PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA Skripsi Diaajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : FUZZY KARTIKA CANDRA DEWI NIM : 11150480000097 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M
100
Embed
PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK...PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA Skripsi Diaajukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK
(E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Skripsi
Diaajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
FUZZY KARTIKA CANDRA DEWI
NIM : 11150480000097
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
PUNGUTAN PAJAK PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK
(E-COMMERCE) ANTAR NEGARA BERDASARKAN HUKUM
PERPAJAKAN DI INDONESIA
Skripsi
Diaajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
FUZZY KARTIKA CANDRA DEWI
NIM : 11150480000097
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Fuzzy Kartika Candra Dewi, NIM 11150480000097, REGULASI PAJAK
PERDAGANGAN MELALUI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) ANTAR
NEGARA BERDASARKAN HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA,
Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia terhadap e-commerce atau pelaku usaha e-commerce anatar
negara, secara khusus skripsi ini mencoba mendalami muata aturan hingga
harmonisasi regulasi dengan aturan yang berkaitan dengan e-commerce.
disamping itu skripsi ini juga mengupas secara khusus aturan yang dapat
dikenakan kepada pelaku usaha e-commerce, pengaturan pajaknya, kualifikasi
subjek pajaknya, dan objek pajak yang dapat ditarik dari pelaku usaha e-
commerce antar negara tersebut. Terkahir penulis juga mencoba mencari
urgensitas pemberlakuakn pajak diberbagai negara untuk mengatur pajak bagi
pelaku usaha e-commerce gunna menjadi perbandingan bagi pengaturan
kedepannya
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi
pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan
metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Indonesia telah memiliki aturan secara
genera mengenai pajak untuk subjek pajak luar negeri, sehingga bila terdapat
pelaku usaha e-commerce antar negara yang memiliki sumber yang berasal dari
negara Indonesia maka pelaku usaha e-commerce antar negara tersebut dapat
dikatakan sebagai wajib pajak luar negeri dengan kualifikasi pasal 26 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, namum
keberadaan pajak penghasilan tersebut dapat berbenturan dengan pajak berganda
yang mengharuskan terdapatnya bentuk usaha tetap ( BUT) sebagai syarat
terbenttuknya perjanjian penghindaran pajak antar negara, dan pelaku usaha e-
commerce antar negara tidak memiliki BUT yang jelas sehingga pemungutan
pajaknya pun masih mengalami kendala dari regulasinya sendiri.
Kata Kunci : Pajak e-commerce, e-commerce antar negara
Pembimbing : M. Yasir S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1977 s.d Tahun 2019
viii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 10
D. Metode Penelitian ............................................................................ 10
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
BAB II : TINJUAN PUSTAKA PERPAJAKAN DAN PERDAGANGAN
MELALUI ELEKTRONIK ( E-COMMERCCE)
A. Kerangka Konseptual ...................................................................... 14
menurutnya landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasar-dasar
operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat
strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.23
1. Teori keadilan
Dalam pungutan pajak untuk pelaku E-Commerce antar negara
pelaku usaha tidak berdomisili di Indonesia namun berkegiatan ekonomis
dinegara Indonesia, maka secara hukum setiap orang yang berkegiatan
ekonomis atau berpenghasilan dari suatu negara maka orang tersebut
berhak pengenaan pajak atasnya. Hal ini merupakan wujud dari persamaan
dimata hukum, Hal ini guna memberikan keadilan bagi pelaku usaha
dalam negeri maupun luar negeri.
Penegakan keadilan bagi para pelaku usaha baik dalam negeri
maupun luar negeri sudah selayaknya ditegakan demi terwujudnya Equalty
before the law yang berbasiskan keadilan, hal ini sesuai dengan teroi
keadilan yang diungkapkan oleh Aristoteles ialah perlakuan yang sama
bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan
politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau
sebaliknya.24
Pungutan pajak yang dikenakan terhadap pelaku usaha asing melalui
transaksi E-Commerce memang belum diatur secara konperhensif dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan, namun demi menjaga keutuhan bangsa melalui
pemenuhan akan keadilan maka diperlukan pemajakan atas kegiatan
ekomonis yang dilakukan para pelaku usaha asing ini.
23
Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi
Pengembangan Penelitian Indiplisiner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum,
Dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 239
24
Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti,
(Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), h. 4
28
2. Teori kepastian Hukum
Demi mencapai sebuah keadilan yang dapat dirasakan tentu
diperlukanya sebuah norma hukum yang dapat mengatur jalannya proses
penegakan hukum, aturan hukum yang ada saat ini belum mengatur secara
komperhensif mengenai pungutan pajak untuk pelaku E-Commerce antar
negara, ketiadaan norma hukum ini telah berpengaruh pada berkurangnya
kepastian hukum yang dirasakan bagi pelaku usaha E-Commerce antar
negara dan bagi penegak pajak di Indonesia, dalam teori kepastian hukum
yang diungkapkan oleh Utrecht menurutnya kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, terdapatnya sebuah aturan yang bersifat
umum yang dapat membuat setiap orang mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
setiap orang dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu setiap orang dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap setiap orang.25
3. Teori Pungutan Pajak
teori mengenai pembenaran pemungutan pajak menurut Erly Suandy
terdapat beberapa teori tentang pungutan pajak antara lain26
:
a. Teori Asuransi, Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula
tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab
itu, Negara disamakan dengan perusahaan asuransi, untuk mendapat
perlindungan warga Negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini
sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tiada ada pembelanya lagi,
sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika
orang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, Negara tidak
akan mengganti rugi seperti halnya dalam asuransi. Di samping itu,
tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai
perlindungannya terhadap pembayar pajak.
25
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, ( Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999 ). h. 23
26
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5 , ( Jakarta: Salemba Empat, 2011). h. 26
29
b. Teori Kepentingan Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai
hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan
Negara. Makin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari
pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ni meskipun
masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan, sebab seorang
miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan dari pemerintah
menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan Negara, tetapi mereka
justru tidak membayar pajak.
c. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti Teori ini didasari paham
organisasi Negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa
Negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan
yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan sifat
seperti itu maka Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak
dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori
ini dasar 18 hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan
Negara, dimana Negara berhak memungut pajak dan rakyat
berkewajiban membayar pajak.
d. Teori Daya Beli Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak
mempersoalkan asal mulanya Negara memungut pajak melainkan
banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang efek yang baik itu
sebagai dasar keadilannya.
C. Tinjauan (Review ) Kajian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti, penelitian tentang
penetapan hukum perpajakan untuk E-Commerce sudah pernah dilakukan
oleh sejumlah kalangan, namun penelitian-penelitian tersebut memiliki
perbedaan fokus penelitian dengan skripsi peneliti. Adapun sejumlah
penelitian yang ditemukan peneliti sebagai berikut:
1. Andi Tenri Ajeng dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum
Perjanjian Jual-Beli Melalui E-Commerce (Fakultas Syari’ah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar 2017)” yang
30
membahas tentang apakah dalam jual beli yang dilakukan melalui E-
Commerce sesuai dengan akad perjanjian pada perdagangan kovensional
biasanya yang tertera dalam KUHPerdata pasal 1320. Skripsi ini
terfokus dalam meneliti mengenai Tinjauan Hukum dalam perjanjian
jual-beli melalui E-Commerce. yang memiliki persamaan dimana kami
sama-sama membahas mengenai transaksi yang dilakuakn melaui E-
Commerce, dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang
lebih terfokus pada pengaturan pajak untuk pelaku E-Commerce antar
negara.
2. Mellisa Rahmaini Lubis dalam skripsinya yang berjudul “Kebijakan
Pengaturan Pajak Penghasilan Dan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap
Transaksi E-Commerce (Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung 2017)” yang membahas tentang kebijakan penetapan pajak
yang dilakukan di Indonesia berupa PPh dan PPn yang diperuntukan
untuk E-Commerce di indonesia. Persamaan penelitian kami yakni, kami
sama-sama membahas tentang pengenaan pajak untuk E-Commerce, dan
yang membedakan dengan skripsi penelitian peneliti yang terfokus pada
tinjauan yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dapat dijadikan
acuan untuk diberlakukan bagi E-Commerce antar negara
3. Nufransa Wira Sakti dalam bukunya yang berjudul “Buku Pintar Pajak
E-Commerce” Jakarta, Visimedia, 2014, buku ini membahas tentang
kompleksitas E-Commerce dalam aturan pajak yang berlaku. Persamaan
penelitian kami adalah kami sama-sama membahas tentang pajak untuk
E-Commerce dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang
lebih membahas pelaku usaha dalam transaksi E-Commerce yang sesuai
pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan tentang subjek pajak luar negeri.
