BAB IPENDAHULUAN
Sudah sejak pertengahan abad ke-19, banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa kematian sel memainkan peran yang cukup besar
selama proses fisiologis organisme multiseluler, terutama selama
embriogenesis dan metamorfosis. Kematian sel terprogram
diperkenalkan pada tahun 1964, menunjukkan bahwa kematian sel
selama perkembangan tidak bersifat tiba-tiba tapi terkontrol dan
terprogram secara lokal dan temporal yang didefinisikan sebagai
penghancuran diri. (Kumar et al, 2005)Akhirnya, istilah apoptosis
telah diciptakan untuk menjelaskan proses morfologis yang mengarah
ke penghancuran selular dan pertama kali diperkenalkan dalam suatu
publikasi oleh Kerr, Wyllie dan Currie. Apoptosis berasal dari
bahasa Yunani, memiliki arti "jatuh. Analogi ini menekankan bahwa
kematian merupakan bagian integral dan penting dari siklus hidup
organisme. Apoptosis adalah proses yang aktif dan jelas yang
memainkan peran penting dalam perkembangan organisme multiseluler
dalam pengaturan dan pemeliharaan populasi sel dalam jaringan pada
kondisi fisiologis dan patologis. (Leist et al, 2001) Ada 2
mekanisme kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Dikatakan
nekrosis bila perubahan morfologi sel yang diikuti dengan kematian
sel yang terjadi pada jaringan yang hidup, umumnya disebabkan oleh
aksi degradasi enzim pada kerusakan sel yang letal. Umumnya,
nekrosis secara histologi terjadi akibat kerusakan lingkungan
eksternal yang ireversibel. Karakter sel yang mengalami kerusakan
ini ditandai dengan sel dan organelanya seperti mitokondria
membengkak (oleh karena rusaknya kemampuan membrane plasma untuk
mengatur pengeluaran ion dan cairan), cairan sel keluar, dan
inflamasi disekitar jaringan. (Munoz et al, 2006)Apoptosis
merupakan jalur kematian sel yang dipacu oleh mekanisme pengaturan
intraseluler dimana sel yang akan mati mengaktifkan enzim yang akan
mendegradasi DNA nukleus sel dan protein sitoplasma. Sel yang18
mengalami apoptosis, morfologinya berupa sitoplasma mengkerut,
membrane berbentuk gelembung, kondensasi kromatin (DNA dan protein)
dan fragmentasi pada membran yang mengelembung. Apoptosis pada
kondisi fisiologis berfungsi untuk mengatur jumlah sel, proliferasi
dan menghilangkan sel yang sudah tidak berguna lagi sebagai suatu
perkembangan normal dari sel. (Kumar et al, 2005)Apoptosis juga
terjadi pada kondisi patologi, dimana apoptosis bertanggung jawab
pada kematian sel seperti stimulasi kerusakan eksternal pada
radiasi, obat sitotoksik anti-kanker, infeksi virus, atrofi
patologi pada parenkim organ setelah adanya obstruksi saluran,
semisal pada pankreas dan ginjal, juga kematian sel pada tumor.
Disregulasi proses kematian sel ini mempunyai peranan pada
patogenesis dari penyakit. Penilaian jumlah sel yang mengalamai
kematian karena apoptosis dinyatakan dalam indeks apoptosis
(Mendelshon et al, 1995)Kanker serviks adalah kanker yang paling
sering ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan sekaligus
merupakan penyebab kematian pada perempuan di dunia pada umumnya.
Di Indonesia kanker serviks ini menduduki peringkat pertama
diantara jenis kanker lainnya. Studi epidemiologi mencurigai bahwa
kanker serviks disebabkan oleh agen saat melakukan hubungan
seksual. Saat ini patogenesis terjadinya kanker serviks tersebut
difokuskan pada keberadaan HPV. Protein E6 dari HPV-16 and 18 akan
mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang
disebut ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga
akan terjadi penurunan kadar protein p53 (wild type). Protein E7
(onco protein) akan mengikat gen pRb, sehingga akan berakibat sama
seperti pada protein p53. Ikatan E6 dengan pRb tersebut menyebabkan
tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb,
sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk
terjadinya replikasi DNA dan menstimuli siklus sel (Mendelshon et
al, 1995; Pusztai et al, 1996; Dellas et al, 1997; Cotrans et al,
1999; Badan Registrasi Kanker, 1998).
BAB IIAPOPTOSIS
2.1 DefinisiApoptosis adalah suatu proses kematian sel yang
terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan
adanya kondensasi chromatin, fragmentasi sel dan pagositosis sel
tersebut oleh sel tetangganya. Apoptosis adalah kematian sel
terprogram yang merupakan proses penting dalam pengaturan
homeostasis normal, proses ini menghasilkan keseimbangan dalam
jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan
proliferasi fisiologis dan dengan demikian memelihara agar fungsi
jaringan normal. Deregulasi apoptosis mengakibatkan keadaan
patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol seperti
dijumpai pada kanker. Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol
apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus
sel, diantaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan
regulasi dan proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan
maupun inaktivasi tumor suppressor genes ada hubungannya dengan
proses apoptosis. Beberapa jenis virus onkologik melaksanakan
proses transformasi sel dengan cara mengganggu fungsi apoptosis
dalam sel., misalnya SV40, herpes dan adenovirus, polioma maupun
virus Epstein Barr (EBV). (Cotran et al, 1999; Damico et al ,
1994)Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu
bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host
yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang
terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen. Adapun
terjadinya penyebab diatas sebagai berikut: A. Selama proses
perkembangan B. Sebagai suatu mekanisme homeostasis untuk
memelihara sel di jaringan. C. Sebagai suatu mekanisme pertahanan
seperti reaksi imun D. Apabila sel-sel dihancurkan oleh penyakit
atau agen-agen yang berbahaya.
