DERMATITIS SEBOROIK
I. PENDAHULUANDermatitis seboroik merupakan peradangan kronik
pada permukaan kulit yang sulit untuk didefinisikan secara tepat,
namun memiliki morfologi yang distinktif. Dimana lesi umumnya
berwarna merah, berbentuk tidak teratur, berbatas tegas dan
ditutupi dengan semacam sisik yang berminyak. Dermatitis seboroik
sering diasosiasikan dengan rasa gatal pada permukaan kulit yang
terkena. Dermatitis seboroik sering terjadi di area kulit berambut
dan daerah kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea (kelenjar
minyak, lemak) seperti kulit kepala, wajah, tubuh bagian atas dan
area lipatan tubuh (ketiak,selangkangan). Dandruff atau ketombe
(deskuamasi yang dapat dilihat dari permukaan kulit kepala)
merupakan prekursor dari dermatitis seboroik dan dapat secara
perlahan berkembang menjadi kemerahan, menyebabkan iritasi dan
membentuk persisikan.1,2Berdasarkan demografi usia pasien, terdapat
dua jenis dermatitis seboroik, yakni dermatitis seboroik dewasa dan
dermatitis seboroik infantil, Dermatitis seboroik dewasa lebih
sering menyerang laki-laki, terutama yang memiliki kulit kepala
mudah berketombe. Area yang lebih sering terkena adalah bagian
tengah wajah, kulit kepala, telinga dan bulu mata. Namun dapat juga
muncul pada daerah aksila, lipatan paha atau disekitar payudara.
Sementara itu, dermatitis seboroik infantil, sering menyerang bayi
berusia kurang dari enam bulan dengan gambaran klinis erupsi yang
kemerahan dan berbatas tegas pada daerah muka, dada, leher,
ekstremitas, terutama bagian fleksor, disertai dengan persisikan
pada kulit kepala. Namun, hingga saat ini tidak ada asosiasi yang
menunjukkan bahwa bayi dengan dermatitis seboroik infantil akan
berkembang menjadi dermatitis seboroik dewasa saat pasien beranjak
dewasa.3,4Walaupun hingga kini patogenesis dari dermatitis seboroik
belum begitu dimengerti, beberapa teori mengacu pada kolonisasi
oleh spesies jamur dari genus Malassezia (contohnya Pityrosporum).
Berbagai variasi pengobatan dapat ditemukan, termasuk eradikasi
dari fungi, mengurangi dan mengobati inflamasi, serta menurunkan
produksi sebum.2,4
II. EPIDEMIOLOGIHingga saat ini, perkiraan dari prevalensi
dermatitis seboroik masih terbatas dikarenakan oleh tidak adanya
kriteria diagnostik yang valid serta skala atau skor untuk
melakukan grading dari keparahan derajat dermatitis seboroik.
Namun, penyakit ini merupakan salah satu penyakit kulit yang paling
umum ditemukan, dan menyerang kurang lebih 11.6% populasi secara
umum dan 70% bayi pada tiga bulan pertama kehidupan. Pada orang
dewasa, insidens tertinggi adalah pada dekade ketiga hingga keempat
kehidupan. Tampak pula adanya predileksi etnis, dimana hanya
sedikit kasus yang ditemukan pada ras afrika amerika. Di amerika
serikat, dermatitis seboroik menyerang 3-5% dewasa muda, meskipun
lebih sering dalam bentuk dandruff atau ketombe.1,2Dermatitis
seboroik juga lebih sering tampak pada pasien dengan Parkinson,atau
yang mengkonsumsi haloperidol atau chlorpromazine. Dermatitis
seboroik juga merupakan salah satu penyakit yang paling sering
menyerang pasien imunodefisiensi, khususnya pasien dengan human
immunodeficiency Virus (HIV). Dari 155 pasien yang berada pada
stadium dua infeksi, 36% memiliki dermatitis seboroik.1,2
III. ETIOLOGIEtiologi dari dermatitis seboroik cenderung
tergantung dari tiga faktor, yakni sekresi kelenjar sebasea,
metabolisme mikroflora dan kerentanan dari masing-masing individu.
