie et al. 2001).2.6
Pengaruh Faktor Psikologis terhadap Gangguan KejiwaanBanyak klinisi
percaya cara orang mengatasi kanker mempengaruhi hasil akhir
penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang cemas atau depresi
kurang dapat bertahan hidup dibandingkan mereka yang merespon
dengan sikap yang lebih positif. Telah ada beberapa studi yang
berusaha untuk mendukung hipotesis ini. Greer et al. (1979)
mengidentifikasi empat jenis coping styles yang berbeda dalam
sebuah studi prospektif pada wanita dengan kanker payudara. Hal
tersebut diberi istilah semangat juang (fighting spirit), penolakan
(denial), penerimaan dengan tabah (stoic acceptance), dan tak
berdaya/putus asa (helplessness/hopelessness). Coping styles
memiliki kaitan yang berarti dengan hasil akhir,
kekambuhan-kelangsungan hidup dalam lima tahun memiliki hubungan
positif dengan semangat juang dan penolakan. Sebaliknya, mereka
yang mengatasi dengan penerimaan tabah atau tak berdaya/putus asa
memiliki prognosis yang buruk. Observasi ini dikonfirmasi ketika
hasil dinilai lagi setelah delapan tahun. Sebuah studi kontrol
terkenal yang dilansir oleh Spiegel et al. (1989) menemukan bahwa
lama kelangsungan hidup pasien dengan kanker payudara stadium
lanjut meningkat bagi mereka yang menghadiri pertemuan kelompok
mingguan yang memberikan dukungan praktis dan pendidikan. Sebuah
penemuan serupa dilaporkan oleh Fawzy et al. (1993) pada pasien
dengan malignant melanoma yang menghadiri kelompok
psychoeducational. Pengamatan ini membuat penasaran tapi mencoba
untuk meniru mereka namun belum memberikan kesimpulan yang sama
(Goodwin et al. 2001). Sebuah tinjauan oleh Gwikel et al. (1997)
menyimpulkan untuk keganasan awal ada bukti yang konsisten bahwa
faktor psikologis mempengaruhi perkembangan penyakit, sedangkan
untuk keganasan stadium lanjut faktor biologis yang paling penting,
dan faktor psikologis kurang penting, dalam menentukan hasil.
2.7 Gangguan Kejiwaan dan ManajemennyaGangguan penilaian mungkin
yang paling umum. Dalam sebuah survei pasien yang mendatangi tiga
pusat onkologi di Amerika Serikat, Derogatis et al. (1983)
menemukan prevalensi gangguan kejiwaan sebesar 47% berdasarkan
kriteria operasional. Sindrom klinis didiagnosis pada 43%,
sedangkan 3% dianggap memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
penilaian menyumbang dua-pertiga dari semua diagnosis psikiatri.
Reaksi-reaksi ini cenderung berkembang lebih awal selama perjalanan
penyakit, ketika pasien mengambil implikasi dari penyakit dan
mengantisipasi kebutuhan perawatan. Kemudian dapat berkembang
ketika konsultasi ulang dengan dokter diantisipasi atau ketika
penyelidikan seperti pemeriksaan darah dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) scan direncanakan. Insiden delirium pada pasien
kanker tidak diketahui, tetapi pengamatan klinis menunjukkan bahwa
hal ini sering terjadi. Hal ini sangat sulit untuk dinilai secara
standar karena mudah dilupakan, oleh sebab itu beberapa penelitian
telah dilakukan. Namun, hal tersebut dapat menjadi sumber utama
kesulitan karena pengalaman halusinasi menakutkan dan delusi
sekunder merupakan karakteristik kondisi ini. Deteksi akurat ini
penting agar pengobatan simptomatik dapat diberikan dan penyebab
bisa diperbaiki. Kecemasan bisa menjadi lebih lama dibandingkan
dengan diagnosis gangguan penilaian. Hal tersebut cenderung
menjalar dan tak henti-henti. Fobia kecemasan spesifik dapat
mengembangkan respon terhadap pengobatan, khususnya kemoterapi.
