Sari Pustaka Stasi : Divisi rawat inap Nama : dr. Fifa Argentina Pembimbing : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK dan DR.dr.H.M. Athuf Thaha, Sp.KK(K) Pemandu : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK Tempat/waktu : Ruang Ilmiah Departemen IKKK Jum’at, 18 Juni 2010 pukul 08.00 WIB OBAT ANTIJAMUR Fifa Argentina Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang PENDAHULUAN Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik. 1,2 Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi infeksi. 3 Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Perioda 2006 - 2008) ke Divisi Infeksi Tropik Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sari PustakaStasi : Divisi rawat inapNama : dr. Fifa ArgentinaPembimbing : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK dan DR.dr.H.M. Athuf Thaha, Sp.KK(K)Pemandu : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KKTempat/waktu : Ruang Ilmiah Departemen IKKK
Jum’at, 18 Juni 2010 pukul 08.00 WIB
OBAT ANTIJAMURFifa Argentina
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui
sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,
mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit,
rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit,
sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun
oportunistik.1,2
Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi infeksi.3
Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Perioda 2006 - 2008) ke Divisi Infeksi
Tropik Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab
penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
dermatofitosis 1.815 orang (21,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.
Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan pesat.
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal
dan sistemik. 4,5 Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan
area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur sistemik.
Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.6,7
Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi menjadi
empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat
antijamur yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian
obat antijamur topikal lainnya. 8,9,10
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi infeksi jamur
adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang jamur, kondisi komorbiditas,
potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan akses untuk mendapatkan obat antijamur serta
kemudahan pemakaian obat.4
Sari pustaka ini membahas tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat antijamur. Diharapkan sari pustaka ini
dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan infeksi jamur.
MEKANISME KERJA OBAT ANTIJAMUR
Saat ini difahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel jamur
(Gambar 1 dan 2). Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua
mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel
jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.
Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti golongan
polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung (seperti golongan
azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel
β1,3 glukan.
1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur
dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja
obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis
ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di
membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran
ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak
langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara
mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor
ergosterol).(Gambar 3)9
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara
menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh
obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),
2
dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel
jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini
rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat
yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin,
dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga
rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai
unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin
menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga
apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan
mengalami lisis.(Gambar 1)9
Gambar 1. Target kerja antijamur pada dinding sel jamur 7
3
Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan papulokandins; menghambat sintesis glukan.
*Polyxins dan nikkomycin; menghambat sintesis kitin
*Dalam penelitian †Potensial target
‡ Obat yang tersedia
Gambar 2. Titik tangkap obat antijamur9
GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK
KELOMPOK ANTIJAMUR AZOL
Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol berperanan
penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol,
mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol,
flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12 Kedua kelompok
ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat
dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti
berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8
Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif
terhadap Zygomycetes.9
Farmakokinetik
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan
pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas
oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat
menghambat absorpsi vorikonazol.15 Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam
setelah pemberian oral.14 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi
1-3 μg/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.10
Dosis
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam
untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk
aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum
dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam
pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian
intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.15
Efek samping
Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering
ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,
pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada
hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.10,14
13
Interaksi obat
Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan bersama dengan obat
lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung.
Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik sitokrom P -
450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun varikonazol dapat
meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin,
tolbutamid, glipizid dan quinidin. Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum
siklosporin dan takrolimus.9,10
5.Posakonazol
Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur kimia
serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin furan dengan cincin
dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase.
Deplesi ergosterol menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi
pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur..16,17
Gambar 8. Struktur kimia posakonazol.9
Aktivitas spektrum
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan
resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya
golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat
digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis.16,17
Dosis
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan
rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna
14
mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari
pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan
bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.16
KELOMPOK ANTIJAMUR ALILAMIN
TERBINAFIN
Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat diberikan
secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan dermatofit, tetapi
kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983,
digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.5
Gambar 9. Struktur kimia terbinafin5
Mekanisme kerja
Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi
sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga
menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran
plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol
yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga
pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang
banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan
pada membran sel jamur (efek fungisidal).5,10
Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit
yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal
terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa
dermatiaceous moulds.5
15
Farmakokinetik
Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak di
serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal.
Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5
Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis,
epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase
dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi
waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu
pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di dalam dermis-
epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian
bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi
terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara
oral akan menetap di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-
3 minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail
plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4
minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang
lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit tidak
aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.10
Dosis
Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita,
pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. 5,8,10
Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis
terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar
atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300
µmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2
minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan
selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.5,10
Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5
Dewasa Anak-anakOnikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6
mingguKuku kaki : 250 mg/hr x 12 minggu
3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua
16
Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6 mg/kg/hr x 2-4 minggua
Infeksi Microsporum : 3-6 mg/kg/hr x 6-8 minggua
Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 mingguTinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu b
Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu b
a Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih.b Tidak ada penelitian.
Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.
Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif.10
Interaksi obat
Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar
dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu
inhibitor sitokrim P-450.10
KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN
1. Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus,
diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di
tahun 1960.10
Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan
infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama
pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang
toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B
liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom.
(2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan
fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil,
Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk
potongan lemak kecil.10,18
17
Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B18
Mekanisme kerja
Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi
barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme
jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.10
Aktifitas spektrum
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11 th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 2006
11. ZhaoX, Calderone RA. Antifungals currently used in the treatment of invasive fungal disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and clinical applications. USA; Mycology Vol 14. 2002; p 559-574
12. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15