PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kebahagiaan) LAPORAN PENELITIAN Disusun oleh: Dr. Muskinul Fuad, M.Ag NIP. 197412262000031001 LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO 2016 1
95
Embed
PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir …repository.iainpurwokerto.ac.id/1395/1/Dr. Muskinul Fuad, M.Ag... · pendahuluan dilakukan pada 2006 survei pertama kali dan untu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PSIKOLOGI KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik atas Ayat-ayat al-Qur’an tentang Kebahagiaan)
LAPORAN PENELITIAN
Disusun oleh:
Dr. Muskinul Fuad, M.Ag NIP. 197412262000031001
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2016
1
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian :Psikologi Kebahagiaan Dalam Al-Qur’an
(Tafsir Tematik Atas Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang
Kebahagiaan)
Jenis Penelitian : Individual
Bidang Ilmu : Bimbingan dan Konseling Islam
Nama Peneliti : Dr. Muskinul Fuad, M. Ag
Jangka Waktu Penelitian : 4 Bulan
Sumber Dana : DIPA IAIN Purwokerto Tahun 2016
Purwokerto, 1 September 2016 Peneliti
Dr. Muskinul Fuad, M. Ag NIP. 197412262000031001
Mengetahui: Drs. Amat Nuri, M. Pd.I NIP. 196307071992031007
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala limpahan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan bentuk upaya pencarian penulis atas wacana Psikologi Islami
yang berlandaskan nilai-nilai al-Qur’an. Hal ini merupakan bentuk konsen peneliti atas
agenda Islamisasi Psikologi dan Bimbingan Konseling yang semakin menggelinding di
Indonesia.
Akhir kata, penelitian ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan, sehingga
penulis berdo’a semoga ada orang lain yang akan memperbaikinya. Semoga karya ilmiah
yang sederhana ini dapat menjadi amal ibadah bagi penulis dan bagi semua orang yang
telah ikut terlibat di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Purwokerto, 1 September 2016
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….ii KATA PENGANTAR………………………………………………………………….iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………iv BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..5
A. Latar Belakang …………………………………………………………5 B. Rumusan Masalah………………………………………………………10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………11 D. Metode Penelitian………………………………………………………12
BAB II. MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN…………………………14
A. Makna Kebahagiaan……………………………………………………..14 B. Berbagai Pendekatan dalam Kajian Kebahagiaan……………………….23
BAB III. MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN………………………32
A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………………………32 B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………………..34 C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………….60
BAB IV. RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN…………………………….67
A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an………………………………….67 B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan dalam al-Qur’an……………..70 C. Sebua Perbandingan……………………………………………………..86
BAB V. PENUTUP…………………………………………………………………..89
A. Kesimpulan………………………………………………………………90 B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini telah terjadi perubahan paradigma dalam menilai keberhasilan
pembangunan sebuah negara. Apabila selama ini para pakar pembangunan hanya
mengacu pada model Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto
(PDB), maka sekarang mereka mulai melirik kepada model Gross National
Happiness (GNH) sebagai acuan keberhasilan pembangunan. Model GNP (PDB)
lebih mengukur kemajuan dan sukses pembangunan secara kuantitatif berdasarkan
rata-rata nilai pendapatan per kapita keluarga (rumah tangga) di suatu negara,
sementara model GNH tidak saja mengukur kesuksesan pembangunan secara
materi atau ukuran finansial seperti pendapatan, tetapi mengukur pula efek
psikologis dari pembangunan. 1
Model yang kedua (GNH) pertama kali dicetuskan di Bhutan. Bhutan
merupakan sebuah negara kecil di Asia Selatan yang dikenal pula dengan Druk Yul
(Negeri Naga Guntur). Awalnya, pada tahun 1970-an Raja ke IV Bhutan, Jigme
Singye Wangchuck, memiliki ide untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsanya.
Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi
pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan
2 Joko Tri Haryanto (2015). Paradigma Baru Pembangunan Nasional, dalam http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-pembangunan-nasional
5 Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014
7
yang normal atau biasa terjadi. Gejala ini disebut dengan Dysthymia, yang berarti
sebuah perasaan sedih yang kronis dan hilangnya energi kehidupan di tengah-
tengah kehidupan sukses dan tampak bahagia. 6
Gejala lain yang dapat ditangkap dari kehidupan modern adalah apa yang
disebut oleh para psikolog dengan istilah anxiety disorder. Seorang penderita
gejala ini biasanya memiliki ciri-ciri berikut ini: seringkali terganggu dengan detak
jantungnya, gampang terangsang dan tersiksa oeh gangguan yang kecil, memiliki
ketakutan tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, cemas dan putus asa secara terus-
menerus, merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga, sulit mengambil keputusan,
takut pada segala hal, merasa nervous dan tegang terus-menerus, tidak dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapinya, dan tertekan. Bersamaan dengan itu,
penderita gejala ini juga mengalami gangguan fisik seperti kesulitan kosentrasi,
keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak nafas, kepala pusing, dan
sebagainya.7
Menurut Bastaman, fenomena di atas merupakan sebuah gambaran yang
boleh jadi merepresentasikan sisi suram dari manusia yang hidup di abad ke-21
yang biasa disebut dengan Abad Kecemasan (The Age of Anxiety). Dikatakan
demikian, karena abad ini banyak ditandai oleh adanya krisis multi dimensi;
ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan, yang melanda dan menimbulkan
efek psikologis (kecemasan) pada seluruh masyarakat dunia. Semua krisis tersebut
sejatinya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jati diri
sebagai pribadi dan bangsa. Krisis identitas dan hilangnya jati diri dalam tatanan
6 Jalaluddin Rakhmat, (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hal. 25 7 Jalaluddin Rakhmat (1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan, Bandung:
Rosda, hal. 261
8
psikis berkaitan erat dengan tidak jelasnya nilai-nilai yang dapat dijadikan
pedoman hidup. Akibatnya, banyak manusia mengalami penderitaan, karena gagal
dalam menggapai kehidupan yang bemakna dan berbahagia.8
Dalam bahasa Sayyed Hossein Nasr, manusia modern dikatakan tengah
mengalami apa yang disebut dengan kehampaan spiritual, krisis makna, kehilangan
legitimasi hidup, dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya sendiri.
Krisis eksistensial ini bermula dari pemberontakan manusia modern terhadap
Tuhan. Mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan
sebagaimana dijanjikan oleh renaisans, abad pencerahan, sekulerisme, saintisme,
dan teknologisme.9 Dengan kata lain, manusia modern di abad ke-21 ini dapat
dikatakan telah kehilangan visi spiritualnya. Ia memerlukan insight baru agar dapat
menemukan kembali visi spiritualnya.
Psikologi kontemporer (Barat) dapat dikatakan telah “gagal” menjawab
persoalan manusia modern tersebut. Psikologi, dalam pandangan Seligman,
seorang mantan Ketua Asosiasi Psikologi Amerika (APA), pada dasarnya
merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segala sudut pandang.
Ironisnya, pada 60 tahun terakhir ini psikologi hanya berorientasi pada penyakit
jiwa seperti phobia, stress, trauma, skizofrenia dan masih banyak lagi penyakit
kejiwaan lainnya. Menurutnya, selama 60 tahun terakhir ini, kajian tentang
berbagai penyakit (gangguan) psikologis menyimpulkan bahwa ada 14 macam
penyakit yang berhasil diobati, tetapi tidak sembuh total, dan terdapat dua macam
penyakit lainnya dapat diobati secara total. Fakta ini kemudian menimbulkan
8 H.D.(Bastaman, 1995), Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 56 atau Bastaman, H.D (2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 48
9 Haidar Bagir, (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, hal. 75
9
pertanyaan: “bagaimana caranya membuat orang menjadi sehat tanpa terhindar dari
penyakit atau gangguan mental?”. Dari pertanyaan inilah kemudian istilah
Psikologi Positif (Psikologi Kebahagiaan) itu muncul. 10
Psikologi Islami, sebagai madzhab psikologi yang mendasarkan pada nilai-
nilai Islam dalam memandang persoalan manusia, memiliki misi yang besar dan
mulia dalam mengantarkan manusia agar dapat menemukan kembali visi
spiritualnya, yaitu menggapai kehidupan yang bermakna menuju kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.Visi inilah yang akan membuat manusia dapat
menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Hanya saja, saat ini
kajian psikologi Islami belum banyak yang mengarah kepada masalah kebahagiaan
manusia. Berangkat dari kebutuhan tersebut, melalui penelitian ini, penulis
memandang perlu untuk melakukan sebuah konseptualisasi Psikologi Kebahagiaan
dengan cara menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan tema kebahagiaan.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari setting masalah di atas, maka pertanyaan besar yang akan
coba dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep psikologi kebahagiaan
menurut Al-Qur’an. Untuk menjawab pertanyaan utama ini, penulis perlu
menjawab beberapa aspek turunannya, yaitu meliputi makna dan hakikat
kebahagiaan menurut al-Qur’an, dimensi dan tingkatan kebahagiaan menurut al-
Qur’an, dan cara memperoleh kebahagiaan menurut al-Qur’an.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
10 Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016
Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri, dalam setiap keadaan
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, dalam kebahagiaan dan
penderitaan. Ungkapan seperti “makna dalam derita” (meaning in sufferring) dan
“hikmah di balik musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam
penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Apabila hasrat ini
terpenuhi, maka seseorang akan mengalami atau merasakan kehidupan yang
berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya, jika hasrat ini tidak
terpenuhi, seseorang akan merasakan kehidupan yang tidak bermakna
(meaningles). Pengertian tentang makna hidup menunjukkan bahwa dalam hidup
terkandung pula tujuan hidup atau hal-hal yang perlu dicapai. Mengingat antara
makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka keduanya dapat
disamakan.21
Menurut Viktor Frankl, seorang pendiri Logoterapi, terdapat tiga bidang
kegiatan yang secara potensial dapat menjadi sumber makna hidup. Artinya
kegiatan itu mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang dapat
menemukan makna hidup di dalamnya. Ketiga hal tersebut adalah Creative Values
(nilai-nilai kreatif), Eksperiental Values (nilai-nilai penghayatan), dan Attitudinal
Values (nilai-nilai bersikap). Creative Values (nilai-nilai kreatif) meliputi kegiatan
berkarya seperti bekerja, menciptakan sesuatu, melaksanakan tugas, dan hal-hal
lain yang bermanfaat bagi umat manusia. Eksperiental Values (nilai-nilai
penghayatan) meliputi keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran,
kebajikan, keindahan, keimanan, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan
Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) meliputi sikap menerima terhadap sesuatu
(kejadian atau musibah) yang tidak dapat dielakkan lagi, dengan penuh ketabahan,
21 Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 92
19
kesabaran, dan keberanian. Kejadian itu bisa berupa sakit yang tidak kunjung
sembuh, kematian, dan sebagainya.
