79 TESIS HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED PUTU DEWI PRAMUSITA NIM 0914078202 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
79
TESIS
HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN
STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA
NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED
PUTU DEWI PRAMUSITA
NIM 0914078202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
80
HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN
STADIUM KLINIS PADA KARSINOMA
NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dan Dokter Spesialis
dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
pada Program Combined Degree, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana dan
Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PUTU DEWI PRAMUSITA
NIM 0914078202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
LEMBAR PENGESAHAN
81
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 18 JULI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. I Gde Ardika Nuaba Sp.T.H.T.K.L (K), FICS Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp.Erg, PFK, MOH
NIP. 19691005 1999 03 1 001 NIP. 19471211 1976 02 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,
Sp.S(K)
NIP. 19580521 1985 03 1 002 NIP. 19590215 1985 10 2 001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal :
18 Juli 2016
82
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : …/…../HK/2016
Tanggal : …. Juli 2016
Penguji :
1. dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS (Pembimbing
I)
2. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp. Erg, PFK, MOH (Pembimbing II)
3. Prof. dr. W. Suardana, Sp.T.H.T.K.L (K)
4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L (K)
5. dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L (K)
83
UCAPAN TERIMA KASIH
84
Om Swastyastu,
Pertama – tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan
Ida Sang Hyang Widhi Waça / Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /
RSUP Sanglah, Denpasar, Bali.
Kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.
KEMD, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
spesialisasi di Universitas Udayana.
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu
Astawa, Sp.OT(K), M.Kes, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya atas perkenan dan bantuannya sehingga penulis dapat mengikuti dan
menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Kepada direktur RSUP Sanglah, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, penulis
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan yang telah
diberikan untuk menjalani program pendidikan dokter spesialis I dan melakukan
penelitian di RSUP Sanglah.
Kepada dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L. (K), sebagai Ketua
Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah, dr.
85
Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L.(K), selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah dan dr. I Wayan Sucipta,
Sp.T.H.T.K.L., selaku Sekretaris Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK
UNUD/RSUP Sanglah, penulis mengucapkan terima kasih dan hormat yang
setinggi – tingginya karena telah berkenan memberikan kesempatan, dukungan,
bimbingan dan motivasi selama mengikuti program pendidikan dokter spesialis
ini. Kepada dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS selaku Sekretaris
Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah dan
juga pembimbing I penulis dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar – besarnya atas kesempatan, bimbingan, motivasi dan
waktu yang diberikan sejak awal hingga akhir pendidikan.
Kepada Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.T.H.T.K.L.(K)., penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan setinggi – tingginya atas kemurahan hatinya dalam
memberikan waktu, tuntunan, dukungan, dan motivasi.
Kepada Prof. Dr. dr. N. Adiputra, Sp.Erg, PFK, MOH., selaku pembimbing II
penulis dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar –besarnya atas semua waktu, bimbingan dan motivasi yang tak henti –
hentinya diberikan kepada penulis.
Kepada dr. Harijadi, Sp. PA (K) dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra,
M.Epid yang telah membantu dan membimbing dalam penyusunan tesis ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya atas waktu, bantuan
dan bimbingannya sehingga penulis dapat merampungkan tesis ini.
86
Kepada seluruh guru selama penulis menuntut ilmu di Bagian Ilmu THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Made Tjekeg, Sp.T.H.T.K.L. (K),
dr. A. A. Sagung Putri, Sp.T.H.T.K.L., dr. I Made Sudipta, Sp.T.H.T.K.L., dr.
Luh Made Ratnawati, Sp.T.H.T.K.L., Dr. dr. W. Sudana, Sp.T.H.T.K.L. (K), dr.
Made Wiranadha, Sp.T.H.T.K.L., dr. Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.K.L., dr.
Komang Andi Dwi Saputra, Sp.T.H.T.K.L., dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara,
Sp.T.H.T.K.L. (K), dr. Agus Rudi Asthuta, Sp.T.H.T.K.L., dan dr. I Ketut
Suanda, Sp.T.H.T.K.L., penulis haturkan penghormatan yang setinggi - tingginya
serta rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh waktu, tuntunan,
bimbingan, nasihat, bantuan, dan permaklumannya kepada penulis selama
menempuh pendidikan. Kepada seluruh teman – teman residen Bagian Ilmu THT-
KL FK UNUD/RSUP Sanglah, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar -
besarnya atas seluruh bantuan, dukungan, pembelajaran, dan pertemanan yang
penulis dapatkan selama menjalani program pendidikan, semoga pertemanan yang
ada dapat terus terjalin. Kepada segenap perawat dan karyawan di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, utamanya di Bagian
Ilmu THT-KL yang selalu membantu dan berkenan untuk bekerjasama, penulis
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk seluruh perhatian,
bantuan dan pengalamannya selama penulis menempuh program pendidikan ini.
Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
seluruh pasien yang penulis temui selama proses pendidikan, untuk perkenan dan
ilmu tak terhingga yang telah diberikan, semoga ilmu yang penulis dapatkan
dapat diamalkan dengan baik di kemudian hari.
87
Sembah bakti dan rasa terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan
kepada ayahanda Ir. Nyoman Ardana dan ibunda dr. Putu Rasmiati, yang telah
membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh harapan dan kasih
sayang, serta memberikan dukungan baik moral maupun material yang tiada ada
hentinya kepada penulis dan keluarga kecil penulis. Penulis berharap dengan
pembelajaran dan bekal yang didapatkan ini, penulis dapat menjalani kehidupan
dengan baik ke depannya. Kepada adik penulis, Made Gde Yoga Iswara, S. Kom.,
M.M., penulis haturkan terima kasih yang sebesar – besarnya untuk dukungan dan
bantuan yang diberikan selama ini. Kepada seluruh anggota keluarga penulis yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan semangat, dukungan,
dan bantuannya, penulis haturkan terima kasih yang sebesar – besarnya.
Kepada suami tercinta dr. A. A. Bagus Indra Permadi, yang selalu
mendampingi dengan penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan memberikan
motivasi serta doa yang tulus selama penulis menempuh pendidikan hingga
terselesaikannya tesis ini, penulis menghaturkan penghargaan dan rasa terima
kasih yang tak terhingga. Kepada putra kami tercinta, A. A. Bagus Khrisna
Yogisvara, yang telah menjadi sumber semangat kami untuk kehidupan yang lebih
baik, penulis haturkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar – besarnya untuk
pengertiannya selama ini.
Akhirnya penulis menghaturkan doa semoga Ida Sang Hyang Widhi Waça /
Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya kepada
semua pihak, yang tercantum di atas maupun yang belum tercantum, yang telah
88
membantu selama proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Om Shanti Shanti Shanti Om
ABSTRAK
HUBUNGAN EKSPRESI CATHEPSIN D DENGAN STADIUM KLINIS
PADA KARSINOMA NASOFARING TIPE UNDIFFERENTIATED
Karsinoma nasofaring adalah suatu malignansi dari epitelium nasofaring dan
paling banyak ditemukan pada stadium lanjut sehingga prognosis penderita buruk.
WHO menetapkan 3 tipe histologis KNF dan stadium KNF didasarkan pada
klasifikasi TNM menurut AJCC. KNF memiliki karakteristik epidemiologi yang
unik, di mana tipe undifferentiated lebih banyak ditemukan di Indonesia.
Karsinogenesis KNF adalah multi tahap dan memerlukan proteolisis, baik
intraseluler maupun ekstraseluler. Proses proteolisis pada KNF diketahui
melibatkan berbagai enzim, termasuk Cathepsin D. Ekspresi cathepsin D sebagai
salah satu biomarker pada KNF melalui pemeriksaan imunohistokimia menarik
untuk diteliti, karena ditemukan kaitan yang kuat antara ekspresi Cathepsin D
dengan progresi kanker, belum terdapatnya data yang memadai dalam hal nilai
prognosis dan prediktif Cathepsin D pada KNF, dan pemeriksaan ekspresi
89
cathepsin D telah dapat dikerjakan oleh beberapa sentra kesehatan di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi
Cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.
Penelitian ini adalah observasional analitik komparatif dua kelompok tidak
berpasangan dengan rancangan potong lintang, dengan pengukuran ekspresi
Cathepsin D pada dua kelompok sampel, yakni KNF tipe undifferentiated dengan
stadium kurang dari IV dan dengan stadium IV. Penelitian dimulai dengan
consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi pada catatan medis
pasien yang datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode April 2015
hingga April 2016 serta dilakukan pengumpulan data di Laboratorium Patologi
Anatomi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Kemudian dilakukan pulasan
IHK di Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta dan dilakukan penilaian ekspresi Cathepsin D oleh seorang
dokter spesialis Patologi Anatomi.
Dari 62 sampel yang diperiksa didapatkan rerata umur pasien adalah
49,94±12,26 tahun pada kelompok dengan stadium IV, dan 51,16±11,31 tahun
pada kelompok dengan stadium kurang dari IV. Umur termuda pada usia 18 tahun
dan tertua pada usia 80 tahun. Proporsi jenis kelamin laki – laki lebih banyak
daripada perempuan, yaitu sebanyak 21 pasien (67,7%) dan 22 pasien (71,0%)
secara berurutan. Distribusi karakteristik pekerjaan yang paling banyak adalah
pekerja swasta yaitu sebanyak 11 orang (35,5%) pada masing-masing kelompok.
Stadium klinis KNF tipe undifferentiated yang paling banyak ditemukan adalah
pada stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%) dan yang paling sedikit adalah
stadium II sebanyak 6 pasien (9,7%). Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak
didapatkan pada kategori kuat sebanyak 24 pasien (38,7%) dan terkecil pada
kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%). Ekspresi Cathepsin D kategori lemah
pada kelompok dengan stadium kurang dari IV didapatkan sebanyak 16 pasien
(51,6%) dan tidak didapatkan pada kelompok dengan stadium IV. Ekspresi
Cathepsin D kategori sedang pada kelompok dengan stadium kurang dari IV
didapatkan sebanyak 15 pasien (48,4%) dan pada stadium IV didapatkan sebanyak
7 pasien (22,6%). Ekspresi Cathepsin D kategori kuat tidak didapatkan pada
kelompok dengan stadium kurang dari IV dan pada kelompok dengan stadium IV
didapatkan sebanyak 24 pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan
nilai p dari Chi Square Test adalah 0,000 (p<0,001). Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya hubungan kuat antara ekspresi Cathepsin D dengan stadium
klinis KNF tipe undifferentiated. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu masukan dalam usaha memahami lebih jauh mengenai peranan
Cathepsin D pada KNF tipe undifferentiated.
Kata Kunci : KNF tipe undifferentiated, stadium klinis, ekspresi Cathepsin D.
90
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP OF CATHEPSIN D EXPRESSION AND CLINICAL
STAGE OF UNDIFFERENTIATED TYPE NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA
Nasopharyngeal carcinoma is a malignant tumor derived from
nasopharyngeal epithelium, typically diagnosed in late stage, resulting in a poor
prognosis. WHO identifies 3 histologic types of NPC, and the stadiums are
classified based on AJCC recommendation. NPC has unique epidemiological
features. In Indonesia, undifferentiated type of NPC is the most common.
Pathogenesis of NPC occurs in multi steps. Proteolysis is mandatory during the
carcinogenesis, both intracellularly or extracellularly. Proteolysis in NPC involves
several enzymes, including Cathepsin D. Cathepsin D expression, identified by
immunohistochemistry procedure, as a biomarker in NPC is interesting to be
further studied, because there is a strong association with progression of cancer,
lacking of data on its prognostic and predictive values in NPC, and the procedure
is readily available on several health institutes in Indonesia. The aim of the study
is to prove the association between Cathepsin D expression and the clinical stage
of undifferentiated type of NPC.
The study was carried out as a comparative analytic observasional with cross
sectional design study on 2 unpaired groups. The study measures Cathepsin D
expression on 2 eligible groups, ie : NPC patients with stage less than IV and
stage IV NPC patients. The samples were recruited using consecutive sampling,
91
based on predetermined inclusion and exclusion criteria. Medical records of
eligible NPC patients who came to ENT-HNS clinic at Sanglah Hospital in the
period of April 2015 until April 2016 were investigated, and further data were
collected from Department of Pathological Anatomy Udayana University/Sanglah
Hospital. Immunohistochemistry staining and evaluation of Cathepsin D
expression were performed at Department of Pathological Anatomy Gajah Mada
University/Dr. Sardjito Hospital in Yogyakarta, with one particular pathological
anatomy specialist.
Of 62 samples investigated, the average age were 49,94±12,26 years in stage
IV NPC patients and 51,16±11,31 years in NPC patients with stage less than IV,
with the youngest was at the age of 18 and the oldest was at the age of 80. Male
patients were consistently more often found than female, with 21 patients (67,7%)
and 22 patients (71,0%), respectively. The patients were mostly work as private
employees; ie 11 patients (35,5%) in each of the goups. The clinical stage which
most often found was stage III with 25 patients (40,3%) dan the least was stage II
with 6 patients (9,7%). Strong Cathepsin D expression were most often found,
with 24 patients (38,7%), and the least was the weak category, with 16 patients
(25,8%). Weak Cathepsin D expression in NPC patients with stage less than IV
were found in 16 patients (51,6%), and none in stage IV NPC patients. Moderate
Cathepsin D expression in NPC patients with stage less than IV were found in 15
patients (48,4%), and 7 patients (22,6%) in stage IV NPC patients. Strong
Cathepsin D expression were none in NPC patients with stage less than IV and
were found in 24 patients (77,4%) in stage IV NPC patients. The result was
statistically significant, with p value of the Chi Square Test is 0,000 (p<0,001).
Thus, it is concluded that there is a strong relationship between Cathepsin D
expression and the clinical stage of undifferentiated type of NPC. The result of
this study could be applied as a basis for further research in pursuit of
understanding the role of Cathepsin D in pathogenesis of undifferentiated type of
NPC.
Keywords : undifferentiated type NPC, clinical stage, Cathepsin D expression.
92
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
epitelium nasofaring. Penyakit ini paling banyak ditemukan pada stadium lanjut,
sehingga seringkali sulit diatasi dan memberikan beban yang berat bagi pasien dan
keluarga. Faktor risiko yang luas, etiologi yang belum pasti, dan gejala klinis yang
minim pada awal penyakit mempersulit proses pencegahan dan deteksi dini.
Karsinoma nasofaring memiliki karakteristik epidemiologi yang unik dalam
hal area endemis, ras, dan familial. Distribusi penyakit ini amat tidak berimbang,
yakni kurang dari 1 per 100.000 di banyak negara, namun amat tinggi di daerah
Cina Selatan dan Asia Tenggara. Insiden tertinggi ditemukan di provinsi
Guangdong, Cina, dengan angka insiden 20-50 kasus per 100.000 penduduk.
Berdasarkan data dari IARC pada tahun 2002, terdapat kurang lebih 80.000 kasus
KNF baru, di mana 50.000 kasus di antaranya kemudian meninggal dan 40% di
antaranya adalah ras Cina. Insiden pada laki-laki lebih sering dengan
perbandingan 2-3 : 1 dan frekuensi tertinggi pada kelompok umur 30-60 tahun
(Ma dan Cao, 2010; Gautama dkk., 2012). Globocan 2012 menemukan angka
insiden KNF di populasi sebesar 6,5 per 100.000 penduduk dan 4,4% dari seluruh
insiden kanker (Anonim, 2012). Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah periode Januari 2011 hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF
1
93
baru dengan rentang usia 11 hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak
pada dekade keempat kehidupan (Kesuma, 2014).
