-
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 73/PUU-IX/2011
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI
DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
J A K A R T A
KAMIS, 22 DESEMBER 2011
-
1
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
-------------- RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 73/PUU-IX/2011
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1) Feri Amsari 2) Teten Masduki 3)
Zainal Arifin Mochtar Husein 4) Danang Widoyoko (ICW)
ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan
Pemerintah (IV) Kamis, 22 Desember 2011, Pukul 14.12 15.53 WIB
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat
No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Moh. Mahfud MD (Ketua) 2) Achmad Sodiki
(Anggota) 3) Harjono (Anggota) 4) Maria Farida Indrati (Anggota) 5)
Anwar Usman (Anggota) 6) Hamdan Zoelva (Anggota) 7) Muhammad Alim
(Anggota) Yunita Ramadhani Panitera Pengganti
-
2
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon:
1) Alvon Kurnia Palma 2) Emerson Yuntho 3) Kiagus Ahmad 4) Febri
Diansyah
B. Ahli dari Pemohon:
1) Saldi Isra
C. Saksi Dari Pemohon: 1). Chandra M. Hamzah
D. Pemerintah:
1) Mualimin Abdi (Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI) 2)
Aditya (Kementerian Dalam Negeri RRI) 3) Susdiyarto (Kejaksaan
Agung RI) 4) A n t o n (Kejaksaan Agung RI) 5) Rullita 6)
Yuliana
-
3
1. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan
Ahli dan Saksi dari Pemohon maupun dari Pemerintah, kalau ada,
dalam Perkara judicial review Nomor 73/PUU-IX/2011, dinyatakan
dibuka dan terbuka untuk umum.
Baik. Pemohon, silakan perkenalkan diri dulu.
2. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA Baik, terima kasih,
Majelis Hakim. Pada saat ini, kita hadir 4
orang, pertama-tama saya, Alvon Kurnia Palma. Kedua, Saudara
Emerson Yuntho. Ketiga, Saudara Kiagus Ahmad. Kemudian yang
keempat, adalah Saudara Febri Diansyah. Terima kasih.
3. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Ya. Pemerintah?
4. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang,
salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, Yang Mulia,
saya akan sebutkan dari saya sendiri, Mualimin Abdi dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebelah kiri saya, ada Pak
Aditia dari Kementerian Dalam Negeri. Kemudian di sebelah kirinya
lagi, ada Pak Susdiyarto dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Sebelah kirinya lagi, ada Pak Anton dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Kemudian di belakang ada Saudara Rullita dan Ibu
Yuliana, kemudian ada rekan-rekan dari Kejaksaan Agung dan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Terima kasih.
5. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Baik, hari ini kita akan mendengar keterangan seorang Ahli yang
dihadirkan oleh Pemohon dan Saksi yang juga dihadirkan oleh
Pemohon. Kita mendengarkan dulu atau saksikan dulu pengambilan
sumpah terhadap saksi. Pak Chandra Hamzah supaya maju, Bapak, untuk
mengambil sumpah sebagai saksi. Silakan, Pak Alim.
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.12 WIB
KETUK PALU 3X
-
4
6. SAKSI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM
Saya persilakan mengikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai
Saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari
yang sebenarnya.
7. SAKSI MENGIKUTI LAFAL SUMPAH:
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah, sebagai
Saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari
yang sebenarnya.
8. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM
Terima kasih.
9. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Silakan duduk, Pak. Kemudian, Pak Prof. Saldi Isra. Pak Usman,
Pak Anwar.
10. AHLI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Mohon ikuti saya, ya.
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai
Ahli, akan memberikan keterangan, yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.
11. AHLI MENGIKUTI LAFAL SUMPAH:
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai
Ahli, akan memberikan keterangan, yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.
12. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Terima kasih.
13. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Baik, silakan Pak Chandra Hamzah dulu, maju Pak, ke podium. Dan
kepada Pemohon, dipersilakan untuk memandu keterangan Saksi ini,
kesaksian-kesaksian apa yang harus disampaikan di majelis ini.
-
5
14. KUASA HUKUM PEMOHON: KIAGUS AHMAD
Terima kasih, Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat dan juga
terima kasih telah datang ke hadapan kita semua, saksi dari Pak
Chandra Hamzah. Baik, pada saksi ada beberapa hal yang ingin kami
tanyakan terkait dengan permohonan kami, judicial review, atau
permohonan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah terutama mengenai Pasal 36 yang pada intinya mengenai
tentang permohonan izin kepada presiden untuk pemeriksaaan bagi
kepala daerah. Nah, mungkin kita semua tahu bahwa Pak Chandra
Hamzah pernah menjadi pimpinan KPK, seperti itu, meskipun
Undang-Undang KPK itu tidak memerlukan izin, tapi pernah pernah
atau tidak, dalam perkara pemeriksaan terkait dengan para penyidik,
baik itu kepolisian dan kejaksaan, ya, yang mengalami hambatan
dalam memeriksa kepala daerah. Pernahkah, Pak Chandra Hamzah, atau
saksi itu dimintai, ya, dimintai pendapat atau para penyidik
tersebut itu mengalami kesulitan untuk memeriksa kepala daerah
karena belum adanya atau adanya peraturan tentang izin dari
presiden tersebut? Kalau misalkan ada, dapat dijelaskan dan mungkin
kasusnya seperti apa? Terima kasih.
15. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Ya, terima kasih Majelis Hakim Yang Terhormat. Menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh Pemohon, KPK memiliki sebelumnya kami
jelaskan, KPK memiliki lima bidang tugas, salah satunya adalah
koordinasi, dan yang kemudian supervisi, yang ketiga penyelidikan,
yang keempat pencegahan, yang kelima monitoring. Dalam melakukan
tugas yang pertama dan kedua, koordinasi dan supervisi, maka di KPK
dibentuk suatu unit di bawah kedeputian penindakan yang kami yang
dinamakan Satuan Tugas Koordinasi Supervisi. Satuan Tugas
Koordinasi Supervisi ini melakukan koordinasi penanganan perkara
yang ditangani oleh aparat-aparat penegak hukum yang ada di wilayah
antara lain kepolisian dan kejaksaan. Pertama, satuan tugas ini
atau unit ini meminta laporan apa saja kasus korupsi yang sedang
ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Kemudian melakukan
analisis, dan kemudian melakukan gelar perkara, dan sedapat mungkin
apabila dirasa perlu kami melakukan bantuan secukupnya. Dalam
melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi yang merupakan
kewenangan KPK inilah, kemudian dalam beberapa hal kami menemui
laporan dari petugas yang melakukan koordinasi supervisi bahwa
hambatan-hambatan yang dialami di daerah, khususnya oleh penegak
aparat penegak hukum di daerah pada saat ditanyakan apakah kepala
daerah sudah diperiksa atau belum, jawabannya selalu surat telah
kami layangkan kepada Presiden untuk memohon izin pemeriksaan, dan
sampai sekarang belum ada
-
6
jawabannya. Kira-kira itu yang kerap terjadi dan dalam beberapa
hal mungkin ada con ada salah satu contoh yang cukup besar yang
terjadi di Jawa Timur. Kepala daerahnya belum diperiksa, yang
mengakibatkan masyarakat setempat melakukan pemblokiran jalan
Pantura. Dan oleh karena itu, hasil koordinasi kami dengan pihak
kepolisian pada saat itu, kasus itu KPK ambil alih. Demikian,
penjelasan kami.
16. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Saudara Saksi, ini terkait dengan kewenangan koordinasi dan
supervisi KPK yang diatur di Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Berdasarkan penelitian yang kita lakukan,
mohon nanti ditegaskan, apakah benar atau tidak. Pertama, apakah
benar KPK sudah melakukan pengambil alihan? Ada empat kasus korupsi
kepala daerah. Pertama, kasus di Kabupaten Kutai Kartanegara yang
melibatkan Syaukani Hasan Rais. Yang kedua kasus di Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara yang melibatkan mantan Bupati Langkat dan
Gubernur Sumatera Utara nonaktif. Yang ketiga, kasus di Kabupaten
Situbondo, Jawa Timur yang akhirnya diambil alih KPK, KPK menangani
Bupati Situbondo, dan tersangka yang lain ditangani oleh kepolisian
setempat. Dan yang keempat, kasus di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah
yang akhirnya menjerat Bupati Kendal, Hendy Bundoro. Pertama, saya
minta ketegasannya dulu, apakah benar KPK sudah mengambil alih
empat kasus ini?
17. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
He em. Izinkan kami mau menjawab, Majelis Hakim Yang Terhormat.
Yang pertama, kasus Situbondo. Kasus Situbondo memang terjadi pada
saat Pimpinan KPK periode 2000 ... periode ... tahun 2007 sampai
2011, ini yang contoh kasus yang kami sampaikan tadi. Sehingga pada
saat itu kantor kepolisian setempat dikepung oleh massa, Jalan
Pantura ditutup. Dan kemudian ... karena yang bersangkutan belum
diperiksa karena itu kami ... kami ambil alih. Yang kedua, mengenai
Syaukani. Syaukani saya tidak tahu persis apa yang terjadi karena
itu dilakukan oleh Pimpinan KPK periode pertama, begitu juga dengan
Hendy Bundoro. Tetapi yang jelas Syaukani penanganan kasusnya di
KPK, Hendy Bundoro di KPK. Hal yang lain mengenai Bupati Sumatera
Utara (...)
18. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Bupati Langkat.
-
7
19. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH Oh, maaf. Bupati
Langkat yang kemudian menjadi Gubernur Sumatera Utara. Prosesnya
yang kami ketahui, kami ketahui setelahnya adalah proses
penyelidikannya telah dilakukan oleh aparat penegak hukum setempat.
Proses penyidikannya kita jalankan. Untuk dugaan tindak pidana
korupsi pada saat yang bersangkutan sedang menjadi Bupati Langkat.
Mungkin ini yang bisa kami jelaskan.
20. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Oke, terima kasih. Pertanyaan kedua, saya ingin masuk pada kasus
yang ditangani oleh KPK, khusus pada saat periode kepemimpinan
Saudara Saksi. Pertama kasus Situbondo. Kasus Situbondo menurut
catatan kami ada 9 tersangka, satu di antaranya diambil alih oleh
KPK karena memang Polda Jawa Timur saat itu tidak bisa menangani
kepala daerah. Salah satu alasannya adalah karena izin pemeriksaan
yang tak kunjung turun. Jadi, pada kasus di Situbondo ini, izin
pemeriksaan menjadi salah satu hambatan yang krusial diprosesnya
salah satu aktor yang paling tinggi di sana. Nah, akhirnya KPK
mengambil alih Bupati Situbondo dan delapan lainnya ditangani oleh
Polda Jawa Timur. Hasilnya, Ismunarso juga divonis bersalah dan
delapan lainnya juga dengan proses yang terpisah. Itu satu hal, ini
ditangani oleh kepolisian. Kemudian menurut catatan kami, kasus
Bupati Langkat di Sumatera Utara awalnya ditangani oleh kejaksaan,
tapi karena persoalan izin pemeriksaan terhadap Bupati Langkat saat
itu yang kemudian menjadi Gubernur Sumatera Utara, maka kasus ini
terhambat dan akhirnya baru bisa diproses ketika KPK mengambil alih
kasus itu. Apakah dalam selama Saudara Saksi bertugas di Komisi
Pemberantasan Korupsi, benar terjadi komunikasi-komunikasi, atau
rapat kerja bersama, atau kerja bersama antara penyidik Polri,
kejaksaan, dan KPK. Dan penyidik Polri dan kejaksaan mengatakan
bahwa mereka terhambat karena izin pemeriksaan dalam penanganan dua
kasus itu.
21. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Izinkan kami memberikan jawaban, Majelis Hakim Yang Terhormat.
Antara KPK, Kepolisian, dan kejaksaan, beberapa kali dilakukan
rapat koordinasi, dan salah satunya kami pernah mengirimkan surat
tertanggal 12 Maret 2009 kepada Kabareskrim, nomor suratnya maaf,
tanggal 12 Maret 2009 dan kepada Jampidsus Kejaksaan Agung RI. Kami
bacakan kalau diperkenankan, tidak terlampau panjang. Menindak
menindaklanjuti hasil Rapat Koordinasi Kejaksaan Agung RI, Polri,
dan KPK tanggal 3 Maret 2009 di Mabes Polri yang
-
8
menyimpulkan antara lain bahwa penyidik kejaksaan dan penyidik
Kepolisian dalam melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara
harus mendapatkan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Presiden RI. Menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal
36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yakni melakukan penyidik maaf, penyelidikan dan penyidikan setelah
60 hari, permohonan persetujuan tertulis diterima oleh sekretaris
kabinet. Sehubungan dengan hal tersebut, mohon kiranya Kabareskrim
dapat mengirimkan data tentang jumlah permohonan persetujuan
pemeriksaan yang ditujukan kepada sekretaris kabinet dalam kurun
waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Demikian untuk maklum, atas kerja samanya
diucapkan terima kasih. Surat yang sama kami tujukan kepada
Jampidsus. Maksud dan tujuan surat ini adalah agar kami mendapatkan
data, berapa banyak kasus-kasus yang tertunda akibat diperlukannya
izin Presiden dan nanti kami komunikasikan dengan Presiden selaku
kepala negara. Itu yang pertama. Yang kedua. Pada bulan Agustus
2006, KPK telah mengirimkan surat kepada kepada Presiden Republik
Indonesia. Apabila diperkenankan, kami bacakan. Memperhatikan Yang
Terhormat Presiden Republik Indonesia. Memperhatikan dan
melaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bahwa untuk melakukan penyidikan terhadap Anggota DPR RI dan kepala
daerah dapat persetujuan Presiden. Bersama ini disampaikan daftar
kasus yang melibatkan kepala daerah, serta permintaan izin
pemeriksaan, dan tindakan Kepolisian terhadap pejabat negara dan
kepala daerah yang memerlukan izin dari Presiden, antara lain
sebagai berikut. Nomor 1 sampai dengan nomor 37. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi meminta kepada Presiden untuk dapat kiranya
mempercepat pemberian izin tersebut, guna mempercepat jalannya
penyidikan pihak Kepolisian dan kejaksaan. Demikian untuk maklum,
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari kedua surat ini, bisa
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Pemohon. Pertama. Bahwa ada
hambatan dalam proses penyidikan tindakan kepolisian terhadap
pejabat daerah, dan kemudian kami telah mengumpulkan beberapa
kasusnya, dan kami juga telah menyurati kepada Presiden Republik
Indonesia. Atas beberapa koordinasi kami dengan Kepolisian dan
kejaksaan, memang akhirnya Presiden Republik Indonesia memberikan
izin terhadap pemeriksaan kepala daerah, tetapi kami juga tidak
tahu secara persis berapa lama semenjak surat permohonan diberikan
dan sampai dengan izinnya turun. Karena kami juga mengetahui bahwa
izin dari Presiden juga diberikan, tetapi rentang waktunya kami
tidak melakukan penelitian.
-
9
22. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Oke. Pertanyaan ketiga, Saudara Saksi. Dari 37 kepala daerah
yang diduga terkait dengan kasus korupsi yang diproses oleh
Kepolisian dan Kejaksaan, berdasarkan surat yang dikirimkan oleh
KPK kepada Presiden RI di bulan Agustus 2006 saya ingin
membandingkannya dengan empat kasus yang diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi terkait salah satunya terhambat soal izin
pemeriksaan. Dari sedikitnya jumlah kasus yang diambil alih oleh
KPK, pertanyaan saya sederhana, di tengah banyaknya tugas KPK dan
jumlah laporan pengaduan masyarakat yang sangat besar, apakah
mungkin bagi KPK untuk melakukan pengambilalihan untuk semua kasus
korupsi yang melibatkan kepala daerah dan terhambat karena izin
pemeriksaan? Atau memang KPK sendiri dalam sejumlah pertemuan yang
dilakukan koordinasi dan ... supervisi dengan Kepolisian dan
Kejaksaan lebih menyarankan agar itu ditangani oleh Kepolisian dan
Kejaksaan? Mohon jawabannya. Terima kasih.
23. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Yang kami lakukan dalam melakukan koordinasi supervisi pertama
kali adalah menyarankan kepada aparat penegak hukum di daerah agar
mengrimkan surat kepada Presiden karena hampir dikatakan ... bisa
dikatakan tidak mungkin. Tidak mungkin KPK menangani seluruh kasus
kepala daerah. Apabila kita mengacu dari jumlah yang pernah kami
kirimkan ta yang kami sebutkan tadi, 37 kasus kepala daerah. Di KPK
untuk proses penyelidikan satu tahun sekitar 40, untuk penyidikan
antara 60 sampai 70, untuk penuntutan kira-kira sama dengan
penyidikan. Jadi, kalau KPK menangani seluruh kasus kepala daerah
saja, maka KPK tidak bisa menangani kasus-kasus korupsi yang lain.
Ini pendapat kami. Sementara itu, pengambilalihan juga bukan
merupakan hal yang sederhana karena berdasarkan Pasal 9 ada
syarat-syarat pengambilalihan, penanganan yang bera berlarut-larut,
laporan masyarakat tidak ditan ditindaklanjuti, dan sebagainya.
Salah satu kami melakukan pengambilalihan di Situbondo, berdasarkan
kesepakatan kami dengan Kepolisian adalah kondisi sosial masyarakat
pada daerah itu dan pada saat itu, kantor Kepolisian sudah didemo
berkali-kali, kondisi sosial tidak kondusif, akhirnya kami sepakat
dengan kepol pihak Kepolisian. Bupatinya kami tangani, sementara
tersangka yang lainnya ditangani oleh pihak Kepolisian.
Demikian.
24. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Dua pertanyaan lagi, sederhana saja. Ini pertanyaan ke empat.
Ini dari apa yang disampaikan oleh Saudara Saksi sendiri bahwa KPK
... jika KPK menangani semua kasus kepala daerah, apakah dengan
-
10
mekanisme pengambilalihan atau penanganan secara langsung, itu
membuat KPK tidak akan bisa menangani kasus korupsi yang lain
secara maksimal, apalagi kebutuhan KPK sebenarnya adalah untuk
menangani kasus korupsi dalam ... katakanlah big fish atau dalam
skala yang tinggi? Nah, jika ketentuan tentang izin pemeriksaan
Presiden itu juga diberlakukan pada Komisi Pemberantasan Korupsi,
apakah berdasarkan pengalaman Saudra Saksi selama di KPK, apakah
itu akan menghambat kerja KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya
kepala daerah?
25. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Mungkin apa yang dialami oleh Pihak Kepolisian dan Kejakasaan
akan dialami oleh KPK.
26. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Terakhir, berdasarkan laporan tahunan KPK tahun 2010, dari tahun
2004 sampai dengan tahun 2010 ada 45.301 laporan masyarakat yang
diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Lebih dari 90% di
antaranya sudah ditelaah, yaitu 44.797. Nah, kemudian ada 4.333
yang diteruskan pada tujuh institusi lainnya. Saya ingin sebutkan,
mohon izin, Yang Mulia. Untuk Kejaksaan, dari 2004 sampai 2010 ada
1.645 laporan kasus korupsi yang sudah ditelaah dan sudah diduga
ada tindak pidana korupsi di sana yang diteruskan pada Kejaksaan.
Ini yang paling tinggi. Kemudian ke Kepolisian, ada 992. Jika kasus
korupsi yang diteruskan pada Kepolisian dan Kejaksaan ini terhambat
karena mekanisme-mekanisme izin pemeriksaan atau
mekanisme-mekanisme administratif lainnya, apakah KPK ... pertama,
apakah KPK mendapatkan laporan tentang hambatan itu? Dan yang
Kedua, belajar dari pengalaman Saudara Saksi, apakah ribuan kasus
yang diteruskan kepada Kepolisian dan Kejaksaan ini bisa tuntas
jika masih ada pasal-pasal administratif yang menghambat yang
mengatur soal perlunya izin pemeriksaan Presiden salah satunya.
Terima kasih.
27. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH Mohon maaf, Yang
Mulia, kalau bisa diulangi pertanyaannya supaya lebih jelas satu
per satu.
28. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH Oke. Ada 1.645 laporan
masyarakat yang diduga mengandung unsur korupsi yang diteruskan KPK
pada Kejaksaan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Kemudian
ada 992 laporan masyarakat yang diduga mengandung korupsi yang
diteruskan kepada kepolisian.
-
11
Artinya, ada lebih dari 2.000 laporan masyarakat yang diduga
mengandung korupsi yang diteruskan kepada kepolisian dan kejaksaan.
Di sisi lain, kepolisian dan kejaksaan terhambat dengan sejumlah
norma-norma, salah satunya adalah ketentuan tentang harus adanya
izin presiden, jika kasus tersebut terkait dengan kepala daerah.
Nah, apakah menurut Saudara, dari ribuan kasus korupsi yang ada
saat ini, pasal-pasal tentang izin presiden akan berdampak sangat
luas menghambat penanganan kasus korupsi di kepolisian dan
kejaksaan? Terima kasih.
29. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Baik, saya mencoba menjawab. Saya tidak bisa memprediksi secara
pasti, tetapi yang jelas yang dialami KPK adalah bahwa deng dengan
dengan tanpa adanya keharusan memohon izin kepada presiden, maka
kasus-kasus yang ditangani KPK bisa berjalan sesuai dengan dalam
waktu yang relatif singkat. Sebagai contoh, di tahun 2007 kita
punya tiga kasus yang menyangkut kepala daerah itu sudah selesai.
Tahun 2008 kita KPK memiliki kasus di penyelidikan yang menyangkut
kepala daerah=23. Di tahun 2009, di tingkat penyelidikan, ada 10
sudah selesai. Di tahun 2010 ada 9 kasus dan di tahun 2011 ada
sekitar 15 kasus. Apakah dengan tanpa dengan tanpanya izin, maka
kasus-kasus itu akan selesai secara objektif? Saya harus sampaikan
bahwa banyak variabelnya, tetapi yang jelas tanpa adanya izin, jauh
lebih mempermudah dalam proses penyelidikan dan penyidikan karena
tidak perlu menunggu waktu yang cukup lama. Paling tidak di KPK,
apabila buktinya kuat, maka kasus penyelidikan bisa selesai sekitar
enam bulan sudah tuntas.
30. KUASA HUKUM PEMOHON: EMERSON YUNTHO
Ya, saya ingin bertanya kepada Saudara saksi, tadi disebutkan,
KPK di bulan Agustus 2006 pernah membantu kepolisian dan kejaksaan
untuk meminta percepatan dan perhatian terkait dengan pemeriksaan
kepala daerah. Di era Pak Chandra Hamzah, semasa menjabat sebagai
pimpinan KPK itu pernah juga membantu tidak mengirimkan surat
kepada presiden terkait dengan hambatan izin pemeriksaan yang
dialami oleh kejaksaan maupun kepolisian?
31. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Secara tertulis kami tidak sampaikan, tetapi secara lisan kami
sampaikan agar izin pemeriksaan presiden dipercepat.
-
12
32. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Cukup, ya? Baik, Pemerintah mau tanya? Cukup? Hakim? Cukup? Ya,
baik, silakan duduk dulu Pak Chandra, mungkin nanti akan ada
pertanyaan dari Majelis Hakim sesudah Pak Saldi. Silakan, Prof.
Saldi.
33. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Pertama, saya
mengucapkan selamat hari ibu, terutama untuk Ibu Prof. Maria, Hakim
Konstitusi yang hari ini kita semua memperingati hari ibu dan juga
kepada para Ibu yang hadir di ruangan ini. Sayang hari ba hari
Bapaknya tidak ada, jadi tidak ada ucapan khusus untuk Hakim-Hakim
Konstitusi yang Bapak-Bapak.
Saya diminta oleh Pemohon untuk menjelaskan kira-kira apa
persoalan izin yang ada dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dikaitkan dalam
desain besar pemberantasan korupsi. Bahan terbesar yang saya
gunakan di sini ada dua. Pertama, makalah yang dulu pernah saya
persentasikan dalam sebuah seminar. Yang kedua, hasil kajian yang
dimuat di website-nya Kejaksaan Agung, nanti beberapa bagian yang
akan saya sampaikan.
Majelis Hakim Yang Mulia, dalam pemahaman dan hasil beberapa
telaah Ahli, terkait dengan pemberantasan korupsi, pertanyaan besar
yang selalu muncul adalah di tengah upaya pemberantasan korupsi
yang begitu marak, tapi di sisi lain praktik korupsi semakin masif.
Pertanyaan besarnya, mengapa pemberantasan itu kemudian tidak bisa
mengurangi praktik korupsi? Dari hasil penelaahan Ahli, salah satu
penyebabnya adalah faktor substansi hukum. Di makalah yang Ahli
tulis ini ada 11 halaman, 1 spasi, itu sebagiannya bercerita
problem-problem substansi hukum yang Ahli anggap itu kemudian
mengganggu atau tidak mendorong agenda pemberantasan korupsi.
Dari kajian peraturan perundang-udangan yang ada, berkali-kali
Ahli menulis, itu mengatakan bahwa problem pertama adalah soal
sebagian subtansi yang ada, itu tidak membantu agenda pemberantasan
korupsi karena banyak aturan hukum, itu kemudian bisa dibawa ke
kiri dan ke kanan. Dan bagian-bagian ini, itulah kemudian yang
dalam apanya proses perjalanannya sangat mengganggu agenda
pemberantasan korupsi.
Nah, di keterangan yang saya tulis dari halaman 4 sampai halaman
7, itu bercerita bagaimana substansi hukum kemudian menurut Ahli
ikut mengganggu agenda pemberantasan korupsi. Soal multi
interpretasi, kemudian insinkronisasi satu sama lain, dan itu juga
kemudian yang bisa dibaca kalau dikaitkan dengan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Maaf, Majelis Hakim, saya mohon
tidak membacakan semuanya, tapi poin-poin pentingnya saja.
-
13
Kalau dibaca antara ketentuan yang ada dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan yang ada dalam
Undang-Undang KPK, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, itu ada
pergeseran semangat yang menurut pemahaman Ahli harusnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengambil semangat yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 30. Terutama terkait soal perizinan tentang
mereka atau kepala daerah yang terkait atau yang akan diproses
hukum. Kalau dibaca Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
secara norma pasal itu punya izin berlapis dan itu harus
diterbitkan oleh presiden. Pasal 36 ayat (1) untuk penyidikan,
penyelidikan, dan penyidikan saja, itu diperlukan izin tertulis
dari presiden, itu satu izin. Yang kedua, kalau penyidikan nanti
akan dilanjutkan ke proses penahanan, itu ada izin lagi dari
presiden. Jadi Ahli melihat izin barlapis itu, itu kemudian
menyalahi apa yang dicanangkan oleh pengadilan sendiri bahwa
prosesnya harus berlangsung cepat, tapi kalau izinnya berlapis
seperti itu sangat sulit bisa menyelesaikan kasus-kasus korupsi
dalam waktu yang relatif singkat. Jadi Ahli melihat, sekalipun di
dalam Pasal 36 itu ada norma yang mengatakan dalam hal persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh
presiden dalam waktu paling lama 60 hari, terhitung sejak
diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat
dilakukan. Normanya memang begini, tapi di tingkat praktik,
penyidik, baik kepolisian dan kejaksaan menjadi ragu-ragu melakukan
langkah berikutnya. Karena mereka takut melangkah kalau tidak izin.
Itu, jadi itu risikonya menurut saya soal ketentuan yang ada di
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Soal apa risiko dan problem yang timbul dari apa dari kehadiran
izin-izin tertulis dari presiden itu, sebetulnya di sebuah hasil
kajian yang dimuat di website-nya Kejaksaan, itu disebutkan secara
eksplisit.
Pertama, diakui bahwa izin itu tidak sejalan dengan prinsip
bahwa semua orang bersamaan di hadapan hukum. Yang kedua,
disebutkan secara eksplisit, itu mengganggu asas peradilan yang
cepat. Yang ketiga, itu berpotensi menggangu kekuasaan kehakiman.
Yang keempat, menimbulkan diskriminasi bagi aparat penegak hukum.
Nah, karena 4 alasan itu di dalam kajian itu, kejaksaan atau dalam
kajian yang dimuat di website kejaksaan itu disebutkan, hasil
kajian kejaksaan menyatakan bahwa prosedur izin dalam melakukan
pemeriksaan pejabat negara merupakan salah satu hambatan dalam
proses penegakan hukum. Ada 3 alasan yang dikemukaan di situ.
Pertama, proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu
keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan sering kali izin yang dimintakan
tidak pernah ada jawabannya, apakah disetujui atau ditolak,
sehingga penanganan perkara menjadi tidak jelas dan
terkatung-katung penyelesaiannya.
Kedua, terhambatnya proses pemeriksaan bagi pejabat negara yang
memengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka lainnya. Ini
-
14
mungkin contoh yang tadi dikemukaan oleh Bapak Chandra Hamzah.
Dalam perkara yang melibatkan pejabat negara, sehingga penyidikan
menjadi lamban dan terkesan macet.
Yang ketiga, dengan rentan waktu yang cukup lama sampai
keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara
segar, sehingga dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan atau
merusak barang bukti, mengganti atau mengubah alat bukti berupa
surat, dapat mengulangi tindak pidana korupsi, dapat memengaruhi
para saksi, dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi. Itu hasil
kajian yang Penulis atau yang Ahli telusuri dari website
kejaksaan.
Nah di luar itu, menurut Ahli, selain karena alasan-alasan
tersebut, keharusan adanya izin dari Presiden untuk dapat melakukan
pemeriksaan, berpotensi menimbulkan penyimpangan dalam memulai
melakukan proses hukum. Banyak kejadian menunjukkan, izin menjadi
salah satu lorong gelap dalam pemberantasan korupsi. Mengapa Ahli
mengatakan bahwa ini menjadi lorong gelap dalam pemberantasan
korupsi? Izin itu kemudian karena tidak ada mekanisme untuk
mengontrolnya dari masyarkat. Karena masyarakat kan didorong untuk
berpartisipasi di dalam pemberantasan korupsi. Lalu apakah izin itu
memang sudah disampaikan atau tidak? Sulit masyarakat
mengontrolnya. Oleh karena itu sangat terbuka, ini menjadi lorong
gelap yang ada macam kepentingan di dalamnya.
Majelis Hakim yang saya hormati, saya pernah punya pengalaman
terhadap soal izin ini ketika kami dan kawan-kawan di Sumatera
Barat itu mengungkap kasus korupsi di DPRD. Proses untuk DPRD-nya
sudah jalan dan sudah memasuki proses persidangan, tapi ketika dia
mau bergerak ke ranah eksekutif, kejaksaan mengatakan bahwa kami
belum bisa melanjutkannya. Karena ini menyangkut kepala daerah,
kami menunggu izin Presiden. Lalu setelah batas waktu,
lama-kelamaan tidak jelas juga soal izin itu. Itu kemudian yang
kami menjadi kehilangan alat, bagaimana memastikan apakah benar
izin itu dikirimkan dari kejaksaan atau tidak.
Yang kedua. Ini kan menciptakan birokrasi baru dalam penegakan
hukum. Kita bisa bayangkan, izin dari kejaksaan kejaksaan tinggi
itu akan diteruskan ke pusat, biasanya ke Kementerian Dalam Negeri,
lalu dari situ akan pergi ke Sekretariat Negara, baru nanti
ditandatangani Presiden, turun lagi, turun lagi sampai ke bawah.
Nah, itu bisa hitungan bulanan dan bahkan bisa tahunan. Dan dari
beberapa fakta, ada yang tidak jelas izin itu, apakah memang
diusulkan atau tidak. Ahli melihat karena ketidakjelasan itu, ini
bisa menjadi wilayah permainan penegak hukum dengan tersangka atau
orang yang terkait dengan kasus korupsi.
Di luar soal itu, tidak hanya kemungkinan terciptanya lorong
gelap, keharusan adanya izin bagi kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah, telah menciptakan perlakuan yang tidak sama bagi
semua pejabat publik. Untuk jajaran eksekutif saja misalnya, rezim
izin hanya untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah, ini kalau
kita baca dalam konteks undang-undang yang sedang diuju diuji ini.
Lalu bagaimana
-
15
dengan eksekutif lain? Dalam hal ini, contohnya Presiden dan
Wakil Presiden, itu kan juga eksekutif. Kalau mereka mau diperiksa,
itu ndak ada ketentuan izinnya ke mana. Lalu apa basis argumentasi
secara hukum yang kemudian untuk kepala daerah dan wakil kepala
daerah diperlukan izin? Lebih prestisius mana posisi Presiden/Wakil
Presiden dibandingkan kepala daerah dalam konteks kewibawaan
pejabat publik?
Nah, Ahli melihat, itu di lintasan atau yang ada di sektor
eksekutif saja sudah terjadi ketidakseimbangan unequal treatment.
Nah, kalau kita kaitkan kepada orang awam atau orang yang bukan
pejabat publik, tentu ini akan dirasakan menjadi tidak seimbang.
Yang Ahli menyebutnya di sini, ini merupakan pelanggaran nyata
terhadap ketentuan yang ada dalam Konstitusi. Bahwa semua orang
adalah diperlakukan sama di hadapan hukum.
Nah, poin saya yang terakhir, kalau soal izin ini masih tetap
dipertahankan, Ahli berpendapat, izin akan mereduksi posisi korupsi
sebagai extra ordinary crime. Salah satu cara penanganan yang
ekstra yang ada di Undang-Undang KPK misalnya, itu tidak memerlukan
izin. Nah, kalau ini dipertahankan, di KPK tidak memerlukan izin,
di kejaksaan memerlukan izin, jangan-jangan nanti ada desain besar
juga yang orang nanti kalau ada kasus, dia berupaya larinya ke
kejaksaan dan ke Kepolisian, ketimbang ke KPK, misalnya. Nah, Ahli
beranggapan, kalau ingin melihat bahwa ini sebagai extra ordinary
crime, maka Ahli beranggapan Mahkamah Konstitusi bisa mengoreksi
hal-hal seperti ini. Terima kasih atas perhatiannya, mohon maaf.
Assalamaulaikum wr. wb.
34. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Terima kasih, Prof. Saldi. Apakah ada yang mau didalami? Silakan
Pemohon.
35. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA Terima kasih,
Majelis Hakim. Saudara Ahli, ini hanya ingin mempertegas saja.
Pertama-tama, terkait dengan potensi penyimpangan dalam melakukan
proses hukum. Tadi sudah dikatakan bahwa banyak potensi-potensi
penyimpangan yang terjadi ke depan. Nah, dikatakan tadi ini sudah
melanggar konstitusi. Kira-kira menurut apa Ahli, Pasal berapa yang
berpotensi ini terjadi pelanggarannya? Apakah ini Pasal 1 ayat (3)
dalam konstitusi, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau Pasal
28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2)? Yang mana kira-kira? Atau
semuanya memang telah terlanggar dengan adanya proses diskriminasi
dalam proses pemeriksaan kepala daerah? Itu pertama. Terima
kasih.
-
16
36. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan.
37. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Terima kasih. Saya sebetulnya melihat banyak pasal yang ... yang
berpotensi dilanggar oleh diskriminasi atau adanya proteksi khusus
bagi pejabat, dalam hal ini kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dan paling tidak, kalau dibaca rumusan konstitusinya secara
eksplisit itu kan disebutkan bahwa semua orang kan bersamaan di
hadapan hukum dan pemerintahan dan itu yang menjadi basis
konstitusi paling utama menurut Ahli yang bersinggungan langsung
dengan soal-soal perlakuan yang berbeda ini. Kalau dikaitkan
misalnya, dengan Pasal 1 ayat (3) soal negara hukum, itu nanti
debatnya akan masuk ke wilayah salah satu ciri negara hukum itu kan
peradilan yang bebas.
Nah, kalau izin ini kemudian tidak keluar, maka proses hukum
tidak bisa bekerja, artinya salah satu unsur dari negara hukum akan
jadi masalah dalam soal-soal seperti ini. Banyak sekali, misalnya
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kalau kehakiman itu dilihat dalam
konteks yang lebih luas karena dikonstitusikan disebut juga
badan-badan lain, proses yang berlangsung di proses penyidikan,
juga akan terganggu untuk ... untuk hal-hal seperti itu. Terima
kasih.
38. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA
Kemudian yang kedua. Tadi dikatakan bahwa di level eksekutif,
itu kan ada perbedaan antara kepala daerah dengan presiden. Bahwa
kalau misalnya presiden itu tidak memerlukan izin, sementara
presidenlis lebih prestisius dibandingkan dengan kepala daerah.
Nah, sementara ini ada juga anggapan bahwa tujuan untuk
mempertahankan Pasal 36 ini lebih kepada persoalan martabat,
seperti itu. Nah, terutama martabat dari pejabat atau kepala
daerah. Nah, ini kalau misalnya ini dibatalkan, apakah memang
kepala daerah ini akan direndahkan martabatnya kalau semisalnya di
dikabulkan permohonan ini? Gimana menurut Ahli?
39. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Terima kasih. Menurut pemahaman Ahli, kalau ini dibatalkan,
itu
diskusinya bukan bagaimana memproteksi lagi, diskusinya harus
kita pindahkan ke sisi lain, bagaimana mendorong para penyidik
menjadi lebih profesional? Bagaimana mendorong penyidik agar lebih
hati-hati, lebih profesional dalam menemukan bukti-bukti untuk
sampai ke tahap berikutnya. Di luar itu, para penyidik kan juga
harus didorong agar mereka tidak mudah diintervensi atau tiptip
titipan dan segala macamnya. Nah, menurut Ahli kalau izin ini
dinyatakan tidak
-
17
mempunyai kekuatan mengi hukum mengikat atau dikabulkan
permohonan ini oleh Mahkamah Konstitusi, para penyidik itu kemudian
dituntut tingkat kehati-hatiannya. Dalam batas-batas tertentu saya
termasuk orang yang mengafirmasi cara-cara KPK untuk apa namanya
... mengambil keputusan sebelum menjadikan orang sebagai
tersangka.
Nah, mungkin cara-cara itu sudah waktunya juga dipelajari oleh
para penyidik, terutama untuk kasus-kasus korupsi yang terkait
dengan pejabat publik seperti kepala daerah ataupun pejabat publik
lainnya. Sebab kalau ini dipertahankan terus-menerus, menurut saya
kita akan memelihara diskriminasi aturan yang nantinya akan
bermuara pada diskriminasi penegakan atau penerapan aturan itu
sendiri.
Jadi, saya tidak melihat bahwa ini semacam menjaga kewibawaan
... apa tapi ini proteksi yang dalam konteks apa namanya ... kapan
proteksi diberikan, itu kan harusnya diberikan kepada orang yang
berkemampuan terbatas. Tapi, ini bukan soal kemampuan terbatas.
Makanya saya beranggapan ketentuan ini lebih pada upaya melindungi
para pejabat dan apa namanya ... ini yang jelas akan merusak wajah
penegakan hukum menurut saya. Makanya saya katakan tadi kuncinya
bukan pada norma, tapi bagaimana profesionalitas para penegak
hukum.
40. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA
Kalau menurut Saksi maaf, kalau menurut Ahli malah ini
meningkatkan martabat dari apa dan menuntut keprofesionalitasan
dari aparat penegak hukum. Seperti itu, ya? Dengan ditiadakan Pasal
36 ini, seperti itu ya? Oke. Terima kasih.
41. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Cukup? Masih? Silakan.
42. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Izin, Yang Mulia. Saya ingin bertanya tentang prinsip
kemanfaatan atau ketidakmanfaatan norma ini pada Saudara Ahli. Tadi
dikatakan bahwa keberadaan norma ini di tataran praktik, jelas
dinilai menghambat proses pemberantasan korupsi atau penegakan
hukum secara lebih luas. Saksi sebelumnya sudah menjelaskan
hambatan-hambatan itu secara nyata dan memang pernah dialami oleh
penyidik-penyidik yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan dan
bahkan mengatakan jika saja norma Pasal 36 ini juga diterapkan pada
Komisi Pemberantasan Korupsi, maka ini akan jauh lebih menghambat
pemberantasan korupsi atau dalam bahasa Saksi tadi, KPK akan
bernasib sama dalam penanganan kasus korupsi kepala daerah dan
kepolisian dan kejaksaan.
-
18
Tapi di sisi lain, kita dihadapkan pada sebuah pertentangan
konseptual yaitu karena salah satu alasan keberadaan Pasal 36 ini
adalah dibutuhkannya izin pemeriksaan untuk kepala daerah agar
tidak terganggunya roda pemerintahan di daerah akibat proses hukum
yang dilakukan. Menurut Saudara Ahli, jika kita dihadapkan pada dua
hal yang bertentangan seperti ini, di satu sisi bicara soal
pentingnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dengan
sejumlah bukti-bukti konkret di lapangan bahwa memang klausul ini
menghambat pemberantasan korupsi, tapi di sisi lain ada asumsi
konseptual yang dibangun seolah-olah pasal ini memang ingin
mempertahankan agar roda pemerintahan di daerah tidak
terganggu.
Saya ingin pendapat Ahli bagaimana kita mencari sintesa dari dua
hal yang bertentangan yang saya sebutkan tadi. Terima kasih.
43. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Silakan Ahli.
44. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Terima kasih, Pemohon, Kuasa Pemohon. Ahli sebetulnya
berkali-kali menyampaikan dan juga menulis bahwa hukum kita itu
terlalu berpihak kepada orang-orang yang tersangkut kasus korupsi,
ada banyak aturan yang berpihak.
Nah, saya misalnya sering menyebut begini, Mengapa misalnya
untuk orang yang punya posisi politik kuat, termasuk dalam hal ini
kepala daerah, itu sulit sekali mereka begitu sudah menjadi
tersangka untuk ditahan. Kecuali kejadian-kejadian yang ada di KPK.
Nah, ini kan termasuk salah satu apa namanya proses hukum yang
memihak. Nah, menurut saya, aturan hukum juga memberikan
pemihakan-pemihakan seperti itu. Nah, saya melihat ketentuan yang
ada di Pasal 36, itu salah satu aturan hukum yang memberikan
pemihakan kepada mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Coba kita bayangkan, misalnya mereka sudah dijadikan tersangka
lalu dibawa ke persidangan, lalu kemudian bahkan sudah dinyatakan
bersalah di pengadilan tingkat pertama, itu kemudian untuk ditahan
saja sulitnya minta ampun itu. Nah, oleh karena itu, menurut
pemahaman Ahli, hal-hal seperti ini memang harus di apa dipangkas.
