REFERATJUNI 2015BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN DERMATOMIOSITIS
Oleh : Raja Nurulain Binti Raja Nahar PutraC11111838
Pembimbing :dr. Dyah Pratiwi Purnaningsih
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU
KESEHATAN KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS
HASANUDDIN2015
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Raja Nurulain Binti Raja Nahar Putra Nim:
C11111838Refarat : Diagnosis dan Penatalaksanaan
DermatomiositisUniversitas: FK UNHAS
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
Makassar, Juni 2015.
Pembimbing
dr. Dyah Pratiwi Purnaningsih
BAB 1PENDAHULUANI. DEFINISI
Dermatomiositis merupakan penyakit inflamatorik dan degeneratif
dengan angiopati di kulit, subkutis dan otot. Kelainan tersebut
mengakibatkan perasaan lemah dan atrofi pada otot, terutama di
sekitar pinggul. Beberapa tanda klinis sama dengan gejala pada
P.S.S (progressive systemic sclerosis), L.E.S. (lupus eritematous
sistemik), atau vaskulitis.3,4
II. ETIOLOGI
Penyebab dermatomiositis belum diketahui, namun disangka
penyakit auto-imun. Beberapa penyelidik memikirkan virus sebagai
penyebabnya.1,2,3
III. PATOGENESIS Dermatomiositis dikatakan berhubungan dengan
masalah genetik, di mana terdapat reaksi autoimun yang tidak normal
apabila berespon dengan agen yang terdapat di sekitarnya.
Dermatomiositis dikatakan berkembang dari beberapa fase sekuel
yaitu fase kerentanan, fase induksi, fase ekspansi dan fase
cedera.1,2
Gambar 1 : Patogenesis dermatomiositis (sumber dari buku
dermatologi Bologna)
BAB 2DIAGNOSIS Pada penyakit dermatomiositis, gejala klinisnya
bisa didapatkan dalam dua bentuk yaitu lesi kutaneus dan lesi
sistemik. Pada pemeriksaan fisis bisa didapatkan seperti
berikut:Lesi kutaneus Tanda diagnostik yang paling penting dari
erupsi kulit dari dermatomiositis adalah poikiloderma. Poikiloderma
bisa muncul pada pasien dengan dermatomiositis, ditandai dengan
warna violet dan pada pasien dengan lupus eritematosus,
poikilodermanya bewarna merah. Poikiloderma dan lupus eritematosus
terdapat lesi hiperpigmentasi, hipopigmentasi, telangiektasis dan
epidermal atrofi, dan lesi ini umumnya ada pada kedua penyakit.
Jika dokter salah mendiagnosis poikiloderma, erupsi dermatomiositis
terkadang dapat didiagnosis sebagai psoriasis, karena lesi muncul
dalam bentuk plak yang berbatas tegas pada siku dan lutut dan
ditutupi dengan sisik bewarna putih.1,2,4
Gambar 2 : Poikiloderma dan makula eritem violet1 Tanda lain
yang paling khas adalah perubahan lipatan kuku. Jika kondisi ini
tidak diamati, maka erupsi dapat didiagnosis sebagai kondisi lain
yang ditandai dengan poikiloderma, seperti limfoma sel-T kulit.
