BAGIAN NEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN Referat :UNIVERSITAS
HASANUDDINDesember 2013
TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL
Disusun Oleh :MohdAfiq b. Husin C11109839Ahmad Badrul Amin
C11109827NurHidayahbintiAbdRahim C11109850NurulRaihanAbdKadir
C11109856
Pembimbingdr. Citra DewiSupervisordr.Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S,
FINS
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN
NEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2013
I. PENDAHULUANToksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi
opportunistik biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan
merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral pada
pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii juga dapat menimbulkan radang
pada kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru,mata, dan selaput
otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan
kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang
masak.Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun
jika tidak dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini
disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit
parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini
merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat
intraseseluler yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan
merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada
pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya
bersifat laten dan dormant asimptomatik pada individu baik dengan
imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih
cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi
organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah
100sel/L atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/L tetapi
ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau malignansi.
Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS
umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa
membahayakan jiwa jika diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit
ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara
berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi.(1) Faktor
resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV
termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan
gejala klinis dan terlibatnya struktur otak, menyebabkan kasus ini
menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]
Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.II.
EPIDEMIOLOGIPrevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai
daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda di daerah
rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah
tropik.Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif
meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari
makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung
tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran secara mekanis
dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting
dalam penyebarannya.[9]
Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah
sebagai berikut: kucing 35-73 %, babi 11-36 %, kambing 11-61 %
anjing 75 % ternak lain kurang dari 10 % .[9]
III. ETIOLOGIToksoplasmosis disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat
ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang
pada daging mentah atau kurang matang. Apabila parasit masuk ke
dalam sistem kekebalan, ia menetap di dalam tubuh tetapi sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut
hingga tuntas dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada manusia
terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah
yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga
dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses
kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental,
transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik
dengan predileksi di otak.[6]
Gambar 1 : Siklus Hidup ToxoplasmosisSiklus Hidup dan Morfologi
ToxoplasmosisToxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk
trofozoit, kista, dan Ookista:
Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi
semua sel mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam
jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis
tachyzoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut
bradizoit.[6]
Gambar 2: Tachyzoit
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan
jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi
dan paling banyak terdapatdalam otot rangka, otot jantung dan
susunan syaraf pusat.[6]
Gambar 3 : Kista
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12
um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan
bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung
siklusa seksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan
sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali
ekskresiakan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan
oleh pejamu perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing
maka pada berbagai jaringan pejamu perantara akan dibentuk
kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada pejamu
perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium
istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung
kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus
kucing tersebut.[6]
Gambar4:Ookista
IV. PATOMEKANISMEPenularan pada manusia dimulai dengan
tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel
epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara
berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau
limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu
mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang
hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina.Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi
laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan
predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan
invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8]
Ookista (Daging mentah)
Tachyzoit (usus)
ImmunocompromizedreaktivasiImune ResponBradyzoit (otak,
skeletal, myocard, retina)Darah & Limfe
Gambar5 :Patogenesis Toxoplasmosis
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat
menjadi prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV
secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit
T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga
mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, selmakrofag, sel
folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel
langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekat
anvirus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel
dengan meningkatkan tingkat apoptosispada sel yangterinfeksi.
Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak
pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainan pada saraf.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh
pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem
saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme
bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4;
kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas
Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro
dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT
gondii.[10][16]
ekspresi CD154Aktivasi CD4 sel TTachyzoit
sel dendritik dan makrofag
IL-12
Sel TINF-y
Respon antitoxoplasmik
Gambar5 :ResponImun
V. GAMBARAN KLINIS Gejala toksoplasmosis serebral tidak bersifat
spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain
seperti limfoma, tuberkulosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis
dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala
yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.Apabila
menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri
otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe
servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi
berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi,
nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis,
delirium dan dapat terjadi kejang.[4]Gejala-gejala klinis pada
toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang
terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala
klinis pada toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis
didapat.Gejala ensefalitis toksoplasma atau dikenali sebagai
toksoplasma otak termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat
yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi
tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah
penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi.
Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
karena adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Pasien dengan sistem imunnya menurun, gejala-gejala
fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]Toksoplasmosis serebral
sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik.