Sekarang kan pemikiran dalam konteks penjeraan dalam pemberantasan
korupsi, aturan hukum harus didesain didesain sedemikian rupa agar
orang menjadi takut melakukan korupsi. Misalnya yang sering di
disebutkan itu adalah kalau penyidik sudah yakin betul ketika
menetapkan seorang pejabat, dalam hal ini kepala daerah sebagai
tersangka, dia harus ditahan, begitu, harus ditahan. Tapi untuk
kepala daerah kan sulit sekali hal-hal seperti ini.
Nah, tadi dikaitkan dengan pertanyaan kedua, secara konseptual
kalau mereka ditahan itu akan menggangu ritme pemerintahan. Saya
kira ini mungkin ada benarnya, tetapi tidak
-
19
seluruhnya benar. Sepengetahuan Ahli, desain sistem
kepemerintahan kita itu kan, sudah menciptakan antisipasi yang
berlapis. Mengapa misalnya harus dibuat wakil kepala daerah? Itu
mengantisipasi kalau kepala daerah ada masalah. Mengapa harus ada
sekretaris daerah? Itu bisa mengantisipasi kalau suatu waktu
tiba-tiba kepala daerah dan wakil kepala daerah bermasalah, bahkan
ada mekanisme PLT, itu kan cara mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan seperti itu.
Jadi, dalam dalam pemahaman Ahli, soal akan mengganggu itu
sesuatu yang yang menurut Ahli sulit dibuktikan 100% akan
mengganggu, apa lagi kalau kalau bicara proses hukum kalau yang
mengaitkan kepala daerah itu prosesnya pasti dimulai dari lapis
paling luar. Jadi, dari lapis paling luar masuk terus ke dalam,
terus ke dalam, terus ke dalam baru sampai ke kepala daerah atau
wakil kepala daerah atau wakil kepala daerah. Jadi, proses hukum
pun menurut saya, mengantisipasi agar tidak mengganggu itu. Jadi,
menurut saya desain di sistem pemerintahan daerah kita itu sudah
ada lapis-lapis seperti itu, bahkan kalau lapis-lapisnya itu kena
semua, ada mekanisme pelaksana tugas. Itu kan untuk mengantisipasi
agar kejadian luar biasa yang terjadi terhadap kepala daerah tidak
mengganggu ritme atau kerja pemerintahan. Terima kasih.
45. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Masih, masih ada?
46. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH Terakhir dari saya.
47. KETUA: MOH. MAHFUD MD Silakan.
48. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Karena ini terkait dengan salah satu poin yang kita dalilkan
dalam permohonan saya ingin menanyakan pendapat Ahli, apakah
eksistensi atau kehadiran Pasal 36 yang salah satunya mengatur
tentang dibutuhkannya izin presiden atau persetujuan presiden itu,
dapat dikategorikan sebagai campur tangan eksekutif dengan
kamuflase-kamuflase proses birokrasi dalam proses hukum yang
sebenarnya berada dalam ranah yudikatif, jika dikaitkan dengan
prinsip independence of the judiciary? Terima kasih.
-
20
49. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Mungkin tidak semuanya, tapi bisa ada hal-hal seperti itu, apa
lagi dalam modal kepolitikan kita yang ada hari ini. Kita tahu
bahwa jabatan presiden itu pasti akan diisi oleh orang partai
politik.
Nah, kalau nanti di kepala daerah itu yang dipersoalkan atau
wakil kepala daerah yang juga berasal dari partai politik,
kebetulan partai politiknya sama, itu bisa apa? Bisa menganggu juga
percepatannya, soal waktu keluarnya saja. Tapi yang paling penting
menurut saya adalah ini memang salah satu bentuk intervensi nyata
dalam proses penegakan hukum. Karena apa? Wilayah yang seharusnya
dalam kerja-kerja yudikatif, kemudian sangat tergantung dari izin
atau izin tertulis yang dikeluarkan oleh eksekutif, begitu.
Nah, makanya kuncinya tadi menurut saya adalah profesioanalitas
penyidik pada proses-proses awal itu. Sehingga kalau sampai pada
status bahwa orang ini harus dijadikan tersangka, harus ditahan dan
segala macam, itu kemudian memang hasil profesionalitas penilaian
terhadap fakta-fakta hukum yang ditemukan oleh penyidik.
Jadi Ahli berpendapat sangat mungkin, bahkan tadi beberapa kasus
dan kalau dibaca di permohonan ada yang sangat lama sekali dan Ahli
sendiri punya pengalaman terhadap kelamaan-kelamaan seperti itu.
Terima kasih.
50. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Masih? Cukup ya? Cukup? Baik, sekarang Hakim Akil Mochtar.
51. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR
Ya Saudara Ahli ya? Kalau kita melihat konstitusi kita itu
sebenarnya tidak ada satu pun pasal-pasalnya memberikan hak-hak
privilege kepada pejabat tertentu untuk dilakukan proses hukum.
Enggak ada satu pun pasal. Tetapi menarik juga tadi kalau dikatakan
bahwa pemberian izin itu adalah bentuk satu intervensi dari
kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan-kekuasaan lain. Kalau kita
merujuk kepada konstitusi, sebenarnya Pasal 14 Konstitusi kita itu
juga, apakah itu merupakan satu bentuk intervensi juga dari
presiden kepada seseorang yang sudah diputus oleh pengadilan dan
berkekuatan hukum tetap, dalam bentuk ... apa namanya ... grasi dan
rehabilitasi, kemudian amnesti dan abolisi? Artinya bangunan
konstitusi kita itu juga ada hal-hal seperti itu. Kalau misalnya di
sistem monarki, memang pengampunan terakhir itu ada pada raja.
Padahal kita sistemnya presidensial, tetapi di mana pemisahan
kekuasaan itu sudah dilakukan sedemikian rupa. Tapi konstitusi kita
memberi wewenang juga kepada kepala negara untuk memberikan grasi,
amnesti, abolisi, rehabilitasi yang merupakan bukan proses
yudisiari. Dari mana asal muasal kekuasaan itu? Itu dari perspektif
konstitusi.
-
21
Lebih menurun lagi kalau kita melihat Undang-Undang Nomor 32
itu, desainnya di samping Pasal 36 ini, kan begitu. Yang memberikan
... apa namanya ... izin-izin tertentu untuk dilakukan sebuah
proses penyidikan, memang secara desainer juga dibuat. Misalnya di
Pasal 53 untuk Anggota DPRD itu, kabupaten/kota itu harus izin
bupati. DPRD Provinsi harus izin Presiden ... Menteri Dalam Negeri
... eh, DPRD Kabupaten itu harus izin gubernur. DPRD Provinsi harus
izin ... apa namanya ... Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden,
Pasal 53. Pasal 36 kalau menyangkut kepala daerahnya sendiri.
Nah, persoalanya menurut saya, kalau kita melihat kepada
konstitusi yang tadi saya sudah katakan tidak ada satu pun pasal
yang memberikan hak-hak istimewa kepada pejabat-pejabat tertentu.
Maka ini kan boleh dikatakan sebagai legal policy, open legal
policy dari pembuat undang-undang. Kenapa? Karena dalam konsisi
yang sama juga terhadap Undang-Undang KPK, hal-hal seperti ini bisa
dihapuskan, bisa tidak berlaku. Kan ... kan harusnya kan kalau ini
merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi terhadap
pejabat-pejabat itu, harusnya kan juga tidak boleh di KPK, walaupun
kita katakan bahwa karena korupsi. Karena kalau ... kalau apa
namanya ... untuk kepala daerah itu kan bukan hanya khusus korupsi
atau DPRD itu bukan hanya khusus korupsi, semua, tindak pidana yang
dilakukan. Itu harus izin, kan kira-kira begitu? Sedangkan KPK itu
hanya menangani kasus korupsi saja, sehingga ada perbedaan juga
itu. Kalau korupsi, dia enggak perlu izin. Walaupun sebenarnya
kalau kita membaca Pasal 36 itu ya, kemudian 36 ayat (2) dan ayat
(3), itu kan bisa jalan. Setelah 60 hari kan bisa lanjut, tetapi
dalam praktik, dalam pelaksanaannya, itu tidak bisa berjalan.
Kemauan dari aparat penyidik itu untuk menggunakan Pasal 36 dan
pasal eh, Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3), itu tidak ada. Kenapa?
Karena undang-undangnya sebenarnya memberi jalan, izin 60 hari,
tidak, lanjutkan. Tapi kenyataan kan tidak, selalu berkutat bahwa
izinnya tidak ada, izin tidak ada, padahal ada apa namanya clausul
escape-nya itu ada, bisa kok. Tapi praktiknya tanyalah Pemerintah,
gitu ya, itu enggak pernah terjadi, termasuk juga KPK.
Akan lebih mudah ini kita bicara kepala daerah, belum lagi
bicara DPRD, kan begitu? Nah, kalau kepala daerahnya jadi tersangka
atau jadi terdakwa, DPRD-nya juga apa namanya harus meminta izin,
misalnya sudah ditahan ya kepala daerahnya, minta izinnya ke mana?
Siapa lagi? Kepala daerah/wakil kepala daerah enggak ada misalnya,
kan jadi problem juga itu. Apalagi kalau lawan politik misalnya,
anggota DPRD-nya tidak mendukung kebijakan kepala daerah, dia cepat
keluarkan izin. Kalau mendukung kebijakan kepala daerah misalnya,
dia lama-lama keluarkan izin. Yang hanya diberi kekuatan itu
diberikan oleh undang-undang. Kalau kita bawa kepada Konstitusi,
persamaan hak warga negara dalam hukum dan pemerintahan, tentu ini
akan menjadi sesuatu yang tidak tidak sesuai. Nah, oleh sebab itu
menurut saya, terhadap saksi eh, Ahli,
-
22
walaupun semuanya sebenarnya artinya, tidak harus dilakukan
penahanan. Penahanan itu kan salah satu bagian dari proses
penyidikan eh, penyidikan, penuntutan, dan persidangan saja. Tetapi
kalau prosesnya berjalan, disidangkan, divonis oleh pengadilan, itu
masih agak terhibur juga, begitu, tapi kan ini mandek sama
sekali.
Jadi, yang ingin kita persoalannya adalah apakah izin, pembe
mekanisme pemberian izin yang dianut di dalam pasal eh, di dalam
Undang-Undang Nomor 32, baik terhadap kepala daerah maupun anggota
DPRD. Karena dua ini yang ada izin menurut undang-undang ini, cuma
permohonannya satu, walaupun ada relevansinya juga kalau kita
misalnya mau menarik secara keseluruhan ini, equality, ya ini juga
harus hapus pasal itu, gitu lho. Enggak perlu lagi, orang kepala
daerahnya enggak perlu izin misalnya, masa DPRD-nya harus izin
kepala daerah, kan agak terbalik-balik juga. Harusnya mereka jadi
satu, tapi Pemohonnya cuma satu saja. Saya enggak tahu, kenapa
enggak mau memohon DPRD, apa mau jadi anggota DPRD atau gimana, kan
gitu?