Watson et al. (1992) menemukan bahwa 23% dari pasien yang menjalani
kemoterapi mengalami mual antisipatif. Hal ini bisa menjadi parah
sehingga pasien mengembangkan respon fobia dan menolak untuk
menyelesaikan pengobatan mereka. Fobia kecemasan dapat dipicu
karena berhadapan dengan teknologi medis yang asing seperti mesin
radioterapi. Jika masalah tidak diatasi, pasien dapat berhenti dari
pengobatan dan kemungkinan untuk sembuh atau remisi menjadi
hilang.Kuesioner skrining telah digunakan pada beberapa penelitian
untuk mengidentifikasi perkembangan gangguan kejiwaan. Hospital
Anxiety and Depresion Scale (HADS; Zigmond & Snaith 1983)
adalah salah satu instrumen yang paling umum digunakan. Pinder et
al. (1993) telah menilai serangkaian wanita dengan kanker payudara
dan menemukan bahwa 25% skor yang diperoleh mengindikasikan bahwa
terdapat kemungkinan kasus cemas dan/atau depresi. Oleh karena itu,
intervensi psikososial akan lebih bermanfaat. Kecemasan klinis
tidak berhubungan dengan faktor-faktor sosiodemografi ataupun
penyakit. Depresi klinis lebih sering terjadi pada pasien dengan
status sosial ekonomi rendah. Fallowfield et al. (2001) mengatakan
bahwa dokter lebih sulit mendiagnosa penyakit jiwa pada pasien
kanker. Bunuh diri merupakan suatu resiko yang harus dinilai pada
setiap pasien depresi dan pasien kanker yang mengalami depresi.
Harris dan Barraclough (1994) mengatakan dari 63 laporan kelainan
medis pasien ditemukan peningkatan resiko bunuh diri. Neoplasma
ganas, kanker kepala dan leher merupakan kelainan yang sering
menyebabkan peningkatan risiko bunuh diri. Risiko tertinggi
terdapat pada pasien yang baru atau belum lama di diagnosis kanker.
Sebuah studi yang menunjukkan bahwa 40% kasus bunuh diri terjadi
pada tahun pertama setelah pasien didiagnosis. Risiko tertinggi
juga terdapat pada pasien dengan progresifitas penyakit yang cepat
atau lanjut. Lokasi tumor juga ikut berpengaruh, seperti tumor
paru-paru, saluran napas atas, saluran pencernaan, sistem saraf
pusat, pankreas dan ginjal. Lokasi-lokasi tersebut menempati posisi
tertinggi risiko kasus bunuh diri pada pasien.Disfungsi seksual
merupakan hal yang umum terjadi pada pasien kanker. Kehilangan
hasrat, impotensi, dan anorgasmia adalah keluhan yang paling sering
ditemukan. Selama kemoterapi, banyak pasien mengeluhkan kehilangan
libido yang merupakan efek dari pengobatan. Minat seksual biasanya
akan kembali ketika pengobatan telah selesai. Masalah-masalah
seksual setelah operasi seperti mastektomi atau kolektomi dengan
kolostomi biasanya terjadi akibat penurunan daya tarik pada bagian
tubuh pasien atau pasangannya. Rujukan kepada seorang terapis yang
terlatih dalam pengobatan psikoseksual, sering membantu
pasien-pasien ini.