E. Proses Penuaan.
2.2 Penyebab Faktor-faktor yang bertanggung jawab dari
serangkaian peristiwa apoptosis adalah: a) Kerusakan sel yang
terprogram selama embriogenesis termasuk implantasi, organogenesis,
involusi perkembangan dan metamorfosis yang tidak selalu
didefinisikan secara fungsional sebagai kematian sel yang
terprogram.b) Proses involusi yang tergantung hormon pada orang
dewasa seperti degradasi sel endometrium selama siklus menstruasi,
atresia folikuler ovarium pada menopause, regresi payudara setelah
tidak menyusui dan atropi prostat setelah katrasi. c) Delesi sel
pada kelompok sel-sel yang berproliferasi seperti epitel kripta
usus (intestinum). d) Kematian sel pada tumor paling sering selama
regresi tapi juga pada tumor dengan pertumbuhan sel yang aktif. e)
Kematian netrofil selama respon inflamasi akut. f) Kematian sel-sel
imun baik limfosit B & T, setelah deflesi sitokin, seiring
dengan delesi dari sel limfosit T autoreaktif pada timus yang
sedang berkembang. g) Kematian sel yang diinduksi oleh sel-sel T
Sitotoksik, seperti pada penolakan imum seluler. h) Atropi
patologis pada organ parenkim setelah obtruksi duktus, seperti yang
terjadi di pancreas, kelenjer parotis & ginjal. i) Lesi sel
pada penyakit virus tertentu, misalnya pada hepatitis virus, dimana
sel-sel yang mengalami apoptosis dihepar yang dikenal sebagai badan
Councilman j) Kematian sel akibat berbagai stimulus yang mampu
menyebabkan nekrosis, kecuali bila diberikan dosis rendah,
contohnya panas, radiasi, obat-obat anti kanker sitotoksik &
hipoksia dapat menyebabkan apoptosis jika kerusakan ringan, tapi
dosis besar dengan stimulus yang sama menyebabkan kematian sel
nekrotik. (Cotran et al , 1999; Chandrasoma et al, 1995)2.3.
MorfologiGambaran morfologi dapat dilihat dengan mikroskop elektron
yang menggambarkan : A. Pengerutan sel Sel berukuran lebih kecil,
sitoplasmanya padat,meskipun organella masih normal tetapi tampak
padat. B. Kondensasi Kromatin (piknotik) Ini gambaran apoptosis
yang paling khas. Kromatin mengalami agregasi diperifer dibawah
selaput dinding inti menjadi massa padat yang terbatas dalam
berbagai bentuk dan ukuran. Intinya sendiri dapat pecah membentuk 2
fragmen atau lebih (karyorhexis) C. Pembentukan tonjolan sitoplasma
dan apoptosis. Sel apoptotic mula-mula menunjukkan blebbing
permukaan yang luas kemudian mengalami fragmentasi menjadi sejumlah
badan apoptosis yang berikatan dengan membran yang disusun oleh
sitoplasma dan organella padat atau tanpa fragmen inti. D.
Fagositosis badan Apoptosis Badan apoptosis ini akan difagotosis
oleh sel-sel sehat disekitarnya, baik sel-sel parenkim maupun
makrofag. Badan apoptosis dapat didegradasi di dalam lisosom dan
sel-sel yang berdekatan bermigrasi atau berproliferasi untuk
menggantikan ruangan sebelumnya diisi oleh sel apoptosis yang
hilang. (Cotran et al, 19999; Kumar at al, 2005)Karakteristik
apoptosis didapatkan sel yang terpencar tidak ada kelompok sel yang
bergabung. Pada nekrosis didapatkan perubahan morfologi lebih awal
adalah tersusun padat dan agregasi kromatin inti, dengan gambaran
yang jelas, masa granular yang seragam menjadi kecil membungkus
inti dan pemadatan sitoplasma. Selanjutnya pemadatan itu disertai
oleh lilitan (kekusutan) gambaran baru inti dan sel ini diikuti
oleh pemecahan inti kedalam fragmen berlainan yang dikelilingi oleh
lapisan pembungkus double dan tunas sel secara keseluruhan
(menghasilkan apoptosis bodies yang dikelilingi membrane),
sedangkan yang lain kekurangan komponen inti. Sebagai tambahan,
tingkatan/luas dari inti dan tunas seluler bervariasi dari tipe
sel, sering secara relative dibatasi pada selsel kecil dengan rasio
inti sitoplasma yang tinggi seperti limfosit. Organel sitoplasma
terbentuk pada apoptosis bodies yang baru tetap terpelihara dengan
baik. (Chandrasoma et al, 1995)Apoptotic bodies yang muncul secara
cepat diserap (ingested) oleh sel di dekatnya dan dihancurkan oleh
sel lisosom. Tidak ada hubungan inflamasi dengan adanya fagosit
khusus dalam jaringan seperti yang terjadi pada nekrosis dan tipe
sel yang beragam dari sel tetangga, termasuk sel epitel yang
berpartisipasi. Pada tumor, sel-sel neoplastis yang viable biasanya
terlibat adalah makrofak sekitarnya. Akan tetapi bentukan apoptotic
bodies pada kultur sel kebanyakan hilang oleh fogositosis dan
bahkan degenerasi. Awal kejadian seluler dalam apoptosis
diselesaikan dengan cepat dengan hanya beberapa menit berlalu
