PROSPEK DAN KENDALA PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BERBASIS PEMBUDIDAYAAN MANGROVE (Wilayah Studi Kabupaten Karawang) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh RAHADIAN FEBRY MAULANA NIM: 24011021 (Program Studi Pembangunan)
29
Embed
Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangrove (Wilayah Studi Kabupaten Karawang)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PROSPEK DAN KENDALA PEMBANGUNAN WILAYAH
PESISIR BERBASIS PEMBUDIDAYAAN MANGROVE
(Wilayah Studi Kabupaten Karawang)
TESIS
Karya tulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung
Oleh
RAHADIAN FEBRY MAULANA
NIM: 24011021
(Program Studi Pembangunan)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012
Bab 1
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan beriklim tropik yang terbesar di dunia
dengan jumlah pulau 17.504 pulau (28 pulau besar dan 17.475 pulau kecil). Luas
wilayah laut Indonesia mencapai 5,9 juta Km2 serta memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Canada yaitu 81.000 Km. Oleh karena itu,
negeri ini dikaruniai wilayah pesisir yang sangat luas, dengan kekayaan alam dan
keanekaragaman ekosistem khas daerah tropik. Kekayaan alam dan
keanekaragaman ekosistem tersebut terbentuk antara lain karena karakteristik
khas yang dimiliki oleh wilayah pesisir, dimana pesisir :
1. Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada
di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil
keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) ketiga aspek di
atas;
2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan
unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;
3. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan
sumber zat organik penting dalam rantai makanan kehidupan darat dan
laut; dan
4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan
yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan.
Kekayaan alam termasuk ekosistem didalamnya berpotensi menyimpan
sumberdaya yang dapat diolah menjadi barang dan jasa sebagai modal dalam
melakukan pembangunan. Adapun potensi dan pemanfaatan sumberdaya di
wilayah pesisir, baik sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya
ruang, dan energi kelautan dapat dilihat pada tabel 1.1 dan tabel 1.2 berikut ini.
2
Tabel 1.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati dan Non Hayati Wilayah Pesisir
Sumberdaya Hayati Sumberdaya Non HayatiPemanfaatan Sumberdaya
Perikanan
1. Perikanan
tangkap
2. Perikanan
budidaya
3. Ekosistem
Padang lamun
4. Ekosistem Hutan
Mangrove
5. Ekosistem
Terumbu karang
1. Mineral
a. La
han pesisir
b. Pe
rairan dangkal
2. Pertambangan
& energi
a. Po
tensi sumberdaya
minyak & gas
b. Pe
manfaatan sumberdaya
minyak & gas
1. Perikanan darat
a. Budidaya
air tawar
b. Budidaya
tambak
c. Perairan
umum
2. Perikanan laut
a. Ikan
b. Udang
c. Binatang
lunak,dll
Sumber : Aferieda, 2004.
Tabel 1.2 Potensi dan Pemanfaatan Sumber daya Ruang dan Energi Kelautan
Wilayah Pesisir
Pariwisata Bahari Industri Maritim Energi Kelautan
1. Potensi
pariwisata bahari
2. Pemanfaatan
pariwisata
1. Potensi
industri maritim
2. Pemanfaatan
industri maritim
a. Gala
ngan kapal
b. Indu
stri penunjang
c. Indu
stri pelayaran
3. Armada
Kapal
1. Potensi energi
kelautan
a. Konversi
energi panas samudera
b. Panas
bumi
c. Pasang
surut
d. Endapan
gambut
2. Peluang
pemanfaatan Energi Nir
konvensional
a. Ocean Thermal
Energy Convention (OTEC)
b. Energi kinetik dari
gelombang pasang surut dan
3
Pariwisata Bahari Industri Maritim Energi Kelautan
arus
c. Konversi energi dari
perbedaan salinitas
d. Energi gambut
Sumber : Aferieda, 2004.