Beberapa faktor dianggap telah berkontribusi dengan perkembangan
dari dermatitis seboroik. Meskipun banyak teori telah dikemukakan
mengenai penyebab dari dermatitis seboroik, penyebab langsungnya
masih tidak diketahui secara pasti. 4 ,5
Faktor Resiko Dermatitis Seboroik
Faktor ResikoGambaran
1. Hormon dan lemak Dermatitis seboroik sering terjadi di area
kulit berambut dan daerah kulit yang banyak mengandung kelenjar
sebasea (kelenjar minyak, lemak) seperti kulit kepala, wajah, tubuh
bagian atas dan area lipatan tubuh (ketiak,selangkangan)
Paling sering terjadi pada remaja dan anak muda (ketika kelenjar
sebasea lebih aktif) dan pada umur lebih dari 50 tahun
2. Kondisi komorbiditas Penyakit parkinson Kelumpuhan trunkal
Gangguan suasana hati Down syndrome HIV/AIDS Kanker Kelumpuhan
nervus kranialis
3. Faktor imunologik Kurangnya sel T helper Titer antibodi yang
rendah
4. Gaya hidup Kurang gizi Kurang menjaga kebersihan
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya dermatitis seboroik (dikutip
dari kepustakaan 5)
1. Mikroflora KulitUnna dan Saboroud yang pertama kali
mendeskripsikan penyakit ini, mengungkapkan bahwa adanya
keterlibatan mikroba dalam etiologi dari dermatitis seboroik.
Hipotesis ini masih belum didukung, meskipun bakteri dan jamur
dapat diisolasi dari lesi kulit. Malassezia furfur yang bersifat
lipofilik juga secara umum dapat diisolasi dari lesi dermatitis
seboroik, baik jenis infantil atau dewasa. Hal ini ditunjang oleh
pembesaran kelenjar sebasea pada periode neonatus hingga usia
pubertas. Namun belum ada hubungan yang signifikan dari jumlah
jamur yang diperoleh dengan derajat keparahan dari dermatitis
seboroik.4,6 Pada bayi, Candida albicans Dapat ditemukan pada lesi
kulit. Bakteri aerobik seperti Staphylococcus aureus juga ditemukan
pada 20% pasien dengan dermatitis seboroik, sedangkan
Propionibacterium acnes sangat sedikit ditemukan pada pasien
dermatitis seboroik.42. Sekresi Kelenjar SebaseaDermatitis seboroik
bukan merupakan penyakit dari kelenjar sebasea namun dermatitis
seboroik umumnya terjadi pada daerah kulit yang mengandung banyak
kelenjar sebasea aktif dan sering diasosiasikan dengan produksi
berlebih dari sebum. Namun, pasien dengan dermatitis seboroik dapat
juga memiliki produksi sebum yang normal atau sebaliknya, banyak
orang dengan produksi sebum yang berlebih tidak menderita
dermatitis seboroik.4,63. Kerentanan Tiap IndividuPerkembangan dari
dermatitis seboroik diamati pada pasien dengan imunodefisiensi,
misalnya pada pasien HIV AIDS. Sehingga hal ini diasosiasikan
dengan pertumbuhan Malassezia yang mungkin tidak terkontrol pada
pasien-pasien ini.2,4,6
IV. PATOGENESISSeperti yang telah dikemukakan diatas, penyebab
dari dermatitis seboroik belum diketahui secara pasti. Faktor
predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik
(seborrhoeic state) yang rupanya diturunkan, namun caranya masih
belum dapat dipastikan. Banyak percobaan telah dilakukan untuk
menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh bakteri atau
Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit manusia.
Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi
inflamasi baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam
epidermis, maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel
limfosit T dan sel langerhans. Status seboroik sering berasosiasi
dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi
tidak terbukti bahwa mikroorganisme inilah yang menyebabkan
dermatitis seboroik.2,7Malassezia furfur yang bersifat lipofilik
juga secara umum dapat diisolasi dari lesi dermatitis seboroik,
baik jenis infantil atau dewasa. Hal ini ditunjang oleh pembesaran
kelenjar sebasea pada periode neonatus hingga usia pubertas. Namun
belum ada hubungan yang signifikan dari jumlah jamur yang diperoleh
dengan derajat keparahan dari dermatitis seboroik. Sebab, kulit
yang tidak terinfeksi juga dapat membawa banyak organisme yang sama
dengan yang ditemukan pada dermatitis seboroik. Bahkan pada
permukaan kepala, yeast yang ditemukan pada pasien hanya dua kali
lebih banyak dari orang normal. Namun, tidak diragukan bahwa jumlah
jamur berkurang secara signifikan pada pemberian antimikotik kepada
pasien dermatitis seboroik. Hanya saja mekanismenya hingga kini
masih belum jelas.2,6Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan
keaktifan glandula sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi yang
baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat
stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik
pada bayi terjadi pada bulan-bulan awal, kemudian jarang pada usia
sebelum akil balik dan insidensnya mencapai puncak pada umur 18-40
tahun. Kadang pada usia tua, lebih sering terjadi pada pria
dibanding wanita.4,7Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya
merupakan faktor timbulnya dermatitis seboroik, tetapi tidak ada
hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar
tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis
seboroik. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi
epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis, hal ini dapat
menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya.
Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya
dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress,
emosional, infeksi atau defisiensi imun.4,7Beberapa teori telah
dikemukakan bahwa komposisi dari kadar lemak pada permukaan kulit
merupakan faktor yang relevan. Pada pasien dengan dermatitis
seboroik, trigliserida dan kolestrol meningkat namun asam lemak
bebas secara signifikan menurun dibandingkan dengan orang normal.
Asam lemak bebas sendiri diketahui memiliki efek antimikrobial,
asam lemak bebas pada permukaan kulit diproduksi oleh flora normal
kulit yakni Propionibacterium acnes yang diketahui menurun secara
drastic pada lesi dermatitis seboroik. Inflamasi yang terlihat pada
dermatitis seboroik juga diduga bersifat iritan, non-immunogenik,
yang secara alamiah dihasilkan oleh metabolism toksik, enzim
lipase, dan oksigen reaktif dari Malassezia furfur.6
V. DIAGNOSISA. Gambaran KlinisDermatitis seboroik umumnya
memilki predileksi di daerah kulit kepala, alis, bulu mata, bibir,
telinga, daerah sternal, lipatan payudara, umbilicus, selangkangan
dan lipatan paha, Gambaran klinis yang khas adalah skuama dengan
dasar yang eritematosa. Skuama biasanya berwarna kekuningan,
lengket dan berminyak, dan disertai dengan rasa gatal yang berat.
Dandruff atau ketombe (Pityriasis sicca) merupakan jenis ringan
dari dermatitis seboroik.4,8Pada area kulit kepala, lesi biasanya
berwarna kuning kemerahan. Pada kasus yang berat, hampir seluruh
daerah kepala dipenuhi oleh krusta berwarna kekuningan yang
berminyak dan berbau tidak sedap. Sedangkan pada bayi atau infant,
skuama berwarna kuning atau coklat tampak pada seluruh permukaan
kepala dengan akumulasi aderent epitel debris yang disebut cradle
cap.7,8
Gambar 1cGambar 1bGambar 1 a
Gambar 1a. Dermatitis seboroik infantil. 1b. Dermatitis seboroik
pada belakang telinga. 1c. Dermatitis seboroik pada wajah (Dikutip
dari kepustakaan 1)
Pada daerah telinga, dermatitis seboroik sulit dibedakan dengan
otitis eksterna. Tampak adanya skuama di daerah kanalis
aurikularis, rasa gatal, kemerahan, fissura dan pembengkakan.