Seringkali, dokter kulit tahu akan penampakan foto distribusi
(bagian tubuh yang sering terpapar sinar matahari) namun, mereka
lebih sering meletakkan erupsi obat atau lupus eritematosus sebagai
diagnosis utama sedangkan, dermatomiositis tidak termasuk dalam
diagnosis banding.1,2
Gambar 3 : Poikiloderma disertai kelainan lipatan kuku1 Tanda
yang paling khas, dan membedakan dermatomiositis dari lupus
eritematosus, adalah warna violet dari poikiloderma dan
kecenderungan lesi terdistribusi di sekitar mata dan pada permukaan
ekstensor. Lesi kulit dari dermatomiositis sering ditemukan pada
daerah tubuh yang sering terjadi penekanan seperti pada permukaan
ekstensor, termasuk buku-buku jari. Jika penekanan dibiarkan
terjadi terus-menerus pada daerah tersebut, maka akan terjadi
likenoid sekunder yang dikenal sebagai gejala Gottron yaitu papul
Gottron, perubahan warna violet dari buku-buku jari, siku dan/atau
lutut. Pada kebanyakan pasien dermatologi yang paling umum
ditemukan adalah poikiloderma dari buku-buku jari dan wajah, dan
telangiektasis lipatan-kuku. Pruritus merupakan gejala umum dari
penyakit kulit dermatomiositis dan secara signifikan dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien.1,2,4
Gambar 4 : Makula eritem violet pada kelopak mata1
Penyakit sistemik Pasien dengan dermatomiositis biasanya hadir
dengan keluhan malaise dan kehilangan energi. Manifestasi
dermatologi mendahului timbulnya penyakit otot objektif pada
kebanyakan pasien dengan dermatomiositis. Namun, ketika penyakit
otot muncul, susah dibedakan dengan apa yang terlihat pada pasien
polymyositis. Miopati mempengaruhi kelompok otot proksimal,
terutama kelompok ekstensor (trisep dan paha depan), secara
simetris. Pada penyakit lanjut, semua kelompok otot dapat
dipengaruhi. Pasien kemudian mengeluh sering kelelahan dan tidak
dapat menyelesaikan tugas-tugas sederhana seperti menyisir rambut
atau berdiri dari posisi duduk. Pada penyakit ini didapatkan
kelompok otot yang terasa lunak saat di palpasi. Kekuatan otot
secara kelompok harus selalu dinilai pada setiap kali kontrol
(misalnya kanan dan kiri trisep 3/5, kanan dan kiri paha 4/5, dll),
meskipun terdapat metode yang lebih formal lainnya yang dinilai
menurut kuantifikasi, seperti metode menggunakan genggam menarik
gauge. Gejala disfagia harus diteliti dengan benar agar tidak salah
diagnosa dengan scleroderma.1,2 Calcinosis lebih umum terjadi pada
remaja dengan dermatomiositis dibandingkan pada orang dewasa dan
paling sering dikaitkan dengan keterlambatan dalam pemberian
kortikosteroid sistemik. Pada calcinosis kutis, deposit mungkin
terjadi pada fascia yang dalam dan di jaringan ikat otot. Lesi yang
muncul bisa bersifat keras, nodul irreguler, yang pada suatu saat
akan mengeluarkan cairan berwarna putih kapur ke permukaan melalui
fistula. Calcinosis kutis sering terjadi pada daerah yang rentan
trauma seperti siku, lutut dan jari-jari, tetapi dapat terjadi di
mana saja. Lesi mungkin menyakitkan dan sulit kembali ke fungsi
normal.1,2 Penyakit paru terjadi pada sekitar 15-30% pasien dengan
dermatomiositis, dan umumnya muncul sebagai fibrosis interstitial
difus yang mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan rheumatoid
arthritis atau scleroderma. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa
penyakit paru-paru mungkin ada dalam sebanyak 65% dari pasien.1,2
Penyakit jantung umumnya tidak bergejala. Apabila terjadi, biasanya
muncul sebagai gangguan irama atau cacat konduksi. Pasien dengan
dermatomiositis sering tidak dievaluasi secara menyeluruh untuk
penyakit jantung dan pengobatan yang tepat dari penyakit otot dapat
menutupi frekuensi penyakit jantung yang sebenarnya ada pada pasien
ini. Namun, pada pasien dengan kadar serum sangat tinggi kreatinin
kinase (CK), sebuah MB band yang tinggi dapat dilihat tanpa adanya
penyakit jantung. Dalam review retrospektif baru-baru ini,
keterlibatan jantung terbukti menjadi faktor prognostik utama
kematian pada pasien dengan dermatomiositis (tidak terkait dengan
keganasan).1,2 Untuk pasien dengan dermatomiositis, review sistem
harus mencakup diskusi tentang arthritis, penyakit ginjal, penyakit
gastrointestinal, dan manifestasi lain seperti neuropati dan
fenomena Raynaud. Kehadiran mereka menunjukkan tumpang tindih
dengan penyakit jaringan ikat lainnya, khususnya, lupus
eritematosus sistemik, rheumatoid arthritis dan scleroderma.1,2
Keganasan Jumlah yang dilaporkan tentang keganasan internal dewasa
dengan dermatomiositis bervariasi dari kurang dari 10% hingga 50%.