Terlepas dari definisi dan orientasi yang berbeda-beda di kalangan para
pemikir tersebut, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat tentang prinsip
kebahagiaan, yaitu:
1. Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan hidup setiap manusia di muka bumi
ini. Di tengah hiruk pikuk kegiatan manusia di dunia, ada “sesuatu” yang terus
di cari oleh manusia. Jika ia mendapatkan hal ini, maka ia akan seperti
mendapatkan seluruh isi dunia. Sebaliknya, jika manusia tidak memilikinya,
meskipun mungkin memiliki “segalanya”, maka ia seperti tidak memiliki apa-
apa. 22
2. Kebahagiaan adalah subyek primordial, bahkan perenial. Ia merupakan sifat
alamiah atau fitrah manusia. 23
3. Kebahagiaan lebih bersifat spiritual atau ruhaniah daripada material
(kebendaan). Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk spiritual, maka
segala tindakan dan aktifitas kehidupannya akan bermotivasikan atau berujung
pada hal-hal yang bersifat spiritual.24 Kebahagiaan merupakan pengalaman
eksistensial manusia.25
1. Kebahagiaan adalah keinginan manusia yang terakhir. Kebaikan (nilai)
lainnya dikejar demi meraih kebahagiaan.26 Kebahagiaan diraih tidak untuk
tujuan lainnya, kecuali kalau disebut istilah “ridlo Allah”.
22 Erbe Sentanu (2008), Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta : Elex Media Komputindo, hal. 23
23 Ibid 24 Priatno H. Martokoesoemo (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan, hal 36 25 Murtadha Muthahhari (2007). Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,
hal 102 26 Rakhmat (2008), Meraih……, hal.82
20
2. Kebahagiaan ada yang bersifat hakiki, ultimate, dan berjangka panjang (di
akhirat), serta ada pula yang bersifat praktis, periferal, dan berjangka
pendek (di dunia saja). Yang dicari manusia adalah kebahagiaan yang
hakiki, sejati, dan tak tergoyahkan. Yang dicari manusia bukan sekedar
kesenangan atau kenyamanan-kenyamanan hidup . 27
3. Kebahagiaan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai episode dan
sikap. Sebagai episode, kebahagiaan adalah kumpulan kejadian (keadaan)
yang memuaskan seseorang, sehingga ia ingin melanjutkan hidupnya.
Episode bahagia adalah kepuasan yang berasal dari apa dimiliki dan apa
yang dilakukan seseorang. Orang bahagia karena memiliki kendaraan,
rumah, uang (kekayaan material) atau hubungan baik, pengetahuan,
kehormatan (kekayaan non material). Orang juga akan merasa bahagia
karena bisa makan enak, menonton, berwisata (tindakan fisik) atau berpikir,
merenung, mengapresiasi keindahan alam (tindakan intelektual). Sebagai
sikap, kebahagiaan adalah makna rangkaian episode itu dari segi
keseluruhan hidup manusia. Jika kebahagiaan hanya dilihat dari beberapa
episode, tidak selalu tampak bahagia. Jika manusia dapat menilai seluruh
episode tersebut dari seluruh hidupnya dengan perasaan rela, maka ia akan
bahagia. 28
4. Kebahagiaan tidak mesti dicapai dengan menuruti segala keinginan yang
dimiliki manusia. Seseorang dapat saja berbahagia justru dengan
mengorbankan beberapa keinginan tertentu demi memilih keinginan yang
lain yang lebih penting. Misalnya, orang yang memiliki uang puluhan atau
ratusan juta akan berbahagia ketika ia mampu memilih untuk misalnya
Menurut al-Ghazali, manusia tidak diciptakan secara main-main atau sembarangan.
Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan
bagian dari Yang Kekal, manusia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan
membumi, ruhnya mulia dan bersifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, manusia dapat
menyucikan dirinya dari nafsu jasmani, mencapai tingkatan tertinggi, meraih sifat-
sifat malakut, dan tidak menjadi budak nafsu. Ia temukan surganya dalam
perenungan tentang keindahan abadi dan tidak lagi memperdulikan kenikmatan
badani. Kimia ruhani yang mampu menghasilkan perubahan seperti ini, layaknya
kimia yang mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Kitab ini
ditulis untuk menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya. Dalam
kitab ini al-Ghazali menawarkan beberapa cara untuk menggapai kebahagiaan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah berpaling dari
dunia untuk menghadap kepada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri atas empat
elemen, yaitu pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan
tentang dunia sebagaimana adanya, dan pengetahuan tentang akhirat sebagaimana
adanya.36
Kedua, Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir
Kebahagiaan (2010). Dalam kedua buku ini, penulis berusaha memotivasi para
36 Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, terj. Oleh: Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman, hal. 5
28
pembacanya untuk melihat kebahagiaan dalam berbagai perspektif, baik agama
(Islam), filsafat, maupun psikologis. Dalam karya yang pertama, penulis banyak
menyimpulkan pokok-pokok pemikiran Martin Seligman sebagai bapak Psikologi
Positif (Kebahagiaan). Dalam karya yang kedua, meskipun berjudul “tafsir”,
penulis tidak menyajikan secara lengkap dan komprehensif bagaimana al-Qur’an
memandang persoalan kebahagiaan. Ia hanya menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an)
mengajak umatnya untuk senantiasa memilih hidup berbahagia. Namun demikian,
kedua buku inilah yang telah menginspirasi penulis untuk melakukan kajian lebih
lanjut bagaimana sesungguhnya konsep psikologi kebahagiaan menurut al-
Qur’an.37
Ketiga, Anhar: Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran
Tasauf Hamka (2011). Dalam karya ini, Anhar banyak menyajikan pikiran Hamka
terkait dengan tema kebahagiaan secara sufistik. Ia menyimpulkan bahwa, menurut
Hamka, kebahagiaan sejati diperoleh dengan membersihkan, memurnikan, dan
mempertajam akal. Jika akal semakin sempurna, indah, dan murni, maka semakin
sempurna pula kebahagiaan yang diperoleh. Puncak tertinggi yang dialami akal
adalah ma’rifatullah (mengenal Allah), yaitu mengenal Allah dengan “sempurna”.
