IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN, PUSAT PELAYANAN, INTERAKSI KERUANGAN ANTAR WILAYAH DAN KAJIAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KAWASAN AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan Dosen Pengampu Dr. Yudi Basuki, ST, MT. Disusun oleh : BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036 PROGRAM STUDI MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016
29
Embed
Pusat Pelayanan dan Interaksi Keruangan Kawasan Perkotaan Yogyakarta
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN, PUSAT PELAYANAN, INTERAKSI KERUANGAN
ANTAR WILAYAH DAN KAJIAN PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH
KAWASAN AGLOMERASI PERKOTAAN YOGYAKARTA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Analisis Perencanaan dan Pembangunan
Dosen Pengampu
Dr. Yudi Basuki, ST, MT.
Disusun oleh :
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
PROGRAM STUDI
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
I. PENDAHULUAN
Tugas Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan yang diberikan adalah (1) Membuat Hirarki
Pusat Pelayanan menggunakan Metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas
Marshall; (2) Membuat analisis interaksi keruangan menggunakan salah satu dari beberapa metode
interaksi keruangan seperti Model Gravitasi, Titik Henti, Grafis, dan Aliran Komoditas; dan (3)
Membuat kajian ekonomi wilayah yang dikaitkan dengan interaksi keruangan.
Area yang menjadi kajian adalah kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) yang telah
ditetapkan menjadi Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sesuai dengan PERDA DIY Nomor 2 Tahun 2011.
Kawasan APY terdiri dari Kota Yogyakarta sebagai inti dan beberapa kecamatan di sekitarnya seperti
Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah Kabupaten Bantul, serta Kecamatan Depok,
Gamping, Mlati, Ngemplak, Ngaglik di wilayah Kabupaten Sleman (Gambar 1). Unit analisis yang
digunakan adalah kecamatan, untuk itu apabila terdapat data sekunder yang digunakan sampai level
desa, maka data tersebut akan diagregrasikan ke level kecamatan.
Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta
Analisis yang dilakukan meliputi (1) Penentuan Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan
menggunakan metode Rank Size Rule, Skalogram Guttman dan Indeks Sentralitas Marshall; (2)
Penentuan interaksi keruangan antar kecamatan menggunakan Teori Grafik Kansky; (3) Kajian
ekonomi wilayah menggunakan Model Location Quotient dan Model Shift-Share.
II. ANALISIS PUSAT PERTUMBUHAN DAN PELAYANAN
II.1 Deskripsi Sumber Data Yang Digunakan
Untuk pelaksanaan tugas pembuatan hirarki pusat pertumbuhan dan pelayanan, data yang
digunakan adalah publikasi Data Demografi Indonesia terbaru yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL) yang dapat diakses secara publik dari alamat
website http://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/ (Gambar 2). Data yang dipublikasikan dalam
bentuk layanan peta online dalam satuan desa sampai tahun 2015. Data yang tersedia meliputi data
luas wilayah, kependudukan (dibagi menurut jumlah, kepadatan, agama, jenis kelamin, status
perkawinan, dan kelompok usia dan lain-lain), data jumlah fasilitas umum per desa (meliputi fasilitas
pendidikan, kesehatan, HANKAM, peribadahan, dan pemerintahan).
Gambar 2. Layanan Data Kependudukan dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri
II.2 Tabulasi Data Jumlah Penduduk
Data jumlah penduduk yang diperoleh dari layanan data DUKCAPIL dari Direktorat Jenderal
Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri disusun menurut desa, karena analisis
yang dilakukan menggunakan satuan kecamatan, maka data tingkat desa dijumlahkan/summarized
pada tingkat kecamatan. Hasil penjumlahan untuk lokasi kajian APY direkapitukasi dalam tabel 1 di
bawah ini. Data dalam Tabel 1 diurutkan menurut Kabupaten/Kota, dengan jumlah penduduk tertinggi
adalah Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, dan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan
Di mana Yt = indikator ekonomi wil. Nasional, akhir tahun analisis. Yo = indikator ekonomi wil. Nasional, awal tahun analisis. Yit = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i, akhir tahun analisis. Yio = indikator ekonomi wil. Nasional sektor i ,awal tahun analisis. yit = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , akhir tahun analisis. yio = indikator ekonomi wil. Lokal sektor i , awal tahun analisis.
PB = KPP + KPPW
Jika PB ≥ 0 sektor tersebut progresif/maju.
Jika PB < 0 sektor tersebut lamban / mundur.
Tabel 14. Hasil Perhitungan Model Shift-Share Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta
Gambar 10. Plot PP – PPW Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta
IV.3 Analisis dan Pembahasan
Kemajuan suatu wilayah pada dasarnya tidak dapat dicapai apabila wilayah tidak
mengembangkan potensi sumberdaya yang dimilikinya, baik untuk memenuhi kebutuhan wilayah itu
sendiri atau mendukung wilayah lain dalam mencapai kemajuan bersama. Kawasan Aglomerasi
Perkotaan Yogyakarta pada dasarnya adalah sebuah kawasan pengembangan perkotaan yang
didalamnya terdiri dari 22 kecamatan yang masuk dalam 2 kabupaten dan 1 kotamadya. Dari berbagai
penjelasan dalam analisis sebelumnya, setiap bagian dari kawasan ini, baik dilihat dari aspek
administratif maupun fisik ternyata menunjukkan perkembangan yang tidak sama. Bagian utara, timur
dan barat kawasan lebih maju dari pada sisi selatan kawasan, walaupun dari perkembangan jumlah
penduduk relatif seragam. Sebelumnya telah dibahas bahwa penyebab perkembangan yang condong
ke utara ini lebih disebabkan keberadaan fasilitas pendidikan yang mengumpul di utara (Kabupaten
Sleman), sehingga investasi bidang jasa dan sektor non pertanian lain lebih tertarik ke sisi utara
kawasan. Meskipun demikian perlu dilihat lebih lanjut mengenai bagaimana kontribusi dan peran
sektor ekonomi dalam menjelaskan fenomena ini. Oleh karena itu dilakukan analisis ekonomi wilayah
dengan menggunakan dua metode, yaitu Location Quotient (LQ) dan Model Shift-Share dengan
memberdayakan data PDRB Kabupaten dan Provinsi pada Tahun 2013 dan 2015.
Metode LQ dikembangkan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan suatu wilayah, dilihat
dari perbandingan keluaran produksi/kesempatan kerja suatu wilayah dengan wilayah induknya.
Keluaran dari metode LQ adalah penentuan apakah suatu wilayah termasuk ke dalam sektor basis atau
non basis di dalam wilayah induk. Sektor basis berarti wilayah tersebut memiliki keuntungan
komparatif dalam komoditas tertentu dan berpotensi menyuplai kelebihan produksi untuk wilayah
lain, sementara sektor non basis berarti sebaliknya, komoditas yang ada hanya cukup untuk konsumsi
dalam wilayah.
Dilihat dari hasil analisis LQ Tahun 2013, Kabupaten Bantul merupakan sektor basis untuk
sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri, dan konstruksi, untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sementara Kota Yogyakarta merupakan sektor basis untuk sektor industri, utilitas listrik
dan air, jasa dan perdagangan, keuangan, dan transportasi komunikasi. Kabupaten Sleman
terspesialisasi untuk sektor industri, jasa dan perdagangan, serta transportasi komunikasi. Jika dilihat
dari progresnya pada Tahun 2015, hampir tidak terjadi perubahan status basis – non basis dari tiga
kabupaten/kota tersebut. Perubahan hanya terjadi pada Kabupaten Bantul dimana pada Tahun 2013
sektor perdagangan merupakan sektor non basis dan pada Tahun 2015 telah meningkat statusnya
menjadi sektor basis. Sementara di Kabupaten Sleman yang tadinya industrinya telah mencapai sektor
basis pada Tahun 2013 mundur menjadi non basis pada Tahun 2015. Melihat hasil ini, tampaknya telah
mulai ada spesialisasi diantara ketiga kabupaten/kota tersebut, dimana Bantul masih mengandalkan
pada komoditas pertanian dan sumberdaya alam sebagai salah satu sumber perekonomian wilayah,
namun Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman sudah mulai meninggalkannya dan beralih ke sektor
infrastruktur dan jasa.
Bantul yang masih mengandalkan sektor pertanian, perdagangan dan pertambangan sebagai
salah satu sektor basis mungkin bisa menjawab mengapa Kawasan APY di sebelah selatan belum
nampak berkembang jika dilihat dari keberadaan fasilitas pelayanan, walaupun jumlah penduduk dan
orde pusat pertumbuhannya tidak kalah dengan kecamatan di sebelah utara. Kondisi ini mungkin bisa
dibilang ideal karena setiap wilayah memiliki sektor basis yang berbeda, sehingga bisa diharapkan
saling mendukung satu sama lain. Suplai produk pertanian untuk Kota Yogyakarta dan Sleman bisa
diperoleh dari Bantul, sementara kebutuhan Bantul terkait listrik, air, transportasi, keuangan dan jasa
lainnya bisa diperoleh dari Sleman dan Kota Yogyakarta.
Sebagaimana nampak pada hasil analisis, penggunaan Model LQ untuk analisis ekonomi
wilayah dapat mengidentifikasi sektor ekonomi unggulan di dalam wilayah dan memungkinkan untuk
memantau perkembangan sektor unggulan tersebut secara multitemporal. Namun demikian,
kuantifikasi hasil pemodelan dalam bentuk indeks basis dan non basis tidak mencerminkan perubahan
dari PDRB-nya sendiri. Pemodelan LQ kurang dapat menggambarkan bagaimana perkembangan
pertumbuhan (yang tercermin dari jumlah PDRB) wilayah apakah naik atau turun. Di dalam LQ, naik
atau turun tidak begitu penting karena selama masih berada dalam jangkauan sektor basis, komoditas
atau sektor yang dikaji akan tetap menjadi sektor unggulan.
Berbeda dengan Model LQ, Model Shift-Share mendasarkan pada tiga komponen
pertumbuhan ekonomi, yaitu komponen pertumbuhan nasional, komponen pertumbuhan
proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Tiga komponen ini dapat memberikan
penjelasan tidak hanya sektor unggulan wilayah, tapi juga dapat menjelaskan dinamika ekonomi (naik
turunnya pertumbuhan ekonomi) per sektor di dalam wilayah. Oleh karena itu dapat dibilang Model
Shift-Share lebih lengkap daripada Model LQ.
Hasil analisis pertumbuhan ekonomi wilayah menggunakan Model Shift-Share untuk 2
Kabupaten dan 1 Kota yang menaungi Kawasan APY dapat dilihat pada ploting PP-PPW (yang
mencerminkan dinamika PB) kinerja sektor pada Gambar 10 dan Tabel 14. Hasil ini memberikan
tambahan penjelasan terkait hasil LQ. Dilihat dari nilai PB dan Plot PP-PPW yang diperoleh, ketiga
kabupaten/kota mengalami kemunduran produksi pertanian (dilihat dari produksi pertanian provinsi)
sebesar 20 persen, demikian pula untuk sektor pertambangan, industri dan utilitas (listrik, gas,air).
Sementara sektor keuangan, jasa, transportasi komunikasi dan perdagangan mulai tumbuh.
Mundurnya pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam di tiga kabupaten/kota yang
menjadi lokasi kajian mengindikasikan bahwa Provinsi DIY pada umumnya dan Kawasan APY pada
khususnya sedang mengalami transformasi perekonomian dari yang sebelumnya bercorak agraris
menuju ke jasa dan pelayanan. Sektor industri yang umumnya muncul sebagai pengganti sektor agraris
di daerah lain di Indonesia tidak begitu muncul di DIY. Pertama, penduduk DIY sendiri tidak terlalu
besar, sehingga kurang menarik minat investasi industri besar padat karya, dan kedua, DIY sendiri lebih
terkenal sebagai wilayah unggul penyedia layanan pendidikan dan pariwisata, sehingga nampaknya
pelaku ekonomi di Kawasan APY lebih tertarik untuk mengembangkan aktivitas ekonomi yang
mendukung sektor unggulan ini.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari hasil analisis dan pemodelan yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan
penduduk di Kawasan APY sebagaimana nampak dari orde pusat pertumbuhan menunjukkan bahwa
pertumbuhan penduduk di kecamatan di Urban Fringe Yogyakarta lebih besar daripada di dalam kota.
Di sisi lain perkembangan pelayanan sebagaimana nampak dari orde pusat pelayanan cenderung
terpusat ke arah pusat dan utara kawasan. Pertumbuhan dan pelayanan yang tidak berimbang ini
berpotensi membawa masalah, terutama jika penduduk di selatan kawasan ingin mendapatkan
pelayanan harus pergi ke utara. Masalah yang dapat muncul antara lain kemacetan baik di pusat kota
maupun di sekitar Kawasan APY sendiri sebagai konsekuensi dari lalu lalang penduduk dalam
memperoleh pelayanan. Potensi permasalahan ini semakin nampak karena perkembangan interaksi
keruangan dan konektivitas (yang tercermin dari perkembangan jaringan jalan) juga lebih berkembang
di utara kawasan. Peningkatan fasilitas pelayanan, baik dari sisi jumlah maupun ragam di sisi selatan
kawasan harus dilakukan untuk menyeimbangkan permintaan pelayanan yang meningkat sebagai
konsekuensi pertumbuhan penduduk.
Dilihat dari aspek perekonomian wilayah, Kawasan APY telah mengalami transformasi dari
sektor agraris menuju sektor jasa dan pelayanan. Walaupun sektor pertanian masih menjadi sektor
basis di sebagian Kawasan APY dan cukup ideal karena terdapat berbagai spesialisasi corak aktivitas
ekonomi di dalam kawasan yang dapat mendukung satu sama lain, penurunan pertumbuhan sektor
pertanian yang signifikan dalam 2 tahun dan pertumbuhan sektor jasa dan pelayanan mengharuskan
adanya perhatian dari pemerintah. Fasilitasi pengembangan sektor jasa dan pelayanan di DIY pada
umumnya dan Kawasan APY pada khususnya Idealnya harus sebisa mungkin tidak meninggalkan
pengelolaan dan peningkatan sektor pertanian karena merupakan kebutuhan primer