Sedangkan pada aksila, erupsi akan mulai pada bagian apeks secara
bilateral lalu menyebar ke kulit sekitarnya. Gambarannya akan
tampak mirip dengan dermatitis iritan karena penggunaan deodorant.
Selain itu lesi beragam mulai dari eritema yang bersisik hingga
bercak petaloid dengan gambaran fissura. Sedangkan untuk lesi pada
daerah selangkangan dan lipatan paha, lesi akan tampak mirip dengan
tinea cruris atau candidiasis.8Pada pemeriksaan fisis kulit, dapat
dibedakan gambaran klinis dari lesi primer dan sekunder dermatitis
seboroik. Pada lesi primer akan tampak sebagai berikut:91. Bercak
merah kekuningan, dengan batas yang tegas2.Lesi yang awalnya
berbentuk papul folikular merah kecoklatan yang berkmbang menjadi
plak (jarang)3.Bercak eritem yang akan berkembang menjadi
skuamaSedangkan untuk lesi sekunder, biasanya persisikan lebih
longgar, berwarna kekuningan dan tampak berminyak.9B. Pemeriksaan
PenunjangLesi pada dermatitis seboroik memiliki gambaran yang
beragam dan sering menyerupai penyakit kulit lain seperti
dermatitis atopi, pityriasis rosea, psoriasis vulgaris, lichen
simplex, tinea dan pityriasis versicolor. Oleh sebab itu, maka
dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan
kecurigaan lain. Diantaranya adalah:4,91. Pemeriksaan dengan lampu
Woods, dimana dermatitis seboroik memiliki hasil negatif.2.
Pemeriksaan KOH. Dermatitis seboroik akan memberikan hasil
negatif3. Biopsi kulit. Dermatitis seboroik dapat menstimulasi
beberapa dermatitis. Sehingga biopsi dapat menunjukkan gambaran
yang menyerupai beberapa jenis dermatitis lain, sehingga biopsi
bukan merupakan prosedur yang definitif.
Gambar 2. Hasil pemeriksaan histopatologik pada dermatitis
seboroik (dikutip dari kepustakaan 10)
Pada gambaran histologik terdapat spongiosis yang mungkin akut,
subakut atau kronis tergantung pada lesi yang dibiopsi. Pada lesi
yang kronik menunjukkan psoriasiform progresif hiperplasia pada
epidermis dengan spongiosis yang sedikit. 10VI. DIAGNOSIS BANDING1.
PsoriasisPada psoriasis, persisikan pada daerah skalp cukup sering,
dimana lesi pada wajah juga cenderung mirip dengan dermatitis
seboroik. Namun, plak cenderung lebih tebal dengan sisik yang
berwarna putih perak, lebih tebal dan tidak terlalu gatal. Biasanya
psoriasis menyerang daerah kuku, ekstensor, palmar, dan permukaan
plantar. Fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner juga akan
ditemukan.11
Gambar 3. Psoriasis Vulgaris (dikutip dari kepustakaan 12)
2. Dermatitis Atopi Pada bayi, lesi lebih sering ditemukan pada
daerah wajah dan skuama pada daerah kepala juga umum ditemukan.
Pada dermatitis atopi akan ada riwayat atopi pada pasien dan
keluarga.11
Gambar 4. Dermatitis atopi (dikutip dari kepustakaan 12)3. Tinea
KapitisInfeksi, terutama yang dihubungkan dengan Trychophyton
tonsurans dapat memperlihatkan gambaran bersisik pada kulit kepala.
Biasanya tinea kapitis ditemukan pada anak-anak di Negara
berkembang, dan menular melalui kontak dengan penderita. Penegakan
diagnosis dilakukan lewat pemeriksaan mikroskopik.11
Gambar 5. Tinea kapitis (dikutip dari kepustakaan 12)
4. Dermatitis Kontak
Gambar 6. Dermatitis kontak iritan (dikutip dari kepustakaan
12)Eritema dan persisikan dapat tampak dan dapat menjadi komplikasi
dari dermatitis seboroik dikarenakan reaksi dari agen topikal yang
digunakan dalam pengobatan (terutama di bagian lubang telinga dan
daerah intertrigenosa).11
VII. PENGOBATANKebersihan merupakan salah satu metode yang
sederhana namun efektif dalam mengobati dermatitis seboroik.