Keganasan genitourinari, terutama kanker ovarium, dan kanker usus
besar mungkin lebih banyak. Keganasan lain yang sering terlihat
meliputi payudara, paru-paru, lambung, pankreas, limfoma (termasuk
non-Hodgkin) dan kanker kelamin perempuan lainnya. Risiko keganasan
dapat kembali normal setelah 2-3 tahun. Callen telah menyarankan
bahwa pendekatan terbaik untuk manajemen pasien dengan penyakit ini
adalah kewaspadaan lanjut dengan evaluasi laboratorium yang rinci,
pemeriksaan fisik dan tes skrining laboratorium.1,2Pemeriksaan
Penunjang1- Pemeriksaan enzim otot2Peningkatan kreatinin kinase
dalam serum adalah penanda yang paling spesifik sebagai indikator
laboratorium pada penyakit yang berkaitan dengan masalah otot. Hal
ini bisa ditemukan pada hampir 90% pasien yang terdiagnosa dengan
IIDM, Peningkatan kreatinin kinase dalam serum bisa terjadi sebelum
munculnya kelemahan otot dan bisa kembali normal beberapa minggu
setelah perawatan. 2- Pemeriksaan auto-antibodi2Peningkatan level
antibodi antinuklear dengan substrat sel tumor bisa ditemukan pada
60% sehingga 80% pasien dermatomiositis.
3- Elektromiografi2Pemeriksaan ini membantu untuk melihat pola
aksi potensial pada otot jika terdapat kelainan. Namun, terdapat
10% dari pasien yang terbukti sebagai penderita dermatomiositis
melalui biopsi, bisa mendapatkan hasil EMG normal.
4- Biopsi otot2,5Pada penderita dermatomiositis, sering
didapatkan serat otot yang berdegenerasi serta terdapat kecederaan
kapiler. Infiltrat yang mengandungi limfosit T dan histiosit, dan
seterusnya limfosit B, sel plasma dan eosinophil dapat dilihat di
daerah perivaskuler.
5- Foto otot2MRI adalah suatu pemeriksaan yang dapat membantu
untuk melihat kelainan otot atau inflamasi pada otot yang
dihasilkan dalam bentuk foto. Namun, pemeriksaan ini hanya sebagai
tambahan untuk pemeriksaan lain dalam menunjang diagnosa
dermatomiositits.
Diagnosa diferensial
Pada fase awal, dermatomiositis tipe lesi di kulit sering diduga
dermatitis kontak, dermatitis seboroik, liken planus, psoriasis,
erupsi plimorfik, dan dermatitis atopi. Dalam fase lanjutan,
apabila manifestasi kulit pada dermatomositis semakin memberat,
susah untuk dibedakan dengan lesi kulit pada penyakit lupus
eritematous. Untuk membedakan penyakit dermatomositis dan lupus
eritematous, bias dlihat dalam tabeldi bawah ini :
DermatomiositisLupus eritematosus
Distribusi Wajah Malar Alis mata, areapreorbitalKulit
kepalaMukosa mulutLengan ektensorTangan Bagian dorsal Bagian
telapak tanganJari dorsalBuku jariTelangiektasis
++++++++
++++++++
+++++++++
+++++++
Warna lesi kulit Violet Merah, pink+++++
Alopesia+++
Hiperkeratosis+++
Papul Gottron++0
Pruritus+++
Patologi Mucinosis dermal Infiltrat sel mononuclear+++++++
Immunpatologi Immunoglobulin taut epidermal, band komplemen
Deposit C5-C9 microvessel dermal+
++++
+
Hasil laboratorium Antibodi antinuclear Anti-Ro/SSA DNA
antinative Anti-SM Peningkatan LED+++00+++++++++++
Assosias malignans++0