Persoalannya, apakah izin ya, itu konstitusional atau tidak,
proses izin itu? Dalam konteks struktur ketatanegaraan kita, dimana
kewenangan kepala daerah itu dalam pengertian apa namanya local
state itu lho, kan sama jadinya dengan Presiden. Anggota DPR mau
disidik, izin Presiden, termasuk Hakim Konstitusi juga kan izin
Presiden. Kenapa tidak kepada lembaganya masing-masing saja
kalaupun perlu izin, kalau itu adalah sebuah proses prosedur?
Anggota DPR kepada ketua DPRD misalnya, ya toh? Kalau misalnya mau
seperti itu, gitu.
Nah, ini jadi menurut saya ini persoalannya bukan pada soal
prosedur-prosedurnya, tapi pengadaan pasal ini, ini ujuk-ujuknya,
asal-muasalnya dari mana? Apakah memang ini bagian dari derivasi
Konstitusi yang saya sebutkan tadi, Memang Presiden memegang
kekuasaan untuk memberi rehabilitasi Pasal 14, lalu turun-temurun,
turun-temurun, gitu lho. Sampailah kepada proses penyidikan, kan
gitu? Kalau saya sementara ini, sementara, gitu. Ini legal policy
saja, tapi bertentangan ndak dengan Konstitusi? Kan ini yang harus
kita jawab? Saya mohon Ahli.
52. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Ya. Jadi, primafacie legal policy dulu.
53. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Sebentar, Pak, ke Pak Chandra
dulu sedikit.
54. KETUA: MOH. MAHFUD MD Oh, ke Pak Chandra.
-
23
55. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR
Pertanyaannya ini, happy enggak KPK itu? Kan enggak perlu izin,
kan gitu. Enggak perlu izin gitu-lah, bisa melakukan langsung
melakukan tindakan hukum. Happy enggak dengan adanya pasal itu?
Lalu maksud saya happy itu begini, apakah apakah prosedur untuk
menentukan orang menjadi tersangka itu unsur-unsur subjektifnya
bisa lebih dikedepankan enggak? Ini kan enggak perlu izin, yang
penting dua alat bukti saya boleh tahan, gitu. Satu orang lapor,
bawa surat misalnya, kira-kira begitu. Bawa surat satu lembar, saya
boleh tahan kepala daerah. Kira-kira KPK begitu enggak dalam
praktik?
Nah, kalau misalnya pasal ini hapus, kan itu bisa terjadi juga.
Orang bisa dengan mudah juga menentukan karena KUHAP kita
menentukan untuk menjadikan orang tersangka itu sekurang-kurangnya
dengan alat bukti. Penyidik menafsirkan ada laporan, ada satu
surat, surat apalah bentuknya yang menandakan bahwa si A ini sudah
berperilaku gitu, penyidik sudah bisa tahan. Apakah KPK begitu
enggak dalam proses pelaksanaan? Supaya kita ada
bandingan-bandingan, gitu. Terima kasih.
56. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Hakim Harjono?
57. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Terima kasih, Pak Ketua. Saya tanya kepada Prof. Saldi Isra ini,
ya. Kalau kita lihat alasan Pemohon itu dasarnya adalah soal izin
ini pertama bertentangan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya
ringan. Itu yang disebut di situ. Dua, persamaan di depan hukum.
Kemudian asas independency kekuasaan kehakiman. Dalam posisi
bertentangan dengan asas cepat, sederhana, biaya ringan, apakah ini
sebetulnya bukan kepentingan kalau di dalam hukum perdata pencari
keadilannya jelas, lalu di sini pencari keadilannya siapa
sebetulnya pidana ini? Oleh karena itulah sebetulnya yang punya
stake, yang punya kepentingan untuk menegakkan asas itu, ya. Siapa
sih yang diuntungkan kalau itu cepat, sederhana, dan biaya ringan
dalam perkara pidana? Karena ini yang didalilkan. Apakah Pemohon
ini? Begitu. Ataukah ya terdakwa? Ya. Ini yang pertama.
Yang kedua, asas persamaan di depan hukum. Kalau asas persamaan
di depan hukum itu biasanya malah persamaan itu menuntut yang
maksimal kalau ada perbedaan. Karena dengan maksimal itu maka akan
akan lebih terlindungi, akan lebih apa ya lebih diuntungkanlah,
begitu. Apa itu juga bisa digunakan di sini? Persamaan di depan
hukum itu kok malah mintanya ya yang sudah dilindungi banyak,
dikurangi. Kan begitu. Mestinya yang kurang itu
-
24
banyak perlindungannya, kan begitu. Sama-sama berhadapan dengan
kekuasaan.
Yang terakhir adalah bagaimana dengan asas independency
kekuasaan kehakiman, apa itu sudah masuk ke sana? Sudah masuk ke
sana? Tentu saja kalau itu kita bicara praktik itu, di mana saja
bisa terjadi pengaruh pada independency.
Kemudian persoalan-persoalan pembatasan. Pembatasan ataukah juga
pembedaan. Saya tidak gunakan diskriminasi karena diskriminasi itu
jelas apa yang dilarang diskriminasi itu, tapi pembedaan yang tidak
dimaksudkan sebagai dimi diskriminasi yang dilarang oleh ketentuan
hak asasi manusia. Di dalam hal-hal tertentu sebetulnya ada bisa
pembatasan-pembatasan yang beda yang tidak bisa dilakukan secara
across the board (secara borongan), kalau harus A semuanya harus A,
yaitu dengan tes-tes yang namanya necessary and proper. Sejauh itu
dipentingkan dan sejauh itu properly ya, itu enggak masalah. Jadi,
tidak hitam putih. Apakah hal-hal demikian ini juga pembatasan ini
juga sudah di luar tes itu, not necessary dan not proper kalau
dilakukan seperti itu? Ini pendapat Anda bagaiman? Terima
kasih.
58. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Hakim Muhammad Alim?
59. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM
Terima kasih, Pak ketua. Pertanyaan ini saya tunjukkan kepada
Prof. Saldi Isra, kepada Ahli. Ini sederhana saja. Di dalam
Undang-Undang Keimigrasian, seseorang yang diselidiki, penyelidikan
demikian juga penyidikan, itu sudah bisa dicegah tangkal keluar
negeri. Tapi ini khusus kepada bupati, penyelidikan dan penyidikan
di Pasal 3 Undang-Undang ayat (1) itu, Kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dilaksanakan setelah adanya ini kan dua, dua
undang-undang yang sederajat, tapi ada ada perbedaan yang mencolok.
Yang satu diselidiki atau disidik itu sudah bisa dicekal, sedangkan
ini untuk penyelidikan dan penyidikan itu harus ada izin.
Menyelidiki saja apalagi penyidikan ini kalau kalimat ini
penyelidikan dan penyidikan. Menyelidiki saja ndak boleh lho kalau
enggak ada izin dari presiden, bagaimana menurut Ahli mengenai
itu?
Terima kasih, Pak Ketua.
60. KETUA: MOH. MAHFUD MD Cukup, ya, dari aga ada? Pak Hakim
Hamdan Zoelva.
-
25
61. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA
Ya, kalau kita lihat dari peraturan perundang-undangan seperti
disampaikan oleh Hakim Akil Mochtar, tidak saja kepala daerah, ya,
anggota DPRD, dan juga hakim, gubernur BI, dan banyak sekali
pejabat yang lain yang harus memerlukan izin dari presiden. Ini
gimana pendapat Ahli tentang ini. Apakah dengan demikian hanya
mengenai kepala daerah, tidak juga menyangkut pejabat yang lain?
Dikaitkan dengan asas-asas atau prinsip-prinsip konstitusi tadi,
peradilan cepat, independensi peradilan, dan juga perlakuan
berbeda. Di samping perlakuan berbeda dalam kaitan dengan antar
satu warga negara dengan warga Negara yang lain, juga perlakuan
yang berbeda antara seseorang yang diperiksa oleh KPK dan seseorang
yang diperiksa oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana
pandangan Ahli mengenai masalah ini? Terima kasih.
62. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Silakan, Pak Prof. Saldi.
63. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Ada empat pertanyaan,
saya yakin tidak semuanya bisa saya jelaskan. Karena saya disumpah
yang saya ketahui saja. Yang saya ahlinya saja. Saya akan
menjelaskan yang itunya saja.
Pertama, dari Bapak Hakim Akil Mochtar soal Pasal 14. Apakah itu
tidak dianggap juga bentuk dari intervensi dalam kekuasaan
kehakiman? Pasal 14 itu berbeda dalam pemahaman Ahli. Pasal 14 ayat
(1) itu, itu proses hukum sudah selesai. Jadi, dia sudah ada pada
titik bahwa orang itu sudah bersalah jadi sudah fa sudah inkracht.
Nah, kalau dibaca misalnya hak-hak grasi, grasi yang ada di tangan
raja di negara-negara monarki. Grasi dengan rehabilitasi itu memang
diberikan kepada raja karena dia dianggap sebagai bapak bangsa.
Orang yang sewaktu-waktu punya pertimbangan untuk memberikan,
mengeluarkan orang dari tahanan dengan posisinya sebagai kepala
negara. Jadi itu bukan posisi sebagai kepala pemerintahan, lebih
kepada kepala negara.
Nah, misalnya ini terkait juga dengan argumentasi soal-soal apa
namanya keistimewaan yang dimiliki oleh kepala negara, makanya
kepala negara itu tidak bisa dijatuhkan seperti kepala
pemerintahan. Jadi Ahli berpa berpandangan bahwa Pasal 14 itu bukan
bagian dari bisa dianggap sebagai bentuk intervensi. Kalau misalnya
kita baca di sistem presidensil Amerika Serikat dalam buku
kekuasaan apa Mahkamah Agung Amerika Serikat yang sudah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, itu hubungan antara presiden
dengan Mahkamah Agung, itu kadang-kadang ada pada titik tidak
saling menjawab. Soal meminta pertimbangan misalnya.
Sekali-sekali
-
26
presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung, itu acap kali
Mahkamah Agung tidak mau menjawab. Mengapa tidak mau menjawab?
Karena dia takut jawabannya itu akan menjadi argumentasi kalau apa
yang dilaksanakan oleh presiden itu masuk ke wilayah penegakan
hukum. Itu di buku yang tentang keku apa Mahkamah Agung Amerika
Serikat.
Lalu, apakah ketentuan Pasal 36 itu tidak menjadi derivasi, tadi
menurut Hakim Akil Mochtar Bapak Akil Mochtar, dari Pasal 14? Nah,
saya coba tadi lihat di konsideran mengingat jadi kalau secara apa
namanya . legal drafting, itu tidak sama sekali menyebut Pasal 14.