antara proses dan pembentukan suatu kelompok apoptosic bodies. Oleh
karena itu tunas-tunas sel dan garis besar yang kusut jarang
diamati pada potongan jaringan. Kenyataan ini telah melahirkan
pikiran kapan apoptosis dapat ditentukan secara histologi. (Kumar
et al, 2005) 2.4. Fungsi ApoptosisKematian sel melalui apoptosis
merupakan fenomena yang normal, yaitu terjadi eliminasi sel yang
tidak diperlukan lagi. Proses apoptosis secara fisiologis
diperlukan untuk :1. Terminasi selApoptosis dapat terjadi pada sel
yang mengalami kerusakan yang tidak bisa di repair, infeksi virus,
keadaan yang mengakibatkan stress pada sel. Kerusakan DNA akibat
ionisasi radiasi maupun bahan kimia toksik juga dapat mencetuskan
apoptosis melalui aktivasi tumor supresor gen p53. Keputusan untuk
apoptosis dapat berasal dari sel itu sendiri, dari jaringan
disekitarnya ataupun dari sel yang termasuk dalam sistem imun. Pada
keadaan ini fungsi apoptosis adalah untuk mengangkat sel yang
rusak, mencegah sel menjadi lemah oleh karena kurangnya nutrisi dan
mencegah penyebaran infeksi virus.2. Mempertahankan homeostasisPada
organisme dewasa, jumlah sel dalam suatu organ atau jaringan harus
berada dalam keadaan yang relatif konstan. Proses keseimbangan ini
termasuk dalam homeostasis yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk
mempertahankan lingkungan internalnya. Keseimbangan (homeostasis)
ini dapat tercapai bila kecepatan mitosis pada jaringan seimbang
dengan kematian sel. Bila keseimbangan ini terganggu, maka akan
dapat mengakibatkan : Bila kecepatan pembelahan sel lebih tinggi
daripada kecepatan kematian sel terbentuk tumor Bila kecepatan
pembelahan sel lebih rendah dari kecepatan kematian sel jumlah sel
menjadi berkurang3. Perkembangan embrionalKematian sel yang
terprogram merupakan bagian dari perkembangan jaringan. Pada masa
embrio, perkembangan suatu jaringan atau organ didahului oleh
pembelahan sel dan diferensiasi sel secara besar-besaran dan
kemudian diseleksi melalui apoptosis. Contoh: bila terjadi gangguan
proses apoptosis , berupa diferensiasi inkomplit pada pembelahan
jari-jari akan mengakibatkan syndactyly.4. Interaksi
limfositPerkembangan limfosit B dan limfosit T pada tubuh manusia
merupakan suatu proses yang kompleks, yang akan membuang sel-sel
yang berpotensi menjadi rusak. Cytotoksik T sel dapat secara
langsung menginduksi apoptosis pada sel melalui terbukanya suatu
celah pada target ononucl dan pelepasan zat-zat kimia untuk
mengawali proses apoptosis. Celah ini dapat terjadi melalui adanya
sekresi perforin, granul yang berisi granzyme B, serine protease
yang dapat mengaktivasi caspase melalui pemecahan residu
aspartat.5. Involusi hormonal pada usia dewasa.Apoptosis dapat
terjadi misalnya pada pelepasan sel endometrium selama siklus
menstruasi, regresi pada payudara setelah masa menyusui dan atresia
folikel ovarium pada menopause.(DeVita et al, 2005; Mendelshon et
al, 1995)2.5. Proses ApoptosisTerdapat 3 fase dalam apoptosis. Pada
fase pertama, sel melepaskan diri dari jaringan dan sel sekitarnya
akibat hilangnya mikrovili dan kompleks juctional yang disebut
desmosome. DNA dicerna oleh enonuclease spesifik dan dipecah
menjadi fragmen-fragmen yang terbungkus oleh vesikel. Perubahan DNA
yang terjadi meliputi pemisahan pita DNA (karyohexis) dan
kondensasi kromatin inti (pyknosis). Kromatin pyknotik tampak
sebagai topi yang berbetuk bulan sabit di bawah mikroskop cahaya.
Reticulum endoplasma membengkak dan mengeluarkan semua isinya. Sel
menjadi lebih padat dan mengkerut dan mengalami involusi. Pada fase
kedua, sel membentuk pseudopodia (budding) yang memiliki organela
atau fragmen inti dan semuanya terdapat dalam vesikel. Sel yang
tersisa menjadi berbentuk bulat, dan terbungkus oleh membrane yang
halus (disebut sebagai badan apoptotic). Pada fase ketiga, membrane
tersebut menjadi permeable terhadap pewarnaan, misalnya Triphan
blue. Badan apoptotic dan budding kemudian difagositosis oleh
makrofag, epitel, endotel dan sel tumor. Kesemua proses terjadi
sekitar 15 menit dan oleh karena itu tidak dapat terdeteksi pada
irisan jaringan (Arrend et al, 1998).Sebaliknya pada proses onkosis
terjadi pembengkakan sel dan organela dengan proses fragmentasi
inti yang lambat serta dicerna oleh enzim lisosom. Pembengkakakn
terjadi karena defisit produksi ATP (adenosisn trifosfat) yang
memicu gagalnya pompa Na-K dan meningkatkan permeabilitas membrane.
