BAB I
PENDAHULUAN
Kelopak mata yang disebut juga palpebra merupakan lipatan kulit
yang terdapat dua buah untuk tiap mata. Kelopak mata dapat
digerakkan untuk menutup mata, dengan ini melindungi bola mata
terhadap trauma dari luar yang bersifat fisik atau kimiawi serta
membantu membasahi kornea dengan air mata pada saat berkedip. Dalam
keadaan terbuka, kelopak mata memberi jalan masuk sinar ke dalam
bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Membuka dan menutupnya
kelopak mata dilakukan oleh otot-otot tertentu dengan persarafannya
masing-masing.1Sindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang
mengenai kedua mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan
kumpulan tanda klinis berupa blefarofimosis, ptosis berat,
epikantus inversus, dan telekantus.2,3 Karena terjadi kelainan pada
kelopak mata dimana kelopak mata tidak dapat membuka sepenuhnya,
visus bisa menjadi terbatas. Sindroma blefarofimosis meningkatkan
resiko terjadinya permasalahan dalam perkembangan visus seperti
miopia atau hiperopia. Hal ini juga dapat mengakibatkan terjadinya
strabismus dan ambliopia yang dapat mengenai satu ataupun kedua
mata.4
Angka kejadian sindroma blefarofimosis sampai saat ini belum
diketahui.4 Namun, ada yang melaporkan angka kejadiannya berkisar
antara 11-50 per 100.000 kelahiran.5 Sindroma blefarofimosis
mempunyai dua tipe. Tipe I terdiri dari empat manifestasi klinis
utama berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan
telekantus, ditambah dengan kegagalan ovarium prematur. Kegagalan
ovarium prematur menyebabkan periode menstruasi seorang wanita
frekuensinya menjadi lebih kurang dan akhirnya berhenti sebelum
usia 40 tahun. Kegagalan ovarium prematur dapat menyebabkan
kesulitan untuk hamil (subfertilitas) atau tidak bisa hamil
(infertilitas).4,5 Tipe II hanya terdiri dari empat manifestasi
klinis dari kelainan kelopak mata.4
Dalam referat ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindroma
blefarofimosis, etiologi, penegakan diagnosis, dan
penatalaksanaannya. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi PalpebraStruktur mata yang berfungsi sebagai
proteksi lini pertama adalah palpebra. Fungsinya adalah melindungi
bola mata, mencegah benda asing masuk, membersihkan permukaan mata
dengan dari kotoran dan iritasi lain dengan berkedip, serta
mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di
depan kornea dan juga membantu proses lubrikasi permukaan
kornea.6Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus
orbikularis okuli dan muskulus levator palpebra. Muskulus
orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu
mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup
mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus
orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di
palpebra superior. Otot polos pada palpebra superior atau muskulus
palpebra superior (Mller muscle) juga berfungsi dalam memperlebar
pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan, palpebra inferior tidak
memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada hanya
berfungsi secara aktif ketika memandang kebawah. Selanjutnya adalah
lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit, kelenjar
Moll dan Zeis, muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra.
Lapisan dalam terdiri dari lapisan tarsal, muskulus tarsalis,
konjungtiva palpebralis dan kelenjar meibom.7
Gambar 1. Potongan sagital palpebra superior2.1.1.Kulit
Palpebra memiliki kulit yang tipis 1 mm dan tidak memiliki lemak
subkutan. Kulit disini sangat halus dan mempunyai rambut vellus
halus dengan kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah kelenjar
keringat.82.1.2 Orbikularis
Muskulus orbikularis okuli melekat pada pada kulit. Permukaan
dalamnya disarafi nervus facialis (VII), dan fungsinya adalah untuk
menutup palpebra. Otot ini terbagi dalam bagian orbital, praseptal,
dan pratarsal. Bagian orbita, yang terutama berfungsi untuk menutup
mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertio temporal. Otot
praseptal dan pratarsal memiliki kaput medial superfisial dan
profundus, yang turut serta dalam pemompaan air
mata.9,102.1.3.Septum
Septum orbita merupakan jaringan fibrosa yang berasal dari
