Top Banner
08 /2012 Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Sarat Masalah (Versi Juli 2012) Oleh: A. A. Oka Mahendra Asih Eka Putri PT MARTABAT Prima Konsultindo (MARTABAT) Ruko Kebayoran Arcade Blok C2 No. 31, Jl. Boulevard Bintaro Jaya Pusat Kawasan Niaga, Sektor 7, Tangerang Selatan, 15224 T. +62.21.74870811 F. +62.21.74870811 ekst. 401 E. [email protected] W. http://www.jamsosindonesia.com/ Seri Telaah MARTABAT
12

Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

Mar 15, 2019

Download

Documents

dinhthuan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

08 /2012

Rancangan

Peraturan Presiden

tentang Jaminan Kesehatan

Sarat Masalah

(Versi Juli 2012)

Oleh:

A. A. Oka Mahendra

Asih Eka Putri

PT MARTABAT

Prima

Konsultindo (MARTABAT)

Ruko Kebayoran Arcade Blok C2 No. 31, Jl. Boulevard Bintaro Jaya

Pusat Kawasan Niaga, Sektor 7, Tangerang Selatan, 15224

T. +62.21.74870811 F. +62.21.74870811 ekst. 401

E. [email protected]

W. http://www.jamsosindonesia.com/

Seri Telaah MARTABAT

Page 2: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

1 | MARTABAT Prima Konsultindo

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN

TENTANG JAMINAN KESEHATAN SARAT MASALAH Oleh : A. A. Oka Mahendra, S.H. dan Dr. Asih Eka Putri

Jakarta, 6 Agustus 2012

Pemerintah sekarang sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Presiden tentang

Jaminan Kesehatan sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang

DJSN dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.

Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan

Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat (2), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23

ayat (5), Pasal 26, Pasal 27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (2).

Dalam Undang-Undang BPJS terdapat 2 Pasal yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut

dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (5) huruf a.

PERLU DIPRIORITASKAN

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan perlu diprioritaskan untuk mendukung

beroperasinya BPJS Kesehatan, mulai 1 Januari 2014.

Menurut Pasal 70 huruf a Undang-Undang BPJS Peraturan Presiden tentang Jaminan

Kesehatan harus ditetapkan paling lama pada tanggal 25 November 2012. Maksudnya agar

Peraturan Presiden tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mempersiapkan

beroperasinya BPJS Kesehatan.

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan mengatur secara komprehensif mengenai

besaran Iuran, tambahan Iuran dan tata cara pembayaran Iuran, penahapan pendaftaran

peserta, kepesertaan Jaminan Kesehatan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan

kerja, manfaat Jaminan Kesehatan, pelayanan kesehatan dan urun biaya, kewajiban BPJS

Kesehatan memeberikan kompensasi, jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin,

kerjasama dengan fasilitas kesehatan dan lain-lain.

Page 3: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

2 | MARTABAT Prima Konsultindo

Sebagai peraturan pelaksanaan, Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus

bersifat operasional dan dirumuskan secara jernih (clear) dan efektif, agar program

Jaminan Kesehatan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan harus secara konsisten menjabarkan

ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS yang memberi pendelegasian,

agar tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan dapat dicapai yaitu untuk menjamin

peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan.

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip

asuransi social dan prinsip ekuitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SJSN .

Prinsip asuransi sosial meliputi:

a. Kegotongroyongan;

b. Kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif;

c. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan;

d. Bersifat nirlaba.

Prinsip ekuitas, yaitiu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan

medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya.

Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan seharusnya mengatur secara teknis

operasional dan komprehensif ketentuan Pasal-Pasal Undang-Undang SJSN dan Undang-

Undang BPJS yang memberikan delegasi dan secara tata asas berpedoman pada Pasal 19

sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang SJSN dan Pasal-Pasal Undang-Undang BPJS yang

erat kaitannya dengan Jaminan Kesehatan.

