Top Banner
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA FAKULTAS KEDOKTERAN Referat Karsinoma Nasofaring Pembimbing : Dr. Benhard Sp.THT Disusun Oleh : Rosy Remalya Tambunan 112014256 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER Periode 8 Juni 2015 s/d 11 juli 2015
40

Refer At

Dec 10, 2015

Download

Documents

referat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Refer At

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Referat

Karsinoma Nasofaring

Pembimbing :

Dr. Benhard Sp.THT

Disusun Oleh :

Rosy Remalya Tambunan 112014256

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER

Periode 8 Juni 2015 s/d 11 juli 2015

Page 2: Refer At

Pendahuluan

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak di

temukan di Indonesia. Dibandingkan keganasan di daerah kepala dan leher umumnya, KNF

mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke

kelenjar limfe leher dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang. KNF banyak diketemukan

pada ras Mongoloid. Insiden tertinggi penyakit ini didapatkan di Negara Cina bagian selatan

terutama di propinsi Guangdong, Guangxi dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran

Cina di Asia Tenggara (Hongkong, Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang

lebih rendah dibandingkan dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di

Greenland, penduduk yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.

Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50

tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Angka perbandingan (rasio)

laki-laki dan perempuan pada karsinoma nasofaring adalah 3:1. Radioterapi merupakan terapi

utama untuk karsinoma nasofaring yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan

diharapkan dapat memperbaiki kuailitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup

penderita.1,2

Definisi

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di

jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung.

Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai

dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati

pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi

nasofaring. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.3

Epidemiologi

Epidemiologi karsinoma nasofaring sangat unik, yaitu sangat jarang ditemukan pada

populasi Eropa, namun banyak ditemukan di China (terutama China bagian selatan), Asia

Tenggara, dan Afrika. Insiden tertinggi penyakit ini didapatkan di Negara Cina bagian selatan

terutama di propinsi Guangdong, Guangxi dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran

Cina di Asia Tenggara (Hongkong, Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang

lebih rendah dibandingkan dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di

Page 3: Refer At

Greenland, penduduk yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.

Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50

tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Di Indonesia angka insidens

KNF sebesar 4,7/100.000 penduduk pertahun dengan perbandingan antara pria dan wanita

sebesar 3:1. Di Indonesia hampir 80% penderita KNF terdiagnosis pada usia produktif 30-59

tahun, dengan kecenderungan peningkatan insidensi dengan bertambahnya umur. Insidensi di

Makassar propinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2004-Juni 2007, didapatkan 33% dari

keganasan di bagian telinga, hidung dan tenggorok.1,4

Etiologi

Meskipun penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan

diberbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang

penyebab pasti belum diketahui. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga

akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Keganasan ini

berhubungan dengan infeksi EBV (Epstein Barr Virus) karena titer anti EBV yang lebih

tinggi didapatkan pada hampir semua pasien. Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi

ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat

masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam

jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Sebagai

contoh, kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa

kanak kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga

menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya

karsinoma nasofaring ialah:1

1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan

mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan atau makanan yang

diawetkan di Greenland juga pada ”Quadid” yaitu daging kambing yang dikeringkan

di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta taoco di Cina.

2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan

bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina,

Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus. KNF di Hongkong, pembakaran

dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen yaitu zat yang dapat

menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon

Page 4: Refer At

dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak

tumbuhan-tumbuhan.

4. Ras dan keturunan. Kejadian KNF lebih tinggi ditemukan pada keturunan Mongoloid

dibandingkan ras lainnya. Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara

asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk

yang banyak terkena.

5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa

nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

Anatomi

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral.

Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus

basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra

servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan

orofaring.1

Batas nasofaring:

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat

subjektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

- Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

- Muara tuba eustachii

- Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal

inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius

terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu

lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.

Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara

tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral

nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina laringobasilaris dari fasia

Page 5: Refer At

faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago

yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.

Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari

tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila

paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-

kata tertentu. Struktur penting yang ada di nasopharing adalah ostium faringeum tuba

auditiva muara dari tuba auditiva, torus tubarius yaitu penonjolan di atas ostium faringeum

tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva, torus levatorius yaitu

penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus

levator veli palatini, plica salpingopalatina yaitu lipatan di depan torus tubarius, plica

salpingopharingea yaitu lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari

musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba

auditiva terutama ketika menguap atau menelan, recessus pharingeus disebut juga fossa

rossenmuller yang merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring. tonsila pharingea

yang terletak di bagian superior nasopharynx disebut adenoid jika ada pembesaran,

sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. Selain itu juga ada tonsila tuba yang

terdapat pada recessus pharingeus, isthmus pharingeus yang merupakan suatu penyempitan di

antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing dan muskulus

constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei.1,4

Histologi

Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun

kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing

squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi

membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan

limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang

limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous

dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.1

Patofisiologi

Infeksi laten EBV sangat penting dalam perkembangan menuju displasia yang berat

pada KNF. Seperti yang ditemukan pada keganasan umumnya, terdapat beberapa tahap

Page 6: Refer At

gambaran histologi yang mencerminkan perubahan genetik pada KNF. Displasia merupakan

lesi awal yang dapat terdeksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen

lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3 dan 9

yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama p14, p15, dan p16.

Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan namun terdapat hubungan antara konsumsi ikan

asin pada masyarakat Cina dan makanan asin lain dengan perkembangan KNF. Area displasia

ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang

progresif. Pada stadium laten ini, infeksi EBV dapat mengacu pada perkembangan displasia

yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada

11q, 13q dan 16q dapat memicu terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan

dengan mutasi p53 dan ekspresi cadherin yang menyimpang.1

Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan mikroskopis

Secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan menjadi 3 bentuk:1

a. Ulseratif

Biasanya berupa lesi kecil disertai jaringan nekrotik. Terbanyak dijumpai di dinding

posterior nasofaring atau fossa Rossenmuller yang lebih dalam dan sebagian kecil dinding

lateral. Tipe ini sering tumbuh progresif infiltatif, meluas pada bagian lateral, atap nasofaring

dan tulang basis kranium. Lesi ini juga sering merusak foramen laserum dan meluas pada

fossa serebralis media melibatkan beberapa saraf kranial (II.III,IV,V,VI) yang menimbulkan

kelainan neurologik.

b. Nodular

Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-kadang

terjadi ulserasi kecil. Lesi terbanyak muncul di area tuba eustachius sehingga menyebabkan

sumbatan tuba. Tumor dapat meluas pada retrospenoidal dan tumbuh disekitar saraf kranial

namun tidak menimbulkan gangguan neurologik. Pada stadium lanjut tumor dapat meluas

pada fossa serebralis media dan merusak basis kranium atau meluas ke daerah orbita melalui

fossa orbitalis inferior dan dapat menginvasi sinus maksilaris melalui tulang ethmoid.

c. Eksofitik

Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang bertangkai

dan permukaan licin. Tumor muncul dari bagian atap, mengisi kavum nasi dan menimbulkan

penyumbatan hidung. Tumor ini mudah nekrosis dan berdarah sehingga menyebabkan

epistaksis. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksilaris dan rongga orbita sehingga

menyebabkan eksoftalmus unilateral. Tipe ini jarang melibatkan saraf kranial.

Page 7: Refer At

Secara mikroskopis:1

a. Perubahan pra keganasan

Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang tumbuh

menjadi ganas secara perlahan. Penelitian yang dilakukan Teoh (1957) mendapatkan bahwa

metaplasia skuamosa merupakan keadaan yang paling bermakna untuk terjadinya KNF.

Ditemukan juga adanya hiperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah

keganasan. Dari berbagai penelitian diatas menyokong bahwa metaplasia dan hiperplasia

nasofaring merupakan perubahan pra keganasan dari karsinoma nasofaring.

b. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring

Radang akut dan kronis sering dijumpai pada mukosa nasofaring. Bentuk perubahan

ini biasanya dihubungkan dengan tukak mukosa yang mengandung sejumlah leukosit PMN,

sel plasma dan eosinofil. Pada peradangan kronis akan dijumpai limfosit dan jaringan

fibrosis. Ada anggapan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara proses regenerasi

pada ulserasi epitel nasofaring dengan perubahan metaplasia dan displasia dari epitel tersebut.

Hiperplasia yang sering terlihat pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya maupun

pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan proses radang.

Sedang hiperplasia jaringan limfoid dapat terjadi dengan atau tanpa proses radang.

Metaplasia sering terlihat pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan kearah epitel

skuamosa bertingkat. Ditemukan bahwa neoplasia mulai tumbuh di bagian basal lapisan sel

epitel. Lapisan basal ini yang mulanya sangat kecil akan bertambah besar, jumlah sel

bertambah banyak dan bentuknya akan menjadi bulat atau pleomorfik.

Gejala Klinis

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan

pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini

KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.1,2,5

Gejala telinga :

1. Sumbatan tuba eutachius/kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa

berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini

merupakan gejala yang sangat dini.

2. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani. Keadaan ini merupakan

kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga

Page 8: Refer At

tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga

akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran.

Gejala hidung:

1. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi

perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya

sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan.

2. Sumbatan hidung

Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga

hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan

gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan

merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa,

misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang

sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi

pada stadium dini.

Gejala lanjutan:

Pembesaran kelenjar limfe leher, tidak semua benjolan leher menandakan penyakit

ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan

tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya

sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan

mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan.

Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan

gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Gejala akibat perluasan tumor ke

jaringan sekitar, karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui

foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak

ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang

lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen

jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut

dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.

Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian,

biasanya prognosisnya buruk. Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah,

Page 9: Refer At

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis

jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu stadium

dengan prognosis sangat buruk.

Pemeriksaan Penunjang1

1. Pemeriksaan radiologi konvensional. Pada foto tengkorak potongan anteroposterior

dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto

dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.

2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang paling

dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini

terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.

3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.

4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr

(EBV) yaitu IgA anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan IgA anti EA (Early Antigen).

5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring belum

jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis karsinoma

nasofaring.

6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.

Diagnosis

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol

dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:1,5

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF).

Pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan

cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta

fibernasofaringoskopi15.Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa

dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau

massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada

nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi.

Manifestasi klinis

Page 10: Refer At

Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan

jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring.

Tabel 1 Formula Digsby

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring

Gejala khas di hidung

Gejala khas pendengaran

Sakit kepala unilateral atau bilateral

Gangguan neurologik saraf kranial

Eksoftalmus

Limfadenopati leher

25

15

15

5

5

5

25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi

tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga

menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan

pengobatan dan prognosis.6

Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan

diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila

dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy

dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring

umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam

biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring

kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui

hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-

sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya,

sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah

Page 11: Refer At

nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai

nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan

pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

Sitologi dan histopatologi

Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous

cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2)

Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas

(pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan

syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang

menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi

WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell

carcinoma, Non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan

undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi

mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi

tidak begitu radiosensitif.1,5

Sitologi1

Squamous Cell Carcinoma

Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan

khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti

lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara

inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih

padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan

nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat

dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak

terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma

pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi

tersebut sebagai squamous cell carcinoma.

Undifferentiated Carcinoma

Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa

kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan

khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang

Page 12: Refer At

sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. 19,20,21 Dijumpai gambaran mikroskopis yang

sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada kelenjar getah bening

regional.

Histopatologi1

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan

bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya.5,13 Dijumpai adanya diferensiasi dari sel

squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.2,6 Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-

pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang

limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal

dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada

bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan

keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma

memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.2,12 Sel-sel menunjukkan

batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.

Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma

lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.

Undifferentiated Carcinoma

Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan

batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel

tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.

Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga

sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,

eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).

Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang

terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan

ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik

tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large

cell malignant lymphoma. Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan

antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma

Page 13: Refer At

nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu,

dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya

pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik

atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau

spindle.

Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell

carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.

Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan

sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa

kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau

invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas.

Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk

mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T

Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa

tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan

dilakukan.1

Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan neurologis

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.1

Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)

untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.

Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium

Page 14: Refer At

lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan

titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya

100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk

menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan

terbanyak 160.1

Diagnosis Banding

Hiperplasia adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak

hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa

jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta

struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak pada

karsinoma.7,8

Angiofibroma juvenilis

Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.

Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan

didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti

pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja

karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang

sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka

arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik.

Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto

polos.8

Tumor sinus sphenooidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor

sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.8

Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai

keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring ke arah

medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.8

Page 15: Refer At

Tumor kelenjar parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam

mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar

kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan

C.T.Scan.7,8

Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun

sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya.

Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat

membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena chordoma

umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering

bermetastasis ke kelenjar getah bening.7,8

Meningioma basis kranii

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai KNF

dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup

karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi

sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga

sangat membantu diagnosis tumor ini.7,8

Stadium

Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union

Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :1

T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.

T0 : Tidak tampak tumor

T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring

T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring

T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring

T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

Page 16: Refer At

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan

N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah

melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0

T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV : T4 N0,N1 M0

Tiap T, N2,N3 M0

Tiap T, Tiap N, M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari

nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :

Tis : Carcinoma in situ

T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat

dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan

dinding lateral.

T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial

(atau keduanya).

Prognosis

Page 17: Refer At

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis

yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi

karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara

keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa

faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

Komplikasi1

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang

selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang

bermanifestasi dalam bentuk :

Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus

menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri

pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang

terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke

sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan

retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,

N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta

gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

Page 18: Refer At

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai

gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum

mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan

fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini

merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa

karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-

masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.7

Penatalaksanaan

Radioterapi2,6

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,

karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi

dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan

akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan

ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul

ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam

kromosom, sehingga dapat terjadi :

1. Rantai ganda DNA pecah

2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA

3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari

sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap

rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.

Page 19: Refer At

Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya

sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel

kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.

Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal

serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah

bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran

kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga

nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer

tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini

diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi

masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi

pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada

daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang

disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan

dibeberapa negara maju.

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose

Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa

khromosom “ ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan

aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi

granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.

Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis

merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya

yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.

Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral

kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu

penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih

terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai

4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .

Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh

antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap

dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi

sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula.

Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik

dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan

Page 20: Refer At

dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan

penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan

supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah

leher tengah.

Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat

tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.

Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.

Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh

yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring

tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.

Tujuan radioterapi

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis

jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total

radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per

minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan

penyinaran supraklavikular dikeluarkan.6

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi

untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan

lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.6

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x

dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000 cGy

penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian

respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada

tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi

untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan

pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular

cukup sampai 4000 cGy.6

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara

bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB

Page 21: Refer At

leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan

menggunakan radioisotop Cobalt60.6

Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.

Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO:

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih

Komplikasi radiasi

a) Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

- Anoreksia

- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar

parotis yang terkena radiasi)

- Eritema

b) Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Penurunan pendengaran

- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama

pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan

sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien

mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi

keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya

Page 22: Refer At

bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis

diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi

local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,

anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.

Kemoterapi1,2

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh.

Indikasi kemoterapi

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila

setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan

metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi

menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului

pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan

dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi)

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang

membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro

intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang

memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan

rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel

rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel

kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi

oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.

Page 23: Refer At

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,

yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.

Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal

hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping

pemberian kemoterapi. Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan

dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan

survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Manfaat kemoterapi

Manfaat pemberian kemoterapi adjuvan antara lain :

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil

terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan

radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa

tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap

radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar

radiasi. Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum

radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed

tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,

kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal

mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan

overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.

Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat

mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Secara

sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA

akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi

sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or

concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.

Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi

Page 24: Refer At

dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.

Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,

membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel

kanker yang sublethal.

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,

leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan

sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat

fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan

radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak

diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal

pemberian. Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi

tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan

sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering

digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

Operasi2

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal

dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi

paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring

yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

Imunoterapi2

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus

Epstein-Barr (EBV), maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi,

yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu

proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh

pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi

imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum

dapat digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

Pencegahan

Page 25: Refer At

Edukasi pada pasien mengenai kebiasaan hidup yang baik misalnya makan buah dan

sayuran setiap hari, mengurangi daging dagingan dan olahraga rutin. Mengubah cara

mengolah makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang

berbahaya misalnya tidak mengolah makanan dengan cara dibakar atau digoreng

melainkan diganti dengan dikukus atau direbus.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang

akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.

Kesimpulan

Karsinoma Nasofaring kini menjadi keganasan nomor 1 di bidang THT. Saat ini

Karsinoma Nasofaring juga tidak hanya menyerang usia dewasa muda, tetapi anak-anakpun

sudah mulai terserang penyakit ini. Deteksi dini akan karsinoma nasofaring serta penyuluhan

guna meningkatkan kewaspadaan publik akan penyakit ini diyakini akan membantu

menurunkan jumlah penderita penyakit ini.

Daftar Pustaka

1. Firdaus MA, Prijadi J. Kemoterapi neoadjuvan pada karsinoma nasofaring. Padang:

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas. 2011.

2. Kentjono WA. Perkembangan terkini penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Majalah

Kedokteran Tropis Indonesia 2013; 14(2)

3. Rasyid A. Karsinoma nasofaring penatalaksanaan radioterapi. Maj Kedokt Indon.

2011; 60(12)

4. Savitri E, Haryana SM. Hubungan kadar IL-8 dan IL-10 yang berpengaruh terhadap

progresifitas karsinoma nasofaring. ORLI 2014; 44(1)

5. Adham M, Rohdiana D, Mayangsari ID, Musa Z. Delayed diagnosis of

nasopharyngeal carcinoma in a patient with early signs of unilateral ear disorder. Med

J Indones February 2014; 23(1)

Page 26: Refer At

6. Hariwiyanto B, Indrasari SR, Herdini C, Tan IB. Photodynamic Therapy As an

Adjuvant Therapy for Local-Partial Remission of Nasopharyngeal Carcinoma After

Standard Therapy in Sardjito Hospital Yogyakarta A Five-Year-Overall Survival Rate

Analysis Study. M Med Indones. 2012.

7. Cottrill CP, Nutting CM. Tumours of The Nasopharynx. United Kingdom: Martin-

Dunitz. 2003.

8. McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC. The Aetiology of Nasopharyngeal

Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Ed. 2001.