periostium yang berada di depan rima orbita bagian superior dan
inferior. Pada palpebra superior, septum orbita menyatu dengan
levator aponeurosis lebih kurang 1-3 mm superior tarsus bukan pada
orang etnis Asia. Lemak orbita terdapat di belakang septum orbita
dalam rongga preaponeurotik.11,12Fasia yang membatasi m.orbikularis
okuli disebelah posterior, merupakan pagar antara palpebra dan
orbita sehingga jika terjadi radang di palpebra tidak dapat masuk
ke orbita. Pinggir dari palpebra, disebut margo palpebra, yang ke
medial membentuk kantus internus dan yang ke lateral membentuk
kantus eksternus. Kantus internus bentuknya tumpul sedangkan kantus
eksternus bentuknya lancip.6
Di bagian depan dari margo palpebra, terdapat silia (bulu mata)
2-3 jajar yang pendek dan melengkung ke luar. Akarnya terdapat
didalam jaringan otot. Di margo palpebra dekat kantus internus,
terdapat tonjolan yang disebut papila lakrimal yang ditengahnya
terdapat punctum lakrimal. Lapisan paling belakang dari palpebra
dibentuk oleh konjungtiva palpebra dan foniks yang
berlipat-lipat.6,8,112.1.4.Tarsus
Tarsus adalah lempeng fibrosa kaku, yang dihubungkan pada tepian
orbita oleh tendo-tenso kantus medialis dan lateralis. Terdiri dari
jaringan yang rapat ddengan sedikit jaringan elastis. Gunanya untuk
memberi bentuk pada palpebra. Tarsus superior lebih besar dari
tarsus inferior. Didalamnya terdapat kurang lebih 20 glandula
sebasea meiboom, yang tampak membayang sebagai garis-garis yang
kekuning-kuningan berjajaran dibawah konjungtiva dan mengeluarkan
isinya di margo palpebra yang tampak sebagai bintik-bintik halus.
Guna dari isi glandula meiboom adalah untuk menutup rapat margo
palpebra superior dan inferior pada waktu mengedip, sehingga air
mata tidak dapat meleleh ke pipi. Di medial dan lateral, tarsus
bersatu membentuk ligamentum tarsalis medialis dan ligamentum
tarsalis lateralis, yang melekat pada pinggir
orbita.6,8,112.1.5.Levator
Di bawah lemak terdapat kompleks muskulus levator-retraktor
utama palpebra superior-dan padanannya, fascia capsulopalpebrae di
palpebra inferior. Muskulus berorigo di apeks orbita. Saat memasuki
palpebra, otot ini membentuk aponeurosis yang melekat pada
sepertiga bawah tarsus superior. Pada palpebra inferior, fascia
capsulo palpebralis berasal dari muskulus rektus inferior dan
berinsertio pada batas bawah tarsus. Ini berfungsi menarik palpebra
inferior saat melihat ke bawah. Muskulus tarsalis inferior
membentuk lapisan berikut, yang melekat pada konjungtiva. Otot
simpatis ini menarik palpebra. Konjuingtiva melapisi permukaan
dalam palpebra. Konjungtiva palpebra menyatu dengan konjungtiva
yang berasala dari bola mata dan mengandung kelenjar-kelenjar yang
penting dalam pelumasan kornea.6,9,102.1.6.Pembuluh Darah
Pembuluh darah di palpebra befungsi untuk membantu penyembuhan
luka dan mencegah infeksi. Arteri disini berasal dari 2 pembuluh
darah besar, yaitu arteri karotis interna yang merupakan pembuluh
darah di daerah mata dan bercabang di supraorbita dan lakrimal, dan
arteri karotis eksterna yang merupakan pembuluh darah di wajah yang
bercabang di angular dan temporal. Sirkulasi kolateral antara dua
sistem pembuluh darah ini beranastomose melewati palpebra superior
dan inferior membentuk arcade marginal dan
kolateral.8,9,10,12Pembuluh darah vena pada palpebra ini dibagi
menjadi 2 bagian yaitu pretarsal dan posttarsal. Pada pretarsal
bercabang menjadi vena angularis dari medial dan vena temporalis
superfisial dari lateral. Sedangkan pada posttarsal bercabang
menjadi vena orbitalis dan vena fasialis anterior, serta pleksus
pterigoid.6,112.1.7.Persarafan
Saraf sensori di daerah palpebra dipersarafi oleh cabang pertama
dan kedua saraf V. Cabang saraf pertama yaitu supraorbita (V1)
berinervasi di dahi dan regio periokular lateral. Cabang saraf
kedua yaitu maksilari (V2) berinervasi di kelopak mata bawat dak
pipi. Sedangkan saraf motornya adalah saraf ke III, VII, dan saraf
simpatis.6,112.2 Sindroma Blefarofimosis2.2.1. DefinisiSindroma
blefarofimosis adalah suatu penyakit yang mengenai kedua mata dan
diturunkan secara autosomal dominan dengan kumpulan tanda klinis
berupa blefarofimosis, ptosis berat, epikantus inversus, dan