SARAT MASALAH

Meskipun Pemerintah telah berupaya menjabarkan ketentuan pokok mengenai Jaminan

Kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS, namun

Rancangan Peraturan Presiden yang kini sedang dibahas dikalangan Pemerintah masih

sarat masalah (versi Juli 2012).

Permasalahan yang menonjol antara lain sebagai berikut.

1. TUJUAN YANG INGIN DICAPAI TIDAK JELAS

Penyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan masih gamang dalam

merumuskan tujuan pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan.

Penyususun terkesan sekedar ingin memenuhi formalitas membentuk Peraturan Presiden

Page 4: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

3 | MARTABAT Prima Konsultindo

tentang Jaminan Kesehatan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan dalam Undang-

Undangn BPJS.

Padahal menurut Veda R Charrow c.s. (Clear and Effective Legal Writing, 1995:86)

”One of the first steps in planning any document is to list every purpose you have for

writing that document. Start by thinking abaut your ultimate purposes for the

document.”

Tujuan srategis dari pembentukan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan belum

tampak. Akibatnya penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tersebut meminjam kata-

kata Veda R.Charrow ”like trying to plot a route, on a road map without knowing your

destination.”

PerPres Jaminan Kesehatan sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memperbaiki

mekanisme penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia secara menyeluruh dan

sistematis.

2. SISTIMATIKA TIDAK LOGIS

Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan, belum tersusun

dalam alur yang sistimatis menurut sekuen yang logis. Masih terdapat lompatan-lompatan

dari satu bab ke bab lainnya atau dari satu bagian ke bagian lainnya, bahkan dari satu ide

ke ide yang lain.

Misalnya, mengenai pengaturan peserta bukan Penerima Bantuan Iuran, belum tuntas

diatur sudah dilanjutkan dengan pengaturan kepesertaan bersifat wajib dan dikembangkan

secara bertahap. Kemudian dilanjutkan dengan Bagian yang mengatur anggota keluarga

peserta.

Ikhwal pentahapan peserta kembali diatur dalam Bab lain yang mengatur mengenai

Pendaftaran Peserta.

Contoh lainnya ialah Bab tentang Manfaat Jaminan yang diawali dengan pengaturan

mengenai Manfaat Dasar, tanpa uraian yang jelas mengenai cakupannya, kemudian

dilanjutkan dengan Bagian Penyelenggaraan.

Contoh lainnya lagi, Bab VIII tentang Fasilitas Kesehatan sistimatikanya melompat-lompat.

Sistimatika Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan bertentangan

dengan prinsip perancangan peraturan sebagaimana dikemukakan oleh Dickerson, The

Fundamental of Legal Drafting, Second Edition:

”The second major formal technique for ridding a legal instrument of many of its

substantive inadequacies is to arrange it rigorously and sistimaticaly. The reason is

Page 5: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

4 | MARTABAT Prima Konsultindo

simply that good architecture directs attention to the nature and relative position of

each element in the hierarchy of the client’s ideas.”

3. INKONSISTENSI PENGGUNAAN ISTILAH

Masih ditemukan pengunaan istilah secara tidak konsisten dalam Rancangan Peraturan

Presiden tentang Jaminan Kesehatan .

Contoh-contoh istilah yang tidak konsisten:

1. “keluarga “Pasal 1 angka 17 atau “anggota keluarga“ Pasal 9 RPerpres dengan

pengertian masing-masing;

2. ”anggota TNI “Pasal 1 angka 22 dan Pasal lainnya dalam RPerpres, berbeda dengan

Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang menggunakan istilah

“Prajurit TNI” (Bab VII).

3. ”Fasilitas pelayanan kesehatan ”Pasal 1 angka 18 , istilah “provider” dalam Pasal

Pasal 36 ayat(2)dan istilah “fasilitas kesehatan Bab VIII RPerpres. Undang-Undang

SJSN menggunakan istilah ”fasilitas kesehatan” dalam Pasal 23 ayat (1), ayat(2)

Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2).

