DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA PUBLIK JAKARTA 2015
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADAAN BARANG DAN JASA
PUBLIK
JAKARTA 2015
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
SISTEM BUDIDAYA TANAMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan dan
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa upaya pemanfaatan dan penggunaan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang salah satunya diselenggarakan melalui Budidaya Tanaman dengan
dukungan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan Budidaya Tanaman perlu diarahkan
kepada Sistem Budidaya Tanaman yang optimal, bertanggung jawab, dan lestari untuk penyediaan pangan,
sandang, papan, kesehatan, estetika, industri dan energi dalam negeri;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dalam bidang penyelenggaraan Budidaya Tanaman yang efisien,
berkeadilan dan berkelanjutan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Tanaman;
Mengingat: Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Budidaya Tanaman adalah usaha terstruktur dan terencana dalam pengembangan dan pemeliharaan tanaman agar memberikan hasil dan manfaat secara ekonomi dan
berkelanjutan. 2. Sistem Budidaya Tanaman adalah pengembangan dan
pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia, permodalan, sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan budidaya tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan,
sandang, papan, pakan, kesehatan, industri dan energi di dalam negeri serta memperbesar ekspor secara optimal,
bertanggung jawab, dan berkelanjutan. 3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom. 5. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya
terkait dengan pertanian.
6. Sumber Daya Genetik adalah bahan dari tanaman yang mengandung unit fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai nyata ataupun potensial.
7. Prasarana adalah segala sesuatu yang menjadi penunjang utama penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
8. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
9. Benih adalah tanaman atau bagian dari tanaman yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau
mengembangbiakkan tanaman. 10. Organisme Pengganggu Tanaman adalah semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tanaman. 11. Bahan Pelindungan Tanaman adalah bahan kimia sintetis,
bahan alami atau bukan sintetis, jasad hidup, dan bahan
lainnya yang digunakan untuk melindungi tanaman budidaya.
12. Pemuliaan Tanaman yang selanjutnya disebut Pemuliaan adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau
kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk dengan memafaatkan
ilmu, teknologi, dan seni untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik.
13. Varietas Tanaman yang selanjutnya disebut Varietas adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman,
daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama.
14. Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun
berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan
masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
15. Standarisasi adalah proses merencanakan, merumuskan,
menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
16. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada penyelenggara Budidaya Tanaman, proses, dan produk.
17. Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang pertanian.
18. Badan Usaha Budidaya Tanaman adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia yang
menyelenggarakan Budidaya Tanaman sebagai kegiatan usahanya.
19. Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
20. Pembudidaya Tanaman selanjutnya disebut Pembudidaya,
adalah Petani dan kelompok Petani, atau badan usaha yang menyelenggarakan Budidaya Tanaman.
21. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air Irigasi untuk menunjang kegiatan Budidaya Tanaman.
22. Introduksi Sumber Daya Genetik yang selanjutnya disebut Introduksi adalah memperkenalkan sumber daya genetik unggul ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk kepentingan pemuliaan tanaman dan Budidaya Tanaman.
23. Rencana Induk Budidaya Tanaman adalah perencanaan secara menyeluruh penyelenggaraan Budidaya Tanaman yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan
nasional, pembangunan daerah, dan pembangunan sektoral.
24. Pupuk adalah bahan organik, anorganik, hayati atau mikroba yang berperan dalam peningkatan kesuburan
tanah dan menyediakan unsur hara bagi keperluan tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 2
Sistem Budidaya Tanaman dilaksanakan berasaskan:
a. kedaulatan;
b. kemandirian; c. kebermanfaatan;
d. Keterpaduan; e. kebersamaan; f. daya saing;
g. keberlanjutan; h. efisiensi berkeadilan;
i. kelestarian fungsi lingkungan; dan j. kearifan lokal.
Pasal 3
Sistem Budidaya Tanaman dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mengelola dan mengembangkan sumber daya budidaya
pertanian secara optimal, bertanggung jawab, dan berkelanjutan;
b. meningkatkan dan memperluas penyediaan hasil tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pakan, kesehatan, industri dan energi di dalam negeri serta
memperbesar ekspor; c. meningkatkan daya saing bangsa; d. mendorong perluasan dan pemerataan berusaha dan
kesempatan kerja; e. memberikan perlindungan kepada Pembudidaya dan
konsumen hasil Budidaya Tanaman; f. meningkatkan pendapatan dan taraf hidup Pembudidaya;
dan
g. meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat.
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. penyelenggaraan urusan pemerintahan; b. rencana induk budidaya tanaman; c. pengembangan sumber daya;
d. pembangunan prasarana; e. penyediaan sarana produksi;
b. penyelenggaraan Budidaya Tanaman; c. peran serta masyarakat; dan
d. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 5
(1) Pemerintah berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Budidaya Tanaman.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Budidaya Tanaman.
Pasal 6
(1) Dalam menyelenggarakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Pemerintah bersama-sama Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan
masing-masing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Budidaya Tanaman
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Budidaya
Tanaman yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan Pemerintah.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Budidaya Tanaman yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Budidaya Tanaman yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah
kabupaten/kota.
(5) Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang Budidaya Tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
BAB III
RENCANA INDUK BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 7
(1) Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional disusun sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
(2) Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional disusun dengan memperhatikan:
a. daya dukung lingkungan;
b. rencana tata ruang wilayah;
c. kondisi sosial ekonomi kewilayahan;
d. kecenderungan perubahan lingkungan global; dan
e. usulan provinsi.
(3) Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional memuat:
a. visi, misi, dan strategi;
b. sasaran dan pentahapan;
c. pengembangan sumber daya; dan
d. pembangunan sarana dan prasarana.
(4) Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh lima) tahun.
Pasal 8
(1) Menteri menyusun Rencana Induk Budidaya Tanaman
nasional.
(2) Penyusunan Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan
kementerian dan/atau lembaga terkait.
(3) Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Kepala Daerah menyusun Rencana Induk Budidaya Tanaman daerah.
(2) Rencana Induk Budidaya Tanaman Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Rencana Induk Budidaya Tanaman nasional, memperhatikan kearifan lokal dan melibatkan peran serta masyarakat.
