ASTHMA BRONKHIAL2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran
nafas yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi
kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran
pernafasan yang menyebabkan episode wheezing, apneu, sesak nafas
dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode
ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang
bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan
terapi(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik
yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen
saluran napas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak
menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang(4).
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma
adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam /
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta
terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya(5).
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko(1,6)Secara umum faktor risiko
asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID,
beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray
dll)(f) Ekspresi emosi berlebih(g) Asap rokok dari perokok aktif
dan pasif(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan(i) Exercise
induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu(j) Perubahan cuacaExercised induced asthma
merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan dengan exercised
tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa
literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm (EIB).
Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma
dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator
dan metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada
atlit, tidak ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat
menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan
tercapainya 90-95% predictable maximum heart rate.(7)Pada saat
dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya
kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas
berusaha lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk
kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana
terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini
menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa histamin,
leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB
atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun
peningkatan eosinofil, neutrofil, atau sel epitel kolumnar sehingga
tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya asma: (1,6) Pemicu: Alergen dalam ruangan
seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing,
tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian 2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu
binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal
aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi
udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga,
menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis,
sinusitis, dan gastroesofageal refluks).Secara skematis mekanisme
terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta
penyakit yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC
manusia yang terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah
dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih merupakan kandidat
gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu
reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks antigen
leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31(1). 2.3 EpidemiologiBerdasarkan laporan
National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan
lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar
250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS
(2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi(2).Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan
peningkatan angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan
dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat pada tahun1998,
terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta
anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan.
Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab
tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000
kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1
juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun
dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998(6). 2.4.
PatogenesisAsma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang
reversibel dan ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada
individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki
dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering
muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang
asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar
kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika
dan dermatitis atopik(8).Langkah pertama terbentuknya respon imun
adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh
sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major
Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen
Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel
dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di
dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut
bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh
GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel,
fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen
ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin
lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif(8).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang
sensitif terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan
makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap
timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada
asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi
pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada
saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly
generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi
oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya
dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2,
IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin
lama semakin kuat(8).Pada remodeling saluran respiratori, terjadi
serangkaian proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung
dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel.
Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang
berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan
Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih
faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors
(TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi
miofibroblas diyakini merupakan proses yang Ppenting dalam
remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan
proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks
molekul termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran
respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma.
Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya
penyakit(8).
Gambar 1. Patogenesis Asma
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta
sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma,
terutama yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran
respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding
saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada
patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik,
terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi
kortikosteroid(8).Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi
merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh
inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus(1).
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat
epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi(1).
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti
eusinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni
juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien,
tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein
sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus(1).
2.5 Patofisiologi Asma2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi
otot polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang
dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan
asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat
yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada
keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan
lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(9).Secara garis
besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan
saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan
saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan
hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang
kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance
pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot
diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan
bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha
bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan
dan gagal nafas(9).
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik2.5.2 Hiperaktivitas
saluran respiratoriMekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan
bronkus yang menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini
tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot
polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan,
inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi
otot polos tersebut(9).Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif
atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin dan metakolin
dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan penurunan Forced
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma,
dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis
alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin,
tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas
(tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan
merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat
disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya(9).2.5.3 Otot polos
saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot
bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus
kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada
matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada
pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan
otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat
menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara
kronik(9).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui
melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot
polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama
tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase
terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap
atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder
terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya
edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil
elastis(9).Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast,
seperti triptase dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat
meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi, sama seperti
mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi
ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun
sekunder terhadap geometri saluran nafas(9).2.5.4 Hipersekresi
mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali
ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling
saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang
luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas
yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami
perbaikan dengan bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada
viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak
hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga
penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari
sel inflamasi yang mengalami lisis(9).Hipersekresi mukus
merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu mekanisme terhadap
sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan mekanisme
patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel
Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan
terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas
jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang lebih penting
adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9). 2.6.
DiagnosisKelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang
menunjukkan batruk dan/atau mengi yang timbul secara episodik,
cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran
1)(5,10).Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak
kecil, dan bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun,
diagnosis asma menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah
sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus
dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering
dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang
diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma
anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)1. Variabilitas pada PFR
atau FEV 1 lebih dari 20%2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.3. Penurunan 20% pada PFR atau
FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila
didapatkan gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan
progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas dari ringan
sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada
derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak
terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak
terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit
mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan
sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat
mengucapkan kata-kata(11). 2.6.2 Pemeriksaan fisikGejala dan
serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak
dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium.
Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan
berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi,
retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan
dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(11).Dasar penyakit ini
adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik
saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem
dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme
patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada
auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat
serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori
yang lebih menonjol(11).2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan
adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi
antero-posterior. Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2
dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang
diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai
80%Nilai terbaik)
40-60%
60-80%60 mmHg< 60 mmHg
PaCO2 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan
aritmia(12). 2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih
baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis
: untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10
tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi
asma jangka panjang pada anak(12).3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12)
:
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai
perbaikan yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat
sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam
untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu
12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone,
prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari
diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari(12).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai
bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi
sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat
peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru
dan menurunkan permeabilitas vascular.(14) Metilprednisolon
merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru
lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis
Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis dexamethasone bolus
IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam(12).Obat
obat Pengontrol(3,13)Obat obat asma pengontrol pada anak anak
termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien
modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin, cromones, dan
long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang
paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua
umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide
berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi
penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan
hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang
diinduksi latihan.Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan
lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan
mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor 2
agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire
anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.2. Leukotriene
Receptor Antagonist (LTRA)Secara hipotesis obat ini dikombinasikan
dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya,
belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan
steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai
berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan
cystenil leukotriane; Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan
terhadap bronkokonstriktor; Mencegah early asma reaction dan late
asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan
sekali per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi
hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ
pro-inflamator.Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis
per oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5
tahun adalah 4 mg qhs. (gina) b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia
> 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.Leukotrin memberikan
manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma
dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat
dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.3. Long acting 2 Agonist
(LABA)Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan
formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik
dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan
steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan
formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort
dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.4. Teofilin lepas
lambatTeofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi
dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih
rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek
samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih
dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis
inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai
10mg/kgBB/hari.2.7.2 Terapi Suportif(12)a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi
oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal >
95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama
dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara
bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan
mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki
oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah
aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah
mencapai alveoli.c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss,
takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus
hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan
dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan
adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
4.7.2. Cara Pemberian Obat(10)UMURALAT INHALASI
< 2 tahunNebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahunNebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang
(spacer)
5-8 tahunNebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahunNebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat
dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan
tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi
dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih
baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya
bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu
yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau
botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang
telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.4.7.3. Prevensi dan
Intervensi Dini(13) Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak
dari asap rokok, tidak memelihara hewan berbulu, memperbaiki
ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang
sensitif terhadap debu rumah dan tungau. Pemberian ASI ekslusif
minimal 4 bulan Menghindari makanan berpotensi alergenDAFTAR
PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen
Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta
K, dkk. Global Initiative For Asthma. Medical Communications
Resources, Inc ; 2006.
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma
Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.6. Nelson Textbook of
Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig,
Lus Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work
Group Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and
Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and
Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma
Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting.
Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI ; 2008. h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :
Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi
pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem
MS, Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ;
2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ;
2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin,
Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam:
Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500. Hiperaktivitas bronkus
obstruksi
Gejala Asma
Pencetus (trigger)
Pemacu (enhancer)
Pemicu (inducer)
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan
Sensitisasi
inflamasi
Gejala
Faktor Risiko
Hiperaktivitas Bronkus
Obstruksi Bronkus
Faktor Risiko
Faktor Risiko
Inflamasi
5