4. ”Kartu Peserta” dalam Pasal 13 ayat (6) dan Pasal 21 R Perpres, tidak diatur dalam

Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang BPJS. Sebaliknya, Pasal 15 ayat(1)

Undang-Undang BPJS dan Pasal 13 huruf a Undang-Undang BPJS mewajibkan BPJS

memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta.

5. ”Penarikan Iuran” dalam Pasal 30 RPerpres, tidak dikenal dalam Undang-Undang

SJSN maupun dalam Undang-Undang BPJS yang menggunakan istilah ”memungut,

membayar, membayarkan, menyetor, memungut dan mengumpulkan, menerima

bantuan Iuran, dan menagih pembayaran iuran.”

6. ”Sumber Iuran” dalam judul bagian kesatu Bab V tidak konsisten dengan bunyi Pasal

22 RPerpres. Sebaliknya, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang BPJS menggunakan

istilah “ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.”

7. ”BPJS” dalam Pasal 11 ayat(3), Pasal12, Pasal 13 dll, dan “BPJS pelaksana program

jaminan kesehatan” dalam Pasal 62 R Perpres, seharusnya secara konsisten ditulis

“BPJS Kesehatan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 RPerpres.

8. Pengelompokan peserta jaminan kesehatan dalam Pasal 5 RPerpres ke dalam

“peserta penerima bantuan iuran dan “peserta bukan penerima bantuan iuran”.

”Peserta bukan penerima bantuan iuran” dikelompokkan lagi menjadi ”peserta

pekerja penerima upah dan keluarganya”, ”peserta pekerja yang tidak menerima

Page 6: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

5 | MARTABAT Prima Konsultindo

upah yang mampu membayar iuran dan keluarganya” dan “peserta bukan pekerja

yang mampu membayar iuran dan keluargannya.” Hal tersebut tidak konsisten

dengan ketentuan Pasal Pasal 27 Undang-Undang SJSN yang mengelompokkan

peserta menjadi ”peserta penerima upah”, “peserta yang tidak menerima upah” dan

“penerima bantuan iuran.” ”Setiap pemberi kerja”dalam Pasal 13 ayat(1) sedangkan

Pasal 13 ayat (3) R Perpres mengunakan istilah “seluruh pemberi kerja”dalam Pasal

13 ayat (3) .

4. MATERI MUATAN BERTENTANGAN/TIDAK SESUAI DENGAN UU SJSN/UU BPJS

Masih terdapat materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan yang

bertentangan/tidak sesuai dengan Undang-Undang SJSN atau Undang-Undang BPJS.

Materi muatan R Perpres tentang Jaminan Kesehatan yang bertentangan/tidak sesuai

dengan Undang-Undang SJSN, atau Undang-Undang BPJS antara lain:

(1) Penerima manfaat

Pasal 9 RPerpres mengenai anggota keluarga peserta tidak dibatasi jumlahnya,

bertentangan dengan Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang membatasi

jumlah anggota keluarga sebanyak-banyaknya 5 (lima orang) terdiri dari istri/suami yang

sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah dan anak angkat yang sah.”

(2) Kewajiban Fasilitas Kesehatan

Pasal 12 ayat (3) RPerpres yang mewajibkan fasilitas kesehatan memberi tahu peserta dan

atau kantor BPJS terdekat apabila mendapatkan perubahan status peserta, bertentangan

dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang SJSN yang menentukan bahwa fasilitas

kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS bertugas memberikan manfaat jaminan

kesehatan kepada peserta. UU SJSN tidak mengatur kewajiban fasilitas kesehatan untuk

memberitahu perubahan status peserta, melainkan perubahan status peserta menjadi

urusan BPJS dan/atau pemberi kerja.