Capaian seperti ini adalah capaian paling indah dan paling berseri. Tahap puncak
inilah yang dimaksud Hamka sebagai kebahagiaan sejati.38
Keempat, Muhammad Thohir: Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar
Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan
Lebih Bahagia. Buku ini mengajak pembaca bukan saja untuk tahu dan memahami
cara meraih kebahagiaan hakiki melalui jiwa yang sehat, tetapi juga membahas
37 Lihat Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir Kebahagiaan (2010) 38 Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka, On Line
https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/, diakses 10 januari 2016
hubungan ilmu kedokteran, psikologi, dan Islam sebagai sumber dari berbagai
ilmu. Selain itu, penulis buku ini berusaha menuntun pembaca untuk menapaki
kehidupan yang indah, bersyukur, dan menyadari bahwa Allah telah mengajarkan
cara menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.39
Kelima, M. Sambas Wiradisuria: The Road to Happiness: Menggapai
Kebahagiaan. Buku ini berisi renungan pribadi penulisnya dalam menjalani
kehidupan dan menggapai kebahagiaan. Menurut penulis, cara menggapai
kebahagiaan adalah dengan membaca al-Qur’an sebaik-baiknya, meresapinya
dalam hati, mempelajari maknanya, melaksanakannya dalam kehidupan nyata, dan
menyampaikannya kepada orang lain. Pendekatan ini semacam ini agaknya
memang jarang dipraktekkan oleh umat Islam dewasa ini. Umat Islam masih
cenderung dibudayakan dengan menikmati lagu dan suara pembaca al-Qur’an,
bukan pada bagaimana memahami inti pesannya dan melaksanakannya dalam
kehidupan. Hal lain yang diprihatinan penulis dalam buku ini adalah kentalnya
orientasi ibadah pada ketentuan fiqhiyyah dan kurangnya penekanan pada rasa
cinta dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang menjadi konsen
penulis dalam mengantarkan para pembaca agar dapat menemukan kebahagiaan
hidup, yaitu denga cara mendalami ajaran Islam untuk muhasabah, mensyukuri
anugerah, dan meraih ridla-Nya, terutama pada bab sayap-sayap ma’rifatullah.40
Keenam, ‘Aidh al-Qarni: La Tahzan: Jangan Bersedih. Buku ini
merupakan buku motivasi terlaris di Timur Tengah. Dengan dilatarbelakangi oleh
hadirnya buku-buku ala Chicken Soup di dunia Barat yang sekuler, buku ini
membawa perspektif berbeda yang mengambil insiprasi sumber-sumber keislaman
39 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati, hal. 18-19
40 M. Sambas Wiradisuria (2011). The Road to Happiness: Menggapai Kebahagiaan. Depok: Khazanah Mimbar Plus. Hal. xxvii
30
dalam mengkaji masalah-masalah psikologis-aktual yang dihadapai manusia di
jaman modern ini dan menawarkan pendekatan psiko-spiritual dalam membantu
mereka menemukan kebahagiaan. Dengan bahasa yang mengalir dan lugas, penulis
buku ini seakan-akan keluar dari pakem buku-buku Arab-Klasik meskipun
membahas tema yang sama. Dengan mengutip syair- syair Arab dan kata-kata bijak
para ulama terkenal, buku ini menjadi oase baru dalam mewarnai tulisan-tulisan
yang bergenre self help islami.41
Dengan melihat berbagai karya di atas, penulis termotivasi untuk ikut
berpartisipasi dalam diskursus ini dengan melakukan kajian psikologi kebahagiaan
dalam perspektif al-Qur’an. Melalui upaya ilmiah ini penulis berharap dapat
mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji oleh para pengusung psikologi
positif (kebahagiaan), yaitu dalam dimensi normatif-religius, serta
mengembangkan lebih dalam dan komprehensif terhadap apa yang telah diinisiasi
oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Meraih Kebahagiaan” dan “Tafsir
Kebahagiaan”.
41Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press, hal vii.
31
BAB III MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN
A. Istilah Kebahagiaan dalam al-Qur’an
Di dalam Kamus al-Munawwir ditemukan beberapa istilah Bahasa Arab
terkait dengan tema kebahagiaan. Di antaranya adalah kata فرحا - فرح, yang berarti
bahagia, senang, gembira, riang, girang, dan suka cita; مبسوط , yang berarti bahagia
dan senang; سعد - یسعد , yang berarti bahagia atau beruntung; سعید , yang bahagia,
diberkati, atau beruntung; yang berarti , فالح ,yang berarti berbahagialah ,طوبى ل
sukses, kemakmuran, kemenangan, dan kejayaan; dan افلح , yang berarti sukses,
berhasil, atau beruntung.P41F
42
Di dalam al-Qur’an sendiri, istilah dan makna kebahagiaan di antaranya
dapat ditangkap dari berbagai bentuk kata (kalimat) berikut ini: 43
:yaitu terdapat dalam QS. as-Syams: 9, al-A’la ,(sungguh berbahagia) قد افلح .1
14, Thaha: 64, dan al-Mu’minun: 1.
-yaitu terdapat dalam QS. al ,(orang-orang yang berbahagia/beruntung) مفلحون .2
Di luar kata-kata di atas, makna bahagia dapat dipahami secara harfiah dari
kata al-insan (manusia) itu sendiri yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali..
Menurut Quraish Shihab, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Alaq: 3, 5 dan QS.
al-‘Ashr: 2, kata al-insan berasal dari akar kata yang berarti “jinak”, “harmonis”,
“gerak/dinamis“, “lupa”, dan “merasa bahagia/senang”. Ketiga arti ini
menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia: ia bergerak dan
dinamis, memiliki sifat lupa dan dapat melupakan kesalahan-kesalahan orang lain,
atau merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya, bahkan idealnya
selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-
makhluk lainnya. 44 Hal ini juga berarti bahwa manusia berpotensi untuk selalu
merasa senang, bahagia, dan membahagiakan orang lain. Itulah misi hidup manusia
di muka bumi ini.
B. Makna dan Hakikat Kebahagiaan dalam al-Qur’an
1. Kehidupan yang baik ( حیاة طیبة )
Makna ini dapat dilihat dalam dua ayat berikut ini:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS. an-Nahl: 97).
44 M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, hal. 87 dan 475
34
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra: 70). “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS. ar-Ra’du, 13: 29).
Dalam Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab menjelaskan bahwa ungkapan
“kehidupan yang baik” di atas mengisyaratkan bahwa seseorang dapat
memperoleh kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang berbeda dengan
kebanyakan orang. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kehidupan
yang baik itu bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi ia
adalah kehidupan yg diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam
menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, orang
yang memiliki kehidupan yang baik tidak merasakan takut yang mencekam
atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa
pilihan Allah adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran
yang menanti. Seorang yang durhaka, meskipun kaya, dia tidak akan pernah
merasa puas, selalu ingin menambah kekayaannya, sehingga selalu merasa
miskin dan diliputi kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan
lingkungannya. Dia tidak menikmati kehidupan yang baik. Kehidupan yg
baik juga dapat dipahami sebagai kehidupan di surga kelak, alam barzakh,
atau kehidupan yg diwarnai oleh qona’ah, yaitu rasa puas atas sesuatu (rizki)
yang halal.45
Dalam Tafsir al-Azhar, HAMKA menyatakan bahwa kehidupan yang baik
adalah anugerah Allah yang dijanjikan kepada orang yang beriman dan
45 M. Quraish Shihab (2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati ,Vol 7
35
beramal shalih di dunia ini. Ibnu Katsir mengartikan kehidupan yang baik
dengan ketenteraman jiwa, meskipun banyak menghadapi gangguan. Bagi
Ibnu Abbas, kehidupan yang baik adalah mendapatkan rizki yang halal lagi
baik dalam hidup di dunia ini. Menurut Ali bin Abi Thalib, kehidupan yang
baik adalah rasa tenang dan sabar menimpa berapapun dan apapun yang
diberikan Allah, dan tidak merasa gelisah. Sementara, Ali bin Abi Thalhah
dan Ibnu Abbas memaknai kehidupan yang baik dengan as-sa’adah atau rasa
bahagia. Satu riwayat dari ad-Dahhaak menyatakan bahwa kehidupan yang
baik ialah rizki yang halal, kelezatan dan kepuasan beribadah kepada Allah
dalam hidup, dan lapang dada. Menurut Ja’far as-Shadiq, kehidupan yang
baik adalah tumbuhnya ma’rifah atau pengenalan terhadap Allah di dalam
Jiwa. 46
Selanjutnya, HAMKA juga meriwayatkan bahwa menurut al-
Mahayami, kehidupan yang baik adalah ketika seorang mukmin merasa
berbahagia dengan amalnya di dunia ini, lebih daripada kesenangan orang
yang berharta dan berpangkat dengan harta dan pangkatnya, dan kebahagiaan
perasaannya itu tidak ditumbangkan oleh kesulitan hidupnya. Hal itu terjadi
karena yang bersangkutan merasa ridho menerima pembagian yang diberikan
Allah kepadanya, sehingga harta benda tidak terlalu dipentingkannya.
Sebaliknya, orang kafir, meskipun banyak harta, dia tidak pernah merasa
bahagia, malah tambah rakus dan takut bila hartanya akan habis. Sementara
itu, orang yang diberikan kehidupan yang baik di dunia ini akan juga diberi
46 Lihat Prof. Dr. HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar Jilid 5. Singapura: Pustaka Nasional.
36
ganjaran yang lebih baik di akhirat. Menurut al-Qasimi, kehidupan yang baik
adalah rasa sejuk (tenteram) dalam dada karena puas dan yakin, merasakan
manisnya iman, ingin menemui apa yang telah dijanjikan Allah dan ridha
menerima ketentuan (qadha) dari Tuhan. Selanjutnya, jiwanya dapat
melepaskan diri dari apa yang telah memperbudaknya selama ini, merasa
tenteram dengan satu Tuhan yang disembah, serta mengambil cahaya (nur)
dari rahasia wujud yang berdiri padanya, dan lain-lain kelebihan yang telah
ditentukan pada tempatnya masing-masing. Itulah kehidupan yang baik di
dunia, adapun kehidupan keakhirat akan lebih baik dan sempurna
ganjarannya.47
Kata HAMKA, semua penafsiran di atas tidak berlawanan, tetapi
saling melengkapi, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits:
قد افلح من ھدي لالسالم وكان عیشھ كفافا وقنع بھ
“Sungguh bahagia orang yang telah ditunjukkan kepada Islam (menjdai muslim), mendapat rezeki sekedar cukup, dan menerima dengan senang apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Umar).
Intinya, kata Hamka, sesunggnya segala amal saleh yang dikerjakan
oleh manusia yang bersumber dari rasa iman tidaklah sepadan dengan pahala
dan ganjaran yang akan kita terima di akhirat kelak. Sesungguhnya, amal
yang dikerjakan manusia sangatlah sedikit, tetapi ganjaran yang ia terima
berlipat ganda. Umur manusia terbatas, sementara balasan terhadap amal
manusia tidak pernah habis dan selalu kekal.48
47 Ibid, 48 Ibid.
37
Itulah makna kebahagiaan dalam arti kehidupan yang baik yang merupakan
naluri spiritual yang khas manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Isra:
70. Artinya, pada dasarnya bahagia adalah fitrah bagi manusia. Bahagia sudah
seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, karena menurut fitrahnya, manusia
diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kesempurnaan. Manusia adalah makhluk
yang paling baik dan sempurna dibanding dengan makhluk lainnya.