telekantus. Sindroma ini diperkenalkan pertama kali oleh Kohn dan
Romano (1971). Atas jasanya, sindrom ini disebut juga sindroma Kohn
Romano.2,32.2.2.Epidemiologi
Prevalensi sindroma blefarofimosis tidak diketahui. Jenis
kelamin, ras, dan etnik tidak mempengaruhi angka kejadian penyakit
ini.132.2.3.Etiologi
Sindroma blefarofimosis merupakan penyakit autosomal dominan
yang dikaitkan dengan mutasi dominan yang diwariskan dalam gen
FOXL2 pada kromosom 3q23. Gen ini diekspresikan terutama dalam
perkembangan kelopak mata dan ovarium. Hampir 75% pasien dengan
sindroma blefarofimosis mempunyai hubungan dimana terdapat mutasi
dari gen FOXL2; sisanya, yaitu 25% mewakili mutasi baru atau
ekspresi ringan dari generasi sebelumnya.13
Sebuah studi terhadap sepuluh individu dengan mutasi gen FOXL2
dengan hasil yang menunjukkan adanya perubahan lateral dari pungtum
inferior yang mengakibatkan perubahan struktur temporal dari
kelopak mata bagian bawah. Hal ini merupakan suatu tanda penting
dalam mendiagnosis sindroma blefarofimosis.14 Studi lain
menyebutkan adanya penyusunan kembali sitogenetik dari kromosom
3q23 dimana terjadi ketidakseimbangan translokasi dan delesi
interstisial yang sering disertai adanya manifestasi klinis
tambahan seperti mikrosefali, ketidakmampuan intelektual, dan
keterlambatan pertumbuhan. Namun, bila terjadi keseimbangan
translokasi 3q23, maka akan menghasilkan sindroma blefarofimosis
tanpa manifestasi klinis tambahan.132.2.4.Gambaran
Klinis2,3,13Selain terdapat empat tanda utama dari sindroma
blefarofimosis, yaitu blefarofimosis, ptosis berat, epikantus
inversus, dan telekantus, beberapa tanda yang mungkin dijumpai
adalah lateral lower eyelid ectropion, yang terjadi sekunder akibat
defisiensi lamella anterior kelopak mata bawah, nasal bridge yang
tidak berkembang, hipoplasia rima orbita bagian superior, lop ears,
dan hipertolerisme. Manifestasi klinis lain yang dapat ditemukan
pada sindroma blefarofimosis antara lain kelainan duktus lakrimal,
ambliopia, strabismus, dan kesalahan refraksi.
Adapun dua tipe dari sindrom blefarofimosis, yaitu:
Tipe I : terdiri dari empat manifestasi utama yaitu
blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus dan telekantus dan
disertai adanya infertilitas pada perempuan yang disebabkan oleh
kegagalan ovarium prematur. Tipe II: hanya terdiri dari dari empat
manifestasi utama yaitu blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus
dan telekantus. Tipe ini ditandai oleh adanya penetrasi dan
transmisi yang tidak sempurna oleh laki-laki dan
perempuan.2.2.5.Diagnosis Banding13Diagnosis banding sindroma
blefarofimosis mencakup kondisi dimana ptosis atau blefarofimosis
menjadi manifestasi klinis utama. Walau bagaimanapun dalam
prakteknya, pada kebanyakan kasus sindrom blefarofimosis dengan
mudah dapat didiagnosis.
Tabel 1. Diagnosis banding sindroma blefarofimosis
Sindroma Diwariskan Karakteristik
Hereditary congenital
AD
Ptosis
ptosis 1 (PTOS1)Hereditary congenital
XL
Ptosis
ptosis 2 (PTOS2)Ohdo blepharophimosis ADBlefarofimosis
SyndromeBlefaroptosis
Ketidakmampuan intelektual
Defek jantung kongenital
Hipoplasia gigi
Michels syndromeADBlefarofimosis
Blefaroptosis
Epikantus inversus
Defek segmen anterior (kornea)
Cleft lip/palate
Abnormalitas tulang minor
Ptosis dengan
Ptosiseksternal oftalmoplegiaAROftalmoplegia
Miosis
Penurunan akomodasi
Strabismus
Ambliopia
Sindroma NoonanADPtosis
Perawakan pendek
Defek jantung
Defisiensi faktor pembekuan darah
Sindroma Marden-Walker ARPtosis
Blefarofimosis
Retardasi pertumbuhan
Defek neurologisSindroma Schwartz-JampelARPtosis intermiten
Blefarofimosis
Telekantus
Katarak
Perawakan pendek
Kelainan tulang dan kartilago
Hipertrofi ototSindroma DubowitzARPtosis
Blefarofimosis
Telekantus lateral
Perawakan pendek
Ketidakmampuan intelektual
Defisiensi imunologi
Sindroma Smith-Lemli-OpitzARPtosis
Epikantus
Katarak
Severe genitourinary, cardiac,
and gastrointestinal anomalies
catatan:
AD = autosomal dominant; AR = autosomal recessive, XL =
X-linked2.2.6.Penegakan Diagnosis113Penegakan diagnosis sindrom
blefarofimosis adalah dengan ditemukannya empat manifestasi klinis
berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus inversus, dan telekantus
yang muncul saat lahir.