(3) Iuran Tambahan

Pasal 25 ayat(1) dan ayat (2) RPerpres yang mewajibkan peserta mengikutsertakan

anggota keluarganya yang lain, bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

SJSN yang menentukan “Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari 5 (lima ) orang

yang ingin mengikutsertakan anggota keluarganya wajib membayar tambahan iuran.”

Ketentuan Undang-Undang tersebut tidak mewajibkan Pekerja untuk mengikutsertakan

anggota keluarganya yang lain sebagai peserta jaminan kesehatan. Tetapi jika ia

mengikutsertakannya, maka ia wajib membayar tambahan iuran.

Page 7: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

6 | MARTABAT Prima Konsultindo

Pasal 25 ayat (3) huruf c dan d memperluas Penjelasan Pasal 20 ayat (3) Undang-undang

SJSN yang menyatakan ”Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang lain dalam

ketentuan ini adalah anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu, mertua.”

Untuk mengikutsertakan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

rumah tangga tersebut, dapat diatur mutatis mutandis seperti pekerja penerima upah.

(4) Kelas Perawatan di Rumah Sakit

Pasal 34 RPerpres yang mengatur mengenai kelas perawatan untuk rawat inap bagi

peserta bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang SJSN yang

menentukan ”Dalam hal peserta mebutuhkan rawat inap di rumah sakit maka kelas

pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar.” Ketentuan tersebut harus

dihubungkan dengan prinsip ekuitas jaminan kesehatan yang ditentukan dalam Pasal 19

ayat (1) Undang-Undang SJSN. RPerPres harus menetapkan kriteria kelas standar sebagai

dasar hukum bagi BPJS Kesehatan berkontrak dengan fasilitas kesehatan, misalnya luas

ruang rawat perorang dan fasilitas yang tersedia di ruang rawat untuk setiap pasen.

Penetapan kelas dengan menggunakan angka (kelas 2 atau kelas 3) akan menimbulkan

ketidakjelasan dalam praktik.

(5) Urun Biaya

Pasal 37 R Perpres mengenai urun biaya belum konsisten menjabarkan ketentuan Pasal 22

ayat (2) Undang-Undang SJSN yang menentukan bahwa untuk jenis pelayanan yang dapat

menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Jenis pelayanan

dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi

oleh selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian suplemen, pemeriksaan diagnostik,

dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis. Urun biaya dikenakan kepada

setiap peserta yang meminta jenis pelayanan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22 Undang-Undang SJSN.

(6) Kontrak BPJS dengan Fasilitas Kesehatan

Pasal 48 ayat (2) RPerpres yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan milik

pemerintah dan pemerintah daerah bekerjasama dengan BPJS bertentangan dengan Pasal

23 ayat (1) Undang-Undang SJSN yang tidak mewajibkan fasilitas kesehatan milik

pemerintah atau swasta untuk bekerjasama dengan BPJS. Secara hukum kerjasama

dimaksud menghendaki adanya kesepakatan diantara para pihak.

Selain itu Pasal 48 ayat (2) RPerpres tidak harmonis dengan Pasal 48 ayat (4) RPerpres

yang menentukan kerjasama dikaksanakan dengan membuat perjanjian tertulis antara

BPJS dengan fasilitas pelayanan kesehatan.

Page 8: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

7 | MARTABAT Prima Konsultindo

Pasal 51 ayat (1) RPerpres yang memberi kewenangan kepada DJSN untuk menetapkan

kriteria yang terstandar bagai fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengikuti seleksi,

bertentangan dengan Pasal 7 Undang-Undang SJSN yang menentukan tugas DJSN adalah

melakukan kajian dan penelitian, mengusulkan kebijakan investasi, mengusulkan anggaran

jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada

pemerintah, dan kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan

program jaminan sosial.

(7) Penanganan Keluhan

Pasal 57 ayat (3) mengenai penyampaian keluhan kepada DJSN tidak sesuai dengan

fungsi,tugas dan wewenang DJSN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang SJSN.

Bab X R Perpres tentang Penanganan Keluhan tidak sesuai dengan Pasal 48 Undang-

Undang BPJS yang menentukan “Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan

penanganan pengaduan peserta diatur dalam Peraturan BPJS.”

(8) Penanganan Sengketa

Bab XI R Perpres tentang Penyelesaian Sengketa, tidak sesuai dengan Pasal 49 ayat(5)

Undang-Undang BPJS yang menentukan ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.” Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan disini

adalah Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang BPJS menentukan mekanisme mediasi dilakukan melalui

bantuan mediator yang disepakati oleh kedua belah pihak secara tertulis. Bukan

diselesaikan oleh Dinas Kesehatan setempat melalui proses mediasi sebagaimana diatur

dalam pasal 58 ayat (1) RPerpres. Undang-Undang BPJS tidak mendelegasikan pengaturan

soal tersebut dalam Perpres. Apalagi materi muatannya tidak sesuai dengan Pasal 49

Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa.

(9) Pengundangan

Pasal 65 RPerpres bertentangan dengan Pasal 82 undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan antara lain

bahwa Perpres diundangkan dalam Lembaran Negara RI.

5. KETIDAKSESUAIAN MATERI MUATAN DENGAN PRINSIP SJSN

Salah satu contoh ketidaksesuaian materi muatan dengan prinsip SJSN adalah ketentuan

mengenai iuran dan manfaat jaminan kesehatan.

Page 9: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

8 | MARTABAT Prima Konsultindo

(1) Iuran

Iuran bersifat regresif. Batas atas upah sebagai dasar perhitungan iuran sangat rendah,

sehingga Pekerja yang berpenghasilan di atas batas tersebut membayar lebih kecil jika

dibandingkan secara proporsional terhadap pendapatannya.

Batas bawah upah untuk perhitungan iuran tidak ditentukan. Selain itu tidak ditetapkan

pula batas penghasilan bagi penduduk yang dibebaskan dari kewajiban membayar iuran

jaminan kesehatan dan berhak atas subsidi iuran dari Pemerintah.

Dasar perhitungan iuran berbeda untuk tiap kelompok pekerja, sehingga terkesan

mengistimewakan kelompok tertentu. Dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan bagi

pegawai negeri adalah gaji pokok, sedangkan iuran pekerja dihitung dari upah yang dalam

ketentuan umum termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.

Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah ditetapkan dalam satu angka nominal.

Penetapan ini tidak mencermati rentang penghasilan yang lebar dalam kelompok pekerja

ini. Besar iuran yang wajib dibayarkan oleh Pemerintah bagi Penerima Bantuan Iuran

ditetapkan dalam angka nominal tanpa dibatasi dengan ketentuan sekurang-kurangnya

sama dengan besar iuran terendah yang dibayar oleh pekerja. Kedua ketentuan tersebut

berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Oleh karena hal tersebut di atas, Besaran iuran dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)

RPerpres perlu dihitung secara cermat dengan memperhatikan prinsip ekuitas dan prinsip

gotong-royong, inflasi pelayanan kesehatan, luas dan dalamnya manfaat, kualitas

pelayanan kesehatan yang diberikan, serta kelangsungan penyelenggaraan program

jaminan kesehatan.

(2) Manfaat

Manfaat sangat terbuka, tidak ada batasan yang jelas maupun tegas. RPerpres perlu

mengatur pagu manfaat total untuk setahun dengan sub-sub pagunya agar lebih memberi

kepastian kepada setiap peserta dan menjamin kelangsungan penyelenggaraan program.

PerPres memuat daftar manfaat (positive list) dan daftar pengecualian (negative list),

bagimana dengan pelayanan yang tidak tercantum dalam kedua daftar tersebut?

Ketidaklengkapan daftar akan menyulitkan dalam praktek. Berbeda halnya jika PerPres

menganut teori residu, yaitu PrePres menentukan di luar jenis pelayanan yang tidak

dijamin berarti dijamin.

Pasal 26 Undang-Undang SJSN menentukan “Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS

akan diatur lebih lanjut dalam Perpres.” Dalam RPerpres diatur pelayanan kesehatan yang

Page 10: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

9 | MARTABAT Prima Konsultindo

dijamin, pelayanan kesehatan dengan urun biaya dan pelayanan kesehatan yang tidak

dijamin (Pasal 36,Pasal 37 dan Pasal 39). Ketentuan Pasal-Pasal tersebut belum sesuai

dengan kaidah jaminan kesehatan sehingga perlu dikaji secara seksama, terutama untuk

menentukan kriteria jenis pelayanan yang dijamin, yang dengan urun biaya dan yang tidak

dijamin sesuai dengan prinsip pelayanan kesehatan dalam SJSN.

Hendaknya dalam menentukan jenis pelayanan kesehatan yang tidak dijamin, PerPres

mentapkan daftar pelayanan berdasarkan kriteria jenis penyakit dan metode terapi,

seperti halnya menetapkan daftar manfaat.

6. KETENTUAN YANG AMBIGU.

Dalam RPerpres masih terdapat ketentuan yang ambigu antara lain:

1. Bagaimana tata cara pemungutan iuran WNI yang berada di luar negeri? Apakah

pemberi kerja tempat WNI yang bersangkutan bekerja wajib memungut iuran dari

pekerjanya dan membayar iuran yang menjadi kewajiban pemberi kerja dan

menyetorkannya kepada BPJS? Atau iuran dipungut dan disetorkan ke BPJS oleh

perusahaan pengirim tenaga kerja yang bersangkutan? Apakah pemberi kerja WNI di

Negara lain tunduk kepada ketentuan Undang-Undang SJSN dan Undang-Undang

BPJS?

2. Tidak jelas siapa yang wajib mendaftar menurut Pasal 8 ayat (3) RPerpres? Peserta

pekerja penerima upah atau pemberi kerjanya?

3. Pasal 10 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud dengan

pemerintah dalam ayat ini.

4. Pasal 11 ayat (3) RPerpres tidak jelas menetapkan siapa yang dimaksud dengan

Kementerian/lembaga terkait ?

5. Tidak jelas siapa atau insstansi mana yang menentukan peserta yang tidak menerima

upah termasuk secara ekonomi mampu sebagai, mana dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(1) RPerpres?

6. Tidak jelas siapa yang membentuk kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ayat (2)? Apakah kelompok dimaksud harus berbentuk badan hukum atau cukup

kelompok sukarela yang dibentuk diantara peserta?

7. Peraturan perundang-undangan mana yang dimaksud dalam pasal 15 RPerpres?

Apakan PP tentang PBI?

8. Pasal 24 RPerpres tidak jelas maksudnya.

Page 11: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

10 | MARTABAT Prima Konsultindo

9. Pasal 25 ayat (1) tanpa penempatan tanda baca yang tepat dapat berubah

pengertiannya mejadi “Peserta bukan pekerja yang mampu membayar iuran”,

sehingga ayat tersebut menjadi tidak logis.

10. Pasal 26 RPerpres apakah tidak perlu ditetapkan batas atasnya?

11. Apa yang dimaksud dengan “secara berkala” dalam pasal 27 ayat (6) R Perpres?

12. Apa yang dimaksud dengan “sesegera mungkin” dalam Pasal 30 ayat (2)?

13. Mengapa Pasal 30 ayat (3) tidak mencantumkan kewenangan BPJS untuk menagih

pembayaran iuran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf a Undang-Undang BPJS?

14. Pasal 36 angka 11 RPerpres tidak jelas menentukan diatur lebih lanjut oleh siapa

dengan instrumen hukum apa?

15. Pasal 39 ayat(1) huruf RPerpres diatur oleh pemerintah, tidak jelas siapa yang

dimaksud dengan pemerintah dan tidak jelas juga dengan instrumen hukum apa

diatur?

16. Tidak jelas tenaga apa yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) RPerpres?

17. Pasal 46 RPerpres apakah terkait dengan mutu pelayanan? Sebab Pasal tersebut

berbicara masalah kompensasi jasa medis atau gaji yang sama bagi pemberi

pelayanan tanpa memandang kelas pelayanan.

7. LAIN-LAIN 1. Perlu dikaji secara yuridis apakan Peraturan Presiden ini dapat memberikan delegasi

kewenangan kepada BPJS untuk mengatur atas persetujuan DJSN (Pasal 22 ayat (5),

Pasal 37 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), atau tanpa persetujuan DJSN (Pasal 13 ayat (3),

Pasal 14 ayat (3), Pasal 21 ayat (5), Pasal 35 ayat(3), Pasal 36 ayat (1) huruf c angka 1

dan 3, Pasal 38 ayat (2) R Perpres selain kewenangan mengatur yang ditentukan

dalam Undang-Undanag BPJS?

2. Apakan dikenal jenis peraturan perundang-undangan dalam bentuk peraturan

bersama BPJS dan DJSN sebagaiman ditentukan dalam Pasal 43 ayat (3) RPerpres?

3. Bab XII Pembinaan dan pengawasan RPerpres tidak termasuk materi muatan yang

didelegasikan pengaturannya dalam Perpres.

4. Pasal 50 ayat (1) RPerpres yang mencantumkan Ikatan Dokter Indonesia dan

Persatuan Dokter Gigi Indonesia sebagai asosiasi fasilitas kesehatan untuk dokter

praktek pribadi tidak sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentak Praktik

Page 12: Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan · Ada 7 Pasal Undang-Undang SJSN yang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden yaitu Pasal 13 ayat

11 | MARTABAT Prima Konsultindo

Kedokteran, yang menentukan organisasi tersebut sebagai organisasi profesi yang

berfungsi melakukan pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi yang melakukan

praktik kedokteran.

5. Pasal 50 ayat (2) RPerpres yang menentukan pengaturan dengan Peraturan Menteri

mengenai asosiasi fasilitas kesehatan untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang

lain di luar ketentuan Pasal 50 ayat (1) tidak sesuai dengan peraturan perundang-

undangan tentang perhimpunan berbadan hukum.

PERLU DIBEDAH DAN DIRUMUSKAN ULANG

RPerpres yang kini sedang digodog oleh Pemerintah belum layak untuk diundangkan.

Materi muatan RPerpres tentang Jaminan Kesehatan masih sarat dengan berbagai masalah.

Masalah sangat luas dan dalam, baik dilihat dari teknik penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan, maupun dari kesesuaian materi muatannya dengan Undang-Undang SJSN dan

Undang-Undang BPJS serta dengan prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan.

Jika ingin Perpres tersebut operasional, efektif dan memberi manfaat yang lebih baik bagi

peserta, RPerpres tentang Jaminan Kesehatan perlu dibedah secara cermat dan

dirumuskan ulang. Libatkan pemangku kepentingan, para ahli dan perancang peraturan

perundang-undangan yang berpengalaman.

Masyarakat menunggu diundangkannya Perpres tentang Jaminan Kesehatan dengan

harapan yang tinggi, yaitu adanya regulasi yang jelas, operasional dan efektif, untuk

memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas dan komprehensif

kepada seluruh penduduk, dan kepastian hukum bagi BPJS Kesehatan dan fasilitas

kesehatan.

Sangat disayangkan, jika window of opportunity yang disediakan oleh UU SJSN tidak

dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk penataan ulang pelayanan kesehatan perorangan di

Indonesia. Melalui program jaminan kesehatan nasional, diharapkan segera terwujud

cakupan semesta (universal coverage) pelayanan kesehatan untuk peningkatan

ketersediaan pelayanan berkualitas yang dapat berdampak pada peningkatan derajat

kesehatan dan produktifitas bangsa Indonesia.