i ISSN 2549-0311
ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL 2017
Kupas Tuntas Kurikulum 2013
Sabtu, 21 Januari 2017
Hotel Siliwangi Semarang, Jl. Mgr. Soegijopranoto No. 61, Kota Semarang
ISSN 2549-0311
http://hipkinjateng.org/prosiding
iii
Prakata Ketua Panitia
Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah s.w.t., Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita semua yang berupa kesehatan dan kesempatan untuk saling bertemu, bertukar ilmu, dan berdiskusi dalam kegiatan Seminar Nasional Tahun 2017 Kupas Tuntas Kurikulum 2013 di Hotel Siliwangi Semarang. Kegiatan seminar tahunan ini merupakan salah satu dari agenda kegiatan HIPKIN JATENG. Panitia seminar mengundang pembicara utama, yakni Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M. A. (Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013). Atas nama panitia, kami menghaturkan terima kasih kepada beliau atas kesediannya menjadi pembicara utama. Seminar nasional kali ini diikuti oleh kalangan dosen, guru, peneliti, praktisi, dan pemerhati kurikulum yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Pada kesempatan ini, panitia menyampaikan rasa terima kasih yang tak terkira kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Drs. Bunyamin, M.Pd. atas dorongan, dukungan, dan fasilitas yang disediakan. Selain itu, rasa terima kasih kami sampaikan pula kepada segenap sponsor yang ikut menyukseskan dan meramaikan kegiatan ilmiah ini. Tak lupa, sebagai ketua, saya memberikan penghargaan yang tinggi kepada seluruh anggota panitia serta para mahasiswa yang telah bekerja keras secara ikhlas demi kelancaraan pelaksanaan seminiar ini. Atas nama panitia, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya bilamana dalam kami melayani masih terdapat hal-hal yang kurang berkenan, baik pada waktu pendaftaran, pelaksanaan, maupun pelayanan pasca seminar. Akhir kata, kami berharap semoga seminar ini memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia, terutama dalam memajukan kurikulum. Selamat berseminar!
Drs. Heribertus S.A.S. Ketua Panitia Seminar
iv
Prakata Ketua HIPKIN JATENG
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga prosiding ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding ini berisi kumpulan makalah dari berbagai daerah di Indonesia yang telah dipresentasikan dan didiskusikan dalam kegiatan Seminar Nasional Kurikulum Tahun 2017 yang diadakan oleh Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia Wilayah Jawa Tengah pada Hari Sabtu, 21 Januari 2017. Seminar ini mengangkat tema “Kupas Tuntas Kurikulum 2013”. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan gagasan dan hasil penelitian terkait inovasi dalam kurikulum. Selain itu, diharapkan prosiding ini dapat memberikan wawasan tentang perkembangan dalam kurikulum dan upaya-upaya yang terus dilakukan demi terwujudnya pendidikan berkemajuan. Dengan demikian, seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan dapat terus termotivasi dan bersinergi untuk berperan aktif membangun pendidikan Indonesia yang berkualitas melalui kurikulum yang inovatif. Dalam penyelesaian prosiding ini, kami menyadari bahwa dalam proses penyelesaiaannya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya, kepada : 1. Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., yang telah
memberikan dukungan dan memfasilitasi dalam kegiatan ini. 2. Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Drs. Bunyamin, M.Pd, atas segala support dan
motivasi dalam kegiatan ini. 3. Seluruh pembicara tamu, Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M. A. Ketua Tim Pengembang
Kurikulum 2013 & Dr. Siskandar, M.A Dewan Pakar HIPKIN Jateng. 4. Bapak/Ibu/Mahasiswa seluruh panitia yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta
pemikiran demi kesuksesan acara ini. 5. Bapak/Ibu seluruh dosen, guru dan pejabat instansi penyumbang artikel hasil penelitian
dan pemikiran ilmiahnya dalam kegiatan seminar nasional ini. Kami menyadari bahwa prosiding ini tentu saja tidak luput dari kekurangan, untuk itu segala saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan prosiding pada terbitan tahun yang akan datang. Akhirnya kami berharap prosiding ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak terkait. Dr. Yuli Utanto, M.Si. Ketua HIPKIN Jawa Tengah
v
Pembicara Utama
Prof (Em.) Said Hamid Hasan, MA, Ph.D
Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Setyabudhi 229 E-mail: [email protected] Bandung, Indonesia, 40154
Tempat dan Tanggal Lahir : Mentok, 10 Maret 1944
Pendidikan
Ph D Macquarie University, Sydney, Australia, Curriculum Evaluation, 1985 MA Macquarie University, Sydney, Australia, Curriculum Studies, 1978 Drs IKIP Bandung, Indonesia, Pendidikan Sejarah, 1969 BA IKIP Bandung, Indonesia, Pendidikan Sejarah, 1967 Pelatihan 1. Pelatihan Kompetensi Guru (PKG), 3 bulan, 1979, Jakarta, certified 2. Public Examination Training, 3 months, 1986. UCLES Cambridge University, certified 3. Human Rights Education, 3 months, 1987, Bangkok UN Asia Pacific Regional Office., certified
Pengalaman Kerja
Agustus – desember 2016
Ketua Tim Tenaga Akhli Madep untuk Pengembangan Kurikulum Anti Korupsi KPK
September 2013 - 2015
Konsultan Proyek IDB untuk UNNES dalam Pengembangan Kurikulum Internasional UNNES
Juli 2012 – 2015 Ketua Tim Pelaksana Pengembangan Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Januari 2012 – Juli 2012
Konsultan pendirian Universitas Syech Yusuf, Pemerintah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan
2011 Juni - September
Konsultan pendirian Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) - Sampoerna Foundation
Juni 2010 – Maret 2011
Konsultan Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) untuk proposal dana IDB
2010 Januari - Konsultan Kabupaten Gowa dalam pendidikan Kelas Tuntas
vi
sekarang Berkelanjutan (KTB)
2010 Mei - Juni IDB short-term consultant for Projet Completion Report
2005 - 2009 Manager, Project Management Unit The Development and Upgrading of Indonesia University of Education, IDB Loan IND 093 & IND 094
1996 – 2005 Pembantu Rektor I (Bidang Akademik), IKIP Bandung/UPI
1988 – 1994 Pembantu dekan I FPIPS IKIP Bandung
1985 – 1988 Pembantu Dekan II FKIP –UT bidang Pengembangan Modul dan Penjaminan Mutu, Universitas Terbuka
2013 - sekarang Profesor Emiritus Pendidikan Sejarah, FPIPS-UPI
1999 - 2012 Profesor Pendidikan Sejarah, FPIPS-UPI
1995 – 1999 Profesor Madya, IKIP Bandung
1967 – Sekarang Dosen FPIPS - IKIP Bandung – UPI
Pengalaman Profesi
2012 Juli -sekarang
Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Januari 2012 – Desember 2012
Ketua tim penulis Ensikpedia Pembelajaran, PT Angkasa
2011 -Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Kurikulum SMP, Naskah Akademik Mata Pelajaran Sejarah, dan Studi Perbandingan Kurikulum, Puskurbuk – Balitbangdikbud -Konsultan Pengembangan Pendidikan Sistem Kelas Maju Berkelanjutan, Kabupaten Gowa – Sulawesi Selatan
2009-2010 Ketua Tim Penulis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pusat Pengembangan Kurikulum - Balitbang
2008 Konsultan Monitoring dan Evaluasi dalam Pengembangan Model Monitoring dan Evaluasi , Kementerian Agama
2007 Anggota Panel of Asia Pacific Evaluation Forum
2006 Anggota Tim Pengembang Proil Ditjen ManDikdasmen, Depdiknas
2002 – 2005 Anggota Panel World Education Fellowship for the development of "Educating World Citizen".
2003-2004 Ketua Tim Pengembang UPI BHMN
1999 – 2004 Direktur Due-like Project, IKIP Bandung.
2002 – 2003 Anggota Tim Pemerintah dalam Pembuatan UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003
2000 – 2002 Pimpinan PUML (Panitia Ujian Masuk Lokal untuk UPI,ITB, UNPAD) Bandung.
2001 - 2002 Anggota Komite Reformasi Pendidikan Nasional
1999 - 2000 Ketua Tim Pengembang IKIP Bandung menjadi UPI
vii
1999- 2001 Pimpinan Tim Entry Level Assessment and Quality Assessment, PGSM
1996 – 1997 Ketua Tim Konsultan PGSM Consultant Team, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
1995 – 1996
Ketua Konsultan Primary Education Quality Improvement Project-MES.
1995 (April – July)
Konsultan UNESCO untuk proyek Methods of Delivery Local Content Curriculum. bersama Dr Jerry Strudwick assisting him in preparing MDLCC project document (financed by UNDP).
1994 (July-August
Konsultan UNDP/UNESCO TSS-1 untuk studi Local Content Curriculum. Designed a survey on LCC for developing policies on LCC project, in a team of consultants from USA, UK, and Australia.
1990 – 1995 Ketua Tim Evaluasi Kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Primary School Teacher Curriculum, Dirjen Dikti Depdiknas
1989 – 1990 Ketua Tim Pengembangan Kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Menengah, Konsorsium Ilmu Pendidikan .
Keanggotaan Dalam Organisasi Profesi Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN): Ketua Umum (2004-2009; 2009-2014) Asosiasi Peneliti dan Pendidik Sejarah Indonesia (APPSI): Pendiri dan Ketua Umum (2009 – 2013) Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), anggota Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI), anggota Dewan Pakar Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPISI), Anggota Dewan Pakar American Evaluation Association (AEA) American Educational Research Association (AERA) Comparative Education Society of Asia (CESA)
Penghargaan
- Satrya Karya (30 years of services), President of the Republic of Indonesia - Satrya Karya (20 years of services), President of the Republic of Indonesia
viii
Penelitian
1. Mahasiswa Asing di Indonesia, 1979 2. Evaluasi Modul IPS dan Pengajaran Remedial Universitas Terbuka, 1986 3. Implementasi Ketrampilan Proses dalam Pendidikan Sejarah di SMA Kotamadya
Bandung, 1987 4. Study tentang Beban Kerja dan Perfomansi Guru IPS SMP di Jawa Barat, 1989 5. Pengaruh Kebiasaan Membaca dan Bantuan Profesional Terhadap Sikap Guru IPS
SMA, 1990 6. Evaluasi pelaksanaan Program Pendidikan D-2 PGSD di Jawa Barat, 1990 7. Evaluasi Mengenai Implementasi Program Pendidikan Ketrampilan Guru Direktorat
Pendidikan Menengah , 1994 8. Monitoring dan Evaluasi Program D2 PGSD, 1995 9. Studi tentang Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal di tingkat SMP di Lampung,
1995 10. Studi tentang Perfomansi Mengajar Dosen UPI, 2002 11. Religious Study Across Curricula, dibahas pada the 4th Conference of CESA, Bandung
2003 12. Religious Study Across Curricula, 2004 13. Studi tentang Kebutuhan Evaluasi External dan Independen Bagi Universitas di
Indonesia Indonesian Universities, 2006, makalah dipresentasikan di Tokyo dalam Seminar Antar Bangsa
14. Time on Task dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar, 2007 15. Penggunaan Metode Delphi dalam Mengevaluasi Kurikulum Program Studi
Pengembangan Kurikulum SP-UPI , SPS, 2008 16. Aplikasi Delphi untuk Evaluasi Kurikulum program studi Pengembangan Kurikulum,
PPS-UPI, 2009 17. Value Contribution Technique untuk Evaluasi Kurikulum Program Studi
Pengembangan Kurikulum, PPS-UPI, 2009 18. Pendidikan Sejarah dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir dan Ketrampilan
Sejarah, 2011 Publikasi Buku: 1. NPendidikan Sejarah Indonesiaasionalisme India, 1969 2. Panglima Besar Sudirman, bacaan untuk SD. Penerbit Terate. Bandung, 1975 3. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SLTP. BPGT-Bandung, 1978. 4. Evaluasi Hasil Pengajaran IPS dan Pengajaran Remedial, Universitas Terbuka, 1986 5. Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Modul untuk D-II PGSD Universitas
Terbuka, 1986 6. Sejarah Indonesia, modul untuk D-II PGSD Universitas Terbuka, 1986 7. Evaluasi Kurikulum. 1988. Jakarta: P2LPTK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
ix
8. Pendidikan Ilmu Sosial, 1996, Jakarta: P2LPTK. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 9. Evaluasi Kurikulum 2008, Bandung: Rosda 10. Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam Indonesia Dalam Arus Sejarah
jilid 8, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2010 11. Pendidikan Karakter, Ketua Tim Penulis diterbitkan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Diknas, 2010
12. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran. 2012. Bandung: Rizqi Press
13. Sejarah Kurikulum SMP Sejak Zaman Hindia Belanda – Reformasi, 2016 sedang dalam
proses penerbitan 14. Perbandingan Kurikulum SMP, Puskurbuk Balitbangdikbud 2016 dalam proses
penerbitan Editor:
1. Jurnal Sejarah Indonesia, MSI Surabaya 2. Historia: International Journal of History Education, diterbitkan oleh Asosiasi
Pendidik dan Peneliti Pendidikan Sejarah 3. Inovasi Kurikulum diterbitkan oleh Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia 4. Bunga Rampai, Puskurbuk Balitbangdikbud
Makalah Disajikan pada Seminar Internasional 1. Teacher Education in Indonesia, paper presented at a seminar on Teacher Education,
Ohio State University, 1987 2. A History of Indonesia: an overview, presented to Fulbright Group of USA, Bandung,
1988 3. Primary education in Indonesia; What It Is and What I Think It Should Be, paper
presented at International Conference on Education in Asia and the Pacific, Bandung, 1991
4. Local Content Curriculum, a seminar paper presented at UNESCO Seminar for Regional Asia, Jakarta May 14, 1996
5. Multicultural Issues and Human Resource Development, Keynote Papaer, presented at International Conference on Education: Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. IKIP Bandung. 11 November 1996.
6. History of Education and Politics in Indonesia, paper presented at International Association of Historians of Asia, Agustus 1998
7. Managing Equal Access for Better Learning in Higher Education , paper presented at the International seminar on equality and technology, Bandung, November 1998
x
8. Paradigm For Research and Development Centre of Civic Education, paper presented at the International Seminar on Conference On Civic Education For Civil Society, Bandung, March 16-17, 1999.
9. Teacher Education for Peace and international understanding International Understanding, paper presented at UNESCO Seminar, National Institute for Educational Research, Tokyo, September 1999
10. A collaborative Model for Practice Teaching, paper presented at SEAMEO seminar, Bangkok, March 2001.
11. A Reform for Teacher Education Program, paper presented at International Seminar on Higher Education (HE-R), Jakarta, August 2001.
12. An Evaluation of Teaching Performance of UPI Lecturers: An Indonesia University of Education Case. ASAIHL Conference, Bangkok, November 2002
13. A new curriculum for teacher education program: a response to the changing time and needs: A case of Indonesia university of education. Paper presented at SEAMEO Conference. Bangkok, March, 2004
14. Religious Education Across Curricula: With Special Reference To Indonesian Education, CESA Seminar, Bandung, 2005
15. External and Independent Evaluation for Indonesian Universities, paper presented at Educational Administration Society of Japan and Korea, Tokyo, November 2006
16. Pedagogy, Curriculum, And Ethnicity: Multicultural Curriculum In Indonesia, UKM, Kualalumpur, Presented at Colloqium on Multicultural Education at Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) , March 27, 2008
17. Evaluasi Pengembangan KTSP:Suatu Kajian Konseptual. Disajikan pada pertemuan Internasional antara Indonesia-Malaysia, HIPKIN. Bandung, 20 November 2008
18. The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior Secondary Social Studies Curriculum. Bandung. PPS. A joint seminar with Malaysia Univeristy Of Science . January 2009.
19. Studi Perbandingan Kurikulum: Apa, Untuk Apa, Dan Bagaimana?, Seminar Internasional PPS-UPI, 17 Maret 2010
20. Evaluation towards ASEAN Curriculum Sourcebook, best practices from Indonesia. Presented at 28th ASEAN Council of Teachers Convention Leaders Meeting, Jakarta: Hotel Millenium 9 December 2012.
21. History Education in Curriculum 2013: A New Approach to Teaching History, Historia: International Journal of History Education, vol XV, no. 1, 2014
22. New Initiatives for Teaching History of Indonesia: Approaches for the development of thinking skills, synchronic between national and local history). Presented at International Seminar of History and Social Studies Education. Bandung, UPI, October 2016
Makalah disajikan pada Seminar Nasional/Lokal/ Artikel pada Jurnal
1. Tujuan Pendidikan Sejarah di SMA, makalah disajikan pada Seminar Nasional Sejarah di Yogyakarta, 1985
2. Evaluasi Program, Majalah Pendidikan Indonesia, 1987 3. Sistem Penerimaan Siswa Baru. Pikiran Rakyat, Bandung, 1987
xi
4. Pendidikan Sejarah di SMA, makalah untuk Seminar Nasional Sejarah Indonesia, 1988 5. Muatan Lokal dan Kurikulum Nasional, makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia, Bandung, 1988. 6. Pengalaman FKIP-UT dalam Pendidikan Berterusan, paper presented at Seminar
Kebangsaan Pendidikan Berterusan, University Sains Malaysia, Penang, 1988. 7. Model Belajar Tuntas, makalah Diklat Perumtel, 1989 8. Pendekatan Pengembangan Kriteria Evaluasi Kurikulum, makalah PAU Pendidikan,
1989 9. Pendidikan Dasar 9 Tahun, Jurnal Mimbar Pendidikan, 1989 10. Kurikulum Guru SD, makalah seminar di FKIP-UT, Jakarta, 1989 11. Program Studi S2 IPS di FPS IKIP Bandung, makalah di Seminar FPS IKIP Bandung,
1989 12. Kurikulum Sejarah untuk Tingkat Sekolah, makalah di seminar Balitbangdikbud, 1988. 13. Satuan Acara Perkuliahan, Bandung, 1990 14. Pendidikan Berfikir dalam Sejarah, makalah seminar di FPS-IKIP Bandung 15. Telaah GBPP Kurikulum IPS-SD, makalah penataran Calon Penatar Dosen PGSD, 1990 16. Training Technique, Methodology and Didactic, makalah pada Haroen Clifford Group,
1990 17. 25 Tahun Pendidikan Sejarah, makalah pada Seminar Nasional Sejarah Indonesia,
Semarang, 1990 18. Kurikulum FPIPS-IKIP Bandung, makalah pada seminar kelompok pengembang
kurikulum di FPIPS-IKIP Bandung, 1990 19. Permasalah Penjurusan di SMA, artikel dalam Jurnal Mimbar Pendidikan nomor
khusus Dies Natalis, 1990 20. Penelitian Pendidikan Sejarah dan Usulan Penelitian, makalah di Jurusan Pendidikan
Sejarah, 1991 21. Pengembangan program, makalah di untuk dosen penatar D2 PGSD, Sawangan, 1991 22. Materi Pokok Pendidikan IPS, modul Universitas Terbuka untuk program D-II PGSD,
1991 23. Pengenalan Pedoman Kurikulum dan GBPP Sejarah, makalah di Universitas Siliwangi,
Tasikmalaya, 1991. 24. Monitoring dan Evaluasi untuk Program D2 PGSD, makalah di Rapat Kerja Rektor
IKIP, Jakarta, 1991 25. Kurikulum FS dan FPIPS, makalah seminar HIMAS, Bandung, 1991 26. Model Mengajar untuk IPS, makalah dalam seminar dosen IPS PGSD, Lembang, 1991 27. Pengajaran Sejarah untuk Kognitif Tinggi, makalah di Jurusan Pendidikan Sejarah,
1991 28. Perencanaan Pengajaran Sejarah, Rumusan Tujuan dan SAP, makalah seminar
Jurusan Pendidikan Sejarah, FKIP-Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, 1991 29. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Menjelang Pembangunan Jangka Panjang II, artikel di
Media IKA FPIPS, 1991 30. Model Pengelolaan, Pemantauan dan Penilaian Kurikulum, makalah pada Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 1992. 31. FPIPS dan Perannya di Masa Mendatang, makalah pada forum FPIPS Seluruh
Indonesia di Medan, 1992 32. Metode Ceramah dan Tanya Jawab, makalah, FPIPS IKIP Bandung, 1992
xii
33. Sumbangan IPS terhadap Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional, makalah pada seminar di FPIPS, 1992
34. Fleksibilitas Kurikulum, makalah pada seminar di Program Pasca Sarjana IKIP Bandung, 1992
35. Sosok Kurikulum Pendidikan Menengah 1994 dan Implikasi Pelaksanaannya di sekolah, makalah pada Seminar Pendidikan di Masa Mendatang, FKIP Kuningan, 1992
36. Penilaian Ulang Kurikulum IPS SD dan Sekolah Diatasnya, 1992. 37. Pengajaran Sejarah di Perguruan Tinggi, makalah pada Seminar Pengajaran Sejarah
di Perguruan Tinggi, diselenggarakan oleh Universitas Indonesia, Depok, 1992 38. Kurikulum Sejarah Islam di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar di IAIN Sunan
Gunung Jati, 1992. 39. Pengembangan Kurikulum di Perguruan Tinggi, 1992 40. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Sejarah, 1992 41. Aspek Non Teknis dalam Pengajaran, artikel dalam majalah Dinamika Pendidikan,
tahun I nomor 2, ISSN:0854-2172,1993 42. Kreativitas Mengajar dan Kegairahan Belajar, artikel dalam majalah Dinamika
Pendidikan, tahun I nomor 2, 1993 43. Pendidikan Guru Dasar 9 Tahun, 1993 44. Pola Penyusunan Kerangka Pemikiran dan Pemecahan Masalah dalam Penelitian,
makalah disajikan dalam Seminar Penelitian Perguruan Tinggi, dilaksanakan oleh KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat di kampus IKOPIN, Jatinangor, 14 Juli 1993.
45. Evaluasi Pelajaran Sejarah di Sekolah, makalah disajikan dalam Simposium Nasional Pendidikan Sejarah, diselenggarakan oleh Dirjahnitra di Pelabuhan Ratu, 9-11 Agustus 1993.
46. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pendidikan, dan Perguruan Tinggi, pidato Ilmiah pada Hari Wisuda UNIS Tanggerang, 1993
47. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pendidikan Luar Sekolah, maklaah disajikan dalam Musyawarah Kerja Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa, Jakarta, 25 Agustus 1993.
48. Landasan Konseptual Strategi Pengembangan Kurikulum, makalah disajikan dalam diskusi para pengembang kurikulum D2 PGSD, Biotrop, Bogor, 15 September 1993.
49. Format Metodologi Pengajaran Sejarah Dalam Tranformasi Nilai dan Pengetahuan, makalah disajikan dalam seminar nasional pendidikan sejarah, Yogyakarta, 30 April 1994.
50. Kurikulum Sejarah 1994 (Pengertian, Kandasan, dan Konsekuensi). Makalah dibahas dalam seminar Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-IKIP Bandung, 23 September 1994.
51. Dampak Program PKG/SPKG, makalah dalam seminar nasional mengenai PKG/SPKG oleh Dikmenum-Depdikbud, Ever Green Village, 3 November 1994.
52. Prinsip Kurikulum Sejarah 94 SMA dan Implementasi, makalah disajikan dalam forum komunikasi guru sejarah di Tasikmalaya, 19 November 1994.
53. Kurikulum Pendidikan Sejarah, disajikan di FPIPS-IKIP Bandung, 1995 54. Evaluasi Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, disajikan
dalam Lokakrya Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, Bandung 1995 55. Evaluasi, Monitoring, dan Supervisi, PEQIP, Jakarta 1995.
xiii
56. Perkembangan Kebijakan Pendidikan Dalam Kurun Waktu 50 Tahun Terakhir, makalah utama disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang, Maret 1996
57. Pengembangan Materi Pengajaran Sejarah Dalam Rangka Memantapkan Nasionalisme untuk Menyongsong Abad 21, makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Sejarah di Yogyakarta, 27 Mei 1996
58. Kurikulum dan Pendidikan Budi pekerti, artikel dalam Pikiran Rakyat, 29 Agustus 1996.
59. Pandangan Dasar Mengenai Kurikulum Pendidikan Sejarah. Pidato pengukuhan. Oktober 1996
60. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah. Keynote paper, presented at National Congress on History. Jakarta, November 13, 1996.
61. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (buku). Jakarta. DIKTI. 1996. 62. Evaluasi Implementasi Proyek MDLCC di Propinsi Lampung, laporan evaluasi, 1997 63. Pelaksanaan Kurikulum Sejarah/IPS. Laporan Hasil Penelitian, 1997. 64. Problema dan Upaya Peningkatan Mutu Sekolah, makalah disajikan dalam seminar
Dikmenum di Lembang, Desember 1997. 65. Kebijakan dan Pelaksanaan Pendidikan Sejarah di Lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, makalah disajikan pada Simposium Pengajaran Sejarah, Desember 1997
66. Proses Belajar Sejarah di Perguruan Tinggi, makalah disajikan pada forum dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastera Universitas Padjadjaran, Mei 1998
67. Evaluasi Hasil Belajar di Perguruan Tinggi, makalah disajikan pada seminar mengenai Hasil Belajar Perguruan Tinggi, April 1998.
68. Penerapan Kurikulum Nasional Pelajaran Sejarah SMU Dalam Menghadapi Abad 21, Paper presented at the MGBS Sejarah, Bandung, Juli 1998.
69. Revitalisasi Kurikulum PPKN, paper presented at the seminar on PPKN curriculum. Bandung, Oktober 1998.
70. Analisis Materi Pelajaran Sejarah (AMP), makalah disajikan pada kelompok kerja guru Sejarah se Jawa Barat, Jatinangor, 28 Januari 1999.
71. Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru Indonesia, Mimbar Pendidikan, XVIII, 2, 1999
72. Arah Pendidikan Sejarah Nasional Indonesia Di Era Baru Indonesia, makalah untuk Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Akademik – Balitbang Dikbud, Maret 1999.
73. Metodologi Pengajaran Sejarah (Pengertian, Penentuan, dan Proses), makalah disajikan pada pertemuan Guru-Guru Sejarah se Jawa Barat, Subang, Maret 1999.
74. Landasan Filosofi Dan Teori Penyusunan Kurikulum, makalah disajikan dalam Seminar Kinerja PPPG-IPA, Bandung, 28 Juni 1999.
75. Pengajaran Sejarah Melalui Analisis Cerita Sejarah, makalah disajikan pada Rapat Kerja MGMP Sejarah Kodya Bandung, 26 Agustus 1999.
76. Pendekatan multikultural untuk penyempurnaan kurikulum nasional, makalah disajikan dalam seminar nasional Balitbang Depdiknas, di Cisarua 28 Maret 2000.
77. Aneka Ragam Budaya dan Diversifikasi Kurikulum, makalah disajikan pada seminar nasional Pusat Pengembangan Kurikulum-Balitbang Diknas, 2000
xiv
78. Kompetensi Minimal Lulusan S1-IPS, makalah disajikan pada seminar nasional Pendidikan S1 untuk guru, Dikdasmen, Oktober 2000
79. Monitoring dan Evaluasi Perfomansi Perguruan Tinggi Menuju Otonomi, disajikan dalam rapat kerja nasional Pembantu Rektor I, DIKTI-Depdiknas, 2000
80. Supplemen Kurikulum Sejarah, Jurnal Pendidikan Sejarah, 2001 81. Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial Di Masa Mendatang (Suatu Pemikiran Ulang), Forum
diskusi IPS, Semarang, 24 Oktober 2001. 82. Kurikulum, perencanaan, dan evaluasi Pengajaran bahasa Arab, pertemuan jurusan
Pendidikan Bahasa Arab, Bandung, 3 November 2001 83. Arah Kurikulum LPTK, makalah disajikan dalam pertemuan ilmiah FKIP-UNPAS,
Bandung, 5 November 2001. 84. Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Universitas
Katolik Parahyangan, 17 Januari 2002 85. Konsep Pendidikan Berorientasi Ketrampilan Hidup Dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi, PPS Universitas Negeri Semarang, 27 Februari 2002 86. Kurikulum Bahasa Inggeris Yang Ideal Bagi Penyelenggara Pendidikan, Seminar
HIMABSII Jawa Barat, Bandung, 27 April 2002 87. Memori Kolektif, makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sejarah Indonesia.
Jakarta: Agustus 2002. 88. Hakekat Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan dalam seminar nasional
Kurikulum di Universitas Negeri Padang. Padang, 25 September 2002. 89. Pendidikan Sejarah dan Memori Kolektif, disajikan dalam Seminar Pendidikan
Sejarah. Dinas Sejarah dan Purbakala – Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Pontianak, Oktober 2002.
90. Peranan Pendidikan Pemuda dalam Proses Integrasi Bangsa. Jakarta, Oktober 2002 91. Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, makalah disajikan dalam
Seminar Pendidikan Sejarah di Bumi Siliwangi, Februari 2003 92. Standar Nasional Pendidikan: Arti dan perannya dalam pendidikan dan profesi guru.
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Kependidikan. Jakarta, Kantor Menko Kesra, April 2004.
93. Posisi Alumni FPBS Pada Peta Pendidikan Di UPI dan Jabar, Seminar IKA FPBS-UPI, Maret 2005
94. Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal, Seminar Jurusan Pendidikan Sejarah, April 2005
95. Eksplorasi baru dalam Riset pendidikan sejarah masa kini. Workshop Jurusan Sejarah –FIS Universitas Padang, 28 juli 2005
96. Strategi dan teknik membuat proposal riset kompetitif di bidang pendidikan sejarah. Workshop Jurusan Sejarah –FIS Universitas Padang, 28 juli 2005
97. Pengembangan Sistem Pembelajaran untuk Pendidikan Alternatif dan Inovatif. Diknas, Jakarta: 2005
98. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Pusat Kurikulum – Balitbang Dikas, Jakarta 2006-06-06
99. Evaluasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, UNJ – Jakarta, 2006 100. Kurikulum Sejarah Berbasis Kompetensi, UNJ – Jakarta, 2006 101. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Sejarah di Perguruan Tinggi, UNJ – Jakarta, 2006
xv
102. Kurikulum Sejarah masa Mendatang, UNJ – Jakarta, 2006 103. Pendidikan Multikultural melalui Pengajaran Sejarah, Kementerian Pariwisata dan
Kebudayaan, Surabaya, 2006 104. Skills Development Center, Jakarta, 2006 105. Kurikulum, Standar Kompetensi Lulusan, Dan Ujian Negara, Jakarta, 2007 106. Kurikulum, Standar Kompetensi Lulusan, Dan Ujian Negara, Jakarta, 2007 107. Problema Implementasi Sistem Evaluasi Pendidikan, Coordinator Ministry of Social
Welfare, Bali, 2007 108. Pendidikan, Kualitas, dan Ujian Nasional, dalam Menggugat Ujian Nasioanl:
Memperbaiki Kualitas Pendidikan, Jakarta, Education Forum, 2007 109. Transdisciplinarity Dalam Pendidikan dengan Referensi Khusus Pada Kurikulum,
Jakarta, 2007 110. Arah Dan Perubahan Kurikulum Di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis. Seminar
Nasional Pendidikan Sejarah, Balai Pertemuan UPI, 3 April 2008 111. Pengembangan Kurikulum Sejarah Untuk Tingkat SMP dan SMA. IKAHIMSI, tanggal 8
April 2008 di Bandung 112. Berfikir Kritis Dan Kurikulum, Bandung Mei 2008 113. Pendidikan Sejarah Sebagai Media Nation And Character Building. disajikan pada
Sarasehan Nasional 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional, Mou DHD 45 dan MSI Jatim, Surabaya 17 Mei 2008
114. Pembelajaraan Sejarah Yang Menarik: workshop Kesejarahan Tanggal 28 Mei 2008 Di Medan
115. Pengembangan Kompetensi Berfikir Kritis Dalam Pembelajaran Sejarah. Seminar IKAHIMSI, 8 April 2008 di UPI, Bandung
116. Problematika Ujian Nasional (UN) Dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional Sebagai Alat Evaluasi Mutu Pendidikan Di Indonesia, di Universitas Lampung, pada pertemuan ForMaPPI Lampung, tanggal 8 Juni 2008.
117. Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif Dan Jatidiri Bangsa. Masyarakat Sejarah Indonesia. Surabaya, Juli 2008
118. Pendidikan Guru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 (Sebuah Sumbangan Pikiran), September 2008
119. Pendidikan, Kurikulum, Dan Ujian Negara. Seminar BEM – UPI tanggal 5 November 2008 di Kampus UPI
120. Metode Proyek untuk Pengembangan Sikap, Wawasan, dan Ketrampilan Akademik Pendidikan IPS. Bandung. Sekolah Pasca Sarjana: Januari 2009
121. Tim Pengembang Kurikulum, Pusat Kurikulum, dan Kebijakan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. PUSKUR. Februari 2009
122. Analisis Konteks dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta, PUSKUR, Mei 2009 123. Pendidikan IPS yang Bermakna, UPI 19 Mei 2009 124. Kebijakan Pendidikan dan Masa Depan Bangsa, Seminar Nasional di UPI, 16-Juni-
2009 125. Problematik Pendidikan Sejarah, Jakarta: Asosiasi Guru Sejarah, 20 Oktober 2009 126. Evaluasi Kualitas Pendidikan dan Hasil Belajar, 28 November 2009 127. Kemitraan Pemda, Perguruan Tinggi, Dan Sektor Swasta Dalam Peningkatan Tradisi
Ilmiah Guru Di Indonesia, UNITWIN-UNESCO, Jakarta, 17 Maret 2010
xvi
128. Ujian Nasional Dan Masa Depan Bangsa:Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan, Lemhanas, Jakarta, 18 Februari 2010
129. Pendidikan Sejarah: Kemana Dan Bagaimana? Disajikan pada seminar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Jakarta, 6 Maret 2010
130. Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa. Disajikan pada Musyawarah Kerja Nasional Pengajaran Sejarah, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Budaya, di Batu 15 – 17 Juni 2010
131. Pendidikan Multikultural dalam Pengajaran Sejarah, Jurnal Sejarah Indonesia, Vol 2 no. 2 Juli 2010
132. Filosofi Dan Peran Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Karakter Bangsa. Makalah Dikemukakan dalam Seminar Masyarakat Historia Indonesia bekerjasama dengan Bank Indonesia, di Jakarta tanggal 21 Juli 2010
133. Pendidikan Sejarah: Liku-Liku Dan Potensi Pengembangannya. Artikel dalam Majalah Basis, Nomor 07 – 08, Tahun ke-59, 2010
134. Infusing Character Education Into The Existing Curriculum:A Case Of Social Studies Teaching, Presented at an International Seminar on Character Education for Social Studies Program, Bandung February 3, 2011
135. Pendidikan Sejarah Dan Pendidikan Profesi Guru Sejarah. Dipresentasikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS Di Bandung Tanggal 18-20 Maret 2011
136. Active Learning: Konsep dan Penerapannya : Disajikan pada Seminar International tentang Active Learning: A Comparative Curriculum Study, Bandung June 9-10, 2011
137. Implementasi Kurikulum Berbasis Vokasi di Lingkungan Politeknik, maalah disajikan pada pertemuan tahunan LP3AP. Bandung, 15 Oktober 2011
138. Redesain Sistem Kurikulum, di Yogya, Seminar ISPI, 21 Januari 2012 139. Kurikulum Untuk Manusia, 2012 140. Pengelolaan Kurikulum 2013 SMA, Direktorat SMA, Direktorat Jenderal Pendidikan
Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, 20 Juni 2013 141. Pendidikan IPS dalam Kurikulum 2013. Program Pasca Sarjana. Universitas Negeri
Padang, 6 Oktober 2013 142. Pendidikan IPS Dalam Kurikulum 2013, HISPISI di Manado, 2 November 2013 143. Pengembangan Kurikulum 2013: Membangun Generasi Emas Indonesia, di Bandung,
PAUD-PPS-UPI, 11 November 2013 144. Penyusunan Kurikulum Internasional Perguruan Tinggi. MADEP. UNNES. Semarang,
2-5-2013 145. Pendidikan Sejarah Dalam Kurikulum 2013: Masalah dan Tantangan, Cipanas 20 Mei
2013 146. Kurikulum 2013:Menuju Pendidikan Indonesia Berkualitas. Padang. UNP. 5 Oktober
2013 147. Kecenderungan dan Perubahan Pola Pikir Untuk Memahami Kurikulum 2013:
Puskurbuk Maret 2014 148. Pendidikan Sejarah Dalam Kurikulum 2013: Masalah dan Tantangan. Direktorat
Sejarah. Direktorat Jenderal Kebudayaan,Kemendikbud. Cipanas, 20 Mei 2014
149. Sejarah Pendidikan Sejarah, Seminar Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta,06-05-2014
xvii
150. Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Sejarah Kurikulum 2013. Malang, Dibentang dalam Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS Cabang Jawa Timur, Malang 27 September 2014
151. Pendidikan Sejarah Dalam Mempersiapkan Generasi Emas (Suatu Perubahan Paradigma Pendidikan Sejarah Dengan Referensi Pada Kurikulum 2013). Dibentang pada Semnar Nasional APPS di Banjarmasin tanggal 27 Desember 2015
152. Desain Pendidikan Untuk Jatidiri Bangsa, Makalah dipresentasi di Seminar HISPISI tanggal 27 Mei 2016 di UNJ
153. Peran Pendidikan Ilmu Sosial Dalam Membentuk Karakter Bangsa Untuk Daya Saing Global, Dikemukakan pada Seminar Nasional HISPISI,di Makassar: UNM tanggal 29 Oktober 2016
154. Pendidikan Sejarah Maritim, Dikemukakan pada Seminar MSI: Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta 7-10 November 2016
Bandung, Januari 2017 Said Hamid Hasan Guru Besar Emiritus
xviii
Daftar Isi
Prakata Ketua Panitia ............................................................................................................................. iii
Ketua Panitia Seminar ............................................................................................................................ iii
Prakata Ketua HIPKIN JATENG ............................................................................................................... iv
Pembicara Utama.................................................................................................................................... v
Daftar Isi .............................................................................................................................................. xviii
Kurikulum holistik integratif anak usia dini dalam implementasi self regulated learning.................. 1
Luluk Elyana .................................................................................................................................... 1
Potret kompetensi calon kepala sekolah dalam mengelola kurikulum tingkat satuan pendidikan ... 8
Ratna Juwita .................................................................................................................................... 8
Kurikulum pendidikan guru yang memberdayakan: Pembelajaran dari program keteladanan ...... 14
Yuli Utanto1 a), Dedy Gunawan2 b) .................................................................................................. 14
Analisis peran guru dan kepala madrasah dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 ............. 20
Siskandar ....................................................................................................................................... 20
Multimedia pembelajaran digital untuk meningkatkan antusiasme siswa dalam belajar ............... 31
Neni Kusuma Nugraheni ............................................................................................................... 31
Implementasi kurikulum 2013 dalam pendidikan karakter di sekolah dasar ................................... 39
Sumilah.......................................................................................................................................... 39
Pendekatan saintifik kurikulum 2013 pada pembelajaran seni budaya (seni tari) ........................... 44
Gusyanti ........................................................................................................................................ 44
1
Kurikulum holistik integratif anak usia dini dalam
implementasi self regulated learning
Luluk Elyana
IKIP Veteran Semarang
Corresponding author: [email protected]
Abstract. Kegiatan pembelajaran anak usia dini pada hakikatnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret
berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain. Proses kegiatan pembelajaran
Anak Usia Dini lebih menekankan pada penanaman sikap dan pembentukan karakter melalui pembiasaan –
pembiasaan positif sesuai dengan tahapan usia anak. Implementasinya harus memahami kebutuhan setiap anak dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Self Regulated
Learning menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri
sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Regulasi diri dalam belajar juga membawa anak mengerti
apa yang harus di lakukan dan memahami tanggungjawabnya. Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini harus bisa
membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai
agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki jenjang
pendidikan dasar. Untuk itu pelaksanaannya harus bersifat komprehensif, menyeluruh dan mencakup semua aspek
pengembangan dasar anak salah satunya adalah Self Regulated Learning yang menekankan unsur kemandirian bagi
anak. Kurikulum Holistik Integratif merupakan kurikulum yang mengintegrasikan segala aspek yang terdapat dalam
pengembangan dasar anak secara menyeluruh antara jiwa dan badan serta aspek spiritual dan material untuk
memenuhi kebutuhan essensial anak termasuk kesehatan dan gizi, pola pengasuhan dan perlindungan anak.
Implementasi Self Regulated Learning melalui kurikulum holistik integratif ini diharapkan akan tercapai secara
maksimal dengan terbentuknya karakter positif pada diri anak.
PENDAHULUAN
Kurikulum dalam pendidikan anak usia dini mencakup 3 (tiga) domain penting yaitu sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Strategi pelaksanaannya melalui kegiatan harian yang di implementasikan dalam kegiatan
pembelajaran. Kegiatan harian anak mencakup kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Kegiatan awal
biasanya di tandai dengan pijakan – pijakan yang di berikan oleh guru berupa penjelasan – penjelasan pada
setiap kegiatan yang akan di lakukan dan memberikan informasi penting kepada anak seputar kegiatan yang akan
dilakukan. Kegiatan inti yaitu berupa aneka kegiatan anak melalui alat permainan edukatif sesuai dengan tema
yang di terapkan dengan memperhatikan densitas serta intensitas yang di berikan serta pengaturan waktu yang
tepat.
Kegiatan pembelajaran anak usia dini pada hakikatnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret
berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain. Dunia anak adalah
bermain. Pendidikan anak usia dini memberikan bentuk permainan pada anak dengan memperhatikan konsep
kebermaknaan pada diri anak dan kegiatan yang di lakukan diberikan melalui bermain yang bermakna dengan
membangun pengetahuan pada setiap kegiatan. Konsep kebermaknaan pada diri anak salah satunya dengan
penanaman kemandirian sejak dini. Setiap aspek kegiatan yang di jalani oleh anak harus berkualitas dan
komprehensif.
Pelaksanaan konsep kebermaknaan tidak semuanya berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan setiap
anak. Pelaksanaan ketiga domain tersebut di atas yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan tidak sepenuhnya
menekankan pada proses dan hanya bertumpu pada pengetahuan saja. Sikap dan keterampilan tidak dapat
tercapai secara maksimal karena banyak pendidik yang terlalu dominan dalam menekankan domain kognitif.
Bila hal ini terjadi maka pembentukan sikap hanya menyentuh permukaannya saja. Anak mengenal pembiasaan
– pembiasaan positif ini sebatas bunga rampai atau lip service yang hanya di pahami anak secara sekilas dan
tidak dapat terimplementasi secara mendalam.
Salah satu penekanan tercapainya domain sikap secara maksimal adalah melalui implementasi self regulated
learning yaitu sebagai upaya penanaman kemandirian dan membimbing anak memahami tanggung jawabnya
serta mengerti apa yang dilakukan. Self Regulated Learning menempatkan pentingnya kemampuan seseorang
untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit.
Pada sisi lain, Self Regulated Learning menekankan pentingnya inisiatif karena SRL merupakan belajar yang
2
terjadi atas inisiatif sundiri. Anak didik yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan
pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan
(Zimmerman, 2002). Dalam pelaksanaannya secara sederhana adalah anak mengerti apa yang dilakukan ketika
baru datang ke sekolah di pagi hari yaitu dengan melakukan pembiasaan positif yang di tanamkan oleh guru
misalnya anak akan menyapa teman – temannya yang tengah bermain di halaman sekolah, memberikan
senyuman kepada guru, menaruh tas di lokernya dengan rapi, meletakkan sepatu pada rak – rak yang sudah di
siapkan sesuai dengan kelompoknya. Setiap anak akan melaksanakan kebiasaan ini dengan teratur tanpa di
perintah atau di suruh, anak akan mengerti apa yang harus dilakukan, menemukan solusi atas permasalahan yang
di hadapi dan memiliki sikap tanggung jawab pada setiap kegiatan yang harus dilakukan sehingga proses
pembelajaran berjalan tertib dan teratur.Pengembangan kemandirian pada anak pada prinsipnya adalah dengan
memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai akivitas. Semakin banyak kesempatan yang diberikan
pada anak, maka anak akan semakin terampil mengembangkan skillnya sehingga lebih percaya diri.
Implementasi self regulated learning tidak terjadi begitu saja akan tetapi melalui sebuah proses. Penanaman
pembiasaan ini dilaksanakan melalui pijakan – pijakan yang menyenangkan dan membuat anak merasa nyaman.
Ketika anak sudah merasakan kenyamanan terhadap pembiasaan ini maka anak akan melakukannya dengan
senang hati dan kesadaran yang muncul dan akhirnya membentuk sebuah karakter. Untuk itu implementasi self
regulated learning ini memerlukan kurikulum yang dapat memfasilitasi pelaksanaan implementasi tersebut.
Kurikulum tersebut harus terarah dan terprogram dengan baik yaitu sesuai dengan visi, misi dan tujuan, strategi
pembelajaran, kegiatan harian dan kegiatan pembelajaran.
Kurikulum Anak Usia Dini harus memperhatikan pengembangan dasar pada diri anak yaitu mencakup aspek
nilai – nilai agama dan moral, kognitif, bahasa, fisik motorik, sosial emosional, dan seni. Disamping itu harus
memperhatikan perbedaan individu pada setiap anak. Anak memiliki keunikan pada tumbuh kembangnya baik
dari aspek perkembangan jasmani maupun rohani. Implementasi Self Regulated Learning ini harus memahami
perbedaan kebutuhan individu yang dimiliki oleh anak. Tidak semua anak memiliki kebutuhan yang sama
misalnya ada anak yang cukup menonjol pada kemampuan berbahasanya tetapi mengalami hambatan dalam
melaksanakan kepatuhan yaitu membutuhkan waktu dalam melaksanakan sebuah instruksi yang telah di sepakati
bersama. Sebaliknya ada anak yang menonjol dalam kemampuan motorik kasarnya akan teteapi mengalami
hambatan kemampuan verbal dalam berbahasa.
Kurikulum holistik integratif mengintegrasikan segala aspek yang terdapat dalam pengembangan dasar anak
secara menyeluruh antara jiwa dan badan serta aspek spiritual dan material untuk memenuhi kebutuhan essensial
anak termasuk kesehatan dan gizi, pola pengasuhan dan perlindungan anak. Untuk itu pembelajaran SRL pada
anak usia dini perlu di terapkan sebagai upaya pembinaan anak sejak dini dalam menumbuhkan potensi - potensi
yang di miliki oleh anak dan menerapkan pembiasaan – pembiasaan positif serta kesadaran melaksanakan tugas
– tugasnya dengan baik. Implementasi Self Regulated Learning melalui kurikulum holistik integratif ini
diharapkan akan tercapai secara maksimal dengan terbentuknya karakter positif pada diri anak.
Masalah 1. Apakah implementasi SRL pada Anak Usia Dini dapat di capai melalui kurikulum holistik integratif?
2. Bagaimanakah implementasi SRL Anak Usia Dini di laksanakan?
3. Faktor - faktor apakah yang mendukung implementasi SRL anak usia dini melalui kurikulum holistik
integratif?
Tujuan 1. Mendeskripsikan implementasi SRL melalui kurikulum holistik integratif.
2. Untuk menjelaskan secara konkrit kurikulum holistik integratif dalam implementasi SRL Anak Usia
Dini.
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mendukungimplementasi SRL anak usia dini melalui kurikulum holistik
integratif.
LANDASAN TEORI
Implementasi SRL
1. Pengertian Self Regulated Learning
Pengelolaan diri merupakan salah satu komponen yang penting dalam teori kognitif sosial (social cognitive
theory). Bandura (dalam Filho, 2011) mendefinisikan self regulated learning sebagai suatu keadaan dimana
individu yang belajar sebagai pengendali aktivitas belajarnya sendiri , memonitor motivasi dan tujuan akademik,
mengelola sumber daya manusia dan benda, serta menjadi perilaku dalam proses pengambilan keputusan dan
3
pelaksana dalam proses belajar. Albert Bandura adalah orang yang pertama kali mempublikasikan teori belajar
paa tahun 1960 an. Pada perkembangannya kemudian di ganti nama menjadi teori kognitif sosial.
Santrock (2001) mengatakan self regulatory learning menyangkut selfgeneration dan self-monitoring pada
pemikiran, perasaan, dan perilaku untuk menjangkau tujuan. Pengaturan diri dalam belajar membuat peserta
didik memiliki kontrol dan mendorongnya untuk memperhatikan metode belajarnya. Zimmerman (dalam Chen,
2002) menyatakan bahwa self regulated learner adalah peserta didik yang secara metakognitif, motivasional dan
behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar mereka sendiri.
Zimmerman & Martinez‐Pons (2001) mendefinisikan self regulated learning sebagai tingkatan dimana
partisipan secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi, dan perilaku dalam proses belajar. Self regulated
learning juga didefinisikan sebagai bentuk belajar individual dengan bergantung pada motivasi belajar mereka,
Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar efektif. Pengetahuan, motivasi, dan disiplin
diri atau volition (kemauan‐diri) merupakan faktor - faktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated
learning (Woolfolk, 2008). Pengetahuan yang dimaksudkan adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri,
materinya, tugasnya, strategi untuk belajar, dan konteks‐konteks pembelajaran yang akan digunakannya. Peserta
didik yang belajar dengan regulasi diri dapat diistilahkan sebagai peserta diidk ’ahli’. Peserta didik ahli
mengenal dirinya sendiri dan bagaimana mereka belajar dengan sebaik‐baiknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Self Regulated Learning merupakan proses dimana individu
belajar secara aktif sebagai pengatur proses belajarnya sendiri mulai dari mengatur, merencanakan, dan
mengevaluasi dirinya secara sistemis untuk mencapai tujuan dalam belajar baik secara metakognitif,
motivasional dan behavioral dengan bergantung pada motivasi belajar mereka.
2. Proses dalam Self Regulated Learning
Proses tersebut pada dasarnya bersifat metakognitif (Ormrod,2008) sebagai berikut:
a. Penetapan tujuan (Goal Setting)
Pembelajar yang mengatur diri tahu apa yang ingin mereka capai ketika membaca atau belajar.
Misalnya mendapatkan pemahaman konseptual tentang suatu topic
b. Perencanaan (Planning)
Pembelajar menentukan sendiri bagaimana baiknya menggunakan waktu dan sumber daya yang
tersedia untuk tugas – tugas belajar.
c. Motivasi diri (Self Motivation)
Memiliki self efficacy yang tinggi akan kemampuan pembelajar menyelesaikan suatu tugas belajar
dengan sukses.
d. Kontrol atensi (Attention Controll)
Peserta didik focus pada kegiatan yang dilakukan dan menghilangkan diri dari pikiran yang
mengganggu.
e. Penggunaan strategi belajar yang fleksibel (Flexible use of learning strategies)
Peserta didik memiliki cara yang berbeda – beda dalam menyelesaikan kegiatannya.
f. Monitor diri (Self Monitoring)
Memiliki kemampuan mengatur diri dan memonitor kemajuan kegiatan yang dilakukan
g. Mencari bantuan yang tepat (Appropriate help seeking)
Peserta didik akan mencari bantuan yang tepat bila di rasa dalam kesulitan
h. Evaluasi diri (Self Evaluation)
Peserta didik menyadari kekurangan pada dirinya sehingga beusaha untuk memperbaiki dan
menentukan langkah yang tepat.
3. Faktor – Faktor dalam Regulasi Diri
Tingkah laku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan faktor internal. (Alwisol, 285)
Penjelasan dari faktor – faktor tersebut adalah:
a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama faktor eksternal memberi standar
untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh – pengaruh pribadi,
membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru anak – anak belajar baik buruk, tingkah
laku yang dikehendaki dan tidak di kehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi yang lebih luas anak kemudian
mengembangkan standar yang dapat di pakai untuk menilai prestasi diri. Kedua faktor eksternal mempengaruhi
regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).
b. Faktor Internal
Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura mengemukakan 3
(tiga) bentuk pengaruh internal
1.) Observasi diri (self observation)
Dilakukan berdasarkan faktor kualitas, penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri dst.
Apa yang di observasi seseorang tergantung minat dan konsep dirinya.
4
2.) Proses penilaian (Judgmental process)
Adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma
– norma standar atau dengan tingkah laku orang lain. Menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas dan
memberi atribusi performansi.
3.) Reaksi – diri – afektif (self response)
Akhirnya berdasarkan pengamatan dan jugdment itu orang mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif dan
kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif karena fungsi
kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna
secara individual.
A. Pengertian Kurikulum Holistik Integratif
Kurikulum dipandang sebagai jantungnya sebuah program pendidikan. Kurikulum dapat dipandang sebagai
strategi dan cara yang dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan secara nasional. Pemerintah
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyadari betapa pentingnya kedudukan dan peran
kurikulum sebagai suatu elemen yang memberi arah dalam program pendidikan. Seyogyanya kurikulum
mengarah kepada pemebentukan kompetensi output pendidikan yang bagaimana yang diharapkan. Kompetensi
tersebut diharapkan selaras dengan kompetensi yang dituntut sesuai dengan era atau zaman dimana anak
menjalani kehidupannya. (Direktorat PAUD,2014)
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar,
dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.(Mulyasa,2015). Kurikulum anak usia dini berisi seperangkat
kegiatan belajar melalui bermain yang dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak dalam rangka
mengembangkan seluruh potensi perkembangan yang dimilki oleh setiap anak. Pengembangan Anak Usia Dini
Holistik-Integratif adalah upaya pengembangan anak usia dini yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
esensial anak yang beragam dan saling terkait secara simultan, sistematis, dan terintegrasi.(PP no. 60,2013)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kurikulum holistik integratif adalah seperangkat kegiatan belajar
melalui bermain yang dapat memberikan pengalaman langsung bagi anak dalam rangka mengembangkan
seluruh potensi perkembangan yang dimilki oleh setiap anak yang dapat memenuhi kebutuhan esensial anak
yang beragam dan saling terkait secara simultan, sistematis, dan terintegrasi.
2.Tujuan Kurikulum Holistik Integratif
a.Terpenuhinya kebutuhan esensial anak usia dini secara utuh meliputi kesehatan dan gizi, rangsangan
pendidikan, pembinaan moral-emosional dan pengasuhan sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal sesuai kelompok umur.
b. Terlindunginya anak dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, perlakuan yang salah, dan eksploitasi di
manapun anak berada
c. Terselenggaranya pelayanan anak usia dini secara terintegrasi dan selara antar lembaga layanan terkait,
sesuai kondisi wilayah
d. Terwujudnya komitmen seluruh unsur terkait yaitu orang tua, keluarga, masyarakat, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, dalam upaya Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif.
3 Prinsip – Prinsip Kurikulum Holistik Integratif
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif mengacu pada prinsip-prinsip, sebagai berikut:
a. Pelayanan yang menyeluruh dan terintegrasi
b. Pelayanan yang berkesinambungan
c. Pelayanan yang non diskriminasi
d. Pelayanan yang tersedia, dapat dijangkau dan terjangkau, serta diterima oleh kelompok masyarakat
e. Partisipasi masyarakat
f. Berbasis budaya yang konstruktif
g. Tata kelola pemerintahan yang baik.
B. Deskripsi Implementasi SRL melalufi Kurikulum Holistik Integratif
Self regulated learning pada diri anak tidak terjadi begitu saja. Proses mental tersebut di awali terlebih
dahulu dengan adanya self regulated activity yaitu ada aktivitas yang terlebih dahulu di lakukan misalnya
memilih mainan yang di sukai setelah itu mengembalikan kembali ke rak mainan begitu selesai. Proses dari self
regulated activity menuju kepada self regulated learning memerlukan sebuah instruksi yang tepat untuk diri
peserta didik. Instruksi ini harus memperhatikan desain kurikulum holistik integratif yang melaksanakan
pembelajaran secara komprehensif, menyeluruh dan terintegrasi dalam setiap program PAUD serta menjalankan
kurikulum ini sesuai dengan prinsip – prinsip holistik integratif.
5
Self Regulated learning dilaksanakan melalui sebuah proses. Proses tersebut sebagaimana dalam tabel berikut
ini :
Tabel 1. Proses Regulasi Diri
Faktor eksternal Faktor Internal
Self Observation Judgmental Process Self Response
Standar
Masyarakat
Penguatan
Dimensi
Performansi
Kualita
Keseringan
Kuantita
Orisinalita
Kebenaran
Bukti dampak
Penyimpangan etika
Standar Pribadi
Sumber model
Sumber penguat
Pedoman Performansi
Norma Standar
Perbandingan Sosial
Perbandingan Personal
Perbandingan kolektif
Menghargai Aktivitas
Sangat di hormati
Netral
Direndahkan
Atribusi Performansi
Lokus Pribadi
Lokus Eksternal
Reaksi Evaluasi Diri
Positif
Negatif
Dampak terhadap Self
Dihadiahi
Di hukum
Tanpa Respon Self
Kurikulum holistik integratif bersifat komprehensif yaitu dilaksanakan secara menyeluruh pada aspek –
aspek pemenuhan hak anak di antaranya di sini adalah hak anak untuk mengerti apa yang harus dilakukan
terutama dalam pemecahan masalah.
6
Gambar 1
SIMPULAN
Kurikulum merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar dan termasuk dalam standar isi
maupun standar proses dalam delapan standar pendidikan nasional. Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini harus
bersifat komprehensif dalam upaya memenuhi kebutuhan stimulasi perkembangan anak. Holistik Integratif
adalah sebuah model kurikulum untuk memenuhi kebutuhan jasmani rohani anak, gizi dan kesehatan serta
pengasuhan dan perlindungan anak. Salah satu pemenuhan kebutuhan anak adalah kemandirian dalam berpikir
dan bertindak serta berinisiasi atau di sebut dengan Self Regulated Learning (SRL).
Dalam pelaksanaan pembelajaran SRL melibatkan seluruh pendidik dan kerja sama yang baik dengan orang
tua. Self Regulated Learning hendaknya di terapkan sejak usia dini karena merupakan proses belajar di mana
peserta didik mengaktifkan kognisi, tindakan dan perasaan secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang
telah ditetapkan.. Penerapan self regulated learning membutuhkan desain kurikulum yang tepat dimana
kurikulum harus dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk memahami dan mengerti apa yang harus
dilakukan.Prinsip dasar dari kurikulum holistik integratif adalah Pelayanan yang menyeluruh dan terintegrasi,
berkesinambngan, non diskriminasi, pelayanan yang tersedia, dapat dijangkau dan terjangkau, serta diterima oleh
kelompok masyarakat.
Pembiasaan – pembiasaan yang baik dalam self regulated learning akan tertanam menjadi karakter positif
apabila penerapannya tepat. Maka penulis memilih kurikulum ini dengan beberapa pertimbangan dalam uraian di
atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwisol, 2008, Psikologi Kepribadian, UPT Penerbitan UMM : Malang
2. Dany dkk, 2012, Effective Strategies for self regulated learning : a Meta analysis
3. Dewi dkk, 2013, Desain Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif PAUD non Formal
(Penelitian Research and Development di Pos PAUD Mutiara Kelurahan Lamper Lor Kecamatan
Semarang Selatan), Journal : PAUDIA
4. Effeny Gerald dkk, 2013, Australian Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 13,, pp.
58-74.
5. Kristanto, dkk Jurnal Penelitian PAUDIA, Volume 1 No. 1 2011
7
6. Latifah Eva, 2010, Strategi Self Regulated Learning dan Prestasi Belajar : Kajian Meta Analisis,
Volume 37, UIN : Yogyakarta
7. Mulyasa, 2015, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Rosda Karya :
8. Bandung.
9. Ormrod Ellis, 2008, Psikologi Pendidikan, Erlangga : Jakarta
10. PP no 66, 2013, Holistik Integratif, Kemendikbud : Jakarta
8
Potret kompetensi calon kepala sekolah dalam mengelola
kurikulum tingkat satuan pendidikan
Ratna Juwita
Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kepala Sekolah
Corresponding author: [email protected]
Abstract. Dimensi kompetensi manajerial Kepala Sekolah/Madrasah yang tercantum dalam Permendiknas No.13
Tahun 2007 poin 2.10, yaitu mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah
dan tujuan pendidikan nasional, mengamanahkan adanya pembekalan dan penguasaan kompetensi tersebut bagi
guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mendeskripsikan kemampuan awal calon kepala sekolah dalam mengelola kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Data kemampuan awal calon kepala sekolah dihimpun lewat instrumen AKPK (Analisis Kebutuhan Pengembangan
Keprofesian) yang dibagikan ke 830 calon kepala sekolah di 10 provinsi dan 30 Kab./Kota. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa kemampuan awal calon kepala sekolah pada pengelolaan kurikulum dalam kategori cukup
(2,9). Sehingga dibutuhkan pembekalan dan pengembangan melalui diklat calon kepala sekolah dengan tatap muka
dan magang di sekolah yang ditunjuk. Calon kepala sekolah yang telah mengikuti diklat, mendapat bekal teoritik dan
praktik dalam pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
PENDAHULUAN
Permendiknas No 13 Tahun 2007 tentang kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah, mengamanahkan
penguasaan lima dimensi kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah. Lima dimensi kompetensi tersebut meliputi
kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan sosial. Salah satu kompetensi penting yang
harus dikuasai adalah kompetensi manajerial, khususnya dalam mengelola kurikulum.
Indikator kompetensi 2.10 menyebutkan bahwa kepala sekolah harus mampu mengelola pengembangan
kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional. Poin ini menuntut para
calon kepala sekolah untuk disiapkan dan dibekali secara cukup sebelum menjabat. Kenyataannya, belum semua
kepala sekolah disiapkan dan dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola kurikulum tingkat
satuan pendidikan.
Balkar (2015), menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan kompetensi
manajemen dan keterampilan kepemimpinan Kepala Sekolah. Calon kepala sekolah harus memiliki pengetahuan
yang cukup dalam pengelolaan kurikulum, karena sangat berhubungan dengan keterampilan mereka dalam
mengelolanya.
Sehingga penting adanya instrumen analisis kebutuhan yang akan memotret kompetensi awal calon kepala
sekolah. Potret tersebut memberi informasi tentang gambaran pengetahuan awal calon kepala sekolah, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam proses pengembangan kompetensi dalam mengelola kurikulum tingkat satuan
pendidikan.
Kurikulum nasional yang diberlakukan saat ini adalah Kurikulum 2013. Calon kepala sekolah harus
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam menyusun dokumen 1 KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan), dokumen 2 silabus dan dokumen 3 RPP.
Pembekalan pengetahuan dan keterampilan dilakukan melalui Diklat Calon Kepala Sekolah sebagaimana
diamanahkan oleh Permendiknas No. 28 Tahun 2010. Diklat ini ditempuh dalam 300 JP. 100 JP dilakukan
dengan tatap muka dan 200 JP dilakukan dengan magang di sekolah.
Diklat tersebut sangat dibutuhkan calon kepala sekolah dalam rangka pembekalan kompetensi pengelolaan
kurikulum tingkat satuan pendidikan. Karena kepala sekolah adalah pemimpin pembelajaran yang menentukan
keberhasilan proses pembelajaran di sekolahnya kelak.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Erna dan Mukhtar Widodo (2000), metode deskriptif
tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan lebih pada menggambarkan apa adanya suatu
9
gejala, variabel, atau keadaan. Namun demikian, tidak berarti semua penelitian deskriptif tidak menggunakan
hipotesis. Penggunaan hipotesis dalam penelitian deskriptif bukan dimaksudkan untuk diuji melainkan
bagaimana berusaha menemukan sesuatu yang berarti sebagai alternatif dalam mengatasi masalah penelitian
melalui prosedur ilmiah. Pendapat lain menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang (Moh. Nazir,2003:4). Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan kompetensi awal guru sebagai calon kepala sekolah dan solusi
pengembangannya melalui prosedur ilmiah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan studi dokumen. Peneliti menggunakan
angket yang berisi daftar pertanyaan yang dimintakan kepada responden untuk direspon (Purwanto, 2007:107).
Metode angket digunakan dalam pengambilan data kemampuan awal calon kepala sekolah dalam pengelolaan
kurikulum.
Angket disebar ke seluruh Kab./Kota yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Sampel penelitian ini adalah
830 calon kepala sekolah dari 10 Provinsi, 30 Kabupaten/Kota yang mengikuti program penyiapan calon kepala
sekolah tahun 2016.
Angket yang digunakan adalah angket yang sudah divalidasi oleh Lembaga Pengembangan dan
Pemberdayaan Kepala Sekolah, yang dinamakan instrumen AKPK (Analisis Kebutuhan Pengembangan
Keprofesian).
Tabel 1. Kab./Kota Sampel Penelitian
NO Kab./Kota Sampel (org) Provinsi
1 Kab. Aceh Barat 25
Aceh 2 Kab. Aceh Selatan 23
3 Kab. Aceh Tamiang 25
4 Kab. Bangka Barat 20
Bangka Belitung 5 Kab. Belitung 35
6 Kab. Belitung Timur 14
7 Kab. Bengkulu Selatan 28
Bengkulu 8 Kab. Bengkulu Tengah 26
9 Kota Bengkulu 19
10 Kab. Bantul 26
DI Yogyakarta 11 Kab. Kulonprogo 30
12 Kab. Sleman 35
13 Kab. Batanghari 35
Jambi 14 Kab. Tanjung Jabung Barat 24
15 Kab. Tanjung Jabung Timur 24
16 Kab. Bogor 40
Jawa Barat 17 Kab. Cirebon 16
18 Kab. Garut 35
19 Kab. Cilacap 35
Jawa Tengah 20 Kab. Klaten 35
21 Kab. Sukoharjo 30
22 Kab. Banyuwangi 30
Jawa Timur 23 Kab. Bondowoso 35
24 Kab. Madiun 30
25 Kab. Kapuas Hulu 16
Kalimantan Barat 26 Kab. Kayong Utara 17
27 Kab. Ketapang 30
28 Kab. Maluku Tengah 30
Maluku 29 Kota Ambon 30
30 Kab. Halmahera Barat 32
Metode kedua yang digunakan adalah studi dokumentasi. Menurut Sugiyono (2013: 240) dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life
histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.
10
Peneliti menggunakan metode dokumentasi dengan menggunakan dokumen resmi milik Lembaga
Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala sekolah (LPPKS) berupa Juklak Juknis PPCKS dan website Portal
Update Data NUKS LPPKS Indonesia di nuks.lppks.org. Juklak dan Juknis PPCKS merupakan dokumen
memuat kebijakan tentang program penyiapan calon kepala sekolah, struktur program dan sertifikasinya.
Sedangkan website Portal Update Data NUKS memuat data kepala sekolah se-indonesia yang telah mengikuti
Diklat Calon Kepala Sekolah dan memiliki sertifikat NUKS (Nomor Unik Kepala Sekolah).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, harus disiapkan dan dibekali lima dimensi
kompetensi sesuai tuntutan Permendiknas Nomor 13 tahun 2007. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai
adalah kompetensi manajerial yang didalamnya memuat kemampuan pengelolaan kurikulum.
Dalam rangka menyiapkan kepala sekolah, perlu adanya analisis kebutuhan yang memotret kemampuan awal
guru yang akan menjabat posisi kepala sekolah. Instrumen analisis kebutuhan dijabarkan dari butir-butir dimensi
kompetensi yang tertera dalam Permendiknas Nomor 13 tahun 2007. Sehingga dihasilkan instrumen dengan
jumlah butir sebagai berikut ;
Tabel 2. Jumlah Indikator dalam Instrumen
DIMENSI JUMLAH
INDIKATOR KARAKTERISTIK BUTIR ITEM
Kompetensi Kepribadian 7 7 patokan, bersifat penerapan dan pengalaman
Kompetensi Manajerial 14 14 patokan, bersifat pengetahuan, penerapan dan
pengalaman
Kompetensi Supervisi 6 6 patokan, bersifat pengetahuan, penerapan dan
pengalaman
Kompetensi
Kewirausahaan
5 5 patokan, bersifat penerapan dan pengalaman
Kompetensi Sosial 5 5 patokan, bersifat penerapan dan pengalaman
Jumlah 37 patokan, bersifat pengetahuan, penerapan dan pengalaman
Sumber : Petunjuk Pelaksanaan AKPK, 2013
Indikator terkait pengelolaan kurikulum masuk pada kompetensi manajerial, yaitu pada poin 9 dan 10.
Indikator nomor 9, terkait keterlibatan guru dalam penyusunan dan analisa KTSP dokumen 1. Indikator nomor
10, terkait kemampuan guru menganalisis silabus dan RPP.
Indikator nomor 9 tentang keterlibatan guru dalam penyusunan dokumen 1 KTSP, hasil analisis data
menyebutkan bahwa dari 830 sampel guru, masih ada 5,90% guru yang tidak terlibat sama sekali dan 16,99%
yang kurang terlibat dalam penyusunan maupun analisis KTSP dokumen 1.
Gambar 1. Prosentase Keterlibatan Guru dalam Penyusunan Dokumen KTSP
Indikator nomor 10 tentang kemampuan guru menganalisis silabus dan RPP, hasil analisis data menyebutkan
bahwa dari 830 sampel guru, masih ada 2% guru yang tidak mampu sama sekali dan 13% yang kurang mampu
dalam menganalisis silabus dan RPP.
Hasil analisis kedua indikator diatas membuktikan bahwa masih ada guru yang kurang mampu, bahkan sama
sekali tidak mampu, mengelola kurikulum tingkat satuan pendidikan. Padahal guru tersebut, jika memenuhi
11
persyaratan administratif tertentu, akan diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah yang menjalankan
perannya sebagai pemimpin pembelajaran.
Gambar 2. Prosestasi Kemampuan Guru dalam Menganalisis Silabus dan RPP
Berdasarkan provinsi asal, rerata kemampuan awal guru dalam pengelolaan kurikulum, berada pada kategori
“kurang”. Provinsi Jawa Timur adalah provinsi dengan rerata tertinggi. Guru dari Provinsi Jawa Timur memiliki
kemampuan awal yang “cukup” dalam mengelola kurikulum.
Gambar 3. Rerata Kompetensi Awal Pengelolaan Kurikulum Guru berdasarkan Provinsi
Sedangkan Provinsi Maluku menduduki posisi terendah dan kemampuan awal gurunya “kurang”.
12
Gambar 4. Rerata Kompetensi Awal Pengelolaan Kurikulum Guru berdasarkan Kab./Kota
Kemampuan awal calon kepala sekolah dalam mengelola kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
“kurang”, perlu mendapat
mendapatkan pembekalan pengetahuan dan keterampilan melalui diklat calon kepala sekolah. Struktur
program diklat yang disusun, disesuaikan dengan kebutuhan guru.
Diklat yang dimaksud disini adalah diklat calon kepala sekolah sesuai amanah Permendiknas Nomor 28
Tahun 2010. Diklat ini ditempuh dalam 300 JP. 100 JP dilakukan dengan tatap muka dan 200 JP dilakukan
dengan magang di sekolah (Petunjuk Teknis Penyusunan Program Diklat:7-10)
Guru atau calon kepala sekolah yang kompetensi awalnya rendah di dimensi X, akan mendapatkan perhatian
pada dimensi tersebut dan akan dimagangkan di sekolah yang unggul dalam dimensi tersebut. Sehingga diakhir
diklat, kompetensi peserta di dimensi X, dapat meningkat lebih baik.
Calon kepala sekolah yang memiliki kemampuan pengelolaan kurikulum kurang baik pada dimensi
kompetensi manajerial, akan mendapatkan perhatian pada dimensi tersebut dan akan dimagangkan di sekolah
yang baik pengelolaan kurikulumnya. Sebalikya, peserta yang memiliki kemampuan sudah baik dalam
pengelolaan kurikulum, akan diarahkan kepada pendampingan teman sebaya di kelasnya.
Diklat diakhiri dengan pembuatan laporan dan presentasi hasil magang. Tahapan ini mendeskripsikan hasil
pemahaman dan penguasaan keterampilan dalam mengelola kurikulum sekolah, khususnya pada Kurikulum
2013. Sehingga calon kepala sekolah mendapatkan bekal yang cukup menjadi kepala sekolah.
Berdasarkan Portal Update Data NUKS LPPKS Indonesia di nuks.lppks.org, baru 335 Kab./Kota di
Indonesia yang membekali calon kepala sekolahnya dengan 5 (lima) dimensi kompetensi lewat Diklat Calon
Kepala Sekolah. Sehingga masih 179 Kab./Kota yang tidak membekali calon kepala sekolahnya dengan 5 (lima)
dimensi kompetensi Kepala Sekolah.
Data rendahnya kemampuan awal calon kepala sekolah dalam mengelola kurikulum, menuntut adanya
kesadaran seluruh Dinas Pendidikan Kab./Kota maupun Dinas Pendidikan Provinsi untuk menyiapkan calon
kepala sekolahnya melalui diklat calon kepala sekolah. Karena kemampuan mengelola kurikulum merupakan
bagian dari kompetensi manajerial yang harus dimiliki oleh kepala sekolah.
13
SIMPULAN
Hasil analisis data menunjukkan bahwa :
1. 5,90% guru yang tidak terlibat sama sekali dan 16,99% yang kurang terlibat dalam penyusunan maupun
analisis KTSP dokumen 1
2. 2% guru yang tidak mampu sama sekali dan 13% yang kurang mampu dalam menganalisis silabus dan
RPP
3. Kemampuan awal guru Provinsi Maluku, khususnya Kab. Halmahera Barat, Kota Ambon dan Kab.
Maluku Tengah, dalam mengelola kurikulum masih rendah.
Ketiga temuan diatas merekomendasikan keniscayaan pembekalan calon kepala sekolah melalui diklat
penyiapan calon kepala sekolah. Dinas Pendidikan Kab./Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi harus
mengalokasikan dana APBD untuk program penyiapan calon kepala sekolah. Agar kepala sekolah yang
menjabat, mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pembelajaran dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Balkar, Betul, 2015. The Role of Leadership Skills of High School Principals in Their Knowledge
Management Process Competencies, Vol 5(3), 16-18.
2. LPPKS, 2013, Petunjuk Teknis Penyusunan Program Diklat. Solo
3. LPPKS, 2013, Petunjuk Pelaksanaan Analisis Kebutuhan Pengembangan Keprofesian (AKPK). Solo
4. Nazir, Moh, 2011. Metode Penelitian. Cetakan 6. Bogor: Ghalia Indonesia
5. Purwanto, 2007. Instrumen Penelitian Sosial dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
6. Widodo, Erna dan Mukhtar, 2000. Konstruksi Kearah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz
14
Kurikulum pendidikan guru yang memberdayakan:
Pembelajaran dari program keteladanan
Yuli Utanto1 a)
, Dedy Gunawan2 b)
1Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Semarang, Indonesia
2Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah
a)
Corresponding author: [email protected] b)
Abstract. Exploring the world of teaching problems and challenges facing teacher education programs as well as
lengthy studies done by educational scientists concluded that a quality teacher education programs and reach out all
aspects of education and teaching, will give a great influence on improving the performance effectiveness of
teachers in classrooms in schools. And will produce high levels of success and significant in the teaching-learning
process. This reinforces the argument that the more qualified and professional teachers, the higher the level of
learning achievement that may be achieved by the students. To achieve the target of producing teachers who are
competent and professional, investment and reform began in the implementation of solid programs and quality in
educational institutions producing the prospective teachers. Teacher should be the target of educational investment.
PENDAHULUAN
Mengingat posisi guru yang sangat strategis dalam pendidikan, maka tidaklah salah bila pemerintah
memprioritaskan peningkatan mutu pendidik melalui Program Pendidikan Guru sebagai kunci peningkatan mutu
pendidikan nasional. Partisipasi aktif guru dalam pendidikan, sadar atau tidak, guru secara individual berpotensi
membuat usaha pembaruan pendidikan yang berhasil atau bahkan sebaliknya, merusaknya!
Disadari bahwa hingga kini, kegelisahan terhadap disvaritas kompetensi mengajar para guru di sekolah-
sekolah masih menjadi topik perbincangan hangat di ruang-ruang diskusi. Menurut hemat saya, reformasi
pendidikan harus dimulai dari meningkatkan kualitas kompetensi dan profesionalitas para guru. Dan jika
menyadari bahwa masa depan sebuah bangsa akan sangat bergantung kepada mutu output pendidikan, maka bila
pendidikan dipandang sebagai investasi, kita harus berinvestasi pada para calon guru, teacher should be the
target of educational investment. Yakni dengan mempersiapkan para calon guru lewat konten program-program
pendidikan yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidik SDM calon guru (LPTK).
Sekarang sebagai ilmuan pendidikan – bila patut disebut demikian – layak mempertanyakan dan bahkan
mengajukan chalange and counter terhadap asumsi atau supertisi di dunia pendidikan: that good teacher is born
and not made, bahwa seorang guru yang baik dilahirkan [nurture]. Termasuk, kita menolak pendapat yang
mengatakan bahwa program-program penyiapan calon guru berkompetensi tinggi sebagai upaya yang
mengawang-awang dan akan sangat sukar -- jika tidak hendak mengatakannya sebagai upaya yang mustahil, -
dilaksanakan dalam praksisnya. Kita juga patut menantang pendapat lain yang mengatakan bahwa kompetensi
dan kinerja seorang guru akan membaik seiring dengan bertambahnya jam terbang dan pengalaman empiris
mereka di kelas-kelas, a good teacher comes with a long experiences.
Konskuensi dari pemikiran seperti tersebut di atas kemudian adalah bahwa pendidikan -- dalam hal ini
mengajar, - dipandang hanyalah sebagai profesi/aktifitas sepele tentang bagaimana menyampaikan suatu yang
seorang ketahui kepada orang lain. Sesuatu yang diperlukan dalam hal ini [mengajar] pengetahuan yang
memadai tentang apa materi yang akan disampaikan. Padahal, tugas mengajar tidaklah sesederhana itu,
pelaksanaan profesi mendidik adalah proses yang kompleks yang membutuhkan penguasaan skill yang
kompleks pula. Sebagaimana dinyatakan Lampert bahwa; A third challenge in learning to teach is that teaching
is an incredibly complex and demanding task (Lampert, 2001). Dan sebagaimana dijelaskan McDonald (1992):
”Real teaching happen within a wild triangle of relation—among teacher, student, subject—and the points of
this triangle shift continuously”.
Oleh sebab itu, kita mesti yakin seyakin-yakinnya bahwa guru yang kompeten dan profesional dapat
diperoleh jika SDM calon para guru itu mendapatkan program-program pendidikan berkualitas dari lembaga
15
pendidikan guru (LPTK) sehingga mereka kelak mampu menjawab tantangan tugas-tugas mendidik dan
mengajar di lembaga-lembaga pendidikan tempat nanti mereka menjalankan profesinya.
Oleh sebab itu, fokus perhatian utama dari tulisan ini adalah menjawab dan mengekplorasi pertanyaan paling
mendasar dalam upaya melakukan reformasi dunia pendidikan, yaitu; “bagaimana mempersiapkan para guru
yang profesional dalam pelaksanaan misi utama mereka, yaitu mendidik dan mengajar...?” Linda Darling-Hammond (2006) dalam bukunya Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary
Programs menunjukkan bagaimana menciptakan program-program pendidikan yang ampuh untuk membidani
lahirnya calon guru yang kompeten dan profesional dalam melaksanakan misi utama guru yaitu mendidik dan
mengajar. Tulisannya berbasis pada hasil penelitian terhadap tujuh [7] lembaga pendidikan di Amerika
[undergraduate dan graduate] tentang bagaimana lembaga-lembaga tersebut menjalankan program-program
mereka dalam rangka menyiapkan sumber daya calon para guru yang profesional. Lembaga-lembaga pendidikan
penghasil para guru tersebut adalah: Averno College di Milwaukee, Wheelock College di Boston, Bank Street
College di New York, University of California di Barkeley, University of Southern Maine di Portland, Trinity
University di San Antonio, dan University of Virginia di Charlottesville.
Ketujuh lembaga pendidikan guru tersebut menjadi sampel sukses dan locus penelitian setelah mendapat
rekomendasi dari para praktisi di bidang pendidikan dan dinilai oleh sekolah-sekolah pengguna output-nya telah
menghasilkan lulusan dengan tingkat kompetensi dan kinerja memuaskan saat mengajar di kelas-kelas mereka.
Alverno dan Wheelock misalnya, mempersiapkan program undergraduate untuk kompetensi mengajar di
sekolah dasar (elementary) yang dapat diselesaikan dalam empat tahun dengan kompensasi satu hingga dua
semester tambahan.
Sementara di Trinity dan University of Virginia menerapkan model program pendidikan lima tahun untuk
kompetensi mengajar di Secondary School (SMP) level Bachelor, serta tersedia pula program untuk level master
di bidang pendidikan.
Dan tiga yang lain menerapkan program graduate untuk level Bachelor. Kelebihan dari masing-masing
lembaga ini antara lain: Extended Teacher Education Program (ETEP) di Maine menerapkan model intership
satu tahun. Bank Street College menerapkan midcareer recruitment yang dapat diselesaikan dalam delapan
belas bulan. Sementara di Developmental Teacher Education (DTE) menerapkan program dua tahun untuk level
graduate.
Kompleksitas Profesi dan Tantangan Lembaga Pendidikan Guru Tugas mengajar merupakan tugas (task) yang kompleks. Menurut Lampert, setidaknya ada empat elemen
kompleksitas yang dihadapi para guru di kelas-kelas. Pertama, mengajar bukanlah rutinitas yang sederhana
(teaching is never routine). Terdapat saling-silang pendapat dalam hal yang disebut McDonald sebagai “wild
triangle”. Kedua, mengajar memiliki multi tujuan dalam satu proses yang simultan (teaching has multiple goals
that must be addressed simultaneously). Dalam satu waktu, selain fokus pada konten bidang ilmu yang akan
diajarkan, seorang guru juga harus mengajarkan muatan sosial, memperhatikan perkembangan intelektual siswa,
serta mencermati kebutuhan individual setiap seorang dari para siswa. Ketiga, tugas mengajar itu dipengaruhi
pula oleh perbedaan latar belakang yang beragam dari para siswa (teaching is done in relationship to diverse
groups of students), di antaranya dalam latar sosio-kultur, tingkatan pengalaman belajar dan pengetahuan yang
telah dimiliki siswa, potensi, serta kebisaan mereka, dan seterusnya. Keempat, mengajar itu menuntut beragam
macam pengetahuan yang diintegrasikan dalam satu waktu (teaching requires multiple kinds of knowledge to be
integrated).
Yang jelas, guru mempengaruhi kualitas belajar siswa. Semakin berkualitas pengajaran yang dilaksanakan
seorang guru dan semakin kompeten dia dalam profesinya, semakin besar peluang siswa untuk mencapai
kesuksesan belajar yang tinggi levelnya. Sebagaimana dideskripsikan dalam pengakuan seorang psikolog, Erika
Lavrack yang meski pakar dibidangnya akan tetapi belum pernah mendapatkan program pendidikan guru: “The
kids were nice enough. But they were running all over the place. There was no way I could teach them anything
if I couldn’t get them to sit down” (Hegarty, 2001).
Demikian gambaran tantangan keseharian yang dihadapi para guru pra-sekolah. Sketsa di atas menunjukkan
perbedaan yang nyata dalam area praksis antara mereka yang memperoleh pelatihan atau pendidikan guru
dengan mereka yang tidak cukup atau bahkan sama sekali tidak pernah mendapatkan program pendidikan guru.
Pada titik inilah program pendidikan guru memiliki arti dan kepentingan yang fundamental. Sebuah program
pendidikan calon guru yang mampu menghasilkan guru-guru yang sanggup menghadapi dan mengatasi beragam
tantangan belajar dan mengajar.
Dalam atmosfer pendidikan kontemporer, seorang guru dituntut mampu menjalankan multi peran sekaligus,
seperti ia dituntut laksana seorang profesor dalam disiplin ilmu yang menjadi spesialisasinya, ia juga berperan
sebagai fasilitator dalam proses belajar individu, penilai, konselor, dan mampu melakukan diagnosa terhadap
tantangan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugasnya, ia juga merangkap pekerja sosial dan
menjalankan peran dalam komunitas sosial kemasyarakatan. Sungguh bukan hal yang mudah!
16
Inilah pula yang menjadi tantangan dalam mengkonstruksi program-program pendidikan guru, yaitu program
yang sanggup menghasilkan seorang guru yang teguh dalam eksekusi komitmen mereka, yang kokoh
pengetahuannya tentang perihal belajar-mengajar dalam teori maupun prakteknya, seorang guru yang
menjalankan fungsi manajerial dalam beragam target dan sasaran, menghadapi beragam interaksi dalam kelas-
kelas mereka setiap hari, mereka yang sanggup mengajarkan materi belajar kepada para siswa yang memilki
beragam cara dan pendekatan belajar, seorang yang menumbuhkan sikap inventif dan inquiry pada diri para
siswa, guru-guru yang mampu mengajarkan kemampuan membaca dan literatur pada semua level dalam
cakupan kurikulum yang berbeda-beda, serta seorang yang mampu berkerja secara efektif dengan para orang tua
siswa dan kolega dalam rangka kemajuan para siswa.
Terlebih mempersiapkan manusia (siswa) dengan latar beragam dan potensi kognitif yang kompleks, proses
pembelajaran tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pendekatan tunggal dan seperangkat kegiatan
standar.
Ada hal yang mendasar, tujuan dari pendidikan guru saat ini bukan saja mempersiapkan calon guru yang
hanya menyampaikan konten kurikulum (dumbing down curriculum) atau mentransfer isi buku, akan tetapi
menjalankan sebuah proses belajar dalam kebutuhan dan cakupan yang luas bagi kemajuan belajar para siswa.
Tantangan pendidikan guru saat ini adalah mempersiapkan para calon guru yang mampu learn from teaching
dan learning for teaching.
Oleh sebab itu, asumsi lama yang memandang siswa sebagai wadah kosong yang akan di isi dengan
sejumlah fakta, pengetahuan, dan keterampilan — sementara, tugas seorang guru adalah memilih dan
memutuskan fakta dan keterampilan apa saja yang akan dia tuangkan ke dalam wadah kosong tadi, - terbukti
tidak mampu menjawab tantangan dari situasi yang dihadapi masyarakat di dunia manusia saat ini dan di masa
datang.
National Academy of Science menyimpulkan dalam How People Learn (Donovan and Bransford, 2005) tiga
prinsip fundamental dalam hal belajar yang dapat menjadi rujukan berharga bagi dunia pendidikan dan
pembelajaran, yaitu: pertama, siswa datang ke kelas dengan bekal pengetahuan awalnya masing-masing yang
harus mendapat perhatian cermat dari para guru jika menginginkan sebuah proses pembelajaran yang efektif.
Kedua, adalah penting bagi para siswa untuk dipandu dalam mengorganisasi dan mendayagunakan konsep-
konsep pengetahuan jika hendak diaplikasi di luar kelas. Ketiga, siswa dapat belajar secara jauh lebih efektif
jika mereka memahami bagaimana mereka belajar dan mengelola gaya/cara belajar mereka sendiri.
Hasil review terhadap berbagai penelitian sejak tahun 1960-an menyimpulkan - meski masih banyak orang
beranggap bahwa mengajar adalah pekerjaan yang bisa dilakukan siapa pun,- bahwa guru-guru yang
memperoleh program pendidikan guru dan bersertifikat secara umum menunjukkan tingkat keberhasilan yang
lebih baik dalam hal kompetensi profesi mereka (Evertson, Hawley, and Zlotnik, 1985; Ashton and Crocker,
1986; Olsen, 1985; Wilson, Floden, and Ferrini-Mundy, 2001).
Lembaga-lembaga pendidikan guru mendapat kritikan tajam menyangkut performa dan kinerja mereka
dalam mempersiapkan calon guru yang kompeten, terutama sejak berlakunya tren “melikuidasi” institusi-
institusi pendidik calon guru menjadi bagian dari segmen fakultatif di universitas-universitas atau akibat
perubahan status menjadi dari institut keguruan menjadi universitas.
Di antara kritik-kritik tersebut adalah terjadinya fragmentasi program pendidikan, konten kurikulum yang
melemah (generik), transfer pengetahuan dan skill pedagogi yang kurang mendalam, kesenjangan interaksi
antara universitas (yang memiliki fakultas pendidikan guru) dengan sekolah-sekolah, serta inkonsistensi dalam
tingkat keseriusan menjalankan pendidikan dan pelatihan guru (Conant, 1963; Clifford and Guthrie, 1988;
Goodlad, 1990). Inti permasalahannya terletak pada ketidakcermatan akademik dalam Rancangan Program
Pendidikan Profesi Guru yang secara konseptual tidak memadai, bahkan dikesankan oleh banyak pihak, telaah
akademiknya dikerjakan serampangan dengan pendekatan berpikir kira-kira. Selain itu, grand design Program
Pendidikan Profesional Guru dalam rangka Sertifikasi Guru menjadi makin kabur dan tidak jelas.
Terdapat frase yang dikacaukan satu sama lain kemudian mengundang kontroversi, yaitu ”Pendidikan
Profesional Guru”, ”Pendidikan Guru Konsekutif”, ”Pendidikan Guru Terintegrasi (Concurrent)”, ”Pendidikan
Akademik Guru”, dan ”Pendidikan Profesi Guru”.
Jenis pelaksanaannya, Pendidikan Guru Konsekutif dilakukan dalam jalur kependidikan maupun jalur non-
kependidikan yang kemudian menambah paket kependidikan. Sedangkan Pendidikan Guru Terintegrasi sejak
awal pendidikan, penguasaan disiplin ilmu yang diajarkan di SD dan penguasaan pedagogisnya dilakukan secara
terintegrasi. Pada program S-1, keduanya berujung diperolehnya ijazah (akademik) sarjana pendidikan (SPd)
sehingga disebut ”Pendidikan Akademik Guru”.
Dalam praktik pendidikan guru di Tanah Air dikenal Pendidikan Guru Konsekutif (untuk Pendidikan Guru
Sekolah Menengah) dan Pendidikan Guru Terintegrasi (khusus untuk Pendidikan Guru Sekolah Dasar).
Pendidikan Guru Konsekutif dimulai dengan penguasaan disiplin ilmu tertentu sesuai mata pelajaran di sekolah
menengah, lalu ditambah (plug-in) penguasaan kemampuan ilmu kependidikan.
17
Belajar dari pengalaman di negara Paman Sam, fenomena kemunduran kualitas pendidikan dalam
mempersiapkan para calon guru yang sistemik akibat fragmentasi kebijakan fakultatif dan perubahan status
lembaga menjadi universitas di Amerika ini menimbulkan ketidakpuasan dari para praktisi dunia pendidikan, di
antaranya dari Holme Group (1986), Carnegie Task Force pada tekanan profesionalitas (1986), dan dari
stakeholder sekolah seperti dari John Goodlad (1990), Ken Howey dan Nancy Zimpher (1989), Ken Zeichner
(1993), dan masih banyak lainnya. Aspirasi sentral dari kritik mereka adalah menyuarakan tuntutan redesain
terhadap bidang pendidikan guru terutama untuk memperkuat kembali pengetahuan dasar yang diajarkan,
mengkomposisi program antara muatan teoritis dan praktek yang memadai, serta peningkatan kapasitas
kompetensi yang mampu mendukung perkembangan progresif bidang pengajaran. Semua tuntutan tersebut
mengarah kepada aspirasi adanya reformasi dalam penyelenggaraan program pendidikan guru.
Program-program yang Patut Diteladani Kita dapat merefleksikan persoalan-persoalan tentang program-program pendidikan guru di negara-negara
lain yang diangkat oleh ilmuan pendidikan kepada persoalan praksis pendidikan yang terjadi di tanah air kita.
Dan tentu saja, untuk keperluan reflektif ini ada sejumlah adaptasi setting serta latar belakang sosio-kultur dan
geo politis ketika kita harus menelisik dan membandingkannya. Relevansi yang potensial untuk dieksplorasi
antara lain:
Pertama, reformasi program-program pendidikan guru. Di Amerika Serikat, kebutuhan reformasi di
bidang pendidikan dimulai sejak era 60-an, terutama sejak munculnya ketidakpuasaan terhadap model
pendidikan ala Catholic Normal School yang dirasa kemudian terlalu konservatif. Hal ini ditandai dengan
kemunculan sejumlah penelitian yang menunjukkan adanya kebutuhan (demand) kepada model pendidikan
(termasuk pendidikan guru) yang lebih progresif dan berpihak kepada kebutuhan-kebutuhan siswa.
Era 70-an sampai ke 90-an dapat dikatakan sebagai masa rekonstruksi progresif dunia pendidikan Amerika
yang ditandai dengan “gebrakan-gebrakan” di bidang edukasi yang dimotori oleh National Commission for
Teachinhg and America’s Future. Dan di area kurikulum di antaranya dengan kemunculan gerakan
Reconceptualization of Curriculum Studies yang di motori oleh The Journal of Curriculum Theorizing.
Ketujuh lembaga pendidikan yang menjadi locus sampel penelitian Linda Darling Hammond (2006)
memperlihatkan tekanan yang kuat pada penerapan psikologi anak dan psikologi perkembangan dalam proses
pembelajaran. Dan hal tersebut dijalankan dengan pendekatan learning-centered dan learner-centered; yang
pertama menempatkan fokus pada pembelajaran dan yang kedua pada respons terhadap kebututhan-kebutuhan
individual siswa.
Reformasi pendidikan guru yang di Amerika dilaksanakan dengan membuka program-program pendidikan
guru, yaitu pada level under-graduate, graduate, dan master. Program-program tersebut—under-graduate
misalnya, dirancang untuk menghasilkan guru-guru kompeten yang akan mengajar pada level tertentu, yaitu
kindergarten (prasekolah) dan elementary (sekolah dasar). Sementara program graduate dipersiapkan untuk
mengajar pada level secondary (SMP), dan pada program lanjutan atau master calon guru dipersipkan untuk
level di atasnya.
Kesamaan program yang mungkin dapat diperbandingkan dengan adalah keberadaan Pendidikan Guru
Taman Kanak-Kanak (PGTK) atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD). Akan tetapi, pada level secondary school dan high school belum ada spesialisasi. Guru-guru diperoleh
dari program graduate (S1) kependidikan.
Kesamaan lain adalah, jika di Amerika kebijakan penggabungan institut/college (incorporeted) ke dalam
universitas telah terjadi sejak era 50-an, di Indonesia tren peralihan status Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) menjadi universitas berlangsung generik—untuk tidak mengatakannya “sistemik” – baru
terjadi pada akhir era 90-an.
Di Amerika peralihan tersebut mendapat respons ketidakpuasaan sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
terdahulu yang di antara akibatnya adalah tersegmentasinya program pendidikan guru dan melemahnya
kompetensi pada sisi pedagogik.
Kritik terhadap disvaritas kompetensi guru dalam level praksis di sekolah-sekolah dan tuntutan reformasi
pendidikan--pada ranah pengajaran khususnya, direspons dengan pemberlakuan sertifikasi profesi guru dan
pembukaan program-program ektensi untuk mendapatkan lisensi kompetensi khusus.
Di tanah air, pemberlakuan kebijakan nasional berupa sertifikasi profesi yang telah berjalan beberapa tahun
ini pun belum 100% terlaksana. Kita juga belum dapat memperoleh gambaran objektif tentang pengaruh positif
yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita pada level pendidikan dasar dan menengah telah mengalami
progresi yang signifikan. Sementara, program-program ektensi atau pelatihan untuk memperoleh lisensi
kompetensi khusus guna menjawab tantangan situasi pembelajaran dengan kebutuhan tertentu, seperti kelas
rural, atau multi-ethnic class background tampaknya pendidikan—seperti, muatan konservasi lingkungan,
pendidikan karakter dan anti korupsi, pun masih menyimpan dilema di sana-sini.
18
Kedua, konten program pendidikan guru. Deskripsi tentang bagaimana tujuh lembaga pendidikan guru di
Amerika mengimplementasikan program penyiapan calon guru yang kompeten memperlihatkan bahwa mereka
mewajibkan program observasi dan praktek mengajar (PPL/practicum) dalam rangka menjembatani antara
penguasaan teoritis dan praktek/aplikasi kompetensi. Terdapat pula program pemagangan (student placement)
dan penelitian (educational research) guna memperoleh pengalaman teaching diagnostic selama delapan
minggu hingga satu tahun.
Dalam program tersebut mereka diwajibkan membuat laporan observasi (case study analysis), teaching
diagnostic record, dan laporan penelitian yang diberlakukan pada satu kelas sebagai sampel penelitiannya.
Model-model program semacam ini diberlakukan di University of California di Berkeley dan Bank Street
College.
Pada lembaga-lembaga pendidikan guru di tanah air menerapkan pula program-program penempatan
mahasiswa untuk melaksanakan tugas praktik mengajar. Tugas praktik lapangan ini umumnya dibagi dalam dua
tahap: pertama, berupa observasi kelas yang lamanya sekitar satu bulan dengan kewajiban laporan hasil
observasi dan kedua, praktik mengajar di kelas yang lamanya sekitar tiga bulan dengan juga membuat laporan
praktik lapangan. Perbedaan terletak pada rentang lama masa praktikum lapangan dan bobotnya.
Program lain seperti demontrasi keterampilan mengajar, essay, literatur, position papers, case study
analyses, observation of events, presentation to various audiences, video of practice, dan curriculum material,
serta aktif di pertemuan orang tua-guru dan seminar-seminar pendidikan seperti yang diterapkan di Alverno
College tampaknya belum menjadi program yang mendapat perhatian dan penekanan serius.
Sangat menarik dan gamblang menunjukkan komitmen atas program dan kualifikasi kompetensi calon guru
adalah seperti apa yang dilakukan Wheelock College dalam implementasi program pendidikan guru mereka.
Target-target kompetensi yang harus dimiliki oleh para calon guru lulusan Wheelock dideskripsikan sebagai apa
yang mereka sebut “The Wheelock Way” sebagai berikut:
1) Learning from one’s student and developing curriculum from knowledge of students, families, and
cultures; being flexible, responsive, and resourcesful.
2) Using community resources to follow up on children’s interests.
3) Knowing how to observe and listen to children.
4) eing sensitive to diversity and knowing how to teach multy-culturally.
5) Integrating curriculum accros disciplines, using themes and projects to teach content.
6) Identifying and working on student strenghts, and advocating for inclusion.
7) Working hard, planning well researching throughly.
8) Being professional all the time.
SIMPULAN
Akhirnya, jelajah problematika kurikulum dunia pendidikan dan pembelajaran beserta tantangan yang
dihadapi program pendidikan guru serta penelitian panjang yang dilakukan para ilmuan pendidikan
menyimpulkan bahwa program pendidikan guru yang berkualitas dan menjangkau beragam aspek pendidikan—
dunia pembelajaran (teaching, khususnya), akan memberikan pengaruh yang besar pada peningkatan efektifitas
performa para guru di kelas-kelas di sekolah-sekolah. Dan akan membuahkan level kesuksesan yang tinggi dan
signifikan dalam proses pembelajaran. Hal ini menguatkan argumentasi bahwa semakin berkualitas dan
profesional para guru, semakin tinggi pula level prestasi belajar yang mungkin diraih para siswa.
Untuk mencapai target memproduksi guru-guru yang powerful (kompeten dan profesional), investasi dan
reformasi dimulai pada implementasi program-program yang solid dan berkualitas di lembaga-lembaga
pendidikan penghasil para calon guru. “Teacher should be the target of educational invesment.”***
DAFTAR PUSTAKA
1. Lampert, M. 2001. Teaching Problems and the Problem of Teaching. New Haven, Conn.: Yale
University Press.
2. McDonald, J. P. 1992. 1992. Teaching: Making Sense of an Uncertain Craft. New York: Teacher
College Press.
3. Hegarty, S. 2001. “Newcomers Find Toll of Teaching Is Too High: Among Those Quitting Are Non-
_Education Majors Thrust into Challenging Class-room.” St. Petersburg. Times, Jan. 21, 2001.
4. Hammond, D. Linda. 2006. Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs. San
Francisco, Jossey-Bass A Wiley Imprint.
19
5. Donovan, M. S,. And Bransford, J. (eds.) 2005. How Students Learn: History, Mathematics, and
Science in the Classroom. Washington D. C.: National Academy Press.
6. Everton, C., Hawley, W., and Zlotnik, M. 1985. “Making a Difference in Educational Quality Through
Teacher Education.” Journal of Teacher Education, 36(3), 2-12.
7. Ashton, P., and Crocker, L. 1986. “Doe Teacher Certification Make a Difference?”. Florida Journal of
Teacher Education. 3, 73-83.
8. Olsen, D. G. 1895. “The Quality of Prospective Teacher: Education vs. Noneducation Geaduates.”
Journal of Teacher Education. 36(5), 56-59.
9. Wilson, S. M., Floden, R. E., and Ferrini-Mundy, J. 2001. Teacher Preparation Research: Current
Knowledge, Gaps, and Recomendations: A Research Report Prepared for the U.S. Department of
Education. Seattle: Center for the Study of Teaching and Policy.
10. Conant, J. B., 1963; The Education of American Teachers. Nwe York: Mcgraw-Hill.
11. Clifford, G. J., and Guthrie, J. W., 1988; Ed School. Chicago: University of Chicago Press.
12. Goodlad, J. I., 1990. Teachers for Our Nation’s Schools. San Francisco: Jossey-Bass.
13. Holme Group (1986), Tomorrow’s Teacher: A Report of the Holmes Group. East Lansing, Mich:
Holmes Group.
14. Carnegie Task Force on Teaching as a Profession (1986), A National Prepared: Teachers for the 21st
Century: New York: Carnegie Farum on Education and the Economy.
15. Howey, K. R., and Zimpher, N. L. (1989), Proviles of Presevice Teacher Education: Inquiry into the
Nature of Programs. Albany: State University of New York Press.
16. Zeichner, K. M. (1993), “Traditions of Practice in U.S. Preservice Teacher Education Programs.”
Teaching and Teacher Education. 9(1), 1-13.
20
Analisis peran guru dan kepala madrasah dalam
mengimplementasikan kurikulum 2013
Siskandar
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta
a)Corresponding author: [email protected]
Abstract. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran guru dan kepala madrasah dalam
mengimplementasikan kurikulum. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif. Data diambil
dengan menggunakan pengamatan partisipatif dan wawancara mendalam. Subjek penelitian adalah kepala sekolah,
wakil kepala sekolah, siswa, orang tua, dan anggota komite sekolah secara snowball. Orang kunci dalam penelitian
ini adalah kepala sekolah dan guru. Objek penelitian adalah pelaku, konsep, kurikulum, dan kegiatan. Keabsahan
data dilakukan dengan kriteria kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan komfirmabilitas. Langkah-langkah
dan analisis data yang digunakan adalah model Lichman (2011). Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan
bahwa: 1) peran guru dalam implementasi kurikulum berperan sebagai translator, konselor, evaluator, leader;
fasilitator, konseptor, implementor, partisipator, dan motivator, (2) kepala madrasah berperan sebagai perencana,
pelaksana, dan evaluator; (3) kepala madrasah mempunyai peran lebih besar dibandingkan guru, karena kepala
madrasah sebagai pemberi pengaruh, sementara guru sebagai pelaksana di kelas; namun, kedua pihak tersebut
saling berkolaborasi, sehingga pelaksanaan kurikulum dapat berjalan dengan baik; (4) pelaksanaan kurikulum
dapat terlaksana dengan baik, berkat adanya dukungan dari siswa, orang tua, komite sekolah, dan pihak-pihak yang
terkait.
PENDAHULUAN
Pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi berbagai macam persoalan. Persoalan itu dirasakan
tidak akan pernah selesai, mengingat substansi yang ditransformasikan melalui proses pendidikan dan
pembelajaran selalu berada di bawah tekanan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemajuan masyarakat.
Salah satu persoalan pendidikan di Indonesia yang masih menonjol saat ini adalah adanya kurikulum yang silih
berganti dan terlalu membebani siswa, guru, kepala madrasah, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya
tanpa ada arah pengembangan yang betul-betul diimplementasikan sesuai dengan perubahan yang diinginkan
pada kurikulum tersebut (Busro, 2016: 1).
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan kurikulum selalu mengarah pada perbaikan sistem pendidikan.
Perubahan tersebut dilakukan karena dianggap belum sesuai dengan harapan yang diinginkan sehingga perlu
adanya revitalisasi dan inovasi kurikulum. Usaha tersebut mesti dilakukan demi menciptakan generasi masa
depan berkarakter, yang memahami jati diri bangsanya dan menciptakan siswa yang unggul, mampu bersaing di
dunia internasional (Veeda, 2015: 1).
Kurikulum sifatnya dinamis karena selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.
Semakin maju peradaban suatu bangsa, maka semakin berat pula tantangan yang dihadapinya. Persaingan ilmu
pengetahuan semakin gencar dilakukan oleh dunia internasional, sehingga Indonesia juga dituntut untuk dapat
bersaing secara global demi mengangkat harkat dan martabat bangsa. Oleh karena itu, untuk menghadapi
tantangan yang akan menimpa dunia pendidikan di Indonesia, ketegasan kurikulum dan implementasinya sangat
dibutuhkan untuk membenahi kinerja pendidikan yang jauh tertinggal dengan negara-negara maju di dunia
(Veeda, 2015: 1)
Dari sekian banyak unsur sumber daya pendidikan, kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan
kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas dan potensi peserta didik. Jadi
tidak dapat disangkal lagi bahwa inovasi kurikulum sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan
peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah; (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum merupakan salah satu strategi pembangunan pendidikan
nasional. Sayangnya, ujung tombak pelaksanaan kurikulum di lapangan dalam hal ini guru, kepala madrasah,
dan pemangku kepentingan yang lain, belum mampu menerjemahkan maskud perubahan kurikulum yang telah
disusun oleh ahli-ahli kurikulum dan ahli pendidikan lainnya (Busro, 2016: 1).
21
Kelemahan di atas tidak lepas dari perbagai permasalahan implementasi kurikulum di tingkat akar rumput,
yaitu: (1) belum adanya pemahaman yang sama antara pengembang kurikulum dengan guru dan kepala
madrasah, (2) kurangnya sosialisasi perubahan kurikulum kepada guru dan kepala madrasah, (3) terbatasnya
jumlah sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan kurikulum, (4) dalam pendistribusian kurikulum yang baru
sebagai hasil perubahan tidak disertai dengan petunjuk teknis yang jelas sehingga mengalami banyak kendala
saat dilaksanakan di madrasah, (5) implementasi kurikulum hasil pengembangan tidak dimulai dari lingkup
yang sempit, tetapi langsung diterapkan pada lingkup yang luas, melibatkan ribuah madrasah, di berbagai
provinsi, kabupaaaten/kota, kecamatan, dan desa.
Sebagaimana diketahui kurikulum di madrasah berbeda dengan di madrasah, oleh karena itu, perlu
dilakukan pendekatan yang berbeda saat melakukan implementasi kurikulum di madrasah. Proses implementasi
kurikulum di madrasah tentu harus bisa menyatukan antara muatan pendidikan umum dan pendidikan
keagamaan. Proses implementasi kurikulum tersebut harus dilakukan secara integral yang sama-sama
menonjolkan kedua muatan tersebut tanpa ada yang dikalahkan. Usaha ini, tentu membutuhkan dukungan
pemikiran, waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit.