Dalam perspektif pembangunan kewilayahan, mentransformasikan sumberdaya di
wilayah pesisir menjadi potensi dan kemudian menjadi barang dan jasa, yang
ditujukan untuk mencapai tiga tujuan inti pembangunan adalah suatu keniscayaan.
Sumberdaya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup,
meningkatkan standar hidup, serta untuk memperluas rentang pilihan ekonomis
dan sosial bagi setiap individu dan bangsa, agar terbebas dari ketergantungan
terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Merujuk pada karakteristik wilayah pesisir yang telah disampaikan di muka, maka
wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang tinggi dan sangat rentan terhadap
perubahan, baik perubahan kondisi pada aspek lingkungan, maupun perubahan
kondisi pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Jumlah penduduk yang terus
bertambah menjadi salah satu pendorong perubahan ke empat aspek di atas.
Pertambahan penduduk tentu disertai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi,
sehingga kebutuhan terhadap pemanfaatan ruang dan sumberdaya semakin besar,
sementara jumlahnya cenderung berkurang dan tidak bertambah. Kondisi tersebut
mengakibatkan over exploitation yang dapat berimplikasi pada kerusakan
lingkungan.
Pertumbuhan penduduk yang sulit diprediksi dan jumlah sumberdaya yang
terbatas serta ekosistem pesisir yang kompleks, sangat rentan terhadap
ketidakpastian dan konflik kepentingan yang berpotensi menyebabkan kerusakan
lingkungan yang menyebabkan terhambatnya tujuan pembangunan.
Kerusakan lingkungan pesisir yang terjadi di Indonesia antara lain adalah
hilangnya sebaran hutan mangrove akibat pemanfaatan yang tidak memperhatikan
4
kelestarian lingkungan. Pada awalnya, hutan mangrove digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk pesisir pada skala lokal, seperti
kayu bakar, pembangunan rumah, dan tempat nelayan menangkap ikan. Namun,
ketika jumlah penduduk di wilayah pesisir semakin padat, maka dorongan
ekonomi semakin tinggi, sehingga hutan mangrove tidak hanya dimanfaatkan
sebagai pemenuhan kebutuhan skala lokal, melainkan diekploitasi untuk
menyumbang keuntungan ekonomi skala nasional dengan cara konversi menjadi
lahan tambak perikanan.
Hilangnya sebaran hutan mangrove di beberapa pantai Indonesia telah
menimbulkan fenomena kerusakan lingkungan, seperti abrasi pantai, intrusi air
laut, sedimentasi dan hilangnya habitat ikan di sekitar pantai, fenomena ini sangat
mudah ditemukan pada wilayah pesisir, terutama yang memiliki kepadatan
penduduk tinggi. Kerusakan tersebut akan meningkatkan tekanan ekologis
terhadap ekosistem pesisir dan laut sehingga mengakibatkan hilangnya potensi
sumberdaya dan ancaman musibah bagi penduduk di wilayah pesisir.
Untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan pesisir, terutama pada hutan
mangrove, maka diperlukan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya, atau pemanfaatan sumberdaya yang saling tidak
menghancurkan yang dikelola dalam jangka waktu yang lama.
Pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan tercantum dalam Undang-
Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, yang
menyebutkan bahwa wilayah pesisir beserta kekayaan sumber daya alam yang
terkandung didalamnya harus dikelola secara berkelanjutan. Untuk
mewujudkannya, maka diperlukan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut
secara terpadu, yang harus mengandung lima komponen (SULASDI, 2012), yaitu:
1. Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Hukum2. Kewilayahan3. Ekosistem
5
4. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)5. Oseanografi dan Estuari
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu harus dilaksanakan, karena
selama ini cenderung dilaksanakan secara parsial berdasarkan kepentingan
sektoral. Pada hutan mangrove, pengelolaan hanya berorientasi pada keuntungan
ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan
untuk masa depan. Oleh karena itu, sebelum luasan hutan mangrove semakin
menyempit, maka orientasi pengelolaan hutan mangrove harus dirubah.
Sebagai Negara kepulauan didaerah tropik, Indonesia memiliki 47 jenis mangrove
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2004), dan hampir 30% dari total hutan
mangrove di dunia atau sekitar 4,25 juta hektar. Hutan mangrove merupakan
tumbuhan yang hidup di wilayah pesisir pantai pada lahan – lahan rawa berair
payau yang terletak pada garis pantai atau di teluk – teluk yang terlindung dari
gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai.
Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi
yang strategis, yang tidak hanya bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan
pesisir dan laut, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove
merupakan ekosistem yang memiliki fungsi beragam, antara lain fungsi fisik,
fungsi ekologi dan fungsi ekonomis, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
1.3 di bawah ini.
Tabel. 1.3 Fungsi Hutan Mangrove
No. Fungsi Fisik Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomis
1. Menjaga garis pantai agar tetap stabil Sebagai tempat
pembenihan alami ikan,
udang, kerang, dan jenis
ikan lainnya
Sumber bahan bakar
(arang, kayu bakar)
2. Melindungi pantai dan tebing sungai Tempat bersarang
burung ‐ burung
Bahan bangunan
(balok, atap rumah,
tikar)
3. Melindungi pantai dari erosi laut Menjadi habitat alami Budidaya perikanan
6
(abrasi) bagi berbagai jenis biota dan lahan pertanian.
4. Menjadi wilayah penyangga terhadap
rembesan air laut (Intrusi)
Sebagai mata rantai
penghubung kehidupan
ekosistem laut dengan
ekosistem daratan
Sebagai bahan baku
tekstil (serat sintetis),
makanan obat‐obatan,
minuman, (alcohol),
bahan mentah kertas,
bahan ekspor,
perdagangan dan
bentuk ekonomis
lainnya.
5. Mengolah bahan limbah
Sumber: Data diolah dari Soni Mohson Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center
2010
Dari semua fungsi hutan mangrove, yang paling menonjol dan sulit tergantikan
oleh ekosistem lain adalah fungsi ekologi sebagai mata rantai penghubung
kehidupan ekosistem laut dan ekosistem daratan. Hutan mangrove menghasilkan
bahan pelapukan (serasah) yang menjadi sumber makanan penting bagi udang,
kepiting, zooplankton, inveterbrata kecil dan hewan pemakan pelapukan lainnya.
Jenis – jenis hewan tersebut kemudian menjadi sumber makanan bagi hewan
pemakan daging, baik di daratan maupun lautan.
Oleh karena itu, hutan mangrove dapat menjadi tempat pembenihan alami
berbagai jenis ikan dan biota laut. Tanpa merusak keberadaan hutan mangrove,
kebutuhan penduduk untuk memperoleh ikan sebenarnya dapat tercukupi, namun
hal itu terjadi ketika hutan mangrove berada dalam kondisi baik. Bertolak dari
fungsi ekologis hutan mangrove, sudah seharusnya budidaya hutan mangrove
dilakukan. Selain itu, hutan mangrove juga berpotensi dikelola sebagai ekowisata
pesisir yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, sehingga penduduk
wilayah pesisir dapan mendapatkan keuntungannya.
Namun hingga saat ini sebagian besar masyarakat lebih memilih mengkonversi
hutan mangrove menjadi areal tambak perikanan, karena dianggap dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi lebih instan dan lebih besar untuk diperoleh
dalam waktu dekat daripada jika mangrove dibudidayakan.
7
Berdasarkan hasil inventarisasi Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial pada tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia adalah
sekitar 8,6 juta hektar. Pada tahun 2006, luas hutan mangrove mengalami
pengurangan, menjadi sekitar 6,8 juta hektar (Ditjen RLPS). Adapun data luas dan
sebaran hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 1.4
di bawah ini.
Tabel 1.4 Luas dan sebaran lahan bervegetasi mangrove di Indonesia