2.8Dukungan EmosionalBanyak kesulitan dapat dihindari jika
dokter yang menangani pasien kanker dapat memberikan dukungan
emosional sepanjang perjalanan penyakit pasien. Pasien umumnya baru
dapat megembangkan kepercayaan dan meyambut hubungan yang terbuka
jika mereka percaya bahwa dokter berlaku jujur tentang penyakit,
pengobatan, dan prognosis dari penyakit yang mereka derita. Banyak
studi telah mengkonfirmasi bahwa pasien ingin sepenuhnya diberitahu
sesegera mungkin mengenai penyakitnya. Setelah diagnosis telah
ditetapkan dan dibahas dengan pasien, penting untuk membiarkan
pasien mengekspresikan tekanan yang diterimanya. Ini adalah sebuah
proses yang perlu dilakukan atas sejumlah konsultasi. Pasien sering
merasa terhambat dalam mengatakan kekhawatiran emosional mereka,
merasa percaya tidak ada yang bisa dilakukan untuk mereka atau
dokter dan perawat terlalu sibuk atau tidak cukup tertarik dalam
menanggapi permasalahan mereka. Banyak staf profesional yang sering
menjauhkan diri dari permasalah emosional, hal ini dilakukan
sebagai sarana perlindungan diri atau karena mereka merasa takut
tidak mampu mengelola respon emosional pasien. Terdapat juga suatu
keyakinan bahwa depresi tidak dapat dihindari pada tahap tertentu
dalam pengobatan kanker dan sebagian besar tidak dapat
diobati.Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, dokter perlu
bertanya secara langsung dan terbuka kepada pasien mengenai
pemahaman pasien tentang penyakit yang mereka derita, respon
emosional mereka dan kekhawatiran tentang efek dari penyakit
terhadap keluarga maupun kehidupan sosial mereka. Ini penting untuk
menunjukkan pendekatan empati terhadap pasien.
2.9KonselingBanyak pusat-pusat kanker telah membentuk layanan
konseling khusus untuk membantu mengelola masalah emosional pasien
yang terkait dengan masalah kanker. Konselor dilatih dalam
kemampuan komunikasi dan prinsip-prinsip konseling dalam layanan
kanker. Mereka biasanya memiliki latar belakang di bidang
keperawatan, psikologi atau psikoterapi. Mereka juga sebaiknya
telah memiliki pengetahuan yang luas mengenai kanker dan pelayanan
kanker, jika belum, mereka perlu mendapatkan pengetahuan mengenai
kanker selama masa pelatihan karena konseling juga penting untuk
mengoreksi kesalahpahaman tentang diagnosis, pengobatan, dan
prognosis. Konselor tidak boleh digunakan sebagai alasan bagi
dokter untuk menghindari penyampaian informasi dan menjelajahi
masalah psikologis pasien, tetapi dalam konteks busy-service
konselor mempunyai lebih banyak waktu untuk tatap muka dengan
pasien. Konselor mampu mendeteksi gangguan mood, kecemasan atau
gejala psikotik yang membutuhkan penanganan dan pengobatan
psikiater. Oleh karena itu, penting bagi seorang konselor mempunyai
akses kepada psikiater dan psikolog yang memiliki pengalaman
bekerja di layanan onkologi.
2.10Ketersediaan InformasiKurangnya informasi merupakan keluhan
umum pada kebanyakan pasien kanker. Salah satu layanan kanker yang
pertama didirikan di Inggris adalah British Association for Cancer
United Patients, didirikan oleh seorang dokter, Vicky
Clement-Jones, yang dirinya sendiri telah menderita kanker dan
terganggu oleh kurangnya ketersedian informasi untuk pasien.
Sekarang dikenal sebagai CancerBACUP yang merupakan layanan
nasional yang menyediakan informasi, dapat melalui telepon, surat,
dan on-line. CancerBACUP dikelola oleh perawat-perawat onkologi
terlatih yang memiliki akses informasi yang up-to-date mengenai hal
ini. Mereka didukung oleh dewan penasehat medis yang merupakan
tempat mereka berkonsultasi dan menanyakan saran. Organisasi ini
juga menerbitkan selebaran dan buku yang berisikan saran-saran
mengenai diet, kehidupan seksual, terapi komplementer, kontrol
gejala-gejala pada pasien kanker. Organisasi-organisasi lain
memberikan saran dan dukungan kepada pasien dan keluarga
pasien.