Blefarofimosis15Blefarofimosis adalah kondisi dimana terjadi
penyempitan celah horizontal dari kelopak mata. Pada orang dewasa,
normalnya, ukuran fissura palpebra horizontal 25-30 mm. Pada
individu dengan sindrom blefarofimosis, ukuran fisura palpebra
horizontalnya hanya 20-22 mm.
Gambar 2. Sindroma blefarofimosis Ptosis16Ptosis adalah suatu
keadaan dimana kelopak mata atas (palpebra superior) turun di bawah
posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau
bilateral. Kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil
sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara
menaikkan alis matanya atau menghiperekstensikan kepalanya.
Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Ptosis biasanya
mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior
( otot kelopak mata atas ). Rata rata lebar fisura palpebra / celah
kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang
fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya
menutupi 2 mm kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas
di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas refleks cahaya pada kornea.
Pemeriksaan fisik pada pasien ptosis dimulai dengan empat
pemeriksaan klinik :171. Palpebra Fissure Height
Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah
dan kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan
pandangan primer.Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama
(orang dewasa biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup
1 mm dari limbus). Jika ptosis unilateral, pemeriksa harus
membedakan dengan artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau
retraksi kelopak mata kontralateral. Kelopak mata harus dieversi
untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis
papilar raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila kelopak mata
atas mengalami retraksi dokter harus secara manual mengangkat
kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak
atas pada mata lain.2. Margin-reflex distance
Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya
kornea pada posisi primer, normalnya 4 mm. Refleks cahaya dapat
terhalang pada kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya
nol atau negatif. Bila pasien mengeluh terganggu pada saat membaca
maka jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.3. Upper lid
crease
Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur.
Lipatan kelopak atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien
dengan ptosis kongenital.4. Levator function
Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur
penyimpangan total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan
ke atas, sambil menekan dengan kuat pada alis mata pasien untuk
mencegah kerja otot frontalis. Penyimpangan normal kelopak atas
adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak refleks kornea - kelopak
mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas diukur.5.
Bells Phenomenon
Penderita disuruh menutup/memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa
membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti
Bells Phenomenon (+).
Palpebra Fissure Height9,57,5
Margin-Reflex Distance+4+2
Upper Lid Crease811
Levator Function1514
Example of ptosis data sheet18Berdasarkan jarak jatuhnya
palpebra superior, ptosis diklasifikasikan atas 3 derajat :19Amount
PtosisClassification
less than or equal to 2mmMild
3mmModerate
greater than or equal to 4mmSevere
Epikantus inversus9Epikantus ditandai dengan lipatan vertical
kulit di atas kantus medialis. Ini khas pada orang Asia dan ada,
dalam batas tertentu, pada kebanyakan anak dari semua ras. Lipatan
kulit tersebut sering cukup besar hingga menutupi sebagian sclera
nasalis dan menimbulkan pseudoesotropia. Mata tampak juling bila
aspek medial sclera tidak terlihat. Jenis paling banyak adalah
epikantus tarsalis, yaitu lipat palpebra superior menyatu di medial
dengan lipat epikantus. Pada epikantus inversus, yang merupakan
salah satu manifestasi dari sindroma blefarofimosis, lipatan
kulitnya menyatu dengan palpebra inferior. Penyebab epikantus
adalah pemendekan vertical kulit diantara kantus dan hidung.
Koreksi bedah diarahkan pada pemanjangan vertical dan pemendekan
horizontal. Pada anak normal, lipatan epikantus menghilang secara
bertahap hingga pubertas, dan jarang memerlukan pembedahan.