(3) Rencana Induk Budidaya Tanaman daerah disusun dengan memperhatikan:
a. daya dukung lingkungan daerah;
b. rencana tata ruang wilayah daerah;
c. kondisi sosial ekonomi kewilayahan;
d. kecenderungan perubahan lingkungan global; dan
e. keserasian kebijakan antar daerah.
(4) Rencana Induk Budidaya Tanaman Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB IV
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Sumber Daya Alam
Paragraf 1
Sumber Daya Genetik
Pasal 10
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan Sumber Daya Genetik bagi penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Dalam pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dapat melibatkan peran serta masyarakat.
(3) Pengelolaan Sumber Daya Genetik dilakukan melalui kegiatan eksplorasi, konservasi, karakterisasi dan evaluasi.
(4) Pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melindungi, melestarikan, memperkaya, memanfaatkan, dan mengembangkan
Sumber Daya Genetik secara lestari dan berkelanjutan.
(5) Pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Kegiatan eksplorasi Sumber Daya Genetik dilakukan untuk mencari, mengumpulkan, serta meneliti jenis varietas lokal tertentu.
(2) Kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengamankan dan menyelamatkan varietas-varietas lokal dari kepunahan akibat penggunaan
varietas-varietas unggul baru secara intensif.
(3) Kegiatan eksplorasi dilakukan antara lain pada :
a. daerah sentra produksi;
b. daerah produksi tradisional;
c. daerah terisolir;
d. daerah lereng-lereng gunung;
e. daerah pulau terpencil;
f. daerah masyarakat adat;
g. derah yang menggunakan komoditas Budidaya Tanaman sebagai makanan pokok;
h. daerah epidemik organisme pengganggu tanaman; dan/atau
i. daerah transmigrasi lama dan baru.
Pasal 12
(1) Kegiatan konservasi Sumber Daya Genetik dilakukan
dengan cara:
a. in situ; dan
b. ex situ.
(2) Kegiatan konservasi Sumber Daya Genetik in situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan mengamankan tempat tumbuh alamiah Sumber Daya Genetik.
(3) Pemerintah menetapkan kawasan konservasi Sumber Daya Genetik in situ sebagai suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
(4) Suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diwujudkan dalam bentuk cagar alam dan suaka
margasatwa.
(5) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diwujudkan dalam bentuk taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam.
Pasal 13
(1) Kegiatan konservasi Sumber Daya Genetik ex situ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersifat aktif
dan dilaksanakan dengan cara memindahkan suatu varietas ke tempat pemeliharaan baru di luar habitat alamiahnya.
(2) Tempat pemeliharaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. kebun koleksi;
b. tempat penyimpanan benih;
c. tempat penyimpanan kultur jaringan;
d. tempat penyimpanan kultur serbuk sari; dan
e. tempat penyimpanan kultur bagian tanaman yang
lainnya.
(3) Dalam rangka konservasi Sumber Daya Genetik ex situ, Pemerintah membangun bank gen koleksi benih.
Pasal 14
(1) Bank gen koleksi benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) berfungsi memberikan layanan permintaan benih kepada pengguna dalam jumlah tertentu
untuk tujuan penelitian atau Pemuliaan Tanaman.
(2) Pembangunan bank gen koleksi benih dapat dilakukan bekerja sama dengan lembaga penelitian pada perguruan
tinggi.
Pasal 15
(1) Karakterisasi Sumber Daya Genetik antara lain :
a. mengidentifikasi sifat-sifat penting yang bernilai
ekonomis; dan
b. mengidentifikasi ciri khas dari suatu varietas tanaman.
(2) Karakterisasi Sumber Daya Genetik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi karakter morfologis, karakter agronomis, karakter fisiologis, penanda biokimia,
dan penanda molekular.
(3) Evaluasi Sumber Daya Genetik bertujuan untuk :
a. mengidentifikasi kandungan senyawa gizi; dan
b. mengetahui reaksi varietas tanaman terhadap cekaman faktor biotik dan faktor abiotik.
(4) Kegiatan karakterisasi dan evaluasi Sumber Daya Genetik dilakukan secara bertahap dan sistematis dalam rangka mempermudah upaya pemanfaatan plasma nutfah.
(5) Kegiatan karakterisasi dan evaluasi Sumber Daya Genetik dilakukan untuk menghasilkan sumber daya genetik yang berasal dari sifat-sifat potensial yang siap digunakan dalam
program pemuliaan tanaman.
Pasal 16
(1) Dalam rangka penyelenggaraan budidaya tanaman Pemerintah melakukan inventarisasi, pendaftaran,
pendokumentasian, dan pemeliharaan Sumber Daya Genetik bagi penyelenggaraan Budidaya Tanaman diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Inventarisasi, pendaftaran, pendokumentasian, dan pemeliharaan Sumber Daya Genetik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan peran serta masyarakat.
(3) Dalam rangka inventarisasi, pendaftaran,
pendokumentasian, dan pemeliharaan Sumber Daya Genetik, Pemerintah membangun sistem informasi sumber
daya genetik.
(4) Data pada sistem informasi Sumber Daya Genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimanfaatkan untuk
kepentingan penelitian, pengembangan dan penentuan kebijakan.
Pasal 17
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pengayaan
sumber daya genetik bagi penyelenggaraan Budidaya Tanaman melalui introduksi Sumber Daya Genetik.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan perizinan dan penggunaan fasilitas penelitian milik pemerintah untuk pengayaan sumber daya genetik
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memasukkan, mendatangkan atau memindahkan
Sumber Daya Genetik baik yang berasal dari dalam maupun dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Tanaman introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dijadikan sebagai bahan Pemuliaan Tanaman atau
digunakan dalam penyelenggaraan Budidaya Tanaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, petani, Badan Usaha
dan masyarakat dapat melakukan Introduksi Sumber Daya Genetik.
(2) Introduksi Sumber Daya Genetik yang berasal dari luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan dalam bentuk
benih atau materi induk.
(3) Ketentuan tentang Introduksi Sumber Daya Genetik, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 19
(1) Pemerintah mengatur pemasukan dan pengeluaran sumber
daya genetik ke dan dari dalam negara Republik Indonesia.