31
4. Resha Dwiayu Pangesti dalam jurnalnya yang berjudul “Menguak
Permasalahan Perpajakan E- Commerce Di Indonesia Dan Solusi
Pemecahannya ( Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2017)” yang
terfokus pada permasalahan hukum perpajakan atas kehadiran E-
Commerce dalam bentuk pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai
secara luas. Persamaan penelitian kami yakni kami sama-sama
membahas mengenai ketentuan hukum pajak yang berlaku bagi E-
Commerce. dan yang membedakan dengan penelitian peneliti yang lebih
terfokus pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan tentang subjek pajak
luar negeri dan transaksi yang dilakukan melalui E-Commerce antar
negara.
5. Emma Rosalina Wati dalam Jurnalnya yang berjudul “ Analisis Pajak
Penghasilan Atas Transaksi E-Commerce Di Kabupaten Gersik (
Faktultas Ekonomi Bisnis Universitas Muhammadiyah Gersik)” yang
terfokus pada pembahasan tentang hukum Pajak penghasilan untuk E-
Commerce yang berda digersik. Persamaan penelitian kami yakni, kami
sama-sama membahas tentang pengaturan pajak yang berada dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan. berbeda dengan peneliti yang
membahas pajak penghasilan untuk pelaku E-Commerce antar negara
yang terfokus pada pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
32
BAB III
REGULASI PAJAK UNTUK E-COMMERCE ANTAR NEGARA
MENURUT HUKUM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Perpajakan di Indonesia
Pada masa kerajaan dahulu pemungutan pajak di hasilkan melalui upeti
yaitu pemberian secara cuma-cuma yang dilakukan oleh rakyat kepada
seorang raja selaku penguasa wilayah, namun dalam perkembanganya, upeti
yang hanya bersifat sukarela menjadi suatu kewajiban yang diberikan rakya
kepada penguasa.
Di Indonesia sendiri pajak mulai dikenal sejak abad ke-19 bersamaan
dengan pengenaan pajak yang berada di negeri Belanda berdasarkan asas
kondordasi.1 Begitu pula dengan perkembangan hukumnya berbagai cara dan
upaya dilakukan untuk memodifikasi hukum pajak melalui berbagai peraturan
perundang-undangan, yang berdasarkan sejarah dapat dibagi menjadi : masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan Republik
Indoensia. Yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Masa Penjajahan Belanda.
Pada masa ini, sistem perpajakan berfungsi sebagai pemasukan
keuangan (budgeter) untuk keperluan penjajahan di negeri belanda,
dengan membentuk ordinatie atau ordonansi ( peraturan perundang-
undangan pemerintah atau surat ketetapan pemerintah) ordinatie dibuat
oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda bersama Volkstraad atau dewan
rakyat Hindia-Belanda, sebagai lembaga lesgislatif tertinggi pada zaman
penjajahan di Indoensia kala itu.
Pada zaman tersebut pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan
pembangunan negeara Belanda yang menggunakan sistem pungutan pajak
1Konkordasi adalah asas yang melandasi untuk diberilakukannya hukum Eropa atau Hukum Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada bangsa atau pribumi Indoensia, sehingga Hukum Eropa yang diberlakukan Kepada pihak belanda pada masa penjajahan diberlakukan pula kepada rakyat indoensia. Jonaedi Effendi, Kamus Istilah Hukum Populer , Cet. Ke-I, ( Jakarta, Predana Media Group, 2016). h. 237-238
33
berupa (official assestment system) yang berarti meletakan dasar kekuatan
administrasi pemungutan pajak melalui penetapan secara sepihak yang
dilakukan oleh pemerintah, adapun kelemahan sistem ini adalah wajib
pajak tidak diberikan kepercayaan sama seklai dalam perhitungan utang
pajak, namun sebaliknya aparat penegak hukumlah yang dapat
melakukan perhitungan pajak, sehingga sistem ini dapat merugikan para
wajib pajak.
2. Masa Penjajahan Jepang.
Pada zaman penjajahan jepang yang singkat, pada masa itu tidak
dapat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan kecuali
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Undang-Undang
Balatentara Jepang (Osamu Sirai) yang bersisi peraturan perundnag-
undnagan yang tidak melanggar atau bertentangan dengan kekuasaan
militer Jepang2, sebagai dasar masa transisi hukum dibawah pemerintahan
Jepang yang berlaku di wilayah jawa dan madura.
Masa penjajahan yang relatif singkat membuat pada masa tersebut
tidak terjadi perombakan hukum yang sangat signifikan, karena militer
jepang saat itu sangat berorientassi pada kemenangan perang melawan
sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Karena tidak banyak
melakukan perubahan maka lembaga/ instansi yang memungut pajak dan
peraturan hukum dibidangperpajakan seperti, sistem pajak sewa tanah
yang dahulunya berada di tangan belanda diambil alih dan diubah
namnaya menjadi pajak tanah (1942), kemudian ordonansi pajak
pendapatan diganti menjadi “pajak perang”(Oorlogsbelasting) atau pajak
peralihan 1944 (Overgangsbelasting 1944).3
2 C.S.T. Kansil Dan Christine S. T. Kansil, Sejarah Hukum Di Indoensia, Cet. Ke-2, (
Jakarta : PT Suara Harapan Bangsa, 2016). h. 170 3 M. Faruq, Hukum Pajak DI Indoensia Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di Bidang
Perpajakan, ( Jakarta, Kencana, 2018). h. 23-24
34
3. Masa Kemerdekaan Republik Indoensia
Awal kemerdekaan undang-undang perpajakan yang diterapkan di
Negara Indoensia adalah undang-undang pada zaman kolonial belanda
dengan menerapkan asas konkordasi, oleh karenya perpajakan saat itu
menggunakan sistem official assesment , dan ketentuan pajak materiil dan
formil diatur dalam satu undang-undnag, kecuali undang-undang
penagihan pajak dan peradilan pajak.
Pada tahun 1945-1960 mulailah diterapkannya berbagai peraturan
perundnag-undnagan perpajakan berdasarkan ketentuan pajak yang
berada di Republik Indonesia. Pada tahun 1960-1980 setidaknya terdapat
tiga kebijakan perpajakan. Pertama, pemungutan pajak dengan sistem
ofiicial assesment diubah menjadi self assasment system untuk
pemungutan pajak berupa pajak perseroan, pajak pendapatan dan paka
kekayaan yang terkenal dengan MPS-MPO. MPS adalah menghitung
pajak sendiri sedangkan MPO adalah menghitung pajak orang lian.4
Kedua , akhir 1960 dan awal 1970 negara Indonesia mengundang
berbagai investor agar menanamkan modal di Indonesia dengan strategi
berupa peringanan pajak yaitu fasilitas pembebasan pajak dalam jangka
waktu tertentu. Ketiga, priode 1980-an adalah pernyarahan pajak negara
kepada kepala daerah berupa : Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio.
Adapun pada masa reformasi perpajakan ditandai dengan terbitnya
beberapa undang-undang perpajakan pada akhir tahun 1983 yaitu:
a. Disahkannya Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak tanggal 1 januari
1984 dan mencabut Undang-Undang sebelumnya.
b. Disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan yangmulai berlaku sejak 1 januari 1984.
4 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, ( Bandung
: Eresco, 1977). h. 48
35
c. Disahkannya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dan
mencabut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang Pajak
Penjualan 1951 dan segala perubahanya. Dan mulai berlaku sejak 1
April 1985.
d. Disahkanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 Tentang Pajak
Bumi dan Bagungan.
e. Disahkanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea
Meterai dan mencabut aturan Bea Meterei 1921 dan segala
perubahanya.
f. Disahkanya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 Tentang
Kepabean.
g. Disahkanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
h. Disahkanya Undang-Undang Nomor 17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak
i. Disahkanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 Tentang Pajak
Daerah dan Rettribusi Daerah
j. Disahkanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan Menyatakan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan surat Paksa tidak Berlaku lagi.
k. Disahkanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Selanjutnya dilakukan berbagai penyempurnaan hukum perpajakan
hingga sampai saat ini.
B. Hakikat Pajak.
Pada dasarnya pajak merupakan pembayaran atas hasil usaha yang
diberikan kepada negara hal ini sesuai dengan hakikat pajak yang merupakan
peralihan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Pada hakikatnya
pula tujuan utama dari perpajakan adalah untuk memberikan kemakmuram
36
dan kesejahteraan bagi masyarakat Indoensia baik yang berada di pedesaan
maupun diperkotaan. Hal ini terlihat dari berbagai penyediaan baranf dan jasa
publik yang disediakan oleh negara untuk masyarakatnya, kontribusi wajib
pajak inipun semakin diperjelas dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
menjelaskan:
“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dari ketentuan hukum diatas menggambarkan secara jelas bahwa setiap
pemasukan negara yang berasal dari perpajakan akan memiliki timbal balik
secara tidak angsung karena timbal baik yang akan diberikan oleh negara
adalah pemenuhan atas kemakmuran rakyat indonesia.
C. Fungsi Pajak
1. Fungsi Pajak Fungsi Pajak Bagi Pembangunan Perekonomian Negara.
Dalam konteks ini terdapat beberapa fungsi pajak sebagai sumber
pendapatan negara yang berguna dalam membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan, yaitu fungsi anggaran (budgeter),
bahwa pajak sebagai sumber pendapatan negara berfungsi untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara seperti untuk pembiayaan rutin
seperti belanja negara untuk pembiayaan pembangunan, uang yang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah tersebut dihitung dengan cara
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. 5
Pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui
kebijaksanaan pajak. Sebagai contoh dalam rangka meningkatkan minat
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan
5 Thomas Sumarsan, Tax Review Dan Strategi Perencanaan Pajak,( Jakarta : PT Indeks,
2013). h. 4
37
berbagai macam fasilitas dalam bentuk keringanan pajak. Fungsi pajak di
sini adalah sebagai fungsi mengatur (regulerend). 6
Selain dua fungsi di atas pajak juga mengenal fungsi adanya
stabilitas, di mana pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 7
Selanjutnya adalah fungsi redistribusi pendapatan, yaitu pajak yang
sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, sebagai upaya penyediaan layanan negara kepada
masyarakat.8 Dan yang terkahir adalah pajak yang mengenal fungsi
Demokrasi yang merupakan wujud penjelmaan dari adanya pemasukan
pemerintahan melalui pajak yang mengharuskan negara untuk memberikan
pelayanan yang baik bagi masyrakat, sehingga manakala negara tidak dapat
memenuhi kebutuhan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat maka
masyarakat dapat memberikan aduan (Complaint) kepada pemerintahan.
Sistem ini disebut juga sebagai sistem gotong royong dalam membangun
kemaslahatan baik kepada negara maupun kepada masyarakat.9
Fungsi-fungsi diatas sangat berkaitan erat dengan pembanguna
perekonomian bangsa, meskipun perekonomian negara telah berjalan
seiring dengan pertumbuhan pasar bebas namun untuk tetap
mengefektifkan roda pemerintahan dalam pembenahan pasar bebas maka
pemerintah memerlukan pemasukan berupa pajak yang berasal dari
masyarakat. Dalam hal memajukan pasar bebas masyarakat akan menuntut
6 Thomas Sumarsan, Tax Review Dan Strategi Perencanaan Pajak,( Jakarta : PT Indeks,
2013). h. 4 7 Ifti Khori Royhan, Peranan Pajak terhadap Penerimaan Negara. h. 2 8 Muhammad Djafar Saidi, Pembaharuan Hukum Pajak, ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007). h. 33 9 Wirawan B Ilayas dan Richard Burton, Hukum Pajak, ( Jakarta : Salemba Empat, 2007).
h. 11
38
adanya sarana dan prasarana dari pemerintah yang memadai dan
menunjang laju ekonomi bebas yang sedang berjalan dimasyarakat, karena
apabila prasarana dan sarana tersebut tidak memadai maka akan
terhambanya perkembangan ekonomi itu sendiri.
2. Fungsi Pajak Bagi kemakmuran Rakyat
Tidak dapat dipungkiri bahwa pajak merupakan penerimaan negara
yang tidak dapat dihentikan karena pajak selalu dapat memberikan
pertumbuhan perkonomian yang meningkat dikarenakan Keberhasilan
pelaksanaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit, kebutuhan
untuk pembangunan yang sifatnya proporsional akan disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung. Dari hasil
perokoniam yang meningkat maka negara dapat membangun berbagai
macam fasilitas yang berdaya guna bagi masyarakat seperti alokasi
anggaran pendidikan 20% dari APBN, Jamkesmas, PNPM, pembangunan
infrastruktur, pembangunan kawasan ekonomi khusus dan sebagainya,
yang semuanya merupakan wujud dari pelayanan pemerintahan kepada
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.10 Untuk dapat
melaksanakan berbagai kewajiban tersebut, negara membutuhkan sumber
penghasilan seperti penghasilan orang pribadi, penghasilan perusahaan
yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan
dari barang-barang milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang
karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain atau
organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan
penerimaan dari berbagai macam pajak, retribusi, bea dan cukai serta
bentuk-bentuk pungutan lainnya.
Pajak tidak mendapatkan imbalan langsung sebagai mana yang
diungkapkan diatas dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Walaupun tidak dapat dirasakan langsung
Intensifikasi padaKPP Solo , (Surakarta: Skripsi UMS, 2004). h.16
39
namun pajak seperti yang disebutkan dapat digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi jelas bahwa fungsi pajak selain untuk fungsi budgeter yaitu fungsi paja
k bertujuan untuk memasukan penerimaan uang untuk Kas Negara
sebanyak-banyaknya dalam mengisi RAPBN, sesuai dengan penerimaan
pajak yang telah ditetapkan.11 Sesuai dengan yang diungkapkan oleh
menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH : “Pajak adalah iuran kepada kas
negara berdasarkan Undang-undang (yang dapatdipaksakan) dengan tidak
mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12
Dari Jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 yang mencapai
257.912.349 jiwa merupakan suatu penduduk yang Tidak hanya besar,
namun penduduk Indonesia juga tergolong konsumtif atau gemar belanja.13
Ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh MasterCard pada tahun
2015 mencatat 55,5% penduduk Indonesia hobi menggunakan telepon
pintar (smartphones) untuk belanja online, jauh diatas Singapura dan
Jepang yang hanya 48,5% dan 31,3 %.14 Maka sebagai salah satu
pemasukan APBN yang dananya berasal dari penerimaan pajak maka
negara berkewajiban dalam mengonversikan pajak tersebut kedalam bentuk
fasilitas baik bagi penyelenggaraan negara maupun dalam pembangunan
nasional. Hal tersebut merupak wujud atas pengimplementasian tujuan
negara yang terdapat dalam preamblue Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
untuk melindungi segenap bangsa Indoensia, Memajukan Kesejateraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
11 Imam Wahyuni. Pajak, ( Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 1994). h. 7-8 12 Mardiasmo, Pajak Dan Perpajakan, (Yogyakarta : Andi, 2009). h. 1 13 Tribun Jateng. “Jumlah Penduduk Indonesia Lebih Dari 262 Juta Jiwa”,
http://jateng.tribunnews.com/2016/09/01/data-terkini-jumlah-penduduk-indonesia-2579-juta-yangwajib-ktp-1825-juta diakses tanggal 29 Juni 2019, pukul 14.04 WIB
14 Penduduk Indonesia Gemar Belanja
Online.com/read/detail/2278272/mastercardpenduduk-indonesia-gemar-belanjaonline diakses tanggal 29 Juni 2019, pukul 14.04 WIB
40
ketertiban berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.15 Pajak untuk kesejahteraan masih menjadi prioritas utama oleh
karenanya setiap orang yang membayar pajak dapat merasakan fasilitas
akan hasil timbal balik yang dihasilkan atas pajak yang diberikan kepada
negara.
D. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia.
1. E-commecer Dalam Perspektif Hukum Perdata
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum
perjanjian di Indonesia adalah bidang perdagangan, Dalam hubuangannya
tentang suatu perdagangan dalam kitab Undnag-Undang hukum perdata
mengenal adanya asas-asas hukum perjanjian. Ini di jelaskan dalam Buku
III KUH Perdata mengenal tiga asas pokok dalam membuat dan
melaksanakan suatu perjanjian. Ketiga asas tersebut adalah: a) Asas
kebebasan berkontrak atau sistem terbuka, b) Asas konsensualisme, c)
Asas iktikad baik.
Dalam asas kebebasan berkontrak (freedom of contract )
Artinya para pihak bebas membuat suatu perjanjian dan mengatur sendiri
isi perjanjian itu, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a),
memenuhi syarat sebagai perjanjian. b), tidak dilarang oleh undang-
undang; c), sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; d), sepanjang perjanjian
tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas kebebasan berkontrak ini
merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum
perjanjian.16
Asas kebebasan berkontrak inilah yang menjadikan para pihak
dapat mengatur dan membuat kontraknya sendiri, dalam hubunganya
dengan transaksi E-commerce para pelaku baik penjjal maupun pembeli
15 Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945 16 Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001), h. 30
41
akan melakukan kesepatan tanpa adanya pertemuan langsunng atau tatap
muka secara langsung, yang kemudian perjanjian tersebut dituangkan
dalam sebuah kontrak elektronik yang mengikat bagi kedua belah pihak,
sehingga secara otomatis bentuk kontrak tersebut telah sah dan dapat
diberlakukan. 17
Kalau diperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata, yang membahas
mengenai sah atau tidak sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri/adanya kesepakatan para pihak
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c) Suatu hal tertentu/adanya obj ek tertentu.
d) Suatu sebab yang halal.18
Dua syarat yang pertama adalah syarat subjektif karena
merupakan syarat mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan kedua syarat yang terakhir adalah syarat objektif karena
merupakan syarat mengenai objek perjanjian. Jika syarat subjektif tidak
terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak
atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak tidak ada yang
keberatan, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Jika syarat obyektif
tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak
semula dianggap tidak pernah diadakan perjanjian. Maka dalam perjanjian
yang dilakukan oleh kedua belah pihak tetap sah selam kedua belah pihak
saling menyadari perbuat hukum yang dilakukan.
Dalam kaitanya dengan tarnsaksi E-commerce, selama para pihak
yang saling bertaransaksi sesuai dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang
17 Margaretha Rosa Anjan dan Budi Santoso, Urgensi Rekonstruksi Hukum E-commerce
Di Indonesia, Jurnal Law Reform, Volume 14, Nomor 1, Tahun 2018. 18 Tim Visi Yustisia , Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan KUHA Perdata Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata ( Reglemen Op De Rechtsvordering), (Jakarta : Visimedia, 2015). h. 346
42
Hukum Perdata tentang sah atau tidaknya suatu perjanjian maka para pihak
dapat disebut juga telah melakukan suatu perjanjian yang sah dan dapat
dikategorikan dalam perdagangan atau transaksi jual beli hanya saja yang
membedakan adalah transaksi tersebut dilakukan melalui internet atau
Online, sehingga transaksi E-commerce dapat pula disebut sebagai suatu
upaya perdagangan yang dilakukan melalui internet.
2. E-commecer Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dewasa ini, teknologi informasi berkenaan dengan cyberspace
(dunia maya) telah digunakan di banyak sektor kehidupan. Menurut
Wiradipradja dan Budhijanto:19
“Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan di banyak
sector kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic
commerce/ecommerce) pendidikan (electronic education), kesehatan (tele-
medicine), telekarya, transportasi, industri, pariwisata, lingkungan sampai
ke sector hiburan, bahkan sekarang timbul pula untuk bidang pemerintahan
(egovernment).”
Maka dalam pemenuhan globalisasi zaman untuk pemenuhan
legalitas kegiatan perdagangan melalui internet dibentuklah Undang-
undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun
2008 yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE
berlaku bagi setiap orang yang melakukan perdagangan, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga jangkauan UU ini
tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga Internasional (Pasal 2 ITE).
Dengan munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting
yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik
19 E.S. Wiradipradja dan D. Budhijanto, Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber
Law, dalam Kantaatmadja, et al, Cyberlaw : Suatu Pengantar, ( Jakarta : Elips 11, 2002). h.88.
43
dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga
kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin, dan yang kedua
diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi)
disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap
transaksi elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan
ecommerce mempunyai basis legalnya.
Hukum pembuktian yang terdapat dalam UU ITE yang bersifat lex
Specialis bertujuan untuk mengatur ranah transaksi elektronik dalam aspek
pidana, perdata dan administrasi negara dan beberapa aspek lainya yang
berkenaan dengan perbuat hukum diranah cyber.
3. E-commecer Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undnag-Undang Perdagangan menerangkan
bahwa :
“Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi
Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah
negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk
memperoleh imbalan atau kompensasi.”
Dalam Undang-Undang Perdagangan tersebut menjelaskan bahwa
kegiatan yang terkait dengan transaksi barang atau jasa yang mendapatkan
imbalan atau konpensasi baik yang dilakukan dalam negeri maupun di luar
negeri sama-sama dapat dikategorikan dalam bantuk suatu perdagangan.
Maka keberadaan e-commerce tatanan baru dalam bertransaksi yang dapat
dilakukan lintas negara dapat pula dikenakan pajak karena sesuai dengan
kategorri perdagangan yang sah dan mempunyai legalitas yang jelas dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Payung hukum inilah yang memberikan kepastian Hukum baik bagi
pelaku usaha maupun pembeli bahwa transaksi yang dilakukan melaui E-
commerce yang dilakukan antar negara dapat dikualifikasikan dalam
44
bentuk perdagangan yang sah dan patut untuk tunduk terhadap payung
hukum yang diberlakukan dinegara Indoensia.
4. E-commecer Dalam Perspektif Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas
Transaksi E-commerce.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-
commerce sebagai kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara
atas Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap
transaksi e-commerce.20 Terbitnya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV
oleh pemerintah yang di antaranya memuat kebijakan pajak e-commerce,
membagi transaksi e-commerce ke dalam 4 model transaksi e-commerce,
yaitu Online Marketplace, Classified Ads, Daily Deals, dan Online Retail.
Dengan diaturnya perpajakan dalam transkasi E-commerce telah
menandakan bahwa kegiatan jual beli yang dilakukan dalam jaringan atau
internet mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum pajak sebagai
salah satu subjek dari perpajakan itu sendiri yakni, pajak penghasilan atas
kegiatan ekonomis yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam
marketplace tersebut. Hubungan perpajakan pelaku usaha E-commerce
antar negara pula dapat dilihat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pasal 2 Ayat (4) yang memberikan legalitas kepada para subjek pajak luar
Negeri untuk turut serta dalam pembayaran pajak atas hasil yang
didapatkan melalui kegiatan jual beli yang dilakukan di Indonesia. Hal ini
susuai dnegan keberlakukan asas-asas pungutan pajak yang diberikan
negara kepada pemerintah untuk melakukan penarikan pajak.
Menkominfo Rudiantara menargetkan, pada tahun 2020 transaksi
bisnis e-commerce bisa menembus nilai US$ 130 miliar. Sementara
menurut e-marketer, penjualan ritel e-commerce di Indonesia diperkirakan
20 Ririn PuspitaSari,Kebijakan perpajakan atas transaksi e-commerce,Samarinda
Kalimantan Timur, 2018 hlm.67
45
mencapai US$ 5,29 miliar pada tahun 2017 ini.21 Pertumbuhan tersebut
tidak lepas dari semakin banyaknya pemain asing yang ikut meramaikan
bisnis e-commerce di Indonesia sebab melihat trend perkembangan yang
positif dari tahun ke tahun.
Jumlah pembeli dan transaksi jual beli online yang terus meningkat
drastis dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa bisnis online akan terus
berkembang, dan diperkirakan trend positif tersebut akan terus berlanjut
setidaknya lima tahun ke depan. Data dan fakta tentang semakin
meningkatnya jumlah transaksi online membuat banyak pebisnis yang
mulai melirik dan bahkan beralih ke 14 bisnis online. Dari data yang dirilis
oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Indonesia
kini menjadi salah satu raksasa bisnis online atau e-commerce di wilayah
Asia Pasifik. Dalam lima tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2011, bisnis
online terus berkembang. Bahkan saat ini dirjen pajak telah memiliki 1000
data pelaku usaha e-commerce yang telah memiliki NPWP.
Penarikan pajak tersebut merupakan bentuk dari pada kesetaraan
pajak yang harus diberlakukan kepada setiap orang yang memiliki sumber
penghasilan baik dari wilayah negaranya sendiri maupun dari negara lain..
Seperti yang telah diatur sebelumnya oleh pemerintah dalam dalam surat
Direktur Jendral Pajak nomor S-702/PJ.332/2006, tentang legalitas tentang
Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce. Isi dari surat
tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan
antara transasksi e-commerce dan transaksi perdagangan barang dan/atau
jasa lainnya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka tidak ada alasan
apapun bagi para pelaku e-commerce untuk menghindari kewajiban
perpajakannya.22
21 Skirpsi Anggia Yustika Sari, Analisis Terhadap Penerapan Pajak Atas Transaksi E-
commerce, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018, h. 15
22 Anita Aprilia, Endang Siti Astuti, dan Nila Firdausi Nuzula, Penanganan Dan
Pengawasan Perpajakan Dalam Rangka Intensifikasi Di Bidang E-commerce, Universitas Brawijaya, Malang, 2014
46
BAB IV
KEDUDUKAN PELAKU USAHA E-COMMERCE ANTAR NEGARA
DALAM HUKUM PERPAJAKAN INDONESIA YAKNI HUKUM PAJAK
PENGHASILAN
A. Pungutan pajak untuk Pelaku E-Commerce antar negara berdasakan
Hukum Islam.
Saah satu mua’malah dalam bidang ekonomi yakni transkasi jualbeli yang
dapat diakses menggunakan berbagai media elektronik telahmengubah pola
perjanjiannya, yang mana trankasaksi jual beli secara onlie sering disebut
sebagai E-commercce, dan E-Commerce tersebut terbagi atas dua segmen
yaitu business to business e-Commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan
business to consumer e-Commerce. (perdagangan antar pelaku usaha dengan
konsumen).
Orang yang melakukan jual beli, berkewajiban mengetauhi hal-hal
yang dapat mengakibatkan rusaknya atau sahnya suatu perjanjian jual beli
yang sedang dilakukanya, hal ini dimaksudkan agra muamalah yang terjadi
antara penjual dan pembeli mendapatkan hukum atau legalitas yang sah baik
secara hukum islam maupun secara hukum konvensional. Adapun keterkaitan
yang dapat kita lihat adalah terdapatnya bai assalam dalam hukum isaam
yang bisa kita sandingkan dengan Transaksi E-Commerce. Transaksi (akad)
merupakan unsur penting dalam suatu perikatan. Dalam Islam persoalan
transaksi sangat tegas dalam penerapannya, dan ini membuktikan bahwa
keberadaan transaksi tidak boleh dikesampingkan begitu saja dalam setiap
bidang kehidupan manusia (umat Islam), karena begitu pentingnya transaksi
dalam suatu perjanjian.1
Secara umum dapat diperhatikan bahwa perdagangan secraa islam
sangat mendetail menjelaskan tentang adanya transaksi yang bersifat fisik,
dengan menghadirkan benda secara langsung, atau tanpa menghadrikan benda
1 Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Shariah, dalam Mariam Darus Badrulzaman
dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 252
47
yang dipesan, namun ketentuan atau perjanjian yang dilakukan haruslah
bersifat konkret.baik diserahkan secara langsung atau ditangguhkan terlebih
dahulu hingga waktu tertentu. Seperti dalam transaksi al-salam dan transaksi
al-istisna’. Transaksi al-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem
pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan.
Sedang transaksi al-istisna‘ merupakan bentuk transaksi dengan sistem
pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan
dan penyerahan barang ditangguhkan.2
Transaksi al-salam disebut juga al-salaf seperti halnya model
transaksi jual beli lainnya, telah ada bahkan sebelum kedatangan Nabi
Muhammad SAW.3 Hal tersebut merupakan bentuk keringanan
bermua’malah untuk memberikan kemudahan kepada umat manusia dalam
bertransaksi jual beli, dalam transaksi al-salam terlihat terdapatnya asas gtong
royong dan tolong menolong dari kedua belah oihak baik penjual maupun
pembeli. Dalam transaksi as-salam yang disamakan dengan transaksi e-
commerce ini memberikan keuntungan pembeli dapat mebeli barang dengan
harga yang lebih murah, dan penjual mendapatkan keuntungan terlebih
dahulu dari kontrak yang dibuat. Dengan pembayaran itu berarti didapat
tambahan modal yang berguna untuk mengelola dan mengembangkan
usahanya. Transaksi al-salam dibolehkan berdasarkan al-Qur’an dan al-
Sunnah. Ibn ‘Abbas berkata: ”Saya bersaksi bahwa salaf yang dijamin untuk
waktu tertentu, telah dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan diijinkan-
Nya”. Kemudian dia membaca firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
ى سم( أیھا ٱلذین ءامنوا إذا تداینتم بدین إلى أجل م ی
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
2 Muhammad Taufiq Ramadhan Al-Buyu‘al-Shai‘ah, cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998),
h. 140 dan166. 3 S. M. Hasanuz Zaman, “Bay al-Salam: Principles and TheirPracticalApplications”,
dalam Sheikh Ghazali Sheikh Abod dkk (Ed.), An Introduction to Islamic Finance, (Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992), h. 225.
48
Dalam implementasi mua’malah yang dilakukan secara online atau e-
commercce hampir sama dengan al-salam yang mana dalam penyerahan
barangnya ditangguhkan dan dalam pembayarannya didahulukan. Untuk
karena itu e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan dengan
prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi al-salam. Yang mana
masing-masing pihak dapat mencermati pihak-pihak yang terlibat dalam
transaksi, proses pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek
transaksi.Hadis Nabi di antaranya adalah Nabi ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, “seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bajjar, Hakim
menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rail’) Maksud mabrur dalam hadis di atas
adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang
lain. Juga diterangkan dalam hadis lain:
و ا نما ا لبیع عن ترا ض ( روه ا لبیحقى وا بن ما جھ)
“Jual beli harus dipastikan harus saling meridhai”. (HR: Baihaqi dan Ibnu
Majjah).4
Hadis ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli harus dilakukan
dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi.
Segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli, harus terdapat persetujuan
dan kerelaan antara baik penjual maupun pembeli dan tidak boleh hanya
kerelaan satu pihak saja, dikarenakan transaksi jual beli harusdilakukan atas
kesepakatakn kedua belah pihak atass transaksi dari pembayaran hingga
perolehan barang yang akan didapatkan hingga selesai, sehingga kesepakatan
yang dibentuk harus sesuai dengan kesepakatan atau kerelaan kedua belah
pihak.
Ijma’; ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya,
Adapun struktur persetujuan penghindaran pajak berganda pada
umumnya menjelaskan tentang yang dibuat melalui OECD19 :
a) Subjek Pajak, Jenis Pajak, Istilah Umum, Penduduk
b) Jenis-jenis Penghasilan.
1) Laba Bentuk Usaha Tetap
2) Laba Harta Tidak Bergerak
3) Laba Usaha
4) Laba Usaha Perkapalan dan Penerbangan
5) Dividen
6) Bunga
7) Royalti
8) Harta Bergerak
9) Pendapatan Lain-lain
10) Kekayaan
c) Hal-hal yang terkait dengan pekerjaana.
1) Pekerjaan Bebas
2) Pegawai Swasta
3) Direktur
4) Artis dan Atlet
5) Pensiun
6) Pegawai Negeri
d) Hubungan Istimewa
e) Metode Penghindaran Pajaka.
1) Penghapusan Pajak
2) Pengkreditan Pajak
f) Pendidikan dan Pelatihana.
1) Guru / Peneliti
2) Mahasiswa atau Pelatihan Karyawan
g) Ketentuan Lain-laina
19 Syamsul Bahri, Pasal-Pasal Tax Traety Dan Penjelasnya . h. 73
67
1) Non Diskriminasi
2) Tatacara Persetujuan Bersama
3) Pertukaran Informasi
4) Perluasan Wilayah Ketentuan
5) Berlakunya Perjanjian
6) Berakhirnya Perjanjian
Secara garis besar sistematika P3B terdiri dari, (1) bagian
pendahuluan yang berisiruang lingkup P3B dan beberapa definisi, (2) bagian
tentang perpajakan atas jenis penghasilan dan metode penghindaran pajaknya
(3) bagian pengaturan khusus, dan (4) merupakan bagian ketentuan umum
keberakukan dan masa berkahirnya perjanjian tersebut.20
Ketentuan perjanjian pajak berganda tersebut mengharuskan adanya
bentuk usaha tetap dalam pemajakannya hal tersebut guna mmeberikan
kepasstian terhadap suatu negara atas sumber penghasilan yang dihasilakan
oleh wajib pajak luar negeri, jika terdapat BUT maka negara dapat
memberikan pajak atasnya yang atas regulasi yang berada dinegaranya atau
ketentuan yang termuat dalam P3B. Untuk active income biasanya negara
sumber akan memajaki penghasilan dari cabang perusahaan yang berbentuk
BUT dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil dari negara sumber
tersebut.21 Adapun ekspor serta import yang dilakukan tanpa BUT seperti
transaksi pelaku usaha dalam e-commerce maka negara sumber saat ini tidak
dapat melakukan pemotongan pajak atas penghasilan yang bersumber dari
negaranya yang telah dihaasilkan oleh wajib pajak luar negeri.
Pasal 26 merupakan pengenaan pajak untuk jenis-jenis penghasilan
tertentu yang dibayarkan dari sumber di Indonesia kepada wajib pajak luar
negeri, meliputi dividen, bunga termasuk premium dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa, dan penghasilan lainnya,
20 Gunawan Pribadi, Rekonstruksi Kebijakan P3B Indonesia, Pusat Kebijakan Pendapatan
Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. 21 Nur Diana, Perpajakan Internasional, Jurusan Akutansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Malang, 2016. H. 3
68
sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran
berkala.
Pemotongan PPh Pasal 26 jika ada pembayaran oleh wajib pajak
dalam negeri kepada wajib pajak luar negeri adalah 20%. Dalam praktek ini
dapat menjadi kekeliruan jika tidak meneliti lebih dahulu status wajib pajak
luar negeri yang menerima potongan 20% ini. Pemotongan pajak sebesar
20% ini benar adanya jika wajib pajak luar negeri tersebut berdomisili di
negara-negara yang tidak mempunyai tax treaty dengan Indonesia. Namun
apabila yang menerima pembayaran tadi adalah wajib pajak yang berdomisili
di negara yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia, maka ketentuan di
dalam tax treaty yang berkaitan dengan jenis penghasilan tersebut harus
menjadi rujukan. Suatu treaty pada dasarnya adalah mencegah terjadinya
legal double taxation, yang ditempuh dengan membagi hak pemajakan antara
negara domisili dan sumber. Dalam hubungannya dengan penerapan Pasal 26,
treaty sudah mengelompokannya sesuai dengan masing-masing jenis
penghasilan. Pembagian hak pemajakannya diatur pada pasal di dalam treaty
sesuai dengan jenisnya.
3. Kedudukan P3B
Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) setalh disahakan akan
memiliki kedudukan yang sama dengan peraturan undang-undang yang ada
dinegara tersebut. Perjanjian yang telah sah dapat dijalankan oleh antar negara
terhadap negaranya masing-masing dan dapat diperkuat oleh negaranya, yang
mana dalam hal ini DPR atau presiden dapat menguatkannya melalui ratifikasi
dengan beberapa cara, yaitu:
a) Ratifikasi semata-mata untuk badan eksekutif,
b) Ratifikasi semata-mata untuk badan legislatif, dan
c) Ratifikasi campuran eksekutif dan legislatif.
Ratifikasi yang lazim untuk saat ini adalah ratifikasi yang dilakukan
bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif yakni DPR serta presiden itu
69
sendiri. Perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty) pun telah diatur
dalam Pasal 32 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan berbunyi “pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakkan pajak”.
Dalam penjelasan Pasal 32 A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa “Dalam rangka
peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain
diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex spesialis) yang
mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan
kepastian hukum dan menghindarkan pemajakan berganda serta mencegah
pengelakkan pajak. Maka kedudukan tax treaty dalam pelaksanaannya lebih
diutamakan dari undang-undang PPh, oleh karena itu sepanjang diatur dalam
tax treaty, maka pemajakan atas penduduk asing atau badan asing mengikuti
ketentuan yang diatur dalam tax treaty.
4. Dampak adanya perjanjian pajak berganda.
a) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi Penanam modal
asing
Terdapat beberapa macam serta bentuk pemajakan yang dapat
dipungut oleh negara secara bersamaan, yaitu mellaui adanya asas sumber
dan asas domisili. Hal ini disebabkan karena setiap negara menerapkan
asas hukum pajak yang sama dan sekaligus sehingga menimbulkan
bentrok antar hukum pajak diberbagai negara. kalau di tinjau secara
hukum pajak, adanya persamaan asas hukum pajak diberbagai negara
menimbulkan tekanan yang berat, yang dapat mempengaruhi keinginan
para investor untuk memperlebar sayap usahanya hingga ke berbagai
negara karena berakibat pada pemajakan berganda.
70
Hal di atas dapat mempengaruhi pergolakan pasa modal disuatu
negara lainya, Indonesia sebagai negara yang cukup terbilang diminati
oleh para penanam modal luar sangat memahami dengann benar keadaan
tersebut, belum lagi jika di ingat bahwa Indoensia adalah negara yang
sedang berkembang dan sedang mengalami pembangunan secara besar-
besaran, tentu hal tersebut sangat membutuhkan penanam modal asing dari
luar negeri, tenag ahli, teknologi sehinggaa tanpa ketergantungan oleh
negara lain, dengan demikian untuk mengatasi hal tersebut tentu Indonesia
telah mengatur secara unilateral telah memberikan setimulus bagi para
penanam modal asing dengan memberikan pembebasan pajak atau
keringan pajak yang sangat menguntungkan guna menarik penanam modal
asing ke Indonesia.
Pergerakan penanaman modal dewasa ini dilakukan dengan
pergerakan satu arah (one way traffic) yaitu dari negara yang sudah maju
berinvestasi ke negara-negara yang sedang berkembang, sehingga jika
ditimbang, maka perjanjian pencegahan pajak berganda lebih memberikan
manfaat kepada penanam modal asing yang bertempat tinggal di luar
negeri dari pada penanam modal yang bertempat tinggal di Indonesia,
karena hampir tidak ada penanam modal di Indonesia yang menanam
modalnya di luar negeri.
b) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi Kepastian sikap
Indonesia.
Bila dilihat dari segi hubungan internasional atau dalam hubunngan
negara dengan negara-negara lain mengingikan Indonesia mengikuti
berbagai perjanjian perpajakan baik dalam konteks perdagangan
inetrnasional, karena melalui perjanjian yang sudah diatur dalam
perjanjian pajak internasional, negara dunuai sudah sangat mengenal
Indonesia, dengan melakukan perjanjian pajak internasional dengan satu
negara, dapat dipastikan bahwa negara-negara lain pun akan mengikuti
langkah yang dilakukan oleh negara lainya, karena perlu di ingat bahwa
negara Indoensia dengan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah
71
penduduk yang banyak, tentu akan memberikan keuntungan bagi para
penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam perjanjian pajak berganda internasional untuk menghindari
dari politisasi neger-negara internasioanl yang dapat menghambat hukun
nasional harus dapat dihindarkan, seperti masalah teritorial dan masalah
nusantara (archipelago)22, dengan adanya perjanjian pencegahan pajak
berganda inetrnasional, maka segala bentuk kekosongan hukum yang yang
tidak diatur secara unilateral dalam perundang-undangan pajak Indoensia,
akan mengalami kepastian hukum baru yang diperoleh melalui perjanjian
tersebut, seperti permanen establishment, pemecahan laba, pemajakan
business profit, pemajakan hasil dari lalu lintas internasional dan
sebagainya, Dengan demikian maka hukum pajak internasional di
Indonesia mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan dan perkembangan
yang sebelumnya merupakan hal yang statis.23
c) Dampak adanya perjanjian pajak berganda bagi pelaku Pengelak
Pajak
Berhubungan dengan hal ini soal yang perlu diperhatikan oleh
negara-negara yang sedang berkembang ialah mengalirnya modal ke luar
negeri. Lazimnya di negara-negara yang sedang berkembang terdapat
pengawasan atas lalu lintas devisa ke luar negeri dan dari luar negeri. Hal
tersebut haruslah dijaga dengan ketat supaya modal nasional yang ada di
dalam negeri tidak mengalir ke luar negeri. Sebaliknya pemasukan modal
asing ke dalam negeri untuk keperluan penanaman dapat mempertinggi
kemakmuran, dan harus benar-benar diawasi supaya modal itu digunakan
untuk maksud yang produktif dan membantu pembangunan negara yang
sedang berkembang. Modal yang telah ditanam supaya tidak
22 Archipelago adalah kesatuan antara lautan dan daratan serta udara yang ada di atasnya, dimana ratio laut adalah lebih besar dari ratio darat, dengan demikian archipelago merupakan bentuk negara kepulauan. Dalam karya Johanis Leatemia, Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan ( Sleman : CV Budi Utama, 2019). h. 5
23Dewi Anggraeni Putri, Aspek Hukum Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda Internasional , Jurnal Ilmu Hukum, 2014.
72
direpatriasikan dalam waktu yang singkat tetapi diusahakan dalam waktu
yang cukup lama, dan juga harus diawasi bahwa transfer keuntungan yang
diperoleh dilakukan secara wajar dan tidak berlebih-lebihan.24
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan hasil sumber daya
yang harus ditanggung oleh pengusaha dan masyarakat. Pajak berganda
sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua
Negara) memberikan beban terhadap pengusaha sebagai wajib pajak.
Sementara, pergerakan usaha ke mancan negara sudah berdampak resiko
tersendiri dibanding dengan usaha yang dilakukan di dalam negeri,
pemajakan ganda telah memperbesar resiko tersebut. Oleh karena itu,
merupakan kebutuhan Internasional antar negara untuk mengupayakan
agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi
Internasional.
Tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B)
dapat mempermudah dan mendorong investasi asing di Indonesia dengan
menghilangkan perpajakan berganda (double taxation) dan membagi hak
pemajakan untuk jenis penghasilan tertentu antara dua negara. Namun tax
treaty juga memberi kesempatan bagi investor untuk menggunakan
holding company (perusahaan induk biasa dipakai perusahaan
multinasional dalam berinvestasi untuk memegang saham anak
perusahaan) di negara mitra P3B untuk berinvestasi di Indonesia dan
memperoleh keuntungan pajak. Hal ini merupakan langkah untuk tidak
memberikan beban pajak yang berat kepada para wajib pajak dan
menghindari adaya pengelakan serta penghindaran pajak yang dilakukan
oleh para pengusaha yang merasa terbebani.
D. Bentuk Usaha Tetap Sebagai Syarat Dalam Pungutan Pajak Untuk
Pelaku E-Commerce Antar Negara.
Seiring dengan perkembangan di bidang transaksi Internasional yang
meliputi perdagangan, jasa, dan modal, maka pajak menjadi masalah baru
24 Rochmat Soemitro, Hukum Pajak Internasional Indonesia : Perkembangan dan
Pengaruhnya, Cet. 2, (Bandung : Eresco, 1986). h. 343-348
73
untuk mengatasi ketiadaan reguasi mengenai negara mana yang berhak
memberikan pajak atas penghasilan yang timbul dari transaksi internasional,
transfer pricing, penyelundupan dan penggelapan pajak, dan lain-lain. Untuk
mencegah masalah perpajakan yang timbul dari transaksi internasional itu
diperlukan kerjasama di antara negara-negara dan salah satu bentuk kerjasama
tersebut adalah perjanjian bilateral di bidang perpajakan, yang dikenal dengan
BUT sebagai subjek pajak luar negeri, kemudian Undang-undang No. 7 Tahun
1983 dalam pasal 2 ayat 3 (c) menempatkan BUT sebagai subjek pajak dalam
negeri, di dalamnya menyebutkan yang menjadi subjek pajak dalam negeri
adalah sebagai berikut
“Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang dipergunakan untuk
menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau
perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor
perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek kontruksi,
74
pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian
jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai, atau oleh orang lain atau badan yang
berkedudukan tidak bebas yang bertindak atas nama badan tau perusahaan
yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia dan perusahaan
asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia”.
Electronic commerce (e-commerce) yang merupakan salah satu dari
bentuk kemajuan teknologi tersebut, tentu akan mempengaruhi sistem
perdagangan yang ada selama ini. Walaupun kemunculan e-commerce masih
baru, namun potensi yang dijanjikan dalam perdagangan e-commerce ini
cukup menjanjikan. Salah satu penelitian (Forrester Research) memprediksi
bahwa total pembelanjaan dalam e-commerce yang dalam tahun 1996 kurang
dari 500 juta US dolar akan meningkat menjadi 6,5 milyar US Dolar dalam
tahun 2000. Koran Media Indonesia edisi 9 Agustus 2001 melaporkan tentang
hasil penelitian Gartner Dataquest yang memprediksikan pada tahun 2003
jumlah pelanggan internet (yang merupakan pangsa pasar e-commerce) di
wilayah Asia Pasifik akan berjumlah sebesar 183,3 juta, Amerika sebesar
162,8 juta dan 162,2 juta di Eropa Barat. Apabila angka-angka tersebut
dibandingkan dengan saat awal-awal digunakannya internet pada tahun 1988
sampai dengan tahun 1994 yang tumbuh dari nol sampai 3 juta pemakai
internet, maka prediksi jumlah pemakai internet pada tahun 2003 tersebut
sangat fantastik.25
Dengan munculnya dan makin berkembangnya transaksi e-commerce
tersebut, menimbulkan permasalah sebagai berikut: bagaimanakah
administrasi pajak mengantisipasi cara pemajakan (tax treatment) atas
penghasilan dari transaksi e-commerce yang tidak mengenal batas geografis
tersebut? dan apakah ketentuan perpajakan yang ada sekarang ini telah
memadai atau belum cukup memadai untuk mengantisipasi penghasilan dari
transaksi e-commerce?
25 Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, Aspek Hukum Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap
Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Bina Nusantara
75
Iwan Juniardi, Staf Ditjen Departemen Keuangan, mengatakan bahwa
kesulitan penerapan PPh dan PPN bagi bisnis sistem informasi ini dikarenakan
Ditjen Pajak tidak mempunyai akses terhadap data transaksi. Kesulitan ini
semakin meningkat bila dikaitkan dengan transaksi software yang memberi
kemudahan bagi pembeli untuk men-download software langsung dari Internet
dan penentuan suatu web server sebagai bentuk usaha tetap (BUT) atau tidak
juga menimbulkan masalah mengingat batasan yang terjadi belum jelas.
Namun bila web server hanya dapat dugunakan untuk menampilkan iklan
atau informasi lain sehubungan dengan produk yang diperdagangkan maka
tidak akan menimbulkan suatu BUT seperti halnya model e-commerce Clasfi
Ads.
Namun, bila web server tersebut dapat menjalankan fungsi penerimaan
pesanan dan pembayaran serta pengiriman produk digital atau jasa, termasuk
bila konsumen membeli dan sekaligus men-download software maka web
server tersebut merupakan BUT. Sikap Ditjen Pajak menyikapi permasalahan
di atas dengan melakukan analisa yang terus-menerus terhadap e-commerce
yang melibatkan sejumlah pihak terkait sehingga pelaksanaan peraturan
perpajakan berjalan efektif. Peraturan yang akan ditetapkan nanti sebaiknya
merupakan kesepakatan internasional. Karena pengenaan pajak atas pelaku
usaha e-commerce dapat dilakukan secara lintas negara, maka demi
kenyamanan bersama antar negara diperlukanya regulasi Internasional yang
dapat menguntungkan semua pihak negara. Terdapat Lima prinsip perpajakan
e-commerce yang dijadikan pedoman dalam meregulasi transaksi e-commerce
yang dikutip dari OECD dalam laporan yang dibuat oleh Committee of Fiscal
Affairs meliputi26:
1. Kenetralan, ketentuan pajak harus bersifat netral untuk seluruh bentuk
perdagangan, baik elektronik maupun tradisional
26 Diah Vitaloka Adam Dan Intan Puspita Astin, Kebijakan Pengenaan Pajak Atas
Transaksi Perdagangan Online (E-Commerce), Studi Akuntansi Stembi Bandung Business School, Frima, 2019
76
2. Efisiensi, adanya biaya seperti biaya kepatuhan untuk wajib pajak dan
biaya administrasi untuk Direktorat Jenderal Pajak harus benar-benar
diminimalkan
3. Kepastian dan Kesederhanaan, peraturan perpajakan harus jelas dan
mudah di mengerti sehingga wajib pajak mengetahui pengenaan pajak
ketika transaksi di lakukan
4. Efektifitas dan Keadilan, perhitungan pajak harus benar-benar tepat pada
saat yang tepat
5. Fleksibel, sistem perpajakan harus fleksibel dan dinamis untuk
memastikan bahwa sistem dapat mengikuti perkembangan teknologi dan
perdagangan.
Terkait Syarat yang telah ditetapkan oleh Negara-negara OECD yang
menyepakati untuk pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce
yang memiliki Bentuk Usaha Tetap menggunakan asas sumber, apabila tidak
memiliki BUT maka menggunakan asas domisili. Maka kesepakatan tersebut
menjadikan negara yang menjadi sumber penghasilan atas kegiatan usaha
yang dilakukan oleh pelaku usaha e-commerce antar negara tidak dapat
dipajaki karena kesepakatan sementara tersebut belum meregulasi dengan baik
keberadaan serta urgensitas kegiatan pelaku usaha yang dilakuakn secara
lintas negara.
E. Sistem Pungutan Pajak Untuk E-Commecer Antar Negara Di Negara-
Negara Yang Sudah Sukses Dalam Pengimplementasiannya.
1. Uni Eropa
Sejak tahun 2008 sampai 2016 pertumbuhan pendapatan yang
dimiliki e-commerce memberikan pertumbuhan mencapai 32 persen, hal
tersebut berbading terbalik dengan penjual konvensional yang hanya naik
satu persen. Setelah melihat perkembangan pesat perdaganagn melalui e-
commerce , Uni Eropa menganggap perlu adanya pemajakan yang sesuai
dengan perkembangan zaman, dikarenakan asosiasi pelaku bisnis di Uni
Eropa memberikan data bahwa pada tahun 2016 perdagangan online
mencapai 350 miliar euro.
77
Pada 2015, Uni Eropa memperkenalkan skema khusus
bernama mini one stop shop (MOSS). MOSS difungsikan untuk
mempermudah perusahaan dalam mengelola penarikan pajak dari
konsumen. MOSS merupakan layanan online yang memberikan jasa
platform bagi perusahaaan untuk mematuhi regulasi perpajakan baik
pertambahan nilai mupun pajak penghasilan dinegara tempat
diperdagangakan dalam arti di negara sumber atau konsumen berada.27
Uni eropa membuat 2 Skema, pertama, regulai pajak pertambahan
niai yang mengatur bahwa pajak baru bisa dikenakan apabila niali
transaksi sesuai dengan ambang batas yang telah ditentukan dinegara
tempat konsumen berada, perdaganagn ini dilakukan melalui perdagangan
dengan sistem business to cosetemer yang memperdagangkan barang
berwujud. Begitupun ketikan perusahaan tersebut ternyata tidak berada di
Uni Eropa maka apabila nilai barang sesuai ambang batas maka negara
konsumen berhak menarik pajak pertmabhaan nilai sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. kedua, perusahaan yang terintegrasi dengan
sistem pajak pertambahan niai Uni Eropa wajib meminjamkan dana
sebesar 8 euro kemasing-masinng negara tempat mereka menjual barang.
Skema yang kedua ini diterapkan untuk barang tidak berwujud seperti
game, penyedia layanan musik, film dan software. Ketika suatu
perusahaan berasal atau tidak berasal dari negaranya dan berada atau
tidak berada dinegaranya maka hukum yang berlaku adaah hukum pajak
pertambahan nilai yang ada di negara konsumen.28
2. Australia
Australia merupakan salah satu negara yang terbilang cukup baik
dalam bidang perpajakn dalam sistem transaksi jual-beli online. Pada
27 The European mini one-stop shop: A model for future indirect tax compliance?,
https://www.thetaxadviser.com/issues/2017/jun/european-mini-one-stop-shop-indirect-tax-compliance.html, ( Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 17. 35)
28 European Commission Directorate-General Taxation And Customs Union Indirect
Taxation And Tax Administration, Guide To The Vat Mini One Stop Shop, Brussels, 23 October 2013
78
tahun 2017 Menunjukan nilai total perdagangan online yang berada di
Autralia mencapai USD 22,3 miliar, dalam konteks internasional Autralia
termasuk dalam 10 negara besar dengan nilai perdagangan online yang
tinggi. Pun data tersebut semakin diperkuat dengandata yang dipaparkan
oleh ecommerce foundation, setidaknya 65 persen warga Australia gemar
dalam berbelanja online.29
Atas kemajuan perdagangan onlien tahun 2017 parlemen Australia
mengesahkan perluasan penerapan pajak barang dan jasa ke sektor jual-
beli online barang dan jasa impor bernilai rendah. Dalam aturan tersebut
ditetapkan ambang batas bawah nilai transaksi jual beli online yang akan
dikenai pajak, yakni sebesar AUD 10 ribu. Artinya, semua transaksi e-
commerce yang bernilai di atas AUD 10 ribu akan dikenai pajak barang
dan jasa sebesar 10 persen dari total nilai transaksi.
Pemerintah Australia juga mewajibkan kepada perusahaan
perdagangan online dengan nilai pendapatan mencapai AUD 75 ribu per
tahun untuk melakukan registrasi ke kantor pajak Australia dan dapat
menarik pajak kepada para konsumen sesuai dengan pemajakan Australia.
Pemerintah Australia pula memberikan himbauan kepada para perusahaan
online yang berjualn mencapai negaranya untuk menjual produknya
dengan menyertakan keterangan harga yang telah disesuaikan dengan
pajak barang dan jasa, seperti yang dilakukan oleh perusahan online
domestik yang ada dinegaranya, serta berkewajiban membayar pajak ke
kantor pajak Autralia.
3. Korea Selatam
Trankasi jula-beli secara online sedang bertumbuh pesat di negara
Korea selatan pada tahun 2016, dirilis melalui global conncted commerce
report 2016 yang ditulis oleh Neilsen, yang memberikan laporan bahwa
penduduk Korea selatan memiliki kegemaran untuk belanja onlie mulai
dari pakaian mencapai 77%, perlengkapan rumah 52%, makanan kemasan
29 Australia B2C Ecommerce Country Report 2016, https://www.ecommercewiki.org/reports/45/australia-b2c-ecommerce-country-report-2016 (Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 17. 35)
79
51%, alat Make up dan perwatan tubuh 65%, dan sayur mayur mencapai
37%.30 Dari laporan tercatat nilai transaksi perdaganagn online yang
dilakukan di Korea selatan mencapai USD 46,5 Miliar, dan sejak saat
itulah pemerintah korea selatan memperluas cakupan pajak dan
meregulasi dan memasukan perdagangan online sebagai salah satu objek
pajaknya.
Dalam regulasinya Korea Selatan mengharuskan kepada setiap
perusahan baik yang terdapat dinegaranya ataupun tidak berada di
negaranya untuk meregistrasi perusahaanya agar dapat dikenakan pajak
pertambahan nilai, namun berbeda halnya dengan Australia, Korea
Selatan tidak memebrikan ambang batass kepada setiap perusahan agar
dapat meakukan registrasi dan akan dikenakan regulasi pajak
pertambahan nilai sebesar 10 persen, Hal ini juga berlaku apabila barang
yang dijual tidak memiliki wujud fisik. Pajak tersebut harus dibayarkan
setiap tiga bulan ke Woori Bank, bank yang melayani perpajakan Korea
Selatan. Pajak yang dibayarkan juga harus menggunakan mata uang Won.
Sehingga pemajakan yang dilakukan dinegara korea selatan tidak dengan
mudah dilepaskan karena pengaturannya yang ketat
4. Jepang
Sejak tahun 2002 pemerintahaan Jepang membentuk tim dengan
nama Professional Team for e-Commerce Taxation (Protect) sebuah unit
khusu di National Tax Agency yang bertugas medeteksi transaksi e-
commerce , hal tersebut merupakan keseriusan pemerinntahan jepang saat
ini, dikeranakan peredaran transaksi e-commerce di Jepang mencapai
sekita 20 ribu triliun rupiah. 31 pemerintah jepang pula telah berniat
unntuk meningkatkan potensi pajak dalam bidang e-commerce yang
30 Ragam Regulasi Pajak E-commerce di Dunia,
https://kumparan.com/@kumparanbisnis/ragam-regulasi-pajak-e-commerce-di-dunia, (Diakses Tanggal 29 Juni 2019, Pukul 18. 57)