Telekantus9Telekantus adalah pergeseran lateral dari kantus bagian
dalam dengan jarak antara kedua pupil normal. Jarak normal antara
kantus medialis kedua mata atau jarak interkantus sama dengan
panjang fissura palpebra (kira-kira 30 mm pada orang dewasa). Jarak
interkantus yang lebar bias terjadi akibat disinsersi traumatic
atau disgenesis kraniofasial congenital. Telekantus ringan (missal
pada sindroma blefarofimosis) dapat dikoreksi dengan operasi kulit
dan jaringan lunak. Namun, diperlukan rekonstruksi kraniofasial
besar bila orbita terpisah jauh, seperti pada penyakit Crouzon.
2.2.7.PenatalaksanaanPenatalaksanaan sindroma blefarofimosis
memerlukan koordinasi beberapa ahli, termasuk ahli genetika klinis,
dokter spesialis mata anak, dokter bedah okuloplastik, ahli
endokrin, dan gyneecologist. Waktu yang tepat untuk operasi kelopak
mata masih kontroversial. Hal ini mempertimbangkan berbagai alasan
diantaranya operasi awal untuk mencegah terjadinya ambliopia dan
operasi yang terlambat untuk memungkinkan pengukuran ptosis lebih
dapat diandalkan.13 Operasi awal diperlukan untuk ptosis yang parah
dan ambliogenik. Perbaikan kantus biasanya ditangani setelah
ptosis. Meskipun ada beberapa pendapat yang memperbaiki kantus
terlebih dahulu.13 Tindakan rekonstruksi dapat dilakukan satu
tahap, namun beberapa ahli bedah lebih menyukai dilakukan dalam 2
tahap. Pertama, telekantus dan epikantus dikoreksi dengan double
Z-plasty dari Mustarde, Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari
Roveda. Kadang-kadang dikombinasi dengan wiring transnasal pada
tendon kantus medial. Jaringan ikat subkutan yang berjalan di bawah
lipatan epikantus juga diambil. Hal ini akan membuat terbentuknya
flap yang datar.2
Gambar 3. Prosedur Mustarde untuk koreksi epikantus dan
telekantus.
Setelah 3-4 bulan, dilakukan suspensi frontal bilateral untuk
mengkoreksi ptosisnya. Sebagai tambahan dapat dilakukan tindakan
rekonstruksi lainnya bila terdapat ektropion dan hipoplasia orbital
rim superior.2
Bila terdapat hipertolerisme (yaitu jarak tulang orbit yang
panjang, ditandai dengan jarak antar pupil yang lebar dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiografi) dilakukan tindakan
operatif tulang orbita sebelum dilakukan rekonstruksi.2
Gambar 4. Prosedur Crawford untuk koreksi ptosis dengan suspensi
frontalBAB III
KESIMPULANSindroma blefarofimosis adalah suatu penyakit yang
mengenai kedua mata dan diturunkan secara autosomal dominan dengan
kumpulan tanda klinis berupa blefarofimosis, ptosis berat,
epikantus inversus, dan telekantus. Sindroma blefarofimosis
mempunyai 2 tipe. Sindroma blefarofimosis tipe I terdiri dari empat
manifestasi klinis utama dan adanya kegagalan ovarium prematur.
Sindroma blefarofimosis tipe II hanya terdiri dari empat
manifestasi klinis utama yaitu blefarofimosis, ptosis berat,
epikantus inversus, dan telekantus. Manifestasi klinis lain yang
mengenai mata yang berhubungan dengan sindroma blefarofimosis
antara lain kelainan duktus lakrimalis, ambliopia, strabismus, dan
kesalahan refraksi.
Diagnosis sindroma blefarofimosis adalah dengan ditemukannya
empat manifestasi klinis berupa blefarofimosis, ptosis, epikantus
inversus, dan telekantus yang muncul saat lahir. Individu dengan
sindroma blefarofimosis mempunyai penyusunan kembali sitogenetik
seperti delesi interstisial dan translokasi dari kromosom 3q23.
Pemeriksaan genetik molekular dari gen FOXL2, satu-satunya gen yang
baru-baru ini diketahui mempunyai hubungan dengan sindroma
blefarofimosis, diakui secara klinis.Penatalaksanaan sindroma
blefarofimosis meliputi penatalaksanaan terhadap manifestasi klinis
yang didapatkan. Waktu yang tepat untuk melakukan operasi masih
kontroversial yang bergantung pada kondisi penderita. Tindakan
rekonstruksi dapat dilakukan satu tahap, namun beberapa ahli bedah
lebih menyukai dilakukan dalam 2 tahap. Pertama, telekantus dan
epikantus dikoreksi dengan double Z-plasty dari Mustarde,
Y-V-plasty multiple, atau prosedur dari Roveda. Setelah 3-4 bulan,
dilakukan suspensi frontal bilateral untuk mengkoreksi ptosisnya.
Sebagai tambahan dapat dilakukan tindakan rekonstruksi lainnya bila
terdapat ektropion dan hipoplasia orbital rim superior.
DAFTAR PUSTAKA1. Ilyas, Sidharta (ed). Kelopak Mata. Dalam Ilmu
Penyakit Mata. Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta. 2002; hal : 57,73-52.
Kersten RC, Codere F, Dailey RA, et al 2005. BCSC 2005-2006.
Section 7 Orbit, eyelids and lacrimal system. San Fransisco: The
Foundation of the American Academy of Ophtalmology:153-154.3.
Steward WB. 1993. Ophtalmology monographs: Surgery of eyelid,
orbit, and lacrimal system volume 1. San Fransisco. The Foundation
of the American Academy of Ophtalmology:112-116.4.
Blepharophimosis, ptosis, and epicanthus inversus syndrome.
Genetics home reference. Available at
http://ghr.nlm.nih.gov/condition/blepharophimosis-ptosis-and-epicanthus-inversus-syndrome
, diakses tanggal 11 Maret 2013.5. Blepharophimosis, ptosis, and
epicanthus inversus syndrome type 1. Diunduh dari
http://rarediseases.info.nih.gov/GARD/Condition/23/Blepharophimosis_ptosis_and_epicanthus_inversus_syndrome_type_1.aspx#ref_796
, diakses tanggal 11 Maret 2013. 6. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu
Penyakit Mata. ed.3. Sagung Seto: Jakarta7. Wagner, JP.
2006.Anatomi Fisiologi Air Mata. Dalam: Suyono, Y. Joko
(ed).Oftalmologi Umum edisi 14. Jakarta: Widya Medika,94.
8. Koswandi, Arthur. 2002. Mata. Histologi. Jilid 4. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang. hal : 126-7.9.
Vaughan, Daniel. 2000. Blepharoptosis. Dalam Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Widya Medika: Jakarta. hal : 81,86-87.10. Bartiss,
Michael J,Department of Ophthalmology, University of Nebraska
Medical Center. Diunduh dari http://www.emedicine.com/ ph/topic345
diakses tanggal 10 Maret 2013.11. TJ., Lisegang, GL., Skuta.
2005-2006. Orbit, eyelids, and lacrimal. Jilid 7. American academy
of ophthalmology: USA. hal: 147,208-219.12. JJ., Kansky. 2005.
Eyelid Ptosis. Clinical Ophthalmology of Systemic Approach. Edisi
6. Butterwrth-Heineman Elsevier: Inggris. hal: 133-142.13. Elfride
De Baere, MD, PhD. 2009. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus
Inversus. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1441/ ,
diakses tanggal 11 Maret 2013.14. Decock CE, Claerhout I, dkk.
2011. Correction of the lower eyelid malpositioning in the
blepharophimosis-ptosis-epicanthus inversus syndrome. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21562436 , diakses tanggal 11
maret 2013. 15. American academy of ophthalmology16. Suh, Donny
Wun.Ptosis, Congenital. Editor(s) :Michael J Bartiss, Donald S
Fong, Mark T Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy.Department of
Ophthalmology, University of Nebraska Medical Center. Available at
http://www.emedicine.com/ ph/topic345. Last update : November 13,
2003.
17. Newman, Steven A.The Patient With Eyelid or Facial
Abnormalities. DalamBasic And Clinical Science Course-Neuro
Opthalmology. Bagian 5. The Foundation Of The American Academy Of
Ophthalmology. San Fransisco. 2001; hal : 263.
18. Newman, Steven A.Eyelid Malposition and Involutional
Changes.DalamBasic And Clinical Science Course-Orbit, Eyelids, and
Lacrimal System.Bagian 7. The Foundation Of The Academy Of
Oftalmology, San Fransisco, 2001, hal : 190,191,200 dan 204
19. Bermant, Michael.Measuring Eyelid Function and Ptosis
(drooping upper eyelid).American Board of Plastic Surgery.
Available
athttp://www.plasticsurgery4u.com/procedure_folder/eyelid_recon_folder/eyelid_function.html.Last
update : Januari 8, 2004.
8