(2) Setiap Orang dilarang mengeluarkan sumberdaya genetik
tanaman yang terancam punah dan/atau yang dapat merugikan kepentingan nasional tanpa ijin menteri.
(3) Ketentuan atas pengeluaran sumberdaya genetik diatur
lebih lanjut dengan peraturan Menteri.
Pasal 20
(1) Sumber daya genetik yang menghasilkan produk yang memiliki ciri khas terkait wilayah geografis tertentu
dilindungi kelestarian dan pemanfaatannya dengan hak indikasi geografis.
(2) Ketentuan atas hak indikasi geografis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 2
Lahan dan Tata Ruang
Pasal 21
(1) Lahan Budidaya Tanaman terdiri atas lahan terbuka dan lahan tertutup.
(2) Lahan Budidaya Tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tanah dan/atau media tanam lainnya.
(3) Lahan terbuka meliputi sawah, ladang, kebun, gambut,
dan rawa.
(4) Lahan tertutup meliputi rumah kaca dan bangunan
berstruktur.
Pasal 22
(1) Pembukaan dan/atau pengolahan lahan Budidaya
Tanaman dilakukan dengan menggunakan teknik penyiapan lahan yang ramah lingkungan, dan tidak
mengganggu kepentingan umum.
(2) Teknik penyiapan lahan yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk :
a. Mempertahankan kesuburan tanah;
b. Menjamin pengembalian unsur hara;
c. Mencegah erosi permukaan tanah; dan
d. Membantu pelestarian lingkungan.
Pasal 23
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan informasi mengenai kesesuaian agroekosistem tanaman bagi
penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Agroekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kesesuaian lahan, iklim, sosial ekonomi, dan
lingkungan.
Pasal 24
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membina, memfasilitasi dan mengawasi perlindungan, pemeliharaan,
pemulihan dan peningkatan fungsi lahan Budidaya Tanaman.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah membina, memfasilitasi dan mengawasi pemanfaatan lahan untuk keperluan Budidaya Tanaman dengan memperhatikan
kesesuaian dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup.
(3) Pemanfaatan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai kawasan budidaya dalam rencana tata
ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata ruang.
Pasal 25
(1) Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
bertanggungjawab melindungi kawasan Budidaya Tanaman yang ditetapkan dalam rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) untuk pengembangan
Budidaya Tanaman secara berkelanjutan.
(2) Perubahan rencana tata ruang yang mengakibatkan
perubahan kawasan Budidaya Tanaman untuk keperluan lain dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan hasil Budidaya Tanaman secara nasional.
Paragraf 3
Iklim dan Perubahan Iklim
Pasal 26
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab memantau, mengevaluasi, memprakirakan, mendokumentasikan, dan memetakan pola iklim untuk
penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Pemantauan, evaluasi, prakiraan, dokumentasi, dan
pemetaan pola iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkelanjutan.
(3) Pola iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
curah hujan, suhu, sinar matahari, kelembaban udara serta arah dan kecepatan angin.
Pasal 27
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
mempublikasikan informasi pola iklim secara terbuka kepada masyarakat sebagai acuan perencanaan Budidaya Tanaman.
(2) Publikasi informasi pola iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap bulan melalui media elektronik,
media cetak dan media komunikasi lainnya.
Pasal 28
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pembinaan, fasilitasi dan pengawasan langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
(2) Mitigasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan mengurangi emis gas rumah kaca melalui:
a. penggunaan teknologi yang mengurangi emisi gas rumah kaca;
b. menggunakan sumber energi secara lebih efisien;
c. meningkatkan penyerapan karbon oleh tanaman; dan
d. mengurangi penebangan hutan.
(3) Adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan :
a. pengembangan teknik Budidaya Tanaman yang sesuai dengan kondisi banjir dan kekeringan;
b. implementasi dan pengembangan kalender tanam sebagai pedoman bagi Petani dalam memutuskan pola
dan waktu tanam yang sesuai dengan kondisi iklim dan spesifikasi lokasi;
c. perbaikan dan penyesuaian jaringan Irigasi;
d. implementasi gerakan hemat air;
e. penggunaan dan pengembangan varietas tanaman yang
toleran terhadap kekeringan, banjir dan salinitas;
f. mendorong Budidaya Tanaman yang ramah lingkungan; dan
g. optimalisasi pemanfaatan rawa lebak.
Pasal 29
Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dukungan infrastruktur dan prasarana bagi penyelenggara Budidaya
Tanaman perorangan skala kecil dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Paragraf 4
Sumber Daya Air dan Tata Guna Air
Pasal 30
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengatur pemanfaatan air untuk Budidaya Tanaman
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab:
a. memberikan dukungan ketersediaan air untuk
penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
b. menetapkan rencana alokasi dan penggunaan air untuk
penyelenggaraan Budidaya Tanaman secara efisien dan berkeadilan.
Pasal 31
(1) Pengaturan pemanfaatan sumber daya air untuk Budidaya Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
diselenggarakan melalui pengembangan dan pengelolaan jaringan Irigasi.
(2) Pengembangan jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembangunan jaringan Irigasi baru
dan/atau peningkatan jaringan Irigasi yang sudah ada.
(3) Pengelolaan jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi
jaringan Irigasi.
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan dan pengelolaan jaringan Irigasi sesuai
dengan tanggung jawab dan wewenang masing-masing.
(2) Pengembangan dan pengelolaan jaringan Irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Petani
dan Kelompok Petani.
(3) Dalam rangka mengakomodasi keterlibatan Petani dan
Kelompok Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan perkumpulan Petani pengguna air.
(4) Perkumpulan Petani pengguna air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beranggotakan semua Petani yang mendapat manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari dari
pengelolaan air dan jaringan Irigasi yang paling sedikit meliputi pemilik sawah, penggarap sawah, pemilik kolam
ikan yang mendapat air dari jaringan Irigasi.
Pasal 33
(1) Tata guna air dilaksanakan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan air serta meningkatkan penyediaan air untuk penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Penyelenggaraan tata guna air dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan air Irigasi, ketersediaan air
Irigasi dan optimalisasi pengelolaan sumber daya air.
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia
Paragraf 1
Petani dan Kelembagaan Tani
Pasal 34
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pemberdayaan Petani dalam
menyelenggarakan Budidaya Tanaman.
(2) Pembinaan dan pemberdayaan Petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan dan pendampingan;
c. penyediaan fasilitas pembiayaan, jaminan, dan asuransi;
d. kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informasi; dan
e. pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Budidaya Tanaman
Pasal 35
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mendorong dan memfasilitasi Petani untuk membentuk kelompok.
(2) Pembentukan kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas kesamaan kepentingan, kesamaan
kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan sumber daya, serta keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggotanya.
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
untuk melakukan pembinaan, fasilitasi dan pengawasan kelompok petani dengan memperhatikan kearifan lokal dan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembinaan, fasilitasi dan pengawasan kelompok petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar dapat
memberikan manfaat bagi kesejahteraan anggota.
Pasal 37
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mendorong dan memfasilitasi kerja sama kelompok petani
dengan Badan Usaha, dan badan usaha lain.
(2) Fasilitasi dan dorongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mencari mitra kerja sama;
b. menyusun pola dan skema kerja sama; dan
c. mengawasi pelaksanaan kerja sama.
Paragraf 2
Tenaga Kerja Pertanian
Pasal 38
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha bertanggung jawab meningkatkan keahlian dan
keterampilan tenaga kerja pertanian untuk memenuhi standar kompetensi kerja nasional indonesia.
(2) Peningkatan keahlian dan keterampilan tenaga kerja
pertanian dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan secara berjenjang dan berkelanjutan.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi kompetensi yang terakreditasi.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama lembaga sertifikasi kompetensi yang terakreditasi dapat
melaksanakan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 39
(1) Pemerintah menetapkan standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang Budidaya Tanaman..
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membina dan mengawasi badan usaha yang terakreditasi yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pertanian.
(3) Tenaga kerja pertanian yang telah memenuhi standar
kompetensi kerja nasional Indonesia diberikan sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang standarisasi dan penilaian kesesuaian.
Pasal 40
(1) Penyelenggara Budidaya Tanaman wajib mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja pertanian dalam negeri.
(2) Pemanfaatan tenaga kerja pertanian luar negeri dapat
dilakukan dalam hal terbatasnya sumber daya manusia dalam negeri yang mempunyai keahlian dan kemampuan
tertentu di bidang Budidaya Tanaman.
(3) Pemanfaatan tenaga kerja pertanian luar negeri harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang ketenagakerjaan.
Paragraf 3
Penyuluh Pertanian
Pasal 41
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan penyuluhan bagi penyelenggara
Budidaya Tanaman
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membentuk kelembagaan penyuluhan sebagai wadah para penyuluh
dalan menjalankan tugas dan fungsinya.
(3) Masyarakat dan pelaku usaha dapat berperan serta dalam
menyelenggarakan penyuluhan dengan membentuk kelembagaan penyuluhan swadaya dan kelembagaan penyuluhan swasta.
(4) Penyelenggaraan penyuluhan Budidaya Tanaman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 4
Pembiayaan
Pasal 42
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan dengan tingkat bunga yang
sesuai untuk Pelaku Budidaya.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. pemberian pinjaman;
b. penyertaan modal; dan/atau
c. hibah.
BAB V
PEMBANGUNAN PRASARANA
Bagian Kesatu
Standardisasi dan Sertifikasi
Paragraf 1
Standardisasi
Pasal 43
(1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan, pengawasan standarisasi dan sertifikasi di bidang Budidaya Tanaman.
(2) Standarisasi dan sertifikasi diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, sertifikasi proses, pedoman tata cara.
Pasal 44
(1) Menteri dapat menetapkan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan atau pedoman tata cara.
(2) Pemberlakuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. Keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
b. Pelestarian fungsi lingkungan hidup.
c. Peningkatan efisiensi dan kinerja
d. Peningkatan daya saing
Pasal 45
(1) Menteri mengawasi seluruh pemberlakuan SNI, spesifikasi
teknis, dan atau pedoman tata cara.
(2) Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait setiap sarana Budidaya Tanaman yang beredar yang tidak memenuhi
SNI, spesifikasi teknis, dan atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
Paragraf 2
Sertifikasi
Pasal 46
(1) Sertifikasi meliputi sertifikasi sarana produksi, proses
penyelenggaraan budidaya, dan sertifikasi hasil Budidaya Tanaman.
(2) Sertifikasi yang dimaksud memenuhi persyaratan standar nasional, regional, dan internasional.
(3) Pemerintah menerapkan standar nasional Indonesia
terhadap hasil Budidaya Tanaman impor.
Pasal 47
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan dan fasilitasi terhadap
penyelenggara budidaya perseorangan untuk dapat memenuhi persyaratan sertifikasi sebagaimana yang dimaksud di atas.
(2) Lembaga sertifikasi yang dapat melakukan sertifikasi harus terdaftar di Komite Akreditasi Nasional.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan proses sertifikasi di wilayah Republik
Indonesia.
Bagian Kedua
Infrastruktur
Pasal 48
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur bagi penyelenggaraan Budidaya Tanaman
(2) Infrastruktur sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. Fasilitas jaringan sumber daya air;
b. Fasilitas jaringan transportasi;
c. Fasilitas jaringan jalan usaha tani;
d. Fasilitas jaringan energi dan kelistrikan;
e. Fasilitas jaringan komunikasi; dan
f. Fasilitas pasar.
(3) Penyediaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. Pengadaan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
b. Pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan perseorangan, Badan
Usaha, dan badan usaha lainnya; dan
c. Pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh perseorangan atau Badan Usaha.
Bagian Ketiga
Pengembangan Teknologi
Pasal 49
(1) Dalam rangka mengembangkan inovasi dan teknologi Budidaya Tanaman, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab melakukan penelitian dan pengembangan secara berkesinambungan.
(2) Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilarang membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman hayati, dan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(3) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara bekerja sama
dengan lembaga penelitian, lembaga pendidikan, pelaku budidaya, dan/atau masyarakat.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa bantuan pendanaan dan fasilitasi bagi lembaga penelitian, lembaga pendidikan, pelaku budidaya,
dan/atau masyarakat.
Bagian Keempat
Informasi
Pasal 50
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem informasi Budidaya Tanaman untuk mendukung
penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Sistem informasi Budidaya Tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbasis teknologi informasi yang dapat diakses secara terbuka.
(3) Sistem informasi Budidaya Tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :
a. sarana produksi;
b. prasarana produksi;
c. kesesuaian agroklimat;
d. pedoman budidaya;
e. pola iklim dan pola tanam;
f. luas tanam dan luas panen; dan
g. perkembangan harga.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pembangunan sistem informasi Budidaya
Tanaman Kelompok petani dan Badan Usaha Budidaya Tanaman wajib menyampaikan informasi mengenai
kegiatan Budidaya Tanaman.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengelola informasi mengenai kegiatan Budidaya Tanaman menjadi data yang
digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Sistem Informasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan pengelolaan informasi pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam hal kelompok petani dan Badan Usaha Budidaya Tanaman tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif.
BAB VI
PENYEDIAAN SARANA PRODUKSI
Bagian Kesatu
Benih
Pasal 52
(1) Benih yang digunakan untuk penyelenggaraan Budidaya
Tanaman berasal dari varietas unggul dan bermutu.
(2) Pengembangan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
Pasal 53
(1) Pemerintah mendorong perorangan, badan penelitian dan pengembangan pemerintah, perguruan tinggi, dan Badan Usaha untuk melaksanakan kegiatan Pemuliaan Tanaman.
(2) Pemerintah menyediakan dan melindungi sumber daya genetik yang dibutuhkan untuk Pemuliaan Tanaman.
(3) Pemerintah meningkatkan kapasitas Petani dan Badan
Usaha untuk melakukan Pemuliaan Tanaman.
(4) Pemerintah memberikan fasilitas perlindungan terhadap
varietas yang dikembangkan oleh Petani perorangan.
(5) Fasilitas perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa pembebasan biaya perlindungan varietas
tanaman.
Pasal 54
Dalam hal varietas tanaman yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi rekayasa genetik, pendaftaran
peredarannya harus memenuhi persyaratan keamanan hayati sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 55
(1) Varietas hasil Pemuliaan Tanaman dalam negeri dan
introduksi yang akan diedarkan harus dilakukan pendaftaran kepada pemerintah.
(2) Dalam proses pendaftaran dilakukan pengujian sesuai
dengan kaidah Pemuliaan Tanaman.
(3) Dalam hal varietas yang dihasilkan oleh Petani perorangan maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara aktif
melakukan pendaftaran atas varietas yang akan diedarkan.
(4) Tata cara pendaftaran varietas diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 56
(1) Benih yang diedarkan merupakan benih dari varietas unggul yang memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah melalui proses sertifikasi.
(2) Pemerintah bertanggung jawab membina produsen/penangkar benih agar mampu menghasilkan
benih yang bermutu sesuai dengan standar yang ditetapkan
(3) Dalam hal benih yang dihasilkan Petani perorangan, maka
Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara aktif memfasilitasi proses sertifikasi.
Pasal 57
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penggunaan benih.
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Fungsional Pengawas Benih Tanaman.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 58
(1) Setiap Orang yang memasukkan benih ke dalam dan/atau mengeluarkan benih keluar wilayah negara Republik
Indonesia harus mendapatkan izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
mempertimbangkan ketersediaan dan kebutuhan benih dalam negeri.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin pemasukan
benih ke dalam dan/atau pengeluaran benih ke luar wilayah negara Republik Indonesia diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pupuk
Pasal 59
(1) Pupuk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh setiap Orang wajib memenuhi jenis dan standar mutu.
(2) Jenis dan standar mutu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Pemerintah dan dilaksanakan melalui sertifikasi produk.
(3) Penetapan jenis dan standar mutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memperhatikan kesesuaian dengan kondisi iklim, kondisi lahan, keamanan bagi
Pembudidaya Tanaman, ramah lingkungan, dan tidak mengganggu kepentingan umum.
Pasal 60
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan pupuk sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) sesuai dengan kebutuhan dan harga keekonomian.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran pupuk.
Pasal 61
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
pembinaan dan fasilitasi produksi pupuk organik berbasis bahan baku setempat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi pendidikan, pelatihan, dan/atau penyuluhan bagi Petani dan kelompok tani serta produsen pupuk organik.
(3) Fasilitasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pemberian pembiayaan, bantuan
dan hibah teknologi dan sarana produksi.
Pasal 62
(1) Pemerintah mendorong penggunaan pupuk produksi dalam negeri oleh Pembudidaya Tanaman.
(2) Dalam rangka mendorong penggunaan pupuk produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah memberikan fasilitas berupa subsidi harga,
potongan harga, dan kredit pembelian.
Pasal 63
(1) Penggunaan pupuk harus disesuaikan dengan
karakteristik tanah, kebutuhan tanaman, keberlanjutan penyelenggaraan Budidaya Tanaman, tidak merusak
lingkungan, dan mengganggu kepentingan umum.
(2) Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap tata cara penggunaan dan
penyimpanan pupuk.
(3) Ketentuan lebih lanjut terhadap pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap tata cara penggunaan dan
penyimpanan pupuk diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Bahan Perlindungan Tanaman
Pasal 64
(1) Bahan perlindungan tanaman yang diperjualbelikan di
wilayah Republik Indonesia wajib memenuhi standar mutu, terdaftar, terjamin efektifitasnya, aman terhadap manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label
(2) Bahan perlindungan tanaman dapat berupa pestisida nabati, agensia hayati, dan pestisida berbasis bahan kimia anorganik.
(3) Bahan perlindungan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan jenis organisme pengganggu, tingkat serangan,
hasil pertumbuhan tanaman, kondisi lingkungan, dengan menjaga keberlanjutan penyelenggaraan Budidaya Tanaman, kelestarian lingkungan, dan tidak mengganggu
kepentingan umum.
(4) Penyelenggaraan Budidaya Tanaman dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan bahan perlindungan tanaman
yang diproduksi dalam negeri.
Pasal 65
(1) Pemerintah menetapkan standar mutu bahan perlindungan tanaman yang diedarkan.
(2) Pemerintah menjamin ketersediaan bahan perlindungan tanaman sesuai dengan kebutuhan, standar mutu, dan
standar harga.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan perlindungan tanaman.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dan fasilitasi produksi bahan perlindungan tanaman untuk penyelenggara Budidaya Tanaman dalam
kelompok berbasis pada bahan baku setempat.
Pasal 66
(1) Pemerintah melarang produksi dan peredaran bahan perlindungan tanaman yang dianggap berbahaya bagi
penyelenggaraan Budidaya Tanaman, merusak lingkungan, mengganggu kesehatan manusia dan mengganggu kepentingan umum.
(2) Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap tata cara penggunaan dan penyimpanan bahan perlindungan tanaman.
(3) Setiap Orang dilarang menawarkan dan mempromosikan pestisida kimia anorganik secara langsung kepada Petani
dengan memberi informasi dan/atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan.
Bagian Keempat
Alat dan Mesin Pertanian
Pasal 67
(1) Alat dan mesin untuk penyelenggaraan Budidaya Tanaman
yang diperjualbelikan di wilayah Republik Indonesia wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar
mutu
(2) Alat dan mesin pertanian dapat berupa peralatan yang
dioperasikan dengan motor penggerak atau tanpa motor penggerak untuk penyelenggaraan Budidaya Tanaman seperti traktor, pompa air, robot, alat kontrol, alat aplikasi
bahan perlindungan tanaman, alat aplikasi pupuk (fertigasi), alat panen dan pascapanen, serta alat Irigasi
(3) Alat dan mesin yang digunakan untuk penyelenggaraan
Budidaya Tanaman mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan dan fasilitasi pengadaan dan penggunaan alat dan mesin untuk penyelenggaraan Budidaya Tanaman
BAB VII
PENYELENGGARAAN BUDIDAYA TANAMAN
Bagian Kesatu
Pelaksana Budidaya Tanaman
Paragraf 1
Pembudidaya Tanaman
Pasal 68
(1) Penyelenggaraan Budidaya Tanaman dilakukan oleh petani, kelompok petani, atau Badan Usaha yang didirikan
dan berkedudukan hukum di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Badan Usaha sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a. Koperasi;
b. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah; dan
c. Perusahaan Swasta.
(3) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c hanya dapat menyelenggarakan Budidaya
Tanaman pada skala usaha menengah dan besar.
(4) Skala usaha menengah dan besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.
(5) Pemerintah dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2) huruf b untuk melakukan kerja sama dengan petani, kelompok petani, dan koperasi.
Paragraf 2
Badan Usaha Budidaya Tanaman
Pasal 69
(1) Pemerintah mendorong penanaman modal dengan
mengutamakan penanaman modal dalam negeri di bidang usaha Budidaya Tanaman.
(2) Penanaman modal dalam negeri di bidang usaha Budidaya Tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk Badan Usaha Budidaya Tanaman.
Pasal 70
(1) Jenis usaha Budidaya Tanaman meliputi :
a. usaha dalam proses produksi;
b. usaha dalam penanganan pascapanen; dan
c. usaha terpadu dalam proses produksi dan penanganan pascapanen.
(2) Jenis usaha budidaya tanaman dengan skala besar dan menengah wajib memperoleh izin dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong dan
memfasilitasi proses perijinan bagi petani sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 71
(1) Luas lahan untuk usaha dalam proses produksi paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar.
(2) Penetapan luas lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada :
a. ketersediaan, kesesuaian dan kemampuan lahan; dan
b. pelestarian fungsi lingkungan hidup khususnya konservasi tanah.
(3) Penguasaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1) Penanaman modal asing hanya dilakukan pada badan
usaha besar dengan kepemilikan paling banyak 30 % (tiga puluh persen).
(2) Untuk Budidaya Tanaman pangan pokok tertutup bagi
penanaman modal asing.
Bagian Kedua
Tahapan Penyelenggaraan Budidaya
Paragraf 1
Pembukaan, Pengolahan Lahan, dan Penggunaan Media Tanam
Pasal 73
(1) Pembukaan dan pengolahan lahan wajib memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup, kepentingan umum, dan keberlanjutan usaha Budidaya Tanaman.
(2) Setiap Orang dilarang melakukan pembukaan lahan untuk
penyelenggaraan Budidaya Tanaman dengan cara membakar lahan, tumbuhan dan/atau benda lain yang ada
di atasnya atau melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kebakaran lahan yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Pasal 74
(1) Penyiapan media tanaman wajib menggunakan bahan yang
mampu menghasilkan produk yang aman, ramah lingkungan, memperhatikan keselamatan dan kesehatan
Pembudidaya Tanaman, kepentingan umum dan keberlanjutan Sistem Budidaya Tanaman.
(2) Setiap Orang dilarang menggunakan media tanaman dan
bahan yang menyebabkan pencemaran lingkungan, menganggu keselamatan dan Pembudidaya, kepentingan umum, dan keberlanjutan Sistem Budidaya Tanaman.
Paragraf 2
Penanaman dan pola tanam
Pasal 75
Pemerintah menyediakan informasi mengenai kesesuaian agroklimat/karakter-karakter agronomi dan iklim yang sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangan varietas.
Pasal 76
Pemerintah menyediakan pedoman mengenai pelaksanaan pola tanam dan teknik penanaman yang menjaga keberlanjutan penyelenggaraan Budidaya Tanaman, meningkatkan
pendapatan pelaku Budidaya Tanaman, serta tidak merusak lingkungan, dan merugikan kepentingan umum.
Paragraf 3
Pemanfaatan Air
Pasal 77
(1) Pemerintah melakukan pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan penggunaan air untuk Budidaya Tanaman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah menyediakan pembinaan dan fasilitasi jaringan Irigasi dalam areal Budidaya Tanaman bagi Petani.
(3) Pemerintah mendorong dan membina terbentuknya
kelembagaan pengguna air dalam satu jaringan Irigasi secara berjenjang.
Paragraf 4
Pemeliharaan Tanaman
Pasal 78
(1) Pemeliharaan tanaman harus menjamin keberlangsungan Budidaya Tanaman, menjaga kelestarian lingkungan, dan tidak mengganggu kepentingan umum.
(2) Pemerintah memberikan pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan agar penyelenggaraan pemeliharaan tanaman sesuai dengan tujuan.
Paragraf 5
Perlindungan Tanaman
Pasal 79
(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu.
(2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab masyarakat dan Pemerintah.
Pasal 80
Perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48,
dilaksanakan melalui kegiatan berupa:
a. pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke
dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; dan
c. eradikasi organisme pengganggu tumbuhan.
Pasal 81
(1) Dalam pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80, setiap Orang atau Badan Usaha dilarang menggunakan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau mengancam keselamatan
manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan/atau lingkungan.
(2) Ketentuan mengenai penggunaan sarana dan/atau cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 82
Setiap media pembawa organisme pengganggu tumbuhan yang
dimasukkan ke dalam, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam, dan dikeluarkan dari wilayah Negara
Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina tumbuhan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Setiap Kelompok Petani atau Badan Usaha yang memiliki atau menguasai tanaman wajib melaporkan adanya
serangan organisme pengganggu tumbuhan pada tanamannya kepada pejabat yang berwenang dan yang
bersangkutan harus mengendalikannya.
(2) Apabila serangan organisme pengganggu tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan
eksplosi, Pemerintah bertanggung jawab menanggulanginya bersama masyarakat.
Pasal 84
(1) Pemerintah dapat melakukan atau memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda
lain yang menyebabkan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan.
(2) Eradikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan apabila organisme pengganggu tumbuhan tersebut dianggap sangat berbahaya dan mengancam
keselamatan tanaman secara meluas.
Pasal 85
(1) Kepada pemilik yang tanaman dan/atau benda lainnya dimusnahkan dalam rangka eradikasi dapat diberikan
kompensasi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan hanya atas tanaman dan/atau benda lainnya
yang tidak terserang organisme pengganggu tumbuhan tetapi harus dimusnahkan dalam rangka eradikasi.
(3) Ketentuan mengenai tata cara eradikasi dan kompensasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Panen dan pascapanen
Pasal 86
(1) Panen dilaksanakan melalui teknik budidaya tanaman yang baik dalam rangka memperoleh hasil yang optimal, menekan kehilangan dan kerusakan hasil serta
terjaminnya standar mutu.
(2) Dalam pelaksanaan panen, setiap Orang atau Badan Usaha dilarang menggunakan teknik, sarana dan
prasarana yang dapat mengganggu kesehatan, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan mengganggu
kepentingan umum.
(3) Pemerintah memberikan pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan penyelenggaraan budidaya tanaman sampai
panen.
(4) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat
memberikan bantuan kepada petani dan kelompok petani yang mengalami gagal panen sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 87
(1) Pascapanen dilaksanakan untuk mempertahankan mutu
hasil, menekan kehilangan dan kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan nilai
tambah.
(2) Pascapanen meliputi kegiatan pengumpulan, pemilahan, pembersihan, pengkelasan, perlakuan untuk
memperpanjang daya simpan, standarisasi mutu, dan pengangkutan hasil.
(3) Pemerintah menentukan standar mutu dan komoditas
tanaman yang harus memenuhi standar mutu tersebut serta melakukan pengawasan dalam penerapannya.
(4) Pemerintah melakukan pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan penanganan pascapanen.
(5) Pembinaan, fasilitasi, dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi:
a. pendidikan dan pelatihan penanganan pascapanen;
b. standarisasi dan sertifikasi pascapanen; dan
c. penyediaan sarana dan prasarana pascapanen.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 88
(1) Pemerintah mendorong dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. penyusunan perencanaan;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pemberdayaan petani dan kelompok tani;
d. pengembangan sistem informasi; dan
e. pengembangan kelembagaan.
f.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PENGENDALIAN
Pasal 89
(1) Pemerintah bertanggung jawab melakukan pembinaan untuk pengembangan sumber daya manusia Budidaya
Tanaman.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit melalui:
a. penyesuaian kurikulum dan fasilitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di bidang Budidaya
Tanaman;
b. pemberian insentif seperti anugerah kekayaan intelektual luar biasa kepada setiap orang yang
menunjukkan prestasi, produktif dan kinerja yang tinggi dalam bidang Budidaya Tanaman.
Pasal 90
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan Budidaya Tanaman.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Budidaya
Tanaman yang dilaksanakan oleh Pembudidaya.
(3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang penyelenggaraan budidaya tanaman yang dilaksanakan
oleh pembudidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. perencanaan Budidaya Tanaman;
b. tenaga kerja Budidaya Tanaman;
c. pemanfaatan sumber daya alam;
d. tata guna air;
e. penggunaan benih;
f. penggunaan pupuk dan bahan pelindungan tanaman;
g. pengendalian hama terpadu; dan
h. panen dan pascapanen;
(4) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga terakreditasi
yang ditunjuk oleh Menteri.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara bersama-sama
atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Budidaya Tanaman diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB X
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 91
(1) Setiap badan usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 64
ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha, dan/atau
e. pencabutan izin usaha
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 92
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 73 ayat (2) diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 10 (sepuluh) miliar rupiah;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Orang mati atau luka berat, pelaku
diancam dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 15 (lima belas) miliar rupiah.
Pasal 93
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 68 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan pidana denda paling banyak Rp 145.000.000,00
Pasal 95
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 76 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00
Pasal 96
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
200.000.000,00
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 97
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan perundang-undangan
yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 98
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN...
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bentuk dari upaya
pemanfaatan dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang salah satunya diselenggarakan melalui Budidaya Tanaman dengan dukungan sumber daya
manusia dan sumber daya buatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penyelenggaraan Budidaya Tanaman perlu diarahkan
kepada Sistem Budidaya Tanaman yang optimal, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk penyediaan pangan, sandang, papan, kesehatan, estetika, pakan industri dan energi di dalam negeri dan memperbesar
ekspor.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang telah berlaku selama 23 tahun terakhir sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat dalam bidang penyelenggaraan Budidaya Tanaman yang efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Perubahan
perkembangan tersebut terkait dengan perkembangan masyarakat yang lebih demokratis, bergesernya sebagian kewenangan pemerintah pusat ke daerah sebagai konsekuensi diterbitkannya undang-undang yang terkait
baik langsung maupun tidak langsung dengan pengaturan budidaya tanaman.
Lingkungan strategis di dalam negeri sudah berbeda dibandingkan ketika UU SBT diundangkan dan akan terasa berubah terutama yang terkait dengan peningkatan kebutuhan hasil Budidaya Tanaman yang mencakup
pangan, sandang, papan, kesehatan, estetika, pakan industri dan energy oleh karena peningkatan jumlah, kemampuan ekonomi dan perubahan tatanan social penduduk Indonesia, ditengah makin berkurangnya
ketersediaan lahan, dan berkembangnya teknologi baru. Tantangan perubahan lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap penyelenggaraan
Budidaya Tanaman adalah perubahan iklim yang menyebabkan cuaca extrim dan telah dirasakan merubah keseimbangan lingkungan serta merugikan penyelenggaraan Budidaya Tanaman. Lingkungan external yang
dapat berpengaruh terhadap penyelenggaraan Budidaya Tanaman seperti globalisasi, kerjasama internasional dan sistem perdagangan bebas.
Dalam rangka mencapai tujuan mulia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, agar kepentingan bangsa dan Negara Indonesia dan Petani sebagai pelaku utama penyelenggaraan Budidaya Tanaman dapat dilindungi, dan dikembangkan,
serta hal lain yang dapat mengganggu kepentingan bangsa dan negara serta
tercapainya tujuan Budidaya Tanaman dapat diatur sebaik-baiknya. Perubahan tersebut menyebabkan banyak perubahan makna, susunan, dan
kandungan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang meliputi dihilangkannya Bab Pengusahaan, Penyerahan Tugas dan Urusan Pembatuan, serta Penyidikan,
yang digantikan dengan Bab Penyelenggaraan Pemerintahan, Pengembangan Sumberdaya, dan Pembangunan Prasarana.
Untuk pengaturan lebih lengkap pada Bab Penyelenggaraan Pemerintahan ditambahkan pasal-pasal mengenai kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan Budidaya Tanaman; pada Bab
Pengembangan Sumberdaya ditambahkan pasal-pasal mengenai Sumberdaya Genetik, serta Iklim dan Perubahan Iklim, Tenaga Kerja Pertanian, dan Pembiayaan; dan pada Bab Pembangunan Prasarana
ditambahkan pasal-pasal mengenai Sertifikasi dan Standarisasi, Pengembangan Teknologi, dan Sistem Informasi. Pada pasal pasal yang lain
dilakukan perubahan agar dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan strategis saat dan ini dan perubahannya dimasa mendatang.
Melalui perubahan ini diharapkan tujuan penyelenggaraan Budidaya
Tanaman untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya budidaya pertanian secara optimal, bertanggung jawab, dan berkelanjutan; meningkatkan dan memperluas penyediaan hasil tanaman untuk
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, estetika, pakan, industri dan energi di dalam negeri dan memperbesar ekspor; meningkatkan
daya saing bangsa yang terkait kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan; mendorong perluasan dan pemerataan berusaha dan kesempatan kerja; memberikan perlindungan kepada Petani, pelaku usaha, dan
konsumen hasil budidaya tanaman; meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan pelaku usaha bidang produksi pertanian; serta
meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan” adalah bahwa
pelaku budidaya tanaman memiliki kemerdekaan dan kebebasan serta dengan kesadaran penuh untuk menentukan pilihan jenis komoditas dan tanaman yang dibudidayakan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah bahwa
pelaku budidaya tanaman memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan praktik budidaya tanaman yang baik, baik secara sendiri maupun bermitra dengan pihak lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebermanfaatan” adalah penyelenggaraan Budidaya Tanaman harus memberikan
manfaat bagi kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat,
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan adalah Sistem
Budidaya Tanaman diselenggarakan secara terpadu mulai dari sistem input, proses produksi, panen sampai dengan pasca
panen.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah Sistem
Budidaya Tanaman diselenggarakan secara harmonis oleh Petani, Kelompok Petani dan Badan Usaha.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “dayasaing” adalah penyelenggaraan budidaya tanaman harus menghasilkan produk unggul yang
memiliki kemampuan bersaing di pasar domestik dan pasar internasional.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah sistem budidaya tanaman diselenggarakan dengan prinsip-prinsip adil secara sosial, efesien secara ekonomi, dan berkesinambungan
secara ekologi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas efisiensi berkeadilan” adalah sistem budidaya tanaman menjunjung tinggi prinsip efesiensi ekonomi yang memberi manfaat kepada pelaku secara adil dan
beradab.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian fungsi lingkungan hidup adalah sistem budidaya tanaman harus menggunakan sarana, prasarana, tata cara dan teknologi yang menjunjung
tinggi keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah
penyelenggaraan budidaya tanaman harus memperhatikan karakteristik sosial, ekonomi dan budaya serta nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat 1
Yang dimaksud dengan “in situ” adalah kegiatan konservasi
Sumber Daya Genetik dilakukan di dalam lokasi konservasi.
Yang dimaksud dengan “ex situ” adalah kegiatan konservasi
Sumber Daya Genetik dilakukan di luar lokasi konservasi, termasuk di dalam laboratorium dan kebun percobaan lain
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Yang dimaksud dengan “Bank Gen” adalah koleksi benih dan
penampungan Sumber Daya Genetik yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan budidaya sewaktu-waktu.
Ayat 9
Cukup jelas
Ayat 10
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan “rawa lebak” adalah lahan yang sebagian besar berupa rawa dan tergenang air hampir sepanjang waktu.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pelindungan tanaman” adalah alat
yang berupa sprayer dan fumigator.
Yang dimaksud dengan “APLIKASI PUPUK” adalah alat yang
berupa fertigasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas