BAB I PENDAHULUAN Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal di dunia akibat serangan jantung, sangat disayangkan di saat seseorang tiba – tiba meninggal, yang tadinya terlihat segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat tiba – tiba tidak berdenyut lagi. Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi pada saat di rumah, sehingga setiap orang seharusnya sudah menguasai atau dapat melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru berhubungan erat dengan chain of survival, karena bagi penderita yang mengalami serangan jantung, pemberian RJP dengan segera maka akan meningkatkan kesempatan yang amat besar untuk dapat bertahan hidup. Resusitasi jantung paru merupakan suatu prosedur tindakan penyelamatan jiwa yang meningkatkan kemungkinan hidup setelah terjadinya henti jantung. Pendekatan optimal dalam RJP dapat bervariasi, tergantung dari penolong, penderita, dan sumber yang tersedia, namun tantangan yang muncul tetap, yaitu bagaimana dapat melakukan resusitasi yang dini dan efektif. Oleh karena itu, pengenalan dini terhadap 3
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap menit terdapat sekitar 4-6 orang meninggal di dunia akibat serangan
jantung, sangat disayangkan di saat seseorang tiba – tiba meninggal, yang tadinya
terlihat segar bugar, dengan kata lain jantungnya yang sehat tiba – tiba tidak
berdenyut lagi.
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi pada
saat di rumah, sehingga setiap orang seharusnya sudah menguasai atau dapat
melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation
(CPR). Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru
berhubungan erat dengan chain of survival, karena bagi penderita yang
mengalami serangan jantung, pemberian RJP dengan segera maka akan
meningkatkan kesempatan yang amat besar untuk dapat bertahan hidup.
Resusitasi jantung paru merupakan suatu prosedur tindakan penyelamatan
jiwa yang meningkatkan kemungkinan hidup setelah terjadinya henti jantung.
Pendekatan optimal dalam RJP dapat bervariasi, tergantung dari penolong,
penderita, dan sumber yang tersedia, namun tantangan yang muncul tetap, yaitu
bagaimana dapat melakukan resusitasi yang dini dan efektif. Oleh karena itu,
pengenalan dini terhadap henti jantung dan tindakan segera oleh penolong masih
terus menjadi prioritas utama dalam AHA Guidelines for CPR and ECC 2010.
Rekomendasi 2010 mengkonfirmasi keamanan dan efektivitas dari banyak
pendekatan, mengakui ketidakefektifan orang lain, dan memperkenalkan
perawatan baru berbasis evaluasi bukti intensif dan konsensus para ahli.
Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman
sebelumnya tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan
rekomendasi terdahulu.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan
kembali, artinya usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu
episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung
Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah prosedur kegawat
daruratan medis yang diajukan untuk serangan jantung pada henti nafas.
Resusitasi Jantung Paru adalah kombinasi antara bantuan pernafasan dan
kompresi jantung yang dilakukan pada korban serangan jantung.
2.2. INDIKASI RJP
RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas
atau hanya terengah-engah (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti
jantung.
A. Henti napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.
Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal
(gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.
4
B. Henti jantung
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak
tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tidak
termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab non-kardial (selain jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot
jantung (decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti,
aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada
sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab non-kardial meliputi
penyebab non-kardial internal dan non-kardial eksternal. Penyebab non-kardial
internal yaitu penyakit paru, serebrovaskuler, kanker, perdarahan gastrointestinal,
penyakit ginjal. Penyebab non-kardial eksternal trauma, asfiksia, overdosis obat,
aliran listrik/petir.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi
asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
2.3 KONTRAINDIKASI RJP
Kontraindikasi absolut terhadap resusitasi jantung paru adalah DNR(Do
Not Resuscitate) yang merupakan permintaan seseorang untuk tidak diresusitasi
apabia terjadi henti jantung. Kotraindikasi relatif terhadap resusitasi jantung paru
adalah bergantung pada penilaian klinisi bahwa dengan resusitasi yang dilakukan
akan sia-sia secara medis.
5
2.4 RESUSITASI JANTUNG PARU
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency
response system
RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada
Defibrilasi yang cepat
Advanced life support yang efektif
Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi
Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian
tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita
henti jantung sebesar 50%, meskipun demikian rata-rata kelangsungan hidup
masih tetap rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan untuk
meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan pemeriksaan setiap mata
rantai secara cermat dan memperkuat mata rantai yang lemah. Mata rantai yang
satu tergantung dengan mata rantai yang lainnya, dan kesuksesan dari setiap mata
rantai tergantung dari keefektifan mata rantai sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini dan
seefektif mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari
komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
6
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-
anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
2.5 BASIC LIFE SUPPORT
Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu
konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek
dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung
yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi
jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation)
dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang
dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.
A. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali
7
bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak
adanya atau berkurangnya respon nafas. Setelah memastikan bahwa lokasi
sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara
menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik
penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan
emergency response system (dengan menghubungi nomor darurat yang
tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong
harus segera memulai RJP.
B. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)
dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif
dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.
C. Resusitasi Jantung Paru dini
Kompresi dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan
8
aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara
langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen
menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk
menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita
henti jantung harus mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm).
Penolong harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi
sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung
mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong
seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang
terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang
diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di
bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.
9
Penyelamatan pernafasan
Penyelamatan pernapasan dapat dimulai dengan membebaskan jalan
napas. Pembebasan jalan napas pada basic life support dapat dengan triple
airway maneuver (chin lift, jaw trust, head tilt). Setelah jalan napas bebas
barulah dilakukan bantuan pernapasan.
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2010
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi.
Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai
RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang
menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah
tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari
kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari
mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu.
Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan
penundaan yang lebih singkat.
10
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih
harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui
bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
- Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik
- Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
- Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
- Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,
atau laryngeal mask airway) telah dipasang selama RJP dengan
dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh
berhenti untuk memberikan ventilasi.
D. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila
AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR
berkualitas tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual
pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan
11
kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan
ventilasi.
Tahapan defibrilasi :
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)
12
2.6 Advanced Life Support
Dalam tahapan resusitasi jantung paru, selain basic life support juga dapat
dilakukan tahapan advanced life support. Pada advanced life support ada beberapa
hal yang harus diperhatikan yaitu :
A. Kompresi dada yang berkualitas dengan gangguan minimal
Kompresi dada dihentikan sesaat untuk intervensi spesifik. Pastikan kualitas
RJP berdasarkan kecepatannya, kedalamannya, dan daya recoil.
13
B. Airway management and ventilation
- Intubasi trakhea memungkinkan jalan nafas yang paling dapat diandalkan,
tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Cara yang paling mudah untuk dilakukan
adalah mengamankan jalan napas dengan memasang laryngeal mask atau
combitube.
- Personel yang terlatih dengan advanced airway management sebaiknya
melakukan laringoskopi dan intubasi tanpa menghentikan kompresi dada.
- Berikan ventilasi sebanyak 10x/menit, jangan memberikan ventilasi
berlebihan kepada pasien.
- Setelah intubasi trakhea telah dilakukan, lanjutkan kompresi dada dengan
kecepatan 100x/menit tanpa berhenti saat memberikan ventilasi (100:10).
- Jika kebocoran udara berlebihan menyebabkan ventilasi yang inadekuat untuk
paru – paru pasien, kompresi dada harus terganggu untuk memungkinkan