Hal ini akan membuat sel menggembung (seperti balon yang terisi
air) yang kemudian terjadi ruptur membrane. Terjadi infiltrasi
neutrofil dan makrofag pada jaringan disekitarnya yang memicu
terjadinya proses inflamasi. (Savits et al, 1998)2.5.1 Mekanisme
kematian selSetelah stimulus yang adekuat, tahap pertama atau tahap
decision phase dari apoptosis adalah aktivasi kontrol genetik dari
kematian sel. Kemudian diikuti oleh tahap ke dua yakni tahap
eksekusi atau execution phase, dimana bertanggung jawab terhadap
perubahan morfologi sel pada proses apoptosis. Terdapat empat
kelompok stimulus apoptosis. Stimulus kelompok pertama menyebabkan
kerusakan DNA termasuk di dalamnya radiasi pengion dan obat anti
kanker alkilasi. Kelompok yang kedua menginduksi apoptosis melakui
mekanisme reseptor-ligan, termasuk di dalamnya oleh reseptor yang
termediasi oleh hormone glukokortikoid (beraksi pada timus), tumor
necrosis factor-a (TNF-), atau oleh deficit factor pertumbuhan
(growth factor dan interleukin (IL-3). Kelompok ketiga melibatkan
agen biokimia yang merangsang komponen yang mengaktivasi jalur
apoptosis termasuk di dalamnya adalah inhibitor fosfatase dan
kinase (misal, calphostin C, stauroporine). Kelompok keempat adalah
berkaitan dengan agen yang dapat secara langsung merusak membrane
sel, termasuk di dalamnya antara lain agen oksidan (anion
superoksida, hydrogen peroksida). Produksi ROS (reactive oxygen
species) yang berlebih seperti superoksida, hydrogen peroksida, dan
radikal hidroksi, menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak
membran lipid, protein, asam nukleat, dan matrik ekstraseluler
glikoaminoglikan. Stimulus tersebut pada dosis besar dapat menicu
nekrosis. Jejas pada membrane sel dapat merangsang terjadinya
apoptosis dengan mengaktivasi asam spingomyelin yang menghasilkan
second messanger dari membrane lipid yakni ceramid. (Rudin et al,
1997)Sinyak tranduksi yang memicu apoptosis merupakan dampak dari
ikatan death receptor dengan ligannya atau karena kerusakan genome.
Reseptor kematian (death receptor) yang memicu apoptosis antara
lain sistem reseptor Fas dan reseptor TNF. Reseptor Fas pada walnya
dikenal dengan nama CD95 atau APO-1, merupakan death reseptor yang
tersusun dari glikoprotein dan berlokasi di transmembran. Reseptor
ini teraktivasi oleh Fas ligan (Fas-L) yang juga berada di membrane
sel. Molekul intrasel yang disebut FADD (Fasassociated death
domain) juga diproduksi. Reseptor Fas terdapat pada sel epitel,
tumor, jaringan hematopoeitik yang dapat terinduksi oleh sel-sel
lain yang memiliki Fas-L. Jalur Fas memegang peranan penting dalam
sistem imun. Limfosit T sitotoksik mampu mengekspresikan Fas-L yang
mengaktivasi apoptosis dari sel yang memiliki reseptor Fas. (Savits
et al, 1998)Sistem reseptor TNF memediasi berbagai macam jalur
biokimiawi yang berbeda. Ligan apoptosis yang diinduksi oleh TNF
(TRAIL=TNF related apoptosis inducing ligan) telah ditemukan.
Sel-sel kanker sangatpeka terhadap apoptosis yang diinduksi oleh
TRAIL. Jika TRAIL berikatan dengan reseptornya, maka molekul
intrasel yang disebut death domain diproduksi. TNF receptor
associated death domain (TRADD) juga telah teridentifikasi. TNF
dapat mensupresi apoptosis dengan berikatan dengan reseptornya
yakni TNFR2 yang mana mengaktivasi suatu protein yang disebut
Nucleas Factor kappa B (NF-kB) yang diklassifikasikan sebagai
protein inhibitor apoptosis (IAP=inhibitor apoptosis protein) yang
menghambat terjadinya fase eksekusi. NF-kB merupakan protein yang
meregulasi banyak gen pro inflamasi untuk memproduksi berbagai
sitokin dan molekul proinflamasi. Terdapat bukti bahwa peningkatan
NF-kB sangat penting dalam pathogenesis SIRS (systemic inflammatory
response syndrome), MODS dan sindrom distress respirasi akut. (Mc
Lellan et al, 1997)1. Fase keputusan decision (kontrol
genetik)Apoptosis dikendalikan secara genetic oleh 2 macam gen
yakni Bcl2 dan p53. Bcl2 merupakan family gen yang mengatur
apoptosis, dan dapat ditemukan di membrane mitokondria, dan pada
membran reticulum endoplasma gen ini juga berperan untuk mengatur
kanal kalsium. Saat ini juga telah ditemukan gen yang satu family
dengan Bcl2 yang juga mampu mengaktivasi atau menghambat apoptosis.
Protein seperti Bcl2 dan bcl xl dapat mencegah apoptosis, sedangkan
Bcl2 ini sendiri berhubungan dengan protein x (bax) seperti bax,
bad dan Bcl xl yang dapat memicu terjadinya apoptosis.p53 merupakan
suatu protein inti dengan berat molekul 23 kDa terikat dengan DNA
dan berperan sebagai factor transkripsi serta mengkontrol
proliferasi sel danperbaikan DNA [54]. Mutasi pada gen p53
disinyalir berhubungan dengan 50% kejadiang kanker pada manusia
(misalnya kanker kolon) dan berhubungan dengan resistensi terhadap
suatu terapi. Gen c-myc merupakan suati gen proto-oncogen yang
mengkode sequence-specific DNA-binding protein suatu protein yang
berperan sebagai factor transkripsi dan memicu apoptosis dengan p53
yang normal. Pada banyak tumor terdapat peningkatan kadar c-myc.