Membersihkan diri dan menggunakan sampo secara rutin dapat
mengontrol dermatitis seboroik yang ringan.9Agen topikal umumnya
digunakan pada hampir sebagian besar kasus dermatitis
seboroik.11
1. Agen antifungal topikal Agen antifungal topikal merupakan
agen terdepan dari terapi dermatitis seboroik. Studi yang dilakukan
mencatat kegunaan dari ketokonazol, bifonazol, dan
ciclopiroxolamine yang dapat ditemukan dalam bentuk krim, gel,
sabun dan sampo. Ketokonazol, bifonazol dan ciclopiroxolamine
merupakan anti jamur topikal spektrum luas. Digunakan dua sampai
tiga kali perminggu. 11,13Pada studi kepada 1162 orang dengan
dermatitis seboroik, pada 56% pasien, dalam 4 minggu tampak proses
penyembuhan dermatitis seboroik berlangsung cukup cepat. Pada salah
satu studi juga, 312 pasien dengan lesi pada kulit kepala diberikan
sampo ketokonazol 2%. Hasilnya mampu menunjukkan turunnya angka
kejadian relaps pada 69% pasien.11
2. Kortikosteroid topikalSteroid secara dramatis mampu membantu
pengobatan dari dermatitis seboroik. Kortikosteroid mampu memberkan
terapi yang murah, efektif dan aman jika diresepkan secara
hati-hati. Seboroik pada wajah harus diterapi dengan kortikosteroid
potensi rendah, sebab dapat menyebabkan iritasi, atrofi dan
telangektasis.9Untuk penyakit yang resisten, presipitat sulfur 0.5%
hingga 1% dapat diberikan pada steroid untuk meningkatkan
efektifitasnya. Ketokonazol 1 hingga 2.5% yang dicampur juga sangat
efektif dan lebih diterima secara komestik.9Bisa dibilang
kortikosteroid sangat berguna pada jangka pendek sebab mampu
mengontrol eritema dan rasa gatal. 11
3. Preparat selenium sulfidaBiasanya pada terapi untuk kasus
ini, selenium sulfide dapat dibuat dalam bentuk sampo sebab lebih
tersedia dan efektif. Dengan preparat ini, diharapkan dapat
mengembalikan pertumbuhan dari Ptyrosporum ovale. Rasa gatal dan
sensasi terbakar biasa ditemukan pada sampo selenium sulfida
dibandingkan dengan yang berisi ketokonazol.11
4. Lithium topikalLithium topikal cukup efektif untuk diberikan
kepada pasien dengan lesi diluar kulit kepala. Mekanisme kerjanya
sendiri masih belum diketahui. Pada sebuah studi dengan menggunakan
placebo, terdapat penurunan signifikan dari eritema, persisikan,
dan luas lesi pada pasien yang menggunakan litium topikal.11
5. KeratolitikLarutan keratolitik murni dapat menghilangkan
sisik pada dermatitis seboroik. Contoh larutan keratolitik yaitu
seperti salep whitfield (3% asam salisilat dan 6% asam benzoate).
