BAB IPENDAHULUAN
Trauma abdomen meningkat dari tahun ketahun. Jejas pada abdomen
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Mortalitasnya cenderung lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen
dari pada trauma tusuk sesuai dengan lajunya pembangunan,
penambahan ruas jalan, dan jumlah kendaraan.1 Hampir 90% trauma
abdomen pada anak kurang dari 14 tahun disebabkan oleh trauma
tumpul. Trauma abdomen dibagi menjadi trauma tumpul abdomen dan
trauma penetrans. Pada usia balita penyebabnya terutama adalah
jatuh dari ketinggian, sedangkan pada usia sekolah, kecelakaan
sepeda dan pejalan kaki lebih sering menjadi penyebabnya.1-3 Pada
usia prepubertas kecelakaan sepeda motor dan trauma tajam yang
menjadi penyebab tersering trauma abdomen. Oleh karena ukuran tubuh
yang relatif kecil, trauma abdomen sering disertai oleh trauma pada
organ lainnya seperti trauma kapitis, thoraks, dan
ekstremitias.3,4Pengelolaan trauma abdomen pada anak mengalami
perubahan yang signifikan selama dua dekade terakhir.
Penatalaksanaan non operatif pada trauma abdomen pada anak angka
keberhasilannya lebih dari 95%, hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya pengetahuan dibidang anatomi dan fisiologi pada anak.
Meskipun trauma abdomen sekitar 30% lebih sering daripada cedera
thoraks, tetapi kurang 40% bersifat fatal. Trauma abdominal
menyebabkan morbiditas, dan menyebabkan mortalitas sebesar 8.5
%.4,5Trauma tumpul abdomen merupakan suatu masalah yang serius dan
memerlukan penanganan segera karena cedera organ dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan yang bisa mempengaruhi status hemodinamik
pasien. Faktor ketepatan dan kecepatan diagnosis memegang peranan
penting dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut masih merupakan
tantangan bagi ahli medis, walaupun teknik diagnostik baru sudah
banyak dipakai, seperti Ultrasonografi (USG), Computed Tomografi,
dan laparaskopi.2,5,6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi AbdomenAbdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh,
bentuknya lonjong dan meluas dari diafragma hingga pelvis. Rongga
ini berisi visera dan dibungkus dinding (abdominal wall) dari
otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia. Pada bagian superior,
dinding abdomen dibentuk oleh diafragma yang memisahkan kavitas
abdominalis dari kavitas thorakalis. Pada bagian inferior, kavitas
abdominalis melanjutkan diri menjadi kavitas pelvis melalui
apertura pelvis superior. Di bagian posterior, dinding abdomen di
garis tengah dibentuk oleh kelima vertebra lumbales dan diskus
intervertebralisnya, bagian lateral dibentuk oleh 12 kosta, bagian
atas oleh muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus lumborum, dan
aponeurosis origo muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen
dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum parietale.1,5,6
Gambar 1. Batas rongga abdomen
Ada beberapa cara untuk membagi permukaan dinding perut dalam
beberapa region dengan menarik garis tegak lurus terhadap garis
median melalui umbilicus. Dengan cara ini dinding depan abdomen
terbagi atas 4 daerah yaitu:1) Kuadran kanan atas2) Kuadran kiri
atas3) Kuadran kiri bawah4) Kuadran kanan bawahBerdasarkan
pembagian yang lebih rinci, abdomen terbagi menjadi sembilan daerah
yang dibatasi oleh empat garis bayangan pada dinding anterior, dua
diantaranya berjalan horizontal mengelilingi badan (yang atas
setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian
atas krista iliaka), dan dua lainnya vertikal di kiri dan kanan
tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan
ligamentun inguinale.5 Permukaan abdomen terbagi atas 9 regio :1)
Regio epigastrium2) Region hipokondrium kanan3) Region hipokondrium
kiri4) Region umbilicus5) Region lumbal kanan6) Region lumbal
kiri7) Region hipogastrium atau region suprapubik8) Region iliaka
kanan9) Region iliaka kiri
Gambar 2. Pembagian permukaan abdomenBerdasarkan letaknya, organ
dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ intraperitoneal dan
retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya lambung,
hepar, duodenum, pankreas, kolon, dan organ-organ saluran
pencernaan yang lain. Adapun organ yang terletak retroperitoneal
seperti ginjal, aorta, dan venakava inferior.4,5,6 Secara garis
besar organ-organ dalam abdomen dapat diproyeksikan pada permukaan
abdomen walaupun tidak setepat dada antara lain : 1. Hati atau
hepar berada di daerah epigastrium dan di daerah hipokondrium
kanan.2. Lambung berada di daerah epigastrium.3. Limpa berkedudukan
di daerah hipokondrium kiri.4. Kandung empedu atau vesika felea
seringkali berada pada perbatasan daerah hipokondrium kanan dan
epigastrium.5. Kandung kemih yang penuh dengan uterus pada orang
hamil dapat teraba di daerah hipogastrium.6. Appendiks berada di
daerah antara daerah iliaka kanan dan bagian bawah daerah
umbilikal.