Kabir Helminski, seorang sufi penerus tradisi Jalaluddin Rumi, menulis
tentang manusia sempurna dalam bukunya, The Knowing Heart: A Sufi Path of
Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah refleksi dari
sifat-sifat Tuhan yang sebagian tercermin dalam 99 nama Allah (al-Asma’ul
Husna). Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan manusia, yang memerlukan
hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian
kebahagiaan yang sesungguhnya.49
2. Kebaikan ( حسنة )
Kebahagiaan dalam arti kebaikan atau yang baik ( dapat dipahami ( حسنة
al-Mumtahanah: 4,6. Sebagai sampel, berikut ini adalah redaksi dari ayat yang
mengandung kata kebaikan ( حسنة ):
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dianiaya, pasti Kami akan menempatkan mereka di dunia pada tempat yang baik dan pasti pahala akhirat besar, jika mereka mengetahui. Mereka adalah orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal”(QS. an-Nahl: 41-42)
49 Erbe Sentanu, (2008). Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex Media Komputindo. hal. 26
38
Menurut Quraish Shihab, kata حسنة pada ayat di atas menyifati sesuatu yang
tidak disebut, yaitu tempat atau situasi. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami maksud dari kata ini. Ada yang berpendapat bahwa kata ini bermakna
Kota Madinah, ada pula yang memahaminya dalam arti rejeki, kemenangan, atau
nama harum lainnya. Makna-makna ini sebenarnya dapat digabung. Fakta sejarah
membuktikan bahwa tidak lama setelah Nabi Saw. dan para sahabat beliau
berhijrah ke Madinah, tercipta di sana suatu masyarakat islami yang aman,
sejahtera, dan dapat meraih kemenangan menghadapi lawan-lawan mereka.
Dengan berhijrah ke Madinah, lahirlah masyarakat Madani dan peradaban baru
yang mengubah wajah kemanusiaan.P49F
50
Selanjutnya, masih dalam surat yang sama Allah berfirman: “Dan kami
beri dia di dunia ini kebaikan, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-
orang yang shaleh” (QS an-Nahl: 122). HAMKA menjelaskan tentang kandungan
ayat ini dengan melihat anugerah (kebahagiaan) yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim
AS. Maksudnya adalah bahwa kebaikan dunia yang telah nyata diterima oleh
beliau adalah ketika beliau nyaris tidak mengharapkan lagi akan mendapatkan
keturunan (putera), karena usianya yang telah menua, maka kemudian beliau
memiliki putera (Ismail) pada usia 86 tahun. Kemudian pada usia 100 tahun beliau
memiliki anak kedua (Ishaq) dari isteri beliau yang diduga mandul, yaitu Sarah.
Kedua putera inilah yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar. Selain itu,
HAMKA melihat dari rizki yang diperoleh Ibrahim yang berlipat ganda di hari
tuanya. Sudah menjadi hal yang lumrah (umum) bahwa keturunan dan harta benda
adalah lambang kebaikan dunia dan kemegahannya. Sungguh sebuah keniscayaan,
jika orang yang telah berjuang demi Allah, sebagaimana Ibrahim yang telah
50 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Surat an-Nahl……hal. 232-233
39
mendapat gelar “Khalilullah”, akan mendapatkan tempat yang layak pula di
akhirat, bersama orang-orang shalih lain, yaitu para Nabi, Rasul, dan para
pengikutnya yang setia.51
Kata hasanah, yang berarti kebaikan dapat ditemukan pula dalam QS. ar-
Ra’du: 6 sebagai berikut:
“Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan (yang luas) bagi manusia sealipun mereka dzalim, dan sesunggunya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksa-Nya.
Al-Maraghi menjelaskan makna hasanah dalam ayat di atas sebagai
balasan bagi orang yang beriman, yaitu berupa kemenangan dan keberuntungan di
dunia serta pahala di akhirat. Dalam konteks ayat di atas, kata hasanah ( (حسنة
merupakan lawan dari kata sayyiah ( yang berarti azab yang diancamkan (سیئة
kepada orang-orang kafir. Janji ini sesungguhnya telah disampaikan oleh Nabi
Saw. kepada kaum kafir agar mereka mau beriman, tetapi yang terjadi adalah
justru mereka minta (menantang) kepada Nabi untuk disegerakan azab buat
mereka. P51F
52
Sementara, dalam menjelaskan makna hasanah (kebaikan) dalam QS. at-
Taubah ayat 50, al-Maraghi mengartikannya sebagai sesuatu yang apabila tercapai
akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, kemenangan, dan
sebagainya. Intinya, kata al-Maraghi, kebaikan adalah segala hal yang membuat
manusia gembira, seperti kemenangan dan rampasan perang yang didapatkan oleh
umat Islam waktu Perang Badar. Hasanah dalam ayat ini dapat dipahami secara
51 HAMKA, Tafsir Al-Azhar….hal. 3984-3985 52 Ahmad Mustafa al-Maraghi (1994) Tafsir al-Maraghi , Semarang: Toha Putra, hal. 127
40
berpasangan dengan mushibah yang dapat diartikan sebagai kesusahan, kekalahan,
atau tercerai-berainya tentara umat Islam waktu Perang Uhud.53
Berangkat dari berbagai penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
makna hasanah adalah segala kebaikan yang menimbulkan rasa bahagia, yang
didapatkan manusia di dunia; berupa kemenangan, rizki, kejayaan, kesuksesan,
anak, harta benda, dan sebagainya, dan di akhirat sebagai balasan yang lebih kekal
yang sifatnya lebih ruhani. Kebaikan dunia dan akhirat inilah yang akan
didapatkan bagi orang-orang yang beriman dan berjuang di jalan Allah.
3. Bahagia atau beruntung ( فالح , سعادة , dan فوز )
Makna سعادة dapat disimpulkan dari redaksi kalimat yang terdapat dalam
dua ayat berikut ini:
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan dengan seijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia” (QS. Huud: 105) “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surge mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan-Mu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya” (QS. Huud: 108)
Istilah kebahagiaan ( dalam dua ayat di atas dapat dipahami (سعادة
dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata celaka (sengsara).
Kesadaran manusia pada dasarnya selalu bersifat dualistis. Artinya,
kehidupannya di setiap tempat dan waktu merupakan polarisasi yang tajam
antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan
kesusahan atau kesenangan, bahagia atau sengsara. Manusia akan selalu
berhadapan dengan dua realitas ini, yaitu kesenangan atau kesusahan,
termasuk ekspresinya, yaitu tertawa atau menangis. Tangisan adalah tanda
53 Ibid, hal. 227
41
kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti
kebahagiaan, kegembiraan, atau kesenangan. Orang yang bahagia biasanya
menampakkan wajah yang penuh senyuman atau berseri-seri. Sebaliknya,
orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh
tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tahu jalan
hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah,
atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil. Orang yang
bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang
menghadapi persoalan, hatinya disinari cahaya iman kepada Allah, di dalam
jiwanya tertanam akidah yang kuat, dan sadar bahwa segala sesuatu telah
diatur oleh Allah Swt. Orang bahagia adalah orang yang merasa aman,
tenang, dan punya kekuatan untuk menjalani kehidupan, sebagaimana firman
Allah di bawah ini: 54
“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123) Sementara itu, makna kebahagiaan dalam arti فالح didapatkan dari beberapa
ayat dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut:
a. Dalam bentuk redaksi …. sebagaimana ,(…sungguh berbahagia) قد افلح
terdapat dalam: QS. as-Syams: 9, al-A’la: 14, Thaha: 64, dan al-
Mu’minun: 1,
b. Dalam bentuk redaksi ھم المفلحون atau من المفلحین (….merekalah orang-
orang yang berbahagia), sebagaimana terdapat dalam: QS. al-Baqarah:
Hadid: 11. Salah satu di antara yang dapat dibahas di sini adalah:
“ Dan penghuni neraka menyeru penghuni surge: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni sura) menjawab: “sesuangguhnya Allah telah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir” (QS. al-A’raf: 50)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-faidh hanya diperuntukkan untuk
para penghuni surga. Menurut Fethullah Gulen, istilah “limpahan karunia” (الفیض )
dapat dimaknai dengan kebahagiaan atau kenikmatan. Al-Faidh dalam kehidupan
73Ibid., hal. 262 74 Ibid, hal 728-729
58
duniawi adalah limpahan karunia Ilahi yang berkaitan dengan kehidupan hati dan
spiritual manusia. Adapun di akhirat, الفیض adalah kedudukan dan kemuliaan yang
diraih manusia, seperti masuk sorga, meraih ridha Allah, dan kehormatan melihat
keindahan-Nya. Kandungan makna dari istilah ini begitu sangat luas dan mustahil
bagi manusia untuk menjangkaunya secara tepat. Bisa saja terjadi bahwa berbagai
limpahan karunia mendatangi manusia dari semua sisi, sedangkan ia sendiri tidak
mengetahui dan merasakannya. Demikian pula, ketidakmampuan manusia
mengetahui dan merasakannya termasuk karunia Allah Swt. atasnya., karena
karunia terbaik-Nya adalah karunia yang tidak kita rasakan.P74F
75
Dari sisi ini, lanjut Gulen, dapat dikatakan bahwa terdapat limpahan
karunia Ilahi dan keberkatan pada semua ibadah yang dikerjakan manusia untuk
Allah Swt. Betapa tidak terbayang sama sekali bahwa ada manusia yang menuju
pintu-Nya lalu kembali dengan tangan kosong. Akan tetapi, manusia tidak boleh
mengaitkan ibadahnya dengan limpahan karunia Ilahi atau kenikmatan yang
didapatnya. Terkadang, shalat dilakukan saat seorang hamba sedang dalam kondisi
spiritual yang sedang lemah, yaitu saat jiwa dan hatinya sempit. Secara lahiriah,
shalat seperti ini dapat dikatakan payah, namun bisa saja shalatnya termasuk
shalatnya yang paling baik atau paling diterima, karena ia melakukan shalat dalam
kondisi lepas dari semua perasaan seraya tetap tidak lupa untuk menunjukkan
penghambaannya kepada Allah Swt. Ia senantiasa tetap berdiri di pintu-Nya dan
tidak pernah meninggalkannya, karena ia yakin bahwa Allah akan mengabulkan
segala doanya. Dengan kata lain, kondisi di mana seorang hamba tidak menerima
limpahan karunia Ilahi tidak membuat keikhlasannya lenyap. Inilah sebuah
penghambaan yang tulus dan murni.
75 Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin ……hal. 406-408
59
Dari sisi yang berbeda, Gulen menulis bahwa pencapaian kedudukan
spiritual tidak boleh menjadi tujuan ibadah seorang hamba. Junaid al-Baghdadi
berkomentar tentang orang-orang yang mengerjakan kewajiban ibadah demi
mendapatkan surga. Menurutnya, ibadah yang seperti ini adalah ibadah para hamba
surga, padahal surga tidak layak menjadi tujuan ibadah. Ibadah dikerjakan, karena
Allah memerintahkannya, atau dalam rangka meraih ridha-Nya. Artinya, sebab
hakiki ibadah adaah perintah Allah. Jadi, manusia mengerjakan berbagai kewajiban
ibadah karena Allah memerintahkannya kepada mereka. Jika ada di antara mereka
melakukan shalat kepada Allah, karena takut kepada neraka, maka orang itu adalah
hamba neraka. Bagimana mungkin ia dapat menjdi hamba Allah Swt.? Manusia
harus tetap melaksanakan shalat meskipun dalam kondisi iman (spiritual) yang
sedang menurun, yaitu ketika tidak mendapatkan limpahan karunia Ilahi. Tangisan
dan rintihan manusia, di samping menjadi sarana untuk mendapatkan limpahan
karunia Allah dan keberkahan, juga dapat menjadi sarana ujian dan cobaan.
Alhasil, manusia tidak dapat menetapkan penilaiannya secara pasti di hadapan
Allah.76
C. Dimensi dan Tingkatan Kebahagiaan dalam al-Qur’an
1. Kebahagiaan dunia dan akhirat
Dengan melihat istilah yang digunakan Qur’an, kebahagiaan terbagi
menjadi kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Salah satu do’a yang
sangat populer di kalangan umat Islam yang selalu diajarkan dan dibaca
adalah berbunyi: ربنا اتنافى الدنیا حسنة وفى اال خرة حسنة وقنا عذاب النا ر (”Ya Tuhan
kami berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan
76 Ibid
60
(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”). Do’a ini
mengajarkan kepada setiap pengamalnya (pembacanya) untuk senantiasa
mengingat pentingnya hidup sukses (bahagia) di dunia dan akhirat.
Kebahagiaan dunia bersifat jangka pendek (sementara), sedangkan
kebahagiaan akhirat adalah kebahagiaan jangka panjang (abadi). Dalam
bentuk kata sifat, Ar-Raghib al-Asfahany membagi kebahagiaan menjadi
duniawi dan ukhrawi. Duniawi misalnya mencakup usia yang panjang,
kekayaan, dan kemuliaan, sedangkan ukhrawi mencakup kekekalan tanpa
kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan dan
pengetahuan tanpa kebodohan. 77
QS. adh-Dhuha: 4 menyatakan bahwa ”Dan sesungguhnya yang akhir
itu lebih baik bagi kamu daripada permulaan”. Ayat ini sering ditafsirkan
dengan pernyataan bahwa sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik
daripada akhirat. Dunia berasal dari kata danaa yang artinya sesuatu yang
dekat. Dunia adalah kehidupan yang sebentar dan sesaat. Artinya, bahwa
apapun yang terjadi di dunia ini sifatnya sebentar. Dia hanyalah permainan
dan panggung sawindara. Demikian jika melihat isyarat dalam QS. al-
’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan
senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Faktanya, tidak sedikit manusia yang tertipu oleh gemerlap dunia.
Mereka memfokuskan perhatiannya (hidupnya) kepada materi sebagai
tumpuan. Sebagaimana dikutip oleh Aam Amiruddin, Ibnu Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
77 Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbah….., hal.
61
”Andaikata manusia memiliki dua lembah harta, tentu ia menginginkan yang ketiga, dan tidak ada yang dapat mngenyangkan perutnya kecuali tanah (kematian). Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau bertaubat”.78 Supaya tidak tertipu dengan dunia, manusia harus menjadikan dunia
ini sebagai alat yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan akhirat. Ia
boleh menikmati dunia, tetapi tetap harus berada pada koridor kebenaran atau
rambu-rambu Allah. Dunia sesunngguhnya adalah tempat beramal, berkarya,
berprestasi, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ketakwaaan, dalam rangka
keselamatan dan kebahagiaan akhirat. Itulah pandangan hidup seorang
muslim.
2. Kebahagiaan Fisik dan Non-Fisik
Kebahagiaan dunia yang dialami oleh manusia sesungguhnya meliputi
berbagai kenikmatan fisikal, material, psikologis, sosial, dan spiritual, sementara
kebahagiaan yang ada di akhirat, karena belum dialami, lebih tepat dikatakan
hanya bersifat spiritual. Kenikmatan yang bersifat fisikal-material misalnya
kenikmatan yang diperoleh karena pemenuhan kebutuhan makan, minum, sandang,
dan papan, termasuk seksual. Kenikmatan seksual dapat dikategorikan pula sebagai
kenikmatan psikologis, jika diliputi perasaan cinta, kasih, dan sayang. Hal ini dapat
dipahami dari QS. ar-Ruum: 21. Termasuk ke dalam kenikmatan (kebahagiaan)
yang bersifat psikologis yaitu kenikmatan yang didapatkan karena aktivitas
membaca, berpikir, dan merenung. Termasuk ke dalam kenikmatan secara
psikologis-spiritual misalnya kenikmatan saat melaksanakan beribadah, berdo’a,
dzikir, dan sedekah. Termasuk dalam kenikmatan spiritual (ruhani) adalah
Para psikolog (ahli kesehatan mental) yang tidak sekuler sepakat bahwa
kebahagiaan manusia minimal harus dilandasi empat pilar pokok, yaitu:79
Pertama, fisik yang sehat, bebas dari penyakit, serta berfungsinyaa seluruh
organ tubuh dengan baik, sehingga dikenal adanya ungkapan bahwa akal yang
sehat terletak pada tubuh yang sehat”. Artinya terdapat hubungan timbal balik
antara kesehatan jiwa dan kesehatan fisik. Dari sini dipahami bahwa kebahagiaan
seseorang di antaranya ditentukan oleh bagaimana dia mngembangkan potensi
fisiknya dan menjaganya dari berbagai gangguan, menjaga pola makan,
berolahraga, istirahat yang cukup, dan beraktivitas secara seimbang.
Kedua, rasa percaya diri yang baik serta berupaya mengarahkan diri pada
aktivitas yang positif dan kontruktif, memelihara diri dari berbagai penyimpangan,
memenuhi kebutuhan secara proporsional, sadar akan tanggungjawab diri,
meningkatkan kualitas hidup, baik secara material maupun non material. Dalam
konteks ini, kebahagiaan terletak pada aktivitas, kesungguhan, dan kegigihan,
bukan pada kemalasan dan banyaknya waktu luang. Orang yang ingin bahagia
harus memiliki kegiatan (aktivitas) yang positif, bermakna, dan bermanfaat, serta
menjauhkan diri dari aktivitas yang negatif. Ia juga memiliki target hidup tertentu
yang benar dan bermakna, bukan sibuk dengan kesenangan yang menyimpang, dan
tidak terjebak pada orientasi kehidupan dunia yang semu.
Ketiga, kecintaan terhadap orang lain dan motivasi yang kuat untuk
membahagiakan mereka. Kebahagiaan yang sesungguhnya bukan terletak pada
pementingan diri (egoisme), tetapi justru dengan melakukan kebaikan kepada
orang lain. Seseorang yang memiliki karakteristik pribadi seprti ini berpegang
teguh pada nilai-nilai pengorbanan, mengutamakan orang lain (itsar),
79 Lihat Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, hal. 287
63
mengembangkan kasih sayang dan penghargaan dengan sesama manusia. Seorang
psikolog bernama William Glesser mengatakan bahwa rasa cinta kepada orang lain
merupakan inti kebahagiaan. Hal ini senada dengan pendapat Abdul Aziz al-Qushi,
yang menyatakan bahwa kebahagiaan seorang individu akan selalu terkait dengan
seberapa luas cakupan masyarakat yang dibahagiakannya. Seorang yang bahagia
dapat dipastikan memiliki kepribadian yang kuat, kematangan sosial, kestabilan
emosional, dan perilakunya tidak bertentangan dengan orang banyak.