Jadi, Ahli menganggap itu bukan derivasi dari Pasal 14. Kalau dia
akan dijadikan, dia menginspirasi Pasal 14 menginspirasi norma di
bawahnya, harusnya dalam legal drafting-nya itu disebutkan pada
poin konsideran mengingat, tapi tidak ada itu disebutkan di
konsideran mengingat. Makanya, Ahli berpendapat bahwa Pasal 36 itu
tidak derivasi dari Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu, Bapak Hakim Akil Mochtar juga menanyakan, ya, bagaimana
kalau presiden mengeluarkan izin? Nah, dalam hukum administrasi
negara sepanjang yang saya pahami, hubungan presiden dengan yang di
bawahnya itu kan soal pengangkatan dan pemberhentian. Jadi, orang
mau diangkat dari presiden, mau diberhentikan karena dia
mengeluarkan mandat untuk diangkat melalui apa penetapan presiden
atau SK Presiden itu. Kalau dia akan berhenti, itu yang akan
dicabut. Itu sebetulnya hubungan yang paling konkret. Oleh karena
itu, Ahli melihat, izin itu memang sesuatu yang ditambahkan
kemudian yang ini tidak ada hubungan sama sekali dengan dua
kekuasaan ini. Itu, itu pemahaman Ahli. Jadi, Ahli beranggapan
bahwa soal izin, itu memang sesuatu yang ditambahkan dan tidak ada
hubungannya dengan proses administrasi yang Ahli ceritakan tadi
bahwa ini ada dua hal, mengangkat dan memberhentikan. Jadi SK
awal.
Soal open legal policy, Bapak Akil Mochtar yang saya hormati,
saya termasuk orang yang menerima konsep open legal policy , tapi
itu diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang
disebut atau diatur di konstitusi. Jadi kalau open legal policy
menabrak konstitusi, itu menurut saya tidak bisa dibenarkan. Nah,
ini soal ada pasal yang kemudian membenarkan ada perlakuan yang
berbeda, itu menurut saya menabrak konstitusi. Itu yang Ahli sebut
tadi bahwa itu bertentangan dengan pasal setidak-tidaknya
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1).
Dari Yang Mulia Bapak Hakim Harjono, ini ada beberapa alasan
yang dijadikan basis untuk mengajukan permohonan ini oleh Pemohon,
soal pertama itu terkait dengan memerlukan waktu yang lama, lalu
persamaan di hadapan hukum, lalu intervensi kekuasaan kehakiman.
Yang ditanyakan oleh Bapak Hakim Harjono adalah soal siapa sih yang
harus memerlukan waktu yang cepat ini? Apakah orang yang jadi
pesakitan, dalam hal ini tersangka atau terdakwa? Ataukah dalam
pidana ini siapa? Nah, saya mungkin memang tidak punya keahlian
-
27
untuk menjelaskan semua, tapi yang paling penting menurut saya
adalah kalau proses hukum itu cepat selesai, apapun hasil akhirnya,
maka itu kita bergerak ke arah bagaimana ada kepastian hukum? Itu
yang saya lihat. Jadi kalau semakin lama proses hukum bekerja,
semakin tidak jelas proses hukum bekerja, itu bisa merusak
kepastian hukum. Dan itu pada akhirnya bisa merusak kewibawaan
hukum secara keseluruhan.
Jadi, itu itu itu soal apa namanya waktu yang lama yang
dijadikan basis argumentasi. Lalu kalau dalam kasus korupsi
misalnya, Bapak Hakim Harjono yang saya hormati. Dalam kasus
korupsi, sebetulnya pencari keadilan ini jauh lebih luas dalam
pengertian pidana biasa, dalam pemahaman saya. Karena apa? Dampak
dari korupsi itu kan jauh lebih masif dibandingkan kalau terjadi
pembunuhan misalnya. Misalnya karena korupsi, bantuan sosial yang
harus diberikan kepada orang miskin tidak jadi terlaksana
sebagaimana mestinya. Karena korupsi misalnya, orang lalu kemudian
ada busung lapar. Karena korupsi sekolah-sekolah dibangun dengan
tidak baik. Nah, itu artinya apa? Orang yang kena dampaknya jauh
lebih banyak dibandingkan pidana yang kita kenal secara
tradisional. Makanya kemudian, kepastian itu, siapa pencari
keadilan, orang yang secara langsung maupun tidak langsung,
potensial, juga dirugikan oleh praktik korupsi itu. Ini dalam
konteks korupsi karena pertanyaannya tadi kasus-kasus korupsi.
Makanya Ahli beranggapan, kalau bicara ada perlindungan bagi
pencari keadilan, ini kan sudah diberikan sedikit, mengapa tidak
diminta diperbanyak? Kalau minta diperbanyak, ini kan akan
menguntungkan kepada orang yang melakukan atau yang terkait dengan
korupsi. Padahal konteks di apanya konteks pencari keadilannya
tidak di situ. Jadi Ahli beranggapan karena banyak orang kena
dampak, itunya yang kemudian harus diperhatikan dalam proses
penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Dalam konteks itu
juga, makanya undang-undang memang memberikan keistimewaan untuk
kasus korupsi. Kenapa? Publik dapat berpartisipasi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam asumsi Ahli, kenapa
diberikan ruang seperti itu? Karena memang dampak korupsi itu
sangat luas, itu.
Soal saya kira saya itu yang bisa menjelaskan. Lalu yang ketiga,
Undang-Undang Keimigrasian dengan Undang-Undang Pemda seperti yang
disebut oleh Bapak Hakim Muhammad Alim, saya memang merasa ini
diskriminasi. Jadi beliau membantu saya untuk menjelaskan ada
diskriminasi lain juga dalam dalam proses penegakan hukum.
Undang-Undang Keimigrasian itu belum jelas sudah ada apa?
Judgement, orang ini misalnya tidak boleh ke luar negeri. Tapi ini
yang sudah jelas berjalan saja untuk tindak pidana korupsi atau
tindak pidana yang yang dilakukan oleh kepala daerah, itu lama
sekali berbelit-belit. Dan saya tadi sudah sebutkan bahwa Pasal 36
itu malah menganut izin tertulis berlapis. Tadi memang
dipertanyakan, ya itu kan juga ada klausul yang membuka bahwa kalau
izin tidak keluar
-
28
dalam waktu 60 hari, bisa dilanjutkan. Tapi di tingkat praktik,
itu kan kemudian menimbulkan keragu-raguan. Apa lagi kan kalau kita
ketahui polisi dan jaksa kan sistem komando, Pak Hakim Akil yang
saya hormati.
Jadi kalau tidak ada apa namanya sinyal yang jelas dari lapis
atas, sulit di bawahnya bisa bergerak. Nah, itu. Jadi ini kan
ketentuan ini juga memperlama menurut saya untuk penyelesaian
proses-proses hukum. Nah, makanya soal keimigrasian dengan
Undang-Undang Pemda tadi, saya beranggap beranggapan ini bukti lain
bahwa ada ketidaksinkronan antara satu undang-undang dengan
undang-undang yang lain. Nah, paling tidak kalau di wilayah
pemberantasan korupsi, semangatnya bisa kita pertemukan, kita
perhadapkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang satu
memberi ruang untuk tidak ada izin, yang satu masih memerlukan
izin.
Soal tadi ditanyakan, kenapa hanya ini saja yang diajukan? Saya
tidak ber tidak bisa menjawabnya karena itu harus ditanya ke
Pemohon. Menurut pemahaman Ahli, harusnya semua yang diskriminatif
itu dipersoalkan. Semua yang tidak equal treatment itu
dipersoalkan. Tapi apa dasar hanya mempersoalkan kepala daerah
sampai saya diminta sebagai Ahli, tidak ada penjelasan ke saya
soal-soal seperti itu.
64. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA
Bukan bukan itu maksud saya. Maksud saya minta pendapat
Ahli mengenai yang lain-lain ini, di samping yang ini. Apakah
sama juga pendapat Ahli dengan diperlukannya izin untuk pejabat
yang lain yang diatur dalam rezim undang-undang yang lain, apakah
sama itu? Saya minta pendapat Ahli mengenai itu.
65. AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA
Kalau dalam pemahaman saya, Bapak Hakim Hamdan Zoelva,
itu termasuk hal yang mengecualikan diri dari ketentuan Pasal
28D itu. Itu juga harus dipersoalkan, menurut saya. Jadi, memang
agak berbeda dengan dengan hakim. Hakim itu kan di mana-mana selalu
diikat dirinya dengan prinsip, misalnya berkelakuan baik.
Norma-norma untuk hakim, itu jauh lebih komplit dibandingkan orang
yang menyelenggarakan pemerintahan. Nah, itu untuk hakim. Jadi,
menurut menurut Ahli, hakim pun tidak perlu seperti itu. Karena
hakim yang baik, dia akan menjaga dirinya dengan etika yang hidup
untuk menjaga dia sebagai seorang hakim.
Nah, untuk pejabat-pejabat lain, saya memang merasa ini memang
harus ditelusuri. Kenapa tiba-tiba ada upaya memproteksi seperti
itu? Jangan-jangan saya belum menelusuri, jangan-jangan ini memang
masih warisan dari orde baru, ketika pusat-pusat kekuasaan itu
tidak boleh disentuh oleh proses-proses hukum.
-
29
Jadi, mungkin setelah ini kerja kawan-kawan Pemohon juga
mempersoalkan pasal-pasal lain yang terkait dengan apa namanya
terindikasi tidak sejalan atau bertentangan dengan Pasal 28 itu.
Tapi kalau boleh menjelaskan, mengapa konsentrasinya lebih banyak
ke kepala daerah? Kalau boleh saya menjelaskan, asumsi saya,
Pemohon mungkin melihat ini ada keterkaitan dengan proses pemilu
kita yang memerlukan biaya sangat besar. Karena proses seperti itu,
maka ada kemungkinan uang di daerah uang negara di daerah akan jadi
sasaran untuk mengembalikan uang yang digunakan selama masa
kampanye.
Logika sederhananya, Pak Hamdan Zoelva, gaji kepala daerah itu
kan apa bupati walikota itu angka kalau bicara gaji dalam
pengertian tradisional, kan tidak sampai Rp7.000.000,00 dan
gubernurnya tidak sampai Rp9.000.000,00. Tapi ada yang berani
mengeluarkan uang sampai puluhan, bahkan ratusan milyar.
Nah, pertanyaannya kan jadi besar. Di mana mereka mengambil lagi
uang yang dikeluarkan untuk kampanye itu? Jangan-jangan itu yang
menjadi pertimbangan Pemohon. Tapi sekali lagi, saya memang tidak
tahu apa argumentasi yang sebenarnya. Terima kasih.
66. SAKSI DARI PEMOHON: CHANDRA M. HAMZAH
Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Pertama-tama,
mungkin perkenankan kami menyampaikan beberapa hal menyangkut
beberapa pertanyaan tadi yang mungkin tidak terkait, tetapi ada ada
beberapa fakta yang perlu disampaikan, kalau diperkenankan.
Pertama, mengenai pertanyaan dari Pemohon. Apabila walikotanya
atau bupatinya dilakukan penyidikan, maka apakah akan menganggu
jalannya roda pemerintahan? Saya tidak mau menjawab apakah
menganggu atau tidak mengganggu, tetapi KPK punya pengalaman. Pada
saat yang bersamaan, walikota dan walikotanya diproses di KPK. Pada
saat yang bersamaan dan kemudian dalam waktu yang tidak terlampau
lama, kedua-duanya dilakukan penyidikan dan ditahan, Walikota Medan
dan Wakil Walikota Medan, pada saat yang tidak terlampau lama.
Yang kedua, mengenai masalah apakah penyidik dari kejaksaan
tidak mau atau tidak mau mau atau tidak mau memproses dalam
tenggang waktu 60 hari. Sepengetahuan kami, ada satu kasus di
Sulawesi dan ada satu kasus di Kalimantan. Lewat waktu 60 hari,
satu kasus dinyatakan NO, satu kasus dinyatakan diterima, ini ada
di Kejaksaan Agung. Setelah lewat 60 hari, kemudian dilakukan
penyidikan, satu kasus dinyatakan NO, satu kasus dinyatakan
sah.
Permasalahannya adalah dari interaksi kami dengan Pihak
Kepolisian dan kejaksaan, ada kata klausula 60 hari semenjak
diterima, bukan 60 hari semenjak dikirim. Itu dua kata yang
berbeda. Kapan diterima? Tidak pernah ada surat penerimaan. Tetapi
kalau kapan dikirim, selalu ada surat pengiriman per pos. Jadi, ada
permasalahan di sana. Pernah dicoba oleh Kejaksaan bukannya
Kejaksaan tidak
-
30
pernah mencoba, mungkin bisa dicari secara detail kasus yang di
Sulawesi dan di Kalimantan.
Kemudian pertanyaan yang diajukan oleh Yang Mulia Bapak Akil
Mochtar mengenai penetapan sebagai tersangka. Mungkin agak berbeda
dengan apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Dalam Kitab Hukum acara Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dinyatakan, Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk menemukan peristiawa
pidana. Cukup menemukan peristiwanya saja. Sementara di KPK,
penyelidikan paling tidak ada dugaan awal dengan dua alat bukti.
Kami bacakan Pasal 44 ayat (1), Jika penyelidik dalam melakukan
penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan
tindak pidana korupsi Jadi, dalam penyelidikan penyelidik KPK harus
menemukan bukti permulaan yang cukup. Dalam waktu paling lambat
tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan
yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan KorupsI. Ayat pertama.
Ayat keduanya berbunyi, Bukti permulaan yang cukup Maaf, Bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila di apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak
terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau
optik.
Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Yang Mulia Bapak Akil
Mochtar, bahwa dalam proses penyidikan, maaf proses penyelidikan di
KPK harus menemukan dua alat bukti, bukan sekedar menemukan
peristiwa pidana. Itu yang pertama.
Yang kedua, dalam begitu sudah di ada dua alat bukti, maka
ditingkatkan ke penyidikan. Penyidikan kalau dalam KUHAP adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk menemukan tersangka, mencari
alat bukti dan menemukan tersangka. Sementara di KPK, begitu naik
penyidik, sudah ada tersangkanya, alat buktinya sudah diperoleh
dalam proses penyelidikan. Kami tidak punya kewenangan untuk
menyampaikan kenapa hal ini diatur dalam Undang-Undang KPK, tetapi
ka tetapi ada aturan lain di Undang-Undang KPK bahwa KPK tidak
dapat menghentikan penyidikan. Apakah hal ini terkait atau tidak,
kami tidak punya kompetensi menerangkan hal ini. Kami garis bawahi,
dalam proses penyelidikan kami menemukan dua alat bukti
sekurang-kurangnya, dan kemudian dengan dua alat bukti itu
dinaikkan ke tingkat penyidikan, sudah ada tersangkanya, dan kami
tidak boleh menghentikan penyidikan.
Mungkin itu menjawab pertanyaan Prof. Yang Mulia Bapak Akil
Mochtar, penetapan tersangka di KPK sangat mungkin lambat, sangat
hati-hati dan ini karena SP-3 tidak bisa kami keluarkan. Mungkin
bisa menjelaskan. Terima kasih, Yang Mulia.
-
31
67. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Baik. Saya kira sudah cukup, ya? Pemerintah cukup, ya? Baik.
Saya tawarkan sekarang, apakah masih diperlukan sidang lagi, baik
oleh Pemohon kalau untuk memantapkan argumen-argumen, maupun oleh
Termohon kalau dimaksudkan untuk menjawab atau membantah
argumen-argumen saksi dan ahli tadi? Kalau bagi Majelis Hakim
sendiri rasanya cukup ya, tetapi tentu sidang ini harus dibuka
seluas-luasnya bagi pihak-pihak yang ingin menyampaikan argumen
secara resmi di persidangan.
Pemohon, apakah Anda masih mengusulkan adanya sidang lagi?
68. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA
Majelis, kita pertama-tama ingin mengkonfirmasi terkait dengan
permohonan kita sebagai Pemohon, Kuasa Pemohon tentang Pihak
Terkait, dalam hal ini adalah KPK karena kita nilai bahwa ini
sangat terkait dan sangat berhubungan sekali dengan proses
permohonan pada saat ini. Nah, kita mohon konfirmasinya saja.
69. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Untuk untuk mendengar dengan anu mendengar
keterangan KPK, gitu, di persidangan? Apakah tidak cukup dari
Pak Chandra tadi meskipun tidak institusional, ya, apakah
subtansinya sudah tidak tidak dijelaskan dari sana tadi?
70. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA
Kita pikir akan lebih berguna dan kemudian akan lebih tepat
secara kelembagaan. Nah, untuk itu makanya kita mohonkan KPK
sebagai Pihak Terkait untuk bisa didengarkan terkait dengan apa
permohonan yang kita ajukan pada saat ini.
71. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Ya tapi KPK tidak mengaitkan diri terhadap kasus ini, dia
tidak
minta menjadi Pihak Terkait, gitu, merasa tidak merasa punya
kepentingan dia, merasa terserah saja, gitu. Dia tidak terikat kan
dengan ini kan? Ini bukan Undang-Undang KPK, ini Undang-Undang
Pemda. Kalau maksudnya teknis prosedural, itu kan sudah dijelaskan
oleh Pak Chandra. Tapi kalau institusional, KPK kan tidak terikat
dengan apa pun putusan ini karena dia punya undang-undang sendiri
yang tidak Saudara uji. Silakan.
-
32
72. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Mohon izin, Yang Mulia. KPK menurut kami sangat terkait dengan
keberadaan Undang-Undang Pemda ini khususnya kita mohonkan karena
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 punya lima lima tugas, dua di antaranya poin a dan b
adalah koordinasi dan supervisi. Tadi sempat diungkap sedikit,
tentu dalam kapasitas Saksi ketika menjadi pimpinan KPK jilid II
saja, tetapi tidak belum menjelaskan tentang praktik-praktik
koordinasi dan supervisi, terutama terkait dengan izin pemeriksaan
presiden di jilid I kepemimpinan KPK. Dan berikutnya kami ingin
keterangan yang lebih dalam tentang unit koordinasi dan supervisi
secara kelembagaan di KPK dalam koordinasi-koordinasinya dengan
institusi penegak hukum lain. Terima kasih.
73. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Ya, alasan institusionalnya apa. Kalau di sini ya, kalau
dianggap
terkait ini ada di Pasal 14, itu yang tidak menjelaskan itu.
Tapi kalau kaitannya dengan soal koordinasi pemberantasan korupsi
misalnya ya, kira-kira kaitan langsungnya apa dengan soal
panggil-memanggil ini? Izin-perizinan ini? Kalau kita sendiri dari
pemerintah menganggap sudah cukup ya, artinya Hakim bisa
menafsirkan sendiri. Coba, Pak Harjono mau bertanya?
74. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Mohon izin bertanya, Saudara Pemohon, ya. Kalau Anda ingin
menghadirkan KPK itu kan, kaitannya dengan alasan
inkonsititusionalitas, inkonstitusionalitas tiga hal tadi. Lalu KPK
ditempatkan di mana? Apakah itu persoalan yang berhubungan dengan
cepat prosesnya peradilan dengan persoalan equality before the law
atau dengan persoalan kebebasan kekuasaan kehakiman? Karena ini
ujiannya ... mengujinya dalam konstitusionalitasnya bukan menguji
prosesnya, ya kan? Harusnya kan, ke arah sana. Karena itu yang
harus Anda perkuat di situ. Terima kasih.
75. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBRI DIANSYAH
Oke. Dari tiga landasan uji tersebut, saya kira kami ...
persidangan ini saya kira butuh memperkuat argumentasi equality
before the law, terutama karena adanya perbedaan aturan yang
terjadi pada KPK dan juga kepada kepolisian dan kejaksaan. It ...
itu ... itu satu hal dan yang kedua yang lebih mendasar saya kira,
meskipun di luar tiga alasan konstitusional tadi, adalah soal
kemanfaatan dalam pemberantasan korupsi karena tugas KPK salah
satunya adalah memimpin pemberantasan korupsi dengan kewenangan
koordinasi dan supervisi itu.
-
33
76. KUASA HUKUM PEMOHON: ALVON KURNIA PALMA Maaf, Majelis.
77. KETUA: MOH. MAHFUD MD
Baiklah, biar ini biar lebih toh ini juga tidak didesak oleh
waktu, maka begini, kita akan buka sidang lagi pada tanggal 12
Januari 2011 kami akan 2012 ya. 12 Januari 2012, tahun depan,
dengan catatan kami akan kirim surat ke KPK. Anda diminta untuk
hadir. Artinya tentative saja kepada KPK, apakah Anda bersedia
karena ini tidak langsung terkait dengan tugas KPK, ya. Tetapi
kemungkinan ada kaitan, sehingga kalau KPK bersedia hadir pada
tanggal 12 Januari itu, maka sidang akan dijadwal 12 Januari.
Tetapi kalau misalnya KPK menganggap tidak terlalu relevan, maka
kami putuskan nanti akan diberitahukan bahwa tang Rabu, tanggal 4
Januari itu adalah batas akhir penyerahan kesimpulan, ya.
Jadi, sebelum tanggal 4 akan diberitahu, tetapi dalam waktu
dekat kami akan kirim surat ke KPK untuk bersedia atau tidak me apa
dikaitkan untuk memperkuat argumen-argumen mengenai Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, terkait dengan kasus pidana atau tindak pidana
korupsinya terutama, begitu ya? Baik, dengan demikian sidang
ditutup.
Jakarta, 22 Desember 2011 Kepala Sub Bagian Pelayanan
Risalah,
t.t.d.
Paiyo
NIP. 19601210 198502 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman
suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga
memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara
aslinya.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 15.53 WIB