Patogenesis penyakit ini terjadi secara multi tahap dan pada daerah endemis,
merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara infeksi kronis VEB dengan
faktor genetik dan lingkungan (Zeng dan Zeng, 2010). Karsinogenesis multi
tahap didefinisikan sebagai proses terjadinya kanker secara bertahap dari
terjadinya kerusakan gen yang diinduksi oleh berbagai faktor, misalnya konsumsi
ikan asin, paparan uap sulfur, atau infeksi virus, yang menyebabkan aktivasi
onkogen dan inhibisi supresi tumor sampai munculnya ekspresi sel yang bersifat
malignan, yakni invasif, tumbuh tanpa henti, dan menghindari apoptosis. Semua
proses tersebut memerlukan proteolisis, baik intraseluler dan ekstraseluler (Stadler
dkk., 2008; Kumar dkk., 2010). Proses proteolisis pada KNF diketahui melibatkan
berbagai enzim, antara lain berasal dari golongan enzim MMP (Nasr dkk., 2009),
serine protease, dan cathepsin (Cheng dkk., 2008; Xu dkk., 2009). Penelitian telah
banyak menemukan peran MMP pada progresi kanker, namun pemberian
inhibitor MMP gagal menghambat progresi sel kanker pada tikus (Joyce dkk.,
2004; Coussens dkk., 2002) sehingga peran protease intraselular dalam kanker
seperti cathepsin kembali disorot (Mohammed dan Sloane, 2006).
Cathepsin D merupakan salah satu cathepsin yang telah dihubungkan dengan
kanker. Proteolisis oleh Cathepsin D banyak ditemukan dalam proses prakanker
maupun kanker. Peningkatan ekspresi Cathepsin D dalam jaringan kanker
ditemukan menghambat proliferasi sel T dan Cathepsin D ditemukan berperan
dalam apoptosis sel (Michallet dkk., 2004; Navarro dkk., 2005; Vasiljeva dan
94
Turk, 2008). Pada sel kanker, cathepsin juga ditemukan dapat mengalami migrasi
dari dalam vakuola sel ke ekstraseluler (Turk dkk., 2012). Berdowska (2004)
menyebutkan bahwa pemeriksaan ekspresi dan kadar cathepsin, baik dalam
jaringan maupun darah sebagai biomarker progresi kanker menarik untuk
dilakukan karena relatif mudah dikerjakan dan cukup praktis.
Penelitian mengenai ekspresi Cathepsin D banyak dilakukan pada pasien
kanker kolorektal, kanker payudara, kanker ovarium dan kanker endometrium,
namun penelitian mengenai ekspresi Cathepsin D pada KNF masih sangat terbatas
hingga saat ini. Penelitian mengenai biomarker yang memiliki nilai prognosis dan
prediktif bagi penderita KNF juga belum banyak dilakukan.
Ekspresi cathepsin D sebagai salah satu biomarker pada KNF melalui
pemeriksaan imunohistokimia menarik untuk diteliti, karena ditemukan kaitan
yang kuat antara cathepsin D dengan progresi kanker, belum terdapatnya data
yang memadai dalam hal nilai prognosis dan prediktif cathepsin D pada KNF, dan
pemeriksaan ekspresi cathepsin D telah dapat dikerjakan oleh beberapa sentra
kesehatan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara ekspresi
cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated?
95
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi cathepsin D dengan
stadium klinis KNF tipe undifferentiated.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
1. Sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan mengenai hubungan
ekspresi cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam mendukung
pemahaman dan pengembangan mengenai biomarker serta pemanfaatan
ekspresi cathepsin D sebagai faktor prediktif pada penderita KNF tipe
undifferentiated.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran ekspresi cathepsin
D seiring progresivitas tumor sehingga penanganan KNF tipe
undifferentiated dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan penderitanya
serta sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.
1.4.2 Manfaat klinis
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penatalaksanaan
KNF tipe undifferentiated serta mendukung pengembangan pemanfaatan
penghambat cathepsin D sebagai spesific-targeting therapy pada penderita
KNF tipe undifferentiated.
96
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup pada penderita KNF tipe undifferentiated
dengan mengetahui secara dini prognosis dari penderitanya.
97
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di nasofaring
namun lebih banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang merupakan
daerah transisional, di mana epitel kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa.
Kasus KNF pertama kali dilaporkan oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921
(Probst dkk., 2006).
2.1.1 Epidemiologi karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring berada dalam kedudukan lima besar di antara
keganasan lain bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, keganasan
kelenjar getah bening, dan kanker kulit (Wahyono dkk., 2010). Berbagai studi
epidemiologi mengenai etiologi dan kebiasaan yang mendasari timbulnya KNF
selama empat dekade terakhir menemukan beberapa hal penting. Karsinoma
nasofaring dinilai memiliki karakteristik epidemiologis yang unik, termasuk
dalam hal area endemis, ras, dan agregasi familial (Ma dan Cao, 2010).
Insiden KNF relatif tinggi pada penduduk lokal di area Cina Selatan, Asia
Tenggara, bangsa Eskimo di area Arktik, serta penduduk Afrika Utara dan Timur
Tengah. Insiden KNF tertinggi ditemukan di provinsi Guangdong Cina, dengan
insiden pada laki-laki sebanyak 20 hingga 50 per 100.000 penduduk. Berdasarkan
6
98
data dari IARC, terdapat sebanyak kurang lebih 80.000 kasus KNF baru yang
terdiagnosa pada 2002, di mana 50.000 kasus di antaranya kemudian meninggal
dan 40% di antaranya adalah ras Cina. KNF ditemukan lebih sering pada pria
dibandingkan wanita, dengan rasio 2-3:1. Penyakit ini ditemukan terutama pada
usia produktif, yakni 30 hingga 60 tahun, dengan usia terbanyak pada 40 hingga
50 tahun (Ma dan Cao, 2010).
Globocan 2012 menemukan insiden KNF di populasi sebesar 6,5/100.000
penduduk dan insiden KNF dari seluruh kanker sebesar 4,4% di Indonesia
(Anonim, 2012). Angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah di
Indonesia. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus dalam setahun dan di
RS Hasan Sadikin Bandung ditemukan sekitar 60 kasus per tahunnya.
Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah periode Januari 2011
hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF baru dengan rentang usia 11
hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak pada dekade keempat
kehidupan (Kesuma, 2014).
2.1.2 Anatomi dan histologi nasofaring
Nasofaring merupakan rongga berbentuk trapezoid di belakang koana yang
berhubungan dengan orofaring dan terletak superior dari palatum molle. Bagian
atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai, dibatasi oleh
basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal I dan II. Dinding anterior
nasofaring adalah daerah sempit yang merupakan batas koana posterior. Batas
inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral nasofaring
99
merupakan fasia faringobasiler dan muskulus konstriktor faring superior. Pada
kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan
tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba
Eustachius membelah dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring
melalui celah di fasia faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas
superior muskulus konstriktor faring superior yang disebut fossa Rosenmuller.
Fossa Rosenmuller merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring yang
merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF. Fossa Rosenmuller
mempunyai hubungan anatomi dengan struktur-struktur penting di sekitarnya,
sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Letak fossa Rosenmuller
dan sifat KNF yang invasif menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke
daerah sekitarnya sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Wei, 2006).
Gambar 2.1 memperlihatkan anatomi nasofaring dan stuktur – struktur di
sekitarnya.
Pembuluh darah arteri utama yang menyuplai daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens dan cabang
faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri
karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah
membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior
dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Zeng dan Zeng, 2010;
Wei, 2006; Chan dan Felip, 2009).
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris nervus
100
glossofaringeus (IX), serabut motoris nervus vagus (X), dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus (Wei, 2006).
Nasofaring memiliki pleksus submukosa limfatik yang luas. Terdapat
kelompok nodul pada daerah retrofaringeal, yang ada di antara dinding posterior
nasofaring, fasia faringobasiler dan fasia prevertebra. Daerah yang paling banyak
terdapat pembuluh limfatik adalah daerah tuba Eustachius. Aliran limfenya
berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau
kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan
jugularis interna. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat
dengan nervus kranialis yakni nervus IX, nervus X, nervus XI dan nervus XII.
Metastasis ke kelenjar limfatik ini terjadi pada hingga 75% penderita KNF (Wei,
2006).
Nasofaring dilapisi epitel kolumnar berlapis semu saat lahir dan setelah 10
tahun pertama kehidupan epitel ini berubah secara bertahap menjadi predominan
epitel skuamosa berlapis yang tidak berkeratinisasi kecuali pada beberapa tempat.
Permukaan nasofaring tidak rata, berbentuk seperti lipatan atau kripta karena di
bawah epitel terdapat banyak jaringan limfoid. Dinding lateral dan depan
nasofaring dilapisi epitel transisional yang merupakan peralihan antara epitel
skuamosa berlapis dan epitel kolumnar bersilia yang berlapis. Dari sudut
embriologi, tempat peralihan dari dua macam epitel cenderung merupakan area
munculnya suatu karsinoma (Wei, 2006; Chan dan Felip, 2009).
101
Gambar 2.1.
Anatomi nasofaring (Sumber: Wei, 2006)
2.1.3 Karsinogenesis karsinoma nasofaring
2.1.3.1 Infeksi Virus Epstein Barr
Kejadian kanker nasofaring telah dihubungkan dengan berbagai faktor risiko.
Beberapa penelitian menunjukkan KNF muncul pada individu dengan
suseptibilitas herediter yang terinfeksi VEB pada awal kehidupan mereka,
kemudian virus tersebut teraktivasi oleh mekanisme sintetis dari berbagai faktor
lingkungan, yang pada akhirnya menimbulkan KNF. Selain peran VEB, terdapat
pula berbagai faktor yang diduga berperan dalam inisiasi dan perkembangan KNF,
seperti paparan lingkungan dan kebiasaan dalam diet. Tetapi terdapat pula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa perubahan kebiasaan yang diduga
berhubungan dengan kejadian KNF di Cina Selatan dalam beberapa dekade
terakhir tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kejadian penyakit ini
(Zeng dan Zeng, 2010).
102
Virus Epstein Barr merupakan bagian dari kelompok human herpes virus,
yang berselubung dan berisi inti DNA. Inti DNA dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahedral dan tegumen α atau protein yang terletak antara nukleokapsid dan
selubung, serta dilengkapi selubung luar yang memiliki tonjolan glikoprotein
eksternal. VEB telah menginfeksi lebih dari 95% populasi orang dewasa di dunia,
dan memiliki tropisme yang kuat pada epitel saluran napas atas. Virus ini dapat
hidup di dalam tubuh manusia dalam jangka panjang tanpa menimbulkan gejala
klinik yang jelas dan infeksi primer biasanya terjadi pada beberapa tahun awal
kehidupan (Korcum dkk., 2006; Permeen dkk., 1990; Claire dkk., 2013).
Mekanisme infeksi VEB pada sel epitel nasofaring kemungkinan melalui
hubungan langsung antara membran apikal sel dengan limfosit yang sudah
terinfeksi virus, melalui membran basolateral yang dimediasi oleh adanya
interaksi antara integrin β1 atau α581 dengan VEB, ataupun penyebaran virus
secara langsung melalui membran lateral yang terjadi setelah inang terinfeksi
VEB untuk pertama kalinya (Korcum dkk., 2006; Permeen dkk., 1990; Claire
dkk., 2013). VEB menghasilkan produk yang akan berinteraksi ke berbagai
molekul anti apoptotik dan sitokin sehingga infeksi VEB dapat bertahan lama dan
bertransformasi. VEB saat infeksi laten ditandai dengan aktivasi dan proliferasi
sel yang disebut sebagai VEB imortal pada sel limfosit B. Sel limfosit B yang
terinfeksi VEB akan menghindari apoptosis dengan mengekspresikan LMP 1 dan
2a (Guo dkk., 2006; Luo dan Ou, 2009). Setelah infeksi primer dan pembentukan
fase laten, ekspresi gen VEB dibatasi hanya untuk LMP-2a yaitu protein yang
mempertahankan fase laten dengan memberikan sinyal kelangsungan hidup dan
103
menghambat aktivasi sel limfosit B sehingga nantinya masuk fase litik. VEB
dapat menginfeksi individu lainnya yang rentan ketika memasuki fase litik. Ketika
terjadi reaktivasi, beberapa protein virus litik yang dipresentasikan akan secara
aktif menghambat mekanisme kekebalan tubuh, termasuk homolog interleukin-10
yang dapat menghambat co-stimulatory dan fungsi antigen presenting monocyte
atau makrofag serta beberapa protein yang merusak pelepasan sitokin terutama
interferon (α dan β). Selain itu, bcl-2 akan memperpanjang kelangsungan hidup
sel yang terinfeksi dengan menghambat apoptosis (Korcum dkk., 2006; Gu dkk.,
2012; Claire dkk., 2013). Proses interaksi antara VEB dan epitel nasofaring di atas
terangkum pada gambar 2.2.
Gambar 2.2.
Interaksi antara VEB dan epitel nasofaring sehingga terjadi
proses infeksi laten dan infeksi litik (Sumber: Korcum dkk., 2006)
104
Mekanisme patogenesis VEB yang menyebabkan karsinoma nasofaring
masih diperdebatkan, tetapi terdapat temuan yang menyebutkan bahwa hampir
semua kasus KNF tidak berkeratinisasi adalah positif VEB dihubungkan dengan
kebiasaan merokok dan area geografi tertentu. Selain itu terdapat pula temuan
bahwa VEB menginfeksi sel nasofaring yang telah dirangsang oleh faktor
lingkungan lainnya, seperti diet yang mengandung zat karsinogenik, contohnya
produk ikan asin dan makanan yang diawetkan, yang kaya akan NDMA, NPYR,
dan NPIP (Korcum dkk., 2006) serta paparan polusi asap atau kimia, termasuk
nikel. Infeksi VEB dihubungkan dengan kejadian KNF ditunjukkan pula dengan
adanya peningkatan antibodi terhadap antigen VEB pada kebanyakan penderita
KNF, terdapatnya DNA dan RNA VEB pada semua sel tumor dan pembentukan
prekursor pada lesi KNF (Claire dkk., 2013).
2.1.3.2 Jalur sinyal molekular karsinoma nasofaring
Pengaturan pertumbuhan sel memerlukan tiga kelompok utama gen, yakni
protoonkogen, gen penekan tumor dan gen gatekeeper. Protoonkogen berperan
dalam stimulasi, regulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor
bekerja sebagai penghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis.
Sedangkan gen gatekeeper memiliki fungsi untuk mempertahankan integritas
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini mengakibatkan penyimpangan siklus sel sehingga terjadi
pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan menjadi awal dari karsinogenesis
(Kraus dan John, 2003; Stadler dkk., 2008; Rashi dkk., 2011).
105
Karsinogenesis, sebagaimana terlihat pada gambar 2.3, merupakan proses
multi tahapan, yang terdiri dari tahap inisiasi, promosi, dan progresi tumor. Pada
tahap inisiasi, sel normal berubah secara permanen akibat kerusakan DNA menuju
ke arah premalignansi. Pada tahap ini proses mutasi akan mengubah fungsi
protoonkogen dan gen penekan tumor. Pada tahap promosi, terjadi mekanisme
epigenetik yang berakibat adanya ekspansi sel-sel rusak membentuk lesi
premalignansi. Senyawa-senyawa yang merangsang pembelahan sel disebut
promotor. Pada tahap progresi terjadi instabilitas gen yang menyebabkan
perubahan-perubahan mutagenik dan epigenetik. Proses ini akan menghasilkan
populasi baru sel-sel tumor yang memiliki aktivitas proliferasi, bersifat invasif
dan potensi metastatiknya meningkat (Kraus dan John, 2003; Stadler dkk., 2008;
Rashi dkk., 2011).
Karsinogenesis ini akan membawa perubahan mendasar dalam fisiologis sel,
seperti menghasilkan sendiri sinyal pertumbuhan sel, bersifat insensitif terhadap
sinyal penghambat pertumbuhan sel, pengabaian sinyal apoptosis, kemampuan
replikasi yang tidak terbatas, angiogenesis berkelanjutan, serta invasi dan
metastasis (Stadler dkk., 2008; Kumar dkk., 2010). Dalam karsinogenesis KNF,
jalur-jalur sinyal molekular terintegrasi dan kompleks yang diduga berperan
penting hingga saat ini belum sepenuhnya dapat dipahami. Walaupun demikian,
terdapat beberapa jalur sinyal molekular utama yang diduga berperan penting.
Ekspresi EGFR dan VEGF diduga dapat mempengaruhi prognosis kasus-kasus
KNF, sedangkan data preklinik dan klinik menunjukkan bahwa jalur sinyal Wnt
106
dan miRNA memegang peranan penting dalam perkembangan dan progresi KNF
(Le dan Lu, 2010).
Gambar 2.3.