2.11Terapi PsikologisPengobatan psikologis yang spesifik
diperlukan pada beberapa kasus pasien. Seperti terapi perilaku
berdasarkan relaksasi dan desensitisasi terbukti berhasil menangani
pasien dengan fobia kecemasan terhadap aspek-aspek tertentu dari
perawatan mereka. Fobia ini seperti saat pengambilan darah,
kemoterapi, dan radioterapi. Dokter harus mampu merujuk pasien
secara cepat kepada seorang psikolog klinis atau perawat yang telah
terlatih dalam terapi perilaku. Spiegel et al. (1981) mengevaluasi
efek dari dukungan grup atau kelompok terhadap wanita-wanita dengan
kanker payudara dan menemukan hasil bahwa, jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol, mereka yang berpartisipasi dalam pengobatan grup
atau kelompok memiliki tingkat gangguan suasana hati dan gejala
fobia lebih rendah. Pengobatan difokuskan pada peningkatan hubungan
pasien dengan keluarga, teman dan dokter dan hidup semaksimal
mungkin dalam menghadapi penyakit terminal. Pasien-pasien ini
kemudian diperiksa dan didapatkan hasil bahwa pasien-pasien pada
pengobatan grup atau kelompok memiliki hidup lebih lama
dibandingakan dengan bukan pengobatan kelompok (Spiegel et al.
1989). Fawzy et al. (1993) juga mendapatkan efek yang sama pada
perawatan psikologis pasien dengan melanoma ganas. Pasien yang
dirawat dalam grup, memperoleh intervensi yang terdiri dari
peningkatan kemampuan memecahkan masalah, manajemen stres, dan
dukungan psikologis. Pasien-pasien pada pengobatan grup atau
kelompok menunjukkan tingkat depresi dan gangguan suasana hati yang
lebih rendah, serta memiliki kelangsungan hidup yang lebih lama.
Sebuah pengobatan perilaku kognitif telah dikembangkan secara
khusus untuk pasien kanker (Moorey dan Greer 1989). Terapi
psikologis tambahan yang berfokus pada makna individu pasien
terhadap kanker dan langkah pasien dalam mengatasinya, yang artinya
adalah apa yang pasien pikirkan dan lakukan untuk mengurangi
ancaman yang ditimbulkan oleh kanker. Pengobatan ini bertujuan
mengidentifikasi kekuatan personal dan menghilangkan rasa rendah
diri pasien. Mengatasi rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan
semangat juang dalam diri pasien dan pasien juga diajarkan untuk
mengidentifikasi dan menantang pikiran-pikiran negatif yang
mendasari kecemasan dan depresi.
2.12Pengobatan Fisik pada DepresiBeberapa uji coba obat
antidepresan telah dilakukan pada pasien kanker (Costa et al 1985;
Evans et al. 1988). Obat-obatan ini telah digunakan secara luas
dalam praktek klinis. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs) telah digunakan sebagai pengganti kelompok trisiklik
sebagai obat pilihan pertama. Sangat penting untuk meminimalkan
interaksi obat pada pasien kanker. Citalopram dan sertraline adalah
yang paling aman digunakan. SSRIs tidak menjadi antidepressan
pilihan pada wanita dengan kanker payudara yang mengkonsumsi
tamoxifen karena SSRIs dapat mengurangi kadar metabolit tamoxifen
(Jin et al. 2005).
BAB IIIKESIMPULAN
Gangguan psikiatrik pada penderita kanker merupakan gangguan
yang melibatkan pikiran dan tubuh. Hal ini menunjukan adanya faktor
psikologis yang mempengaruhi kondisi medis penderita kanker.
Komponen emosional memainkan peranan penting pada ganggun
psikosomatis. Kebanyakan gangguan psikiatrik yang terjadi pada
penderita kanker adalah gangguan afektif. Penderita kanker
mengalami banyak kecemasan akan penyakit yang diderita dan
kemungkinan untuk hidup lama yang tinggal sedikit. Efek samping
pengobatan dan kemungkinan berulangnya kanker juga menimbulkan
kecemasan pada penderita kanker sehingga berakhir pada gangguan
psikiatrik.Adanya gangguan psikiatrik pada penderita kanker bisa
terjadi sebelum ataupun sesudah kanker tersebut timbul.
Penatalaksanaan terhadap gangguan psikiatri pada penderita kanker
meliputi konseling dengan dokter umum ataupun psikiater.
Obat-obatan antidepresi juga dapat membantu mengatasi gejala
depresi yang terjadi. Penanganan penyakit kanker membutuhkan
pendekatan multidisiplin antara bidang penyakit kanker dengan
kejiwaan sehingga perlu kerjasama antar bagian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, F., Marcellus, D., Zabora, J., et al. (1997).
Psychological distress among adult patients being evaluated for
bone marrow transplantation. Psychosomatics, 38, 10_19.Boshoff, C.
and Weiis, R. (2002). AIDS-related malignancies. National Review of
Cancer, 2, 373_82. cancer: diagnosis, biology and treatment.
Archives of General Psychiatry, 52, 89_99.Broers, S., Kaptein, A.
A., Le Cessie, S., et al. (2000). Psychological functioning and
quality of life following bone marrow transplantation: a 3-year
follow-up study. Journal of Psychosomatic Research, 48, 11_21.Cull,
A. (1990). Psychological aspects of cancer and chemotherapy.
Journal of Psychosomatic Research, 34, 129_40.Derogatis, L. R.,
Morrow, G. R., Fetting, J., et al. (1983). The prevalence of
psychiatric disorders among cancer patients. Journal of the
American Medical Association, 249, 751_7.Fallowfield, L., Hall, A.,
Maguire, G. P., et al. (1990). Psychological outcomes in women with
early breast cancer. British Medical Journal, 301,
1394.Fallowfield, L., Ratcliffe, D., Jenkins, V., et al. (2001).
Psychiatric morbidity and its recognition by doctors in patients
with cancer. British Journal of Cancer, 84, 1011_15.Fawzy, I. F.,
Fawzy, N. W., Hyun, C. S., et al. (1993). Effects of an early
structured psychiatric intervention, coping and affective state on
recurrence and survival 6 years later. Archives of General
Psychiatry, 50, 681_9.Guthrie E, Creed F . Seminars in liaison
psychiatry. London. Gaskel/Royal College of Psychiatrists;
1996Hamburg BA. CONSULTATION/LIAISON PSYCHIATRY. Bull. N.Y. Acad.
Med.1987;63(4):376-85Hanna TA. Consult Liaison & Therapeutic
Alliance. Available from : URL: http://
www.academicpsychiatry.org/powerpoint/ diakses pada 30 April
2015Hellemans A, Bunch B. The Timetables of Science. Simon &
Schuster;1988.p.261.Jorsh MS. Somatoform disorders: The role of
consultation liaison psychiatry. International Review of
Psychiatry. Feb 2006;18(1):61-65Kornfeld DS. Consultation-Liaison
Psychiatry: Contributions to Medical Practice. Am J
Psychiatry.2002;159(-):1964-72Lipowski ZJ. Current trends in
consultation-liaison psychiatry. Canadian Journal of Psychiatry.
Revue Canadienne de Psychiatrie.1983;28(5):329-338Lloyd, M. and
Bor, R. (2004). Communication Skills for Medicine, 2nd edn.
Edinburgh: Churchill Livingstone.Lobo A, Lozano M, Diefenbacher A.
Psychosomatic Psychiatry: a European View. The European Journal of
Psychiatry.Jun 2007;21(2)M. Faisal Idrus, Irmasanty. THE PROFILE OF
PSYCHIATRIC DISORDERS PATIENTS REFERRED IN PSYCHIATRIC DEPARTMENT
OF DR WAHIDIN SUDIROHUSODO HOSPITALS BETWEEN 2000-2004. The
Indonesian Journal of Medical Science. 2009;1(5):343-348McDaniel,
J. S., Musselman, D. L., Porter, M. R., et al. (1995). Depression
in patients withMcGovern CM. Dunbar, Helen Flanders. American
National Biography.2000;12(2)McIntyre JS. A New Subspecialty. Am J
Psychiatry.2002;159(12):1961-63Meadows GN, Harvey CA, Joubert L,
Barton D, Bedi G. The Consultation-Liaison in Primary-Care
Psychiatry Program: A Structured Approach to Long-Term
Collaboration. PSYCHIATRIC SERVICES.Aug 2007;58(8):10361038Morris
R, Mayou R. International overview of consultation-liaison
psychiatry. In E. Guthrie & F. Creed (Eds), Seminars in Liaison
Psychiatry. London:Gaskell;1996.p.1-20Philbrick KL, Rundell JR,
Netzel PJ, Levenson JL. Clinical Manual of Psychosomatic Medicine -
A guide to Consultation Liaison Psychiatry. 2nd ed. Arlington, VA.
American Psychiatric Publishing; 2012Snchez N. Adolf Meyer and
Spain: A Historical Account Gleaned through his Correspondence.
Psychologia Latina.2011;2(1):115-31Saravay SM, Steinberg H, Solomon
SP, Hong GK. A confirmation of NIMH training objectives for
consultation-liaison residents . Am J Psychiatry
.1984.141(-):1437-40Sharpe M, Gath D. Recent Developments
Consultation Liaison Psychiatry -- A view from Oxford. Hong Kong
Journal of Psychiatry.1997;7(1):9-13Tarigan CJ. PERBEDAAN DEPRESI
PADA PASIEN DISPEPSIA FUNGSIONAL DAN DISPEPSIA ORGANIK. USU Digital
Library. 2003;15-16
PERTANYAAN DISKUSI REFERAT
1. Pada penderita kanker yang menjalani kemoterapi seringkali
menyebabkan chemobrain dan demensia sehingga kadang kala pasien
menolak untuk melanjutkan kemoterapi. Apa yang harus dilakukan agar
pasien tidak berhenti kemoterapi?Jawaban:Memang benar bahwa salah
satu dari efek kemoterapi adalah chemobrain dan demensia. Seperti
yang kita ketahui bahwa agen kemoterapi tidak hanya aktif membunuh
sel-sel kanker tetapi juga bersifat sitotoksik terhadap sel yang
sehat. Beberapa agen kemoterapi juga terbukti menghambat
neurogenesis di otak sehingga terjadilah penurunan daya ingat pada
pasien. Untuk mencegah terjadinya putus kemoterapi, maka sebaiknya
dari awal sebelum melakukan kemoterapi diadakan konsultasi berupa
CLP untuk mendiskusikan masalah kemoterapi tersebut. Pasien harus
diberitahukan dengan jelas mengenai manfaat, efek samping, maupun
komplikasi yang mungkin terjadi selama terapi sehingga dengan
demikian pasien bisa lebih siap menjalankan terapi. Selain itu,
dibutuhkan juga dukungan dari lingkungan sekitar pasien.
2. Pada pasien dengan coping mechanism jenis stoic acceptance,
apakah diberikan CLP juga?Jawaban:Idealnya seluruh pasien dilakukan
skrining terlebih dahulu untuk melihat kecenderungan mengalami
gangguan kejiwaan, setelah itu jika memang coping mechanism baik,
tidak perlu diberikan CLP lebih lanjut lagi akan tetapi masih harus
tetap di follow up.
3. Apakah ada alat skrining yang digunakan dalam CLP pada pasien
kanker?Jawaban:Untuk mengidentifikasi perkembangan gangguan
kejiwaan, salah satu instrumen yang paling umum digunakan adalah
Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS).
4. Apakah ada obat-obat kemoterapi yang kontraindikasi dengan
antidepresan? Coba sebutkan contohnya.Jawaban:Antidepresan golongan
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) tidak menjadi
pilihan pada wanita dengan kanker payudara yang mengkonsumsi
tamoxifen karena SSRIs dapat mengurangi kadar metabolit
tamoxifen.
5. Obat kemoterapi seperti vincristine bisa menyebabkan depresi.
Kapan antidepresan diberikan?Jawaban:Pada pasien yang menjalani
kemoterapi, antidepresan diberikan jika pasien telah terbukti
menunjukkan gejala depresi, dan antidepresan ini dikonsumsi hingga
gejala berkurang.24