2.2 Karakteristik Anatomi dan Fisiologi pada anakSecara garis
besar penilaian dan pengelolaan trauma pada anak tidak berbeda
dengan dewasa, namun karakteristik anatomi pada anak memerlukan
perhatian khusus. Anatomi abdomen yang unik pada anak berpengaruh
terhadap respon biomekanik terhadap trauma, adapun kharakterisitik
khusus anatomi pada anak adalah sebagai berikut:a. Ukuran dan
bentukOleh karena ukuran tubuh anak yang kecil, energi yang
ditimbulkan oleh gaya linier dari sumber trauma akan mengakibatkan
gaya yang lebih besar pada suatu unit area tubuh. Energi yang besar
tersebut diterima oleh tubuh yang mengandung sedikit jaringan
lemak, jaringan ikat yang kurang elastis dan organ-organ abdomen
yang saling berdekatan. Akibat keadaan ini trauma majemuk sering
ditemukan pada anak. Lima belas persen anak-anak dengan cedera
intra abdomen juga terdapat di bagian tubuh yang lain, sehingga
diperlukan pemeriksaan yang seksama.Ukuran kepala relatif lebih
besar dibandingkan tubuh sehingga pada anak cenderung kepala
mengenai tanah ketika jatuh. Immobilisasi spinal harus dipikirkan
untuk mempertahankan alignment.Dinding otot abdomen pada anak-anak
lebih tipis daripada dewasa terutama pada usia 2 tahun pertama
kehidupan oleh karenanya kurang dapat memberikan perlindungan
terhadap struktur didalamnya. Tulang rusuk anak-anak lebih
fleksibel daripada dewasa sehingga dapat mengurangi resiko patah
tulang.Perbandingan solid organ anak lebih besar dibandingkan
dengan dewasa sehingga banyak surface area yang terekspose sehingga
organ tersebut beresiko untuk mengalami cedera. Lien pada anak
mempunyai kapsul yang lebih tebal dibandingkan dewasa. Pada anak
yang masih muda intestine tidak sepenuhnya terfiksasi pada rongga
intraperitoneal seperti sigmoid dan kolon kanan potensial mengalami
deselerasi serta kompresi.Kandung kencing meluas sampai level
umbilikus setelah lahir dan lebih ekspose terhadap direct impact
pada bagian bawah abdomen. b. Struktur tulangStruktur tulang pada
anak belum sepenuhnya mengalamai kalsifikasi dan terdiri dari pusat
pertumbuhan sehingga akan lebih lunak. Oleh karena itu organ dalam
seringkali mengalami trauma tanpa disertai oleh fraktur tulang
sekitarnya. Disamping itu arcus costarum bersudut lebih tumpul
dibandingkan dengan dewasa sehingga organ visera pada abdomen atas
kurang terlindungi. Dengan demikian lien dan hepar merupakan dua
organ visera yang paling sering mengalami trauma.Jaringan lebih
elastik berhubungan dengan regangan dan robekan cedera spinal cord
yang serius dapat terjadi tanpa tanda-tanda adanya trauma.. c. Luas
permukaan tubuhAnak-anak mempunyai lemak tubuh yang kurang dan
memiliki luas permukaan tubuh yang luas sehingga dapat menyebabkan
kehilangan panas secara cepat. Oleh karena itu hipotermi lebih
mudah terjadi karena energi panas akan cepat hilang melalui
permukaan tubuh yang relatif lebih luas sehingga harus ditutupi dan
mempertahankan temperatur serta observasi tanda adanya hipotermia.
Oleh karena anak-anak mempunyai disproporsional luas permukaan
tubuh dan kurangnya termoregulasi, mempertahankan suhu pada injuri
pada anak menjadi sangat penting.d. Tekanan darahTekanan darah
tidak dapat dipakai sebagai patokan adanya syok pada anak yang
mengalami trauma. Anak-anak dapat memiliki tekanan darah normal
sampai fase terakhir syok Observasi secara hati-hati dan mencari
tanda-tanda di kulit, capillary refill, takikardia, dan
takipneu.Oleh karena kompensasi yang unik pada anak maka hipotensi
sekunder dari hipovolemik syok akan terlambat. Resusitasi awal yang
agresif pada anak merupakan indikasi pada kasus injuri pada
anak.
e. Status psikologisKeadaan emosional yang tidak stabil sifat
regresi dan non koperatif pada anak sering menyulitkan proses
anamnesa dan penilaian pemeriksaan fisik. Oleh karena itu dokter
yang memeriksa seorang anak dengan trauma harus mampu membujuk dan
menenangkannya sehingga data-data yang akurat dapat diperoleh.
f. Efek jangka panjangSeorang anak masih akan mengalamai
pertumbuhan dan perkembangan maka trauma majemuk yang berat dan
menyebabkan kecacatan akan menimbulkan masalah psikologis di
kemudian hari. Enam puluh persen anak yang mengalami trauma majemuk
akan mengalamai gangguan kepribadian setelah satu tahun
meninggalkan trumah sakit. Oleh karena itu pengelolaan awal yang
tepat sangat penting untuk mengurangi kecacatan pada anak yang
mengalami trauma sehingga kualitas hidup selanjutnya akan mencapai
keadaan yang optimal.
2.3. Trauma Tumpul AbdomenTrauma Abdomen adalah terjadinya atau
kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan
fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imunologi
dan gangguan faal berbagai organ. Trauma tumpul abdomen
didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul
atau yang menusuk. Pada trauma tumpul dengan velositas rendah
(misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ
dan kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh dan abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga
berupa perforasi organ padat berupa perdarahan. Sedangkan trauma
velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multiple,
seperti organ padat (hepar, lien, ginjal) dari pada organ-organ
berongga.1,4,5,7Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua
jenis:7,8 a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusukb.
Trauma non-penetrasi : diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama,
yaitu tenaga kompresi (hantaman),tenaga deselerasi dan akseleasi.
Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa
hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan/crash, atau sabuk
pengaman yang salah/belt injury. Hal yang sering terjadi hantaman
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera.
Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada
organ berongga dan menyebabkan ruptur.8 Tenaga deselerasi
menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ yang
terfiksasi. Cedera deselerasi klasik termasuk hepatic tear
sepanjang ligamentum teres dan cedera intima pada arteri
renalis.7,9 Cedera akselerasitrauma pada dinding abdomen terdiri
dari kontusio dan laserasi. 1)Kontusio dinding abdomen tidak
terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah
dapatmenyerupai tumor. 2). Laserasi, jika terdapat luka pada
dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di
eksplorasi.10
2.4. Patofisologi Trauma Tumpul AbdomenTrauma tumpul kadang
tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi
dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan
cedera pada organberongga berupa perforasi atau pada organ padat
berupa perdarahan. Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan
lalu lintas karena setelah tabrakan badan masih melaju dan tertahan
suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatiftidak
terpancang bergerak terus dan mengakibatkan robekan pada organ
tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering
mencederai organ limpa (40-55%), hati (35-45%), dan usus halus
(5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal,organ yang paling sering
cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera adalah
pankreas dan ureter.Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul
disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang
tidak mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati,
limpa, pankreas, dan ginjal. Kerusakan intra abdominal
sekunderuntuk kekuatan tumpul pada abdomen secara umum dapat
dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu :1) Saat pengurangan kecepatan
menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur. Akibatnya, terjadi
tenaga potong dan menyebabkan robeknya organberongga, organ padat,
organ viseral dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang
terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal.
Akibatnya, gayapotong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi
yang sama dapat terjadi padapembuluh darah ginjal dan pada
cervicothoracic junction.2) Isi intra-abdominal hancur di antara
dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau tulang toraks
posterior. Hal ini dapat menyebabkan remuk, biasanya organ padat
(limpa, hati, dan ginjal) terancam.3) Gaya kompresi eksternal yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan
mencapai puncaknya biasanya menyebabkan ruptur organ berongga.Berat
ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan organ
yang terkena cedera.Patofisiologi dari trauma tumpul abdomen
terdiri dari :a. Kehilangan darah Limpa dan hati memiliki banyak
suplai dan simpanan darah sehingga terjadi kehilangan darah dengan
cepat. Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan
sulit melakukan proses homeostasis. Perdarahan pada kavum
retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di diagnosis.b. Nyeri
Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik
patologi intraabdomen. Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan
karena pergerakan yang tiba-tiba dan iritasi membran peritoneal
hingga ke dinding abdomen. Iritasi disebabkan adanya darah atau isi
lambung pada kavum peritoneal. Cedera duodenum dan pankreas
menyebabkan perdarahan dan berefek mengaktifkan enzim di sekitar
jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi area retroperitoneal.
Tanda dan gejalan cedera pankreas dan duodenum adalah :i. Nyeri
tekan abdomen yang difusii. Penjalaran nyeri pada area epigastrium
sampai ke punggung.2.5. Diagnosis Trauma Tumpul AbdomenPasien
trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil perlu dievaluasi
dengan USG atau CT . Sedangkan trauma abdomen yang berat dibutuhkan
prioritas utama dan butuh untuk dilakukan operasi. FAST (focused
abdominal sonography for trauma) atau DPL biasanya dapat diperiksa
dalam ruang operasi untuk membantu mengevaluasi adanya perdarahan
intra abdominal sehingga pembedahan eksplorasi dapat berjalan
dengan cepat.12,14Alur penatalaksanaan trauma tumpul abdomen dapat
dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Alur pentalaksanaan trauma tumpul abdomenKeterangan:
DPL : Diagnostic Peritoneal Lavage FAST : Focused Abdominal
Sonography for Trauma Judgment : operasi atau tidak operasi
berdasarkan hasil CTPada gambar di atas menunjukkan bahwa apabila
pasien dengan trauma tumpul abdomen dengan klinis yang bisa
dinilai, maksudnya tanda-tanda vital baik disertai dengan nyeri
perut diseluruh lapangan maka secepatnya dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk mencari penyebabnya. Sedangkan apabila pasien
dengan trauma tumpul abdomen tanpa disertai nyeri perut dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal, pertama kali yang harus
dilakukan yaitu pemeriksaan FAST, apabila didapatkan adanya
kelainan dalam FAST, dilanjutkan dengan pemeriksaan CT. Apabila CT
juga didapatkan kelainan maka pemeriksa harus menentukan tindakan
berdasarkan hasil yang didapatkan. Sedangkan apabila FAST tidak
ditemukan kelainan maka pasien perlu dilakukan observasi dan tidak
boleh dipulangkan. Observasi juga dilakukan terhadap pasien yang
menunjukkan hasil FAST dengan kelainan, namun hasil CT yang normal.
Sedangkan apabila pasientanpa nyeri abdomen yang menyeluruh dengan
hemodinamik labil, maka langsung dilakukan pemeriksaan FAST.
Apabila FAST menunjukkan adanya kelainan, maka langsung dilakukan
laparatomi eksplorasi. Sedangkan apabila FAST tidak ditemukan suatu
kelainan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan
lain yang menyebabkan hemodinamik pasien terganggu. Apabila
terdapat penyebab lain dari hemodinamik labil tersebut, maka perlu
dilakukan evaluasi atau resusitasi. Apabila tidak ditemukan
penyebabnya maka perlu dilakukan pemeriksaan DPL. Bilapemeriksaan
DPL menunjukkan adanya masalah maka dilakukan laparatomi
eksplorasi, dan apabila DPL tidak ditemukan kelainan maka pasien
dievaluasi atau dilakukan resusitasi.15,18Jika pasien dengan trauma
abdomen akan tetapi kinis tidak mampu kita nilai akan tetapi
hemodinamik pasien stabil, artinya tanda-tanda vital pasien dalam
batas normal, maka langsung dilakukan pemeriksaan CT. Apabila CT
tidak menunjukkan kelainan,maka pasien perlu dilakukan
observasi.Namun bila pada CT ditemukan kelainan maka perlu pasien
perlu dilakukan tindakan, sesuai dengan penyebabnya.16,17
2.6. Penatalaksanaan Trauma Tumpul AbdomenOleh karena trauma
abdomen pada anak seringkali disertai dengan trauma yang majemuk
maka penilaian awal pada setiap trauma abdomen dilakukan
sebagaimana penolong menghadapi pasien degan trauma majemuk.
Penilaian, triase dan pengelolaan awal tersebut sebagai tindakan
resusitasi mengikuti prinsif yang sama dengan trauma pada dewasa
yaitu sesuai prosedur yang telah ditetapkan pada Advanced Trauma
Life Support (ATLS). Tujuan utama resusitase dan triase adalah
untuk memulihkan atau mempertahankan oksigenasi yang adekuat pada
jaringan.1,9,16Pengelolaan trauma pada anak terdiri dari persiapan,
triase, primary survey (penilaian awal), resusitasi, secondary
survey (penilaian ulang), reevaluasi dan terapi definitive.
Persiapan dan triase dilakukan sejak tahap pre rumah sakit maupun
setelah pasien tiba di rumah sakit. Proses penilaian awal (primary
survey) terdiri dari kontrol jalan nafas dengan memperhatikan
stabilisasi vertebra servikal (A=airway with cervical spine
control), proses ventilasi pernafasan (B=breathing), penilaian
sirkulasi (C=circulation with hemorrhage control), keadaan stauts
neurologis dan kesaran (D=disability), serta perlindungan terhadap
hipotermi (E=Exposure/environment).2,8 Gangguan sirkulasi sangat
berkaitan dengan adanya suatu trauma abdomen yaitu bila terjadi
perdarahan intraabdomen. Adanya syok dan perdarahan eksternal
memerlukan tindakan resusitasi berupa penghentian perdarahan dan
pemberian cairan. Tindakan opratif pada berupa laparotomi dapat
merupakan bagian tindakan resusitasi penghentian sumber perdarahan
apabila terdapat sumber perdarahan yang jelas ditemukan berasal
dari rongga abdomen sebagai akibat adanya luka tusuk pada abdomen.
Adanya kehilangan darah yang cukup banyak pada anak sering
didahului dengan fase kompensasi yang tidak menampakan gejala dan
tanda adanya gangguan hemodinamik. Oleh karena itu adanya takikardi
dan perfusi kulit yang buruk adalah tanda-tanda yang penting dan
merupakan petunjuk diperlukannya terapi cairan dengan segera.,
namun demikian penyebab takikardi lainnya yaitu rasa nyeri, takut,
dan stress psikologis harus dipertimbangkan. Diuresis adalah
petunjuk yang adekuat untuk menilai baik buruknya perfusi jaringan
perifer. Adanya takikarda, tekanan darah sistolik kurang dari 70
mmHg adalah tanda yang jelas adanya syok. Sebagai patokan nilai
tekanan darah sistolik pada anak adalah 80 mmHg ditambah dengan
duakali umur pasien dalam tahun dan tekanan darah diastolik harus
dua pertiga dari tekanan sistolik.Resusitasi cairan adalah langkah
berikutnya setelah menilai gangguan sirkulasi dan derajat syok yang
terjadi. Apabila syok ditemukan pada penilaian awal, maka pemberian
cairan kristaloid (Ringer Lactat) yang dihangatkan dilakukan secara
bolus dengan dosis 20 ml/kgBB. Jumlah ini adalah 25% dari jumlah
volume darah pada anak normal, sedangkan jumlah volume darah anak
adalah 80 ml/kgBB. Setelah pemberian cairan dengan jumlah tersebut
harus dilakukan observasi secara ketat, dengan melakukan penilaian
terhadap stabilitas hemodinamik dan keadaan yang stabil dicerminkan
oleh :1. Denyut nadi melambat (20mmHg)3. Ekstremitas menjadi
hangat4. Kulit tidak pucat5. Kesadaran membaik6. Diuresis 1
ml/kg/jam7. Tekanan darah sistolik meningkat (>80mmHg)Apabila
tanda-tanda tersebut di atas tidak dicapai dengan pemberian bolus
tersebut maka harus dipikirkan adanya proses perdarahan berlanjut
dan oleh karena satu dosis cairan kristaloid yang sama dapat
diulang. Bila keadaan hemodinamik tetap tidak stabil maka harus
diberikan transfusi darah dengan Packed Red Cells yang sesuai
dengan cross match atau golongan darah 0 dengan rhesus negatif dan
dosis yang diberikan adalah 10 ml/kgBB. Setelah tindakan tersebut
harus dihitung jumlah darah yang diperlukan untuk mempertahankan
tanda-tanda vital tersebut dan dinilai kembali apakah tindakan
operatif diperlukan. Tindakan selanjutnya juga bergantung kepada
jenis trauma abdomen dan organ visera yang dicurigai mengalami
trauma. Setelah tindakan resusitasi dilakukan pada
kelainan-kelainan yang ditemukan pada keadaan jalan nafas,
ventilasi, dan sirkulasi, maka tindakan berikutnya adalah penilaian
kesadaran dan status neurologis serta perlindungan terhadap
hipotermi.9,10,13Penilaian dan diagnosis adanya trauma abdomen
dilakukan lebih lanjut pada tahap penilaian ulang (secondary
survey). Pada tahap ini dilakukan anamnesa yang meliputi mekanisme
trauma dan pemeriksaan fisik secara sistemik berdasarkan sistem
organ dan dilakukan pemeriksaan alat bantu untuk menunjang
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.14
2.7. Pemeriksaan Penunjang Trauma Tumpul AbdomenEvaluasi trauma
tumpul abdomen pada anak banyak mengalami perubahan. Pemeriksaan CT
merupakan modalitas terpilih dalam menegakkan adanya trauma tumpul
abdomen. Pemeriksaan ultrasound dapat digunakan untuk initial
assessment yang cukup akurat pada kasus tersebut. Diagnostik
Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu secara cepat pada diagnosis
abdominal trauma pada dewasa namun pada anak jarang dilakukan dan
dilakukan secara selektif. Ultrasound (US) merupakan pemeriksaan
yang sederhana, non invasive dan mudah penggunaannya sehingga dapat
digunakan sebagai alternatif diagnosis selain CT dan DPL. CT
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas dalam mendiagnosis kelainan
abdominal trauma, tetapi baru dapat dilakukan bila pasien stabil,
tenang, transfortable, dan harus dilakukan setelah resusitasi
selesai. Ultrasound digunakan secara simultan saat di emergensi,
dan dapat mengetahui adanya patologi intraabdomen dalam beberapa
menit. Gruessner mengatakan US cukup sensitive dan akurat dalam
mendiagnosis adanya cedera pada abdominal trauma. Kimura dan Otsuka
mengatakan US sangat reliable dalam mendeteksi adanya
hemoperitoneum dibandingkan dengan CT. Sensitifitas, spesifisitas,
dan akurasinya : 86.7%, 100%, dan 97.2%. Peneliti lain mengatakan
sensitifitasnya adalah 89-100%. Akurasi pemeriksaan ultrasonografi
dibandingkan dengan CT adalah 76%. Computed tomography (CT) scaning
dengan double kontras (intravena atau oral) merupakan kriteria
standar untuk assessment rongga abdomen pada anak dengan
hemodinamik stabil. Intravenous kontras sangat penting untuk
evaluasi dan akurasi grading cedera organ solid.16Adanya gambaran
ekstravasasi akut dari kontras (blush) merupakan tanda adanya
perdarahan. Meskipun tanda tersebut berhubungan dengan perlunya
tindakan pembedahan pada dewasa tetapi evaluasi keadaan klinis
masih tetap harus dilakukan pada anak. Kontras oral harus diberikan
untuk meningkatkan sensitifitas gambaran CT-scan pada diagnosis
cedera pankreas, duodenum, dan usus bagian proksimal. Tetapi
penggunaan kontras oral pada pemeriksaan immediate radiology pada
kasus trauma abdomen masih diperdebatkan. Pemberian kontras oral
dapat memperlambat skedul pemeriksaan CT-scan dan dapat menyebabkan
muntah, resiko aspirasi. Sehingga penggunaan kontras oral pada
kasus emergensi harus dilakukan secara selektif.16,7Penggunanaan
USG FAST pada dewasa merupakan standar dari evaluasi adanya trauma
tumpul abdomen. Pemeriksaan ini menolong untuk menentukan adanya
kelainan organ intra abdomen dan adanya koleksi cairan. Pada
populasi anak, pengguanan FAST masih belum jelas. FAST sangat
sensitive untuk mendeteksi adanya koleksi cairan intraperitoneal,
tetapi bersifat operator dependent dan kurang sensitif.8,16
Pemeriksaan FAST memberikan hasil false negatif (contoh pada cedera
pada organ solid tanpa disertai koleksi cairan intraperitoneal)
sehingga menyebabkan kesalahan management. Sebelum adanya
pemeriksaan CT dan FAST, diagnostic peritoneal lavage (DPL)
merupakan modalitas untuk assessment cedera abdomen. DPL masih
diindikasikan jika pemeriksaan CT tidak dapat dikerjakan atau
hemodinamik tidak stabil. Meskipun sangat sensitif untuk mendeteksi
perdarahan intra abdomen atau cedera hollow viscus, DPL tidak
spesifik dan invasif dan meningkatkan morbiditas.
2.8. Komplikasi pada Trauma Tumpul AbdomenJejas pada abdomen
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma
tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma velositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multiple, seperti organ padat
(hepar, lien, ginjal) dari pada organ-organ berongga.Yang mungkin
terjadi pada trauma abdomen:
1. Perforasi Gejala perangsangan peretonium yang terjadi dapat
disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi
terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan
oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis
hebat.Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon,
mula-mula timbul gejala karena gejala-gejala akut abdomen karena
perangsangan karena perangsangan peritoneum.2. Perdarahan Setiap
trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada
trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium, dan ligamen.
Sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya
terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit
dibandingkan dengan trauma tajam.Perdarahan dari aorta atau vena
kava dapat menyebabkan kematian dalam 30 detik. Gejala klinis
perdarahn bergantung pada volume darah yang keluar, yaitu berupa
takikardia, hipotensi, pucat, gelisah. Gejala ini dapat segera
timbul atau setelah muncul waktu yang lebih lama. 3. Gangguan
koagulasiSetelah perdarahan dan transfusi massif pada penderita
trauma sering dijumpai gangguan koagulasi. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh pemakaian darah yang disimpan lama, hipotermia,
gangguan pembekuan akibat habis dipakainya faktor pembekuan I, II,
VIII, serta gangguan fungsi trombosit. Gangguan fungsi trombosit
terjadi karena darah yang disimpan lama trombositnya sesudah
dikeluarkan, atau pada transfuse terjadi dilusi trombosit sehingga
terjadi trombositopenia. Hipotermia dapat menyebabkan sekuesterasi
trombosit. Pada perdarahan berlebihan cadangan faktor pembekuan
dalam tubuh akan berkurang atau habis. Keadaan ini disebut sebagai
koagulopati konsumtif.4. SepsisSepsis merupakan penyebab kematian
tersering pada penderita trauma. Infeksi pasca trauma sangat
bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya, kontaminasi luka, jenis, dan sifat luka,
kerusakan jaringan, syok, jenis tindakan, dan pemberian antibiotik.
Jenis luka terkontaminasi atau luka kotor pun hampir selalu diikuti
dengan infeksi pasca bedah.5. Gagal organPascatrauma abdomen dapat
terjadi kegagalan fungsi beberapa organ seperti:a. Gagal
hatiHiperbilirubinemia dengan ikterus pada penderita trauma dapat
terjadi prahepatik, insufisiensi hepatoselular, yaitu hepatik, atau
obstruksi pascahepatik. Perlu diingat bahwa ikterus prahepatik
dapat pula terjadi karena hemolisis akibat transfuse darah
inkompatibel atau reabsorpsi hematom.Insufisiensi hepatoselular
dengan ikterus hepatik terjadi pada nekrosis sel hati karena
hipoksia, hipotensi, inflamasi, atau reseksi hati akibat trauma.
Hepatitis pasca transfusi dapat pula menyebabkan insufisiensi ini
dan menimbulkan ikterus hepatik dalam minggu ketiga pasca trauma.b.
Gagal ginjalGagal ginjal pasca trauma sering berupa gagal ginjal
akut yang dapat timbul terutama pada orang diatas usia 60 tahun,
penderita penyakit ginjal, syok berat yang lebih lama dari setengah
jam, sepsis atau penggunaan obat nefrotoksik. Hipovolemia
menurunkan aliran darah ke korteks sehingga ginjal tidak mampu
mengonsentrasi urin dan akhirnya terjadi nekrosis tubuler akut.
Pada nekrosis tubuler akut secara klinis ditemukan anuria atau
oliguria yang harus dibedakan dengan pengaruh hipovolemia. Untuk
itu diperlukan pemeriksaan ureum dan kreatinin guna memantau fungsi
ginjal. Namun demikian, regenerasi masih mungkin terjadi dalam
waktu 6 minggu, uremia sewaktu itu dapat diatasi dengan restriksi
pemasukkan air dan dialysis darah.6. SyokPenyebab utama syok pada
pasien trauma adalah berkurangnya volume cairan intra vaskular,
suatu keadaan yang sering diakibatkan oleh perdarahan.
2.9. Cedera Organ Solida. Trauma LienTrauma lien merupakan
trauma yang paling sering terjadi pada trauma tumpul abdomen pada
anak dan penyebab paling sering dari suatu perdarahan intraabdomen.
Secara klinis trauma ini dapat didiagnosis dengan adanya perubahan
hemodinamik akibat perdarahan intraabdomen, adanya keluhan nyeri
perut kiri atas dan nyeri di bahu kiri, serta ditemukannya jejas
atau hematoma di daerah abdomen kiri atas.Protokol pengobatan non
operatif pada kasus cedera lien telah dikenal sejak tahun 1978.
Protokol tersebut diinspirasi dari pengalaman para ahli bedah anak.
Selama 2 tahun berikutnya protokol tersebut digunakan pula pada
kasus injuri liver.CT scan adalah alat bantu diagnostik yang paling
baik dalam mendiagnosis ruptura lien dengan spesifitas yang tinggi
sehingga dapat pula menilai derajat kerusakan lien. Scanning dengan
Tc-99 dan ultrasonografi dapat digunakan namun masing-masing
mempunyai false positive dan false negative yang cukup tinggi,
terutama untuk ultrasonografi.Setelah diagnosis ditegakkan maka
perlu dinilai pengelolaan berikutnya. Pada sebagian besar kasus
(70%) trama lien pada anak dapat dikelola secara non operatif
sehingga dapat menghindari sepsis post splenektomi. Tindakan non
operatif ini dapat dilakukan apabila pada resusitasi cairan dan
darah yang diperlukan untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang
stabil tidak memlebihi 60% dari seluruh volume darah pasien. Oleh
karena volume darah anak adalah 80 ml/kgBB, maka jika dihitung
untuk periode 24 jam adalah jumlah darah yang diperlukan adalah
kurang dari 40ml/kgBB. Tindakan non operatif meliputi sebagai
berikut :1. Nursing Care :Dilakukan pemeriksaan denyut nadi,
frekuensi pernafasan, suhu tubuh, dan diuresis tiap jam. Memantau
EKG dan tekanan darah. Puasa dan dipasang NGT.2. Pemeriksaan
laboratorium :Hemoglobin dan hematokrit tiap 4 jamBJ urine tiap 4
jamAmilase setiap 3 hari3. Perawatan medis :Pemeriksaan fisik
setiap jam sampai pasien stabil, kemudian tiap 4 jam.Pertahankan
hematokrit >30-35%Evaluasi keadaan koagulasi apabila terdapat
perdarahan yang berlanjut.Bed rest selama 7 hari.
Indikasi tindakan operatif adalah bila pemberian transfusi darah
untuk mempertahakan hemodinamik yang stabil melebihi 60% dari
volume darah anak, dan diketahui adanya kelainan lien sebelum
trauma seperti leukemia, limfoma, dan hipersplenisme. Pilihan
tindakan operatif adalah splenorrhapy, partial splenectomy, an
splenektomi dengan autotransplantation. Jenis tindakan tersebut
tergantung dari klasifikasi rupture liennya yaitu :
Tabel 1. Skala cedera limpa (Sabiston: 2007)
Gambar 4. Rupture limpa grade III dan grade V
b. Trauma Hepar dan Saluran EmpeduHepar merupakan organ kedua
sesudah lien yang sering mengalami trauma pada kasus trauma tumpul
abdomen. Secara klinis diagnosis dapat ditegakkan apabila diperoleh
adanya gangguan hemodinamik akibat perdarahan intraabdominal,
adanya nyeri di daerah abdomen kanan atas dan bahu kanan, jejas di
abdomen kanan atas, tanda-tanda ileus adinamik, dan massa di
abdomen kanan atas. Foto rontgen dapat membantu yaitu jika
ditemukan fraktur costae kanan terbawah, peninggian dafragma. CT
scan memberikan diagnosis yang akurat dan sangat spesifik
dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan laboratorium
yaitu SGOT dan SGPT memberikan informasi tambahan yang bermakna
jika ditemukan kadar SGOT > 200 IU dan SGPT > 100 IU. Prinsip
pengelolaan pada lien juga dapat dipakai untuk trauma hepar yaitu
terdiri dari tindakan non operatif dan operatif. Tindakan non
operatif sama dengan trauma lien, hanya dilakukan pemeriksaan
follow up secara berkala SGOT dn SGPT sampai hari ke 7 atau 10.
Tabel 2. Derajat cedera heparSecara ringkas pengelolaan trauma
hepar dapat dilihat seperti tabel berikut:
KlasifikasiFrekuensiTindakan
Grade I :Subcapsular hematoma < 1 cm, capsular avulsion,
laserasi parenkhim superficial< 1 cm
Grade II : Laserasi parenkhim 1-3 cm dan parenkhim/subkapsuler
hematoma 1-3 cm. Trauma tembus perifer
Grade III: Laserasi parenkhim> 3 cm dan hematoma
subkapsuler/parenkhim >3 cm Trauma tembus sentral
Grade IV :Parenchymal/subcapsular hematoma > 10 cm, destruksi
lobus atau devaskularisasiHematoma massif
Grade V: Destruksi global atau devaskularisasi hepar Trauma vena
cava retrohepatikRuptur kedua lobus ekstensif
Grade 6 :Hepatic avulsion
15%
55%
25%
3%
2%
Selektif non operatif
Operatif kontrol perdarahan (jahit dan ligasi) Debridemen
Drainase
Operasi diperlukan, repair vaskuler, lobektomi, packing,
drainase
Tabel 3. Liver injury scale (revision 1994)
c. Trauma GastrointenstinalTrauma pada gastrointestinal lebih
jarang ditemukan pada anak hanya 3-4% kasus. Trauma abdomen pada
trauma tumpul terjadi dengan 3 macam mekanisme :1) Trauma karena
tekanan langsung sehingga terjadi tekanan intraabdominal yang
tinggi dan loop usus halus yang tertutup yang akan menyebabkan
ruptur dinding usus.2) Trauma tarikan pada titik fiksasi usus3)
Trauma yang menyebabkan traktus gastrointestinalis berbenturan
dengan vertebra sehingga menyebabkan rupturnya usus. Disamping
terjadinya ruptur iskhemik usus halus akibat trauma tumpul dapat
menyebabkan nekrosis dan akhirnya perforasi. Selain itu ruptur
gastrointestinalis dapat pula disebabkan oleh karena trauma tusuk
dan sering disertai dengan trauma pada pembuluh darah besar
intraabdominal.Diagnosis ditegakkan dengan didasarkan atas
kecurigaan yang berdasarkan mekanisme trauma. Pada anamnesis dapat
ditemukan tanda-tanda peritonitis yaitu keluhan nyeri seluruh perut
yang bertambah hebat, disertai mual dan muntah, serta gangguan
buang air besar. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
jejas eksoriasi atau hematoma di daerah abdomen, adanya nyeri
tekan, nyeri lepas, defans muscular, dan nyeri tekan pada colok
dubur dengan spingter yang lemah. Pada auskultasi dapat ditemukan
bising usus yang menurun sampai menghilang. Pemeriksaan radiologis
yaitu rontgen 3 posisi akan sangat membantu yaitu dengan
ditemukannya pneumoperitoneum, adanya perselubngan cairan dan
dindidng usus yang menebal.Pengelolaanya pada sebagian besar kasus
adalah dengan tindakan operatif. Pada luka tusuk abdomen, indikasi
laparotomi adalah pasien dengan tanda vital yang tidak stabil,
adanya eviserasi usus, adanya tanda-tanda perdarahan, luka yang
menembus peritoneum, adanya tanda-tanda peritonitis. Meskipun
sebagian besar trauma pada usus halus dilakukan tindakan operatif,
namunhematoma duodenum yang sering terjadi pada part II dan III
akibat trauma tumpul dapat dilakukan terapi non operatif. Gejala
yang timbul biasanya nyeri di daerah epigastrik, muntah-muntah
sebagai akibat obstruksi, dan adanya nyeri tekan di daerah
epigastrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan
peningggian amilase dan leukositosis. Terapi kelainan ini adalah
dengan pemasangan NGT, nutrisi parenteral.
KESIMPULANSemua pasien anak deng trauma tumpul dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus segera dinilai kemungkinan
perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi traktus
gastrointestinal dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal
Lavage), ataupun FAST (Focused Assessment Sonography in
Trauma).Pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai
dengan CT scan, dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang
terkena dan beratnya trauma.Penanganan trauma tumpul dan tajam pada
abdomen antara lain mengembalikan fungsi vital dan optimalisasi
oksigenasi dan perfusi jaringan, menentukan mekanisme trauma,
pemeriksaan fisik yang hati-hati dan diulang berkala, menentukan
cara diagnostik yang khusus bila diperlukan, tetap curiga bila ada
cedera vaskular maupun retroperitoneal yang tersembunyi, dan segera
menentukan bila diperlukan operasi.
DAFTAR PUSTAKA1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim, 2007. Gawat
Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Hal. 221-239,2.
Sabiston, et al. 2007. Sabiston texbook of surgery the biological
basis of modern surgical practice. Edisi ke 18. Saunders, An
Imprint of Elsevier3. Wegner, S., Colleti, J E., Wie, D V. 2006
Pediatric Blunt Abdominal Trauma. Pediatric clinics. Diakses pada
26 Mei 2012 dari http://hsc.unm.edu/emermed/4. Porkorny W J,
Abdominal Trauma, in Ed: Raffensperger JG, Swensons Pediatric
Surgery, Fifth Edition, Appleton & Lange, 1990, 278-293.5.
Dorland, W. A . N. 2002 Kamus Kedokteran Dorland Ed.29. Jakarta :
EGC.Dudley, H. A. F. 1992 Hamilton Bailey's Emergency Surgery.
Yogyakarta : UGM Press.6. Alexander RH, Proctor HJ, Advanced Trauma
Life Support, Fifth Edition, American College of Surgeons Commite
on Trauma, 1993:261-273.7. Rykman FC, Noseworthy J, Multy System
Trauma, The Surgical Clinics of North America, 1985, Vol 65: 5:
1287-13018. Harlan Stone and Joseph D. Ansley, Management of Liver
Trauma in Children, Journal of Pediatric Surgery, Vol. XII, No. 1
February 19979. Annika Sjijvall and Karin Hirsch, Blunt Abdominal
Trauma in Children:Risks of Nonoperative Treatment, Stockholm,
Sweden.10. Robert M, Aresman, MD, Mary Beth Madonna, MD, Initial
Management and Stabilization of Pediatric Trauma
Patients,Children's Memorial Hospital, Northwestern University
Medical School,1997 : 1-1511. Rebeccah L. Brown, Michael S. Irish,
Observation of Splenic Trauma: When Is a Little Too Much?, New York
J Pediatr Surg 34:1124-l 126. 12. Schmuel Katz, Ludwig Lazar,
Valerie Rathaus, and llan Erez, Can Ultrasonography Replace
Computed Tomography in the Initial Assessment of Children With
Blunt Abdominal Trauma?,Departments of Pediatric Surgery and
Radiology, Meir Hospital, Sapir Medical Cen fer, Kfar Saba, Israel.
1995.13. Andrew B Peitzman, Mi Rhodes, Abdominal Trauma in The
Trauma Manual, Second Edition, Philadelphia, 2002 :236-266.14.
Charlotte; Isenhour, Jennifer and Marx, John. 2007. Advances in
abdominal trauma. USA: emergency medicine clinics of North
America.15. Feldman, G. 2006 Blunt Abdominal Trauma : Evaluation.
Diakses pada 1April 2015 dari http://www.docstoc.com/16. Jehangir
B., Bhat A. H., Nazir, A. 2002 The Role of Ultrasonography in Blunt
Abdominal Trauma. JK-practitioner.17. Salomone A. J., Salomone, J.
P. 2011 Emergency Medicine: Abdominal Blunt Trauma.Emedicine.
WebMD. Diakses pada 1 April 2015 dari
http://emedicine.medscape.com/
22