Skema molekular sederhana terjadinya kanker (Sumber: Kumar dkk., 2010)
Reseptor EGFR merupakan salah satu dari reseptor TSK yang ditemukan
terekskresi secara berlebihan dalam kasus keganasan kepala dan leher. EGFR
meliputi HER-1/EGFR (erbB-1), HER-2 (erbB-2), HER-3 (erbB-3), dan her-4
(erbB-4) (Herbst, 2004). Pada KNF, EGFR ditemukan terekspresi secara
berlebihan pada 70%-100% kasus (Sheen dkk., 1999). EGFR memiliki peranan
penting dalam pertumbuhan, progresi, dan metastasis dari kanker. Keadaan
hipoksia akan meningkatkan produksi dari Egr-1 yang kemudian meningkatkan
Acquired (environmental) DNA damaging agents :
Chemicals
Radiation
Viruses
NORMAL CELL
DNA damage
Failure of DNA repair
Mutation in the genome of somatic cells
Inherited mutations in :
Genes affecting DNA repair
Genes affecting cell growth or
apoptosis
Activation of growth-
promoting oncogenes Inactivation of tumor
suppressor genes
Alterations in genes that
regulate apoptosis
Unregulated cell proliferation
Decreased apoptosis
Angiogenesi
Unregulated cell proliferation
Decreased apoptosis
Clonal expansion
Angiogenesis
Escape from immunity
Additional mutations
Tumor progression
Malignant neoplasm Invasion and metastasis
Successful DNA repair
107
sintesis EGFR (Nishi dkk., 2002). VEB melalui LMP1 juga diduga meningkatkan
ekspresi EGFR, meningkatkan endositosis dan akumulasi EGFR di nukleus
sehingga pada akhirnya meningkatkan proliferasi sel. Hal ini menunjukkan bahwa
fungsi utama EGFR selain sebagai faktor transkripsional, juga sebagai transduser
sinyal. Pada keganasan, selain ekspresi berlebihan EGFR, juga ditemukan mutasi
pada reseptor yang mengakibatkan reseptor tersebut menjadi aktif terus menerus
(Miller dkk., 1998; Mainou dkk., 2005). Jalur sinyal ErbB/HER diperlihatkan
pada gambar 2.4.
Gambar 2.4.
Jalur sinyal ErbB/HER (Sumber: Le dan Lu, 2010)
108
Aktivasi EGFR akan berdampak pada jalur kinase signal transduction and
transcription pathway dan mitogen activated protein kinase pathway (Yarden dan
Sliwkowski, 2001). Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa ekspresi
berlebihan EGFR ditemukan pada kurang lebih 80% biopsi tumor primer KNF
dan dapat berguna sebagai faktor prognosis. Ditemukan pula bahwa peningkatan
ekspresi EGFR, bersama dengan VEGF sitoplasmik dan COX-2 berkorelasi
dengan stadium KNF berdasarkan AJCC, di mana ekspresinya lebih tinggi pada
pasien dengan stadium IV dibandingkan pada pasien dengan stadium II. Salah
satu penelitian yang dilakukan di Hong Kong menemukan bahwa ekspresi
berlebihan dari EGFR sebelum adanya intervensi berkorelasi dengan kesintasan
keseluruhan yang lebih rendah, kekambuhan, penyebaran lokoregional, dan
tingkat kematian yang lebih tinggi (Sheen dkk., 1999; Nishi dkk., 2002; Ma dkk.,
2003; Pan dkk., 2008).
Vascular endothelial growth factor merupakan faktor pertumbuhan spesifik
bagi sel-sel endotel. VEGF diduga sebagai faktor pertumbuhan kardinal dalam
proses angiogenesis. Angiogenesis sendiri pada keadaan normal dikendalikan oleh
keseimbangan antara faktor angiogenik dan faktor anti angiogenik. Pada
keganasan, angiogenesis memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, invasi,
dan metastasis tumor. Suatu tumor ganas akan memiliki pusat yang nekrosis dan
jaringan yang hipoksik, yang kemudian akan memicu peningkatan ekspresi gen
VEGF melalui HIF, sebuah faktor transkripsional yang mengakibatkan terjadinya
kaskade angiogenesis secara terus menerus. Pada KNF ditemukan pula bahwa
onkoprotein dari VEB yakni LMP1 akan menstabilisasi protein Siah-1, suatu
109
bagian dari kelompok protein Siah, yang mengakibatkan peningkatan degradasi
PHDs, sehingga HIF tetap aktif dan berada dalam kadar yang tinggi walaupun
tidak adanya keadaan hipoksia. Pada KNF, ekspresi berlebihan VEGF beserta
reseptornya ditemukan pada kurang lebih dua pertiga tumor primer keseluruhan
kasus KNF. Pada penelitian mengenai KNF lainnya juga ditemukan bahwa
peningkatan ekspresi berlebihan VEGF pada tumor dengan VEB positif
berkorelasi dengan peningkatan laju rekurensi, keterlibatan limfonodi regional,
dan rendahnya tingkat kesintasan (Le dan Lu, 2010). Berbagai fungsi biologis
VEGF terlihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5.
Berbagai fungsi biologis VEGF (Sumber: Le dan Lu, 2010)
Fungsi jalur sinyal Wnt sangat vital pada perkembangan sel normal, namun
jalur ini seringkali teraktivasi secara berlebihan pada kanker. Sebagaimana terlihat
110
pada gambar 2.6, protein dalam famili Wnt yang terekskresi melekat pada reseptor
permukaan sel dari famili Frizzled. Pada tiadanya sinyal Wnt, aktivator
transkripsional β-catenin didegradasi secara aktif oleh suatu kompleks protein.
Protein-protein ini memfasilitasi fosforilasi β-catenin oleh CK 1a dan GSK 3b. β-
catenin terfosforilasi kemudian diubikuinasi dan menjadi target guna degradasi
proteosomal. Kadar bebas β-catenin umumnya tetap rendah dalam kondisi normal.
Ikatan Wnt dengan kompleks reseptor Frizzled pada membran sel mengakibatkan
disolusi dari kompleks protein, sehingga terjadi akumulasi β-catenin dan
memasuki nukleus sel. Di dalam nukleus sel, β–catenin berinteraksi dengan
berbagai faktor transkripsional lainnya untuk meningkatkan gen-gen target Wnt,
termasuk C-myc (Barker dan Clevers, 2006). β-catenin sitoplasmik juga melekat
pada E-cadherin pada sel normal guna menjaga adhesi selular, sehingga hilangnya
β-catenin dapat mengakibatkan hilangnya proses pelekatan antar sel. Sinyal Wnt
yang abnormal ditemukan berimplikasi pada perkembangan dan progresi beberapa
tumor solid, seperti karsinoma sel skuamosa, tumor hepar, tumor paru, dan kanker
kolorektal. Beberapa penelitian juga menunjukkan keadaan yang serupa dalam
perkembangan KNF. Lebih dari 90% tumor KNF menunjukkan adanya
peningkatan ekspresi protein Wnt dan sekitar 75% menunjukkan penurunan
ekspresi WIF (Shi dkk., 2006; Zeng dkk., 2007). Ditemukan pula bahwa ekspresi
WIF dihentikan oleh promotor hipermetilasi pada beberapa sel KNF (Lin dkk.,
2006). Kadar β-catenin nuklear ditemukan meningkat pada lebih dari 90% tumor
KNF dan sel KNF menunjukkan peningkatan fosforilasi GSK3b (Morrison dkk.,
2004). Target langsung β-catenin juga ditemukan meningkat pada KNF, termasuk
111
di antaranya IL8, sebuah faktor yang sangat pro-angiogenik, dan juga C-myc,
suatu onkogen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa jalur sinyal Wnt diduga
sebagai salah satu yang berperan penting dalam perkembangan KNF (Ren dkk.,
2004; Chou dkk., 2008).
Gambar 2.6.
Jalur sinyal Wnt/β-catenin (Sumber: Le dan Lu, 2010)
miRNA ditemukan sebagai kelas gen nonkoding baru yang terlibat dalam
regulasi jalur sinyal molekular pada proliferasi, diferensiasi, dan viabilitas sel
KNF (Bartel, 2004; Stefani dan Slack, 2008). MiRNA merupakan nukleotida
RNA nonkoding yang diproses dari transkrip primer atau primiRNA, yang
112
umumnya ditemukan pada intron atau regio nonkoding lainnya. Pri-RNA dipecah
dari nukleus oleh enzim Drosha untuk membentuk pre-miRNA, yang kemudian
ditransportasikan ke dalam sitoplasma untuk selanjutnya dipecah untuk
membentuk miRNA akhir. Fragmen-fragmen RNA tersebut berperan sebagai
regulator yang menginhibisi translasi protein atau mempromosikan degradasi
mRNA (Cosmopoulos dkk., 2008). Sebanyak hampir 40 miRNA telah ditemukan
terekspresi pada berbagai regio genom VEB dan pola ekspresinya bergantung
pada tipe sel dan pola ekspresi gen VEB secara keseluruhan, seperti misalnya
BART miRNA yang banyak terekspresi pada sel-sel KNF. Salah satu target utama
BART miRNA yang dikode VEB adalah LMP1, yang merupakan onkogen utama
yang berasal dari VEB (Lo dkk., 2007). Walaupun LMP1 memiliki kemampuan
transformasi, ekspresi yang sangat berlebihan dari protein ini dapat menghambat
proliferasi sel dan meningkatkan suseptibilitas terhadap stres apoptotik. Sehingga
penekanan produksi berlebihan LMP1 pada KNF oleh BART miRNA diduga
turut menjaga sel-sel KNF yang mengekspresikan LMP1 dari rangsangan
apoptotik dan meningkatkan resistensi terhadap cisplatin (Lo dkk., 2007).
Regulasi BART miRNA terhadap sintesis protein LMP1 juga menjelaskan
ketimpangan antara transkrip LMP1 dan ekspresi protein tersebut pada jaringan
KNF yang teramati (Nasr dkk., 2009). Sebagai tambahan, beberapa miRNA
seluler yang dikode dalam sel inang juga ditemukan dalam jumlah banyak pada
KNF, dan ekspresi berlebihan ini dapat mempromosikan fenotip tumor agresif
melalui perubahan ekspresi target-targetnya. Namun penelitian mengenai jalur
113
kompleks yang melibatkan miRNA masih sangat minim dan diperlukan berbagai
penelitian lanjutan (Le dan Lu, 2010).
Apoptosis merupakan suatu proses kematian sel yang terprogram dan
merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal. Proses ini
menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui eliminasi
sel yang rusak sehingga fungsi jaringan normal tetap terpelihara. Pada sel kanker
tidak didapatkan kepekaan terhadap sinyal apoptosis. Pada sel-sel KNF, proses
apoptosis mungkin telah terpengaruh oleh perubahan genetik multipel. Ekspresi
berlebihan dari bcl-2 dan inaktivasi jalur p53 diduga sebagai mekanisme penting
dalam reduksi apoptosis pada kanker ini (Lo dkk., 2004). Produk bcl-2 memiliki
derajat homologi yang tinggi dengan BHRF-1, sebuah produk open reading frame
pada gen VEB yang mengganggu diferensiasi sel-sel epitelial. Prevalensi yang
tinggi dari bcl-2 yang terdeteksi pada KNF konsisten dengan imunoreaktivitas
onkoprotein yang sering terjadi pada sel lapisan basal mukosa normal nasofaring.
Bersamaan dengan itu, protein bcl-2 tersebut memproduksi sejumlah ekstensi
guna daya tahan sel yang signifikan, yang diduga sebagai peristiwa penting dalam
transformasi sel atau pertumbuhan tumor (Dawson dkk., 1995). VEB dapat
menggunakan protein virus untuk mempengaruhi ekspresi bcl-2, seperti LMP1
(Burgos, 2005).
114
2.1.4 Diagnosis karsinoma nasofaring
Diagnosis pada KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis yang terarah,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala pada penderita KNF
dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni gejala di nasofaring, gejala
pada telinga, gejala pada mata, gejala pada saraf serta pada lokasi metastasis atau
gejala di daerah leher. Gejala di nasofaring bisa berupa epistaksis ringan atau
sumbatan hidung. Gejala pada telinga dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di
telinga. Gejala pada mata berupa pandangan kabur atau diplopia. Terdapat dua
jenis sindrom nervus kranialis akibat penjalaran tumor, yakni retroparotid
syndrome disebut juga sindrom Jackson, melibatkan nervus kranialis IX, X, XI,
XII bila penjalaran melalui foramen jugulare, dan petrosphenoid syndrome
dengan gangguan pada nervus kranialis IV, V, VI dan terkadang nervus kranialis
II melalui foramen laserum. Metastasis ke kelenjar getah bening leher
menimbulkan keluhan benjolan pada area tersebut. Setiap gejala tersebut
dipandang memiliki nilai dalam mendiagnosis KNF, sebagaimana dirumuskan
dalam Digby Score, yang tertera pada tabel 2.1. Bila total skornya lebih atau sama
dengan 50, dapat dicurigai adanya KNF (Chan dan Felip, 2009; Luo dan Ou,
2009).
Tabel 2.1.
115
Digby Score (Sumber: Digby, 1951)
Gejala Skor
Massa padat di nasofaring 25
Pembesaran kelenjar getah bening leher 25
Gejala pada hidung (seperti epistaksis dan obstruksi nasi) 15
Gejala pada telinga (seperti tinitus dan penurunan pendengaran) 15
Sakit kepala unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologis 5
Exopthalmus 5
Standar baku emas dalam mendiagnosis KNF adalah pemeriksaan
histopatologi berdasarkan biopsi nasofaring, pemeriksaan ini juga penting dalam
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan
prognosis KNF (Luo dan Ou, 2009).
Pemeriksaan penunjang pilihan antara lain adalah CT Scan dan MRI dengan
penggunaan kontras. Pemeriksaan MRI akan memperlihatkan adanya perluasan
intrakranial dengan lebih detail, sedangkan bila terdapat erosi tulang, pemeriksaan
CT scan dapat memberikan informasi yang lebih baik. Gambaran CT scan pada
KNF dapat memberikan informasi mengenai lokasi asal tumor tersebut.
Pemeriksaan MRI pada KNF akan memberikan gambaran massa homogen dengan
peningkatan intensitas yang moderate, baik pada tumor induk maupun pada
metastasis kelenjar getah bening leher (Chan dan Felip, 2009).
116
2.1.5 Klasifikasi karsinoma nasofaring
World Health Organization membagi KNF menjadi 3 tipe berdasarkan
klasifikasi histologi, yakni: WHO tipe I (keratinizing squamous cell carcinoma)
yang muncul pada sekitar 25% dari semua kasus KNF di Amerika Utara, tapi
hanya 1% di daerah endemik, dengan prognosis paling buruk; WHO tipe II (non-
keratinizing squamous cell carcinoma), dengan jumlah kasus paling sedikit; dan
WHO tipe III (undifferentiated carcinoma) yang terbentuk dari sel-sel dengan
berbagai variasi morfologi dan merupakan tipe histologis KNF terbanyak.
Pada pemeriksaan histopatologi, WHO tipe I akan menunjukkan sel-sel tumor
dengan diferensiasi skuamosa serta adanya jembatan intraseluler dan atau
keratinisasi di atasnya. WHO tipe II akan memberi gambaran sel-sel tumor yang
berdiferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, terdiri dari
sel-sel yang bervariasi mulai dari sel yang matur hingga anaplastik, dan hanya
sedikit sekali atau sama sekali tidak memproduksi keratin. WHO tipe III akan
memiliki gambaran patologi yang sangat heterogen, di mana sel ganas memiliki
inti bulat hingga oval dan vesikuler, dengan batas sel yang tidak jelas, dan dapat
ditemukan sel ganas yang berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik (Chan dan
Felip, 2009).
WHO tipe II dan III dinilai memiliki hubungan yang kuat dengan VEB (Chan
dan Felip, 2009). Tipe histologis KNF WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki
kecenderungan untuk metastasis lebih tinggi daripada WHO tipe I. Di sisi lain,
117
WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki derajat radiosensitivitas lebih tinggi
sehingga mempunyai prognosis yang lebih baik (Gu dkk., 2012).
Stadium pada KNF telah dirumuskan dalam berbagai sistem klasifikasi. Pada
tabel 2.2 dipaparkan sistem pengklasifikasian menurut AJCC.
Tabel 2.2.
Stadium KNF berdasarkan AJCC (Sumber: Greene dkk., 2010)
118
2.2 Cathepsin
Cathepsin, seperti terlihat pada gambar 2.7, merupakan enzim protease di
dalam lisosom. Terdapat beberapa jenis cathepsin pada manusia, yakni cathepsin
B, C, D, H, F, K, L, O, S, V, W, dan X/Z. Cathepsin mulanya diperkirakan hanya
memediasi degradasi terminal protein intraseluler dalam lisosom, namun baru –
baru ini ditemukan bahwa setiap cathepsin memiliki fungsi biologis yang
beragam, antara lain metabolisme thrombin dan fibronektin, klirens apoptotik sel-
sel terinfeksi virus dan sel tumor melalui limfosit sitotoksik (Affara dan Coussens,
2008).
Berbagai jenis cathepsin memiliki perbedaan spesifisitas walaupun memiliki
kemiripan pada sekuens dan lipatan. Sebagian besar merupakan endopeptidase,
namun beberapa memiliki aktivitas eksopeptidase, seperti misalnya cathepsin X
adalah carboksipeptidase dan cathepsin C dapat memotong dipeptida dari
terminus-N substrat proteinnya. Cathepsin B dan H memiliki aktivitas
endopeptidase dan eksopeptidase. Perbedaan spesifitas tersebut mempengaruhi
kemampuan masing – masing cathepsin dalam memotong substrat tertentu,
sembari menjaga degradasi protein tetap efisien dan menyeluruh melalui aktivitas
kolektif dalam lisosom (Affara dan Coussens, 2008).
Cathepsin D telah ditemukan diekspresikan pada berbagai jaringan tubuh.
Cathepsin D berperan dalam aktivitas lisosom sel dan pada proses ekstraseluler.
Ekspresi yang relatif luas membuat cathepsin D diduga berperan pada berbagai
proses fisiologis dan patologis dalam tubuh (Brix dkk., 2008).
119
Gambar 2.7.
Anggota Keluarga Protease (Sumber : Chwieralski dkk., 2006)
Aktivitas cathepsin pada berbagai tikus percobaan dengan implantasi sel
kanker menunjukkan kaskade protease yang saling terhubung yang dimulai oleh
protease aktivator yang serupa, cathepsin C, dan berujung pada amplifikasi
aktivitas enzimatik protease terminal seperti MMP-9 (Gambar 2.8). Penelitian
pada model tikus menunjukkan bahwa terdapat regulasi bioaktivitas protease yang
spesifik terhadap organ atau tipe tumor, dan juga keterlibatan protease yang
berasal dari beberapa kelas enzim, antara lain aspartic, cysteine, serine, dan
metallo (Affara dan Coussens, 2008).
120
Gambar 2.8.
Jaringan Protease di Ruang Ekstraseluler (Sumber : Affara dan Coussens, 2008)
2.2.1 Pembentukan Cathepsin D
Berbagai jenis cathepsin, termasuk cathepsin D, disintesis sebagai prekursor
inaktif, preproenzim berukuran 30-50 kDa, yang mengandung peptida dignal
amino-terminal yang memperantarai transpor cathepsin-cathepsin tersebut
melintasi membran retikulum endoplasma. Cathepsin D memliki situs N-
glikosilasi, yang digunakan untuk mengarahkan enzim ke kompartemen lisosomal
melalui jalur reseptor mannosa-6-fosfat. Aktivasi penuh dicapai setelah enzim
121
berada pada lingkungan asam dalam endosom atau lisosom, yaitu saat propeptida
yang menghalangi akses substrat ke ujung katalitik proenzim dipotong,
menyebabkan perubahan massa molekularnya menjadi 20-35 kDa. Pembuangan
propeptida endoproteolitik dicapai melalui proses autokatalitik (pada
endopeptidase) atau proteolisis terbatas oleh protease lainnya. Proses ini dipicu
oleh pH rendah dan diperkuat oleh adanya GAGs. GAGs mendukung autoaktivasi
dan aktivitas cathepsin D pada pH netral, yang sangat relevan bagi aktivasi
procathepsin yang disekresi (Affara dan Coussens, 2008).
2.2.2 Peran fisiologis Cathepsin D
Cathepsin memiliki peran yang luas pada proses fisiologis dan patologis
dalam tubuh. Secara fisiologis, mereka terlibat dalam aktivasi prekursor protein
(termasuk proenzim dan prohormon), presentasi antigen yang dimediasi MHC II,
remodeling tulang, diferensiasi keratinosit, siklus folikel rambut, reproduksi, dan
apoptosis. Cathepsin D ditemukan pada banyak organ dan diduga terlibat dalam
berbagai proses tubuh, melalui katalisa hidrolisis protein dalam lisosom
(Berdowska, 2004).
Cathepsin D berperan dalam berbagai proses fisiologis tubuh melalui katalisa
hidrolisis protein dalam lisosom. Cathepsin D, B, L dan K kemungkinan
berpartisipasi dalam proteolisis thyroglobulin pada kelenjar tiroid, melepaskan
thyroxine dan thyronine. Cathepsin D juga terlibat dalam aktivasi β-galaktosidase,
renin, dan tripsin. Dalam respon imun, cathepsin D terlibat dalam presentasi
antigen dan pengaturan proses inflamasi melalui apoptosis sel imun (Conus dan
122
Simon, 2010). Dalam sel APC terkandung cathepsin B, C, D, H, S, dan X.
Cathepsin tersebut tidak tersebar merata dalam sel, menunjukkan kemungkinan
terdapat perbedaan peran masing – masing cathepsin dalam memproses antigen
(Chapman, 2006). Pada model toleransi antigen dosis tinggi selama inkubasi sel T
dengan ATG, penurunan proliferasi sel T dan meningkatnya apoptosis sel T
bergantung pada aktivitas sitosolik beberapa jenis cathepsin, termasuk cathepsin
D (Michallet dkk., 2004).
2.2.3 Peran patologis Cathepsin D
Cathepsin berperan dalam berbagai proses patologis, yang seringkali ditandai
dengan adanya peningkatan ekspresi dan aktivitas enzim tersebut, antara lain pada
penyakit yang berkaitan dengan proses inflamasi dan kanker (Turk dkk., 2012).
Cathepsin D ditemukan memiliki kaitan kuat dengan kanker, antara lain kanker
hepatoselular, kanker pankreas, kanker payudara, dan kanker ovarium (Reinheckel
dkk., 2008). Berbagai peran cathepsin dalam progresi kanker diperlihatkan pada
gambar 2.9. Tingkat ekspresi cathepsin ditemukan berkorelasi positif dengan
prognosis buruk pada pasien kanker dan disarankan sebagai marker prognostik
(Duffy, 1996; Turk dkk., 2012). Kadar cathepsin juga ditemukan berkorelasi
positif dengan metastasis (Berdowska, 2004; Gondi dan Rao, 2013).
123
Gambar 2.9.
Peran Cathepsin Dalam Progresi Kanker (Sumber: Turk dkk., 2012)
Cathepsin ditemukan terlibat dalam kaskade aktivasi protease lainnya
(Gambar 2.10), seperti serine preotease, yang antara lain meliputi uPA dan MMP,
yang memperkuat disolusi matriks ekstraseluler dan membran basal,
menyebabkan terjadinya invasi dan metastasis sel kanker (Turk dkk., 2012; Gondi
dan Rao, 2013).
Gambar 2.10.
Kaskade Proteolitik (Sumber : Reinheckel dkk., 2008)
124
Cathepsin dapat disekresikan ke ruang ekstraseluler agar dapat mencapai
target potensial tersebut (Turk dkk., 2012). Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan
kadar dan aktivitas cathepsin dalam serum pada kanker serviks (Makarewicz dkk.,
1995), ovarium (Warwas dkk., 1997; Scorilas dkk., 2002) dan melanoma maligna
(Kos dkk., 1997). Pada kanker serviks, cathepsin B dan D ditemukan mampu
menciptakan lingkungan yang bersifat imunosupresif dan mampu menekan
proliferasi limfosit (Navarro dkk., 2005).
2.2.3.1 Peran Cathepsin D dalam invasi dan metastasis
Cathepsin dapat membantu penyebaran sel kanker ke jaringan sekitarnya
melalui degradasi matriks ekstraseluler, aktivasi protease lainnya, atau memotong
faktor adhesi antar sel. Pada model tikus percobaan RT2, protein adhesi sel yakni
E-cadherin merupakan salah satu substrat yang dapat diurai oleh cathepsin B, D,
L, dan S. E-cadherin adalah komponen utama taut antar sel yang mempertahankan
adhesi antar sel. Salah satu ciri kanker invasif ditandai dengan adanya penurunan
ekspresi E-cadherin, yang dapat terjadi melalui gene silencing, mutasi titik, atau
modifikasi post translasional. Pada model tikus percobaan RT2 yang tidak
mengekspresikan cathepsin, tingkat protein E-cadherin tetap terjaga (Reinheckel
dkk., 2008).
Mekanisme invasi lainnya adalah melalui degradasi langsung komponen
matriks ekstraseluler sehingga tercipta ruang bagi migrasi sel invasif. Cathepsin
diketahui dapat memotong komponen membran basalis atau matriks ekstraseluler,
antara lain laminin, kolagen tipe IV, fibronektin, dan tenascin-C. Dalam progresi
125
tumor, cathepsin seringkali mengalami translokasi ke permukaan sel atau
disekresi ke ruang ekstraseluler, memudahkan akses cathepsin terhadap protease
lain di permukaan sel atau substratnya dalam matriks ekstraseluler (Reinheckel
dkk., 2008).
Cathepsin juga berperan dalam aktivasi protease lain dengan memulai
kaskade proteolitik yang berujung pada pemecahan beberapa target, yang secara
keseluruhan memperkuat proses invasi tumor. Eksperimen in vitro menunjukkan
bahwa cathepsin memotong dan mengaktifkan MMP-1 dan MMP-3,
mengkonversi prekursor aktivator plasminogen tipe urokinase (uPA) menjadi
enzim aktif, yang kemudian mengkatalisis pemotongan plasminogen menjadi
plasmin. Plasmin adalah protease serine spektrum luas yang dapat langsung
mendegradasi komponen matriks ekstraseluler dan mengaktifkan MMP lainnya
(Reinheckel dkk., 2008). Berbagai proses di atas terlihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11.
Peran Ganda Cathepsin dalam Invasi Tumor dan Apoptosis
(Sumber : Vasiljeva dan Turk, 2008)
126
2.2.3.2 Peran Cathepsin D dalam neoangiogenesis
Angiogenesis dan invasi adalah dua tahap dalam perkembangan tumor yang
sejak lama diketahui memerlukan aktivitas proteolitik. Proses pembentukan
pembuluh darah baru, angiogenesis atau neovaskularisasi, amat penting bagi
pertumbuhan tumor dengan ukuran lebih dari 1-2 mm3. Angiogenesis umumnya
dipicu oleh dilepaskannya proangiogenic growth factors, seperti VEGF dari
tumor. Sel endotel bermigrasi ke lesi yang bertumbuh dan membelah serta
berdiferensiasi guna membentuk pembuluh darah baru, yang dapat didukung oleh
sel otot polos (Reinheckel dkk., 2008). Induksi proteolisis diperlukan dalam
proses degradasi terkontrol matriks ekstraseluler dan membran basalis vaskuler,
sebuah tahap penting dalam pertumbuhan pembuluh darah. Pada akhirnya, proses
ini bergantung pada keseimbangan antara faktor proangiogenik (VEGF, FGFs,
protease, dan lain-lain) dan anti angiogenik (endostatin, tumstatin,
thrombospondin, dan lain-lain) (Joyce dkk., 2004; Reinheckel dkk., 2008).
Berbagai jenis cathepsin, termasuk cathepsin D, ditemukan mampu
mendegradasi TIMPs, enzim yang dapat mengontrol laju neoangiogenesis
jaringan, menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah yang tidak terkendali pada
jaringan tumor (Kostoulas dkk., 1999). Cathepsin B dan S ditemukan terlibat
dalam angiogenesis tumor pada model tikus percobaan RT2. Proses ini terjadi
melalui proteolisis protein yang menyusun membran basalis, seperti laminin,
kolagen IV, dan fibronektin, yang dipotong oleh cathepsin B secara in vitro.
Cathepsin B juga dapat memecah endostatin, walaupun kurang efisien
127
dibandingkan dengan cathepsin L, yang dapat mengurangi faktor antiangiogenik
dalam proses angiogenesis (Joyce dkk., 2004).
2.2.3.3 Peran Cathepsin D dalam apoptosis sel
Pertumbuhan tumor sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara proliferasi
sel tumor dan apoptosis. Cathepsin berperan dalam proses apoptosis yang dipicu
oleh TNF-α atau ligand pemicu apoptosis yang berkaitan dengan TNF. Cathepsin
D ditemukan mampu memotong BID, BIM, dan BAK menjadi bentuk aktif, yang
selanjutnya mengaktifkan BAX yang akan melepaskan faktor apoptogenik
cytochrome c dari mitokondria. Hal ini kemudian mengaktifkan caspase-3 dan
caspase-9 yang selanjutnya memulai kaskade apoptotik sel. Data penelitian in
vitro menunjukkan cathepsin tertentu memiliki peran baik pro proliferatif dan anti
apoptotik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor dan keganasan. Pada
penelitian yang dilakukan Reinheckel dkk. tahun 2008, model tikus percobaan
RT2 dan PyMT yang tidak memliki ekspresi cathepsin B mengalami penurunan
laju proliferasi, sebaliknya pada model tikus percobaan RT2 tanpa ekspresi
cystatin C, inhibitor cathepsin B, L, S, dan H, terjadi peningkatan aktivitas
cathepsin dan peningkatan proliferasi sel secara signifikan. Ablasi cathepsin B, L,
atau S pada model tikus percobaan RT2 menunjukkan peningkatan signifikan
pada kematian sel terprogram, yang menunjukkan bahwa cathepsin mungkin
bersifat anti apoptotik selama perkembangan tumor, dengan adanya stimulus dan
kondisi tertentu. Namun pada studi lain menunjukkan cathepsin berperan sebagai
protease akhir pada kematian sel tumor yang dipicu oleh TNF-α pada lini sel
fibrosarkoma dan dapat memicu pelepasan sitokrom c dari mitokondria pada
128
apoptosis hepatosit yang dipicu oleh TNF-α. Pada sel kanker, cathepsin ditemukan
berperan dalam proses autofagi. Temuan ini menandakan bahwa dalam
lingkungan sel kanker yang cenderung hipoksia, sel kanker dapat bertahan hidup
dengan cara mengurai organelnya sendiri (Gambar 2.12).
Gambar 2.12.
Peran Lisosom dan Cathepsin Lisosom dalam Proses Pro Apoptotik dan Anti
Apoptotik (Sumber: Repnik dkk., 2012)
2.3 Peran Cathepsin D dalam Karsinogenesis Karsinoma Nasofaring
Cathepsin D mengalami peningkatan baik konsentrasi ataupun aktivitas pada
berbagai kanker pada berbagai organ, antara lain kanker hepatoseluler, kanker
kolorektal, kanker ovarium, dan kanker serviks. Peningkatan ini terkait dengan
proses karsinogenesis kanker tersebut. Proses karsinogenesis karsinoma
nasofaring merupakan proses multi tahapan, dengan terjadinya gangguan di
banyak lokasi yang pada akhirnya menimbulkan perubahan sifat sel epitel
nasofaring menjadi ganas. Infeksi VEB saja tidak selalu menimbulkan terjadinya
129
karsinoma nasofaring, namun diperlukan paparan terhadap karsinogen yang
berasal dari lingkungan untuk menimbulkan mutasi genetik dan perubahan sifat
sel. Interaksi yang kompleks antara berbagai faktor risiko dan infeksi virus
menimbulkan kesulitan dalam menentukan perjalanan alamiah penyakit ini.
Perubahan sifat sel menjadi ganas memerlukan proses proteolisis di berbagai
tahap. Pada karsinoma nasofaring, proses ini diketahui dibantu oleh enzim MMP
dan belum diketahui peran enzim protease lainnya dalam karsinogenesis kanker
nasofaring. Uji klinis inhibitor MMP pada tipe kanker epitelial lainnya
menemukan kegagalan sehingga fokus penelitian protease mulai beralih ke hulu,
yaitu cathepsin, dan yang telah diteliti antara lain adalah cathepsin B, L, dan D
(Berdowska, 2004; Van Kempen dkk., 2006; Gondi dan Rao, 2013).
Karsinoma nasofaring hampir selalu ditemukan pada stadium lanjut karena
sulitnya melakukan deteksi dini. Dengan demikian diperlukan pemeriksaan lain
yang dapat memberikan gambaran lebih jelas terhadap adanya progresi kanker.
Berdowska (2004) menemukan bahwa cathepsin menarik untuk digunakan
sebagai biomarker pada kanker karena ditemukan mengalami peningkatan
ekspresi, baik dalam jaringan ataupun darah pasien kanker. Namun demikian
diperlukan penelitian lebih lanjut agar pendapat tersebut terbukti, terutama dengan
jumlah sampel yang lebih besar.
Penelitian mengenai peran Cathepsin D pada pasien dengan KNF masih
sangat terbatas. Sampai saat ini telah diketahui penyimpangan dalam regulasi
cathepsin D dapat berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan KNF.
130
Penurunan ekspresi siRNA cathepsin D secara in vitro secara signifikan
menurunkan kemampuan barisan sel 5-8F dalam invasinya, mendukung dugaan
bahwa cathepsin D berperan sebagai promotor metastasis pada KNF. Temuan
pada penelitian ini juga menunjukkan penurunan kadar cathepsin D berhubungan
dengan buruknya diferensiasi pada barisan sel KNF dan jaringan KNF,
mengindikasikan bahwa ekspresi cathepsin D dapat menjadi biomarker bagi
diferensiasi KNF. Selanjutnya, temuan pada penelitian ini juga menunjukkan
bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi cathepsin D yang lebih tinggi
cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut, rekurensi yang lebih sering,
serta metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis jauh. Data juga
menunjukkan bahwa pasien KNF primer dengan ekspresi cathepsin D yang
meningkat memiliki prognosis yang lebih buruk. Analisis multivariat
menunjukkan ekspresi cathepsin D merupakan indikator prognosis independen.
Data-data ini menyokong dugaan bahwa cathepsin D dapat menjadi suatu
biomarker bagi proses metastasis dan prognosis KNF (Cheng dkk., 2008).
Selain itu, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Xu dan kawan-kawan
tahun 2009, yang menemukan bahwa cathepsin L terekspresi secara berlebihan
pada 47% tumor primer dan 89% metastasis limfonodi servikal dari keseluruhan
sampel. Analisis multivariat menunjukkan bahwa kadar cathepsin L memiliki
korelasi yang signifikan secara marjinal dengan prognosis KNF. Hal ini
menguatkan dugaan bahwa cathepsin L dapat berpotensi sebagai biomarker
terhadap prognosis KNF dan berkontribusi dalam proses metastasis KNF (Xu
dkk., 2009).
131
132
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Sel epitel nasofaring yang terinfeksi dengan VEB akan menyebabkan terjadi
perubahan sifat sel tersebut menjadi lebih rentan terhadap paparan karsinogenik
lingkungan, seperti misalnya produk ikan asin dan asap rokok. Agen-agen
karsinogenik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kerusakan
DNA, yang selanjutnya mendorong sel mengalami transformasi menjadi ganas.
Karsinoma nasofaring seperti halnya kanker yang lain memiliki ciri – ciri
mampu terus tumbuh tanpa batas karena tidak mengalami apoptosis, melakukan
invasi ke jaringan sekitarnya, mampu menumbuhkan pembuluh darah baru, serta
menembus pembuluh darah dan bermetastasis. Semua proses tersebut memerlukan
proses proteolitik.
Cathepsin merupakan suatu hidrolase lisosomal yang mendegradasi protein
pada lisosom dalam keadaan asam dan pada proses ekstraseluler. Cathepsin,
utamanya cathepsin D, telah diduga berhubungan dengan invasi dan metastasis
kanker karena berbagai aktivitas biologi yang dimilikinya, seperti misalnya
mendegradasi matriks ekstraseluler, mengaktivasi bentuk prekursor laten dari
enzim proteolitik lainnya yang juga terlibat dalam degradasi matriks ekstraseluler,
efek stimulasi terhadap proliferasi dan angiogenesis seluler, serta regulasi jalur
apoptosis.
40
133
Cathepsin D mampu memotong BID, BIM, dan BAK menjadi bentuk aktif,
yang selanjutnya mengaktifkan BAX yang kemudian melepaskan faktor
apoptogenik cytochrome c dari mitokondria. Hal ini lalu mengaktifkan caspase-3
dan caspase-9 yang selanjutnya memulai kaskade apoptotik sel. Proses proteolitik
ekstraseluler pada kanker berlangsung melalui remodelling matriks ekstraseluler.
Cathepsin merupakan pemicu awal terjadinya kaskade proteolisis yang melibatkan
berbagai komponen jaringan protease. Peningkatan ekspresi cathepsin D
ditemukan meningkatkan invasi tumor, metastasis, dan angiogenesis, sehingga
meningkatkan keganasan kanker tersebut. Cathepsin D mampu memotong
fibronektin, laminin, kolagen, E-cadherin, memotong taut antar sel sehingga
menciptakan celah atau ruangan dalam ruang ekstraseluler, memudahkan sel
kanker untuk melakukan invasi, dan jika menembus membran basal dan pembuluh
darah dapat mengakibatkan metastasis sel kanker.
134
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian
Apoptosis
Penguraian E-cadherin
Aktivasi Kaskade Proteolitik
Degradasi Matriks Ekstraseluler dan
Kolagen
Cathepsin D
Stadium Klinis KNF
(I, II, III, IV)
Tipe Undifferentiated
Karsinoma Nasofaring
Kofaktor :
Usia,
Jenis Kelamin,
Pekerjaan
135
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara ekspresi
cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.
136
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
observasional analitik komparatif dua kelompok tidak berpasangan dengan
rancangan potong lintang.
Gambar 4.1.
Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi penelitian
Pengambilan sampel penelitian dilakukan di Poliklinik THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar dengan mencatat data
Populasi
Terjangkau
Stadium kurang
dari IV KNF tipe
undifferentiated
Skor Cathepsin D
Stadium IV
KNF tipe
undifferentiated
Skor Cathepsin D
Sampel yang
Dikehendaki
44
137
dari rekam medis pasien dan data pemeriksaan sampel secara histopatologi
dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Pulasan imunohistokimia Cathepsin D
dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Analisis dari pulasan
imunohistokimia Cathepsin D tersebut dilakukan oleh seorang dokter ahli
Patologi Anatomi.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga Juni 2016.
4.3 Populasi Penelitian
4.3.1 Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien KNF dengan hasil
pemeriksaan histopatologi tipe undifferentiated.
4.3.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien KNF dengan hasil
pemeriksaan histopatologi tipe undifferentiated di Poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar periode bulan April 2015 hingga April 2016.
4.4 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang
dipilih dengan consecutive sampling dan memenuhi kriteria eligibilitas subjek.
138
4.4.1 Kriteria inklusi :
1. Pasien yang sudah didiagnosis dengan KNF yang ditetapkan melalui
hasil pemeriksaan patologi anatomi pada sediaan biopsi nasofaring dan
telah diketahui stadium klinisnya.
2. Tercatat pada register Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar.
3. Memiliki gambaran histopatologi tipe undifferentiated.
4.4.2 Kriteria eksklusi :
1. Rekam medis tidak ditemukan atau tidak lengkap.
2. Preparat dari hasil biopsi nasofaring evaluasi pada pasien KNF tipe
undifferentiated yang telah mendapatkan terapi.
3. Preparat dari biopsi nasofaring tidak ditemukan atau rusak.
4. Memiliki gambaran histopatologi selain tipe undifferentiated.
4.4.3 Besar sampel penelitian
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Dahlan, 2010) :
n = {z1-α/2√ ̅( ̅) + z1-β√ ( ) ( )}2 (P1-P2)2
139
Keterangan :
n = besar sampel penelitian masing-masing kelompok
Zα = nilai Z untuk α tertentu (untuk α = 0,05 adalah 1,96)
Z1-β = nilai Z untuk power (1-β) (untuk power 80% adalah 0,84)
P1 = proporsi ekspresi Cathepsin D (Skor Cathepsin D) pada stadium
IV sebesar 70% (Cheng dkk., 2008)
P2 = proporsi ekspresi Cathepsin D (Skor Cathepsin D) pada stadium
kurang dari IV sebesar 35% (Cheng dkk., 2008)
Q = 1-P
Berdasarkan rumus di atas, didapatkan besarnya sampel untuk masing –
masing kelompok sebanyak 31 sampel, sehingga besar total sampel yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 62 sampel.
4.4.4 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara
consecutive sampling hingga jumlah sampel terpenuhi.
140
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel
1. Variabel bebas : Ekspresi Cathepsin D
2. Variabel tergantung : Stadium klinis kurang dari IV dan IV KNF
tipe undifferentiated
3. Variabel perancu : Usia, jenis kelamin, pekerjaan
Gambar 4.2.
Hubungan antar Variabel Penelitian
4.5.2 Definisi operasional variabel
1. Ekspresi Cathepsin D adalah hasil produksi proses inflamasi atau
neoplasma yang dinilai berdasarkan hasil analisis persentase sel tumor
dan intensitas pewarnaan imunohistokimia pada pemeriksaan
histopatologi. Menurut Hara dan Okayasu (2004), persentase sel tumor
dengan ekspresi Cathepsin D pada pemeriksaan tersebut diberi skor 0
(tidak ada intensitas pewarnaan pada sel-sel di seluruh lapangan
Ekspresi Cathepsin D
Umur, Jenis Kelamin,
Pekerjaan
Stadium Klinis < IV dan IV
KNF tipe undifferentiated
141
mikroskopik), 1+ (<30% sel), 2+ (antara 30%-60% sel), 3+ (>60% sel)
sedangkan intensitas pewarnaan kemudian diberi skor 0 (tidak ada
intensitas), 1+ (intensitas lemah), 2+ (intensitas sedang), 3+ (intensitas
kuat). Skor minimal dari rangkuman keduanya menjadi 0 dan skor
maksimalnya adalah 6. Skor rangkuman yang kurang atau sama dengan
2 dikelompokkan sebagai kategori lemah, skor 3 dan 4 dikelompokkan
sebagai kategori sedang, serta skor 5 dan 6 dikelompokkan sebagai
kategori kuat.
2. Stadium klinis KNF tipe undifferentiated adalah gambaran pada
pemeriksaan histopatologis yang menunjukkan gambaran patologi yang
sangat heterogen, di mana sel-sel ganas memiliki inti bulat hingga oval
dan vesikuler, dengan batas sel yang tidak jelas, serta dapat ditemukan
adanya sel ganas berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik, yang
diklasifikasikan ke dalam stadium kurang dari IV dan stadium IV sesuai
klasifikasi TNM dalam AJCC tahun 2010.
3. Usia adalah lama hidup mulai saat lahir sampai dengan saat
pemeriksaan dilakukan, yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang
tercantum dalam tanda pengenal ataupun rekam medis.
4. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan seperti yang tercantum
dalam tanda pengenal atau rekam medis.
5. Pekerjaan adalah jenis aktivitas terbanyak yang dilakukan subjek
penelitian sepanjang hidupnya guna memperoleh penghasilan.
142
4.6 Bahan dan Alat Penelitian
4.6.1 Bahan penelitian :
Bahan penelitian ini berupa sediaan potongan jaringan yang terfiksasi
formalin dan tertanam pada parafin, yang dipulas dengan teknik imunohistokimia
standar. Potongan jaringan dengan tebal 4 mikrometer dideparafinisasi dalam
xylene, kemudian direhidrasi dengan serangkaian cairan ethanol dengan derajat
bervariasi, lalu diaplikasikan suatu solusi pemulihan antigen (10 mmol/L sodium
citrate buffer pada pH 6.0). Potongan jaringan tersebut kemudian diinkubasi
dengan antibodi anti-cathepsin D monoklonal tikus, dengan taraf dilusi 1:100,
selama satu malam pada suhu 4oC, lalu diinkubasi lagi dengan larutan biotinylated
sekunder yang terdilusi 1:1000, diikuti dengan kompleks avidin-biotin peroxidase
(DAKO). Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diinkubasi dengan 3’, 3’ –
diaminobenzidine hingga terbentuk suatu gambaran kecoklatan, lalu diwarnai
kembali dengan hematoxylin (Hara dan Okayasu, 2004; Taylor dkk., 2010).
4.6.2 Alat penelitian :
1. Lembar pengumpul data.
2. Catatan medis pasien.
3. Sediaan potongan jaringan masing-masing sampel.
4. Alat pulasan imunohistokimia Cathepsin D standar.
5. Mikroskop cahaya binokuler.
4.7 Prosedur dan Alur Penelitian
143
4.7.1 Prosedur Penelitian
1. Penelitian diawali dengan pengambilan sampel dari populasi terjangkau
melalui consecutive sampling. Seleksi dilakukan dengan mengevaluasi
data pada rekam medis dan data di bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah hingga mendapatkan
eligible subject dari sampel yang dikehendaki, berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi serta pencatatan data yang meliputi keterangan
klinis berupa nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, nomor registrasi
pemeriksaan histopatologi, dan stadium klinis.
2. Data tersebut kemudian dicatat dan dilakukan pulasan imunohistokimia
di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
3. Dilakukan penilaian ekspresi Cathepsin D oleh satu orang dokter ahli
Patologi Anatomi dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler,
dengan pembesaran 100 hingga 400 kali. Pemeriksa tidak mengetahui
identitas maupun stadium klinis dari masing-masing sampel penelitian.
Penilaian ekspresi cathepsin D berdasarkan skor yang menunjukkan
skala intensitas pewarnaan dan persentase sel tumor. Sedikitnya 10
lapangan high-power dipilih secara acak, dan lebih dari 1000 sel
dievaluasi pada masing-masing potongan jaringan. Intensitas
pewarnaan dikelompokkan ke dalam berbagai kelompok berikut : 0
(tidak ada intensitas), 1+ (intensitas lemah), 2+ (intensitas sedang), 3+
(intensitas kuat). Persentase sel-sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D
144
dievaluasi sebagai berikut : 0 (tidak ada intensitas pewarnaan pada sel-
sel di seluruh lapangan mikroskopik), 1+ (<30% sel), 2+ (antara 30%-
60% sel), 3+ (>60% sel). Skor minimal rangkuman keduanya menjadi 0
dan skor maksimalnya adalah 6. Skor rangkuman yang kurang atau
sama dengan 2 dikelompokkan sebagai kategori lemah, skor 3 dan 4
dikelompokkan sebagai kategori sedang, serta skor 5 dan 6
dikelompokkan sebagai kategori kuat.
4. Data dari hasil pemeriksaan tersebut dicatat dalam lembar pengumpul
data untuk kemudian diolah.
4.7.2 Alur Penelitian
145
Gambar 4.3.
Bagan Alur Penelitian
4.8 Analisis Data
Eligible Subject
Stadium Kurang dari IV
KNF Tipe Undifferentiated
Stadium IV
KNF Tipe Undifferentiated
Hasil Skor Cathepsin D Hasil Skor Cathepsin D
Analisis Data
Hasil
Populasi Target
Populasi Terjangkau Consecutive
Sampling
Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi
146
Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis univariat dan
bivariat.
Analisis univariat ditujukan untuk menggambarkan karakteristik subjek
penelitian, yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status stadium klinis
KNF tipe undifferentiated. Hasil dari analisis univariat tersebut akan ditampilkan
dalam bentuk tabel distribusi tunggal. Variabel data numerik akan disajikan dalam
bentuk rerata ± SD. Untuk variabel kategorikal akan ditampilkan dalam bentuk
frekuensi relatif.
Analisis bivariat ditujukan untuk mengetahui hubungan ekspresi Cathepsin D
dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated. Prosedur yang dilakukan untuk
mengetahui kedua variabel ini adalah dengan membuat tabel silang 3 x 2, di mana
variabel bebas terletak pada baris dan variabel tergantung terletak pada kolom.
Ukuran asosiasi yang digunakan untuk menilai hubungan tersebut adalah
beda proporsi stadium kurang dari IV dan stadium IV KNF tipe undifferentiated
berdasarkan skor Cathepsin D pada pemeriksaan imunohistokimia. Uji statistik
yang digunakan adalah Chi Square Test dengan melihat 95% confidence interval
dan nilai p pada kemaknaan 0,05.
Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
komputer SPSS ver. 20.0 for Windows.
4.9 Kegiatan Penelitian
147
1. Tahap persiapan : 2 minggu
2. Tahap pengumpulan data : 6 minggu
3. Tahap pengolahan data : 2 minggu
4. Tahap pelaporan : 1 minggu
148
BAB V
HASIL PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
observasional analitik komparatif dua kelompok tidak berpasangan dengan
rancangan potong lintang, dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi serta diikutkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 62 pasien,
masing – masing berjumlah 31 pasien KNF tipe undifferentiated dengan stadium
kurang dari IV dan 31 pasien dengan stadium IV.
Penelitian dimulai dengan penelusuran klasifikasi stadium klinis KNF tipe
undifferentiated pada catatan medis masing-masing eligible subject. Pada periode
yang sama dilakukan pengukuran persentase sel tumor yang mengeekspresikan
Cathepsin D dan intensitas pewarnaannya berdasarkan sediaan biopsi nasofaring
masing-masing eligible subject, kemudian kedua pengukuran tersebut dirangkum
sehingga didapatkan tiga kelompok kategori ekspresi Cathepsin D.
Terdapat beberapa jenis data dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini.
Untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian yang meliputi umur, jenis
kelamin, dan pekerjaan dilakukan suatu analisis univariat. Mengenai hubungan
ekspresi Cathepsin D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated dilakukan
suatu analisis bivariat dengan tabel silang 3 x 2. Ukuran asosiasi yang digunakan
untuk menilai hubungan tersebut adalah beda proporsi stadium kurang dari IV dan
stadium IV KNF tipe undifferentiated berdasarkan ekspresi Cathepsin D pada
pemeriksaan imunohistokimia.
56
149
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik umur eligible subject pada penelitian ini ditampilkan dalam
rerata dan standar deviasi, karena berskala data rasio atau numerik. Karakteristik
jenis kelamin dan pekerjaan pada eligible subject penelitian ini ditampilkan dalam
bentuk frekuensi karena variabel tersebut berskala data kategorikal. Distribusi
proporsi dari semua variabel tersebut ditampilkan dalam tabel 5.1.
Tabel 5.1
Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Stadium KNF
Tipe Undifferentiated
Karakteristik Kelompok Stadium KNF Tipe Undifferentiated
Stadium IV
(n=31)
Stadium Kurang dari IV
(n=31)
Umur (tahun)
Rerata ± SD
Min – Max
49,94 ± 12,26 51,16 ± 11,31
18 – 80
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
21 (67,7%)
10 (32,3%)
22 (71,0%)
9 (29,0%)
Pekerjaan
Tidak bekerja
4 (12,9%)
5 (16,1%)
Petani
PNS
9 (29,0%)
4 (12,9%)
9 (29,0%)
2 (6,5%)
Ibu Rumah Tangga
Swasta
TNI/POLRI
3 (9,7%)
11 (35,5%)
0 (0,0%)
2 (6,5%)
11 (35,5%)
2 (6,5%)
Rerata umur eligible subject pada penelitian ini adalah 49,94 tahun pada
kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV, dengan standar deviasi
sebesar 12,26 tahun. Rerata umur eligible subject pada kelompok KNF tipe
undifferentiated dengan stadium kurang dari IV adalah 51,16 tahun, dengan
150
standar deviasi sebesar 11,31 tahun. Usia termuda pada 18 tahun dan usia tertua
pada 80 tahun.
Proporsi jenis kelamin eligible subject pada kelompok KNF tipe
undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini didapatkan laki - laki
sebanyak 21 pasien (67,7%) dan perempuan sebanyak 10 pasien (32,3%).
Sedangkan pada kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium kurang dari
IV pada penelitian ini didapatkan laki - laki sebanyak 22 pasien (71,0%) dan
perempuan sebanyak 9 pasien (29,0%).
Distribusi karakteristik pekerjaan eligible subject pada kelompok KNF tipe
undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini adalah tidak bekerja
sebanyak 4 orang (12,9%), petani sebanyak 9 orang (29,0%), PNS sebanyak 4
orang (12,9%), ibu rumah tangga sebanyak 3 orang (9,7%), dan pekerja swasta
sebanyak 11 orang (35,5%). Untuk kelompok KNF tipe undifferentiated dengan
stadium kurang dari IV pada penelitian ini didapatkan yang tidak bekerja
sebanyak 5 orang (16,1%), petani sebanyak 9 orang (29,0%), PNS sebanyak 2
orang (6,5%), ibu rumah tangga sebanyak 2 orang (6,5%), pekerja swasta
sebanyak 11 orang (35,5%), dan anggota TNI/POLRI sebanyak 2 orang (6,5%).
5.2 Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor dengan
Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan
Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D
Gambaran stadium klinis KNF tipe undifferentiated, persentase sel tumor
dengan ekspresi Cathepsin D, intensitas pewarnaan pada pemeriksaan
151
imunohistokimia, serta ekspresi Cathepsin D pada penelitian ini ditampilkan
dalam Tabel 5.2.
Distribusi eligible subject berdasarkan stadium klinis KNF tipe
undifferentiated pada penelitian ini adalah stadium klinis II sebanyak 6 pasien
(9,7%), stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%), stadium IVA sebanyak 14 pasien
(22,6%), stadium IVB sebanyak 13 pasien (21,0%) dan stadium IVC sebanyak 4
pasien (6,5%).
Proporsi persentase sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D terbanyak
didapatkan pada skor 2+ yakni sebanyak 32 pasien (51,6%), diikuti dengan skor
1+ sebanyak 19 pasien (30,6%), skor 3+ sebanyak 7 pasien (11,3%), dan paling
sedikit pada skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%).
Proporsi intensitas pewarnaan pada pemeriksaan imunohistokimia terbanyak
didapatkan pada skor 3+ sebanyak 22 pasien (35,5%), diikuti dengan skor 2+
sebanyak 20 pasien (32,3%), skor 1+ sebanyak 16 pasien (25,8%), dan skor 0
sebanyak 4 pasien (6,5%).
Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak didapatkan pada kategori kuat
sebanyak 24 pasien (38,7%) diikuti dengan kategori sedang sebanyak 22 pasien
(35,5%), dan terkecil pada kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%).
Tabel 5.2
Gambaran Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor
dengan Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan
Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D
152
Variabel
(n=62)
n (%)
Stadium KNF tipe undifferentiated
Stadium I
Stadium II
Stadium III
Stadium IVA
Stadium IVB
Stadium IVC
0 (0,0%)
6 (9,7%)
25 (40,3%)
14 (22,6%)
13 (21,0%)
4 (6,5%)
Persentase Sel Tumor dengan Ekspresi Cathepsin D
0
1+
2+
3+
4 (6,5%)
19 (30,6%)
32 (51,6%)
7 (11,3%)
Intensitas Pewarnaan
0
1+
2+
3+
4 (6,5%)
16 (25,8%)
20 (32,3%)
22 (35,5%)
Ekspresi Cathepsin D
Kategori Lemah
Kategori Sedang
Kategori Kuat
16 (25,8%)
22 (35,5%)
24 (38,7%)
5.3 Hubungan Antara Ekspresi Cathepsin D dengan Stadium Klinis KNF
Tipe Undifferentiated
Hasil analisis bivariat untuk menilai hubungan antara ekspresi Cathepsin D
dengan stadium klinis kurang dari IV dan IV pada KNF tipe undifferentiated
ditampilkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil Analisis Bivariat Hubungan antara Ekspresi Cathepsin D dengan
Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated
153
Ekspresi
Cathepsin D
Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated
IV (n=31)
n (%)
Kurang dari IV (n=31)
n (%)
p
Kategori Lemah 0 (0,0%) 16 (51,6%) p<0,001*
Kategori Sedang 7 (22,6%) 15 (48,4%)
Kategori Kuat 24 (77,4%) 0 (0,0%) *Hasil analisis Chi Square Test, bermakna secara statistik
Ekspresi Cathepsin D kategori lemah pada stadium klinis KNF tipe
undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 16 pasien (51,6%) dan tidak
didapatkan pada stadium klinis IV. Ekspresi Cathepsin D kategori sedang pada
stadium klinis KNF tipe undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 15
pasien (48,4%) dan pada stadium klinis IV didapatkan sebanyak 7 pasien (22,6%).
Ekspresi Cathepsin D kategori kuat tidak didapatkan pada pasien KNF tipe
undifferentiated dengan stadium klinis kurang dari IV dan pada stadium klinis IV
didapatkan sebanyak 24 pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan
nilai p dari Chi Square Test adalah 0,000 (p<0,001).
154
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Sebanyak 62 eligible subject diikutkan dalam penelitian ini dengan rentang
umur antara 18 hingga 80 tahun, dengan rerata umur 49,94 ± 12,26 tahun pada
kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV dan 51,16 ± 11,31 tahun
pada stadium kurang dari IV. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran umur eligible
subject pada kedua kelompok adalah normal dan sesuai dengan literatur yang ada.
Penelitian Jeon dan kawan-kawan yang dilakukan pada 2005 menemukan bahwa
KNF dapat terjadi pada semua umur dan rerata penderita KNF pada penelitian
tersebut berumur antara 45-55 tahun. Penelitian Chan dan Felip (2009)
menemukan bahwa secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda
daripada kanker kepala leher yang lainnya dan KNF tipe undifferentiated
merupakan tipe histologis KNF yang terbanyak ditemukan pada daerah endemis,
termasuk di antaranya adalah Asia Tenggara. Pada daerah endemik, insiden KNF
meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncaknya pada dekade keempat dan
kelima, sedangkan pada daerah dengan risiko rendah, usia terbanyak pada dekade
kelima dan keenam namun masih terdapat angka kejadian yang signifikan pada
usia di bawah 30 tahun, dengan puncak awalnya antara usia 15 – 25 tahun. Ma
dan Cao (2010) menyatakan bahwa penyakit ini ditemukan terutama pada usia
produktif, yakni 30 - 60 tahun, dengan usia terbanyak pada 40 - 50 tahun. Delfitri
dan kawan-kawan pada 2007 menemukan bahwa KNF paling banyak ditemukan
pada kelompok umur 41-50 tahun yaitu 44,1% dari 34 sampel yang diteliti,
63
155
dengan usia antara 18 - 74 tahun. Berdasarkan data di poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah periode Januari 2011 hingga Desember 2013, tercatat 221 pasien KNF
baru dengan rentang usia 11 hingga 80 tahun, dengan kelompok umur terbanyak
pada dekade keempat kehidupan (Kesuma, 2014).
Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini jumlah penderita KNF laki-
laki lebih banyak daripada perempuan, di mana pada kelompok KNF tipe
undifferentiated dengan stadium IV proporsinya adalah laki-laki sebanyak 21
orang (67,7%) dan perempuan sebanyak 10 orang (32,3%). Sedangkan pada
kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium kurang dari IV proporsinya
adalah laki-laki sebanyak 22 orang (71,0%) dan perempuan sebanyak 9 orang
(29,0%). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian lain yang mendapatkan bahwa
proporsi penderita KNF laki-laki cenderung lebih banyak daripada perempuan.
Ma dan Cao pada 2010 menemukan bahwa KNF ditemukan lebih sering pada
laki-laki dibandingkan perempuan, dengan rasio 2-3 : 1. Penelitian Delfitri dan
kawan-kawan (2007) menemukan proporsi laki-laki penderita KNF sebesar 70,6%
dan perempuan 29,4%. Penelitian oleh Jeon dan kawan-kawan (2005) menemukan
rata – rata penderita KNF berumur 45 – 55 tahun dengan 23,3 kasus/100.000 laki
– laki dan 8,9 kasus/100.000 perempuan, dengan rasio laki – laki : perempuan
adalah 2-3 : 1. Selain itu, penelitian Marur dan Forastiere (2008) menemukan
bahwa KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 3 : 1.
Berdasarkan distribusi karakteristik pekerjaan, didapatkan eligible subject
pada kelompok KNF tipe undifferentiated dengan stadium IV pada penelitian ini
156
adalah tidak bekerja sebanyak 4 orang (12,9%), petani sebanyak 9 orang (29,0%),
PNS sebanyak 4 orang (12,9%), ibu rumah tangga sebanyak 3 orang (9,7%), dan
pekerja swasta sebanyak 11 orang (35,5%). Untuk kelompok KNF tipe
undifferentiated dengan stadium kurang dari IV pada penelitian ini didapatkan
yang tidak bekerja sebanyak 5 orang (16,1%), petani sebanyak 9 orang (29,0%),
PNS sebanyak 2 orang (6,5%), ibu rumah tangga sebanyak 2 orang (6,5%),
pekerja swasta sebanyak 11 orang (35,5%), dan anggota TNI/POLRI sebanyak 2
orang (6,5%).
Berbagai karakteristik epidemiologi yang unik dari kejadian KNF, utamanya
tipe undifferentiated pada daerah endemis seperti yang ditemukan pada penelitian
ini, telah diteliti oleh berbagai penelitian sebelumnya. Ma dan Cao (2010)
menyatakan bahwa KNF memiliki karakteristik epidemiologis dalam hal area
endemis, ras, dan agregasi familial. Hal ini diduga karena etiologi KNF yang
sangat kompleks, mencakup interaksi rumit antara faktor genetik, infeksi VEB
dan lingkungan, seperti yang dinyatakan oleh Brennan pada 2006. Penelitian Chan
dan Felip (2009), Kumar (2003), serta penelitian Her (2001) juga menyatakan
sedikitnya ada 3 faktor etiologi KNF yaitu infeksi EBV, kerentanan genetik dan
faktor lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan KNF muncul pada individu
dengan suseptibilitas herediter yang terinfeksi VEB pada awal kehidupan mereka,
kemudian virus tersebut teraktivasi oleh mekanisme sintetis dari berbagai faktor
lingkungan, yang pada akhirnya menimbulkan KNF. Selain peran VEB, terdapat
pula berbagai faktor yang diduga berperan dalam inisiasi dan perkembangan KNF,
seperti paparan lingkungan dan kebiasaan dalam diet yang mengandung zat
157
karsinogenik, seperti misalnya produk ikan asin dan makanan yang diawetkan,
yang kaya akan NDMA, NPYR, dan NPIP serta paparan polusi asap atau kimia,
termasuk nikel (Korcum dkk., 2006). Penelitian Chew (2003) menghubungkan
kejadian KNF dengan faktor makanan di Hongkong dan Cina, pola hidup, dan
pengaruh lingkungan sekitar yang sangat berperan dalam tingginya angka
kejadian KNF. Kumar (2003) melaporkan sejumlah faktor inhalasi dari
lingkungan berhubungan erat dengan angka kejadian KNF. Sehingga dapat diduga
bahwa adanya faktor risiko pada lingkungan pekerjaan pasien dapat
mempengaruhi kejadian KNF pada penelitian ini.
6.2 Stadium Klinis KNF Tipe Undifferentiated, Persentase Sel Tumor dengan
Ekspresi Cathepsin D, Intensitas Pewarnaan pada Pemeriksaan
Imunohistokimia, serta Ekspresi Cathepsin D
Distribusi eligible subject berdasarkan stadium klinis KNF tipe
undifferentiated pada penelitian ini adalah stadium klinis II sebanyak 6 pasien
(9,7%), stadium III sebanyak 25 pasien (40,3%), stadium IVA sebanyak 14 pasien
(22,6%), stadium IVB sebanyak 13 pasien (21,0%) dan stadium IVC sebanyak 4
pasien (6,5%), yang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien datang dengan
stadium yang lanjut. Penelitian yang dilakukan Delfitri dan kawan-kawan pada
2007 juga menemukan bahwa penderita KNF cenderung datang pada stadium
lanjut, yakni pada stadium III dan IV, masing-masing dengan proporsi sebesar
50%, dan tidak dijumpai pasien dengan stadium I dan II. Chew (2003)
menemukan bahwa gejala jarang ditemukan bahkan asimptomatik pada awal
perjalanan penyakit, serta masing-masing pasien memiliki gejala dengan onset
158
yang berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien. Jeyakumar dan
kawan-kawan (2006) juga menemukan bahwa masalah yang sering dihadapi
dalam penanganan KNF adalah penderita datang pada stadium yang lanjut dan
keadaan umum yang buruk. Hal ini diduga karena cenderung tidak ada atau
jarangnya keluhan dari pasien pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis yang
tidak khas, letak tumor yang tersembunyi, dan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis dini (Zeng dan Zeng, 2010; Her, 2001).
Proporsi persentase sel tumor dengan ekspresi Cathepsin D pada penelitian
ini ditemukan terbanyak pada skor 2+ yakni sebanyak 32 pasien (51,6%), diikuti
dengan skor 1+ sebanyak 19 pasien (30,6%), skor 3+ sebanyak 7 pasien (11,3%),
dan paling sedikit pada skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%). Proporsi intensitas
pewarnaan pada pemeriksaan imunohistokimia terbanyak didapatkan pada skor 3+
sebanyak 22 pasien (35,5%), diikuti dengan skor 2+ sebanyak 20 pasien (32,3%),
skor 1+ sebanyak 16 pasien (25,8%), dan skor 0 sebanyak 4 pasien (6,5%). Kedua
proporsi tersebut di atas kemudian mempengaruhi proporsi ekspresi Cathepsin D
pada penelitian ini, berdasarkan akumulasi keduanya pada masing-masing eligible
subject. Proporsi ekspresi Cathepsin D terbanyak didapatkan pada kategori kuat
sebanyak 24 pasien (38,7%) diikuti dengan kategori sedang sebanyak 22 pasien
(35,5%), dan terkecil pada kategori lemah sebanyak 16 pasien (25,8%). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan kawan-kawan pada 2008
yang menemukan bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi Cathepsin D yang
lebih tinggi cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut, rekurensi yang
lebih sering, serta metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis jauh. Data
159
pada penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pasien KNF primer dengan
ekspresi Cathepsin D yang meningkat memiliki prognosis yang lebih buruk. Hal
ini diduga karena cathepsin, termasuk di antaranya adalah Cathepsin D, berperan
dalam berbagai proses patologis, antara lain pada penyakit yang berkaitan dengan
inflamasi dan kanker, yang seringkali ditandai dengan adanya peningkatan
ekspresi dan aktivitas enzim tersebut (Turk dkk., 2012).
6.3 Hubungan Antara Ekspresi Cathepsin D dengan Stadium Klinis KNF
Tipe Undifferentiated
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa ekspresi Cathepsin D kategori lemah
pada stadium klinis KNF tipe undifferentiated kurang dari IV didapatkan
sebanyak 16 pasien (51,6%) dan tidak didapatkan pada stadium klinis IV.
Ekspresi Cathepsin D kategori sedang pada stadium klinis KNF tipe
undifferentiated kurang dari IV didapatkan sebanyak 15 pasien (48,4%) dan pada
stadium klinis IV didapatkan sebanyak 7 pasien (22,6%). Ekspresi Cathepsin D
kategori kuat tidak didapatkan pada pasien KNF tipe undifferentiated dengan
stadium klinis kurang dari IV dan pada stadium klinis IV didapatkan sebanyak 24
pasien (77,4%). Secara statistik hal ini bermakna dengan nilai p dari Chi Square
Test adalah 0,000 (p<0,001). Hal ini mendukung dugaan bahwa ekspresi
Cathepsin D dapat dipertimbangkan sebagai salah satu biomarker pada KNF tipe
undifferentiated.
Beberapa penelitian mengenai berbagai peran cathepsin dalam proses
proteolitik pada karsinogenesis telah dilakukan akhir-akhir ini. Cathepsin,
160
termasuk Cathepsin D ditemukan memiliki kaitan kuat dengan kanker, antara lain
kanker hepatoselular, kanker pankreas, kanker payudara, dan kanker ovarium
(Reinheckel dkk., 2008; Cheng, dkk., 2008). Tingkat ekspresi cathepsin
ditemukan berkorelasi positif dengan prognosis buruk pada pasien kanker dan
disarankan sebagai marker prognostik (Duffy, 1996; Turk dkk., 2012). Kadar
cathepsin juga ditemukan berkorelasi positif dengan metastasis (Berdowska,
2004; Gondi dan Rao, 2013). Cathepsin juga ditemukan terlibat dalam kaskade
aktivasi protease lainnya , seperti serine preotease, yang antara lain meliputi uPA
dan MMP, yang memperkuat disolusi matriks ekstraseluler dan membran basal,
menyebabkan terjadinya invasi dan metastasis sel kanker (Turk dkk., 2012; Gondi
dan Rao, 2013).
Penelitian mengenai peran Cathepsin D pada pasien KNF hingga saat ini
masih sangat terbatas, namun penyimpangan dalam regulasi Cathepsin D telah
diketahui berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan KNF, melalui
aktivitas proteolitik intraseluler maupun ekstraseluler. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Cheng dan kawan-kawan (2008) yang
menemukan bahwa Cathepsin D berperan sebagai promotor metastasis pada KNF.
Temuan pada penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa ekspresi Cathepsin
D dapat menjadi biomarker bagi diferensiasi KNF. Selanjutnya, penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa kasus KNF primer dengan ekspresi Cathepsin
D yang lebih tinggi cenderung memiliki stadium klinis yang lebih lanjut,
rekurensi yang lebih sering, metastasis ke kelenjar getah bening dan metastasis
jauh, serta memiliki prognosis yang lebih buruk. Analisis multivariat pada
161
penelitian tersebut menunjukkan ekspresi Cathepsin D merupakan indikator
prognosis independen dan menyokong dugaan bahwa Cathepsin D dapat menjadi
suatu biomarker bagi proses metastasis dan prognosis KNF. Brennan (2006)
menyebutkan bahwa berbagai penelitian yang dilakukan dalam bidang ilmu
biologi molekuler diharapkan dapat menghasilkan pemahaman terhadap marker
biologi yang mungkin mempunyai nilai prognostik dan prediktif untuk penderita
KNF di masa mendatang. Dengan tersedianya sarana pemeriksaan ekspresi
Cathepsin D pada beberapa sentra kesehatan di Indonesia, maka pemeriksaan
ekspresi Cathepsin D sebagai biomarker pada KNF tipe undifferentiated dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu modalitas penunjang dalam menilai
progresivitas penyakit ini.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN
Pada penelitian ini ditemukan bahwa perbedaan proporsi stadium kurang dari
IV dan stadium IV KNF tipe undifferentiated berdasarkan skor ekspresi Cathepsin
162
D pada pemeriksaan imunohistokimia bermakna secara statistik, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara ekspresi Cathepsin D
dengan stadium klinis pasien KNF tipe undifferentiated.
7.2 SARAN
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu masukan dalam melakukan
penelitian lanjutan dalam usaha memahami lebih jauh mengenai peranan
Cathepsin D pada KNF tipe undifferentiated.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai ekspresi cathepsin D pada
KNF tipe undifferentiated dengan jumlah sampel yang lebih representatif
dan lebih merata pada masing-masing stadiumnya, sehingga data yang
didapatkan lebih akurat dalam menilai hubungan antara ekspresi Cathepsin
D dengan stadium klinis KNF tipe undifferentiated.
3. Pemeriksaan ekspresi Cathepsin D selanjutnya diharapkan dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu faktor prediktif serta pengembangan
penghambatnya sebagai salah satu modalitas terapi dalam penanganan
KNF tipe undifferentiated.
4. Penelitian mengenai ekspresi cathepsin lain, seperti misalnya Cathepsin L,
pada KNF tipe undifferentiated juga patut dilanjutkan, sehingga
diharapkan dapat dibandingkan nantinya guna mendapatkan jenis
biomarker yang optimal dalam menilai progresivitas penyakit ini.
71
163
DAFTAR PUSTAKA
Affara, N.I., Coussens, L.M. 2008. Proteolytic Pathways : Intersecting Cascades in Cancer
Development. Dalam: Edwards, D., dkk, penyunting. The Cancer Degradome
Protease and Cancer Biology. New York: Springer. h.157-82
Anonim. 2012. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality, and Prevalence
Worldwide in 2012. WHO. [Diakses : 2 September 2015] Diunduh dari : http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx
Barker, N., Clevers, H. 2006. Mining the Wnt Pathway for Cancer Therapeutics. Nat Rev
Drug Discov. 5:997–1014
Bartel, D.P. 2004. MicroRNAs: Genomics, Biogenesis, Mechanism, and Function. Cell.
116:281–97
Berdowska, I. 2004. Cysteine Proteases as Disease Markers. Clinica Chimica Acta. 342:41-
69
Brennan, B. 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal in Rare Disease. 1(23): 1-5
Brix, K., Dunkhorst A., Mayer K., Jordans S. 2008. Cysteine Cathepsins : Cellular Roadmap
to Different Functions. Biochimie. 90:194-207
Burgos, J.S. 2005. Involvement of The Epstein–Barr Virus in The Nasopharyngeal
Carcinoma Pathogenesis. Med Oncol. 22(2):113–21
Chan, A.T.C., Felip, E. 2009. Nasopharyngeal Cancer : ESMO Clinical Recommendations
for Diagnosis, Treatment and Follow Up. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.annoc/mdp/21716698
Chapman, H.A. 2006. Endosomal Proteases in Antigen Presentation. Current Opinion in
Immunology. 18:78-84
Cheng, A.L., Huang, W.G., Chen, Z.C., Zhang, P.F., Li, M.Y., Li F., Li, J.L., Li, C., Yi, H.,
Peng, F., Duan, C.J., Xiao, Z.Q. 2008. Identificating Cathepsin D as a Biomarker for
Differentiation and Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma by Laser Capture
Microdissection and Proteomic Analysis. Journal of Proteome Research. 7:2415–26
Chew, C.T. 2003. Understanding Nasopharyngeal Cancer: Risk Factors, Symptoms and
Diagnosis. Cancer Review. 1:109-27
Chou, J., Lin, Y.C., Kim, J., You, L., Xu, Z., He, B., Jablons, D.M. 2008. Nasopharyngeal
Carcinoma – Review of The Molecular Mechanisms of Tumorigenesis. Head Neck.
30:946–63
Chwieralski, C.E., Welte, T., Buhling, F. 2006. Cathepsin-Regulated Apoptosis. Apoptosis.
11:143-149
Claire, G., Busson, P., Traub, N.R. 2013. Epstein-Barr Virus and Pathogenesis of
Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
73
164
http://www.landesbioscience.com/pdf/04 Busson-Busson.pdf
Conus, S., Simon, H.U. 2010. Cathepsin and Their Involvement in Immune Response. Swiss
Med Wkly. 140:w13042
Cosmopoulos, K., Pegtel, M., Hawkins, J., Moffett, H., Novina, C., Middledorp, J., Thorley-
Lawson, D.A. 2008. Comprehensive Profiling of Epstein–Barr Virus MicroRNAs in
Nasopharyngeal Carcinoma. J Virol. 83:2357–67
Coussens, L.M., Fingleton, B., Matrisian, L.M. 2002. Matrix Metalloproteinase Inhibitors
and Cancer : Trial and Tribulation. Science. 295:2387-92
Dahlan, M.S. 2010. Penelitian Analitis Numerik Tidak Berpasangan. Dalam : Suslia, A.,
penyunting. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika. h.68-72
Dawson, C.W., Eliopoulos, A.G., Dawson, J. 1995. BHRF1, A Viral Homologue of The Bcl-
2 Oncogene, Disturbs Epithelial Cell Differentiation. Oncogene. 10(1):69–77
Delfitri M., Ramsi L., Mangain H., Fauziah H. 2007. Ekspresi Protein p53 Mutan pada
Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara. 40(3):167-72
Digby, K.H. 1951. Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2238562
Duffy, M.J. 1996. Protease as Prognostic Markers in Cancer. Clinical Cancer Research.
2:613-18
Gautama, E.E., Hariwiyanto, B., Rianto, B.U.D., Christanto, A. 2012. Gangguan Indra
Pengecap dan Penghidu Pasca Terapi Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia
Kedokteran. 38(6):435-37
Gondi, C.S., Rao, J.S. 2013. Cathepsin B as a Cancer Target. Expert Opinion on Therapy
Targets. 17(3):281-91
Greene, F.L., Compton, C.C., Fritz, A.G. penyunting. 2010. AJCC Cancer Staging Atlas.
Edisi ke-7. New York: Springer-Science+Business Media, Inc. h.41-56
Gu, A.D., Zeng, M.S., Qian, C.N. 2012. The Criteria to Confirm the Role of Epstein-Barr
Virus in Nasopharyngeal Carcinoma Initiation. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.mdpi.com/1422-0067/13/10/13737/pdf
Guo, X.C., Scott, K., Liu, Y. 2006. Genetic Factors Leading to Chronic Epstein-Barr Virus
Infection and Nasopharyngeal Carcinoma in South East China : Study Design,
Method, and Feasibility. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.humgenomics.com
Hara, A., Okayasu, I. 2004. Cyclooxygenase-2 and Inducible Nitric Oxide Synthase
Expression in Human Astrocytic Gliomas: Correlation with Angiogenesis and
Prognostic Significance. Acta. Neuropathol.; 108 (1):43-8
165
Her, C. 2001. Nasopharyngeal Cancer and The Southeast Asian Patient. American Family
Physician. 63(9):1776-80
Herbst, R.S. 2004. Review of Epidermal Growth Factor Receptor Biology. Int J Radiat Oncol
Biol Phys.; 59:21-26
Jeon,Y.K., Lee, B.Y., Kim, J.E., Lee, S.S., Kim, C.W. 2005. Molecular Characterization of
Epstein-Barr Virus and Oncoprotein Expression in Nasopharyngeal Carcinoma in
Korea. Wiley Interscience. h.573-83
Jeyakumar, A., Brickman,T.M., Jeyakumar,A., Doerr,T. 2006. Review of Nasopharyngeal
Carcinoma. Ear, Nose and Throat Journal. 85(3):168-84
Joyce, J.A., Baruch, A., Chehade, K., Meyer-Morse, N., Giraudo, E., Tsai, F.Y., Greenbaum,
D.C., Hager, J.H., Bogyo, M., Hanahan, D. 2004. Cathepsin Cysteine Proteases are
Effectors of Invasive Growth and Angiogenesis During Multistage Tumorigenesis.
Cancer Cell. 5:443-53
Kesuma, A.A.G.B.T. 2014. Distribusi Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2011-2013. h.21-5
Korcum, A.F., Ozyar, E., Ayhan, A. 2006. Epstein-Barr Virus Genes and Nasopharyngeal
Cancer. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.TurkJcancer.org/pdf.php3id=432
Kos, J., Stabuc, B., Schweiger, A., Krasovec, M., Cimerman, N., Kopitar-Jelara, N., Vrhovec,
I. 1997. Cathepsin B, H, and L and Their Inhibitor Stefin A and Cystatin C in sera of
Melanoma Patients. Clinical Cancer Research. 3:1815-22
Kostoulas, G., Lang, A., Nagase, H., Baici, A. 1999. Stimulation of Angiogenesis Through
Cathepsin B Inactivation of Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinases. FEBS
Letters. 455:286-90
Kraus, H.D., John, K.J. 2003. Neoplasm of The Oral Cavity and Oropharynx. Dalam : Snow
J.B., Ballenger J.J., penyunting. Ballenger’s Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Edisi ke-16. Ontario: BC Deckers, Inc. h.1408-28
Kumar, S. 2003. Epidemiological and Etiological Factors Associated With Nasopharyngeal
Carcinoma. ICMR Bulletin. 33(9):1-9
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., Aster, J.C. Neoplasia. 2010. Dalam : Schmitt, W.;
Gruliow, R., penyunting. Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8. Philadelphia :
Elsevier Saunders. h.269-339
Le, Q.T., Lu, J.J. 2010. Molecular Signaling Pathways in Nasopharyngeal Cancer. Dalam :
Lu J.J.; Cooper J.S; Lee A.W.M., penyunting. Nasopharyngeal Cancer
Multidisciplinary Management. Berlin: Springer-Verlag. h.27-37
Lin, Y.C., You, L., Xu, Z., He, B., Mikami, I., Thung, E., Chou, J., Kuchenbecker, K., Kim,
J., Raz, D., Yang, C.T., Chen, J.K., Jablons, D.M. 2006. Wnt Signaling Activation
166
and WIF-1 Silencing in Nasopharyngeal Cancer Cell Lines. Biochem Biophys Res
Commun. 341:635–40
Lo, A.K., Huang, D.P., Lo, K.W., Chui, Y.L., Li, H.M., Pang, J.C., Tsao, S.W. 2004.
Phenotypic Alterations Induced by The Hong Kong-Prevalent Epstein–Barr Virus
Encoded LMP1 Variant (2117-LMP1) in Nasopharyngeal Epithelial Cells. Int J
Cancer. 109(6):919–25
Lo, A.K., To, K.F., Lo, K.W., Lung, R.W., Hui, J.W., Liao, G., Hayward, S.D. 2007.
Modulation of LMP1 Protein Expression by EBV-Encoded MicroRNAs. Proc Natl
Acad Sci. 104:164–69
Luo, Y.L., Ou, G.P. 2009. Combined Determination of Epstein-Barr Virus Related
Antibodies and Antigens for Diagnosis of Nasopharyngeal Carcinoma. [Diakses : 2
Mei 2015]. Diunduh dari : http://www.cjcsysu.com/ENpdf/2009/1/76.pdf
Ma, B.B., Poon, T.C., To, K.F., Zee, B., Mo, F.K., Chan, C.M., Ho, S., Teo, P.M., Johnson,
P.J., Chan, A.T. 2003. Prognostic Significance of Tumor Angiogenesis, Ki 67, p53
Oncoprotein, Epidermal Growth Factor Receptor and HER2 Receptor Protein
Expression in Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma – A Prospective Study.
Head Neck. 25:864–72
Ma, J, Cao S. 2010. The Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam : Lu J.J.;
Cooper J.S.; Lee A.W.M, penyunting. Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary
Management. Berlin: Springer-Verlag. h.1-6
Mainou, B.A., Everly. D.N., Raab-Traub, N. 2005. Epstein–Barr Virus Latent Membrane
Protein 1 CTAR1 Mediates Rodent and Human Fibroblast Transformation Through
Activation of PI3K. Oncogene. 24:6917–24
Makarewicz, R., Drewa, G., Szymanski, W., Skonieczna-Makarewicz, I. 1995. Cathepsin B
in Predicting the Extent of Cervix Carcinoma. Neoplasma. 42:21-24
Marur, S. dan Forastiere, A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing Epidemiology,
Diagnosis and Treatment. Mayo Cli Proc. 83(4):489-501
Michallet, M.C., Saltel, F., Flacher, M., Revillard, J.P., Genestier, L. 2004. Cathepsin-
dependant Apoptosis Triggered by Supraoptimal Activation of T-Lymphocytes: a
Possible Mechanism of High Dose Tolerance. Journal of Immunology. 172:5405-14
Miller, W.E., Cheshire, J.L., Baldwin. A.S., Raab-Traub, N. 1998. The NPC Derived C15
LMP1 Protein Confers Enhanced Activation of NF-Kappa B and Induction of The
EGFR in Epithelial Cells. Oncogene. 16:1869–77
Mohammed, M.M., Sloane, B.F. 2006. Cysteine cathepsins: multifunctional enzymes in
cancer.Nat Rev Cancer. 6(10):764-75
Morrison, J.A., Gulley, M.L., Pathmanathan, R., Raab-Traub, N. 2004. Differential Signaling
Pathways are Activated in The Epstein–Barr Virus-Associated Malignancies
Nasopharyngeal Carcinoma and Hodgkin Lymphoma. Cancer Res. 64:5251-60
167
Nasr, H.B., Karim, C., Remadi, S., Zakhama, A., Chouchane, L. 2009. Expression and
Clinical Significance of Latent Membrane Protein-1, Matrix Metalloproteinase-1, and
Ets-1 Transcription Factor in Tunisian Nasopharyngeal Carcinoma Patients. Archives
of Medical Research. 40:196-203
Navarro, A.D., Toro-Arreola, S.D., Sanchez-Hernandez, P.E., Ramirez-Duenas, M.G.,
Armendariz-Borunda, J., Perez-Montfort, R. 2005. Immunosuppressive Activity of
Proteases in Cervical Carcinoma. Gynecologic Oncology. 98:111-17
Nishi, H., Nishi, K.H., Johnson, A.C. 2002. Early Growth Response-1 Gene Mediates Up-
Regulation of Epidermal Growth Factor Receptor Expression During Hypoxia.
Cancer Res. 62:827–34
Pan, J., Kong, L., Lin, S., Chen, G., Chen, Q., Lu, J.J. 2008. The Clinical Significance of
Coexpression of Cyclooxygenases-2, Vascular Endothelial Growth Factors, and
Epidermal Growth Factor Receptor in Nasopharyngeal Carcinoma. Laryngoscope.
118:1970–75
Permeen, A.M.Y., Sam, C.K., Pathmanathan, R. 1990. Detection of Epstein-Barr Virus DNA
in Nasopharyngeal Carcinoma Using A Non-Radioactive Digoxigenin-Labelled
Probe. [Diakses : 2 Mei 2015]. Diunduh dari :
http://www.landesbioscience.com/pdf/04 Busson-Busson.pdf
Probst R., Grever G., Iro H. 2006. Diseases of the Nasopharynx. Dalam : Probst R.; Grever
G.; Iro H., penyunting. Basic Otorhinolaryngology : A Step by Step Learning Guide.
Edisi ke-2. New York: Georg Thieme Verlag. h.109-10
Rashi, S., Rolee, S., Sanjay, M., Singh, R.B. 2011. Biochemical and Molecular Biological
Studies on Oral Cancer : An Overview. The Open Nutraceuticals Journal. 4(1):180-
88
Reinheckel, T., Gocheva, V., Peters, C., Joyce, J.A. 2008. Roles of Cysteine Proteases in
Tumor Progression : Analysis of Cysteine Cathepsin Knockout Mice in Cancer
Models. Dalam : Edwards, D., dkk., penyunting. The Cancer Degradome Protease and
Cancer Biology. New York: Springer. h.281-304
Ren, Q., Sato H., Murono, S., Furukawa, M., Yoshizaki, T. 2004. Epstein–Barr Virus (EBV)
Latent Membrane Protein 1 Induces Interleukin-8 Through The Nuclear Factor-Kappa
B Signaling Pathway in EBV Infected Nasopharyngeal Carcinoma Cell Line.
Laryngoscope. 114:855–59
Repnik, U., Stoka, V., Turk, V., Turk, B. 2012. Lysosomes and Lysosomal Cathepsins in Cell
Death. Biochimie and Biophysica Acta. 1824:22-23
Scorilas, A., Fotiou, S., Tsiambas, E., Yotis, J., Kotsiandri, F., Sameni, M., Sloane, B.F.,
Talieri, M. 2002. Determination of Cathepsin B Expression may Offer Additional
Prognostic Information for Ovarian Cancer Patients. Biol Chem. 383: 1297-303
Sheen, T.S., Huang, Y.T., Chang, Y.L., Ko, Y.J., Wu, C.S., Yu, Y.C., Tsai, C.H., Hsu. M.M.
1999. Epstein–Barr Virus-Encoded Latent Membrane Protein 1 Co-Expresses with
Epidermal Growth Factor Receptor in Nasopharyngeal Carcinoma. Jpn J Cancer Res.
168
90:1285–92
Shi, W., Bastianutto, C., Li, A., Perez-Ordonez, B., Ng, R., Chow, K.Y., Zhang, W., Jurisica
I., Lo, K.W., Bayley, A., Kim, J., O’Sullivan, B., Siu, L., Chen, E., Liu, F.F. 2006.
Multiple Dysregulated Pathways in Nasopharyngeal Carcinoma Revealed by Gene
Expression Profiling. Int J Cancer. 119:2467–475
Stadler, E.M., Patel, E.M., Couch, E.M., Hayes, N.D. 2008. Molecular Biology of Head Neck
Cancer : Risks and Pathways. Hematol Oncology Clin N Am. 22(10):1099-244
Stefani, G., Slack, F.J. 2008. Small Non-Coding RNAs in Animal Development. Nat Rev Mol
Cell Biol. 9:219–30
Taylor, C.R., Shi, S.R., Barr, N.J. 2010. Techniques in Immunohistochemistry: Principle,
Pitfalls, and Standardization. Dalam : Dabbs, D.J., penyunting. Diagnostic
Immunohistochemistry : Theranostic and Genomic Applications. Philadelphia:
Saunders-Elsevier. h.1-41
Turk, V., Stoka, V., Vasiljeva, O., Renko, M., Sun, T., Turk, B., Turk, D. 2012. Cysteine
Cathepsins : From Structure, Function and Regulation to New Frontiers. Biochimica
et Biophysica Acta. 1824: 68-88
Van Kempen, L.C., De Visser, K.E., Coussens, L.M. 2006. Inflammation, Proteases, and
Cancer. Eur J Cancer. 42: 728-34
Vasiljeva, O., Turk, B. 2008. Dual Contrasting Roles of Cysteine Cathepsin in Cancer
Progression : Apoptosis versus Tumour Invasion. Biochimie. 90:380-86
Wahyono, D.J., Hermani B., Soeharso P. 2010. Ekspresi Gen Litik Virus Epstein-Barr :
Manfaatnya untuk Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. [Diakses : 2 Mei
2015]. Diunduh dari : http://www.fkui.org
Warwas, M., Haczynska, H., Gerber, J., Nowak, M. 1997. Cathepsin B-like activity as a
serum tumour marker in ovarian carcinoma. European Journal of Clinical Chemistry
and Clinical Biochemistry. 35:301-4
Wei, W.I. 2006. Nasopharyngeal Cancer. Dalam : Bailey B.J., Johnson J.T., Newlands, S.D.,
penyunting. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins. h.1657-71
Yarden, Y., Sliwkowski, M.X. 2001. Untangling the ErbB Signalling Network. Rev Mol Cell
Biol. 2:127–37
Xu, X., Yuan, G., Liu, W., Zhang, Y., Chen, W. 2009. Expression of Cathepsin L in
Nasopharyngeal Carcinoma and Its Clinical Significance. Exp Oncol. 2:102-5
Zeng, M.S., Zeng, Y.X. 2010. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma.
Dalam : Lu J.J., Cooper J.S., Lee AWM, penyunting. Nasopharyngeal Cancer
Multidisciplinary Management. Berlin: Springer-Verlag. h.9-25
Zeng, Z.Y., Zhou, Y.H., Zhang, W.L., Xiong, W., Fan, S.Q., Li, X.L., Luo, X.M., Wu, M.H.,
169
Yang, Y.X., Huang, C., Cao, L. Tang, K., Qian, J., Shen, S,R., Li, G.Y. 2007. Gene
Expression Profiling of Nasopharyngeal Carcinoma Reveals the Abnormally
Regulated Wnt Signaling Pathway. Hum Pathol. 38:120–33
170
Lampiran 1. Surat Kelaikan Etik
171
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian
172
Lampiran 3. Dokumentasi Pemeriksaan Ekspresi Cathepsin D dengan
Pewarnaan Imunohistokimia
Tabel Skor Persentase Sel Tumor
Skor Persentase Sel
Tumor
Lapangan Pandang
0
1+
2+
3+
173
Tabel Skor Intensitas Pewarnaan
Skor Intensitas
Pewarnaan Sel Tumor
Lapangan Pandang
0
1+
2+
3+
clxxiv
clxxiv
Lampiran 4. Tabulasi Data Penelitian
clxxv
clxxv
clxxvi
clxxvi
clxxvii
clxxvii
Lampiran 5. Hasil Analisis Data Penelitian
DESCRIPTIVES
KELOMPOK Statistic Std. Error
UMUR
std 4
Mean 49.94 2.201
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
45.44
Upper Bound
54.43
5% Trimmed Mean 50.16
Median 51.00
Variance 150.196
Std. Deviation 12.255
Minimum 18
Maximum 80
Range 62
Interquartile Range 14
Skewness -.363 .421
Kurtosis 1.327 .821
std <4
Mean 51.16 2.032
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
47.01
Upper Bound
55.31
clxxviii
clxxviii
5% Trimmed Mean 51.23
Median 49.00
Variance 128.006
Std. Deviation 11.314
Minimum 28
Maximum 71
Range 43
Interquartile Range 19
Skewness .148 .421
Kurtosis -.777 .821
JENIS KELAMIN * KELOMPOK Crosstabulation
KELOMPOK Total
std 4 std <4
JENIS
KELAMIN
Laki-laki
Count 21 22 43
% within
KELOMPOK 67.7% 71.0% 69.4%
Perempuan
Count 10 9 19
% within
KELOMPOK 32.3% 29.0% 30.6%
Total
Count 31 31 62
% within
KELOMPOK 100.0% 100.0% 100.0%
PEKERJAAN * KELOMPOK Crosstabulation
KELOMPOK Total
std 4 std <4
PEKERJAAN Ibu RT
Count 3 2 5
% within KELOMPOK
9.7% 6.5% 8.1%
Petani Count 9 9 18
clxxix
clxxix
% within KELOMPOK
29.0% 29.0% 29.0%
PNS
Count 4 2 6
% within KELOMPOK
12.9% 6.5% 9.7%
Swasta
Count 11 11 22
% within KELOMPOK
35.5% 35.5% 35.5%
Tidak bekerja
Count 4 5 9
% within KELOMPOK
12.9% 16.1% 14.5%
TNI / POLRI
Count 0 2 2
% within KELOMPOK
0.0% 6.5% 3.2%
Total
Count 31 31 62
% within KELOMPOK
100.0% 100.0% 100.0%
STADIUM
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
2 6 9.7 9.7 9.7
3 25 40.3 40.3 50.0
4A 14 22.6 22.6 72.6
4B 13 21.0 21.0 93.5
4C 4 6.5 6.5 100.0
Total 62 100.0 100.0
PERSENTASE SEL TUMOR
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak int pewarnaan
4 6.5 6.5 6.5
<30% 19 30.6 30.6 37.1
30-60% 32 51.6 51.6 88.7
clxxx
clxxx
>60% 7 11.3 11.3 100.0
Total 62 100.0 100.0
INTENSITAS PEWARNAAN
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak ada intensitas
4 6.5 6.5 6.5
Lemah 16 25.8 25.8 32.3
Sedang 20 32.3 32.3 64.5
Kuat 22 35.5 35.5 100.0
Total 62 100.0 100.0
SKOR EKSPRESI CATHEPSIN D
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
0 3 4.8 4.8 4.8
2 12 19.4 19.4 24.2
3 11 17.7 17.7 41.9
4 12 19.4 19.4 61.3
5 20 32.3 32.3 93.5
6 4 6.5 6.5 100.0
Total 62 100.0 100.0
KATEGORI EKSPRESI CATHEPSIN D
clxxxi
clxxxi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Lemah 16 25.8 25.8 25.8
sedang 22 35.5 35.5 61.3
Kuat 24 38.7 38.7 100.0
Total 62 100.0 100.0
KELOMPOK * CATHEPSIN D Crosstabulation
cathD Total
Lemah sedang Kuat
KELOMPOK
std 4
Count 0 7 24 31
% within KELOMPOK
0.0% 22.6% 77.4% 100.0%
std <4
Count 16 15 0 31
% within KELOMPOK
51.6% 48.4% 0.0% 100.0%
Total
Count 16 22 24 62
% within KELOMPOK
25.8% 35.5% 38.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 42.909a 2 .000 Likelihood Ratio 58.429 2 .000 Linear-by-Linear Association 40.397 1 .000 N of Valid Cases 62
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00.
clxxxii
clxxxii
Gambar 1. Blok Parafin
Gambar 2. Slide dengan Pewarnaan Imunohistokimia
Gambar 3. Mikroskop Cahaya Binokuler
clxxxiii
clxxxiii