Mutasi gen neuronal apoptosis inhibitory protein (NAIP) terjadi
pada pasien dengan atropi otot spinal. NAIP dapat melindungi
berbagai sel dari apoptosis yang diakibatkan oleh TNF-a, radikal
bebas dan defisiensi factor pertumbuhan (Rudin et al, 1998)2. Tahap
EksekusiPeristiwa penting dalam apoptosis adalah proteolisis dan
inaktivasi mitokondrial. Kerusakan sel merupakan dampak dari
aktivasi family sitein protease yang disebut caspase (CASP).
Kaspase merupakan proenzim yang telah berhasil diisolasi dari tubuh
nomatoda sampai tubuh manusia. Saat ini telah ditemukan 10 jenis
caspase (casp 1-10). Studi terdahulu mengenai apoptosis berfokus
pada nematode C. elegan dan gen yang dibutuhkan untuk penentuan
apoptosis yakni gen ced-3. Terdapat 2 subfamili caspase yakni
subfamily ced-3 (diproduksi oleh gen ced-3) dan subfamili ICE
(IL-1b coverting exzyme). Caspase 1 yang berkaitan erat dengan ICE
sering terlibat dalam proses inflamasi. Caspase ced-3 berperan
penting sebagai efektor apoptosis. Caspase 8 atau FADD-like
interleukin converting enzyme (FLICE) merupakan enzim paling
penting dari subfamily ced-3. Aksi dari caspase sangat bervariasi:
beberapa berperan sebagai endonuklease yang memotong DNA, beberapa
memotong protein sitoskeleton, dan yang lainnya mengakibatkan
hilangnya daya adhesi sel. Integritas membrane sel tetap
dipertahankan pada awalnya, meskipun budding dari sel membrane
dapat terjadi setelahnya. Tidak ada sekresi enzim lisosom yang
menyababkan kerusakan sel disekitarnya atau memicu timbulnya respon
imun. Sel yang mengalami apoptosis mampu mengekspresikan sinyal
yang memicu fagositosis. Makrofag dapat mengenali sinyal dari
neutrofil yang mengalami apoptosis melalui kompleks protein yang
melibatkan reseptor thrombospodin (CD36) dan integrin avb3. (Mc
Lellan et al, 1997)
Gambar 1. Jalur apoptosis
2.6. Defek Pada Proses Apoptotic1. Terjadi kankerPada proses
apoptosis dapat terjadi kegagalan pada pathway, yang akan
menyebabkan terjadinya kanker. Kegagalan ini lebih sering terjadi
pada intrinsic patway dibanding pada ekstrinsik pathway, karena
intrinsic pathway ini lebih sensitive dan paling sering disebabkan
oleh mutasi dari gen p53 . Gen p53 ini merupakan tumor supresor gen
yang terakumulasi bila DNA mengalami kerusakan. Fungsi dari p53 ini
yaitu mencegah replikasi sel pada sel yang rusak secara genetik
melalui penghentian siklus sel pada fase G1 atau interfase,
sehingga sel mempunyai waktu untuk repair. Selain itu gen ini juga
berfungsi untuk mencetuskan apoptosis bila kerusakan sel cukup luas
dan terjadi kegagalan pada repair. Bila terjadi mutasi pada gen p53
dapat mengakibatkan disregulasi gen ini sehingga terjadi kegagaalan
apoptosis dan sel yang rusak terus mengalami replikasi dan akhirnya
terjadi kanker.Faktor lain yang berperan pada tumor genesis adalah
keseimbangan antara proapoptosis dan antiapoptosis dari kelompok
Bcl2. Pada sel tumor, mutasi dari gen Bcl2 dapat menyebabkan
peningkatan ekspresi yang dapat menekan fungsi normal dari protein
proapoptosis, BAX dan BAK. Jika terjadi mutasi pada gen BAX dan BAK
dapat menyebabkan penurunan regulasi, sehingga sel kehilangan
kemampuan untuk regulasi apoptosis yang dapat menimbulkan kanker.