BAB 3 PENATALAKSANAAN Sebuah tangga terapi untuk pengobatan
pasien dengan dermatomiositis diringkas dalam table di bawah ini2,3
:TANGGA TERAPI PENGOBATAN DERMATOMIOSITIS
Terapi sistemik
Prednisone oral:1 mg/kg diuras sampai 50% dalam waktu 6 bulan
dan sampai 0 dalam waktu 23 tahun, bisa dalam bentuk dosis denyut,
dosis terbagi atau dosis berseling
Methotrexate:7.5-50mg/minggu
Azathioprine:23 mg/kg/hari
Lain-lain:Intravenous Immunoglobulin dosis tinggi (2
g/kg/bulan)
Pulse cyclophosphamide (0.51.0 g/m2 bulanan)
Chlorambucil (4 mg/hari)
Cyclosporine (35 mg/kg/hari)
Tacrolimus (0.12 mg/kg/hari)
Mycophenolate mofetil (1 g dua kali sehari)
Sirolimus (5 mg/hari 2 minggu, 2 mg/day 2 minggu, then 1
mg/hari)
Infliximab (510 mg/kg 4 kali sehari, permulaan 2 minggu)
Rituximab (375 mg/m2/infus selama 4 minggu)
Plasmapheresis
Lesi kutaneus
Tabir surya (faktor perlindungan matahari tinggi termasuk
perlindungan terhadap UVA) Kortikosteroid topikal
Hydroxychloroquine (bid 200 mg; peningkatan frekuensi letusan obat
pada pasien dengan dermatomiositis) Hydroxychloroquine (
3.5mg/kg/hari atau bid 200 mg) ditambah quinacrine (100 mg / hari)
Dosis rendah methotrexate mingguan (5-15 mg mingguan) Retinoid
Tacrolimus topikal
Lain-lain:Mycophenolate mofetil Dapsone Thalidomide
Pengobatan dermatomiositis harus memperhitungkan kejanggalan
antara respon dari penyakit otot dan penyakit dermatologi untuk
terapi sistemik. Dalam mencari keterlibatan otot harus teliti
bahkan pada pasien dengan enzim otot serum normal. Dua tes objektif
positif yang menunjukkan penyakit otot (misalnya EMG dan otot
biopsi, atau salah satu dari ini ditambah MRI atau USG otot) harus
memicu inisiasi terapi kortikosteroid sistemik dalam dosis yang
bertujuan mengendalikan penyakit otot (yaitu umumnya 1 mg / kg).
Pasien dengan manifestasi dermatologi saja dapat dirawat seperti
yang dijelaskan di bawah, dan perlu dilakukan pemeriksaan otot
klinis dan enzim screening (yaitu umumnya CK dan aldolase) berulang
pada interval 2-3 bulan. Jika penyakit otot dikonfirmasi, terapi
kortikosteroid sistemik harus dimulai. Jika kadar CK dan aldolase
serum meningkat minimal dan terapi kortikosteroid dimulai awal,
penyakit ini umumnya berada di bawah kendali pesat selama 2-4
minggu dan kortikosteroid dapat digunakan sebagai monoterapi dengan
dosis tapering setengah dosis awal selama 6 bulan. Jika penyakit
ini maju dan tingkat enzim yang tinggi (misalnya CK> 1000u / l),
penyakit ini dapat menjadi jauh lebih sulit untuk dikontrol,
sehingga membutuhkan prednison dengan dosis denyut, atau prednisone
split-dosis dengan dosis di atas 1 mg / kg, dan/atau inisiasi dari
steroid-sparing agent seperti methotrexate dosis rendah setiap
minggu. Sekali lagi, dilakukan usaha untuk tapering prednisone
kepada 0,5 mg/kg dalam dosis tunggal setap pagi selama 6-8 bulan.
Memperhatikan prinsip-prinsip pemeliharaan kesehatan umum dan
pencegahan osteoporosis adalah elemen kunci dari manajemen pasien.
Hal ini dapat dicapai dengan perawatan bersama dengan internis atau
dokter anak. Orang dewasa juga perlu sering melakukan pemeriksaan
fisis lengkap (misalnya setiap 4-6 bulan selama minimal 2 tahun)
untuk monitor keganasan. Sebagian besar pasien dapat bebas penyakit
dan bebas obat setelah 24-48 bulan, meskipun beberapa pasien
mengalami kekambuhan lambat.2 Ada dukungan terakhir untuk terapi
steroid-sparing (terutama dalam pengaturan penyakit parah atau
membandel), termasuk IVIg, methotrexate, klorambusil, pulsa
siklofosfamid, siklosporin (juga untuk paru-paru Penyakit),
fludarabine, mycophenolate mofetil, tacrolimus, siroliumus,
infliximab dan rituximab. Terapi fisik ajuvan juga sangat
penting.2
KESIMPULAN Dermatomiositis merupakan penyakit autoimun yang
dimanifestasikan oleh proksimal simetris, ekstensor, miopati
inflamasi dan letusan kulit yang khas. Meskipun etiologi
dermatomiositis masih belum diketahui, ada bukti untuk mendukung
patogenesis berdasarkan kerusakan otot limfosit-dimediasi dan lesi
kulit yang dihasilkan dari reaksi apoptosis. Kedua dermatomiositis
dan polymyositis dapat terjadi dalam hubungan dengan penyakit
jaringan ikat autoimun lainnya, termasuk tumpang tindih sindrom
dengan lupus eritematosus, scleroderma, sindrom Sjgren, rheumatoid
arthritis, dan penyakit jaringan ikat campuran. Dermatomiositis
ditandai dengan distribusi usia bimodal, sampai dengan seperempat
dari pasien dalam kelompok dewasa memiliki okultisme keganasan
terkait. Pengobatan dermatomiositis membutuhkan 1 mg / dosis kg
kortikosteroid sistemik dengan penurunan (tapering) yang lebih
lambat berbanding dalam pengobatan lupus eritematosus sistemik.
Jika pendekatan ini digunakan, sebanyak tiga perempat dari pasien
dapat memasuki masa bebas penyakit klinis tanpa obat, biasanya
dalam 2-3 tahun. Pendekatan terapi ini mirip dengan yang digunakan
untuk mengobati penyakit seperti pemfigoid bulosa dan pemfigus
vulgaris.
DAFTAR PUSTAKA1. Francisco G. Bravo RA, Daniel Asz Sigall.
Fitzpatrick Dermatology in General Medicine. 8 ed. Wolff K GL, Katz
SI, Gilchrest BA, PallerAS, Leffel DJ, editor. USA: McGraw-Hill;
2012. p.1291-1300.
2. Jean L Bolognia JLJ, Ronald P Rapini. Bologna Dermatology. 2
ed. Jeffrey P Callen TDH, Anthony J Mancini, Stuart J Salasche,
Julie V Schaffer, Thomas Schwartz, Georg Stingl, Mary Seabury,
editor. United State: Elsevier; 2008.
3. Prof. DR. Adhi Djuanda DAK, Dr. Benny E. Wiryadi, Dr. E.C.
Natahusada, Dr. Emmy Sjamsoe-Daili, Dr. Evita Halim Effendi et al.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3 ed: Balai Penerbit FKUI;
2002.p.235-6
4. David Fiorentino LC, Jeff Zwerner, Antony Rosen, Livia
Casciola-Rosen. The mucocutaneous and systemic phenotype of
dermatomyositis patients with antibodies to MDA5 (CADM-140) : A
retrospective study. American Academy of Dermatology. 2010.5. Kyu
Dong Jun PSK, Hae Young Park, Cho Rok Kim, Ji Yeon Byun, Dong Youn
Lee, Joo Heung Lee, Jun Mo Yang, Eil Soo Lee. Dermatomyositis
associated with generalized subcutaneous edema and Evans syndrome.
American Academy of Dermatology. 2009
6. Mary E. Zieglschmid Adams AGP, Stanley B. Cohen, Richard D.
Sontheimer. Treatment of dermatomyositis with methotrexate.
American Academy of Dermatology. 1995.