Keempat, keimanan. Artinya, orang yang bahagia adalah yang beragama
dan taat menjalankan ajaran-ajarannya, karena agama menjadikan manusia lebih
bernilai dan memuaskan. Bagi seorang muslim, iman adalah penggerak utama
dalam kehidupan. Dengan keimanan dan kepasrahan total kepada Allah Swt.,
seorang muslim akan menggapai kebahagiaan yang sessungguhnya. Ia tidak pernah
merasa gelisah, guncang, atau panik, karena ia yakin bahwa Allah telah mengatur
segala urusannya.Kecintaan dan ketaatan kepada Allah secara sempurna akan
membimbing hidup seorang muslim agar selalu berada pada jalan yang benar.
3. Kebahagiaan semu dan sejati.
Mengacu pada poin satu dan dunia, kebahagiaan dapat dibedakan menjadi
kebahagiaan yang semu, artifisial, atau instrumental dan kebahagiaan yang bersifat
ultimate (pokok), sejati, inti, atau yang sebenarnya. Hal ini merupakan bahasan
lanjutan dari pembagian kebahagiaan dunia dan akhirat. Kenikmatan (kebahagiaan)
yang diarasakan di dunia ini pada dasarnya merupakan kebahagiaan yang bersifat
periferal jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkan oleh manusia di
alam akhirat yang bersifat abadi. Demikian isyarat yang dapat dipahami dari
QS. al-’Ankabut: 64 yang berbunyi: ” Dan tidaklah kehidupan dunia ini
64
melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”.
Alam dunia hanyalah salah satu terminal yang manusia lewati. Banyak ayat
dan hadits yang menerangkan hakikat tersebut. Manusia datang dari alam arwah ke
rahim ibu. Dari rahim ibu menuju kehidupan dunia. Setelah melawati masa kanak-
kanak, remaja, dewasa, dan lansia, ia pindah ke alam kubur dan alam barzakh. Dari
sana ia menuju kebangkitan. Dari kebangkitan menuju kehidupan abadi. Manusia
melewati seluruh tahapan tersebut. Ia berada dalam kehidupan dunia ini hanya
beberapa saat saja, jika dibandingkan keberadaannya di akhirat.80 Hal ini
menegaskan bahwa kehidupan ini sesungguhnya seperti fatamorgana (semu)
dilihat dari waktu berlangsungnya. Rasulullah menggambarkan kehidupan dunia
seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian ia melanjutkan
perjalannya.81
Dunia dalam pandangan ahli hakikat adalah tumpukan kotoran dan
kepalsuan seperti tumpukan sampah. Di dunia ini Allah mencampur kebaikan
dengan kejahatan, keindahan dengan keburukan. Di dunia ini banyak hal yang
harus dijauhi dan hindari oleh setiap manusia. Ia diminta untuk dapat memilih yang
baik dan indah di tengah tumpukan sampah tersebut. Ia harus dapat menemukan
permata di balik kotoran yang bernama dunia. Dunia ini tidak memberi kepada
seseorang sepotong kue manis kecuali disertai dengan sejumlah tamparan. Inilah
sisi permainan dan tipuan yang disambut oleh para penghamba dunia, padahal
inilah sisi buruk dunia yang harus dihindari oleh manusia. Di satu sisi, seorang
manusia-muslim punya misi untuk bisa membangun keseimbangan antara dunia
80 Fethullah Gulen, Islam….. Hal. 299 81 Mengacu pada hadits: “Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanya seperti seorang
musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya” (HR .Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)
65
yang fana dan akhirat yang kekal. Rasulullah tidak meninggalkan dunia dan tidak
memisahkan diri dari manusia, namun pada saat yang sama beliau memisahkan diri
dari manusia. Beliau bersabda:
”Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan buruk mereka mendapatkan pahala lebih besar daripada mukmin yang bergaul denga manusia dan tidak sabar atas tindakan buruk mereka”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah tidak pernah memikirkan dunia, meskipun dunia telah
mendatangi beliau dan berada di bawah kaki beliau. Beliau tidak pernah berpikir
untuk bersenang-senang dengan dunia. Beliau meninggalkan dunia sebagaimana
beliau datang ke dunia. Ketika datang ke dunia, beliau dibungkus sehelai kain dan
ketika meninggalkan dunia, beliau juga dibungkus sehelai kain. Sepanjang
hidupnya yang mulia, beliau berusaha membangun peradaban yang seimbang dan
mendirikan dunia yang imbang di dunia dan di akhirat. Beliau telah menyerahkan
diri kepada Allah Swt, sehingga beliau hidup dengan tenang seraya berusaha
mendapatkan ridha Allah Swt. dan menyelamatkan umat manusia. Kesucian jiwa
beliau tidak ternodai oleh nafsu dan kenikmatan dunia.82 Itulah posisi muslim ideal
di tengah kehidupan dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang sesungguhnya atau yang
sejati adalah keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seorang muslim.
82 Ibid. hal 306-307
66
BAB IV RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN
A. Ajakan Kebahagiaan dalam al-Qur’an
Al-Qur’an senantiasa mengajak manusia untuk dapat menggapai
kebahagiaan. Hal ini dapat dipahami dari khitab (perintah/ajakan) yang terkandung
dalam berbagai ayat di bawah ini:
1. Perintah Allah untuk mencari Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Dalam QS. al-Qashash: 77 Allah berfirman:
“ Dan carilah- pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu- negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan” Pesan ayat di atas dipahami secara berbeda oleh para ulama. Ada yang
memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa pesan ayat ini
adalah anjuran untuk meninggalkan kenikmatan (kesenangan) duniawi dengan
membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian.
Ada pula yang memahaminya sebagai tuntunan untuk menyeimbangkan
kepentingan (kebahagiaan) dunia dan akhirat. Penganut pendapat ini tidak jarang
mengemukakan riwayat yang menyatakan bahwa”Bekerjalah untuk duniawi
seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok. Atas beberapa pandangan ini Quraish Shihab
memberi beberapa catatan penting agar umat Islam tidak terjerumus dalam
kekeliruan sebagai berikut: 83
Pertama, dalam pandangan al-Qur’an, hidup (kebahagiaan) duniawi dan
ukhrowi adalah satu kesatuan. Artinya, dunia adalah tempat menananm dan akhirat
83 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 10……., hal 407
67
adalah tempat memanen. Apa yang ditanam manusia di bumi (dunia) ini akan
memperoleh buahnya di akhirat. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal
akhirat. Apabila hal ini mau digunakan, maka perkataan yang paling tepat adalah
bahwa “semua amal dapat menjadi amal dunia, meskipun berupa shalat dan
sedekah, jika dilakukan secara tidak tulus (niatnya)”. Sebaliknya, “semua amal
dapat menjadi amal akhirat jika disertai dengan keimanan dan ketulusan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, meskipun amal itu berupa pemenuhan naluri
seksual. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Melalui kemaluan kamu (hubungan
seksual) terdapat sedekah” (HR. Muslim).
Kedua, ayat di atas menekankan pentingnya untuk mengarahkan pandangan
(orientasi hidup) kepada akhirat sebagai tujuan dan menjadikan dunia sebagai
sarana mencapai tujuan. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ayat di atas: fii
maa aataaka Allah…, sehingga semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam
kehidupan ini, maka semakin terbuka kesempatan untuk memperoleh kebahagiaan
akhirat, selama itu diperoleh da digunakan sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Hal
ini juga berarti bahwa ayat ini menggarisbawahi petingnya dunia, tetapi bukan
karena sebagai tujuan, namun sebagai sarana (alat) untuk mencapai tujuan.
Ketiga, ayat di atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika
berbicara kebahagiaan akhirat, bahkan menekankannya dengan perintah untuk
bersungguh-sungguh dan sekuat tenaga dalam berupaya meraihnya. Sementara,
perintah menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif, yaitu “jangan
lupakan’. Ini memberi kesan adanya perbedaan di antara keduanya dan ini harus
diakui bahwa keduanya memang berbeda. Allah berulang kali menekankan hakikat
ini dalam berbagai ayat, misalnya QS. at-Taubah: 38: “ Apakah kamu puas dengan
kehidupan dunia (di banding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit”.
68
Dari sini, Quraish Shihab sekali lagi ingin menekankan bahwa dalam
pandangan al-Qur’an, kehidupan dunia tidaklah seimbang dengan kehidupan
akhirat. Oleh karena itu, manusia semestinya lebih mengorientasikan hidupanya
kepada akhirat, sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanyalah sarana
yang dapat mengantar kepada kehidupan akhirat. Jika ayat ini dipadukan dengan
kandungan QS Hud: 61, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa manusia
sesungguhnya diajak untuk mencari kebahagiaan akhirat dengan cara membangun,
mengembangkan, memakmurkan, dan memanfaatkan bumi atau mengisi kehidupan
dunia ini dengan secara sebaik-baiknya. Artinya kebahagiaan akhirat diperoleh
dengan menggapai kebahagiaan dunia.
2. Perintah al-Qur’an kepada manusia (orang beriman) untuk bertaqwa supaya mereka berbahagia
Hal ini terkandung dalam QS. al-Baqarah: 189:”………..bertaqwalah
kalian semua agar kalian berbahagia”. Di samping ayat ini, terdapat pula ayat-
ayat yang berakhir dengan kata la’allakum tuflihuun, yaitu: QS. 3:130, 3:200, 5:35,
5:90, 5:100, 7:69, 8:45, 22:77, 24:31, 62:10. Melalui ayat- ayat ini, Al Qur’an
menegaskan bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar manusia dapat hidup
bahagia. Di samping itu, Al Qur’an juga merinci perbuatan yang dapat membawa
manusia kepada kebahagiaan. Dalam lafal adzan terdapat dua kata yang selalu
beriringan: hayya ala al-shalaah (mari kita tunaikan sholat) dan hayya ala al-
falaah (mari meraih kebahagiaan)
Selain ayat-ayat di atas, Al Qur’an sering menyebut istilah aflaha untuk
menggambarkan kebahagiaan. Pada empat ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. 20:64, 23:1,
87:14, 91:9, kata aflaha selalu diawali dengan kata qad, sehingga berbunyi qad
aflaha. Kamus-kamus Arab merinci makna aflaha sebagai berikut : kemakmuran,
keberhasilan, keberuntngan, kegembiraan, kesenangan, pencapaian apa yang
69
diinginkan (dicari), ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan. Intinya manusia
merindukan segala sesuatu yang dengannya manusia berada dalam keadaan
bahagia atau baik; terus-menerus dalam keadaan baik; menikmati ketenteraman,
kenyamanan, atau kehidupan yang penuh berkah; keabadian, kelestarian, terus-
menerus, dan keberlanjutan. Semua makna ini sesungguhnya merupakan
komponen-komponen dari kebahagiaan.84 Komponen-komponen kebahagiaan ini
tidak akan berarti apa-apa (menjadi sia-sia) jika tidak digandengkan dengan sikap
bertaqwa. Artinya kebahagiaan, atau lebih tepatnya kesuksesan atau kesenangan
yang ada di dunia bisa saja diperoleh oleh orang-orang yang tidak bertaqwa, tetapi
hal ini ibarat angka 0 (nol) yang berjajar, yang tidak ada artinya jika tanpa ada
angka satu. Angka satu ini adalah ketaqwaan. Dengan ketakwaan, maka seorang
muslim diharapkan akan dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati atau hakiki.
3. Allah mengajak manusia kepada Daar as-Salam (Negeri Kedamaian)
Hal ini diisyaratkan dalam QS. Yunus: 25 sebagai berikut: “Allah mengajak
kepada negeri kedamaian dan membimbing siapapun yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus”. Ayat ini tidak salah jika dipahami bahwa Allah sesungguhnya
mengajak setiap manusia untuk menuju kebahagiaan dalam arti suasana yang
penuh kedamaian. Inilah misi Islam yang dibawa oleh para Nabi di muka bumi ini.
Semua manusia diajak untuk berislam, karena di dalam Islam akan ditemukan
suasana kedamaian, baik di muka bumi maupun di akhirat kelak.
Dari sudut pendekatan etimologis, menurut Nurcholish Madjid, kata Daar
as-Salam sangat kuat keterkaitannya dengan ajaran tentang Islam. Sebagai
mashdar dari kata aslama, perkataan islam memiliki arti “mencari kedamaian”,
“berdamai”, dan dari semua makna ini dihasilkan pengertian “tunduk”,
84 Rakhmat (2010), Tafsir…….hal.
70
“menyerah”, dan “pasrah”. Maka agama yang benar disebut “Islam” karena
mengajarkan sikap berdamai dan mencari kedamaian melalui sikap menyerah,
pasrah, dan tunduk-patuh kepada Allah secara tulus. Sikap ini bukanlah hanya
pilihan hidup yang benar untuk manusia, sebagai makhluk yang bebas memilih
karena memiliki akal-pikiran, tetapi merupakan pola wujud seluruh alam raya
beserta isinya. Oleh karena itu, apabila manusia diajak untuk berislam, yaitu
memilih sikap hidup tunduk, menyerah, dan pasrah kepada Allah, maka hal itu
tidak lain agar manusia dapat mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud
alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap ini tidak saja kedamaian dengan Tuhan, diri
sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk di alam raya ini.
Inilah maksud ayat yang sering dikutip yaitu QS. Ali Imran: 83-85. 85
B. Petunjuk agar Memperoleh Kebahagiaan
Secara umum, sesuai dengan makna harfiah dan definisi Islam yang
dikemukakan para ulama, maka barang siapa berislam maka sesungguhnya ia
diajak untuk mendapatkan petunjuk untuk memperolah kebahagiaan, kedamaian,
kesejahteraan dan keselamatan. Manusia yang mengikuti petunjuk Allah dijamin
tidak akan diliputi kekhawatiran dan kesedihan (QS. al-Baqarah: 38). Islam
merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup para pemeluknya di
dunia dan akhirat kelak. Ia memiliki satu sendi utama yang esensial, yaitu
berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya dalam segala aspek
kehidupan manusia.86
85 Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat, hal. 217-218
86 M. Quraish Shihab (1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, hal.33
71
Hubungan Islam dan kebahagiaan, dalam arti kelapangan, dapat digali dari
QS. al-An’am: 125. Islam dalam ayat ini dapat dipahami sebagai penyerahan diri
secara penuh kepada Allah Swt dan ia menghasilkan nur (cahaya) kepada
pemeluknya untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang utama dan
yang tidak utama, yang baik dan yang tidak. Menurut hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud, tanda-tanda masuknya cahaya tersebut ke dalam hati
seseorang tercermin dalam sikapnya menjauhkan diri dari dunia, dalam arti tidak
menjadikan kehidupan dunia yang memperdaya sebagai tumpuan perhatian, tetapi
cenderung untuk menjadikan kehidupan akhirat yang abadi sebagai orientasi hidup,
mempersiapkan diri menghadapi kematian, sebelum terlambat.
Itulah visi spiritual Islam yang selalu ditegaskan Allah dalam berbagai ayat
al-Qur’an. Pesan utama Islam adalah mengajak manusia ke jalan Allah demi
meraih kebahagiaan yang sejati. Secara kategoris Islam meliputi aspek akidah,
ibadah, dan akhlak, atau dalam bahasa lain Islam berarti iman, islam, dan ihsan.
Barang siapa menerapkan Islam dengan segala dimensinya, maka niscaya ia akan
menggapai kebahagiaan. Namun demikian, di bawah ini perlu diketengahkan
beberapa contoh petunjuk (resep) al-Qur’an tentang hal-hal spesifik yang akan
mendatangkan kebahagiaan pada manusia.
1. Beriman dan beramal saleh
Ayat-ayat Qur’an yang berbicara tentang dua kata ini (iman dan amal saleh)
tidak sedikit jumlahnya, misalnya QS. al-’Ashr: 1-3, al-Qashash: 67, at-Tin: 6, dan
an-Nahl: 97, dan QS. Yunus: 9. Dengan melihat hubungan antara iman, amal
saleh, dan kehidupan yang baik dalam ayat-ayat ini, maka selanjutnya dapat
dipahami apa dan bagaimana sesungguhnya kehidupan yang baik itu menurut
al-Qur’an. Hidup yang baik adalah hidup yang didalamnya seseorang dapat
72
memelihara iman dan mengisinya dengan amal saleh. Jalaluddin Rakhmat
mencontohkan bahwa walaupun seseorang hidup di rumah yang sederhana,
tetapi ia dapat mempertahankan imannya di tengah guncangan dan godaan
hidup, maka al-Qur’an menganggap bahwa itu adalah kehidupan yang baik.
Misalnya, ada orang yang taat beragama, rajin pergi ke masjid, dan rajin
shalat malam, kemudian Allah memberikan nikmat yang besar, misalnya
jabatan dan kekayaan, atau diberi kesibukan yang menyibukkan dirinya
sehingga ia tidak sempat lagi pergi ke masjid dan tidak sempat lagi
melakukan shalat malam. Bahkan, ia tidak tahan lagi memelihara iman yang
ada di dalam hatinya. Menurut al-Qur’an, kehidupan yang seperti itu adalah
kehidupan yang paling merugikan, karena, meskipun hidupnya gemerlapan,
ia telah kehilangan iman sama sekali. 87
Tentang keterkaitan iman dan amal saleh, dalam memahami QS.
Yunus: 9-10, Quraish Shihab menulis bahwa sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan membuktikan kebenaran iman mereka dengan mengerjakan
amal-amal saleh, sebagaimana dituntunkan oleh agama, maka Tuhan
Pemelihara dan Pembimbing mereka selalu member petunjuk secara terus
menerus kepada mereka menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrowi, karena
iman mereka yang telah bersemai dalam jiwa mereka dan mendorong mereka
agar selalu mawas diri dan inga,t bahwa di tempat tinggal mereka kelak di
negeri akhirat akan mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh
kenikmatan yang tiada tara.88
87 Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-‘Ashr: 1-3. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda, hal. 279
Jadi, hidup yang baik menurut Islam adalah hidup yang sanggup
mempertahankan iman dan sanggup mengisinya dengan amal saleh. Orang
yang saleh adalah bukan orang yang paling panjang sujudnya, bukan orang
yang paling sering naik haji, tetapi orang yang paling bermanfaatnya kepada
orang lain. Ilmunya bisa dinikmati oleh banyak orang, sedekah harta yang
diberikannya terus mengalir meskipun dirinya telah meninggal dunia, dan
anak yang dibinanya tumbuh menjadi anak shaleh yang mendo’akannya.89
Khusus tentang iman kepada Allah, dalam arti mengenal, mengakui,
mempercayai, meyakini, dan mengesakan-Nya, al-Qur’an menjadikannya sebagai
sumber dari segala sumber kebahagiaan bagi umat manusia. Hal ini karena kata
iman memiliki keterkaitan dengan adanya rasa aman dan ketenteraman dalam hati
seorang muslim. Jadi, orang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi hidupnya
diliputi rasa khawatir dan kegalauan, maka yang bersangkutan layak untuk
dipertanyakan keimanannya. Dalam QS. Fushshilat: 30 Allah berfirman:
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ’Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa bersedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”
Ayat di atas sangat terkait dengan ayat- ayat berikut: ”Tidak ada
ketakutan dan kecemasan bagi mereka” (QS. al-Baqarah: 38) dan ”Janganlah
kamu cemas (sedih), sesungguhnya Allah bersama kita”. Dalam ayat-ayat ini
terdapat korelasi antara rasa takut (khawatir) dan sedih. Artinya, seseorang
dapat saja merasa takut dengan masa yang akan datang, misalnya soal rezeki,
jodoh, datangnya kematian, atau yang lainnya, sehingga kemudian menjadi
bersedih hati. Dalam ayat di atas Allah menjelaskan tentang orang-orang yang
89 Ibid.
74
tidak bersedih karena ditimpa bencana, sehingga Allah menurunkan malaikat
untuk menghibur mereka, menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan di akhirat
kelak, sebagaimana diuraikan dalam QS. Fushshilat: 30 di atas. Dari rangkaian
ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah menjamin bahwa orang-orang
beriman tidak akan merasa takut dan tidak pula bersedih dan Allah
memantapkan jiwa mereka dengan perkataan yang pasti di dunia dan akhirat,
sehingga mereka tidak cemas dan sedih.90
Terkait dengan ini, sangat menarik apabila fenomena kehidupan
masyarakat Barat (modern) ditelisik secara mendalam. Mereka adalah
masyarakat yang saat ini boleh dikatakan terdepan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Harta dan uang telah menjadi ukuran kebahagiaan, sehingga
semuanya berlomba mengejar harta, mobil dengan berbagai merek, rumah, dan
lainnya. Siklus kehidupan mereka berputar sedemikian rupa selama 24 jam
sehari. Pada pagi hari ribuan manusia bangun dari peraduannya, kemudian
berangkat menuju tempat kerja masing-masing, ada yang di kantor, kampus,
atau pabrik, dengan mengendarai mobil, naik kereta, motor, dan sebagainya.
Mereka bekerja dengan disiplin, profesional, dan saling bekerja sama dalam
mencari keuntungan, sebagai sebuah team-work dalam sebuah perusahaan atau
lembaga bisnis. Pada sore harinya mereka kembali ke rumah masing-masing,
kemudian membaca koran, mendengarkan radio, membuka gadget, menonton
televisi, main play station, nonton film di bioskop atau di rumah mereka
sendiri, serta tempat hiburan lainnya. Setelah larut malam mereka pergi tidur
dan beristirahat. Esoknya mereka bangun kembali dan menjalani rutinitas
sebagaimana biasanya. Begitulah ritme kehidupan manusia modern di jaman ini.
90 Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan ……., hal. 204.
75
Semuanya berusaha menikmati kehidupan tanpa berpikir atau bertanya tentang
arti hidup. Semua telah diatur sedemikian rupa semenjak seseorang terlahir dari
perut ibunya sampai akhirnya meninggal dunia. 91
Dalam budaya modern, setiap orang umumnya bekerja selama lima hari
perpekan dengan jam kerja delapan jam perhari. Dia bertanggungjawab dalam
sebuah pekerjaan yang telah ditentukan, duduk di alat produksi dan
memperhatika jalannya alat tersebut. Dia bergabung dalam sebuah tim untuk
menghasilkan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak tahu, karena ia hanya ditugasi
untuk mengawasi saja. Sore atau malam hari dia kembali pulang dengan rasa
lelah, walaupun tidak melakukan sesuatu yang berat atau menguras tenaga.
Hasil dari semua itu adalah bahwa kemajuan industri hanya melahirkan
orang-orang yang cemas dalam segala hal dan cenderung individualis. Padahal,
kehidupan modern telah menawarkan kepada mereka beraneka macam jaminan
seperti asuransi jiwa, pendidikan, keluarga, rumah, mobil, pekerjaan,
kebakaran, kesehatan, dan jaminan hari tua. Setiap orang memiliki rasa cemas
yang tidak beralasan, cemas dengan masa depan, khawatir di PHK. Jaminan
ekonomi ternyata tidak otomatis melahirkan ketenangan jiwa. Kehidupan
manusia modern yang gersang, teralienasi, tidak bisa menyesuaikan diri, bosan,
dan hampa telah menyebabkan adanya jiwa-jiwa manusia yang kerdil. Saat
mereka ditimpa musibah, maka mereka tidak akan mampu bersabar menanggng
beban berat yang dihadapi, bahkan lebih memilih lari dari permasalahan,
misalnya mengkonsumsi minuman keras, narkoba, bunuh diri, dan sebagainya.
Mereka tidak mengenal dan menyadari bahwa mereka membutuhkan
keimanan kepada Allah Swt. Mereka hidup secara sekuler, materialistik, dan
91 Ibid.
76
ateistik, sehingga hidup mereka hanya diorientasikan sampai mati saja.
Terpenuhinya kebutuhan materi seperti makan, minun, tidur, dan seks tidaklah
membuat seseorang menjadi bahagia, karena di luar itu ia membutuhkan
sesuatu, yaitu pemenuhan kebutuhan jiwa. Atas problem masyarakat modern
seperti ini, al-Qur’an selalu relevan untuk dijadikan pijakan dan resep untuk
menghilangkan kesedihan dan kecemasan, untuk menggapai kebahagiaan. Salah
satu yang perlu dicatat adalah bahwa keimanan yang kokoh kepada Allah
merupakan fondasi (dasar) untuk meraih ketenangan jiwa, sementara jauh dari
jalan-Nya akan menyebabkan kecemasan dalam jiwa. Setiap orang beriman
dianjurkan oleh Allah untuk kembali kepada Allah, meminta pertolongan
kepada-Nya, dengan disertai sikap sabar. Dengan sikap sabar dalam
menghadapi bencana dan kesusahan, maka ia akan mendapat pahala dari Allah
Swt., sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Baqarah: 155-157 sebagai berikut:
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ’Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendaptkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Keimanan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis,
sehingga mengantarnya hidup tenang, bahagia, dan dapat berkonsentrasi dalam
pekerjaannya. Oleh sebab itu, keimanan kepada Allah Swt. Selalu ditekankan
dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rizki. Beberapa ayat al-
Qur’an menyatakan bahwa Allah adalah Penjamin Rizki manusia, misalnya
dapat dilihat dari QS. Huud: 6 berikut ini: ”Tidak ada satu binatang melatapun
di dunia ini kecuali Allah yang menjamin rezeki-Nya”. Hal ini bukan berarti
bahwa manusia diajak untuk menanti kedatangan rezeki tanpa berusaha, tetapi
77
bertujuan agar manusia yang beriman untuk selalu percaya diri,
mengembangkan cinta kasih, serta ketenangan batin apabila rezeki yang
diharapkan beum kunjung tiba.92
Keimanan kepada Allah, kata Sayyid Quthub dalam memahami QS. al-
A’raf: 96, adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik
alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran pengetahuan manusia, serta dinamisme
organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan dalam bidang rasa menyangkut
hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses
dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah Swt. Adalah pendorong yang
sangat kuat. Ia menghimpun semua potensi manusia dan mengarahkannya ke
satu tujuan seraya memberinya kebebasan untuk meraih dukungan kekuatan
Allah, dan melakukan aktivitas sesuai dengan kehendak-Nya, yaitu membangun
dunia ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan penganiayaan,
serta meningkatkan dan mngembangkan kualitas hidup. Semua ini merupakan
faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan
kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan terhadap hawa nafsu dan
penghambaan diri kepada manusia. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa hanya
manusia yang bebas dan hanya tunduk kepada Allah sematalah yang mampu
menjadi khalifah di bumi, yaitu sebuah kekhalifahan yang lurus, sinambung,
dan terus meningkat, jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi hamba-
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa (1994) Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra Al-Qu’ayyid, Ibrahim Hamd (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-
Najihah, terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka
Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka. dalam https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-hamka/
Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung:
Pustaka Setia Bagir, Haidar (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan Bastaman, H.D. & Fuat N.S. : 1995, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar ---------------------(2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna
Hidup dan Meraih Hidup Bermakna , Jakarta : Rajawali Pers. Gulen, M. Fethullah (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab
Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar. Singapura: Pustaka Nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media
Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5 Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki
Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati
Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com Martokoesoemo, Priatno H. (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan Muthahhari, Murtadha (2007), Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama,
Bandung : Mizan ------------(2008), Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jatidiri Manusia,
Jakarta : Penerbit Lentera Nawawi, Rif’at Syauqi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat Rakhmat, Jalaluddin (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung : Simbiosa
Rekatama Media ---------- (2010), Tafsir Kebahagiaan, Bandung: Serambi ---------- (2003), Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda
----------(1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan,
Bandung; Rosda Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan
meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka
Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016
Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani