PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN MODERN MELALUI PENGGUNAAN TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN PADA LAHAN PADI SAWAH Oleh : Handewi P. Saliem Ketut Kariyasa Henny Mayrowani Adang Agustian Supena Friyatno Sunarsih PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTRIAN PERTANIAN 2015
104
Embed
PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN MODERN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2015_09.pdf · KEMENTRIAN PERTANIAN 2015 . i KATA PENGANTAR Masalah yang dihadapi dalam swasembada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN MODERN MELALUI PENGGUNAAN
TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN PADA LAHAN
PADI SAWAH
Oleh :
Handewi P. Saliem
Ketut Kariyasa Henny Mayrowani Adang Agustian
Supena Friyatno Sunarsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTRIAN PERTANIAN
2015
i
KATA PENGANTAR
Masalah yang dihadapi dalam swasembada pangan khususnya padi antara lain
produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara
lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Alat dan mesin pertanian,
diperlukan untuk mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang
mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya
rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat
dilaksanakan secara optimal. Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi
dengan perlakuan pascapanen yang tepat penting diadopsi. Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah penerapan pertanian moderen
menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan kegiatan olah tanah,
penanaman sampai panen dan perontokan.
Kajian ini dilakukan untuk mengkaji prospek pengembangan usahatani padi
berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara
khusus kajian ini dilakukan untuk mengetahui tambahan manfaat yang diberikan
pertanian moderen yang dikelola dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian
konvensional yang dikelola secara manual, kelembagaan pengelolaan alsintan yang
eksisting pada lahan pengembangan, dan memberikan masukan dalam penerapan
kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang
berkelanjutan.
Kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian sampai
tersusunnya laporan ini, disampaikan terima kasih. Mudah mudahan hasil kajian ini
bermanfaat bagi yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2015
Kepala Pusat,
Dr Handewi P. Saliem NIP: 19570604 198103 2 001
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada pangan khususnya
padi dalam tiga tahun kedepan. Masalah yang dihadapi antara lain produktivitas padi
yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara lain yaitu irigasi,
benih, pupuk dan alat mesin pertanian.Alat dan mesin pertanian, diperlukan untuk
mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang mengakibatkan periode
penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya rekomendasi penanaman
serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi dengan perlakuan pascapanen
yang tepat penting diadopsi. Susut hasil saat penanganan pascapanen berpengaruh
pada produksi beras nasional.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah
penerapan pertanian moderen menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan
kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Beberapa aspek yang
perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani berbasis penggunaan teknologi
mekanisasi pertanian penuh, antara lain status kepemilikan atau penguasaan lahan
petani, kelembagaan pasar-baik pasar input maupun output, dan kelembagaan
pengelolaan alsintan.
Tujuan kajian
Tujuan umum adalah mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis
penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) Mengkaji tambahan manfaat yang diberikan pertanian moderen;
(2) Mengkaji kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan
pengembangan; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan pengembangan lahan
usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan.
Metodologi
Kajian ini difokuskan pada Proyek Percontohan Pertanian Moderen Kabupaten
Soppeng-Sulawesi Selatan, Kabupaten Sukahorjo-Jawa Tengah, Kabupaten Blora-Jawa
iii
Tengah, dan Kabupaten Cilacap-Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap diambil sebagai
contoh dengan dasar bahwa keberhasilan UPJA di Kabupaten Cilacap dianggap dapat
menjadi acuan dalam pengembangan UPJA di lokasi Percontohan Pertanian Moderen.
Data yang digunakan adalah adalah data sekunder dan primer. Data tersebut
dikumpulkan dari berbagai Instansi Pemerintah terkait di pusat dan di daerah contoh
dan wawancara dengan aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan petani padi
sawah. Data dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana, sedangkan
data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara
deskriptif.
Hasil kajian
Konsolidasi lahan
Dalam bidang pertanian konsolidasi dapat diartikan menyatukan lahan-lahan
sempit milik petani dan menyatukan petani dalam menjalankan usaha bersama untuk
mencapai tujuan bersama. Di lokasi Percontohan Pertanian Modern (PPM) kegiatan
konsolidasi merupakan tantangan terberat. Penghilangan pematang sawah untuk
memudahkan mobilitas alat dan mesin (alsin) pertanian, tidak bisa diterima petani
karena pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan sawah dan berfungsi
sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah.
Akhirnya disepakati bahwa pematang tetap dipertahankan sebagaimana adanya, dan
untuk memudahkan pergerakan alsin, petani tidak keberatan untuk membuka
pematang sawahnya sesuai kebutuhan sehingga tidak menjadi penghalang bagi
operasional dan mobilitas alsin.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, kesiapan infrastruktur irigasi yang terkait
konsolidasi lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan
Nasional). Pada pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi, masih
sulit dilaksanakan. Sehingga hingga saat ini, penerapan PPM yang diintegrasikan
dengan program mekanisasi yang bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester),
dalam pelaksanaannya baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan
iv
tanam. Untuk kegiatan pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan oleh
masing-masing petani.
Manfaat Pertanian Moderen Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Manfaat Usahatani
Penggunaan alat dan mesin pertanian dalam suatu hamparan yang cukup luas
memberikan beberapa manfaat yaitu: penghematan waktu, pengurangan penggunaan
tenaga kerja, pengurangan biaya, peningkatan produktifitas dan pengurangan
kehilangan hasil. Dari segi waktu, penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak,
sehingga tanam bisa dilaksanakan tanam serempak. Tenaga kerja pertanian (buruh
tani) yang terbilang langka di lokasi PPM seperti Soppeng, terselesaikan dengan
masuknya alsintan.
Dibanding dengan pertanian konvensional dengan teknologi yang biasa
dipraktikkan petani, dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil,
produksi dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha di PPM Kabupaten Soppeng. Kehilangan
hasil pada saat panen yang berkisar antara 10-12%, dengan penggunaan combine
harvester bisa menekan kehilangan panen hingga 3%. Manfaat lain dari pertanian
moderen adalah berkurangnya biaya usahatani dan bertambahnya pendapatan petani.
Di lokasi kajian terjadi penurunan biaya usahatani rata-rata 20-25% dan peningkatan
keuntungan sekitar 50%.
Manfaat Usaha Alsintan
Dalam pelaksanaan PPM dirancang dioperasionalkannya alsintan berat seperti
Traktor roda 4 (TR4), Rice transplanter dan combine harvester. Bantuan alsintan
diberikan kepada UPJA yang mampu mengelola alsintan secara komersial dengan tetap
mengacu untuk membantu petani melalui pelayanan prima. Dari usaha penyewaan
alsintan, UPJA di lokasi PPM mendapat keuntungan usaha yang cukup baik dengan
kisaran RC rasio 1,4 hingga 2,3. Keuntungan tertinggi diperoleh dari penyewaan
combine harvester . Transplanter belum dimanfaatkan dengan baik secara komersial,
karena sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian
yang cukup memadai dan memerlukan benih varietas unggul. Keuntungan dari
v
penyewaan ini masih bisa ditingkatkan dengan menambah kapasitas kerja alat melalui
perluasan jaringan kerja alat sehingga hari kerja alat bertambah. Perluasan jaringan
dengan manajerial yang solid dan aktif, seperti yang telah dilakukan UPJA Kabupaten
Cilacap, memacu perkembangan usaha UPJA.
Kelembagaan pengelolaan alsintan pada lokasi PPM
Alsintan pada lokasi pengembangan dikelola oleh UPJA. UPJA adalah suatu
lembaga ekonomi pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka
optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan
usaha. Struktur kepengurusan UPJA terdiri dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara,
yang membawahi operator alsintan yang dimiliki UPJA. Pada UPJA yang lebih
berkembang, seperti di lokasi PPM Sukoharjo, struktur kepengurusan ditambah dengan
perbengkelan dan pemasaran. Pendukung lainnya adalah teknisi, pada kasus PPM
Kabupaten Soppeng teknisi tinggal di luar desa.
Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana biaya
untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu sendiri.
Pengurus UPJA dan anggota Gapoktan bermusyawarah untuk membahas berbagai
persoalan kegiatan usahatani dan pengelolaan alsintan termasuk aturan main, antara
lain : menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor dengan
mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor,
menetapkan besaran biaya atau upah traktor, dan menetapkan larangan adanya traktor
dari luar daerah/desa untuk melakukan pengolahan lahan sawah dengan
memperhatikan bahwa jumlah traktor di wilayahnya.
Alsintan sudah banyak digunakan dalam usahatani padi, namun ketersediaannya
masih terbatas. Secara sosial, alsin sudah diterima masyarakat antara lain karena :
ketersediaan tenaga kerja sudah kurang, dan membutuhkan waktu yang cepat dalam
pengolahan lahan untuk mengejar jadwal tanam.
Kelembagaan pengelolaan usahatani, penyediaan input, pascapanen dan
pemasaran Penyediaan input dilakukan secara individu, khusus penyediaan pupuk dilakukan
melalui RDKK kelompok tani/gapoktan, karena berlaku sistem distribusi pupuk tertutup.
vi
Bagi petani yang cukup modal bisa membeli di kios saprotan. Dalam PPM input
diperoleh dari Bansos dan didistribusikan melalui Gapoktan. Aplikasi sarana produksi
tersebut di lahan usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masing-
masing. Sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian
yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah).
Dengan demikian adopsi inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi
penggunaan benih padi dapat dilakukan dengan menggunakan transplanter. Inovasi
penggunaan input diperoleh dalam PPM saprodi yang lebih sedikit namun efisien,
aplikasi pestisida dilakukan sesuai dengan jenis dan serangan OPT. Setelah PPM
kegiatan pengolahan tanah, persemaian, tanam dan panen dikoordinir oleh pelaksana
PPM, namun setelah itu diharapkan bisa dikoordinir oleh Gapoktan. Pemasaran hasil
dilakukan oleh petani masing-masing. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang
berperan dalam pembelian gabah milik petani. Diharapkan pedagang ini akan diganti
oleh Gapoktan atau koperasi tani, dimana mereka bekerjasama atau bermitra dengan
pedagang atau BULOG.
Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat
diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan
tindakan). Dedikasi, kerja keras, kemampuan diplomasi seluruh petugas yang terlibat,
yaitu Dinas Pertanian, Penyuluh, Lurah, Camat, Babinsa, pengurus Gapoktan dan
kelompok tani, dan sebagainya sangat membantu dalam mengatasi masalah konsolidasi
lahan ini (serta masalah-masalah lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan PPM).
Kendala pengembangan
Kendala pengembangan saat ini adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa
alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester, (2) Terdapatnya
kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, (3) Masih terbatasnya sarana pendukung
seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada didesa
percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang dihasilkan,
sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika permasalahan
vii
tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan harapan
penerapan konsep pertanian moderen tidak akan berjalan baik.
Pembelajaran dan indikasi kebijakan yang dibutuhkan untuk pertanian
moderen. Permasalahan belum bisa terselenggaranya pertanian moderen secara sempurna
adalah : (a) waktu persiapan untuk pelaksanaan pertanian moderen kurang memadai,
sehingga pemahaman dan keyakinan kepada petani kurang, (2) failitas sarana dan
prasarana tidak sempurna antara luas areal dengan jumlah alsintan yang disediakan, ,
(3) konsep dengan implementasi masih belum sinkron antara lain dalam konsep petani
yang bergabung akan diberi modal untuk sektor non pertanian sama sekali tidak ada
realisasinya, dan (4) koordinasi dengan lembaga lain yang mendukung pertanian
moderen masih lemah, misalnya dengan perbankan dan Bulog. Dari segi adopsi dan
diffusi inovasi percontohan pertanian moderen ini cukup berhasil.
Pelaksanaan percontohan melibatkan banyak pihak, namun minim konstruksi
kelembagaan yang berbasis pada kekuatan yang dimiliki oleh petani, dan kelompok-
kelompok setempat. Singkatnya waktu pelaksanaan juga membuat konstruksi
kelembagaan tidak menjadi fokus utama, karena bagian ini memang perlu waktu lama
dan hasilnya tidak segera dapat dilihat. Terdapat empat elemen dasar kelembagaan
yang perlu diperhatikan dalam mengkonstruksi kelembagaan, yaitu: (1) Pelaku
(stakeholder) dengan posisi dan perannya. Pelaku dalam proses produksi komoditas
pertanian, khususnya padi adalah : petani, produsen/penjual sarana produksi,
produsen/penjual alsin dan bengkel alsin serta UPJA, penjual jasa tenaga kerja
pertanian, pembeli hasil pertanian, Lembaga keuangan, Lembaga pemerintah (dinas
terkait, penyuluh); (2) Jaringan dan interaksi yang berpola. Agar aktivitas dalam proses
produksi dapat belangsung dengan lancar, maka harus dibangun jaringan antar pelaku
sedemikian rupa sehingga interaksi antar pelaku bisa terpola; (3) Aturan main yang
adil. (4) Sarana pendukung. Sarana pendukung dalam proses budi daya padi adalah
lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana produksi, peralatan. Keempat elemen
kelembagaan ini harus terkelola dengan baik agar kegiatan pertanian moderen ini bisa
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
viii
Skala percontohan seluas 100 ha, melibatkan banyak pihak, bahan dan alat, yang
sebagian darinya harus didatangkan dari luar. Kondisi ini tidak bisa terus menerus
dilakukan, alternatifnya adalah membuat skala percontohan dengan basis kemampuan
mandiri komunitas dalam penyediaan bahan, alat dan tenaga kerja, serta kemampuan
mengelola seluruh aktivitas dan hasilnya. Kepemilikan alsin sesuai jenis dan jumlah
(sesuai kapasitas) bisa digunakan sebagai basis untuk menentukan luasan percontohan.
Dengan menghitung kepemilikan alsin UPJA Semangat di kabupaten Soppeng misalnya,
maka percontohan lebih optimal jika dilakukan pada lahan sawah seluas 20-50 ha.
Pelaksanaan percontohan sangat singkat, hanya 1 musim tanam. Akan lebih baik
jika pelaksanaan tidak hanya dibatasi satu musim, karena esensi penerapan pertanian
moderen sebagai suatu inovasi adalah pada perubahan perilaku dalam adopsi inovasi.
Perubahan perilaku dan adopsi inovasi perlu waktu dan keberadaan kelompok dapat
membuat individu mengikuti proses sesuai dengan yang dialami oleh individu dominan
yang menjadi panutan.
Dedikasi dan komitmen petugas pelaksana juga harus diperhatikan dalam
pelaksanaan kegiatan pertanian modern, fasilitasi, pendampingan, dan pembinaan
kegiatan PPM serta mobilisasi massa, sehingga kegiatan tersebut dapat terlaksana.
Pengalaman sangat membantu dalam pelaksanaan PPM. Selain itu, dukungan Pemda
setempat dan pihak lainnya juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam
pelaksanaan PPM.
Kesimpulan
Dari bahasan diatas dapat disimpulkan : (1) Alsintan memiliki keunggulan secara teknis
maupun ekonomis. Dalam pelaksanaan PPM, konsolidasi lahan adalah hal yang sangat
sulit mengingat galengan masih digunakan sebagai penahan air dan batas kepemilikan.
Namun hal tersebut bisa diatasi dengan memperkecil galengan atau meratakan
galengan sementara; (2) Pengembangan usahatani padi melalui penerapan
penggunaan alat dan mesin pertaniandan pengelolaan usahatani yang terpadu
menyebabkan terjadi efisiensi waktu, biaya tenaga kerja, percepatan IP, kualitas kerja
dan produk meningkat. Namun pengelolaan usahatani terpadu belum sepenuhnya
ix
dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini baru pada kegiatan olah tanah dan tanam; (3)
Pengelolaan usaha alsintan sudah relatif baik, tetapi masih perlu dikembangkan secara
profesional dengan memperluas jaringan kerja. Namun masih ada UPJA di lokasi contoh
yang belum menentukan aturan main dari penyewaan alsin, terutama alsin yang baru
dimiliki (bantuan Pemerintah); (4) Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi
baru, kegiatan tersebut antara lain adalah sistem persemaian dengan menggunakan
transplanter yang memerlukan keahlian yang cukup memadai. Hal ini merupakan
tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh untuk mengubah perilaku
(pengetahuan, sikap dan tindakan) agar introduksi inovasi PPM secara keseluruhan
dapat diterima dan diadopsi oleh petani; (5) Dalam pelaksanaan PPM belum ada
introduksi kelembagaan pemasaran hasil. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang
berperan dalam pembelian gabah milik petani; (6) Penyediaan sarana produksi saat ini
masih disediakan melalui Paket Optimasi Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya
sama baik dalam jenis, jumlah, dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti
penyediaan paket tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah. Namun
sebagian petani menyatakan bahwa akses untuk memperoleh sarana produksi mudah
didapat asal tersedia modal. Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada
lokasi PPM juga perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam;
(7) Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian
moderen tersebut adalah masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor
roda 4, transplanter dan combine harvester, keterbatasan tray/nampan untuk
pembibitan, terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan,
keterbatasan RMU yang ada di lokasi percontohan, dan terbatasnya gudang
penyimpanan gabah hasil panen.
Implikasi Kebijakan
Untuk mempercepat penerapan pertanian moderen yang berkelanjutan beberapa
implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: (1) Perlu persiapan
waktu untuk mensosialisasikan pertanian moderen kepada masyarakat dan stakeholder
terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk implementasi pertanian modern,
x
terutama yang menyangkut perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi
inovasi memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi plot
(dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan dan
meniru atau adopsi inovasi tersebut; (2) Perlunya specific road map sehingga bisa
menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian moderen
ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi atau akan
diterapkan secara bertahap tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan tanam
saja, dilanjutkan dengan pemeliharaan teritegrasi dan kemudian dengan tahapan
panen, pasca panen dan pemasaran; (3) Perlu adanya program pendamping, sesuai
dengan konsep pertanian moderen dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh
sektor non pertanian. Konsep ini bisa dilakukan dengan pembukaan kesempatan kerja
sektor non pertanian yang terkait maupun tidak terkait dengan pertanian; (4) Terkait
dengan fasilitasi alsintan, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang ditujukan
untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus sudah lolos uji
sehingga layak pakai, juga kesiapan melempar ke pasaran umum termasuk kesediaan
spare-part, layanan purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada
belum layak pakai; (4) Di lapangan terdapat permasalahan pada satu lokasi pertanian
moderen tetapi tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di Sukoharjo ada
keterbatasan jumlah tray tetapi di Soppeng dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah
karena ada metoda lain. Untuk itu perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti
pusat-pusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi
banding yang difasilitasi oleh pemeritah: (5) Untuk permasalahan yang terkait dengan
alam antara lain : kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, perlu ada kajian
yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja yang layak
untuk dikembangkan sebagai pertanian moderen, semi moderen dan konvensional; (6)
Perlu adanya jaminan ketersediaan sarana produksi seperti : pupuk, pestisida, air
irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat gapoktan atau
koperasi tani.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
ii
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiii
I PENDAHULUAN
1
1.1. Latar belakang
1
1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian
4
II METODOLOGI
5
2.1 Lokasi Penelitian
5
2.2. Sumber dan Jenis Data
5
2.3. Metode Analisis
6
III HASIL KAJIAN
6
3.1. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan
6
3.1.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 6
3.1.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan
Mekanisasi Pertanian
10
3.1.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan
Namun pelaksanaan PPM juga mengintroduksi penggunaan pupuk organik dan
PPC/POC, yang tidak digunakan atau digunakan dalam jumlah sedikit oleh petani.
Khusus penggunaan pestisida ini, petani mendapatkan pelajaran dalam hal
aplikasi obat-obat. Biasanya petani menggunakan beberapa jenis obat-obatan yang
dicampur dan diaplikasikan secara bersamaan. Ternyata cara ini tidak benar karena
zat aktif yang terkandung di dalamnya bisa tidak dapat bekerja secara efektif.
Aplikasi yang benar adalah dengan menggunakannya satu demi satu, sesuai dengan
jenis dan tingkatan serangan OPT yang terjadi.
22
Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA
setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna
jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan
dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin.
Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat
diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap
dan tindakan). Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan
PPM terdapat beberapa inovasi yang berbeda dengan kebiasaan petani, sehingga
petani perlu diyakinkan agar mau mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hal
memobilisasi massa, TNI berperan di dalamnya.
Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian
gabah milik petani. Pedagang pembelian gabah petani adalah ketua gapoktan
sendiri, yang dalam hal ini bertindak sebagai pribadi bukan atas nama gapoktan.
Petani setempat biasanya menjual hasil panennya segera begitu selesai panen, dan
hanya menyisakan 5-10 karung untuk persediaan konsumsi. Pedagang ini menjalin
kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan. Harga yang ditawarkan oleh
pedagang ini untuk petani setempat sedikit di atas harga pasar, dan diharapkan
selisih harga tersebut dapat dialokasikan untuk kas gapoktan, namun hal tersebut
masih dalam taraf wacana belum dibahas dalam gapoktan.
3.2. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten
Sukoharjo, Jawa tengah
3.2.1 Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan
Secara umum, kepemilikan lahan yang sempit dan terpencar merupakan
kendala umum bagi usaha tani tanaman pangan di Indonesia. Kualitas lahan dan
lingkungan yang semakin terdegradasi tentunya akan berimplikasi pada rendahnya
efisiensi usaha tani. Kendala lain adalah minimnya ketersediaan modal untuk
mengelola usaha tani dan kurangnya pengetahuan petani dengan teknologi
pertanian. Program pemerintah yang digunakan sebagai stimulus penyediaan
saprodi berupa kredit pun sering bermasalah. Program kelompok corporate farming
23
yang terbingkai dalam program pertanian modern misalnya, belum secara optimal
diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Secara harfiah definisi konsolidasi adalah menyatukan seluruh sumber daya,
peluang dan kekuatan untuk memenangkan persaingan jangka panjang.
Memenangkan persaingan berarti menjadi yang terbaik dalam melayani kebutuhan
konsumen/klien saat ini dan pada masa datang. Konsolidasi dilakukan dengan
mengevaluasi kondisi usaha saat ini, diteruskan dengan pengembangan strategi
usaha jangka panjang. Strategi tersebut dibuat lebih terperinci dalam bentuk
perencanaan dengan sasaran bergerak ke jangka menengah dan panjang yang
meliputi pengembangan sistem manajemen agar perencanaan dan implementasi
bisa sejalan, memberikan perioritas pada pengembangan yang dilakukan secara
terus menerus, pengembangan pasar dilakukan sistimatis dan efisiensi menjadi
acuan prestasi.
Konsolidasi aplikasinya dalam bidang pertanian, seorang penyuluh dapat
memberikan konsep mengenai konsolidasi lahan petani yang rata-rata kecil. Dengan
luas lahan petani yang kecil ini maka jika di hitung untung dan ruginya maka dari
usahataninya hasilnya petani akan rugi karena biaya operasional yang di keluarkan
untuk saprotan relatif besar. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya operasional maka
perlu ada upaya konsolidasi lahan. Kepemilikan tanah petani yang kecil tersebut
setelah dikonsolidasi maka akan terbentuk lahan yang luas, petani harus bersatu dan
menjalankan usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama. Model konsolidasi
tampaknya mumpuni untuk dijadikan sebagai alternatif strategi pemberdayaan
petani, namun dalam implementasinya patut berhati-hati dengan perencanaan yang
matang.
Konsolidasi lahan yang diprogramkan juga seyogyanya bersinergi dengan
penerapan mekanisasi pertanian, sehingga bingkai pengembangan pertanian
modern dapat tercapai. Penerapan pertanian modern yang menitikberatkan kepada
penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi diharapkan
menjadi solusi tepat dapat diterapkan. Selain itu, dengan konsep pertanian modern
dapat menjadi momentum menarik minat pemuda mengingat tenaga kerja terutama
pada kalangan generasi muda di sektor pertanian semakin minim. Tenaga kerja di
bidang pertanian, kini didominasi orangtua yang berusia lebih dari 50 tahun. Alasan
24
utama regenerasi tak berjalan, karena menjadi petani bukanlah pekerjaan impian
kalangan muda. Apalagi ada kesan kotor dan bau lumpur. Jadi tidak heran,
pekerjaan petani makin ditinggalkan.
Peluang pengembangan mekanisasi pertanian, bukan sebatas kondisi tenaga
kerja di bidang pertanian yang makin berkurang, tapi ada faktor lainnya. Alsintan
memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Selain itu, kemampuan
industri dalam negeri memproduksi alsintan yang bermutu juga semakin
berkembang, adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan alsintan, dan
tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan dalam pengembangan
alsintan. Sementara itu, prasyarat pengembangan mekanisasi pertanian adalah
mencakup: pendataan penyebaran alsintan secara akurat, adanya fasilitas
penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses perbankan.
Selain itu, dukungan kebijakan industri alsintan, perdagangan alsintan, dan
dukungan terhadap pengawasan, peredaran, serta penyuluhan alsintan. Umumnya
untuk fasilitas penyediaan alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah
pusat/daerah, dan optimalisasi kinerja UPJA.
Penerapan PPM di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari merupakan proyek
percontohan pertanian yang diintegrasikan dengan program mekanisasi yang
bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester). Namun dalam pelaksanaannya
baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan tanam serta sebagian ada
konsolidasi lahan dengan meniadakan galengan sawah. Terkait dengan pertanian
modern tersebut, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal
ini galengan sawah masih diperlukan agar saat pengairan satu petakan sawah dapat
optimum pengenangannya. Pola pelepasan/pengecilan galengan sawah per-3 ha,
pada beberapa petani pemilik lahan, sekitar 1-2 orang yang mengelola usahatani
tersebut dan petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya
nonusahatani, dan masalah kesiapan infrastruktur irigasi dan terkait konsolidasi
lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Adapun dalam hal pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi,
dimana beberapa petani akan diberikan mata pencaharian nonusahatani dalam
prakteknya sangat sulit karena kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki
petani. Selain itu, permodalan juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya.
25
Permasalahan sosial lainnya tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan
meniadakan galengan, sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum
dipersiapkan oleh BPN untuk keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur
irigasi yang belum sepenuhnya memadai untuk kegiatan usahatani untuk konsolidasi
lahan.
Sementara itu, untuk pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan
oleh masing-masing petani. Luas program pertanian modern di Sukoharjo seluas 100
ha, ditambah dengan swadaya seluas 70 ha. Fasilitas yang digunakan meliputi 2 unit
traktor roda 4, 1 unit traktor roda 2, 2 unit combine harvester, 3 unit rice
transplanter dan 2 unit UPPO. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait
implementasi program pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat
kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester,
(2) Terdapatnya kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, dimana kebutuhan
per ha sekitar 200-250 tray, dan harga tray cukup mahal sebesar Rp 35.000/unit
dan jumlah tray yang dimiliki masih terbatas, (3) Masih terbatasnya sarana
pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang
ada didesa percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang
dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika
permasalahan tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan
harapan penerapan konsep pertanian modern tidak akan berjalan baik.
3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Analisis Manfaat Usahatani
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yang dimaksud Pertanian
Modern di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo adalah
belum full mechanized pada semua tahapan mulai dari pengolahan lahan sampai
dengan panen, akan tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen.
Selain itu, penggunaan mesin panen (combine harvester) juga tidak dapat
dilaksanakan pada musim MH atau MT1. Oleh karena itu, membandingkan manfaat
adanya program Pertanian Modern dilakukan pada MT2 atau MK1 supaya informasi
26
penggunaan combine harvester dapat tertangkap. Perbandingan usahatani padi
pada MT2 antara pertanian Modern dan Konvensional disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Konvensional di Desa
Delanggu, Kecamatan Tawangsari, Kab. Sukoharjo MT II 2015 (Rp/ha)
No Uraian PPM (A) non-PPM (B) Perubahan
(A-B) %
1 Faktor Produksi :
a. Benih - 405.000 -100,00
b. Pupuk an organik 1.325.000 1.325.000 0
c. Pupuk organik 62.000 62.000 0
d. Pestisida 1.150.000 937.500 22,67
2 Tenaga Kerja :
a. Traktor 1.000.000 1.000.000 0
b. Transplanter 3.000.000 -
c. Combine Harvester 2.000.000 -
d. Tanam - 2.000.000 -100,00
e. Penyiangan - 960.000 -100,00
f. Pemupukan 1.200.000 1.200.000 0
g. Panen - 5.300.000 -100,00
3 Biaya Lain :
a. Sewa lahan 3.800.000 3.800.000 0
b. PBB 240.000 240.000 0
3 Total Biaya 13.777.000 17.229.500 -20,04
4 Nilai Produksi 48.750.000 42.500.000 14,71
5 Keutungan 34.973.000 25.270.500 38,39
6 R/C Rasio 3,54 2,47 43,32
Sumber data : Hasil wawancara dengan kelompok UPJA desa Dalangan, Kab. Sukoharjo, 2015
Sebelumnya akan dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan komponen
biaya usahatani antara pertanian modern dan nonmodern yang menyebabkan
perbedaan efisiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan tersebut di antaranya adalah :
(a) pada usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan
mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam
biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan
benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan
herbisida untuk memberantas rumput, sedangkan pada nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan
27
tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern
menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani
memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta
penyusutannya kecil, sedangkan pada nonmodern tidak (sebagian ditebaskan) dan
menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon.
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi pada
pertanian modern dengan menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan
lebih menguntungkan, dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total
biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp13,7 juta/ha, sementara
pada pertanian nonmodern mencapai Rp17,2 juta/ha, (b) nilai produksi pada
pertanian modern mencapai Rp 48,75 juta/ha, sedangkan pada non modern hanya
Rp42,50 juta/ha, dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi
(Rp34,97 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 25,3 juta/hektar).
Faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) sebagaimana telah
diungkapkan bahwa pada pertanian modern petani tidak menangani pengadaan
benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya sewa Transplanter
yaitu sebesar Rp3 juta/hektar, sementara pada pertanian konvensional selain harus
mengeluarkan biaya benih sebesar Rp405 ribu juga petani harus mengeluarkan
biaya tanam sebesar Rp2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan lebih efisien dari pada
menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) penggunaan combine harvester
disamping lebih cepat juga lebih murah dibandingkan nilai bawon. Sistem bawon
menggunakan bayaran dalam bentuk natura dengan perbandingan 8 : 2, dan jika
dihitung maka biaya bawon dapat mencapai Rp5,3 juta per hektar.
Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada
pertanian modern jumlah produksi dan kualitas produksi lebih baik. Kenaikan
kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah
sehingga produksi meningkat, sedangkan kualitas panen karena menggunakan
combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi
lebih bagus, konsekuensi lebih jauh harga gabah dari pertanian modern dihargai
oleh pembeli lebih tinggi Rp300-500 per kg.
28
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari- Sukoharjo UPJA Desa Dalangan memiliki 2 unit traktor besar dan 3 unit traktor kecil yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk
mengolahan lahan 1 traktor besar dapat mengolah lahan sekitar 3 ha/hari, dan
untuk traktor kecil dapat mengolah lahan sekitar 1,5 ha/hari. Biasanya dalam
pengolahan lahan selalu mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat
pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil. Untuk mengetahui kelayakan usaha traktor ini, maka
berikut disajikan analisis finansial usaha traktor besar. Sesuai dengan data dan
spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan
Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu
seluas 60 hektar sawah layanan per unit traktor per musim tanam, (b) harga traktor
tangan adalah Rp 285 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 10 tahun dan
masa olah tanah adalah 3 kali per tahun yaitu selama 20 hari selama 3 kali musim
tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 10 tahun adalah Rp 57 juta (20%) dan (e)
harga sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha. Pada Tabel 10 disajikan analisis finansial
usaha traktor tangan di lokasi kajian.
Tabel 10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Dalangan
Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 70.000 112.500 11,32
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,5 40.000 20.000 3,23
b. Gemuk/stempet Kg 2.000 0,32
1.3. Spare part & service
Unit 27.778 4,49
1.4. Penyusutan - 126.667 20,48
1.5. Operator - 372.000 60,15
1.7.Total - 618.445 61,84
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 1.000.000 1.000.000
3 Keuntungan - 381.555 38,16
4 R/C rasio 1,62
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA Desa Dalangan Kab. Sukoharjo, 2015
29
Nilai sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha, dan total biaya usaha jasa traktor
senilai Rp 618.445/ha atau sebesar 61,84% terhadap penerimaan, dan keuntungan
usaha traktor sebesar Rp 381.555 ribu/ha atau sekitar 38,16% dari penerimaan
serta perolehan R/C rasio sebesar 1,62. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor
adalah untuk operator mencapai 60,15% dari total penerimaan dan urutan kedua
dan ketiga adalah penyusutan sebesar 20,48% dan biaya BBM sebesar 11,32%.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, bahwa luas lahan layanan yang
saat ini sudah cukup ideal, karena pengembalian investasi traktor dapat mencapai
maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian
yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan pengolahan lahan minimal
harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua faktor input (BBM,
Oli dan Spare part adalah konstan). Di lokasi kajian, setelah usia traktor 10 tahun,
jika traktor dijual maka harganya masih cukup tinggi sekitar 20% dari harga
pembelian awal. Mesin traktor bekas dapat diperbaiki lagi atau mesinnya dapat
digunakan untuk kepentingan lainnya.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas oleh masyarakat, sehingga dalam perkembangannya
rasio pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi
kajian saat ini masih ideal. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang
dilakukan oleh UPJA tentu masih dapat dilakukan di wilayah UPJA atau di desa
sekitar kecamatan domisili UPJA tersebut.
Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo
UPJA Desa Dalangan memiliki tiga unit rice transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di Desa Dalangan. Data dan spesifikasi
transplanter kelompok UPJA sebagai berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan
lumpur yang ada di sawah desa Dalangan, sehingga luas layanan yaitu 20 hektar
sawah layanan per musim per unit transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75
juta, (c) umur ekonomis transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 3
kali per tahun, yaitu periode waktu tanamnya 10 hari efektif/musim dan terdapat 3
kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5
30
juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar Rp 3 juta/ha (termasuk benih
ditanggung pengelola tranplanter). Berikut pada Tabel 11 disajikan analisis finansial
usaha transplanter di lokasi kajian.
Tabel 11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Dalangan, Kec.
Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi Kg 45 10.000 450.000 15,00
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 1,67
2 Biaya: 0,00
2.1. BBM Liter 10 7.000 70.000 2,33
2.2. Oli: 0 0,00
a. Mesin Liter 0,16 40.000 6.400 0,21
b. Gemuk/stempet Kg 0,05
30.000 2,493 0,00
2.3. Spare part & service Unit 6667 6.667 0,22
2.4. Penyusutan - 170833 170.833 5,69
2.5. Operator - 972.000 32,40
2.7.Total - 1.725.902 57,53
3 Pendapatan dari Sewa Ha 1 3.000.000 3.000.000 100,00
4 Keuntungan - 1.274.098 42,47
5 R/C rasio 1,74
Sumber data : hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 3 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 1,72 juta/ha atau
sebesar 57,53% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
1,27 juta/ha atau sekitar 42,47% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,74. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya operator mencapai
32,40% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih mencapai 15,00%,
sedangkan biaya penyusutan adalah urutan ketiga yaitu sebesar 5,69%.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan sekitar
20 ha/musim tanam yang dinilai memadai, karena pengembalian investasi
transplanter dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya.
Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan areal yang
31
dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim tanam.
Namun dalam pengembangan tranplanter di Sukoharjo masih terdapat kendala yang
dihadapi antara lain: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan ke luar desa dari lokasi UPJA tersebut berada.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap jumlah alat transplanter di lokasi kajian masih
berpeluang untuk ditingkatkan jumlah alatnya.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo
UPJA Desa Dalangan memiliki 1 unit Combine Harvester ukuran besar (merek
Crown)dan 2 unit miniCombine Harvester (ukuran kecil merek Quick)yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
power thresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester ukuran besar
yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
wilayah yang memungkin kondisi lahannya dapat dilayani dalam panennya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 60 hektar sawah layanan per unit Combine
Harvester per musim, (b) harga Combine Harvester ukuran besaradalah sekitar Rp
400 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine Harvester adalah sekitar 10 tahun dan
masa panen adalah 3 kali per tahun dimana periode kerja Combine Harvester dalam
satu kali musim panen sekitar 30 hari, (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10
tahun adalah Rp 40 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2
juta/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi
kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine
Harvester Rp 2 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvestersenilai Rp 1,21
juta/ha atau sebesar 60,40% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine
32
Harvester sebesar Rp 791,93 ribu/ha atau sekitar 39,60% dari penerimaan
sertaperolehan R/C rasio sebesar 1,66. Komponen terbesar dari biaya usaha
Combine Harvester adalah biaya operator mencapai 38,60% dari total penerimaan,
urutan biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan sekitar 10,00% dan biayaspare
part sekitar 7,20%.
Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar
(mengeluarkan) dengan uang tunai Rp 2 juta/ha.Dari hasil tersebut setelah
dikurangi biaya BBM, maka sekitar 40% dialokasikan untuk operator dan yang
membantu operasional Combine Harvester dan sisanya 60% untuk bagian UPJA
tersebut.
Tabel 12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10,00 7.000 70.000 3,50
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,25 60.000 15.000 0,75
b. Hidraulik Liter 0,03 60.000 2.000
c. Gemuk/stempet Kg 0,02 30000 5.000 0,25
1.3. Spare part & service Unit 144.074 7,20
1.4. Penyusutan - 200.000 10,00
1.5. Operator - 772.000 38,60
1.7.Total - 1.208.074 60,40
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.000.000 2.000.000 100,00
3 Keuntungan - 791.926 39,60
4 R/C rasio 1,66
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
Combine Harvester dapat mencapai 60 ha dalam per musim panennya, dan per
tahun dapat mencapai antara 150-180 ha. Idealnya combine harvester tercapai
kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35
ha/tahun. Dengan demikian penggunaan mesin panen combine harvester di
Sukoharjo pada umumnya masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi, atau
33
penambahan mesim combine harvester masih memungkinkan di kalangan UPJA
yang ada atau melalui penumbuhan UPJA baru.
3.2.3. Kelembagaan Pengembangan Alsintan Pada Lahan Pengembangan
Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo
(2015), diketahui bahwa selama kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah
mengalami peningkatan pesat sebesar 8,17 %/tahun, yaitu dari 35,08 ribu ha pada
tahun 2011 menjadi 49,03 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen
tersebut, produksinya meningkat sebesar 12,19 %/tahun, yaitu dari 185,65 ribu ton
pada tahun 2011 menjadi 327,18 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun
menjadi 310,75 ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun
waktu tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,31 %/tahun, yaitu dari 5,29
ton/ha pada tahun 2011 dan menjadi 6,34 ton/ha pada tahun 2014. Oleh karena itu,
selama kurun waktu 2011-2014 peningkatan produksi padi sawah di Sukoharjo lebih
dominan terdorong karena peningkatan luas panennya, hal ini sebagai mana terlihat
tren peningkatan luas panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tren
peningkatan produktivitasnya (Tabel 13).
Tabel 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di
Kabupaten Sukoharjo, 2011-2014
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ha)
2011 35.082 185.653 5,29
2012 52.041 346.039 6,65
2013 47.783 327.182 6,85
2014 49.028 310.753 6,34
r (%/tahun) 8,17 12,19 5,31
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo (2015).
Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan irigasinya, maka
diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 20.814 ha sebagian besarnya
(70,87%) merupakan lahan sawah irigasi teknis yang dapat ditanami padi 2-3 kali
dalam setahun. Sementara lahan sawah yang berpengairan irigasi ½ teknis seluas
2.161 ha (10,38%) dan beririgasi sederhana seluas 1.895 ha (9,10%) (Tabel 14),
dimana kedua jenis lahan yang berpengairan irigasi ½ teknis dan sederhana
34
umumnya telah dapat ditanami padi dua kali, dan pada musim ketiga ditanami
sayuran atau palawija. Selanjutnya untuk lahan tadah hujan luasnya mencapai 2.007
ha (2,64%), pada saat musim hujan umumnya ditanami padi, selanjutnya jika air
hujan masih memadai maka petani masih bisa menanam padi lagi dan jika tidak
memadai maka petani akan menanam sayuran atau palawija dimusim keduanya.
Tabel 14. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Kondisi Irigasinya untuk Pertanaman
Padi di Kabupaten Sukoharjo, 2014.
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. Teknis 14.751 70,87
2. ½ Teknis 2.161 10,38
3. Sederhana 1.895 9,10
4. Tadah Hujan 2.007 9,64
Total 20.814 100,00 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Perkembangan mekanisasi pertanian di Kabupaten Sukoharjo cukup pesat,
salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
pertanian antara lain untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.
Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai
1.306 unit yang tersebar di 12 kecamatan. Traktor tersebut mencakup roda 2 dan
roda 4, namun sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang lebih
fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi yang
berteras. Aktivitas tanam pun di Sukoharjo saat ini telah mulai menggunakan alat
transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 5 unit khususnya yang
terdapat pada UPJA. Karena itu, penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual
nantinya akan semakin menurun.
Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan
menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Sukoharjo masih tinggi, dengan
jumlah tahun 2014 hingga mencapai 1.639 unit (Tabel 15). Adapun combine
harvester di Sukoharjo hingga tahun 2014 belum tercatat, dan pada akhir tahun
2014 combine harvester yang bersumber dari bantuan pemerintah mulai ada di
Sukoharjo. Jumlah combine harvester hingga awal 2015 berjumlah 4 unit, yaitu 2
unit ukuran besar (terdapat di UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan-Tawangsari dan
di UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh-Mojolaban) dan 2 unit ukuran kecil yang
35
terdapat di UPJA Bagyo Mulyo. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di
Kabupaten Sukoharjo antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga
combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 400 juta/unit untuk ukuran besar.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan
diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 16:1. Artinya
setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat
melayani lahan sekitar 16 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah traktor yang ada di Kabupaten Sukoharjo sudah cukup ideal. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor
roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15
ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Sukoharjo semua lahan telah diolah secara
mekanisasi, yaitu dengan menggunakan traktor.
Tabel 15. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Sukoharjo, 2014 dan 2015 (Unit).
Kecamatan Jenis Alsintan (Unit)
Traktor Transplanter Tresher RMU
1. Weru 79 0 58 30
2. Bulu 66 0 18 19
3. Tawangsari 82 4 39 42
4. Sukoharjo 141 0 82 40
5. Nguter 104 0 338 25
6. Bendosari 180 0 395 43
7. Polokarto 142 0 350 96
8. Mojolaban 149 1 248 65
9. Grogol 106 0 511 21
10. Baki 131 0 189 53
11. Gatak 88 0 163 32
12. Kartasura 38 0 131 4
Jumlah 1.306 5 1.639 470
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter
sekitar 4.163: 1. Artinya setiap transplanter yang ada harus dapat melayani lahan
sekitar 4.163 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
36
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar
32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Sukoharjo masih
dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual
kegiatan tanamnya.
Tabel 16. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Sukoharjo, 2014.
Rasio Luas Lahan: Alsintan Angka Rasio (ha: unit)
1. Lahan : Traktor 16: 1
2. Lahan : Transplanter 4.163: 1
3. Lahan : Power thresher 13:1
4. Lahan: Combine Harvester 5.203:1 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo, diolah (2015).
Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 13:1. Artinya
setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 13 ha (Tabel
16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada di
Kabupaten Sukoharjosudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa areal power thresher
dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)
sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan
panen padi sawah di Sukoharjo sebagian besar menggunakan power thresher, dan
sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan
alat panen mini combine harvester.
Sementara jika dibuat rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine
harves tersekitar 5.203:1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat
melayani lahan sekitar 5.203 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah combine harvester yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang.
Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan
ideal combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan
panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi
sawah di Sukoharjo masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester,
dan sebagian besar panen dengan power thresher dan terlebih dengan memakai
sistem tebasan.
37
Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA)
Seperti telah diuraikan pada pembahasan di lokasi penelitian lainnya,
Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi baru
secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang
Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin
Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat
untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing,
sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.
UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. UPJA di Kabupaten Sukoharjo secara kelembagaan jumlahnya masih
terbatas 3 UPJA, yaitu UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari,
UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh, Kecamatan Mojolaban dan UPJA Ngulir Budi
di Desa Krajan, Kecamatan Weru.
Salah satu UPJA yang dikaji adalah UPJA Bagyo Mulya yang berada di Desa
Dalangan,Tawangsari yang berdiri sejak tahun 2013 dan berbadan hukum dengan
akta notaris. UPJA ini telah memiliki beberapa unit alsintan yaitu: (1) Traktor, yang
meliputi 2 unit traktor roda 2 dan 3 unit traktor roda 3, (2) Transplanter: 3 unit, dan
(3) Combine Harvester: 3 unit, yang meliputi 1 combine harvester besar dan 1
combine harvester kecil.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Bagyo Mulyo meliputi seluruh desa
di Dalangan di Kecamatan Tawangsari dan juga di desa sekitarnya di kecamatan
tersebut. Berkembangnya UPJA Bagyo Mulyo tidak terlepas dari keaktifan dan
soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 3
pengurus inti, dan sebanyak 19 orang merupakan pengurus (ketua dan anggota)
UPJA di kelompok seksi operator alsintan, perbengkelan dan pemasaran.
Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana
biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu
sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA
berkumpul diantara anggota untuk membahas berbagai persoalan yang ada baik
38
yang menyangkut kegiatan pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan
lainnya terkait UPJA.
3.2.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Panen dan
Pascapanen
Kelembagaan Pengelolaan Usahatani dan Penyediaan Input
Saat ini pengelolaan usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha
Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja
petani menggunakan jasa alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman,
dan pemanenan. Luas lahan sawah di lokasi kajian Desa Dalangan, Tawangsari
mencapai 170 hektar dengan jumlah petani sebanyak 293 petani. Pada lokasi
tersebut, penanaman lahan seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa
tersebut. Jumlah traktor keseluruhan pada UPJA Bagyo Mulyo di desa ini sebesar 5
unit yaitu 2 unit traktor roda 4, dan 3 unit traktor roda 2. UPJA melakukan inisiatif
melakukan pertemuan/rembugan diantara operator traktor dan pemilik lahan
mengenai perencanaan awal pengolahan lahan dan juga rencana tanam selanjutnya.
Pertemuan juga memutuskan mengenai beberapa hal yang mencaku: (a)
menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor roda 2 dan roda 4
bergiliran dimana pada saat awal pengolahan menggunakan traktor besar roda 4,
dan meratakan lahan menggunakan traktor roda 2, dan kapasitas traktor dalam
mengolah lahan rata-rata sekitar 3 ha/hari untuk roda 4 dan 1,5 ha/hari untuk roda
2, serta jumlah hari operasi traktor per musim sekitar 20 hari. Hal ini tentunya
dengan mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah
traktor, (b) menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah
sampai siap tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 1 juta/ha
(sampai siap tanam), yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II
(MK1), dan (c) menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk
melakukan pengolahan lahan sawah di Desa Dalangan, hal ini tentu dengan
memperhatikan bahwa jumlah traktor di desa ini masih memungkinkan dapat
dikerjakan oleh UPJA di Desa Dalangan sendiri. Penggunaan traktor di desa ini sudah
terbiasa dan kalau dipandang dari rasio luas lahan sawah dan jumlah traktor yang
ada di UPJA tentu masih harus ditambah jumlahnya, agar operator traktor tidak
bekerja sampai di luar batas jam bekerja.
39
Sementara itu, terkait dengan pengadaan input seperti benih, pupuk dan
pestisida dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: petani dapat langsung membeli ke
kios saprotan yang resmi sesuai RDKK atau dapat juga memperoleh melalui
kelompok atau gapoktan (dikoordinir). Bagi petani yang langsung membelinya ke
kios saprotan adalah petani yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang
memang harganya lebih murah namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani
yang kurang mampu biasanya memperoleh dari kelompok tani atau gapoktan,
dimana pembayarannya adalah dengan cara dibayar setelah panen, namun
konsekuensinya harga diperhitungkan berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya
untuk memperoleh pupuk hampir seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau
gapoktan, karena perencanaan pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan
dengan RDKK yang sudah direncanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani
keberadaan kelompok atau gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi
musibah serangan OPT dan kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka
akan ada penangguhan pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan,
yang didalamnya juga merupakan kelompok UPJA.
Dalam hal penggunaan alsintan tanam yaitu transplanter, jumlahnya masih
sangat terbatas. Pengelolaan alat tanam transplanter pada UPJA sudah termasuk di
dalamnya menyediakan benih padi yang telah dijadikan bibit. Pemilihan benih padi,
telah sebelumnya dimusyawarahkan antara petani dengan kelompok UPJA. Varietas
benih padi yang banyak digunakan pada MT I (MH) antara lain: Ciherang, IR 64,
Mekongga dan Situ Bagendit, dan pada saat MT II atau MT III menggunakan benih
varietas: Mekongga, Sidenok, Pertiwi, Mukibat dan Muncul. Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau
berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi
inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi
menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter.
Biaya atau jasa atas sewa transplanter (termasuk benih dan jasa semai) Rp 3
juta/ha. Namun seringkali penggunaan transplanter pada saat MH sering terkendala
oleh kedalaman lumpur sawah. Di samping itu, untuk jasa tanam masih bersaing
dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas
40
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan
memanen hasil padi yang ditanamnya.
Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah
mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi
bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat
melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga
kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas
sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama
penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,
sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.
Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih
murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upah jasa tanam
manual cukup mahal yaitu Rp 50.000 bersih per hari, sedangkan jika dengan
pelaksanaan borongan 16 orang, Rp 50.000/orang. Pada tanam manual, petani juga
harus menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Kelembagaan Panen
Pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari
bisa dilakukan dengan sistem: (1) tebas, dimana si penebas biasanya memiliki power
thresher dan membawa rombongan rombongan panen sekitar 10-15 orang. Pada
panen sistem tebas, pemanenan dilakukan dengan menggunakan sabit dan
dirontokkan dengan menggunakan power thresher. Seluruh tenaga kerja panen
menjadi tanggung jawab si penebas, dan umumnya penebas berasal dari luar
daerah seperti dari Sragen, Karang Anyar, Demak dan wilayah lainnya; (2) panen
dengan combine harvester, dimana pemilik sawah akan membayar jasa combine
harvester dari kelompok UPJA Bagyo Mulyo. Proporsi petani yang melakukan sistem
panen di Desa Dalangan pada saat musim ke-1 (MH) sekitar 90% menggunakan
sistem tebas, dan sisanya panen dengan combine harvester, sedangkan pada saat
musim ke-2 (MK) hampir seimbang (50%:50%) antara sistem tebas dan panen
dengan combine harvester.
Pada panen sistem tebas, penerimaan petani pada saat musim ke-I berkisar
antara Rp 25 juta- Rp 30 juta/ha, sedangkan pada musim ke-II tingkat penerimaan
petani sekitar Rp 42,5 juta/ha. Harga gabah pada saat MH 2014/2015 sekitar
41
Rp3.700/kg GKP dan harga gabah pada saat MK sebesar Rp 4.900/kg GKP.
Keuntungan panen padi dengan sistem tebas bagi petani adalah: (1) tidak perlu
mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2) Petani akan
langsung memperoleh uang kontan langsung dari hasil penebasan padinya; (3)
terlebih pada saat musim hujan, petani tidak perlu harus membeli atau menyediakan
alat jemur dan karung untuk menyimpan gabah. Adapun kelemahannya adalah
petani akan memperoleh hasil yang lebih kecil jika harus memanen padi dengan
combine harvester dan kemudian melakukan proses pascapanen dan menjual tatkala
harga lebih tinggi terhadap pedagang pengumpul.
Pada panen dengan combine harvester upah panennya Rp 2 juta/ha. UPJA
yang mengelola mesin combine harvester tersebut penerimaan yang diraih setelah
dipotong BBM, selanjutnya 60% dialokasikan untuk UPJA dan 40% dialokasikan
untuk operator mesin. Menurut kelompok tani, bahwa panen padi dengan alat panen
combine harvester memiliki keuntungan: (1) memperoleh hasil yang lebih tinggi,
karena hasil yang diperoleh kuantitasnya cukup tinggi dibandingkan dengan taksiran
sistem tebas, dan harga saat penjualan juga akan tinggi saat penjualan hasil, dan
(2) petani terbiasa dengan aktivitas pascapanen dan dapat mengetahui secara pasti
berapa produktivitas hasil padi yang dipanennya. Memanen dan membawa pulang
hasilnya, menurut petani memiliki kelemahan: (1) petani harus menyiapkan tenaga
dan biaya untuk mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2)
Petani tidak dapat langsung memperoleh uang kontan dari hasil panennya; (3) pada
saat musim hujan, petani perlu harus menyediakan alat jemur dan karung untuk
menyimpan gabah.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari petani bahwa kegiatan panen
dengan mesin combine harvester memiliki kelebihan yaitu: (a) kehilangan hasil
sangat rendah, dibawah 2%, (b) pengerjaannya panen lebih cepat sehingga dapat
hemat biaya panen, (c) jumlah tenaga kerja pemanen akan lebih sedikit sehingga
efisiensi biaya panen.
Kelembagaan Pascapanen
Petani yang memanen dengan alat combine harvester sebagian besar biasanya
menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah mereka
menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjemuran padi dilakukan
42
di sawah pada saat MT-II dan dilakukan di rumah pada saat musim ke-I. Padi yang
telah dijemur sekitar 3-4 hari umumnya akan dijual ke pedagang pengumpul yang
datang setiap saat atau ke pedagang/bandar yang ada di desa sekitar.
Para pedagang pengumpul yang membeli gabah dari petani selanjutnya akan
menjual gabah ke pedagang besar atau ke penggilingan padi. Pada
pedagang/bandar yang memiliki penggilingan padi, akan menjemur kembali padi
yang diperolehnya dan kemudian digiling menjadi beras. Beras yang dihasilkan
selanjutnya akan dijual ke berbagai tujuan.
3.3. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten
Blora, Jawa tengah
3.3.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan
Percontohan Pertanian Modern (PPM) di Kabupaten Blora terletak di Desa
Gabusan, Kecamatan Jati. Berbeda dengan dua lokasi lainnya, PPM di Desa
Gabusan dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan. Kepala Dinas Pertanian
Perkebunan Peternakan Perikanan, Kabupaten Blora menyatakan bahwa pemilihan
lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan : (1) Hamparan bagus, datar dan luas
sehingga memenuhi persyaratan untuk dijadikan percontohan; (2) Petani-petani
yang ada di wilayah tersebut ulet dan rajin dalam bertani, bahkan saat musim kering
tetap bertani dengan cara menyiram tanamannya; (3) Ingin ada perubahan di
wilayah tersebut. Dengan menempatkan lokasi PPM di sana, perhatian terhadap
lokasi tersebut diharapkan meningkat, khususnya perhatian untuk mengalokasikan
dana untuk pembangunan irigasi (untuk penyediaan air). Di lokasi tersebut telah
ada rehabilitasi embung, namun jangkauan pengairannya belum sampai ke lokasi
dilaksanakannya PPM. Tahun 2015 ini ada dana DAK yang dialokasikan untuk
prasarana irigasi, namun belum diketahui jangkauannya. Pertamina pernah
melakukan pengeboran minyak di daerah tersebut, namun yang keluar bukan
minyak melainkan air. Bupati minta agar air tersebut bisa dimanfaatkan untuk irigasi.
Hasil pemeriksaan debit air kurang besar namun di wilayah tersebut kemungkinan
ada sumber air. Dengan masukkan program PPM diharapkan tertata upaya-upaya
untuk mencari sumber air di wilayah ini.
Petani yang terlibat dalam kegiatan PPM di Desa Gabusan adalah petani
pemilik dan penggarap. Rata-rata pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha/KK, dengan
43
pemilikan terluas 2 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan oleh petani adalah padi-
padi- palawija (jagung/kacang hijau)-(kedele). Pertanaman dilakukan 3-4 kali
dalam setahun, namun tanam ke-4 hanya dilakukan jika air tersedia. Teknik tanam
sangat unik dan tidak biasa yaitu menanami retakan lahan, tanpa olah tanah. Tanam
ke-3, umumnya komoditas jagung, sebenarnya juga ditanam dalam kondisi kurang
air, sehingga petani melakukan penyiraman sebanyak tiga kali, masing-masing
sebanyak 1 gelas per rumpun, sehingga total tiga gelas per rumpun dalam semusim.
Air diperoleh dari sumur yang digali petani di tepi lahannya.
Konsolidasi lahan merupakan bagian yang berat dari semua tahapan
pelaksanaan PPM. Rencana untuk menghilangkan tanggul umumnya tidak disetujui
oleh petani, karena yang paling dikhawatirkan oleh petani adalah hilangnya batas
lahan miliknya. Sekalipun batas akan ditandai dengan menggunakan alat GPS,
umumnya petani tidak setuju menghilangkan tanggul yang berbatasan dengan milik
orang lain. Berdasarkan kesepakatan petani dan semua pihak yang mendukung
pelaksanaan PPM maka konsolidasi lahan dilakukan secara bertahap. Pertama,
tanggul diperlebar dari 40 cm menjadi 180 cm, agar alsin bisa masuk, dan sekaligus
berfungsi sebagai jalan usahatani. Kegiatan ini dilakukan secara swadaya. Kedua,
menghilangkan galengan. Tidak semua galengan dihilangkan, karena galengan
berfungsi sebagai batas pemilikan dan untuk menahan air. Galengan bisa
dihilangkan jika hamparan yang berdekatan milik satu orang. Jika tidak, maka
galengan hanya dibuat lebih kecil dari 40 cm menjadi 20 – 25 cm dan ketinggiannya
diturunkan 10 cm. Kegiatan ini pun dilakukan secara swadaya.
3.3.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Analisis Manfaat Usahatani
Penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak, sehingga bisa dilaksanakan
tanam serempak dalam waktu seminggu. Biasanya pekerjaan tersebut selesai lebih
dari dua pekan. Demikian juga dengan tenaga kerja, masuknya alsin menghemat
penggunaan tenaga kerja, yang mulai langka di daerah tersebut. Penggunaan alsin
mempercepat pekerjaan secara singnifikan, contohnya untuk olah tanah dengan
menggunakan TR2 biasa selesai 24 jam (3 hari) dengan tenaga kerja 6 HOK, dengan
TR4 bisa selesai dalam 14 jam dengan tenaga kerja 1,5 HOK. Selain itu, dengan
44
penggunaan mekanisasi, biaya usahatani berkurang antara lain karena pengurangan
jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani (Tabel 16).
Tabel 17. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan
Petani di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, MH 2014/2015 (Rp/ha)
No. Uraian PPM (A)
Non-PPM (B) Perubahan (A-B) %
A Biaya
I Sarana produksi Benih (kg) 200,000 400.000 -50.00
Pupuk (kg) - Urea 180.000 180.000 0
- NPK 345.000 440.000 -21.29
- PPC/POC (liter) 60.000 0 100.00
- pupuk kandang 500.000 50.000 900.00
Obat-obatan 225.000 200.000 12.50
Subtotal 1.510.000 1.270.000 18.90
II Tenaga kerja
Olah tanah 763.000 810.000 -5.80
Menggaru/meratakan tanah 0 170.000 -100.00
Merapikan pematang 120.000 170.000 -29.41
Persemaian 260.000 520.000 -50.00
Cabut dan angkut bibit 0 130.000 -100.00
Tanam 742.000 954.340 -22.25
Pemupukan 170.000 170.000 0
Penyiangan 720.000 720.000 0
Penyemprotan 75.000 75.000 0
Panen + perontokkan 1.995.000 2.400.900 -16.91
Subtotal 4.845.000 7.440.000 -34.88
III Lainnya
- pajak lahan/musim 30.000 30.000 0
- pengairan (tadah hujan) 0 0 0
- sewa lahan/musim 1.000.000 1.000.000 0
Subtotal 1.030.000 1.030.000 0
Biaya tunai 6.050.000 8.145.000 -25.72
Biaya total 7.385.000 9.740.000 -24.18
B Penerimaan 24.600.000 20.100.000 22.39
C Keuntungan atas biaya tunai 18.550.000 13.274.000 39.74
Keuntungan atas biaya total 17.215.000 11.679.760 47.39
RCR atas biaya tunai 4.07 2.94 38.44
RCR atas biaya total 3.33 2.39 39.33 Sumber data : Hasil wawancara dengan petani Desa Gabusan, Kab Blora, 2015
45
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa usahatani padi pada PPM dengan
menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan.
Total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp 7,385 juta/ha,
sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp 8,42 juta/ha, turun sekitar
12%. Nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 24,6 juta/ha, sedangkan
pada nonmodern hanya Rp 20,1 juta/ha, naik sekitar 22%.
Produktivitas pada PPM meningkat akibat adanya inovasi baru dalam
penggunaan bibit dan teknologi budi daya serta pengawalan yang baik. Hasil ubinan
pada teknologi PPM mencapai 8,2 ton per ha sedangkan pada teknologi petani
hanya mencapai 6,7 ton per ha. Peningkatan produksi per ha juga bisa disebabkan
dengan penggunaan alat panen modern (combine harvester). Kehilangan hasil
akibat panen yang berkisar antara 10-20%, bisa ditekan dengan menggunakan
combine harvester menjadi kurang dari 10%. Kedua hal tersebut telah
meningkatkan penerimaan petani sebesar 22,39 persen dibandingkan sebelumnya,
sehingga tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 17,215
juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 11,679 juta/hektar).
Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada
pertanian modern kuantitas produksi dan kualitas produksi lebih baik. Peningkatan
kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah
sehingga produksi meningkat, sedangkan peningkatan kualitas panen karena
menggunakan combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan
gabah menjadi lebih bagus.
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora Lokasi PPM di Kabupaten Blora ditempatkan pada areal sawah tadah hujan,
berbeda dengan dua lokasi lainnya yang ditempatkan pada areal sawah irigasi
teknis. Penggunaan dan pengusahaan alsintan di areal tadah hujan, dianggap bisa
membantu meningkatkan kenaikan produksi dengan mempercepat olah tanah dan
panen. Ketersediaan air hujan merupakan hal yang sangat penting di lokasi ini.
Penggunaan traktor besar bisa mempercepat pengolahan tanah untuk mengejar
hujan untuk penanaman padi.
46
Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya dapat mengolah lahan
sekitar 16 jam/ha atau 2 hari per ha. Sedangkan traktor besar bisa mengolah tanah
2,5 ha per hari atau 4 jam per ha. Seperti halnya di Soppeng dan Sukoharjo, dalam
pengolahan lahan petani mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat
pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil.
Kapasitas traktor tangan yang diusahakan saat ini adalah 60 hari per tahun
atau 120 ha per tahun. Harga traktor adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomis 10
tahun. Harga sewa traktor yang berlaku di lokasi ini adalah Rp 750.000 per ha
untuk traktor kecil. Pada tabel 18 terlihat bahwa total biaya pengusahaan traktor
kecil adalah Rp 447.240 per ha. Komponen biaya terbesar adalah operator,
penyusutan dan BBM. Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini adalah Rp
302.760, dan R/C rati0 dari usaha ini adalah 1,68 Usaha ini dianggap cukup
menguntungkan. Usaha ini bisa dikembangkan dengan meningkatkan jumlah
pendapatan dari sewa atau memperluas jaringan kerja.
Tabel 18. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Gabusan,
Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga/ satuan(Rp)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10,4 7.500 78.000 17,44
1.2. Oli dan pelumas 12.240 2,74
1.3. Pemeliharaan dan
perawatan 30.000
6,71
1.4. Penyusutan 127.000 28,40
1.5. Operator 200.000 44,72
1.6.Total 447.240 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 750.000 750.000
3 Keuntungan 302.760
4 R/C rasio 1,68 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun demikian petani sangat
menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Usaha penyewaan traktor besar ini
mempunyai prospek dalam peningkatan pendapatan UPJA. Pada tabel 19 dibawah
ini, terlihat bahwa R/C rasio pengusahaan traktor besar cukup besar yaitu 1,40
Total biaya yang operasional alsintan ini adalah Rp 528.900 per ha, terbesar adalah
47
untuk komponen operator dan penyusutan. Pendapatan dari sewa adalah Rp
742.857 per ha, jadi keuntungannya bisa mencapai Rp 213.957 per ha.
Tabel 19. Struktur ongkos dan sewa TR-4 di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati,
Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 12 7.500 90.000 17,02
1.2. Oli dan pelumas Liter 54.000 10,21
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
Unit 46.250 8,74
1.4. Penyusutan - 138.650 26,21
1.5. Operator - 200.000 37,81
1.6.Total - 528.900 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 742.857 742.857
3 Keuntungan - 213.957
4 R/C rasio 1,40
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Saat ini kapasitas kerjanya masih sebanyak 74 hari per tahun atau 185 ha per
tahun. Untuk mengembangkan pendapatan, UPJA bisa meningkatkan kapasitas
kerja alat dengan memperluas jaringan kerja dan meningkatkan biaya sewa.
Analisis Usaha Transplanter pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora.
Transplanter merupakan jenis alsin yang relatif baru diperkenalkan di Desa
Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, namun petani setempat menyukainya.
Alasanya adalah dapat mengurangi tenaga kerja tanam dan mempercepat
pertanaman terutama pada sawah tadah hujan, dimana petani harus mengejar
waktu tanam pada saat ada air. Kapasitas kerja transplanter di Desa Gabusan saat
ini baru mencapai 18 hari kerja, dan hanya menyewakan alat tanpa membuat
pembibitan. Bibit disediakan sendiri oleh petani.
Usaha jasa penyewaan transplanter cukup menguntungkan dengan nilai R/C
rasio 1,44 (Tabel 20). Nilai sewa per hektar adalah Rp 685.714, total biaya
operasional yang dikeluarkan adalah Rp 475.833 per ha dan keuntungan yang
diperoleh adalah Rp 209.881 per ha. Komponen biaya usaha terbesar adalah biaya
operator (42,03%) dan penyusutan (35,90%).
48
Tabel 20. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 7.500 75.000 15,76
1.2. Oli dan pelumas 20.000 4,20
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
10.000 2,10
1.4. Penyusutan 170.833 35,90
1.5. Operator 200.000 42,03
1.6.Total 475.833 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 685.714 685.714
3 Keuntungan 209.881
4 R/C rasio 1,44
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Penggunaan alsin transplanter belum seluas penggunaan traktor dan
combine harvester. Upaya untuk meningkatkan keuntungan dari jasa sewa
transplanter dapat dilakukan dengan memperluas jaringan kerja, meningkatkan nilai
sewa dan usaha diversifikasi lainnya misalnya dengan menyediakan bibit padi.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora.
Combine Harvester merupakan alat panen yang sangat dibutuhkan petani di
Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Saat ini pengusahaan combine
harvester masih terbatas pada wilayah di sekitar Desa Gabusan. Kapasitas bisa
diperluas dengan membangun jarngan kerja dengan petani di wilayah lain yang
waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah Desa Gabusan. Saat ini kapasitas
kerja combine harvester baru mencapai 60 hari kerja per tahun, dengan kapasitas
kerja 5 jam per ha sehari bisa melayani 2 ha sehingga dalam setahun bisa melayani
kira-kira 120 ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Desa Gabusan
adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun. Nilai sewa sebesar Rp
1.800.000 per ha.
Komponen biaya terbesar adalah upah operator yang mencapai hampir 63%
dari total biaya. Ongkos ini nantinya akan dibagikan kepada tim operator yang bisa
mencapai 7-8 orang. Tugas tim operator combine harvester di wilayah ini memanen
dan memasukkan gabah ke dalam karung, namun tidak sampai menjahitnya.
49
Tabel 21. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 7.500 75.000 5,90
1.2. Oli dan pelumas 20.000 1,57
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
166.667 13,11
1.4. Penyusutan 210.000 16,51
1.5. Operator 800.000 62,91
1.6.Total 1.271.667 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 1.800.000 1.800.000
3 Keuntungan 528.333
4 R/C rasio 1,42
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Berdasarkan hasil analisis finansial pengusahaan combine harvester di Desa
Jati, diperoleh R/C rasio sebesar 1,42. Total biaya operasional penyewaan combine
harvester adalah Rp 1.271.667 per ha. Keuntungan bisa diperbesar dengan
meningkatkan jaringan kerja sehingga kapasitas kerja combine ini lebih besar.
3.3.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan
Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) Jasa Karya Utama (JKU) adalah salah satu
pelaku utama dalam pengelolaan alsin di lahan percontohan pertanian modern
(PPM) di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Awalnya UPJA ini
merupakan bagian dari gapoktan, dan selanjutnya dalam rangka menyongsong
pelaksanaan PPM, dibentuk UPJA yang pengelolaannya terpisah dari gapoktan.
Struktur kepengurusan terdiri dari : manager, sekretaris, bendahara, seksi humas,
seksi perlengkapan dan koordinator operator, seksi usaha dan teknisi. Beberapa
pengurus UPJA JKU pernah belajar mengenai manajemen pengelolaan UPJA di
Cilacap dan melakukan studi banding ke Sukoharjo.
Sebelum ada bantuan, UPJA ini tidak memiliki alsin, namun beberapa petani
yang menjadi anggota Gapoktan memiliki alsin berupa hand tractor dan pompa air.
Setelah terbentuk UPJA, alsin milik gapoktan berupa traktor roda 4, diserahkan
pengelolaannya kepada UPJA karena gapoktan tidak memiliki operator.
Dalam rangka pelaksanaan PPM, UPJA ini mendapat alokasi dana bantuan
senilai Rp1,4 M, yang digunakan untuk pengadaan: (1) Alsintan : 2 unit traktor roda
50
4 + Rotary, 3 unit Rice Transplanter, 2 unit Combine Harvester serta 1 paket
400.000.000,- yang diperumtukkan : rumah kompos, konstruksi, penyediaan alat
dan mesin (APPO 2 unit dan kendaraan roda 3 sebanyak 2 unit), kandang 2 unit,
ternak sapi 20 ekor, dan obat-obatan 2 paket. Bantuan diterima dalam bentuk dana
tunai yang langsung ditransfer ke rekening UPJA, selanjutnya pengurus UPJA yang
membeli alsin sesuai rencana usulan kegiatan yang telah disetujui oleh Direktorat
PSP.
Tabel 22. Alsin yang Dimiliki UPJA Jasa Karya Utama dan Sumbernya (September 2015)
Jenis Jumlah
(unit)
Sumber pengadaan
Traktor roda 4+rotary 3 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM 2 unit, dan 1 unit
milik Gapoktan Sido Rukun
Rice Transplanter 3 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM, 2 unit; dan
APBD 1 unit
Combine harvester 2 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Alat angkut (Viar) 2 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Peralatan bengkel 1 set Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Aturan main yang diterapkan dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola oleh
UPJA Jasa Karya Utama ditentukan melalui rapat yang dihadiri oleh pengurus UPJA,
pengurus dan anggota Gapoktan Sido Rukun, aparat desa, aparat Dinas terkait
tingkat kecamatan dan kabupaten. Berdasarkan hasil kesepakatan dalam
pertemuan yang diadakan menjelang awal musim, maka ditetapkan sewa alsin
sebagai yang terlihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Nilai Sewa Alsin yang berlaku di UPJA Jasa Karya Utama, Kab. Blora, 2015
Nama alat Biaya sewa Bentuk pembayaran
Traktor roda 4+rotary MH : Rp 520.000/bau(Rp 742.857/ha)
MK: Rp 400.000/bau (Rp 571.429/ha)
Tunai
Rice Transplanter Rp 480.000/bau (Rp 685.714/ha) Tunai
Combine harvester Rp 1.400.000/bau (Rp 1.800.000/ha) Tunai
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Perubahan dalam besaran upah terkait dengan perubahan harga bahan bakar
minyak. Aturan main mengenai sewa alsin ditaati oleh petani pengguna jasa, dan
petani membayarnya dengan tertib, dan pembayaran dilakukan secara tunai setelah
51
pekerjaan selesai. Khusus untuk sewa traktor, terdapat selisih Rp120.000/bau (lebih
murah) untuk penggunaan jasa di musim kemarau karena pengolahan lahan bisa
dilakukan dengan lebih cepat, dan hanya sekali bajak lahan sudah siap tanam.
Selain pertemuan yang dilakukan menjelang musim tanam, pertemuan rutin juga
dilakukan oleh UPJA yaitu pada malam tanggal 25 setiap bulan. Kegiatan diisi
dengan arisan, dan membahas kegiatan pertanian secara umum.
Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA Jasa Karya Utama adalah pompa.
Mengingat kondisi lahan sawah di wilayah Gabusan dan sekitarnya adalah sawah
tadah hujan, maka pompa air sangat dibutuhkan untuk mengairi lahan di luar usim
hujan. Selama ini sumur yang digali di tepi sawah menjadi andalan untuk mengairi
lahan saat musim kering. Sumur-sumur tersebut merupakan swadaya masyarakat
dan dari program P4MI.
UPJA JKU memiliki seorang teknisi yang bertugas menangani kerusakan atau
perbaikan alat dan mesin, dan telah memiliki peralatan bengkel yang berasal dari
paket bantuan PPM. Mengingat bahwa UPJA JKU belum lama beroperasi, dan
peralatan alsin juga masih baru (belum setahun), belum ada kerusakan pada alsin
yang dimiliki.
3.3.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran
Petani di lokasi percontohan PPM umumnya adalah petani pemilik penggarap,
dan dengan posisi demikian petani memiliki wewenang dalam pengambilan
keputusan usahataninya. Hal ini relatif lebih memudahkan dalam mencapai
kesepakatan, misalnya untuk berswadaya memperlebar tanggul menjadi semacam
jalan usahatani untuk memperlancar keluar masuk alsin, dan untuk berswadaya
membongkar tanggul miliknya.
Petani memiliki peran sentral dalam pengelolaan usahatani, sebelum, selama,
maupun sesudah pelaksanaan PPM. Perbedaan terletak pada penggunaan alsin,
penggunaan sarana produksi, dan pengelolaan waktunya. Alsin yang digunakan
dalam pelaksanaan PPM memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan yang biasa
digunakan petani, dan pengelolaannya sudah dilakukan oleh UPJA. Sebelumnya,
alsin yang digunakan petani hanya berupa hand tractor, yang merupakan milik
pribadi atau sewa dari prorangan.
52
Tabel 24. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Blora, 2015
- Olah tanah Petani, menggunakan TR2 milik sendiri atau sewa
Dikoordinir oleh pelaksana perconcohan, menggunakan
TR4 dan TR2
- Persemaian Petani, dilakukan secara individu. Benih dibeli sendiri.
Petani, dilakukan secara individu, UPJA sediakan tray. Benih dari program optimasi
lahan
- Tanam Petani, menggunakan jasa kelompok tanam. Cabut dan angkut benih dilakukan oleh
orang yang berbeda.
Dikoordinasikan oleh pelaksana percontohan agar tanam serempak, menggunakan rice transplanter, angkut benih pemilik lahan dan operator
- Pemeliharaan Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani.
Pupuk swadaya
Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani
Pupuk dari program estimasi lahan untuk pelaksanaan PPM
Penyediaan Input
- Benih Petani, secara individu Petani, melalui kelompok tani/ gapoktan, program optimasi
lahan terkait pelaksanaan percontohan PPM.
- Pupuk Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, swadaya.
Sda
- Obat-obatan Petani, secara individu,
swadaya
Sda
- Alsin Petani secara individu, menggunakan alsin milik sendiri atau sewa jasa alsin
milik perorangan
UPJA, dengan alat milik UPJA dan bantuan dari Dit PSP.
Panen, Pascapanen Petani secara individu, dibantu jasa kelompok pemanen, kegiatan ngarit-
angkut.
Dikoodinir oleh pelaksana percontohan, menggunakan combine harvester untuk
panen, perontokkan, dan pengarungan.
Pemasaran Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke
rumah
Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke
rumah
Pengadaan sarana produksi biasanya dilakukan oleh petani secara individu,
sedangkan dalam PPM pengadaan sarana produksi ditangani oleh gapoktan dan
poktan. Petani bertanggung jawab dalam aplikasi di lahan masing-masing, dengan
pendampingan yang intensif dari pihak terkait (penyuluh, TNI, aparat desa, aparat
53
dinas kecamatan sampai pusat). Sekalipun dilakukan secara individu, pengadaan
sarana produksi menurut petani tidak mengalami hambatan, sarana produksi mudah
dicari di kios-kios sekitar desa.
Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM.
Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan tanam,
maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam seminggu.
Tanam tidak bisa benar-benar dilakukan dalam satu tahap,melainkan tiga tahap,
dimana tahap pertama 58 %, kedua 36 %, dan ketiga 6%.
Sarana produksi untuk kegiatan PPM seluas 100 ha di Desa Gabusan,
Kecamatan Jati berasal dari bansos Program Optimasi Lahan senilai Rp 205 juta.
Gapoktan berperan dalam mengusulkan dan menerima bansos Optimasi Lahan
tersebut, dan mendistribusikannya kepada petani yang terlibat dalam kegiatan PPM
melalui kelompoknya masing-masing. Aplikasi sarana produksi tersebut di lahan
usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masing-masing.
Tabel 25. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk kegiatan Optimasi Lahan seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015.
Jenis sarana produksi Jumlah Harga satuan
(Rp/satuan)
Nilai
(Rp000)
Benih padi (kg) 2.500 8.000 20.000
Pupuk kompos/organik
(kg)
100.000 600 50.000
Pupuk Urea (kg) 10.000 1.800 18.000
Pupuk NPK (kg) 15.000 2.300 34.500
PPC/POC (liter) 1.500 40.000 60.000
Pestisida (liter atau kg) 300 75.000 22.500
Total 205.000 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus Gapoktan Desa Gabusan, Kab. Blora, 2015
Paket Optimasi Lahan tersebut nampaknya sama, di Soppeng, Blora, dan
Sukoharjo, baik dalam jenis, jumlah dan nilainya. Hal itu berarti penyediaan paket
tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji
kandungan unsur hara tanah).
Seperti telah dikemukakan diatas, aplikasi benih berbeda antara yang
dipraktikkan petani dengan PPM, yaitu 40 kg/ha yang biasa dilakukan oleh petani,
sedangkan PPM 25 kg/ha.Aplikasi pupuk dan pestisida terdapat perbedaan antara
keduanya.Pupuk yang diaplikasikan petani jauh lebih banyak dibandingkan PPM,
terutama dalam penggunaan Urea (petani 250kg/ha, PPM 100 kg/ha) dan petani
54
menggunakan Phonska hingga 300kg/ha sedangkan PPM menggunakan NPK 150
kg/ha. Penggunaan pupuk kandang sudah biasa dilakukan oleh petani setempat,
karena rata-rata memelihara sapi/kambing, hanya saja pupuk kandang yang
digunakan petani berupa kotoran ternak yang langsung diletakkan di lahan tanpa
proses pengolahan (fermentasi) lebih dulu.
Hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang ke rumah-rumah. Belum
ada kegiatan pemasaran bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan.
Dalam pelaksanaan PPM hingga musim berikutnya belum ada introduksi
kelembagaan terkait pemasaran hasil.
3.4. Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Kabupaten Cilacap
3.4.1. Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
diketahui bahwa dalam kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah mengalami
peningkatan tipis sebesar 1,39 %/tahun, yaitu dari 126,28 ribu ha pada tahun 2011
menjadi 129,22 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen tersebut,
produksinya meningkat sebesar 0,56 %/tahun, yaitu dari 765,87 ribu ton pada tahun
2011 menjad 793,34 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun menjadi 761,57
ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun waktu tersebut
mengalami penurunan sebesar 0,82 %/tahun.
Tabel 26. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di
Kabupaten Cilacap, 2011-2014
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ha)
2011 126.283 765.875 6,06
2012 122.989 737.497 6,00
2013 131.851 793.337 6,02
2014 129.222 761.571 5,89
r (%/tahun) 1,39 0,56 -0,82 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Kondisi perkembangan pertanaman padi sawah di Kabupaten Cilacap tentu
tidak terlepas dari kesungguhan petani dalam mengelolaan lahan pertaniannya,
keberadaan baku lahan sawah yang ada saat ini, dukungan ketersediaan air irigasi
dan dukungan alat mesin pertanian. Pada analisis ini, yang akan ditelaah lebih lanjut
55
sesuai keperluan kajian dan data yang diperoleh adalah terkait kondisi baku lahan
sawah yang ada dan mekanisasi pertanian.
Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan frekuensi tanam padi,
maka diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 64.520 ha sebagian besarnya
(88,56%) telah ditanami padi 2 kali dalam setahun. Sementara lahan sawah yang
dapat ditanami padi hingga 3 kali dalam setahun hanya sekitar 6,48%, dan sisanya
ditanami padi sekitar 1 kali dalam satu tahun (Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Cilacap, 2015).
Tabel 27. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Frekuensi Tanam Padi di Kabupaten Cilacap, 2014.
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. Ditanam Padi > 3 kali 4.180 6,48
2. Ditanam Padi 2 kali 57.140 88,56
3. Ditanam Padi <= 1 kali 3.200 4,96
Total 64.520 100 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Di Kabupaten Cilacap, perkembangan mekanisasi pertanian cukup pesat
dimana salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
pertanian, baik untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.
Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai
3.391 unit yang tersebar di 24 kecamatan dan pada tahun 2015 terdapat tambahan
traktor sebanyak 25 unit. Sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang
lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi
yang berteras.
Tabel 28. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Cilacap, 2014 dan 2015
(Unit)
Uraian Posisi Hingga 2014 Pengadaan 2015 Total
1. Traktor
a. Besar (R4) 2 15 17
b. Kecil (R2) 3.389 10 3.399
Total Traktor 3.391 25 3.416
2. Transplanter 6 2 8
3. Power thresher 2.678 8 2.686
4. Mini Combine Harvester 8 1 9 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
56
Aktivitas tanam pun di Cilacap saat ini dominan telah menggunakan alat
transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 6 unit, dan terdapat
tambahan pada tahun 2015 sebanyak 2 unit. Karena itu, penggunaan alat tanam
dengan caplak dan manual nantinya akan semakin menurun.
Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan
menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Cilacap masih tinggi, dengan jumlah
tahun 2014 hingga mencapai 2.678 unit dan tambahan tahun 2015 sebanyak 8 unit.
Adapun combine harvester di Cilacap hingga tahun 2014 baru sekitar 8 unit, dan
terdapat tambahan 1 unit pada tahun 2015. Masih terbatasnya penggunaan combine
harvester di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan
harga combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60
PK. Combine harvester tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan
basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan
diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 19 : 1. Artinya
setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat
melayani lahan sekitar 20 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah traktor yang ada di Kabupaten Cilacap sudah mendekati ideal. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor
roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15
ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Cilacap semua lahan telah diolah secara mekanisasi,
yaitu dengan menggunakan traktor.
Tabel 29. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Cilacap, 2015
Rasio Luas Lahan: Alsintan Angka Rasio (ha: unit)
1. Lahan : Traktor 19 : 1
2. Lahan : Transplanter 8.065 : 1
3. Lahan : Power thresher 24 : 1
4. Lahan : Combine Harvester 50 : 1 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, diolah (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter
sekitar 8.065 : 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan
57
sekitar 8.065 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar
32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Cilacap masih
dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual
kegiatan tanamnya.
Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 24: 1.
Artinya setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 24 ha
(Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada
di Kabupaten Cilacap sudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa arael power thresher
dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)
sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan
panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power thresher, dan
sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan
alat panen mini combine harvester.
Sementara untuk rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine harvester
sekitar 50: 1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat melayani
lahan sekitar 42-50 ha (Tabel 4). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
combine harvester yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini
sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen
rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di
Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan
penggunaan combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat
dibandingkan dengan jumlah saat ini.
Sementara itu, dengan tingkat produksi gabah yang ada di Kabupaten Cilacap
sebesar 761.571 ton ternyata untuk gabah yang diproses menjadi beras di dalam
wilayah dilayani oleh sekitar 1.907 unit RMU. Keberadaan RMU di Kabupaten Cilacap
sebagian besar berskala kecil. Menurut Ditjen P2HP (2010) bahwa penggilingan Padi
skala Kecil (PPK) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi < 0,75 ton
58
beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari husker dan
polisher (H-P). Penggilingan padi kecil biasanya hanya melakukan 1 kali penyosohan
atau disebut dengan penggilingan padi 1 phase. Sementara Penggilingan Padi
Sedang (PPS) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi 0,75 – 3 ton
beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari cleaner,
husker, separator dan polisher. Penggilingan padi menengah dapat melakukan 2 kali
proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 2 phase. Adapun
penggilingan Padi Besar (PPB) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi
> 3 ton beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari dryer,
cleaner, husker, separator dan polisher. Penggilingan padi besar dapat melakukan 3
kali atau lebih proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 3 phase.
Berdasarkan informasi, bahwa kondisi RMU saat ini di beberapa sentra produksi
padi di kecamatan di Cilacap sudah di bawah kapasitasnya. Pihak RMU terkadang
melayani gilingan produksi gabah dari luar wilayah kecamatan, bahkan juga berasal
dari luar kabupaten.
Tabel 30. Jumlah RMU Berdasarkan Skala di Kabupaten Cilacap, 2014
No Skala RMU Jumlah (Unit)
1 Skala Kecil 836
2 Skala Menengah 1.034
3 Skala Besar 37
Total 1.907
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
3.4.2. Analisis Manfaat Pengembangan Pertanian Melalui Penerapan Mekanisasi
Analisis Manfaat Usahatani
Seperti halnya di Soppeng, Sukoharjo dan Blora, di Cilacap kegiatan Pertanian
Modern di desa juga belum full mechanized pada semua aktivitas usahatani, akan
tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen. Selain itu,
penggunaan mesin panen (combine harvester) juga cukup terbatas dapat
dilaksanakan pada musim MH atau MT1, namun tetap dapat melakukan panen
dengan mesin Combine Harvester pada musim MH. Oleh karena itu,
59
membandingkan manfaat adanya program Pertanian Modern dapat dilakukan pada
saat musim MH atau MT-1.
Perbandingan usahatani padi pada MT-1 antara pertanian Modern dan Non
Modern (Konvensional) disajikan pada Tabel 33. Beberapa hal juga perlu dijelaskan
terkait perbedaan komponen biaya usahatani antara pertanian modern dan non
modern yang menyebabkan perbedaan efesiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan
tersebut hampir sama seperti halnya di lokasi kajian lainnya yaitu: (a) pada
usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan
mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam
biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan
benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan
herbisida untuk memberantas rumput, sedangkan pada nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan
tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern
menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani
memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta
penyusutannya kecil antara 3-5%, sedangkan pada non modern tidak (sebagian
ditebaskan) dan menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon, serta
kehilangan hasil bisa mencapai 10-17%.
Tabel 31 menunjukkan bahwa usahatani padi pada PPM dengan
menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan,
dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total biaya produksi pada
pertanian modern lebih rendah yakni Rp12,76 juta/ha, sementara pada pertanian
nonmodern mencapai Rp15,03 juta/ha atau selisihnya sekitar 15%, (b) nilai produksi
pada pertanian modern mencapai Rp 35,20 juta/ha, sedangkan pada nonmodern
hanya Rp 31,90 juta/ha hal ini sebagai akibat tingkat produktivitas yang dihasilkan
lebih tinggi pada pertanian modern dibandingkan nonmodern (8,00 ton/ha vs 7,25
ton/ha), dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 22,44
juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 16,87 juta/hektar).
60
Tabel 31. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Non-Modern di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, Cilacap MT-1 2015 (Rp/hektar)
No Uraian Modern
(A)
Non-Modern
(B)
Perubahan
(%) ( A-B)
1 Faktor Produksi :
a. Benih 0 320.000 -100,00
b. Pupuk an organik 458.000 458.000 0,00
c. Pupuk organik 0 0 -
d. Pestisida 665.000 665.000 0,00
2 Tenaga Kerja :
-
a. Traktor 900.000 900.000 0,00
b. Transplanter 1.571.500 0 -
c. Combine Harvester 2.971.429 0 -
d. Tanam 0 2.000.000 -100,00
e. Penyiangan 750.000 750.000 0,00
f. Pemupukan 300.000 300.000 0,00
g. Panen 0 4.500.000 -100,00
3 Biaya Lain :
a. Sewa lahan 5.000.000 5.000.000 0,00
b. PBB 140.000 140.000 0,00
3 Total Biaya 12.755.929 15.033.000 -15,15
4 Nilai Produksi 35.200.000 31.900.000 10,34
5 Keutungan 22.444.071 16.867.000 33,06
6 R/C Rasio 2,76 2,12
Sumber : Wawacara dengan Kelompok UPJA, Desa Bojong, Cilacap (2015)
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) seperti telah
diungkapkan sebelumnya adalah bahwa pada pertanian modern petani tidak
menangani pengadaan benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya
sewa Transplanter yaitu sebesar Rp 1,571 juta/hektar, sementara pada pertanian
non modern selain harus mengeluarkan biaya benih sebesar Rp 320.000 juga petani
harus mengeluarkan biaya tanam sebesar Rp 2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan
lebih efisien dari pada menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) biaya
panen dengan combine harvester disamping lebih cepat juga lebih murah dibanding
dengan nilai bawon, dimana nilai bawon dengan perbandingan 7:1, maka biaya
bawon dapat mencapai Rp 4,5 juta/ha; (d) Nilai R/C pada pertanian modern lebih
tinggi dibandingkan dengan pertanian nonmodern (2,76 vs 2,12).
Berdasarkan kesimpulan di atas, selain terjadi efisiensi dalam penggunaan
biaya produksi, juga pada pertanian modern jumlah produksi lebih banyak
61
dihasilkan dari panen karena kehilangan hasil lebih kecil dibandingkan dengan
pertanian nonmodern. Hal ini debabkan dengan penggunaan mesin combine
harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih
bagus dan kehilangan hasil juga semakin kecil dibandingkan dengan panen
konvensional/manual (8,0 ton/ha vs 7,25 ton/ha).
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Sesuai dengan data dan
spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan
Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu
seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor tangan adalah
Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan masa olah tanah
adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim tanam, (d) Nilai
sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 32 disajikan analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian.
Tabel 32. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 15,00 7.500 112.500 12,50
1.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,60 30.000 18.000 2,00
b. Gardan Liter
2.494 0,28
c. Gemuk/stempet Kg
2.493 0,28
1.3. Spare part & service Unit
41.667 4,63
1.4. Penyusutan -
31.944 3,55
1.5. Operator -
360.000 40,00
1.7.Total -
569.098 63,23
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 900.000 900.000 100,00
3 Keuntungan -
330.902 36,77
4 R/C rasio
1.58
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
62
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau
sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai
40% dari total penerimaan danurutan kedua adalah biaya bahan bakar yaitu sebesar
12,50%.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan
yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi
traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya
untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan
pengolahan lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi
semua faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Sebenarnya pada
analisis ini belum memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1),
dimana pada MK1 penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter,
sehingga tingkat keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I,
karena pada MT-II tidak dilakukan pembajakan terutama pada lahan sawah yang
masih tergenang air (basah). Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi,
maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah
lain, termasuk ke luar daerah jika memungkinkan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio
pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian
semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh
UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya
masih terbatas.
Analisis Usaha Transplanter pada Kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui
kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter.
63
Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai
berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong,
sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit
transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis
transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode
waktu tanamanya 20-30 hari dalam dua kali musim tanam, (d) Nilai sisa
transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa
transplanter sebesar Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 33 disajikan analisis finansial
usaha transplanterdi lokasi kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau
sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan
mencapai 22,53% dari total penerimaan danbiaya pengadaan benih dan
pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu
sebesar 15,00%.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang
dengan hanya 11 hektar itu sangat kurang memadai, karena pengembalian
investasi transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia
ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan
arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim
tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten
Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan penanam sampai ke daerah lain.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat transplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar,
64
artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar.
Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter masih perlu
terus ditingkatkan.
Tabel 33. Struktur ongkos dan sewa Transplanter di UPJA Desa Bojong, Kec.
Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga satuan
(Rp)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi Kg 24,5 7.000 171.500 12,25
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 3,57
2 Biaya:
-
2.1. BBM Liter 7,00 7.400 51,800 3.70
2.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,05 30.000 1.500 0,11
b. Hidroulik Liter 0,05 40.000 2.000 0,14
c. Gemuk/stempet Kg
2,493 0,18
2.3. Spare part & service Unit
62.843 4,49
2.4. Penyusutan -
315.421 22,53
2.5. Operator -
210.000 15,00
2.7.Total -
867.556 61,97
3 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 1.400.000 1.400.000 100,00
4 Keuntungan -
532.444 38,03
5 R/C rasio
1,61
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Analisis Usaha Power Thresher pada kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power thresher yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Spesifikasi power thresher yang
dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
penetapan wilayah power thresher yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit
power thresher, (b) harga power thresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur
ekonomis power thresher adalah sekitar 8-10 tahun dan masa panen adalah dua kali
per tahun dimana periode kerja power thresher dalam satu kali musim panen sekitar
3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power thresher setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2
65
juta (10%) dan (e) harga sewa power thresher sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel
34 disajikan analisis finansial usaha power thresher di lokasi kajian.
Tabel 34. Struktur Ongkos dan Sewa Power thresher di UPJA Desa Bojong, Kec.
Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 3,57 7.400 26.418 3,67
1.2. Oli: 0,00
a. Mesin Liter 0,714 30.000 21.429 2,98
b. Gardan Liter 0,5 30.000 15.000 2,08
c. Gemuk/stempet Kg 15.000 2,08
1.3. Spare part & service Unit 20.605 2,86
1.4. Penyusutan - 45.000 6,25
1.5. Operator - 120.000 16,67
1.7.Total - 263.452 36,59
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 720.000 720.000 100,00
3 Keuntungan - 456.548 63,41
4 R/C rasio 2,73
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Nilai sewa power thresher Rp 720.000/ha, total biaya usaha jasa power
thresher senilai Rp 263.000 /ha atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan
keuntungan usaha power thresher sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari
penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya
usaha power thresher adalah biaya operator mencapai 16,67% dari total
penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%.
Pada kegiatan usaha jasa power thresher ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan power thresher harus membayar (mengeluarkan)
sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus
mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power
thresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
power thresher saat ini sekitar 15 ha/musim yang dinilai masih kurang memadai.
Idealnya area layanan power thresher seluas 30 ha/musim. Juga terdapat power
thresher yang masuk dari daerah lain, sehingga tidak terjadi kekurangan pada saat
66
panen padi. Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar
menggunakan power thresher, dan sebagian kecil menggunakan alat panen mini
combine harvester. Pemilihan alsin disesuaikan dengan kondisi dan kesesuaian
lahannya telah.
Secara umum pada penggunaan alat panen power thresher dalam rangka
mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat pemanen sangatlah
penting. Jumlah alat power thresher di lokasi kajian Desa Bojong memang masih
kurang, namun dalam lingkup Kabupaten Cilacap keberadaan alsintan ini sudah
cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power thresher secara
khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui
relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power thresher dari wilayah yang cukup
ke wilayah yang masih kekurangan.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit power mini Combine Harvester yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
combine haevester. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang
dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
wilayah yang memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine
Harvester, (b) harga mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur
ekonomis Combine Harvesteradalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali
per tahun dimana periode kerja Combine Harvesterdalam satu kali musim panen
sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa Combine Harvestersetelah 10 tahun adalah
Rp 24 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvestersebesar Rp 2,97 juta/ha.
Nilai sewa Combine Harvester Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine
Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha (62,66% terhadap penerimaan), dan keuntungan
usaha Combine Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha (37,34% dari penerimaan) serta
perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine
Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya
spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63% (Tabel 35).
67
Petani yang menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus
membayar jasa dalam bentuk natura sebesar 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil
panen maka Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine
Harvester tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu
operasional Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut.
Tabel 35. Struktur Ongkos dan Sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong,
kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 7,00 6.900 48.300 1,63
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,37 30.000 11.100 0,37
b. Gardan Liter 0,25 30.000 7.500 0,25
c. Gemuk/stempet Kg 5.000 0,17
1.3. Spare part & service Unit 112.000 3,77
1.4. Penyusutan - 78.000 2,63
1.5. Operator - 1.600.000 53,85
1.7.Total - 1.861.900 62,66
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.971.429 2.971.429 100,00
3 Keuntungan - 1.109.529 37,34
4 R/C rasio 1,60
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Rataan luas lahan layanan Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine
harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata
sekitar 35 ha/tahun. Adapun alasan masih rendahnya penggunaan combine
harvester pada sistem panen di lokasi kajian disebabkan oleh: (a) jumlah combine
Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan,
terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c)
masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga
UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan combine harvester, walaupun
sebenarnya untuk memperoleh combine harvester cukup mudah, baik dengan cara
sewa atau pun pembelian melalui kredit.
Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten Cilacap antara
lain disebabkan selain oleh kondisi lahan yang ada, juga harga combine harvester
pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester
68
tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman >
20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin
combine harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu
ke Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih
sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Ke depan penggunaan
combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan
jumlah saat ini.
3.4.3. Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa
Alsintan (UPJA)
Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi
baru secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang
Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin
Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat
untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing,
sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.
UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara
lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih
rendahnya tingkat penguasaan informasi dan teknologi dalam pengelolaan
mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan
pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk
mendorong pengembangan dan kemajuan kinerja UPJA, mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang.
UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan
budi daya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan,
perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan,
perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong
pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pengembangan UPJA ke depan meliputi
berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku cadang,
69
pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok tani,
gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian oleh
instansi.
Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah dan khususnya di Kabupaten
Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan). Data pada
tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang dibina oleh
Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin Jawa
Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang
menggunakan alsintan untuk menggarap lahan pertaniannya, antara lain
penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian.
Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada
perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat
disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel
Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi
pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju.
Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten
Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan
dari Presiden RI. Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui
peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat
mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi
pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai
tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan
mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh
dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian
di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan
diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan
(UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22
kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok
dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa
Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan
70
Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di
Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan
UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi.
Tabel 36. Jumlah Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA di Kabupaten Cilacap, 2014.
No Kecamatan Kel. Tani Gapoktan UPJA
1 Dayeuhluhur 155 14 4
2 Wanareja 147 16 8
3 Majenang 135 17 4
4 Cimanggu 96 15 4
5 Sidareja 80 10 6
6 Cipari 84 11 3
7 Kadungreja 125 11 11
8 Patimuan 109 7 7
9 Gandrungmangu 106 14 23
10 Karangpucung 92 14 0
11 Cilacap Selatan 13 2 0
12 Cilacap Tengah 20 3 1
13 Cilacap Utara 26 5 1
14 Kesugihan 110 16 12
15 Jeruklegi 65 13 12
16 Kawunganten 96 12 2
17 Bantarsari 65 8 2
18 Kampung Laut 34 4 1
19 Sampang 55 10 2
20 Maos 53 10 3
21 Adipala 92 16 1
22 Kroya 93 17 5
23 Binangun 95 17 1
24 Nusawungu 87 17 2
Jumlah 2.033 279 115 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, berdiri sejak
tahun 2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. Pada awal berdirinya hanya
memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara lain: (1)
Hand tractor 10 unit, (2) Power Thresher 5 unit, (3) Dryer 1 unit, (3) Transplanter 1
unit, (4) Combine Harvester 3 unit, (5) RMU 1 unit, (6) Alat Bengkel 1 unit.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh
kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan
bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama
71
pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga
sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah,
yaitu dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan soliditas
pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak empaat orang,
dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa Bojong
mencapai 921 hektar, yang mencakup lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha,
lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha.
2. Pengembangan usahatani padi melalui penerapan penggunaan alat dan mesin
pertanian menyebabkan terjadi efisiensi waktu, biaya tenaga kerja,
percepatan IP, kualitas kerja dan produk meningkat, minat tenaga kerja muda
disektor pertanian meningkat, terjadinya efisiensi biaya, dan penggunaan
benih berkualitas dengan jumlah benih yang berkurang. Selain penggunaan
alat dan mesin pertanian, dalam suatu hamparan, pengelolaan usahatani
dilakukan secara terpadu untuk memudahkan pengelolaan tanaman,
meningkatkan efisisensi biaya produksi, meningkatkan posisi tawar kelompok,
meningkatkan harga output, dan meningkatkan nilai tambah petani (dengan
system penjualan dengan di timbang yang terukur). Namun pengelolaan
usahatani terpadu belum sepenuhnya dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini
baru pada kegiatan olah tanah dan tanam.
3. Pengelolaan usaha alsintan sudah relatif baik, tetapi masih perlu
dikembangkan secara profesional dengan memperluas jaringan kerja, seperti
pengelolaan UPJA di Kabupaten Cilacap, sehingga pemanfaatan alsin lebih
efisien. Pengelolaan alsintan oleh UPJA di lokasi PPM telah dilakukan secara
profesional, dimana biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan
bersumber dari hasil alsintan itu sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari
kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA berkumpul diantara anggota untuk
membahas berbagai persoalan yang ada baik yang menyangkut kegiatan
pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan lainnya terkait UPJA.
Namun masih ada UPJA di lokasi contoh yang belum menentukan aturan main
dari penyewaan alsin, terutama alsin yang baru dimiliki (bantuan
Pemerintah).
4. Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi baru, kegiatan tersebut
antara lain adalah : sistem persemaian dengan menggunakan transplanter
yang memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem
persemaian tapin (tanam pindah). Adopsi inovasi penggunaan varietas unggul
dan efisiensi penggunaan benih padi menjadi sangat ideal jika menggunakan
transplanter. Namun penggunaan transplanter pada saat MH sering
terkendala oleh kedalaman lumpur sawah, sehingga dibutuhkan modifikasi
sesuai dengan kondisi wilayah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih
85
bersaing dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih
mengharapkan lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut.
Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM.
Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan
tanam, maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam
seminggu. Hal ini merupakan tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) agar
introduksi inovasi PPM secara keseluruhan dapat diterima dan diadopsi oleh
petani.
5. Dalam pelaksanaan PPM hingga musim berikutnya belum ada introduksi
kelembagaan terkait pemasaran hasil. Belum ada kegiatan pemasaran
bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan. Pedagang hasil
bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani.
Pedagang ini menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan.
Harga yang ditawarkan oleh pedagang ini untuk petani setempat sedikit di
atas harga pasar. Selain itu, hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang
ke rumah-rumah.
6. Penyediaan sarana produksi saat ini masih disediakan melalui Paket Optimasi
Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya sama baik dalam jenis, jumlah,
dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti penyediaan paket tersebut
tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji
kandungan unsur hara tanah). Namun sebagian petani menyatakan bahwa
akses untuk memperoleh sarana produksi mudah didapat asal tersedia modal.
Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada lokasi PPM juga
perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam.
7. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program
pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa
alsintan seperti: traktor roda 4, transplanter dan combine harvester, (2)
keterbatasan tray/nampan untuk pembibitan, (3) Masih terbatasnya sarana
pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU
yang ada di lokasi percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk
86
menyimpan gabah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang
penyimpanan gabah hasil panen.
4.2. Implikasi Kebijakan
Untuk mempercepat penerapan pertanian modern yang berkelanjutan
beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
1. Perlu persiapan waktu untuk mensosialisasikan pertanian modern kepada
masyarakat dan stakeholder terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk
implementasi pertanian modern tersebut. Hal ini terutama yang menyangkut
perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi inovasi seperti pertanian
modern memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi
plot (dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan
dan meniru atau adopsi inovasi tersebut.
2. Perlunya roadmap kecil (specific road map) untuk pertanian modern, sehingga
bisa menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian
modern ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi
mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen dan pemasaran atau akan
diterapkan secara bertahan tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan
tanam saja, dilanjtukan dengan pemeliharaan teritegrasi dan dilanjutkan dengan
tahapan panen, pascapanen dan pemasaran.
3. Perlu adanya program pendamping, sesuai dengan konsep pertanian modern
dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh sektor non pertanian. Semua
pilihan tahapan memiliki prasyarat yakni kelengkapan penerapan konsep dan
sarana alsintan yang memadai. Yang dimaksud implementasi kelengkapan
konsep adalah pembukaan kesempatan kerja sektor non pertanian yang terkait
dengan pertanian atau tidak terkait harus secara in line dalam waktu yang sama
dengan penerapan pertanian modern itu sendiri, karena ketika pertanian modern
di implementasikan, maka akan terjadi kelebihan tenaga kerja dari pertanian
yang harus difasilitasi jenis pekerjaannya.
4. Terkait dengan fasilitasi alsintan, baik pada pertanian modern atau program lain
seperti UPSUS, maka hendaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
ditujukan untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus
87
sudah melalui kajian atau lolos uji sehingga menjadi layak pakai oleh
masyarakat. Disamping itu kesiapan melempar ke pasaran umum harus di uji
tingkat kesiapannya termasuk didalamnya adalah: kesediaan spare-part, layanan
purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada belum layak
pakai atau tidak lolos uji dan tidak siap pelayanan purna jualnya.
5. Dari pengalaman, ada permasalahan pada satu lokasi pertanian modern tetapi
tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di kabupaten Sukoharjo
keterbatasan jumlah tray menjadi masalah persemaian, sedangkan di Soppeng
dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah karena ada metoda lain. Berdasarkan
keadaan tersebut, perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti pusat-
pusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi
banding yang difasilitasi oleh pemeritah.
6. Karena permasalahan yang terkait dengan alam sebagai resources endownment,
maka penerapan pertanian modern tentu tidak dengan serta merta dapat
dilaksanakan dengan mudah pada seluruh wilayah persawahan, karena terkait
dengan kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, sehingga perlu ada
kajian yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja
yang layak untuk dikembangkan sebagai pertanian modern, semi modern dan
konvensional.
7. Perlu adanya jaminan ketersediaan sarana produksi seperti : pupuk, pestisida,
air irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat
gapoktan atau koperasi tani.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2015. Prospek Pengembangan Modernisasi Pertanian-Full
Mekanisasi. Bogor BB. Mektan. 2014. Data Analisis Alsintan dan Titik Impasnya. Balai Besar Mekanisasi
Pertanian. Serpong.
BPS. 2015. Berita Resmi Statistik No. 28/03/TH.XVIII, 2 Maret 2015. Jakarta
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014 dan Pengadaan Alsintan 2015. Cilacap.
___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Cilacap 2011-2015.
Cilacap.
88
___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Cilacap.
___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Cilacap.
Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Sukoharjo 2011-2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Sukoharjo.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2010. Pedoman Teknis
Revitalisasi Penggilingan Padi Kecil. Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
PSEKP. 2015. Hasil penelitian Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan, Tidak dipublikasikan. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sinaga, Rudolf dan B. White. 1980. Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural. Dalam Kemiskinan
Struktural : Suatu Bunga Rampai. Pusat Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.