Walau bagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai
kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan bicara
sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak
bisa menghasilkan lesi saraf kranial dan pasien akan menunjukkan
disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah
atau koma. Penglibatan medula spinalis akan menghasilkan gangguan
motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung
kemih atau kesakitan fokal.[4]
VI. DIAGNOSISDiagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
serologi, biopsi jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau
darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek
toksoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed
Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya
digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk
toksoplasmosis serebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk
pasien yang gagal dengan terapi empirik.[1][13]Pada pemeriksaan
serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan
Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di
Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect
fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM
hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.[13][15]
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis
toksoplasmosis serebral dan tidak dilakukan secara rutin karena
resiko dapat meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan
pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan
dan elevasi protein.[1]
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA
T gondii dapat berguna untuk diagnosis toksooplasmosis. PCR untuk T
gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan
vitreus atau aqueous humor dari penderita toksopasmosis yang
terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak
berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan
lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai
sensitifitas yang rendah untuk diagnosis pada penderita
AIDS.[1][11]
Toksoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii
dari kultur cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi
diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan hasil
kultur. Diagnosis pasti dari toksoplasmosis adalah dengan biopsi
otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering
biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi parasit dapat
dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan
kultur sel dari hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh.
Pasien dengan toksoplasmosis serebral ditemukan histopatologi
tachyzoit pada jaringan otak.[1][15]
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis
cerebral, CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak
bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan beberapa lesi
hipodens terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary
junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga
kadang-kadang muncul pada penderita toksoplasmosis serebral.
Karakteristik toksoplasmosis serebral adalah asimetris, yang
memberi gambaran abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan
tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang
mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun , CT Scan
ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan
sekitarnya.[14] Pada T1 weighted MRI , toksoplasma memprelihatkn
lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung dengan sisa dari
jaringan otak . Pada T2 weighted MRI , lesi biasanya dengan
intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk
mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toksoplasmosis
karena lebih sensitif dari CT Scan untuk mendeteksi beberapa
lesi.[1][15]Diagnosis toksoplasmosis serebral biasanya ditegakkan
pada penderita HIV dengan CD4 T sel yang kurang dari 100sel/mm3.
Terapi empirik diberikan pada penderita HIV dengan gambaran lesi
hipodens multipel, Titer antibodi IgG terhadap T. gondii positif
dan pada pasien dengan immunodefisiensi; seperti pada penderita HIV
dengan jumlah CD4 T sel 200 sel/mm3.[12][13]
Algoritma diagnosis toksoplamosis serebral
VII. PENATALAKSANAANTerapi utama pada toxoplasmosis serebral
akut ialah pirimetamin (obat anti malaria) dan sulfadiazine.
Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin (antibiotik) ini
menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma
gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus
terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah
untuk mencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk
regimen kombinasi ini adalah penurunan jumlah trombosit atau
trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi
toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para
ibu haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan
bayinya hiperbilirubinemia dan kernikterus.(1) Terdapat regimen
alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap sulfadiazin atau
pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani kasus
toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah
trimetoprim dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan
pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin
dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi
terhadap sulfonamid.(1,2) Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon
yang unik dengan aktivitas antiprotozoa yang spektrumnya luas .
Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap takizoit toksoplasma
in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam
konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam
kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian atovaqoune menjadi
lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti
pirimetamin, sulfodiazin, klindamisisn atau claritromisin.(2)Terapi
toksoplasmosis serebral pada pasien HIV dibagi menjadi dua yaitu
terapi fase akut dan terapi pemeliharaan.Terapi AkutTerapi akut
harus lebih dari 3 minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi.
Lebih lama terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala yang
berat yang tidak mencapai respon sembuh komplit.(2) Berikut adalah
regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral fase akut: (1)
Terapi pilihan dan lama pengobatanRegimen Alternatif
Pirimethamin (200-mg oral dosis inisial, dilanjutkan dengan 5075
mg/hari secara oral), sulfadiazine (10001500 mg4 kali/hari), and
leucovorin (10 20 mg/hari)
Lama pengobatan : 6 minggu
Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial, dilanjutkan dengan
5075 mg/day secara oral) and klindamisin(600 mg intravena [IV] atau
oral 4 kali sehari). TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg) IV atau oral
2 kali sehari. Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari) +
pirimethamin (5075 mg/hari) dan leucovorin (10 20 mg/hari).
Atovaquone* (1500 mg oral dua kali sehari) + sulfadiazin (10001500
mg 4 kali sehari). Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali sehari)
Pirimethamin (5075 mg/hari) dan leucovorin (1020 mg/hari) +
azithromisin (9001200 mg/hari oral)Untuk pasien yang sakit berat
dan tidak bisa toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10
mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV.
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.*Atovaquone harus
diambil bersama makanan.
Terapi pemeliharaanTerapi pemeliharaan dilanjutkan untuk
mencegah penyakit kambuh kembali. Pasien-pasien yang tidak
mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering
terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis
sekunder yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah
terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan sama dengan
terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal dan memberikan hasil yang
efektif.(1)
IndikasiTerapi pilihanRegimen alternatif
Profilaksis primer(jumlah CD4 T-sel