Penyakit ini memiliki sisik yang lebih longgar sehingga sangat
merespon dengan pengobatan keratolitik.9
6. FototerapiFototerapi dengan ultraviolet B terkadang
dipertimbangkan menjadi pilihan untuk dermatitis seboroik yang
ekstensif, namun belum diuji secara acak. Rasa terbakar dan gatal
dapat timbul, serta memiliki efek karsinogenik.4,11
Pengobatan Sistemik Pengobatan sistemik hanya diberikan pada
penyakit yang luas dan refrakter setelah semua jenis terapi tidak
berhasil. Agen antifungal azole dapat digunakan dengan dosis yang
kecil. Misalnya fluconazol 200mg/hari, dosis yang disarankan
100-400 mg/hari. Flukonazol merupakan suatu fluorinated bis-triazol
dengan khasiat farmakologis baru. Obat ini diserap sempurna melalui
saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman
lambung. Itrakonazol berfungsi hampir sama dengan ketokonazol
tetapi pada itrakonazol aktivitas anti jamurnya lebih lebar
sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan
ketokonazole. Dosis 200 mg/2 kali sehari untuk 1 minggu.9,13
VIII. KOMPLIKASIPada beberapa kondisi yang ekstrim dapat terjadi
eritroderma eksfoliatif yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan
elektrolit dan hipotermia. Sedangkan, pada bayi dapat terjai
eritroderma desquamativum (Leiner disease) yang memberikan gambar
pengelupasan kulit yang universal, anak tampak sakit berat, anemia,
diare, dan muntah. Umumnya bayi rentan terhadap infeksi
sekunder.4
IX. PROGNOSISPada dermatitis seboroik infantil, biasanya
penyakit berlangsung dari minggu ke bulan. Eksaserbasi atau Leiner
disease jarang namun dapat terjadi. Prognosis cukup baik, dimana
tidak ada bukti bahwa bayi yang terkena dermatitis seboroik dapat
terkena lagi saat beranjak dewasa.4Sedangkan pada dermatitis
seboroik dewasa, penyakit akan bertahan hingga hitungan dekade
dengan periode perbaikan pada cuaca yang hangat dan periode
eksarsebasi pada cuaca dingin. Paparan terhadap sinar matahari
dapat memperluas penyebaran lesi. Sebagian kasus yang mempunyai
faktor konstitusi penyakit ini agak seukar diesmbuhkan, meskipun
terkontrol.4,7
DAFTAR PUSTAKA
1. Holden CA, Berth-Jones J: Eczema, lichenefication, prurigo,
and erythroderma. In: Burns T, Breafitnach T, et al Editors. Rooks
Textbook of Dermatology 7th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing
Inc. 2004;p. 17.10-4.2. Berk T, Scheinfeld N. Dermatitis
Seborrheic. Jefferson Medical College, Thomas Jefferson University,
USA. 2010;p.348-351.3. Buxton PK. ABC Of dermatology 4th edition,
BMJ, London, 2003;p.29-304. Plewig G, Jansen T. Seborrheic
dermatitis. In: Wollf K, et all Editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine 7th edition. McGraw-Hill, USA, 2008;p.219-2255.
Elewski EB. Safe and Effective Treatment of Seborrheic Dermatitis.
Cutis, Birmingham, 2009;p.333-3376. Fritsch PO, Reider N.
Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JM, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology 2nd ed, Mosby Elsevier, USA, 2008.7. Djuanda
A. Dermatosis eritroskuamousa. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,
Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5, FKUI, Jakarta,
2007;p.189-195,200-28. James WD. Seborrheic dermatitis. In: James
WD. Andrews Disease of the Skin: Clinical Dermatology 10th ed.
Saunders Elseviers, Pennysylvania, 2006:p.191-29. Trozak DJ,
Tennenhouse DJ, Russell JJ. Seborrheic dermatitis. Dermatology
Skills for Primary Care. Humana Press, New Jersey, 2006,p.67-7510.
Eczema Pathology. Derm Net NZ: [Online]. 2013 [cited 31 January
2014]. Available from:
http://www.dermnetnz.org/pathology/eczema-path.html 11. Naldi L,
Debora A. Seborrheic Dermatitis. N Engl J Med, 2009;p.387-9612.
Fitzpatrick TB, Wolff K, Johnson RA: Fitzpatricks Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed, McGraw-Hill, New York,
2009;p.175,188,225,185013. Gunawan SG, Setiabudy R, Elysabeth. Obat
Jamur, Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta. Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009; Hal: 571-8414.
T.Lakshmipathy Deepika, Krishnan Kannabiran. Review On
Dermatomycosis Pathogenesis And Treatment, 2010; Vol.2, No.7,
726-731
15