1 BAB I. PENDAHULUAN Penyakit asma berasal dari kata "asthma" dari bahasa Yunani yang berarti "sukar bernafas"(Oemiati, 2010). Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. (Hendra, 2008) Asma bronkial terus berkembang terutama pada anak-anak baik di negara maju maupun di negara berkembang. Angka kejadian asma pada anak berkisar antara 1,4-11,4 %. Di Amerika Serikat antara 8-13% dengan peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964- 1980 atau prevalensi asma pada anak umur antara 6-11 tahun datri 4,5% antara tahun 1971-1974 menjadi 6,8% antara tahun 1976-1980, suatu peningkatan hampir mencapai 60%. Hal ini bisa disebabkan karena 2 faktor utama yaitu faktor modernisasi dan faktor urbanisasi, misalnya menurunnya pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan padat lebih awal, pemukiman yang padat, dan paparan alergen yang baru. (Hendra, 2008) Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi 5,4% pada tahun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I. PENDAHULUAN
Penyakit asma berasal dari kata "asthma" dari bahasa Yunani yang berarti "sukar
bernafas"(Oemiati, 2010). Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan. (Hendra, 2008)
Asma bronkial terus berkembang terutama pada anak-anak baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Angka kejadian asma pada anak berkisar antara 1,4-11,4 %. Di
Amerika Serikat antara 8-13% dengan peningkatan sebesar 50% antara tahun 1964-1980 atau
prevalensi asma pada anak umur antara 6-11 tahun datri 4,5% antara tahun 1971-1974 menjadi
6,8% antara tahun 1976-1980, suatu peningkatan hampir mencapai 60%. Hal ini bisa
disebabkan karena 2 faktor utama yaitu faktor modernisasi dan faktor urbanisasi, misalnya
menurunnya pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan padat lebih awal, pemukiman yang
padat, dan paparan alergen yang baru. (Hendra, 2008)
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood menunjukkan
bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% pada tahun 1995 menjadi
5,4% pada tahun 2003. DKI Jakarta memiliki prevalensi asma yang lebih besar yaitu 7,5%
pada tahun 2007. Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30 % dan 70 % disebabkan
oleh berbagai faktor lainnya. Departemen kesehatan perkirakan penyakit asma termasuk 10
besar penyebab kesakitan dan kematian di RS dan diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk
Indonesia menderita asma.(Oemiati dkk, 2010)
Angka kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi dibandingkan
oleh orang dewasa (10-45%). Pada anak, penyakit asma dapat mempengaruhi masa
pertumbuhan, karena anak yang menderita asma sering mengalami kambuh sehingga dapat
menurunkan prestasi belajar di sekolah. Prevalensi asma di perkotaan umumnya lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan, karena pola hidup di kota besar meningkatkan risiko
terjadinya asma.(Oemiati dkk, 2010)
Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum
diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi saluran
2
napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya. (KNAA,2000)
Banyak faktor risiko yang bisa mempengaruhi angka kejadian asma seperti herediter,
lingkungan, usia. Begitu juga faktor pencetus dari asma memiliki beberapa yang berkaitan erat
seperti faktor alergen, kelelahan, infeksi, ketegangan emosi, faktor iritan seperti asap rokok,
refluks gastroesofageal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia, endogen, serta faktor anatomi dan
fisiologi. (Widodo, 2009)
Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. (Hendra, 2008)
Penanganan asma seyogyanya disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Tujuan
Penatalaksanaan asma adalah untuk memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang
serta melakukan aktivitas secara optimal sesuai dengan usianya. Penanganan asma harus
berdasarkan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi serta imunopatologi asma. Selanjutnya
harus dipahami juga bagaimana perjalanan penyakit asma, faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi terjadinya asma, serta farmakokinetik obat-obatan asma yang dipergunakan,
sehingga para dokter dapat memberikan petunjuk yang benar kepada penderita asma dan
keluarganya. (Landia dkk)
Pengobatan asma memiliki dua garis besar yaitu golongan obat pereda dan pengendali,
dimana obat-obat pereda bisanya memakai obat beta agonis kerja pendek, golongan xantin,
anti inflamasi non steroid, anti inflamasi steroid. Sedangkan obat pengendali biasanya
menggunakan golongan beta agonis kerja panjang, anti histamin. (KNAA,2000)
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transportasi gas-gas dimana organ-organ pernafasan
tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu rongga hidung, pharynx,
larynx, trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas
antara udara dan darah.
a. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari:
1) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang masuk kedalam
rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang menyalurkan air matakedalam
bagian bawah rongga nasalis kedalam hidung
2) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar teanggorokan sampai
persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikid maka letaknya di
3
belakang hidung (naso farynx), dibelakang mulut(oro larynx), dandibelakang farinx (farinx
laryngeal)
b. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari :
1) Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang memisahkan dari
kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masukke dalam trakhea di bawahnya.
2) Trachea (Batang tenggorokan ) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea berjalan dari
larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima dan ditempat inibercabang
menjadi dua bronchus (bronchi).
3) Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebralis
torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang
sama. Cabang utama bronchus kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek,
lebih besar dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan anatomis ini
mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotrachea terletak sedemikian rupa sehingga
terbentuk saluran udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronchus kanan.Kalau
udara salah jalan, makap tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps (atelektasis).Tapi
arah bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan kateter untuk
melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang terhirup lebih mudah tersangkut
dalam percabangan bronchus kanan ke arahnya vertikal. Cabang utama bronchus kanan dan
kiri bercabang-cabang lagi menjadi segmen lobus,kemudian menjadi segmen bronchus.
Percabangan ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles terminalis
yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus. Bronchiolus
terminal kurang lebih bergaris tengah 1 mm.
Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi di kelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran udara dibawah bronchiolus terminalis
disebut saluran pengantar udara karena fungsi utamanya dalah sebagai pengantar udara
ketemapat pertukaran gas paru-paru. Diluar bronchiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Asinus terdiri bronchiolus
respiratorius, yang kadang- kadang memiliki kantung udara kecil atau alveoli yang bersal dari
dinding mereka. Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus
alveolaristerminalis merupakan struktur akhir paru-paru.
4
4) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga toraks atau
dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum central yang mengandung jantungdan
pembuluh-pembuluh darah besar.Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuuki tiap paru
pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih daripada kiri,paru kanan dibagi
menjadi tiga lobus dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi
menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru dibagi 10 segmen.Paru kanan mempunyai 3 buah segmenpada lobus
inferior, 2 buah segmen pada lobus medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri
mempunyai 5 buah segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus superior.Tiap-
tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Di dalam
lobolus, bronkhiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang ini disebut duktus-alveolus.
Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2- 0,3mm.
Letak paru dirongga dada di bungkus oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :
1.) pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung
membungkusparu.
2.) pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua pleura
ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura
ini vakum (hampa udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan
gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan bernafas. Tekanan dalam rongga pleura
lebih rendah dari tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolaps paru kalau terserang penyakit,
pleura mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura,
menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
2. Fisiologi
a. Pernafasan paru (pernafasan pulmoner)
Fungsi paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernafasan melalui
paru / pernafasan eksternal, oksigen di angkut melalui hidung dan mulut, pada waktu bernafas
oksigen masuk melalui trachea dan pipa bronchial ke alveoli, dan erat hubungan dengan darah
di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran yaitu membran alveoli kapiler,
memisahkan oksigen dari darah, darah menembus dan dipungut oleh hemoglobin sel darah
5
merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah
meninggalkan paru pada tekanan oksigen mmHg dan pada tingkatan Hb 95% jenuh oksigen.
Didalam paru, karbondioksida salah satu buangan metabolisme menembus membran
kapiler dan kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial dan trachea di lepaskan
keluar melalui hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan
pulmoner pernafasan eksterna:
1.) Ventilasi pulmoner, gerakan pernafasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara
luar.
2.) Arus darah melaui paru, darah mengandung oksigen masuk keseluruh tubuh,
karbondioksida dari seluruh tubuh masuk paru.
3.) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlahnya yang bisa dicapai
untuk semua bagian.
4.) Difusi gas yang membrane alveoli dan kapiler, karbondioksida lebih mudah berdifusi
daripada oksigen.
b. Pernafasan jaringan (pernafasn interna)
Darah yang menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen ( oksihemoglobin) mengitari
seluruh tubuh dan mencapai kapiler,dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan
memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung dan darah
menerima sebagai gantinya hasil buangan oksidasi yaitu karbondioksida. Perubahan –
perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam alveoli, yang disebabkan pernafasan
eksterna dan pernafasan interna atau pernafasan jaringan. Udara (atmosfer) yang dihirup:
Oksigen : 20%
Karbondioksida : 0-0,4%
Udara yang masuk alveoli mempunyai suhu dan kelembaban atmosfer.
Udara yang dihembuskan:
Nitrogen :79%
Oksigen :16%
Karbondioksida :4-0,4%
Udara yang dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhunyang sama dengan badan
(20 persen panas badan hilang untuk pemanasan uadra yang dikeluarkan).
c. Daya muat paru
Besarnya daya muat udara dalam paru 4500 ml- 5000 ml (4,5 – 5 liter).Udara diproses
dalam paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10% kurang lebih 500 ml disebut juga udar a pasang
6
surut (tidal air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasn biasa. Pada seorang
laki- laki normal (4-5 liter) dan pada seorang perempuan (3-4 liter). Kapasitas (h) berkurang
pada penyakit paruparu) dan pada kelemahan otot pernafasan.
d. Pengendalian pernafasan
Mekanisme pernafasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama yaitu kimiawi
dan pengendalian saraf. Adanya faktor tertentu, merangsang pusat pernafasan yang terletak
didalm medulla oblongata, kalau dirangsang mengeluarkan impuls yang disalurkan melalui
saraf spiralis ke otot pernafasan ( otot diafragma atau interkostalis).
1) Pengendalian oleh saraf
Pusat pernafasan adalah suatu pusat otomatik dalam medulla oblongata mengeluarkan
impuls eferen ke otot pernafasan, melalui radik saraf sevikalis diantarkan ke diafragma oleh
saraf frenikus. Impuls ini menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostalis
yang kecepatannya kira- kira 15 kali setiap menit.
2.) Pengendalian secara kimia
Pengendalian dan pengaturan secara kimia meliputi :
Frekuensi kecepatan dan dalamnya gerakan pernafasan, pusat pernafasan dalam sumsum
sangat peka sehingga kadar alkali harus tetap dipertahankan, karbondioksida adalah produksi
asam metabolisme dan bahan kimia yang asam ini merangsang pusat pernafasan untuk
mengirim keluar impuls saarf yang bekerja atas otot pernafasan.
e. Kecepatan pernafasan
Kecepatan pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian
istirahat, pada bayi ada kalanya terbalik, inspirasi- istirahat–ekspirasi, disebut juga pernafasan
terbalik.
Kecepatan normal setiap menit berdasarkan umur :
Bayi prematur : 40 – 90x/menit
Neonatus : 30 – 80 x/menit
1 Tahun : 20- 40x/ menit
Inspirasi atau menarik nafas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot.
Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai bawah, yaitu vertical.Kenaikan
iga-iga dan sternum, yang ditimbulkan oleh kontaksi otot interkostalis, meluaskan romgga
dada kedua sisi dari belakang ke depan. Paru yang bersifat elastis mengembang untuk mengisi
7
ruang yang membesar itu dan udara ditarik masuk kedalam saluran udara, otot interkostalis
eksterna diberi peran sebagai otot tambahan hanya bila inspirasi menjadi gerak sadar. Pada
ekspirasi, udara dipaksa oleh pengendoran otot dan karena paru kempes kembali, disebakan
sifat elastis paru itu gerakan ini adalah proses pasif.
Ketika pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah, otot leher dan bahu membantu
menarik iga-iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan abdomen juga dibawa
bergerak.
f. Kebutuhan tubuh akan oksigen
Dalam banyak keadaan, termasuk yang telah disebut oksigen dapat diatur menurut
keperluan orang tergantung pada oksigen untuk hidupnya, kalau tidak mendapatkannya selam
kurang lebih 4 menit dapat mengakibatkan kerusakan pada otak yang tidak dapat perbaiki dan
biasanya pasien meninggal. Keadaan genting timbul bila misalnya seorang anak menutupi
kepala dan mukanya dengan kantong plastic menjadi lemas. Tetapi hanya penyadiaan oksigen
berkurang, maka pasien menjadi kacau pikirannya, ia menderita anoxia serebralis. Hal ini
terjadi pada orang yang bekerja dalam ruangan sempit tertutup seperti dalam ruang kapal,
oksigen yang ada mereka habiskan dan kalau mereka tidak diberi oksigen untuk bernafas atau
tidak dipindahkan ke udara yang normal, maka akan meninggal karena anoxemia. Istilah lain
adalah hypoxemia atau hipoksia. Bila oksigen didalam darah tidak mencukupi maka warna
merahnya hilang dan berubah menjadi kebiru- biruan, bibirtelingga, lengan dan kaki pasien
menjadi kebiru- biruan dan keadaan itu disebut sianosis.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asma ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya
pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas
yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan. (KNAA, 2000).
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk anak
tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional dalam pernyataan
ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi berulang dan/ atau batuk persisten
dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang
telah disingkirkan. Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini dalam
batasan operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil,
dengan ber- tambahnya umur, khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi GINA dapat digunakan.
B. Epidemiologi (Rosmarlina dkk, 2010)
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
adalah penderita asma dan diperkirakan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.
Asma dapat menyerang semua tingkat umur terjadi pada laki-laki maupun perempuan dan
paling banyak pada usia anak. Asma tersebar hampir diseluruh pelosok dunia baik di negara
maju maupun negara berkembang. Peningkatan penyakit ini disetiap negara berbeda-beda dan
terjadi peningkatan pada negara berkembang. Prevalens asma bervariasi antara 0 sampai 30
persen pada populasi yang berbeda. Penyebab peningkatan prevalens asma tidak terlepas dari
semakin kompleks dan bervariasinya faktor pencetus dan faktor yang mendasarinya.
Asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi menjadi beban kesehatan di tahun-
tahun mendatang. Asma menyebabkan kehilangan 16 persen hari sekolah pada anak-anak di
Asia, 34 persen di Eropa, dan 40 persen di Amerika Serikat. Prevalens asma anak Indonesia
cukup tinggi diketahui dari beberapa laporan penelitian anak sekolah di kota besar seperti
9
Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar.
Prevalensi pada anak Sekolah Dasar (SD) berkisar 3,7-16,4 persen dan siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) di Jakarta 5,8 persen (1994). Asma yang tidak ditangani dengan baik
dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas sebesar 30 persen
dibandingkan 5 persen pada anak non-asma dan gangguan proses belajar. Gaya hidup sehat
dapat membantu mengurangi gejala asma.
Prevalensi asma anak di daerah perkotaan biasanya lebih tinggi daripada di desa,
terlebih pada golongan sosio-ekonomi rendah dibanding sosio-ekonomi tinggi. Pola hidup di
kota besar, perkembangan industri yang pesat dan banyaknya jumlah kendaraan bermotor
menyebabkan peningkatan polusi udara. Keadaan ini meningkatkan hiperesponsif saluran
napas, rinitis alergi dan atopi akibat zat polutan dan secara tidak langsung meningkatkan risiko
terjadinya asma baik prevalens, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat
darurat) maupun mortalitasnya. Lingkungan di dalam maupun di luar rumah dapat mendukung
pencetusan asma meskipun faktor genetik merupakan faktor penting penyebab asma.
Tabel 1. Prevalensi Asma di Indonesia (Landia Setiawati, Unair)
Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya kunjungan penderita asma dibawah usia 5 tahun di
Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997 adalah 239 anak dari 8994 anak ( 2,6 %), pada tahun
2002 adalah 472 anak dari 14.926 anak ( 3,1 %) ( Data rekam medik IRD RS Dr. Soetomo
Surabaya).
C. Etiologi
10
Faktor risiko terjadinya asma :
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/
pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma, baik
lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma. (KPDI, 2003)
Faktor pejamu
1. Genetik
2. Sex
3. Obesitas
1. Genetik (KPDI, 2003)
Asma memiliki komponen genetik. Data menunjukkan bahwa banyak gen yang terlibat
di dalam patogenesis asma, dan gen yang berbeda bisa terdapat pada grup etnik yang berbeda.
Penelitian terhadap gen yang berhubungan dengan perkembangan asma difokuskan pada 4
mayor area: produksi allergen spesifik IgE antibodi (atopy), airway hyperresponsiveness
expression, produksi mediator inflamasi, dan penentuan rasio antara Th1 dan Th2 immune
response.
Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 ug/hari. Di
atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 ug/hari
agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis- adrenal) sehingga
dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan
penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di
daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di
paru.13 Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien
dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik, diperlukan terapi
alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid
hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan
Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3).
Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200
ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-
300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma,
maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid
sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR,
atau ALTR. (Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 ug/hari
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari
budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu
36
dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya.1,3,4 Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya
dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.8 Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil
yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-
hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim
hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi
hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin),
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk
menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali pada
asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap
hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu
penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
37
Tabel 6.Obat asma jangka panjang yang beredar di Indonesia (KNAA,2000))
38
Gambar 5. Alur diagnosis asma
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered
Dose Inhaler).
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
39
Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapetik yang baik. Obat
hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau
menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Tabel 7. Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur
Tabel 8. Daftar obat untuk nebulisasi
40
Tabel 9. Daftar obat steroid untuk serangan asma
I. Pencegahan (Rahajoe dkk, 2004)
Pencegahan meliputi :
1. Pencegahan primer
yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma.
Meliputi pencegahan periode prenatal dan periode postnatal. Pencegahan perinatal seperti :
menghindari makanan yang bersifat allergen pada ibu hamil dengan resiko tinggi tetapi pada
prinsipnya belum ada pencegahan primer yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan.
Sedang periode postnatal seperti : diet menghindari allergen pada ibu menyusui resiko tinggi
menurunkan resiko dermatitis atopik pada anak.
2. Pencegahan sekunder
Yaitu mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma.
Contohnya adalah pemberian anti histamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita
anak dermatitis atopik.
3. Pencegahan tersier
Yaitu untuk mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis pada
penderita yang sudah menderita asma. Contohnya menghindari allergen yang menyebabkan
tercetusnya serangan asma.
4. Prognosis
41
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45
hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan.
Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan
salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal
tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai
dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap
pada keadaan bukan flu. (Landia dkk).
42
DAFTAR PUSTAKA
Ariz, Darmawan, Serangan Asma Berat pada Asma Episodik Sering. Sari pediatri volume 5, 2004 : 171-177
Arwin, Asma pada anak. Sari Pediatri volume 4, 2002. 78-82.
Global Initiative for asthma, 2008. Global strategy for asthma management and prevention.
Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Hendra, Asma bronchial, Buku Ajar alergi imunologi anak,IDAI, Jakarta 2008Konsensus Nasional Asma Anak, Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2000.
Landia Setiawati, Makmuri, Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair, RSU Dr. Soetomo Surabaya.
N. G. Papadopoulos et all, International consensus on (ICON) pediatric asthma, Allergy, 2012.
Oemiati R, Sihombing M, Qomariah; Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit asma di Indonesia, Media Litbang Kesehatan Volume XXNomor 1, 2010
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, Asma, Perhimpunan dokter paru Indonesia, 2003.
Rahajoe. Noenoeng.dkk. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI. Jakarta : 2004
Rosamarlina, Faisal Yunus, Dianiati KS,Prevalens Asma Bronkial Berdasarkan Kuesioner ISAAC dan Perilaku Merokok pada Siswa SLTP di Daerah Industri Jakarta Timur ; Jurnal respirologi Indonesia,Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan Jakarta. 2010