Sayangnya banyak sekali penolakan yang dilakukan oleh madrasah, guru, dan kepala madrasah dalam
implementasi hasil inovasi kurikulum. Penolakan tersebut tidak bersifat langsung, tetapi biasanya bersifat
terselubung, seperti melaksanakan dengan tidak sepenuh hati, hanya melaksanakan pada tataran permukaannya
saja tidak sampai pada core-nya, dan guru beranggapan bahwa perubahan kurikulum hanya menambah
kerepotan mereka saat berada di dalam kelas.
Guru sering juga mempunyai pemahaman yang salah bahwa usaha yang mereka lakukan pasca perubahan
kurikulum tidak sebanding dengan peningkatan hasil prestasi siswa dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya, sehingga mereka merasa terpaksa dan kurang optimis dalam melakakan perubahan kurikulum.
Masyarakat juga terkadang mempunyai pemahaman yang salah terhadap perubahan kurikulum. Masyarakat
menganggap perubahan kurikulum tidak melihat kebutuhan peserta didik atau perubahan dan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan kemajuan masyarakat lainnya, melainkan karena perubahan kebijakan
politik yang melanda dunia pendidikan.
Secara teoritik, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan
standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai
kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan
peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil
pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang
kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula
terhadap kegagalan proses pengembangan manusia (Ardimoviz, 2012: 2).
Pengembangan kurikulum juga harus berlandaskan pada fungsi-fungsi manajemen, mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi. Dengan kata lain, kurikulum hendaknya
dikembangkan melalui fungsi perencanaan yang matang, sistematis, dan terpadu, pengorganisasian yang baik,
pengimplementasian di lapangan, dan pengawasan atas pelaksanaannya (Nur, 2011: 1).
Pengembangan kurikulum adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan
yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Alawiyah, 2013: 1). Dalam mengembangkan
dan mengimplementasikan kurikulum, hendaknya selalu melibatkan guru dan kepala madrasah, ahli kurikulum,
ahli pendidikan, ahli lain di luar bidang pendidikan, lulusan/alumni, siswa, dan pengguna lulusan (Arifin, 2012:
2).
Dalam mengembangkan kurikulum selalu berpegang pada prinsip pengembangan, antara lain selalu
berorientasi tujuan atau kompetensi, relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, dan efisiensi serta efektivitas
(Hernawan, 2015: 3).
Centre for Educational Research and Innovation (CERI) mencoba mendefinisikannya pengembangan
sebagai berikut curriculum development is the process of analyzing and refining goals, aims and objectives,
together with the translation of these into the content of courses by formal or informal methods. (CERI, 2013:
12).
Sementara itu, Unruh dan Unruh (2014: 97) mengatakan bahwa proses pengembangan adalah “a complex
process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the
outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.”
Adapun komponen-komponen dalam manajemen perencanaan kurikulum di antaranya: 1) organisasi
kurikulum, 2) model perencanaan kurikulum, 3) proses atau langkah-langkah perencanaan, 4) kegiatan-kegiatan
manajemen kurikulum, 5) asas-asas perencanaan kurikulum, 6) sifat perencanaan kurikulum, dan 7) fungsi
perencanaan kurikulum (Sandika, 2012: 2).
22
Perencanaan kurikulum harus memenuhi beberapa prinsip di antaranya adalah memperhatikan pengalaman
siswa, mencakup proses dan isi, meliputi berbagai topik, melibatkan seluruh komponen masyarakat, mencakup
semua level dan terus dikembangkan secara berkelanjutan. Mengingat pentingnya perencanaan kurikulum, maka
seluruh prinsip-prinsip perencanaan kurikulum harus dipenuhi demi terbentuknya sebuah kurikulum yang baik
dan sesuai dengan kebutuhan riil perkembangan jaman (Purwaningsi, 2012: 3).
Ornstein & Hunkins (2004: 56) menemukan bahwa banyak kurikulum baru yang gagal dalam implementasi
karena ketiadaan suatu rencana perubahan dalam keseluruhan suatu sistem permadrasahan. Kurikulum sudah
direncanakan dalam keseluruhan sistem, namun karena begitu beragamnya key player dan masalah psikologis
pembiayaan, dan belum berhasilnya pengitegrasian visi, pereview memprediksi bahwa kurikulum yang baru
akan berjalan timpang, tidak merata antara satuan pendidikan yang satu dengan lain.MEtode Penelitian
Melihat permasalahan dan kerangka teoritik sebagai mana diuraikan di atas, permasalahan penelitian ini
adalah: bagaimanakah peran guru dan kepala madrasah dalam implementasi kurikulum?
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikoleksi dengan menggunakan pengamatan partisipatif,
wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informan kunci penelitian ini yaitu kepala madrasah, wakil kepala
madrasah bidang kurikulum, komite madrasah, guru-guru, dan siswa Madrasah Aliyah Negeri 3 Rawasari
Jakarta Pusat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2016. Subjek penelitian adalah kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, dan anggota komite sekolahsecara snowball. Orang kunci dalam penelitian ini
adalah kepala sekolah. Objek penelitian adalah pelaku, konsep, tempat, dan kegiatan. Keabsahan data dilakukan
dengan kriteria kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan komfirmabilitas. Langkah-langkah dan analisis
data yang digunakan adalah model Lichman (2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Implementasi Kurikulum di MAN 3 Jakarta Madrasah Aliyah Negeri 3 Jakarta hingga tahun 2016 baik siswa kelas X maupun XI telah mengunakan
kurikulum 2013. Kurikulum yang telah didesain seoptimal mungkin oleh para inovatornya, diyakini oleh guru-
guru di MAN 3 Jakarta sebagai kurikulum yang baik, yang akan menghasilkan perbaikan proses dan hasil
pembelajaran. Kurikulum 2013 yang sedang “diujicobakan” pelaksanaannya, pada awalnya dirasakan guru-guru
sulit untuk diiplementasikan karena tidak didukung oleh keseluruhan sistem permadrasahan, akan tetapi
realoitasnya tidak seperti itu.
Menurut pemahaman guru, kurikulum tersebut dirasakan oleh sebagian guru sebagai kurikulum yang baik
karena dalam proses perencanaan memperhatikan filosopi pengembangan kurikulum dengan
mempertimbangkan pandangan guru dan para pemangku kepentingan yang akan melaksanakan kurikulum.
Secara filosofi, tujuan pengembangan kurikulum adalah untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada pada
kurikulum sebelumnya.
Para penyusun kurikulum seharusnya menyadari bahwa inovasi penyempurnaan kurikulum memerlukan
perencanaan yang baik, sosialisasi yang luas, dan monitoring dan evaluasi yang ketat. Para guru sebagai pihak
yang paling berkepentingan dalam implementasi kurikulum selalu berpikir apakah proses implementasi
kurikulum akan menguntungkan guru dan siswa ataukah malah mempersulit dirinya. Ketika kurikulum itu
diyakini akan mempermudah, maka guru akan dengan senang hati melaksanakan, akan tetapi apabila
sebaliknya, guru akan menolaknya.
Implementasi kurikulum di MAN 3 Jakarta dapat dikatakan sudah sukses karena banyak hal-hal baru dan
manfaat baru yang bisa dirasakan oleh guru, siswa dan madrasah (masyarakat). Implementasi kurikulum
tersebut dapat dikatakan sukses karena bersandarkan pada langkah-langkah yang tepat, terutama pada saat
proses implementasi.
Implementasi kurikulum dapat dipandang sebagai rangkaian tindakan yang sangat teknis. Titik pusat
keberhasilan implementasi kurikulum di MAN 3 sebenarnya terletak pada komponen guru itu sendiri.
Implementasi kurikulum 2013 di MAN 3 Jakarta merupakan usaha untuk mengubah pengetahuan, tindakan, dan
sikap individu mulai dari guru, siswa, kepala madrasah, dan masyarakat pendidikan pada umumnya.
Peran Guru Guru dan peserta didik merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran Guru dan peserta didik secara
kolaboratif menentukan materi dan tujuan belajar sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya.
23
Dengan demikian, dikaitkan dengan implementasi kurikulum sedikitnya terdapat tiga komponen utama yang
harus berjalan secara sinergis, yakni (1) peserta didik, (2) guru, dan (3) kurikulum. Dalam proses pemelajaran di
MAN 3 Jakarta, ketiga komponen tersebut terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Tanpa peserta didik, guru tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa guru para siswa
juga tidak akan dapat secara optimal belajar. Tanpa kurikulum, guru pun tidak akan mempunyai bahan ajar yang
akan diajarkan kepada peserta didik.
Dalam implementasi kurikulum di MAN 3 Jakarta sedikitnya ada sembilan peran guru yang harus
dilaksanakan secara menyeluruh.
Pertama, sebagai translator, guru berperan menerjemahkan kurikulum di MAN 3 Jakarta. Proses
penerjemahan bermanfaat dalam: memberi sumber inspirasi, wawasan, dan umpan balik terhadap kemajuan
mutu pendidikan sebagai kebutuhan yang relevan bagi siswa. Guru di MAN 3 Jakarta juga merupakan
perencana dan pelaksana atas pengembang kurikulum terdepan di kelas dalam menjalankan tugas dan
amanatnya. guru merupakan penerjemah kurikulum yang matang. Dialah yang mengolah, meramu kembali
kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. Tanpa diterjemahkan dengan baik oleh guru, kurikulum yang
diterapkan oleh pemerintah hanya sebagai barang mati yang tidak mempunyai arti sedikitpun bagi peningkatan
mutu sumber daya manusia di Indonesia. Dengan kata lain, guru di MAN 3 Jakarta selalu berperan penerjemah
kurikulum yang sebenarnya telah dikembangkan oleh pemerintah pusat. Dengan upaya penerjemahan itu, proses
pembelajaran yang disuguhkan oleh guru nyaman dan menyenangkan. Berkat keahlian keterampilan dan
kemampuan seninya dalam mengajar, guru di MAN 3 Jakarta mampu menciptakan situasi belajar yang aktif
yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreatifitasnya anak
Kedua, sebagai konselor, guru berperan mengatasi berbagai hambatan yang dapat mengganggu kemajuan
belajar siswa, baik yang bersifat pribadi maupun kelompok. Berbagai permasalahan yang dihadapi siswa.
Implementasi kurikulum di MAN 3 Jakarta hampir seluruhnya bergantung pada kreativitas, kecakapan,
kesungguhan dan ketekunan guru. Guru di MAN 3 Jakarta juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para
siswanya tentang apa yang akan dicapai dengan pengajarannya, membangkitkan motivasi belajar, menciptakan
situasi kompetitif dan kooperatif dan memberikan pengarahan juga bimbingan.
Ketiga, sebagai evaluator, guru di MAN 3 Jakarta menjadi penilai dalam ketercapaian terlaksananya proses
kurikulum secara komprehensif dan berkesinambungan secara terus menerus terhadap berbagai aspek tingkah
laku siswa. Walaupun kurikulum sudah tersusun dengan beik, tapi guru masih mempunyai tugas untuk
mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian. Hal ini juga sesuai dengan temuan Hutahaean,
(2014) yang menemukan model evaluasi kurikulum multidimensi (EKM) yang komprehensif yang sesuai untuk
KBK. Model EKM ini dikembangkan dari model CIPP menjadi enam dimensi evaluasi dalam satu siklus
evaluasi yang bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai alternatif penentuan keputusan untuk perbaikan
kurikulum. Penerapannya dimulai dari dimensi evaluasi: konteks dan kebutuhan, desain, implementasi, hasil,
dampak, sampai evaluasi terhadap evaluasi kurikulum.
Keempat, sebagai leader di kelas, guru di MAN 3 Jakarta memiliki peran strategis dalam memimpin
keberhasilan pelaksanaan kurikulum di kelas selama proses pembelajaran berjalan. Artinya, guru di MAN 3
Jakarta sebagai pemimpin di kelas memahami karakter siswa masing-masing dan dapat menyusun skema
perencanaan, mengatur pelaksanaan pembelajaran, menyelenggarakan pengawasan, dan mengadakan evaluasi
dini seefektif mungkin sejalan dengan arah pemberlakuan kurikulum. Dengan demikian, kehadiran guru di
MAN 3 Jakarta baik di dalam kelas maupun di luar kelas dapat membawa sinergi tersendiri bagi
keberlangsungan pembelajaran yang baik. Hal ini sesuai dengan temuan Usman dan Raharjo, (2013: 20)
menyimpulkan bahwa strategi kepemimpinan pembelajaran adalah: keteladanan, pembelajaran di kelas dan luar
kelas, kultur sekolah, dan penguatan.
Kelima, sebagai fasilitator, guru di MAN 3 Jakarta mempunyai peran memfasilitasi pelaksanaan kurikulum
pada mata pelajaran yang diampu masing-masing. Sebagai fasilitator, guru di MAN 3 Jakarta menciptakan
lingkungan yang memungkinkan dapat memberi bekal ilmu pengetahuan kepada para siswa dengan tingkat
kemudahan yang tinggi. Guru di MAN 3 Jakarta dapat menyesuaikan tingkat kesulitan materi dengan
pemenuhan kebutuhan siswa yang ditetapkan dalam kurikulum.
Keenam, sebagai konseptor, guru di MAN 3 Jakarta menyusun kurikulum dalam bidangnya untuk jangka
waktu satu tahun (program tahunan), satu semester (program satu semester), beberapa minggu atau beberapa
hari saja (satuan program pembelajaran). Program tahunan hingga satuan program pembelajaran memiliki
komponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan pelajaran, metode dan media pembelajaran dan evaluasi.
Aspek yang berbeda hanya keluasan dan kedalamannya saja. Sebagai konseptor, guru di MAN 3 Jakarta juga
bertugas menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih, dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan, minat, dan bakan anak dengan menggunakan metode dan media mengajar yang bervariasi.
Guru-guru di MAN 3 Jakarta juga turut memberi andil dalam merumuskan dalam setiap komponen dan unsur
kurikulum. Dalam kegiatan yang seperti itu, guru di MAN 3 Jakarta mempunyai perasaan turut memiliki
24
kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirinya dalam pengembangan
kurikulum.
Ketujuh, sebagi implementor, guru berperan mengimplementasi kurikulum yang telah dilaksanakan. Guru di
MAN 3 Jakarta mempunyai tanggung jawab utama dalam mengimplementasikan kurikulum. Dalam
mengimplementasikan kurikulum, guru harus mempunyai pemahaman yang tepat mengenai konsep kurikulum
dan bagaimana suatu kurikulum diciptakan. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan tugas profesinya haarus
memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu (1) kompetensi pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3)
kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Sebagai implementor, guru dalam mengimplementasikan
kurikulum berusaha melaksanakan dengan mengacu pada kemampuan siswa, kelengkapan sarana dan prasarana
yang dimiliki madrasah, budaya madrasah, organisasi madrasah, lingkungan madrasah, kearifan madrasah, dan
aspek lain yang bisa mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kurikulum di madrasah.
Kedelapan, sebagai partisipator, guru berpartisipasi dalam pensukseskan keberhasilan kurikulum saat
diterapkan di sekolah. Tanpa ada partisipasi dari guru, kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, kemudian
ditetapkan sebagai kurikulum yang berlaku tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada
partisipasi dari guru. Partisipasi guru bukan hanya pada pelaksanaan kurikulum akan tetapi dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum.
Kesembilan, sebagai motivator, guru dalam melaksanakan kurikulum selalu berusaha memberikan motivasi
kepada seluruh anak didik, untuk selalu giat belajar, giat mengerjakan tugas di rumah, giat melanjutkan ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi, giat mengikuti pengayaan atau remedial. Dengan motivasi ini, siswa akan
selalu berusaha mencapai target kurikulm yang telah
Kesembilan peran guru tersebut apabila digambarkan dalam bentuk diagram tampak sebagai berikut.
Gambar 1. Peran guru dalam implementasi kurikulum
Peran Kepala madrasah Kepala MAN 3 Jakarta berada di garda terdepan dalam mengimplementasikan kurikulum dan mempunyai
peran yang sangat dominan dalam manajemen madrasah. Kepala MAN 3 Jakarta dapat dikatakan sebagai
manajer madrasah, karena ia mempunyai peran yang sangat penting dalam: (1) meningkatkan mutu madrasah,
(2) menghasilkan output pendidikan yang baik, dan (3) mendayagunakan sumber daya yang ada secara efisien
dan efektif dalam rangka mencapai visi dan misi madrasah.
Dalam kaitannya dengan manajemen kurikulum ini, Kepala MAN 3 Jakarta selalu memperhatikan kinerja
guru dan staf khususnya dalam pendokumentasian daftar prestasi siswa yang nantinya bisa dipublikasikan ke
masyarakat sebagai bagian dari output yang bisa dibanggakan. Dengan demikian, kepala MAN 3 Jakarta selalu
berupaya lebih aktif mencari peluang kerja sama dengan pihak-pihak pemangku kepentingan. Kepala MAN 3
Jakarta selalu berusaha menjalin kemitraan dengan dunia bisnis, kelompok masyarakat sekitar untuk
memperkuat dukungan pencapaian tujuan madrasah. Ia juga selalu berusaha menyediakan saran dan prasarana
baik itu dalam bentuk materi atau non-materi yang bisa mendukung pelaksanaan kurikulum di madrasahnya.
Manajemen kurikulum dan pembelajaran di MAN 3 Jakarta sangat memprioritaskan peran kepala madrasah
dalam berbagai hal, seperti: (1) perencanaan pengembangan kurikulum dan pembelajaran di MAN 3 Jakarta; (2)
perencana implementasi kurikulum dan pembelajaran di MAN 3 Jakarta; (3) sebagai perencana evaluasi
kurikulum dan pembelajaran di MAN 3 Jakarta.
Pertama, dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran, kepala MAN 3 Jakarta menjalankan perannya
yaitu sebagai: (1) manajer yang bertugas merumuskan program, tujuan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh
guru; (2) pemimpin yang berperan sebagai motivator sekaligus supervisor yang mengawasi pelaksanaan
implementasi kurikulum di kelas; (3) pemimpin yang menghubungkan kepentingan madrasah dengan orang tua
25
siswa dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum; (4) manajer yang menyelenggarakan manajemen
pengajaran yang harus dilakukan oleh guru saat mengimplementasikan kurikulum di kelas; (5) pemimpin yang
melakukan koordinasi untuk mengatur pembagian tugas terhadap semua staf dalam mendukung implementasi
kurikulum di kelas .
Kedua, dalam melakukan implementasi kurikulum dan pembelajaran, kepala MAN 3 Jakarta menjalankan
perannya yaitu sebagai: (1) pemimpin yang selalu memberikan kepercayaan dengan mendelegasikan tugas
kepada guru dan tanga kependidikan yang ada di MAN 3 Jakarta; (2) pemimpin yang selalu memberi motivasi
kepada seluruh tenaga kependidikan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing dalam membantu guru
mengimplementasikan kurikulum; (3) pemimpin yang selalu memonitor terhadap pelaksanaan implementasi
kurikulum di kelas; (4) pemimpin yang selalu melakukan tugas supervisi di kelas untuk memantau implementasi
kurikulum yang dilakukan oleh guru; (5) pemimpin yang mengendalikan situasi apabila ada permasalahan
selama proses implementasi kurikulum.
Ketiga, dalam evaluasi kurikulum dan pembelajaran, kepala MAN 3 Jakarta menjalankan perannya yaitu
sebagai: (1) pemimpin yang melakukan koordinasi dengan semua pihak yang ada di MAN 3 Jakarta; (2)
pemimpin yang melakukan konsultasi dengan kepala dinas dan meminta pertimbangan dalam proses evaluasi
kurikulum dan pembelajaran; (3) pemimpin yang menyebarluaskan informasi yang telah diperoleh dari hasil
konsultasi dengan tim konsultan kepada para guru MAN 3 Jakarta; (4) decision maker terhadap seluruh
iplementasi kurikulum di MAN 3 Jakarta; (5) pendidik yang melakukan pemberdayaan terhadap guru dalam
mengimplementasikan kurikulum di kelas.
Ketiga peran tersebut apabila digambarkan tampak sebagai berikut.
Gambar 2. Peran kepala madrasah dalam implementasi kurikulum
Pembahasan
Untuk mengimplementasikan kurikulum di madrasah, perlu memahami isi kurikulum secara menyeluruh.
Dengan pemahaman yang menyeluruh tersebut, guru dan kepala madrasah dapat mengimplementasikan
kurikulum secara maksimal. Dengan implementasi yang maksimal akan menghasilkan kualitas lulusan yang
maksimal.
Selama ini, pendekatan yang digunakan dalam implementasi kurikulum di madrasah adalah materi. Jadi
materi pelajaran akan diberikan kepada siswa dengan muatan sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya,
dengan harapan para siswa dapat menguasai materi itu secara maksimal. Bahkan demi penguasaan materi itu,
drilling juga diberikan sejak awal, jauh sebelum siswa menghadapi berbagai tes hasil belajar. Dalam
implementasi kurikulum seperti ini, tujuan pembelajaran yang dicapai tidak hanya pada aspek kognitif tetapi
juga aspek afektif dan psikomotrik.
Ketiga aspek tersebut selalu mendapat penekanan dalam pelaksanaan kurikulum di madrasah. Pada saat
implementasi kurikulum, aspek kognitif, psikomotorik dan afektif, telah menjadi kompetensi integral yang harus
dicapai oleh siswa madrasah. Selain itu, ditekankan juga pendidikan karakter dan aspek afeksi. Hal ini sejalan
dengan pendapat Glenn (2007: 67) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kurikulum perlu pemberian
muatan pendidikan karakter, agar para siswa juga mendapatkan pelajaran nilai-nilai yang bisa diaplikasikan
dalam lapangan kerja dan masyarakat.
Pengelolaan kurikulum di madrasah dilakukan dengan menggunakan seluruh unsur penyelenggara
pendidikan, termasuk orang tua dan komite madrasah. Implementasi kurikulum yang dilakukan guru selalu
berdasarkan kemampuan guru dalam menghubungkan antara pengalaman di lapangan dengan realitas di kelas.
Dengan kata lain, dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, profesionalisme guru sangat diperlukan.
Hal ini sesuai dengan temuan Hamalik (2008: 248) bahwa sebelum guru menerapkan model implementasi
kurikulum maka implementasi kurikulum harus dipandang oleh guru sebagai sebuah sistem. Fungsi-fungsi
pengelolaan kurikulum harus dipandang sebagai elemen atau subsistem dari sistem implementasi kurikulum
yang besar. Dengan adanya komponen dan sub komponen tersebut, maka sistem pelaksanaan kurikulum dapat
26
berjalan dengan baik. Dalam setiap tahap kegiatan implementasi kurikulum, guru hendaknya selalu
memperhatikan keadaan faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan pelaksanaan kurikulum.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dipahami bahwa arah tujuan implementasi
kurikulum adalah untuk memperbaiki pelaksanaan proses pembelajaran di kelas dan untuk menghasilkan produk
lulusan yang berkualitas. Dengan demikian, proses implementasi kurikukulum yang dilakukan guru dalam
proses mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih anak didik dan bentuk lain bertujuan untuk memajukan
dan mencerdaskan peserta didik.
Hal ini sesuai dengan temuan Busro (2016: 4) yang menyatakan bahwa seluruh upaya perencanaan dan
pelaksanaan implementasi kurikulum di madrasah disesuaikan dengan kompetensi guru, kompetensi siswa,
sarana dan prasarana, dan dukungan orang tua. Implementasi kurikulum yang sempurna bertujuan untuk
memberikan pelayanan prima kepada siswa. Begitu juga, kepercayaan guru terhadap hasil kurikulum yang
dimodifikasi menjadi kunci sukses atas inovasi dan implementasi kurikulum di madrasah. Dengan demikian,
implementasi kurikulum yang dilakukan guru di madrasah merupakan usaha emosional dan kolaboratif antara
pengembang kurikulum dengan guru sebagai pelaksana di lapangan.
Dukungan dari guru dan kepala madrasah merupakan hal yang sangat penting, manakala menghendaki
proses implementasi dapat berjalan secara sukses. Sebagaimana diketahui bahwa para guru mengalokasikan
mayoritas waktu kerja mereka dalam kelas dengan para siswa, sehingga apabila guru menolak melakukan
imlementasi kurikulum, maka kurikulum yang telah disusun oleh para pengembang kurikulum akan sisa-sisa
(Readety, 2008: viii).
Dalam kaitannya dengan kurikulum, guru mempunyai peran yang sangat variatif, yaitu sebagai motivator,
evaluator, translator, developer, leader; konselor, fasilitator, konseptor, dan implementor. sementara kepala
madrasah berperan sebagai perencana, pelaksana, dan evaluator. Kepala madrasah mempunyai peran lebih besar
dibandingkan guru, karena kepala madrasah sebagai pemberi pengaruh, sementara guru sebagai pelaksana di
kelas. Siswa, orang tua siswa, komite sekolah, dan para pemangku kepentingan mempunyai peran sebagai
pendukung atas keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum. Keterkaitan atara mereka dapat digambarkan dalam
satu diagram sebagai berikut.
Gambar 3. Kaitan antara peran kepala madrasah, guru, dan pihak terkait
Bedasarkan gambar di atas, terdapat tiga garis lingkaran dalam pelaksanaan kurikulum. Lingkaran pertama
yaitu influent cicle, yang diperankan oleh kepala madrasah. Kepala madrasah mempunyai peran dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Kebijakan yang direncanakan oleh kepala madrasah harus
27
dilakukan oleh seluruh guru, dan akan dievaluasi kembali oleh kepala madrasah berkaitan dengan tingkat
ketercapaian kurikulum tersebut.
Lingkaran kedua yaitu operational cycle yang diperankan oleh guru, yaitu sebagai translator, konselor,
evaluator, leader; fasilitator, konseptor, implementor, partisipator, dan motivator. Meskipun tidak se vital kepala
madrasah dalam mengimplementasikan kurikulum, tetapi guru tepat mempunyai peran yang sangat strategis.
Guru dan kepala sekolah saling berkolaborasi dalam melaksanakan kurikulum sehingga pelaksanaannya dapat
berjalan dengan baik.
Lingkaran ketiga atau lingkaran paling luar disebut sebagai supporting cycle yang diperankan oleh siswa,
orang tua siswa, komite madrasah, masyarakat pengguna, dan lain-lain. Mereka berperan sebagai supporting
dalam implementasi kurikulum.
Hal ini sesuai dengan temuan Raihani (2008: 121) yang menyatakan bahwa guru dalam
mengimplemetasikan kurikulum sudah tentu selalu berkomunikasi dengan kepala madrasah. Dengan demikian,
berbagi gagasan, dan upaya memecahkan permasalahan pada saat implementasi kurikulum dapat terpecahkan
dengan baik, dan program implementasi kurikulum dapat sukses dilaksanakan.
Guru dan kepala madrasah dalam mengimplementasikan kurikulum di madrasah bertujuan untuk membuat
suatu perubahan yang memungkinkan para siswa dapat mencapai tujuan program pembelajaran. Implementasi
kurikulum di madrasah merupakan suatu bagian penting dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan
kurikulum tidak akan ada artinya manakala tidak diimplementasikan dengan baik oleh guru, kepala madrasah,
siswa dan para pemangku kepentingan lainnya (Stowe, 2011: 23).
Di dalam proses implementasi dalam rangka melakkan perubahan, memerlukan pemahaman dari semua
pihak sehingga proses perubahan dari keadaaan sebelumnya dapat terjadi. Pemahaman guru terhadap maskud
perubahan yang dikehendaki oleh para penyusun inovasi kurikulum akan sangat menentukan apakah perubahan
itu akan terjadi atau tidak (Nasution, 2008: 6).
Para pelaku implementasi kurikulum telah mengetahui dampak atau konsekuensi iplementasi yang akan
terjadi, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Mereka dapat meramalkan hasil atas perubahan yang akan
terjadi. Di dalam memahami konsep perubahan, guru harus menyadari bahwa usaha yang akan dilakukan akan
sia-sia manakala tidak didukung oleh siswa, kepala madrasah, masyarakat, komite madrasah, dinas pendidikan,
pengawas madrasah, dan pemangku kepentingan lainnya (Mulyasa, 2006: 23).
Dukungan yang diberikan oleh mereka semua itu akan membentuk perubahan yang mendasar, bukan hanya
sekilas tetapi bersifat permanen. Mereka yang awam, biasanya akan menolah perubahan itu, karena mereka
berfikir bahwa perubahan yang dilakukan hanya akan menyulitkan siswa, menghabiskan biaya sosialisasi, dan
anak-anak hanya sebagai kelinci percobaan atas kurikulum yang baru.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Retnawati (2015: 32) menyimpulkan
bahwa sosialisasi belum dapat memberikan pemahaman yang baik dan menyeluruh mengenai Kurikulum 2013.
Guru kesulitan mengatur waktu pada perencanaan pembelajaran, merencanakan pembelajaran, merencanakan
penilaian sikap, dan memilah pengetahuan dan keterampilan pada penyusunan instrumen penilaian.
Keterbatasan waktu dalam pelaksanaan pembelajaran, kesulitan berkaitan dengan perangkat pembelajaran, dan
kesulitan mengaktifkan siswa. Sistem penilaian yang rumit dan perlu waktu yang lama untuk menyusun laporan.
Perencanaan harus mengikutsertakan para guru untuk mempertimbangkan pengalaman belajar mereka
sehingga anak-anak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di dalam dan di luar madrasah. Perencanaan harus
merupakan penyelenggaraan suatu pengalaman belajar yang kontinyu sehingga kegiatan-kegiatan belajar siswa
sejak awal mampu memberikan pengalaman. Kurikulum harus direncanakan sedemikian rupa sehingga mampu
membantu pembentukan karakter, kepribadian, dan perlengkapan pengetahuan dasar siswa yang bernilai
demokratis dan yang sesuai dengan karakter kebudayaan bangsa Indonesia. Perencanaan harus realistis, feasible
(dapat dikerjakan), dan acceptable (dapat diterima dengan baik) (Purwaningsi, 2012: 4).
Konsekuensi logis dari pemahaman kurikulum dalam arti luas adalah guru perlu mengembangkan silabus
dan RPP yang bersumber pada kurikulum dalam arti produk ke dalam tujuan, program, dan pengalaman belajar
peserta didik yang aktual sesuai dengan perkembangan masyarakat global.Oleh karena itu, madrasah juga dapat
dan perlu direkayasa sebagai kurikulum pembelajaran. Dengan demikian, peserta didik akan memperoleh
pengalaman belajar yang tidak hanya tekstual tetapi juga bersifat kontekstual kontemporer. Seorang guru harus
mampu menjabarkan kurikulum ke dalam silabus dan RPP sehingga mereka telah terlibat dalam kegiatan
perencanaan kurikulum pada level yang amat spesifik, yaitu tingkat kelas (Purwaningsi, 2012: 5).
Implementasi kurikulum yang dilakukan oleh guru hendaknya menunjukkan suatu proses pencerahan
terhadap individu siswa. Perubahan yang diharapkan juga akan mampu memperbaiki konstruksi pribadi siswa,
sikap siswa, menuju ke arah hidup dan nilai-nilai yang mereka pegang sebagai sesuatu yang baik (Zdakir, 2004:
8).
Bagaimanapun juga, agar implementasi kurikulum dapat berjalan dengan sukses maka memerlukan energi,
waktu, dan kesabaran dari guru dan para pelaku implementasi kurikulum lainnya. Agar implementasi berhasil,
28
harus dilakukan berbagai usaha yang dilakukan secara terus menerus dalam batas waktu yang panjang dan
melibatkan semua pihak (Ornstein dan Hunkins, 2004: 142).
Berkaitan dengan peran kepala madrasah dalam mengimplementasikan kurikulum, penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Readety (2008: iii) yang menyimpulkan bahwa manajemen
kurikulum dan pembelajaran di madrasah sangat memprioritaskan peran kepala madrasah dalam hal: (1)
perencanaan kurikulum dan pembelajaran; (2) implementasi kurikulum dan pembelajaran; (3) evaluasi
kurikulum dan pembelajaran.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan temuan Katuuk (2014: 21) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan
pengimplementasian kurikulum memerlukan manajemen yang baik. Dalam rangka mengimplementasikan
kurikulum 2013, ada beberapa aspek manajemen yang penting meliputi perencanaan implementasi, sumber daya
utama dan pendukung, proses pembelajaran di sekolah, dan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan temuan Pujayanti (2006: 213) bahwa kepala madrasah sebagai agen
perubahan kurikulum harus memahami bagaimana melakukan berubah yang sistematis. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan: (1) kepala madrasah harus meyakinkan semua pihak bahwa implementasi kurikulum akan
mampu meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, (2) kepala madrasah harus mampu mempertimbangkan
beberapa hal negatif yang diprediksi akan muncul dan menyiapkan cara untuk mengatasinya, (3) kepala
madrasah harus mampu melihat makna sesungguhnya dari perilaku orang-orang yang menerima dampak atas
perubahan kurikulum tersebut, mulai dari guru, siswa, kepala madrasah, komite madrasah, pengawas madrasah,
dan pihak lain yang terlibatm (4) kepala madrasah harus menyadari bahwa akan banyak orang-orang yang akan
menentang perubahan, tetapi perubahan itu harus dilakukan demi kemajuan pendidikan.
Ada beberapa petunjuk bagi kepala madrasah yang dapat membantu menghindari kekeliruan dalam
implementasi kurikulum, yaitu: (1) merancang model implementasi akan mampu meningkatkan prestasi siswa,
(2) model implementasi kurikulum akan mengakibatkan perubahan di dalam struktur madrasah, (3) model
implementasi harus dapat dilaksanakan oleh para guru, (4) model implementasi harus didukung secara organik
oleh organ-organ pendidikan yang ada, (5) kebutuhan akan sumber daya pada saat mengimplemenasikan
kurikulum bersifat sangat terbatas karena membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit (Busro, 2016: 7).
Dalam implementasi kurikulum akan ada potensi untuk konflik antara orang-orang dan kelompok. Walaupun
konflik akan terjadi, kepala madrasah harus mampu mengatur sedemikian rupa sehingga orang-orang menyadari
bahwa semua dilakuan kepala madrasah demi kebaikan bersama. Program implementasi kurikulum yang
sedang diterapkan dalam madrasah memberi kesempatan untuk semua bagian berpartisipasi baik: para siswa,
para guru, kepala madrasah, maupun pengawas madrasah.
Hasil penelitian Krissandi dan Rusmawan (2015: 1) menunjukkan bahwa kendala-kendala yang dialami
guru SD dalam implementasi kurikulum 2013 berasal dari pemerintah, institusi, guru, orang tua, dan siswa.
Kendala dari pemerintah meliputi pendistribusian buku, penilaian, administrasi guru, alokasi waktu, sosialisasi,
pelaksanaan pembelajaran tematik, panduan pelaksanaan kurikulum, dan kegiatan pembelajaran dalam buku
siswa. Kendala dari institusi meliputi sarana dan prasarana, dan rotasi guru baik vertikal dan horisontal. Kendala
dari guru meliputi pembuatan media pembelajaran, pemahaman guru, pemaduan antarmuatan pelajaran dalam
pembelajaran tematik, dan penguasan teknologi informasi. Kendala dari orang tua dan siswa meliputi rapor dan
adaptasi terhadap pembelajaran tematik.
Kesuksesan suatu usaha implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan fungsi dari kemampuan kepala
madrasah untuk mengarahkan guru, siswa, dan staf pada saat atau sebelum inovasi kurikulum. Untuk
menerapkan suatu kurikulum yang baru, harus diawali dengan memperkenalkan perubahan kurikulum itu
sendiri. Kesuksesan atas usaha perubahan kurikulum memerlukan semangat untuk mulai mengerjakan
kurikulum yang baru, melintasi keterbatasan kurikulum yang ada, dan memahami area kurikulum yang baru
hasil pengembangan kurikulum (Arifin, 2011: 49).
Kesuksesan implementasi kurikulum memerlukan individu yang berani menyambut keanekaragaman
gagasan dan pemikiran yang baru. Kesuksesan implementasi kurikulum sangat tergantung pada kemampuan
para agen perubahan kurikulum dalam meyakinkan semua pihak tentang nilai-nilai yang baik atas inovasi
kurikulum yang dilakukan. Para agen perubahan kurikulum harus menyadari bahwa mereka akan berhadapan
dengan pihak-pihak yang melakukan penolakan (Ornstein dan Hunkins, 2004: 142).
Kapan pun dan dimana pun kurikulum diimplementasikan, saluran komunikasi harus selalu terbuka sehingga
program yang baru datang bukan sebagai suatu kejutan. Diskusi tentang suatu program antar-guru, dan ahli
kurikulum adalah merupakan kunci sukses implementasi kurikulum.
Komunikasi implementasi kurikulum adalah peristiwa kompleks, karena menggambarkan transmisi fakta,
gagasan, nilai-nilai, perasaan, dan sikap dari seseorang inovator perubahan kurikulum kepada kelompok lain
dalam hal ini guru dan siswa (Ornstein dan Hunkins, 2004: 142).
Untuk meyakinkan bahwa jaringan komunikasi adalah menyeluruh dan pesan yang dikirimkan sesuai dengan
tempatnya, maka para implementor kurikulum harus memahami saluran cummunication informal dalam sistem
pendidikan (Ahmad, 2011: 32).
29
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan:
1) peran guru dalam implementasi kurikulum yaitu sebagai translator, konselor, evaluator, leader;
fasilitator, konseptor, implementor, partisipator, dan motivator;
(2) kepala madrasah berperan sebagai perencanaa, pelaksanan, dan evaluasi;
(3) kepala madrasah mempunyai peran lebih besar dibandingkan guru, karena kepala madrasah sebagai
pemberi pengaruh dalam pelaksanaan kurikulum di madrasah, sementara itu guru sebagai pelaksana di kelas.
Namun, kedua pihak tersebut saling berkolaborasi, sehingga pelaksanaan kurikulum dapat berjalan dengan baik;
dan
4) pelaksanaan KTSP di MAN 3 Jakarta dapat terlaksana dengan baik, berkat adanya dukungan dari siswa,
orang tua, komite sekolah, dan pihak-pihak yang terkait.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam menyelesaikan naskah jurnal ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian mandiri ini; LP2M Institut
Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta yang secara lansung memberikan wahana bagi peneliti untuk
melaksanakan penelitian mandiri ini; Kepala MAN 3 Jakarta, wakil kepala madrasah, guru, siswa MAN 3
Jakarta; dan secara khusus terima kasih kepada Dr. Muhammad B, M.Pd., sebagai tim penelaah naskah jurnal ini
sehingga layak sebagai karya ilmiah, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad, Nana Syaodih. 2011. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2. Alawiyah, Ilis khoeriyah. 2013. “Perencanaan Pembelajaran Dengan Pengembangan Kurikulum.”
Makalah. Tasik Malaya: STAI Tasik Malaya
3. Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins. 2004. Curriculum: Foundation, Principles, And Issues,
Fourth Edition. Boston USA: Pearson Education
4. Ardimoviz, 2012. Manajemen Kurikulum. http://hitamandbiru.blogspot.html. Diunduh pada tanggal 05
Oktober 2016.
5. Arifin, Akhmad Muhammad. 2012. Kurikulum Operasional. http://akhmuhammadarifin.html. Diunduh
pada tanggal 05 Oktober 2015.
6. Arifin, Zainal. 2011. Konsep Dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
7. Busro, Muhammad. 2016. “Perubahan Kurikulum di Indonesia.” Makalah. Banten: STIE Banten
8. Dzakir, 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT Rineka Cipta
9. Glenn. 2007. Curriculum Planning: A New Approach. (Fifth Edition). Boston: Allyn and Bacon.
10. Hamalik, Oemar, 2008. Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
11. Hutahaean, Berman. 2014. “Pengembangan Model Evaluasi Kurikulum Multidimensi Untuk
Kurikulum Berbasis Kompetensi.” Jurnal Cakrawala Pendidikan, No 2 tahun 2014.
12. Katuuk, Deitje Adolfien. 2014. “Manajemen Implementasi Kurikulum: Strategi
Penguatanimplementasi Kurikulum 2013.” Jurnal Cakrawala Pendidikan, No 1 Februari 2014
13. Krissandi, Apri Damai Sagita dan Rusmawan Rusmawan. 2015. Kendala Guru Sekolah Dasar Dalam
Implementasi Kurikulum 2013. Jurnal Cakrawala Pendidikan, No 3 Oktober 2015
14. Mulyasa. 2006. Kurikulum yang di Sempurnakan. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya
15. Nasution, S. 2008. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
16. Nur, Anan. 2011. Manajemen Perencanaan Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. http://anan-
nur.blogspot.co.id/2011/08.html Diunduh pada tanggal 4 Oktober 2015.
17. Pujayanti, Ninik. 2006. “Peranan Kepala Madrasah Sebagai Supervisor Dalam Pengembangan Staf
Dan Kurikulum (Studi Kasus di SMP Negeri 11 Tangerang, Banten)”. Tesis. Semarang: PPS Unes
18. Purwaningsi, 2012. Prinsip-Prinsip Perencanaan Kurikulum. Makalah. Yogyakarta: PPs Universitas
PGRI Yogyakarta
30
19. Raihani. 2008. "An Indonesian model of successful school leadership", Journal of Educational
Administration, Vol. 46 Iss: 4, pp.481 – 496
20. Readety, Eve. 2008. Peranan Kepala Madrasah dalam Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran
Madrasah Alam. (Studi Kasus SD Madrasah Alam Insan Mulia Surabaya). Disertasi. Malang: PPs
Program Doktor UM
21. Retnawati, Heri. 2015. “Hambatan Guru Matematika Sekolah Menengah Pertama Dalam Menerapkan
Kurikulum Baru.” Jurnal Cakrawala Pendidikan, No 3 Oktober 2015
22. Sandika, I Kadek Budi 2012. Persiapan Perencanaan Kurikulum. Makalah. Yogyakarta: Magister
Pendidikan PTK UNY.
23. Unruh, Daniel, dan Unruh, 2014. School Districts Benefit from Marrying Curriculum and IT Planning,
http://postdoc.grad.uiowa.edu/node/251. Diunduh tanggal 3 Maret 2015
24. Usman, Husaini; Nuryadin Eko Raharjo, 2013. “Strategi Kepemimpinan Pembelajaran Menyongsong
Implementasi Kurikulum 2013.” Jurnal Cakrawala Pendidikan, No 1 Februari 2013
25. Veeda. 2015. Makalah Kurikulum. Makalah, Surabaya; UIN Sunan Ampel, Fakultas Tarbiyah, Prodi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah.
TENTANG PENULIS
Dr. Siskandar, M.A., lahir, 21 Januari 1950 di Pemalang, Jawa Tengah. Gelar Sarjana Muda Pendidikan
Ilmu Pasti dari IKIP Semarang pada tahun 1975. Gelar magister (S2) dalam bidang pengembangan kurikulum di
University of Tokyo Gakugei, Tokyo tahun 1981. Tahun 1990 mengikuti program Pendidikan Program Doktor
Bidang Teknologi Pendidikan PPS-IKIP Jakarta. Menduduki jabatan Kepala Bidang pengembangan Kurikulum
Sekolah Menengah (SLTP, SMU dan SMK) (1991-2004). Kepala Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas
(2001-2003). Sekretaris Balitbang Depdiknas (2003-2011). Dosen di Universitas Negeri Semarang 2011-2015.
Dosen Institut PTIQ Jakarta (2016 – sekarang). Karya tulis yang dihasilkan, antara lain adalah Perbandingan
Kurikulum 1975 mata pelajaran Matematika SD Indonesia dan Jepang (Thesis Magister), Pengembangan
Kurikulum bagi Anak-anak yang kurang Beruntung (Hiroshima, Unesco-APEID, 1987), dan Pengembangan
Kurikulum Sekolah Menengah dan Implikasinya (Tokyo, NIER, 1995), dan Analysis on The Quality of The
Implementation of School Management at SMP Terbuka in Five Provinces in Indonesia ( Vol 2 Numb 1, 2010).
Buku Pelajaran Matematika SD dan Pedoman Matematika untuk Guru dan Orang Tua (1994), serta Modul
Penyetaraan D2 PGSD yang diterbitkan Universitas Terbuka (1991). Faktor-faktor penentu Prestasi Pendidikan
(2009), Kurikulum dan Globalisasi Pendidikan (2010), Pengembangan Kurikulum (2012), Landasan dan
Prinsip Pengembangan Kurikulum (2014), dan Kurikulum dan Pembelajaran Anak Usia Dini (2016).
31
Multimedia pembelajaran digital untuk meningkatkan
antusiasme siswa dalam belajar
Neni Kusuma Nugraheni
SMP Negeri 5 Karanganyar
a)
Corresponding author: [email protected]
Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dapat meningkatan antusiasme
siswa dalam belajar menggunakan multimedia digital storytelling. Untuk mewujudkan adanya multimedia digital
storytelling tersebut, peneliti menggunakan metode pengembangan model ADDIE (analysis-design-develop-
implement-evaluate). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, multimedia digital storytelling memenuhi standar
kelayakan bila digunakan untuk menunjang proses pembelajaran. Terbukti dengan hasil penilaian yang diberikan
oleh ahli media sebesar 79,2%, ahli materi sebesar 85,3% dan siswa sebesar 87%. Berdasarkan analisis hasil Uji t
Berpasangan, peneliti menemukan adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah menggunakan multimedia digital
storytelling dalam pembelajaran yang mendapat skor rata-rata sebesar -6.75 dan dengan standart deviasi sebesar
3.808. Sedangkan hasil yang didapat untuk sig sebesar 0.002 = 0.2 % < 5 %; maka hal itu berarti bahwa, rata-rata
antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran antara yang sebelum dan sesudah menggunakan multimedia digital
storytelling terdapat perbedaan dan mengalami perubahan. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa,
penggunaan multimedia digital storytelling untuk menunjang proses pembelajaran dapat meningkatkan antusiasme
siswa dalam belajar.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sangat berpengaruh pada dunia pendidikan. Salah
satu pengaruhnya adalah pembaharuan sistem pembelajaran yang kini banyak memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam Ujian Nasional Berbasis
Komputer (UNBK) yang mengalami peningkatan pada tahun 2016. Jumlah sekolah penyelanggara UNBK
meningkat dari yang sebelumnya hanya 554, kini bertambah menjadi 4.381 sekolah
(http//www.kemendikbud.go.id).
Selain memberikan fasilitas, upaya lain yang telah dilakukan pemerintah adalah penyusunan Kurikulum
2013. Pelakasanaan Kurikulum 2013 pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), mengusung muatan yang
bersifat saintifik yang membuat siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran.
Dalam pandangan Hosnan (2014: 364), pendekatan saintifik sangat menekankan pada keterlibataan aktif
siswa dalam proses pembelajaran. Siswa mampu mendapatkan pengalaman secara langsung dan terlatih untuk
dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang tengah dipelajari. Melalui pengalaman langsung pula,
siswa mampu memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain
yang telah dipahaminya sebelumnya.
Namun demikian, dengan adanya perkembangan TIK yang semakin pesat dan cepat, para siswa juga terkena
imbasnya. Salah satunya adalah perkembangan perangkat teknologi gadget seperti smartphone, laptop, dan
tablet yang kini menjadi primadona karena mudah dan praktis penggunaanya.
Dalam situs okezone.com dapat dilihat pada akhir tahun 2016 terlihat penggunaan smartphone di Indonesia
sudah mencapai 57 juta jiwa. Hal itu salah satunya dipicu oleh teknologi gadget yang berisi banyak game dan
aplikasi menarik. Sebagian besar dari aplikasi tersebut cenderung membuat anak-anak usia sekolah lebih tertarik
bermain dari pada belajar.
Menurut Desmita (2014:35) usia rata-rata anak Indonesia saat masuk SMP adalah 12 tahun dan selesai pada
usia 15 tahun. Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang senang bermain, senang bergerak, senang
bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung.
Oleh karena itu seyogya guru-guru di sekolah mengembangkan dan merancang pembelajaran yang
mengandung unsur permainan, menghibur, mengusahakan siswa berpindah atau bergerak, bekerja atau belajar
dalam kelompok, serta memberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pembelajaran. Perlu dirancang
pembelajaran yang dapat menarik dan merangsang pikiran siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran baik di
dalam kelas maupun di luar kelas. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi guru untuk selalu berinovasi
menciptakan suatu media pembelajaran yang dapat menarik antusiasme siswa dalam belajar.
32
Berdasarkan hasil observasi dan ketika peneliti melakukan wawancara kepada salah satu rekan guru SMP
Negeri 5 Karanganyar, didapat informasi bahwa saat di dalam kelas guru sering dihadapkan pada materi yang
memerlukan bantuan media pembelajaran untuk memvisualisasikan materi, seperti saat mengidentifikasi suatu
bentuk obyek baru maupun obyek yang memerlukan media.
Selain itu media juga harus dapat menarik perhatian siswa untuk belajar sehingga materi dapat tersampaikan
dan dapat dipahami siswa. Tren perkembangan media penunjang proses pembelajaran kini banyak dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi multimedia yang keberadaanya mampu dengan apik mengintegrasikan teks,
grafis, animasi, audio dan video secara simultan. Salah satu media penunjang proses pembelajaran yang kini
banyak digunakan adalah multimedia digital storytelling.
Multimedia pembelajaran digital storytelling adalah teknologi berbasis komputer yang digunakan untuk
menyampaikan sebuah cerita pada siswa, baik dalam bentuk teks, grafik, animasi, audio, maupun video.
Sehingga sangat memungkinkan bagi guru mengembangkan pembelajaran dalam bentuk cerita yang
bersambung.
Hal ini relevan dengan Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan tematik-saintifik untuk merangsang
keaktifan siswa dalam belajar. Manfaat lainnya, penggunaan multimedia digital storytelling juga dapat membuat
pembelajaran lebih menarik dan dapat meningkatkan rasa ingin tau siswa dengan dukungan animasi dan music
secara simultan.
Menurut Warsita (2008:33), teknologi berbasis komputer menampilkan informasi kepada siswa melalui
tayangan di monitor. Aplikasi-aplikasi yang diterapkan dalam pembelajaran yang memanfaat komputer
digolongkan menjadi 5 klasifikasi yaitu; (1) tutorial, sebagai tutor siswa dalam belajar; (2) latihan dan
pengulangan, untuk membantu siswa memahami pelajaran yang dipelajari sebelumnya; (3) simulasi,
memberikan gambaran atau model dari peristiwa; (4) games, memberikan kesempatan menggunakan
pengetahuan yang baru dipelajari; (5) percobaan atau eksperimen, percobaan ini mirip dengan format simulasi,
namun lebih menekankan pada kegiatan yang bersifat eksperimentasi.
Dalam sejarah awal mulanya storytelling lebih banyak digunakan guru dalam proses pembelajaran dengan
bantuan media buku atau alat/boneka peraga. Storytelling dilakukan dengan menceritakan sebuah cerita
bermuatan pendidikan, contohnya dongeng Si Kancil. Penggunaan media alat/boneka peraga storytelling
membuat peserta didik dapat menghayati cerita melalui visualisasi alat/boneka peraga yang diberikan guru.
Perkambangan saat ini akibat pengaruh TIK, storytelling bertransformasi menjadi multimedia digital
storytelling, yang tidak hanya mengandalkan kekuatan cerita secara lisan namun dipadukan dengan musik,
animasi, interaktivitas dan narasi secara bersamaan secara simultan sehingga menarik bagi siswa. Dalam
membuat multimedia pembelajaran digital storytelling ini mudah, sebab banyak aplikasi yang dapat digunakan
antara lain VideoScribe, Powtown, Adobe Flash dan banyak pilihan lainnya yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
SMP Negeri 5 Karanganyar merupakan sekolah favorit yang bertanggungjawab mencetak generasi yang
berprestasi. Namun demikian, media pembelajaran yang pakai untuk menunjang proses pembelajaran siswanya
hanya mengandalkan buku. Diharapkan muncul terobosan baru dalam proses pembelajaran. Salah satunya
dengan menyediakan multimedia pembelajaran yang dapat menarik minat siswa untuk belajar.
SMP Negeri 5 Karanganyar memiliki fasilitas lengkap dalam menunjang proses pembelajaran menggunakan
multimedia digital storytelling di dalam kelas, namun fasilitas yang tersedia belum dimanfaatkan secara efektif.
Hal inilah yang menjadi urgensi bagi peneliti yang hendak mengembangkan multimedia pembelajaran digital
storytellling. Media ini dipilih oleh peneliti karena mudah dalam pembuatanya, sehingga guru dapat membuat
dan mengimplementasikan dalam pembelajaran didalam kelas. Multimedia pembelajaran digital storytelling
dinilai efektif untuk meningkatkan antusiasme siswa dalam proses pembelajaran. Sebagaimana Burmar dan
Ormrod dalam Robin (2009: 3) mengungkapkan:
“An engaging, multimedia-rich Digital Story can serve as an anticipatory set or hook to capture the
attention of students and increasing their interest in exploring new ideas. A number of researchers support the
use of anticipatory sets at the beginning of a lesson to help engage students in the learning process”
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk menciptakan inovasi dalam menunjang proses pembelajaran
dan untuk mengetahui peningkatan antusiasme siswa dalam proses pembelajaran dengan digunakannya
Multimedia pembelajaran digital storytelling.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode pengembangan model ADDIE yang sebelumnya telah dikembangkan
oleh Alan Januzewski dan Michael Molenda, karena dinilai lebih efektif untuk mengkreasi multimedia
pembelajaran.
33
Tahapan pertamanya adalah analysis kebutuhan yang terdiri atas analisis kurikulum, analisis materi
pelajaran, analisis sarana dan prasarana, analisis pengguna dan analisis media. Tahap kedua adalah design yang
meliputi pembuatan flowchart, peta konsep, peta materi, storyboard dan GBIM (Garis Besar Isi Media), desain
user interface (ui), user experience (ux), dan penyusunan naskah. Tahap ketiga adalah develpoment,
pengembangan media untuk dijadikan multimedia pembelajaran yang siap dimanfaatkan. Dalam tahapan
pengembangan ini, media sudah menjadi program yang siap diujikan kepada ahli media dan ahli materi untuk
kemudian dapat diketahui kelemahan dan kekurangannya, sehingga dapat direvisi agar menjadi produk teruji.
Tahap keempat adalah implement, dengan melakukan uji coba kelompok kecil dan kelompok besar meliputi
siswa dan guru untuk menguji media yang sudah dibuat. Tahap kelima adalah evaluate, pemberian penilaian
kelayakan produk berdasarkan hasil nilai yang didapatkan dari angket yang disebarkan kepada siswa, ahli media
dan materi untuk kemudian dihitung tiap aspek media beserta detail penjelasannya. Selain menggunakan
angket, pengumpulan data juga dilakukan melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Pengukuran
tingkat kelayakan multimedia pembelajaran digital storytelling menggunakan analisis deskriptif persentase
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
keterangan:
P(s) = persentase sub variable
S = jumlah skor tiap sub variabel
N = jumlah skor maksimum
Berdasarkan perhitungan di atas, maka range persentase dan kriteria kualitatif dapat ditetapkan sebagaimana
dalam tabel berikut.
Tabel 1. Kriteria Skala Penilaian
a. Menurut Sukestriyano (2013:111), uji t sampel berpasangan merupakan salah satu pengujian yang
bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pada satu kelompok orang antara sebelum dan sesudah
diberi perlakuan atau pada kelompok tersebut dilakukan pengukuran dua kali pada karakteristik yang
sama tetapi beda subjek, maka uji sampel berpasangan dapat digunakan. Interpretasi output yang
digunakan:
b. Ho : µ1=µ2 (rata-rata antusias siswa di SMP Negeri 5 Karanganyar sebelum dan sesudah
menggunakan Multimedia digital storytelling adalah sama)
c. Ha : µ1≠µ2 (rata-rata antusias siswa di SMP Negeri 5 Karanganyar sebelum dan sesudah
menggunakan Multimedia digital storytelling adalah beda).
d. Rumus yang digunakan sama dengan uji t satu sampel adalah:
Dimana d dan s masing-masing rataan dari simpangan baku selisih kedua pengukuran, sedangkan n adalah
jumlah pasangan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah melalui semua tahapan pengembangan model ADDIE maka tahapan terakhir adalah tahap pasca
produksi. Begitu produk multimedia pembelajaran selesai dikembangkan, selanjutnya peneliti melakukan
validasi kepada ahli media dan ahli materi. Validasi materi dilakukan oleh Ghanis Putra, dosen mutimedia dan
validasi media dilakukan oleh Yuli Utanto, dosen teknologi pembelajaran.
Setelah melalui tahapan validasi media oleh para ahli materi dan ahli pembelajaran, tahapan selanjutnya
produk multimedia pembelajaran yang sudah dikembangkan peneliti siap dimanfaatkan untuk menunjang proses
P(s) = S/N x 100%
34
pembelajaran di SMP Negeri 5 Karanganyar. Pada proses pemanfaatan produk multimedia pembelajaran digital
storytelling dalam proses pembelajaran inilah peneliti kemudian melakukan evaluasi program pembelajaran agar
dapat mengetahui kelayakan multimedia pembelajaran digital storytelling sebagai sarana penunjang proses
pembelajaran.
Selanjutnya peneliti menerapkan metode triangulasi data yang terdiri atas observasi langsung, wawancara
mendalam, dan studi dokumentasi untuk mengetahui sumbangan program multimedia digital storytelling dalam
meningkatkan antusiasme siswa dalam belajar. Metode triangulasi dipilih karena dinilai mampu menghimpun
dan menggali informasi secara menyeluruh dan mendalam mengenai subyek dan obyek penelitian. Langkah
awal dalam melakukan triangulasi, peneliti melakukan observasi langsung proses keseharian pembelajaran
siswa di sekolah.
Hasil observasi langsung peneliti dalam proses pembelajaran di dalam kelas kemudian dikonfirmansi dan
didiskusikan bersama guru pengampu mata pelajaran, untuk mencari kesesuaian penilain dan kesepakatan
pendapat mengenai hasil pengamatan peneliti dan hasil penilaian guru pengampu mata pelajaran yang lebih
mengenal karakteristik dan potensi siswa. Penelitian bersama guru pengampu mata pelajaran memilih 3 kategori
siswa yaitu; siswa dengan antusiasme rendah, siswa biasa saja, siswa dengan antusiasme tinggi sebanyak 10
siswa. Setelah subjek penelitian ditentukan, dengan bantu guru mata pelajaran kemudian peneliti melakukan
observasi langsung kembali menggunakan instrumen antusiasme siswa dalam pembelajaran yang memanfaatkan
program multimedia pembelajaran digital storytelling untuk dapat mengukur tingatan antusiasme siswa.
Belum selesai sampai disitu saja, selanjutnya peneliti melakukan observasi kembali ke dalam kelas agar
mendapatkan data perbandingan antara pembelajaran dengan dan tanpa menggunakan multimedia digital
storytelling. Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi adanya peningkatan antusiasme siswa dalam
pembelajaran.
Setelah data perbandingan observasi pembelajaran dengan dan tanpa multimedia pembelajaran digital
storytelling terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan wawancara mendalam kepada subyek penelitian untuk
memperkuat data hasil observasi tentang antusiasme siswa dalam pembelajaran yang memanfaatkan
multimedia pembelajaran digital storytelling kepada siswa dan guru kelas.
A. Validasi Kelayakan Media
Hasil validasi untuk mengukur kelayakan multimedia digital storytelling oleh ahli materi, ahli, media, siswa
mendapatkan hasil sebagai berikut.
Table 2. Hasil Validasi Ahli Materi
Hasil yang didapatkan dari aspek materi adalah 85% , aspek media 88%, aspek pembelajaran 85%, dan
aspek bahasa 80% dari total nilai maksimal masing masing aspek 100%. Jika semua aspek di rata-rata maka
akan mendapatkan hasil 85,3% sehingga masuk dalam kategori “sangat layak”.
Table 3. Hasil Validasi Ahli Media
Hasil yang diperoleh setelah melakukan validasi media ke ahli media pada aspek pembelajaran mendapakan
76%, aspek interaktivitas 80%, aspek media 80%, aspek tampilan 80%, aspek bahasa 80%, dan aspek program
35
80% dari total nilai maksimal masing-masing aspek 100%. Jika semua aspek dirata-rata maka total nilai yang
didapat adalah 79,2% masuk ke dalam kategori “layak”.
Table 4. Hasil Uji Coba Oleh 40 Siswa
e. Hasil yang didapat setelah melakukan uji coba kepada siswa yang berjumlah 40 orang yaitu pada aspek
materi 86%, aspek pembelajaran 85%, aspek interaktivitas 85%, aspek media 89%, aspek tampilan
85%, dan aspek bahasa 91% dari total nilai maksimal masing-masing aspek 100%. Jika dari semua
aspek dirata-rata maka akan didapatkan hasil 87% yang masuk kedalam kategori “sangat layak”.
Berdasarkan data hasil yang didapat dari validasi ahli dan uji coba siswa diketahui bahwa produk
multimedia digital storytelling yang dikembangkan sesuai dengan model ADDIE layak dan dapat
dimanfaatkan untuk menunjang proses pembelajaran.
B. Antusiasme Siswa Menggunakan Produk Multimedia
Setelah peneliti melakukan pengamatan secara menyeluruh kepada siswa terlihat adanya peningkatan
antusiasme siswa yang sebelumnya terlihat kurang antusias untuk memulai pembelajaran. Hal tersebut dapat
dilihat dari siswa yang asyik berbicara dengan teman-temanya dan sibuk bermain sendiri. Terlihat ekspresi
wajah yang merasa kurang tertarik pada pelajaran, dan pandangan mata tidak fokus ke papan tulis di depannya.
Ketika pembelajaran berlangsung menggunakan produk multimedia pembelajaran digital storytelling siswa
menjadi lebih antusias dalam belajar. Siswa terlihat merasa senang dengan pembelajaran menggunakan media
pembelajaran digital storytelling dan siswa lebih fokus pada pembelajaran.
Kemudian dari segi keaktifan di dalam kelas, setelah menggunakan multimedia digital storytelling siswa
yang sebelumnya cenderung pasif menjadi lebih aktif dalam bertanya dan siswa dengan sukarela maju ke depan
untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam multimedia digital storytelling.
Pembelajaran dengan menggunakan multimedia digital storytelling dapat menciptakan suasana yang lebih
ceria kepada siswa dan proses pembelajaran dapat berjalan aktif karena adanya timbal balik dari siswa dengan
mengajukan pertanyaan kepada guru.
Kemudian Peneliti juga lebih memfokuskan pengamatan kepada siswa dengan tingkat antusisme yang
berbeda-beda yaitu tingkat antusiasme tinggi, antusiasme sedang, antusiasme rendah yang berjumlah sepuluh
orang.
Hasil yang didapatkan pada siswa dengan antusias tinggi yang berjumlah dua orang yaitu dari segi siswa
dengan antusias belajar tinggi sebelum dan sesudah menggunakan multimedia digital storytelling sebagai sarana
pembelajaran, menunjukan adanya peningkatan antusiasme. Siswa yang sebelumya tingkat antusiasnya sudah
cukup tinggi menjadi lebih antusias setelah menggunakan multimedia digital storytelling, hal itu ditunjukan
dengan adanya peningkatan fokus dalam pembelajaran.
Sedangkan dalam segi keaktifan di dalam kelas, pada dasarnya siswa sudah menunjukkan keaktifan didalam
kelas sebelum maupun sesudah menggunakan multimedia digital storytelling, yang membedakan hanyalah
siswa lebih berani untuk maju ke depan kelas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Suasana
pembelajaran terkesan lebih fleksibel dan ceria tidak ada rasa tertekan.
Hasil yang didapatkan pada siswa dengan antusias tingkat sedang yang berjumlah tiga orang, terdapat
peningkataan antusiasme dalam pembelajaran setelah menggunakan multimedia pembelajaran digital
storytelling. Sebelum pengunaan multimedia digital storytelling, siswa sering bermain sendiri dan tingkat fokus
dalam pembelajaran tidak bertahan lama. Namun setelah pengunaan multimedia digital storytelling siswa lebih
36
fokus dan tertarik dalam pembelajaran. Hal itu buktikan dengan adanya siswa yang mencermati materi dan
mengikuti jalan cerita secara tuntas.
Tingkat keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran juga mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya
pasif, berdiam diri tidak bertanya kepada guru. Setelah memanfaatkan multimedia pembelajaran digital
storytelling, siswa menjadi lebih aktif dan sering mengajukan pertanyaan kepada guru serta mampu menjawab
pertanyaan di depan kelas. Sehingga terciptalah suasana belajar yang menyenangkan dan siswa lebih berani
mengungkapkan pendapatnya.
Kemudian pengamatan siswa dengan antusias belajar rendah dilakukan terhadap siswa yang berjumlah
empat orang, didapatkan hasil bahwa dengan menggunakan multimedia digital storytelling dapat meningkatkan
antusiasme belajar. Pada saat pembelajaran belum menggunakan multimedia pembelajaran digital storytelling,
antuasiasme siswa dalam pembelajaran sangat rendah hal ini dapat dilihat dengan ditemukannya siswa yang
tidak memperhatikan pembelajaran dan asik tidur di dalam kelas. Kemudian setelah pembelajaran menggunakan
multimedia digital storytelling antusiasme siswa dalam pembelajaran meningkat drastis, terlihat siswa ikut
memperhatikan dan mencermati pembelajaran secara tuntas.
Tingkat keaktifan siswa juga meningkat, siswa yang awalnya pasif dan acuh pada saat pembelajaran setelah
penggunaan multimedia digital storytelling siswa menjadi aktif bertanya kepada guru tentang materi yang tidak
dipahami dan siswa berani maju ke depan kelas untuk menjawab pertanyaan. Suasana pembelajaran menjadi
lebih santai dan menyenangkan karena siswa lebih mudah memahami materi yang diajarkan.
C. Hasil Observasi Antusiasme Siswa
Uji antusiasme berdasar pengamatan yang dihitung secara kuantitatif untuk mengetahui perubahan tingkat
antusiasme siswa dalam pembelajaran sebelum dan sesudah menggunakan multimedia digital storytelling, maka
digunakan uji t-sampel berpasangan. Hipotesis yang digunakan
Ho : µ1=µ2 (rata-rata antusias siswa di SMP Negeri 5 Karanganyar sebelum dan sesudah menggunakan
Multimedia digital storytelling adalah sama)
Ha : µ1≠µ2 (rata-rata antusias siswa di SMP Negeri 5 Karanganyar sebelum dan sesudah menggunakan
Multimedia digital storytelling adalah beda)
Dalam mengukur tingkat antusiasme siswa di kelas dengan menggunakan multimedia digital
storytelling, dilakukan dengan dua tahap, pertama dengan melakukan pengamatan pembelajaran di kelas
sebelum penggunaan multimedia digital storytelling. Kedua, melakukan pengamatan setelah menggunakan
multimedia digital storytelling pada mata pelajaran TIK kelas VII di SMP Negeri 5 Karanganyar.
Berdasarkan pengamatan sebelum dan setelah menggunakan multimedia digital storytelling, diperoleh
rata-rata perbedaan antusias siswa sebelum menggunakan media sebesar 36,62 dengan deviasi sebesar 5,999 dan
rata-rata sesudah menggunakan media sebesar 43,38 dengan deviasi sebesar 2.669, jumlah sampel sebanyak 8
siswa.
Hasil perhitungan diperoleh perbedaan rata-rata sebesar -6.75 dengan standart deviasi sebesar 3.808.
Hasil untuk sig sebesar 0.002 = 0.2 % < 5 %, maka Ho ditolak. Artinya, rata-rata antusiasme siswa sebelum dan
sesudah menggunakan multimedia digital storytelling mengalami perubahan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pengunaan multimedia digital storytelling dapat meningkatkan antusiasme siswa dalam belajar.
Hal ini sesuai dengan teori menurut Sadik (Dalam Park, & Baek 2011: 182). “Digital storytelling, when it is
integrated into the classroom setting, can be a compelling teaching method to gain and hold students’ attention.
At the same time, it provides a creative and open-ended environment”.
D. Tanggapan Siswa terhadap Pemanfaatan Multimedia Digital Storytelling.
Peneliti melakukan wawancara terhadap sepuluh siswa yang dianggap sudah dapat memberikan data yang
valid. Ketika menjawab pertanyaan; “pemanfaatan media pembelajaran multimedia digital storytelling
menjadikan proses pembelajaran lebih menyenangkan?” Siswa menyatakan bahwa multimedia digital
storytelling lebih menyenangkan daripada pembelajaran konvensional yang diajarkan guru sehari-hari.
Peneliti kemudian menggali informasi lebih lanjut mengenai alasan siswa lebih menyukai menggunakan
multimedia digital storytelling dari pada pembelajaran konvenisional. Kemudian, jawaban yang didapat yaitu
karena pembelajaran yang memanfaatkan multimedia pembelajaran digital storytelling lebih menarik daripada
pembelajaran secara konvensional. Siswa mengatakan digital storytelling menarik, selain dari segi gambar,
suara tetapi juga pada segi cerita. Siswa merasa penasaran dengan cerita yang disajikan akan berjalan seperti apa
nantinya. Sehingga siswa merasa berpetualang dan tidak merasa bosan karena setiap scene dari multimedia
digital storytelling memiliki gambar background yang dinamis
Selain menarik siswa menganggap multimedia digital storytelling dapat meningkatkan semangat belajar
siswa. Hal itu dibuktikan pada saat peneliti bertanya, “pemanfaatan media pembelajaran multimedia digital
storytelling membuat siswa semangat belajar?” Siswa menjawab, “Iya, karena belajarnya menggunakan media
lebih dinamis dan tidak monoton”.
37
Belajar dengan menggunakan multimedia digital storytelling membuat siswa lebih mudah memahami materi.
Ketika ditanya, “Apakah dengan media pembelajaran multimedia digital storytelling materi pembelajaran lebih
mudah dimengerti?” Siswa menjawab, “Mudah dipahami, karena bahsanya jelas, menarik, dan ada videonya”.
Hal ini menujukkan bahwa penyajian materi yang ada dalam multimedia digital storytelling sudah dapat
dimengerti oleh siswa. Sebab, bahasa yang digunakan jelas, narasi jelas sehingga siswa lebih mudah untuk
belajar. Tidak hanya itu saja, pada saat ditanya, “Apakah kamu ingin menggunakan kembali media
pembelajaran multimedia digital storytelling dalam pembelajaran?”. Semua siswa menjawab mereka ingin
menggunakan digital storytelling kembali dalam pembelajaran di kelas.
Hal ini menunjukan bahwa multimedia digital storytelling diterima oleh siswa dan dapat disimpulkan bahwa
multimedia digital storytelling dapat meningkatkan antusias siswa dalam belajar di kelas.
E. Tanggapan Guru terhadap Pemanfaatan Multimedia Digital Storytelling.
Peneliti melakukan wawancara kembali kepada guru untuk memperkuat data, Pada saat melakukan
wawancara mengenai “Apakah dengan menggunakan media pembelajaran multimedia digital storytelling dapat
membuat siswa lebih antusias untuk belajar?”, beliau menjawab, ”Setelah saya lihat kemarin memang ada
peningkatan pada beberapa siswa yang sebelumnya kurang aktif dan antusias di dalam kelas menjadi lebih
antusias”.
Pernyataan yang diberikan oleh guru di atas menunjukan bahwa dengan penggunaan multimedia digital
storytelling dapat meningkatkan antusias siswa dalam belajar. Hal itu dibuktikan dengan adanya peningkatan
antusias siswa dalam pembelajaran setelah menggunakan multimedia digital storytelling.
Selain tingkat antusias yang meningkat, siswa juga lebih memahami materi yang diajarkan dengan
menggunakan multimedia digital storytelling. Hal ini dibuktikan saat guru diberikan pertanyaan, “Apakah
dengan media pembelajaran multimedia digital storytelling siswa dapat lebih mudah mengerti apa yang
diajarkan?” Guru menjawab, “Bisa dikatakan lebih mengerti karena dengan menggunakan media yang ada
gambar, animasi dan videonya. Apalagi siswa seperti diajak untuk melakuan petualangan sehingga siswa lebih
tertarik untuk memahami materinya. Beda dengan pembelajaran konvensional yang sudah sering dilakukan
sehari-hari”.
Multimedia digital storytelling dianggap memiliki materi yang cukup lengkap dan relevan dengan yang ada
di silabus dan RPP. Kemudian dikemas dalam bentuk multimedia yang sangat menarik sehingga siswa lebih
mudah paham. Hal ini menunjukan jika multimedia digital storytelling memang sudah layak sebagai sarana
penunjang pembelajaran.
Pada saat ditanya, “Apakah media pembelajaran multimedia digital storytelling sudah layak sebagai sarana
penunjang proses pembelajaran?”. Guru tersebut mengatakan bahwa, “Kalau masalah layak itu sudah, karena
sudah relevan juga dengan materi pada tema 9 di buku ajar”.
Guru merasa terbantu dengan adanya multimedia digital storytelling tersebut. Selain menarik, media juga
mudah untuk dioperasikan oleh guru di dalam kelas. Sehingga, akan lebih baik jika di dalam kelas diadakan
pembelajaran menggunakan multimedia digital storytelling minimal seminggu sekali. Selain materi dapat
diterima siswa dengan lebih mudah, penggunaan digital storytelling dapat menjadi hiburan/refeshing bagi siswa
agar tidak bosan dengan pembelajaran secara konvensional yang dilakukan sehari-hari.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengembangan dan penelitian yang telah dilakukan peneliti, kemudian dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Hasil pengembangan multimedia digital storytelling dengan mengunakan model ADDIE menunjukan
bahwa, Multimedia digital storytelling dikatakan layak digunakan sebagai sarana penunjang pembelajaran.
Tingkat kelayakan yang didapatkan peneliti setelah melakukan validasi produk ke ahli media yaitu
mendapatkan hasil 79,2%, ahli materi mendapatkan hasil 85,3%, uji coba kepada 35 hasil yang didapat 87 %
dari total nilai maksimal 100%. Sehingga dapat dikatakan multimedia digital storytelling sudah layak digunakan
sebagai sarana penunjang proses pembelajaran.
Tingkat antusiasme siswa diukur melalui pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
guru maupun siswa yang bersangkutan. Hasil yang didapatkan peneliti menunjukan bahwa Siswa sangat
antusias dan merasa senang dengan pembelajaran menggunakan multimedia digital storytelling, hal itu
menunjukan adanya peningkatan antusiasme siswa dalam pembelajaran didalam kelas.
Hasil penghitungan uji t diperoleh rata-rata perbedaan antusias siswa sebelum menggunakan media sebesar
36,62 dengan deviasi sebesar 5,999 dan rata-rata sesudah menggunakan media sebesar 43,38 dengan deviasi
sebesar 2.669, jumlah sampel sebanyak 8 siswa.
perbedaan rata-rata sebesar -6.75 dengan standart deviasi sebesar 3.808. Hasil untuk sig sebesar 0.002 = 0.2
% < 5 %, maka Ho ditolak. Artinya, rata-rata antusiasme siswa sebelum dan sesudah menggunakan multimedia
38
digital storytelling mengalami perubahan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengunaan multimedia digital
storytelling dapat meningkatkan antusiasme siswa dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Desmita. 2014. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Posdakarya Offset.
2. Dogan, B. & Robin, B. 2009. Educational uses of digital storytelling: Creating digital storytelling
contests for K-12 students and teachers. Dipublikasikan dalam Konferensi Internasional Teknologi
Informasi dan Pendidikan Guru. Chesapeake: AACE.
3. Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik Dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21 (Kunci Sukses
Implementasi Kurikulum 2013). Bogor: Ghalia Indonesia.
4. Maulipaksi, Desliana. Mendikbud Tinjau Pelaksanaan UN Berbasis Komputer di Surabaya. Diakses
dari http://www.kemdikbud.go.id/main/blog/ 2016/04/mendikbud-tinjau-pelaksanaan-un-berbasis-
komputer-di-surabaya, pada tanggal 4 Mei 2016.
5. Sukestiyarno. 2013. Olah Data Penelitian Berbantuan SPSS. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Press.
6. Warsito, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Rinneka Cipta.
7. Xu, Y., Park, H., & Baek, Y. 2011. A New Approach Toward Digital Storytelling: An Activity Focused
on Writing Selfefficacy in a Virtual Learning Environment. Educational Technology & Society, 14 (4),
181–191.
39
Implementasi kurikulum 2013 dalam pendidikan karakter
di sekolah dasar
Sumilah
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
a)
Corresponding author: [email protected]
Abstract. Pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah dasar berbasis kurikulum 2013, sudah
selayaknya segera diwujudkan dengan sabaik-baiknya.Hal ini dimaksud agar keterpurukan karakter siswa dapat
segera diatasi.Keterpurukan karakter siswa dapat diperhatikan pada kejujur, kerja keras, disiplin, kerjasama, percaya
diri, tanggung jawab.Untuk memperbaiki terterpurukan karakter tersebut dapat diselesaikan denganditenerapkan
sintak Scientific yang merupakan amanat dari Kurikulum 2013.
PENDAHULUAN
Pemerintah pada tahun 2013 telah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan implementasi kurikulum 2013,
namun seiring dengan perubahan pemerintahan, maka kebijakan implementasi kurikulum dikembalikan ke
kurikulum sebelumnya atau lanjut dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Namun demikian kurikulum 2013
telah memberikan dampak yang positip bagi peningkatan mutu pembelajaran dikarenakan kurikulum 2013
memiliki keunggulan tersendiri di samping masih memiliki kelemahan-kelemahan. Perubahan yang terjadi
dengan diimplementasikannya kurikulum 2013 adalah perubahan standar kompetensi lulusan, standar isi,
standar proses dan standar evaluasi.
Konstribusi implementasi kurikulum 2013 terhadap mutu pembelajaran memberikan angin segar,
dikarenakan kurikulum ini mampu memningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Pembelajaran
adalah suatu proses yang diakukan oleh individu untuk memeperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran yang efektif yang pada intinya adalah menyangkut
kemampuan guru dalam proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan
sangat menentukan mutu hasil pembelajaran yang akan diperoleh siswa. Mutu pembelajaran pada hakikatnya
menyangkut mutu proses dan hasil pembelajaran dengan indikatornya kesesuaian, mempunyai daya tarik yang
kuat, efektifitas dan efisiensi serta produktivitas (Kemendikbud, 2013).
Perkembangan teknologi komunikasi mewarnaisemua lini kehidupan. Bidang pendidikan menjadi
komponen yang strategis dalam perkembangannya.Kurikulum sebagai salah satu komponen dalam proses
belajar mengajar menjadi instrument penting dalam mengarahkan perkembangan kompetensi siswa. Sementara
di sisi lainperkembangan kurikulum dilakukan untuk menjawab tantangan dan mengikuti perkembangan yang
ada.
Kurikulum, bukan kata yang asing dalam dunia pendidikan.Pendidikan atau pembelajaran tidak lepas dari
istilah ini, karena kurikulum adalah salah satu komponen dari pembelajaran. Dengan adanya kurikulum proses
belajar dan pembelajaran akan berjalan secara terstruktur dan tersistem demi mencapai tujuan pembelajaran
yang diinginkan. Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis
Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Penerapan kurikulum 2013 yang salah satu alasannya untuk menjawab tantangan masa depan terkait
kemajuan teknologi informasi dankonvergensi ilmu dan teknologi perlu mendapat perhatian dari semua
komponen di sekolah.Masalah pokok yang terkait dengan implementasi kurikulum 2013adalah pemahaman
guru mengenai struktur kurikulum 2013 serta kurangnya ketrampilan, dan pengetahuan guru dalam pelaksanaa,
perencanaan dan evaluasi dalam kurikulum 2013. Dalam makalah ini akan membahas kelebihan kurikulum
2013, perbedaan kurikulum 2013 dengan ktsp, implementasi kurikulum 2013 serta pendidikan karakter di SD.
40
PEMBAHASAN
Kelebihan Kurikulum 2013 Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan kurikulum dari masa ke masa, baik di Indonesia maupun di
negara lain, disebabkan kebutuhan masyarakat yang setiap tahunnya selalu berkembang dan tuntutan zaman
yang selalu berubah tanpa bisa dicegah. Perkembangan kurikulum diharapkan dapat menjadi penentu masa
depan anak bangsa, oleh karena itu, kurikulum yang baik akan sangat diharapkan dapat dilaksanakan di
Indonesia sehingga akan menghasilkan masa depan anak bangsa yang cerah yang berimplikasi pada kemajuan
bangsa dan negara. Kurikulum yang terbaru yaitu kurikulum 2013 yang mulai dilaksanakan pada tahun ajaran
2013-2014 pada sekolah yang ditunjuk pemerintah maupun sekolah yang siap melaksanakannya.Meskipun
masih premature, namun ada beberapa hal yang dirasakan oleh banyak kalangan terutama yang langsung
berhadapan dengan kurikulum itu sendiri. Terdapat beberapa hal penting dari perubahan atau penyempurnaan
kurikulum tersebut yaitu keunggulan yang terdapat disana-sini, diantaranya :
1. Siswa lebih dituntut untuk aktif, kreatif dan inovatif dalam setiap pemecahan masalah yang mereka
hadapi di sekolah.
2. Adanya penilaian dari semua aspek. Penentuan nilai bagi siswa bukan hanya didapat dari nilai ujian
saja tetapi juga didapat dari nilai kesopanan, religi, praktek, sikap dan lain-lain.
3. Munculnya pendidikan karakter dan pendidikan budi pekerti yang telah diintegrasikan ke dalam semua
program studi.
4. Adanya kompetensi yang sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
5. Kompetensi yang dimaksud menggambarkan secara holistic domain sikap, ketrampilan, dan
pengetahuan.
6. Banyak kompetensi yang dibutuhkan sesuai perkembangan seperti pendidikan karakter, metodologi
pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan.
7. Hal yang paling menarik dari kurikulum 2013 ini adalah sangat tanggap terhadap fenomena dan
perubahan sosial. Hal ini mulai dari perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun
global.
8. Standar penilaian mengarahkan kepada penilaian berbasis kompetensi seperti sikap, ketrampilan dan
pengetahuan secara proporsional.
9. Mengharuskan adanya remediasi secara berkala.
10. Sifat pembelajaran sangat kontekstual.
11. Meningkatkan motivasi mengajar dengan meningkatkan kompetensi profesi, pedagogi, sosial dan
personal.
12. Ada rambu-rambu yang jelas bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran (buku induk)
13. Guru berperan sebagai fasilitator
14. Diharapkan kreatifitas guru akan semakin meningkat
15. Efisiensi dalam manajemen sekolah contohnya dalam pengadaan buku, dimana buku sudah disiapkan
dari pusat
16. Sekolah dapat memperoleh pendampingan dari pusat dan memperoleh koordinasi dan supervise dari
daerah
17. Pembelajaran berpusat pada siswa dan kontekstual dengan metode pembelajaran yang lebih bervariasi
18. Penilaian meliputi aspek kognitif, afektif, psikomotorik sesuai proporsi
19. Ekstrakurikuler wajib Pramuka meningkatkan karakter siswa terutama dalam kedisiplinan, kerjasama,
saling menghargai, cinta tanah air dan lain-lain (Kurniasih dan berlin, 2014).
Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar : 1. Tematik Integratif
Pembelajaran berbasis tematik integratif yang diterapkan pada tingkatan pendidikan dasar ini menyuguhkan
proses belajar berdasarkan tema untuk kemudian dikombinasikan dengan mata pelajaran lainnya.
2. Enam Mata Pelajaran
Untuk sekolah dasar, saat ini ada sepuluh mata pelajaran yang diajarkan.Namun, dalam kurikulum 2013
mata pelajaran dipadatkan menjadi enam mata pelajaran.
3. Pramuka sebagai Ekstra Kurikuler Wajib
Dalam kurikulum 2013, pramuka merupakan ekstra kurikuler wajib dan itu diatur dalam undang-
undang.Pramuka ini menjadi ekstra kurikuler wajib pada satuan pendidikan dasar dan menengah, untuk berbagai
jenjang pendidikan.Untuk meningkatkan layanan secara profesional, maka dalam implementasi pramuka
kemendikbud bekerjasama dengan kemenpora.
4. Bahasa Ingggris Hanya Ekskul
41
Sebelumnya terjadi polemik mengenai bahasa Inggris di SD, yaitu bahasa Inggris akan dihapus dari
kurikulum. Rencana penghapusan ini didasari oleh kekhawatiran akan membebani siswa dan memprioritaskan
terhadap penguasaan bahasa Indonesia. Ternyata, dalam kurikulum 2013 ini, bahasa Inggris menjadi ekstra
kurikuler bersama PMR, UKS, dan Pramuka.
5. Belajar di Sekolah Lebih Lama
Penambahan jam pelajaran merupakan isi dari perubahan kurikulum baru yang mulai diterapkan bulan Juli
2013 untuk anak-anak SD (Sunarti, 2014).
Untuk menghadapi perbedaan-perbedaan tersebut, dilakukan langkah penguatan tata kelola dengan cara
menyiapkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Buku pedoman pembelajaran yang terdiri dari buku guru dan buku siswa.
2. Guru dilatih untuk memahami pendayagunaan sumber belajar yang telah disiapkan dan sumber lain
yang dapat dimanfaatkan.
3. Pendampingan dan pemantauan oleh pusat dan daerah terhadap pelaksanaan pembelajaran (Tuti, 2014).
Implementasi Kurikulum 2013 Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tentang implementasi kurikulum diantaranya sebagai berikut:
Pasal 1 :Implementasi kurikulum 2013 pada sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah
menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah atas/dan sekolah menengah
kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK) dilakukan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013/2014.
Pasal 2 :Implementasi kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK menggunakan
pedoman implementasi kurikulum yang mencangkup:
a) Pedoman penyusunan dan pengelolaan KTSP.
b) Pedoman pengembangan muatan lokal.
c) Pedoman kegiatan ekstrakurikuler
d) Pedoman umum pembelajaran, dan
e) Pedoman evaluasi kurikulum
Implementasi kurikulum adalah usaha bersama antara Pemerintah dengan pemerintah daerah propinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota.
1. Pemerintah bertanggung jawab dalam mempersiapkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan
kurikulum.
2. Pemerintah bertanggungjawab dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum secara nasional.
3. Pemerintah propinsi bertanggungjawab dalam melakukan supervisi dan evaluasi terhadap pelaksanaan
kurikulum di propinsi terkait.
4. Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam memberikan bantuan profesional kepada guru dan
kepala sekolah dalam melaksanakan kurikulum di kabupaten/kota terkait.
Menurut Mulyasa (2013) dalam kurikulum 2013 guru dituntut untuk secara profesional merancang
pembelajaran afektif dan bermakna, mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang
tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria
keberhasilan. Berkaitan dengan hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna.
Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum, dalam pembelajaran dan pembentukan
kompetensi serta karakter peserta didik.Hal tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan
menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.Guru harus menyadari bahwa
pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagigis, psikologi, dan didaktis
secara bersamaan.
2. Mengorganisasikan pembelajaran.
Implementasi kurikulum 2013 menuntut guru untuk mrngorganisasikan pembelajaran secara efektif.
Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengorgsnisasian pembelajaran dalam
implementasi kurikulum 2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli,
pendayagunaan tenaga ahli dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan penataan kebijakan.
3. Memilih dan menentukan pendekatan pembelajaran.
Implementasi kurikulum 2013 berbasis kompetensi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learing),
bermain peran, pembelajaran partisipatif (participative teaching and learning), belajar tuntas (mastery learning),
dan pembelajaran konstruktivisme (constructivism teaching and learning).
4. Melaksanakan pembelajaran, pembentukan kompetensi, dan karakter.
Pembelajaran dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses belajar,
pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik yang direncanakan. Untuk kepentingan tersebut maka
kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standart, indikator hasil belajar, dan waktu yang harus ditetapkan
42
sesuai dengan kepentingan pembelajaran sehinga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan
pengalaman belajar yang optmal.dalam hal ini, pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Pada
umumnya kegiatan pembelajaran mencangkup kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan
kompetensi dan karakter, serta kegiatan akhir atau penutup.
Implementasi yang efektif merupakan hasil dari interaksi antara strategi implementasi, struktur kurikulum,
tujuan pendidikan, dan kepemimpinan kepala sekolah.Oleh karena itu, pengoptimalan implementasi kurikulum
2013 diperlukan suatu upaya strategis untuk mensinergikan komponen-komponen tersebut, terutama guru dan
kepala sekolah dalam membudayakan kurikulum.
Pendidikan Karakter Di SD Berkenaan dengan kurikulum 2013 adalah produk baru yang mulai diterapkan kembali yang dipublikasikan
dan diimplementasikan di sekolah-sekolah, baik itu tingkat sekolah dasar sampai sekolah tingkat menengah
keatas. Kurikulum 2013 menurut Sunarti dalam bukunya berjudul penilaian dalam kurikulum 2013 itu “diawali
dari kegelisahan melihat system pendidikan yang diterapkan selama ini, hanya berbasis dalam pengajaran untuk
pemenuhan target pengetahuan siswa. Selain itu, diperlukan ketrampilan dan sikap yang tidak kalah pentingnya
untuk mendapatkan lulusan yang andal dan beretika untuk selanjutnya dan siap berkompetensi secara global.”
Dengan demikian pendidikan karakter wajib diterapkan dalam setiap pembelajaran.Karakter diajarkan
dengan mengenalkan, menanamkan hingga mengajak siswa sehingga pada akhirnya mereka mampu
mempraktikkan dan memaknainya sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi tindakan perenungan (reflective
action)serta mengembangkannya menjadi pusat keunggulan insani. Dalam implementasi pendidikan karakter,
perencanaan pembelajaran perlu diterapkan untuk mengkoordinasikan karakter yang akan dibentuk dengan
komponen pembelajaran lainnya, yakni standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi, indikator hasil
belajar, dan penilaian. Kompetensi dasar berfungsi mengembangkan karakter peserta didi, materi berfungsi
memaknai dan memadukan kompetensi dasar dengan karakter, indikator hasil belajar berfungsi menunjukkan
keberhasilan pembentukan karakter siswa, sedangkan penilaian berfungsi mengukur pembentukan karakter
dalam setiap kompetensi dasar dan menentukan tindakan yang harus dilakukan apabila karakter yang telah
ditentukan belum terbentuk atau belum tercapai (Dharma, 2012).
Adapun implementasi kurikulum 2013 dalam pendidikan karakter siswa Sekolah Dasar saat proses
pembelajaran sekolah. Proses pembelajaran kurikulum 2013 terdiri atas pembelajaran intra-kurukuler dan
ekstra-kurikuler.
1. Intra-Kurikuler
Adapun pembelajaran intra-kurikuler didasarkan pada prinsip berikut:
a. Proses pembelajaran intra-kurikuler adalah proses pembelajaran yang berkenaan dengan mata pelajaran
dalam struktur kurikulum dan dilakukan dikelas, sekolah, dan masyarakat.
b. Proses pembelajaran di SD/MI berdasarkan tema serta recana pelaksanaan pembelajaran yang
dikembangkan oleh guru.
c. Proses pembelajaran didasarkan atas prinsip pembelajaran aktif untuk menguasai kompetensi dasar dan
kompetensi inti pada tingkat yang memuaskan.
2. Ekstra-Kurukuler
Yang dimaksud pembelajaran ekstra-kurukuler adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas yang
dirancang sebagai kegiatan yang dilakukan sebagai kegiatan diluar kegiatan pembelajaran terjadwal secara
rutin.Seperti kegiatan pramuka yang wajib diikuti oleh semua siswa.
Kegiatan ekstra-kurikuler adalah bagian yang tak terpisah dalam kurikulum. Kegiatan ekstra-kurikuler
berfungsi untuk :
a. Mengembangkan minat peserta didik terhadap kegiatan tertentu yang tidak dapat dilakukan melalui
pembelajaran dikelas.
b. Mengembangkan kemampuan yang terutama berfokus pada kepemimpinan, hubungan social, dan
kemanusiaan serta berbagai ketrampilan hidup.
Pendidikan karakter merupakan poin penting dalam ruang lingkup kurikulum 2013, berikut ini peran
kurikulum 2013 dalam pembentukan karakter siswa :
1. Pendidikan karakter pada kurikulum 2013 melibatkan lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam pembentukan pendidikan karakter
siswa. Adapun lingkungan rumah, sekolah, dan lingkungan bermain murid.Disini perlu adanya kerjasama antara
pihak sekolah dengan orang tua siswa untuk selalu memperhatikan tumbuh kembang anak agar terjauh dari hal
yang tidak baik.
2. Proses Keteladanan dan Pembiasaan
Sebenarnya proses penanaman kebaikan itu tidak bisa dijejalkan dari luar. Anak-anak butuh contoh
keteladanan kebaikan dalam diri mereka. Pembiasaan (habituation) adalah proses menanamkan kebiasaan
43
tentang yang baik sehingga guru dan siswa memahami,mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Guru
berupaya menanamkan kebaikan di benak anak didik seperti mengukir cita rasa kebaikan dalam diri mereka,
sehingga perilaku baik akan menjadi suatu kebiasaan.
3. Proses pendidikan karakter di sekolah
Harus ada perubahan paradigma dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bukan hanya merupakan prakarsa
bagi terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga meliputi transfer nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dan mempersiapkan siswa menghadapi
kehidupan sesuai dengan zaman mereka. Itulah arah kurikulum 2013, yaitu peningkatan kompetensi yang utuh
antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap.(http://www.lpmpjateng.go.id/web/index.php/arsip/artikel/876-
peran-kurikulum-2013-dalam-pendidikan-karakter-bangsadiakses pada 7 Januari 2017 Pukul 16.30 WIB).
Berikut ini merupakan nilai karakter yang terbentuk dalam implementasi kurikulum 2013, antara lain
1. Jujur, dibentuk dengan terkontrolnya siswa melalui tes yang dilakukan ketika mereka menyelesaikan
ujian maupun ulangan.
2. Kerja keras, tumbuh dengan sendirinya, karena kurikulum 2013 memperhatikan sekali pengetahuan
dan ketrampilan siswa. Dengan adanya ranking kelas maka siswa harus bekerja keras memahami dan
mempelajari materi yang diajarkan.
3. Disiplin, turut tumbuh dengan sendirinya melalui tegasnya peraturan dalam pembelajaran dan dalam
ruang lingkup sekolah. Dengan adanya hukuman bagi murid yang tidak disiplin.
4. Kerjasama, siswa sering diperintahkan bekerja sama dalam melakukan tugas kelompok. Tugas
kelompok membuat murid lebih berani lagi untuk berpendapat dan melatih kepercayaan murid dalam
melakukan sesuatu.
5. Percaya diri, merupakan salah satu poin yang sangat penting untuk tumbuh kembang seorang anak,
yang dimana guru dituntut untuk menjadikan siswanya menjadi sosok yang percaya pada dirinya
sendiri.
6. Tanggung jawab, sikap yang paling utama seseorang harapan yang ada pasa seseorang disekeilingnya.
Contoh yang diterapkan oleh guru seperti halnya guru harus datang tepat waktu.
SIMPULAN
Dalam penyempurnaan kurikulum 2013 tedapat keunggulan diantaranya munculnya pendidikan karakter
yang telah diintegrasikan kedalam semua pogram studi.
Demikian juga pendidikn karakter di Sekolah Dasar wajib diterapkan/diajarkan dengan mengnalkan,
menanamkan hingga mengajak siswa untuk mempraktekkan. Implementasi kurikulum 203 dalam pendidikan
karakte siswa Sekolah Dasar dapat dilaksanakan baik dalam kegiatan Intra kurikuler maupun Ekstra kurikuler.
Disamping itu peran kurikulum 2013 dalam pembentukan karakter siswa melibatkan lingkungan (lingkungan
rumah, sekolah, lingkungan bermain), proses keteladanan dan pembiasaan dan proses pendidikan karakter di
sekolah.
Adapun nilai karakter yang terbentuk dalam kurikulum 2013 khususnya untuk Sekolah Dasar antara lain
jujur, kerja keras, disiplin, kerjasama, pecaya diri dan tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mulyasa.2013. Buku Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Rosda
2. Kemendikbud.2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 SD Kelas IV. Jakarta:
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan
3. Kemdikbud, 2013.Pengembangan Kurikulum 2013. Jakarta : Kemdikbud.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
5. Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
6. Standar Nasional Pendidikan.
7. Kurniasih, I dan Berlin Sani, 2014. Sukses Mengimplementasikan Kurikulum 201. Jakarta: Kata Pena.
8. UU No. 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional
9. Tuti. 2014. Kurikulum 2013 dalam Prespektif Pendidikan Nasional. Jakarta: Kemendikbud
10. Sunarti, Selly R. 2014. Penilaian Dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: C.V Andi Offset
11. Dharma Kesuma.2012. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktis di Sekolah. Bandung:
Rosdakarya
44
Pendekatan saintifik kurikulum 2013 pada pembelajaran
seni budaya (seni tari)
Gusyanti
Abstract. Pengembangan kurikulum selalu dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan peradaban manusia.
Perkembangan disegala aspek kehidupan yang begitu pesat juga merambah pada dunia pendidikan. Pendidikan
merupakan salah satu pemicu untuk dapat merubah hidup pada eranya. Agar pendidikan memiliki arah maka
diperlukan kurikulum untuk mengatur pelaksanaannya. Kurikulum 2013 dirancang untuk memperkuat kompetensi
siswa dari sisi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara utuh. Konsep integrated memuat kompetensi dasar tiap
mata pelajaran mencakup kompetensi dasar secara menyeluruh. Semua mata pelajaran dirancang mengikuti rumusan
tersebut, termasuk matapelajaran Seni Budaya. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (UU SisDikNas no 20 Tahun 2003).
Pelajaran Seni Budaya dirancang sebagai pembelajaran yang memiliki output peserta didik yang memiliki sikap
sesuai dengan pencanangan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
PENDAHULUAN
Pengembangan kurikulum selalu dilakukan untuk menyesuaikan perkembangan peradaban manusia.
Perkembangan disegala aspek kehidupan yang begitu pesat juga merambah pada dunia pendidikan. Pendidikan
merupakan salah satu pemicu untuk dapat merubah hidup pada eranya. Agar pendidikan memiliki arah maka
diperlukan kurikulum untuk mengatur pelaksanaannya. Kurikulum 2013 dirancang untuk memperkuat
kompetensi siswa dari sisi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara utuh. Konsep integrated memuat
kompetensi dasar tiap mata pelajaran mencakup kompetensi dasar secara menyeluruh. Semua mata pelajaran
dirancang mengikuti rumusan tersebut, termasuk matapelajaran Seni Budaya. Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman (UU SisDikNas no 20 Tahun 2003). Pelajaran Seni Budaya dirancang sebagai pembelajaran yang
memiliki output peserta didik yang memiliki sikap sesuai dengan pencanangan Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa.
Pendidikan Seni Budaya terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Kelompok bidang seni pertunjukan, yang terdiri atas: seni tari, musik, karawitan, teater, dan pedalangan
2. Kelompok bidang seni rupa, yang terdiri atas: seni lukis, patung, desain komunikasi visual, desain
interior dan teknik furnitur, animasi, dan seni grafis.
3. Kelompok bidang seni kriya, terdiri atas: seni kriya kulit, kayu, logam, tekstil, keramik.
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1. pengembangan, pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi
peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa,
2. Perbaikan, memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan
potensi peserta didik yang lebih bermartabat,
3. Penyaring, untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
Pembelajaran karakter bangsa, terdiri atas: Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, dsb. Selain itu pembelajaran tersebut sebagai sarana untuk mengenalkan nilai-nilai
yang terkandung di dalam karya seni, untuk membentuk sikap apresiasif terhadap karya seni budaya, dalam hal
ini membekali pengetahuan bidang seni budaya. Praktik berkarya seni, mengeksplorasi lingkungan, dan
mewujudkan gagasan dalam bentuk karya seni merupakan proses mengasah kompetensi keterampilan.
Kurikulum 2013 mengembangkan proses pembelajaran dengan menekankan pada dimensi pedagogik
modern. Pendekatan ilmiah (saintifik appoach) yang diterapkan dengan asumsi bahwa dengan mengetahui dan
mau malakukan sehingga menemukan akan memberikan kebermaknaan dalam pembelajaran. menggali
informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data
atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta.
Untuk mata ajar, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat
diaplikasikan secara prosedural. Artinya pada pembelajaran Seni Budaya sangat memungkinkan pendekatan
saintifik tidak dilakukan secara urut mulai dari proses mengamati hingga mengkmunikasikan.
45
Langkah Pembelajaran Saintifik pembelajaran Seni Budaya:
a. Mengamati Mengamati dapat dilakukan dengan babagai kegiatan. Intinya dalam pengamatan ini melibatkan berbagai
indera untuk mendapatkan informasi tertentu. Mengamati dalam pembelajaran Seni Budaya dapat diartikan
dengan melihat obyek, meraba dengan rasa, mendengarkan suara, dsb. Mengamati mengutamakan
kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti
menyajikan media objek secara nyata sesuai dengan bidang seni yang dipelajari. Dalam proses mengamati jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran. Mengamati sangat bermanfaat bagi
pemenuhan rasa ingin tahu siswa. Metode observasi sangat memberikan kesempatan pada diri siswa
menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek pengamatan dengan materi pembelajaran. Contoh:
pengamatan dalam bidang seni tari: mengajak siswa melihat berbagai hewan dengan kehidupannya untuk
mendapatkan ide dalam berkarya tari.
b. Menanya Materi pembelajaran merupakan obyek dalam pembelajaran. Bagaimana guru memberikan stimulus terhadap
siswa adalah hal yang sangat penting. Siswa akan hanyut dalam apersepsi yang disampaikan guru. Obyek
tertentu yang menarik peserta didik akan menimbulkan kesan. Kesan yang tercipta akan menimbulkan
keingintahuan lebih jauh. Hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan pertanyaan pada diri siswa. Menanya
merupakan tanggapan verbal siswa dalam pembelajaran.
Kegiatan menanya pada diri siswa dalam pembelajaran Seni Budaya mengacu pada topik atau obyek sebagai
sumber inspirasi dalam proses berkarya seni. Obyek tersebut menjadi sumber inspirasi yang akan dilakukan
pada proses kreatif dalam mewujudkan produk karya seni. Contohnya: Siswa atau guru menanyakan tentang
berbagai hal tentang obyek pertunjukan tari etnis dengan alat bantu media digital yang disampaikan dalam
apresepsi yang dilakukan guru.
c. Menalar Pembelajaran adalah proses panjang yang bertujuan mulia mengembangkan berbagai kepribadian peserta
didik. Menalar merupakan proses lanjutan keingintahuan yang didapat dalam rangka ingin mendapatkan
kejelasan. Penalaran proses analisis dalam rangka mengadopsi berbagai fakta-kata empiris yang dapat di
eksplorasi berupa pengetahuan dalam bentuk berbagai eksposisi. Aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran
pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori pembelajaran asosiatif.
Pembelajaran Seni Budaya sangat erat dengan pembelajaran asosiatif karena pembelajarannya menutut
kebersamaan interaksi dan melakukan proses kreatif dalam menghasilkan karya seni. Menurut teori asosiasi,
proses pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan siswa.
Kolaborasi antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran merupakan implementasi teori pembelajaran
asosasi yang dikemukakan oleh ahli pendidikan Thorndike. Stimulus yang dilakukan guru dan respon yang
dilakukan siswa atau sebaliknya merupakan aktivitas aktif dalam pembelajaran Seni Budaya. Contoh:
Mendeskripsikan berbagai macam obyek tentang Tari Kijang (Seni Tari). Hasil analisis yang dilakukan
bersama antara guru dan siswa mengenai hewan kijang dis deskripsikan siswa. Pendeskripsiannya antara laia:
kijang adalah hewan, makanannya rumput, berkaki empat, hidupnya berkelompok, cara berjalannya... dan
seterusnya. Deskripsi tetang hewan kijang merupakan hasil menalar yang akan menjadi ide untuk digarap
menjadi garapan “tari kijang” yang akan dilaksanakan secara kreatif.
d. Mencoba Mencoba dalam hal ini lebih jelasnya adalah proses improvisasi dan eksplorasi gerak. Obyek yang diolah
menjadi gerak melalui proses kreatif dengan mencoba melakukan ide berdasarkan kemampuan mencoba gerak.
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, siswa harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Ranah tujuan pembelajaran adalah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Mencoba atau penerapan metode eksperimen untuk mengembangkan berbagai kemampuan varian
dari ranah tujuan pembelajaran. Implementasinya dalam pembelajaran Seni Budaya (Seni Tari) adalah
bereksplorasi atau melakukan berbagai gerak berdasarkan deskripsi hasil dari langkah menalar. Contohnya:
Melakukan gerak berdasarkan deskripsi cara berjalannya kijang. Hasil mencoba gerak kijang bejalan akan
didapatkan berbagai macam gerakan. Langkah ini dilakukan dengan melakukan eksplorasi gerak sesuai dengan
deskripsi-deskripsi hasil kegiatan menalar. Hingga akhirnya terakumulasi berbagai macam gerak yang dapat
dikemas menjadi sebuah tari sederhana bertema hewan kijang.
e. Mengomunikasikan/ Jejaring Jejaring dalam pembelajaran Seni Tari akan dapat dilakukan dengan sangat beragam dengan mata pelajaran
yang lain. Dengan metode yang variatif akan mengkondisikan suasana pembelajaran menyenangkan. Jejaring
Pembelajaran disebut juga Pembelajaran Kolaboratif. merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar
sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya
hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara
baik dan disengaja untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
46
Implementasi langkah mengomunikasikan, dalam pembelajaran Seni Budaya (Seni Tari) adalah
mementaskan hasil karya tari. Pementasan karya seni tari dapat dilakukan dengan sederhana hingga dengan cara
yang representatif (total performance). Artinya pementasan hasil karya seni tari dapat dipentaskan di depan
kelas bersama guru dan teman sekelas, tetapi dapat juga dipentaskan dalam even formal dengan didukung
estetika pementasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miarso Yusufhadi. 2004. Menyemai benih teknologi Pendidikan. Jakart: Kencana.
2. Soedarso,Sp. 1988. Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni, ISI, Yogyakarta.
3. Suryahadi Agung. 2009. Pengembangan Seni. Yogyakarta: PPPPTK Seni dan Budaya.
4. http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/permendikbud-tentang-kurikulum-tahun-2013.
5. http://ainamulyana.blogspot.co.id/2014/09/download-permendikbud-no-57-58-59-61-62.html.
6. http://senibudaya12.blogspot.com/2012/05/aneka-gambar-tari-tradional.html.
7. Wardhana, RM Wisnoe. 1990. Pendidikan Seni Tari . Jakarta. Departemen pendidikan dan
Kebudayaan.
8. Gay, L.R. (1991). Educational Evaluation and Measurement: Com-petencies for Analysis and
Application. Second edition. New York: Macmillan Publishing Compan.
9. Purwanto, Ngalim. 1984. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
10. Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Reneka Cipta.
11. https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013
12. http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2236/1/kurikulum.2013
13. http://www.academia.edu/4005036/PROGRAM_KERJA_KURIKULUM_2013_2014