Pada leukemia sel B dan lymphoma, terdapat peningkatan kadar Bcl2
sehinga dapat meghambat sinyal apoptosis. (Candrasoma et al,
1995)2. Progresifitas HIVProgresifitas HIV terutama disebabkan oleh
deplesi dari CD4+ T-helper limfosit yang dapat menurunkan system
imun. Salah satu mekanisme yang dapat menyebabkan deplesi ini
adalah apoptosis, yaitu melalui pathway :1) HIV enzym menyebabkan
inaktif anti apoptosis Bcl-2 dan secara bersamaan mengaktifkan
pro-apoptotic procaspase 8.2) Produk dari HIV dapat meningkatkan
kadar protein seluler yang mempunyai efek pada Fas- mediated
apoptosis.3) Protein HIV menurunkan sejumlah CD4 pada membran sel4)
Pelepasan partikel virus dan protein membran terdapat pada
ekstraselular fluid dapat mencetuskan apoptosis pada sel T helper
yang berada didekatnya.5) HIV menurunkan pembentukan molekul yang
merupakan penanda sel untuk apoptosis, sehingga memberikan waktu
pada virus untuk terus bereplikasi6) Sel CD4+ yang terinfeksi juga
menerima sinyal kematian dari sel T cytotoksik yang dapat
menyebabkan apoptosis3. Infeksi VirusVirus dapat mencetuskan
peristiwa apoptosis melalui beberapa mekanisme :a) pengikatan
receptorb) aktifasi protein kinase Rc) interaksi dengan p53d)
Ekpresi dari protein virus yang bergabung dengan MHC protein pada
permukaan sel yang terinfeksi, menyebabkan pengenalan oleh sel pada
sistem immune (Natural Killer dan sel T cytotoksik) sehingga
mencetuskan terjadinya apoptosis pada sel yang terinfeksi.Pada
kebanyakan virus dihubungkan dengan terjadinya kanker oleh karena
virus ini mencegah sel untuk apoptosis, antara lain : Beberapa
Human Papilloma Virus (HPV , dihubungkan dengan carcinoma cerviks
uteri, karena virus ini menghasilkan protein E6 yang dapat
berikatan dan menyebabkan inaktifasi promoter p53 untuk apoptosis
Eipstein-Barr Virus (EBV), dapat menyebabkan mononukleosis dan
lymphoma. Hal ini disebabkan oleh karena EBV menghasilkan protein
yang mirip dengan Bcl2 dan menghasilkan protein lainnya yang dapat
menyebabkan sel meningkatkan produksi Bcl2. Semua protein yang
dihasilkan ini dapat mengakibatkan sel menjadi lebih resisten untuk
apoptosis dan sel menjadi berproliferasi terus menerus. (Dellas et
al, 1997; Mendelshon et al, 1995)
BAB IIIKANKER SERVIX
3.1 EtiologiKanker servik adalah kanker kedua yang paling umum
di kalangan wanita di seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa serviks
sering berkembang dari lesi preinvasive yang disebut neoplasia
intraepitel servikal (CIN). Telah diketahui bahwa ada hubungan
antara kanker serviks, CIN dan HPV infection. HPV DNA telah
dideteksi dalam sel skuamosa lebih dari 95% kanker servik. Lebih
dari 80 jenis HPV telah dapat diisolasi dari jaringan yang berbeda
dan lebih dari 20 dari mereka berhubungan dengan kanker servik.
Tipe HPV seperti HPV 16 dan HPV 18 telah diidentifikasi sebagai
faktor etiologi pada 90% kanker servik. E6 dan E7 oncoproteins pada
HPV tipe 16 dan tipe 18 yang memiliki potensi onkogenik tinggi
menyebabkan proliferasi seluler berlebihan dan akibatnya
transformasi menjadi ganas dengan berinteraksi dengan protein
regulator dari host cell. (Motoyama et al, 2004; Singh et al,
2004)HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks.
Pendapat ini ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang
dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC)
terhadap 1000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya infeksi HPV
pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang
meliputi 10000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan,
yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus
kontrol dengan 2500 kasus karsinoma serviks dan 2500 perempuan yang
tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV
pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total prevalensi
infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel
skuamosa adalah 94,1%. (Cheung et al, 2002; Bosch et al, 2002).3.2
Kegagalan apoptosis pada kanker servixApoptosis adalah kematian
terkendali secara genetik memungkinkan penghapusan sel-sel yang
telah menyelesaikan fungsi biologisnya atau telah rusak. Apoptosis
dapat terjadi akibat oleh berbagai sinyal seperti UV, obat-obat
kemoterapi, dan hipoksia dan serangkaian proses sintesis dari
proteins. Perubahan jalur apoptosis dan regulasinya memiliki peran
penting dalam perkembangan karsinogenesis. Apoptosis sel yang rusak
merupakan mekanisme fisiologis antineoplastik yang mencegah
perkembangan kanker karena profilerasi sel yang berlebihan
menyebabkan terjadinya kanker. Harus ada keseimbangan antara
proliferasi sel dan kerusakan sel untuk menjaga homeostasis. Bila
keseimbangan ini terganggu, akan ada peningkatan abnormal dalam
jumlah sel. Penurunan tingkat apoptosis memperpanjang waktu hidup
sel abnormal. Kelainan dalam pengendalian apoptosis mungkin
merupakan faktor penting baik dalam perkembangan tumor maupun
ketahanan terhadap radioterapi dan kemoterapi. (Cheung et al, 2002;
Singh et al, 2004) Pada sel epitel serviks yang abnormal
proliferasi menjadi sangat cepat, waktu transisi dalam sel
displastik menjadi lebih pendek dan kemampuan kematian sel dari sel
tumor serviks hilang. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan
antara proliferasi dan apoptosis pada epitel serviks normal
dibandingkan serviks yang mengalami proses karsinogenesis. Modulasi
apoptosis dan protein regulator apoptosis pada infeksi HPV risiko
tinggi dianggap memiliki peran penting dalam perkembangan kanker
serviks. (Zanotti et al, 2003; Grace et al, 2003) Uraian mengenai
perubahan sel tumor yang terlibat dalam regulasi apoptosis
memungkinkan terjadinya perubahan dalam kematian sel terprogram
selama karsinogenesis serviks. Ada perubahan dalam ekspresi protein
apoptosis yang terkait dalam beberapa neoplasma serviks yang
berbeda. Dengan demikian penemuan perubahan apoptosis pada sel
selama infeksi HPV, dianggap sebagai faktor etiologi penting bagi
perkembangan kanker serviks, Memungkinkan keduanya untuk memahami
biologi kanker dan untuk meningkatkan metode baru untuk pengobatan
apoptosis. Selanjutnya, menentukan indeks apoptosis akan menjadi
faktor penting dalam estimasi respon terhadap pengobatan kanker
servik. (Bhosle et al, 2005)Apoptosis dianggap memainkan peran
penting dalam patogenesis kanker servix yang disebabkan oleh
infeksi virus. Waktu replikasi DNA virus yang perlahan dan panjang
sehingga sel akan mati karena apoptosis sebelum selesainya
replikasi. Oleh karena itu, hampir semua virus menyandi produk gen
antiapoptotis dan dengan demikian virus dapat menjaga sel yang
terinfeksi DNA virus tetap hidup. Seperti HPV, telah mengembangkan
beberapa mekanisme yang akan mencegah apoptosis dengan menghambat
fungsi tumor suppressor gen p53 dengan mediator E6 dan E7 proteins.
(Hasnain et al, 2003)Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
proses apoptosis menurun pada sampel yang terinfeksi oleh HPV
resiko tinggi seperti HPV tipe 16 dan 18. Selain itu juga ditemukan
bahwa dalam sampel serviks terinfeksi HPV tipe 16 dan 18
menunjukkan sel mengalami displasia. Hal ini menunjukkan bahwa
sensitivitas berkurang untuk apoptosis mungkin merupakan faktor
penting dalam proses karsinogenesis serviks akibat infeksi HPV.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan positif antara kanker
servik dan infeksi HPV dan, menunjukkan bahwa indeks penurunan
apoptosis lebih tinggi pada sampel yang terinfeksi HPV tipe 16
dibandingkan dengan tipe lain. Dengan demikian, HPV mungkin
memiliki peran dalam penghambatan apoptosis. Temuan ini mendukung
ide bahwa indeks apoptosis lebih rendah dalam sampel dengan tipe
HPV 16 dan HPV tipe 18 daripada jenis HPV lain. HPV tipe 16 dan
tipe 18 memiliki efek antiapoptosis pada E6 onkogen. Perubahan
protein regulator apoptosis selama infeksi HPV risiko tinggi
memainkan peranan penting dalam perkembangan kanker serviks. (Nair
et al, 1999)Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks
jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada
NIS II/III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan
18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV
berkisar 2 tahun. HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker
serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks.
Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab
terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom
sel tubuh merupakan awal dari proses transformasi. Integrasi DNA
virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak
berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6
dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb. Hambatan kedua TSG
menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak
terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. E6 akan mengikat p53 sehingga
Tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya, yaitu
untuk menghentikan siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein
E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F,
yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan
tanpa kontrol. (Shin et al, 2001; Kaufman et al, 2000)Penghentian
siklus sel pada fase G1 oleh p53 bertujuan memberi kesempatan
kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah
perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53 menghentikan
siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang
berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya.
Jika penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan
tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada
perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang
tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang
apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran
gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk
mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53
menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan. Beberapa penelitian
yang meneliti peranan Bcl-2 mendapatkan peningkatan aktivitas
imunologi Bcl-2 pada NIS III dibandingkan dengan NIS I-II dan
karsinoma invasif. (De Boer et al, 2006)Penelitian lain tentang
Bcl-2 juga mendapatkan penurunan aktivitas Bcl-2 pada karsinoma
serviks. Keadaan ini menunjukan bahwa penurunan aktivitas apoptosis
pada karsinoma serviks disebabkan peningkatan aktivitas dari
antiapoptosis. Peningkatan Bcl-2 bukan berarti terjadi penurunan
aktivitas apoptosis, karena mekanisme apoptosis dikontrol oleh
banyak gen. Tetapi indeks apoptosis pada karsinoma sel skuamosa,
pada penelitian nampaknya justru menurun, dan ini dibuktikan oleh
beberapa penelitian. Pada penelitian juga dijumpai adanya penurunan
beberapa keluarga Bcl-2, antara lain Bak, caspase 3 dan caspase 6.
(Cheung et al, 2002)Protein E7 menghambat proses perbaikan sel
melalui mekanisme yang berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di
fase Go dan G1 tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F
ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan gen
yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen
c-myc, dan N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb
yang menyebabkan E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen
c-myc dan N-myc sehingga akan terjadi proses transkripsi atau
proses siklus sel. Kekuatan ikatan protein E7 dengan pRb
berbeda-beda pada beberapa tipe virus HPV, misalnya: ikatan E7 HPV
6 dan 11 kurang kuat dibandingkan dengan HPV 16 ataupun 18. (Bosch
et al, 2002)Infeksi laten HPV adalah infeksi yang diketahui dengan
terdapatnya DNA HPV tanpa ditemukan kelainan baik makroskopik
ataupun mikroskopik, secara sitologi maupun histologi. Infeksi
laten berbeda dengan infeksi subklinik infeksi yang tidak diketahui
dengan pemeriksaan klinik, tetapi dibuktikan dengan sitologi
ataupun histologik. DNA HPV memegang peranan penting timbulnya
rekurensi pascaterapi lesi prakanker. Terapi destruksi baik dengan
krioterapi maupun kauterisasi elektrik atau laser mampu memperbaiki
kelainan sel yang terjadi, tetapi seringkali tetap meninggalkan DNA
HPV. Keberadaan DNA HPV atau HPV persisten menyebabkan timbulnya
rekurensi pascaterapi. (Pirog et al, 2000)
BAB IVRINGKASAN
Keseimbangan antara pertahanan hidup sel dan kematian sel
dibawah kontrol genetik yang ketat. Banyaknya sinyal dari mediator
ekstraseluer dan intra seluler yang terlibat telah mempertahankan
keseimbangan tersebut. Ketika sel terpapar oleh jejas fisik,
biokimia, zat tertentu ataupun biologis, sel akan mengaktivasi
serial gen yang berhubungan dengan respon terhadap stress. Apabila
stress minimal, maka sel akan bisa memperbaiki dirinya dan kembali
ke keadaan normal. Namun apabila stress yang diterima cukup besar,
maka sel akan mengalami kematian atau apoptosis dan didaur ulang
oleh sel-sel di sekitarnya. Apabila stress yang diterima sangat
besar, maka banyak sel yang mengalami nekrosis disertai dengan
adanya respon inflamasi. Disregulasi dari mekanisme yang
mengkontrol kondisi tersebut akan menghasilkan suatu penyakit.
Defisiensi apoptosis berhubungan dengan kejadian kanker, penyakit
autoimun dan infeksi viral. Apoptosis yang berlebihan berhubungan
dengan penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit
neurodegenerative, sepsis dan sindroma disfungsi organ multiple
(MODS).
DAFTAR PUSTAKA
Arends MJ, Wyllie AH, 1991. Apoptosis: mechanisms and roles in
pathology. International Reviews of Experimental Pathology; 32:
223Badan Registrasi Kanker, 1998. Badan Registrasi Kanker. Jakarta:
Ikatan Ahli Patologi Indonesia Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.Bhosle SM, Huilgol NG, Mishra KP, 2005. Apoptotic index
as predictive marker for radiosensitivity of cervical carcinoma:
Evalution of membrane fluidity, biochemical parameters and
apoptosis after the first dose of fractioned radiotherapy to
patient; 29:369-75.Bosch FX, Lorinez A, Munoz N, Meijer CJLM, Shah
KV. 2002. The causal relation between papillomavirus and cervical
cancer. J Clin Pathol; 55:244-65.Chandrasoma P,Taylor CR. 1995.
Cell Degeneration & Necrosis. In: Concise Pathology. 3rd
.McGraw-Hil: 4-5Cheung TH, Chung TK, Lo KW, et al. 2002.
Apoptosis-related proteins in cervical intraepithelial neoplasia
and squamous cell carcinoma of the cervix. Gynecol Onco;
86:14-8.Cotran RS, et al. 1999. Robbins patologic basis of disease.
6th ed. WB Saunders Company. Tokyo-London-Sydney; 18-25 De Boer MA,
Vet JNI, Aziz MF, Cornain S, Purwoto G, van den Akker BEWM, et al.
2006. Human papillomavirus type 18 and other risk factors for
cervical cancer in Jakarta, Indonesia. Int J Gynecol
Cancer;16:1809-14.Dellas, A. 1997. Investigation of the bell and
c-myc expression in relationship to the Ki labelling index in
cervical intra epithelial neoplasia. Interna Journal of Gynecology
Pathology 16 (3): 212-218.DeVita V, Rosenberg S. 2005. Cancer
Principal & Practice of Oncology , Book 1 , 7th Ed. Lippincott
Williams and Wilkins: 95 102Damico AV, McKenna WG.1994. Apoptosis
and re-investigation of the biologic basis of cancer therapy,
radiotherapy and oncology; 33: 3-10
Grace VMB, Shalini JV, Lekha TTS, Devaraj SN, Devaraj H. 2003.
Co-overexpression of p53 and bcl-2 proteins in HPV-induced squamous
cell carcinoma of the uterine cervix. Gyn Onc; 91:51-8.Hasnain S,
Begum R, Ramaiah KVA, et al. 2003. Host-pathogen interactions
during apoptosis. J Biosci; 28:349-58. Kaufman RH, Adam E, Vonka V.
2000. Human Papillomavirus infection and cervical carcinoma. Clin
Obstet and Gynecol; 43:363-80.Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005.
Neoplasia. In: Robbins and Cotran Pathology Basis of Disease. 7th
Ed, Philadelphia. Elsevier Saunders: 1041- 1042MacLellan WR,
Schneider MD. 1997. Death by design programmed cell death in
cardiovascular biology and disease. Circulation Research; 81:
13744.Mendelshon, J., P. Howley, M. Israel, Liottal. 1995. The
Molecular Basis of the Cancer. Philadelphia: WB Saunders Co.Munoz
N, Castellsague X, de Gonzalez AB, Gissmann L. 2006. HPV in the
etiology of human cancer. Vaccine; 24:1-10.Nair P, Nair MK,
Jayaprakash PG, Pillai MR. 1999. Decreased programmed cell death in
the uterine cervix associated with high risk human papillomavirus
infection. Pathol Oncol Res; 5:95-103.Pirog EC, Kleter B, Olgac S,
Bobkiewicz P, Lindeman J, Quint WGV, et al. 2000. Prevalence of
Human Papillomavirus DNA in Different Histological Subtypes of
Cervical Adeno-carcinoma. Am J Patho; 157(4):1055-62.Pusztai, L.,
C.E. Lewis, and E. Yap. 1996. Cell Proliferation in
Cancer-Regulation Mechanisms of Neoplastic Cell Growth. Oxford:
Oxford University Press.Savitz SI, Daniel BA, Rosenbaum MD. 1998.
Apoptosis in neurological disease. Neurosurgery; 42: 555.Shin B,
Dubeau L. 2001. Cell cycle abnormalities in squamous cell carcinoma
of the cervix. CME Journal of Gynecologic Oncology; 6:167:72.Rudin
CM, Thompson CB. 1997. Apoptosis and disease:regulation and
clinical relevance of programmed cell death. Annual Review of
Medicine; 48: 267.Singh A, Sharma H, Salhan S, et al. 2004.
Evaluation of expression apoptosis-related proteins and their
correlation with HPV, telomerase activity, and apoptotic index in
cervical cancer. Pathobiolgy; 71:314-22. Zanotti S,
Fisseler-Eckhoff A, Mannherz HG. 2003. Changes in the topological
expression of markers of differentiation and apoptosis in defined
stages of human cervical dysplasia and carcinoma. Gynecol Oncol;
89:376-84.