Top Banner
PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Palembang, 28 Oktober 2015 Editor: Prof. Dr. Ir. Gustan Pari, M.Sc Hak Cipta oleh Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seper berikut: Untuk siran seluruh buku, ditulis: Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang (2016). Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Penelian, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Penelian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Untuk siran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Penelian, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Penelian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ........... ISBN: 978-602-98588-5-3 Prosiding ini diterbitkan oleh: Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Badan Penelian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alamat: Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Pun Kayu - Palembang Telp (0711) 414864, Fax (0711) 414864 E-mail: [email protected] Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA Balai Penelian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang TA. 2016
254

PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Nov 28, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

PROSIDING

LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

Palembang, 28 Oktober

2015

Editor:

Prof. Dr. Ir. Gustan

Pari, M.Sc

Hak Cipta oleh Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan non komersial lainnya

dengan mencantumkan sumbernya, seper� berikut:

Untuk si�ran seluruh buku, ditulis: Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

(2016). Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28

Oktober

2015.

Balai Peneli�an dan Pengembangan

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi.

Bogor.

Untuk si�ran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi "Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan", 28 Oktober 2015. Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Badan Litbang dan Inovasi.

Bogor.

Halaman

...........

ISBN:

978-602-98588-5-3

Prosiding ini diterbitkan oleh:

Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Alamat:

Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Pun� Kayu -

Palembang

Telp (0711) 414864, Fax (0711) 414864

E-mail: [email protected]

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA

Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang

TA. 2016

Page 2: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

ISBN: 978-602-98588-5-3

Prosiding

Lokakarya Teknisi Litkayasa

Lingkup Badan Peneli�an, Pengembangan dan Inovasi

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Palembang, 28

Oktober

2015

Editor:

Prof. Dr. Ir. Gustan

Pari, M.Sc

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI

BALAI LITBANG

LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PALEMBANG

2016

Page 3: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …
Page 4: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

iii

KATA PENGANTAR

Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen�ng di lingkup Badan Litbang dan Inovasi, karena menjadi mitra bagi peneli� dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta s ebagai pelaksana formula-formula yang telah dihasilkan oleh para peneli�. Untuk mendukung peran pen�ng tersebut, perlu upaya peningkatan pengetahuan ilmiah Teknisi Litkayasa melalui penyelenggaraan lokakarya.

Lokakarya Teknisi Litkayasa yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober

2015

di Ruang Rapat Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang dengan tema “Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�a n Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”, juga dilatarbelakangi masih minimnya wadah ilmiah bagi Teknisi Litkayasa di lingkup Badan Litbang dan Inovasi (BLI) untuk saling asah, asih dan asuh melalui diskusi, transfer pengetahuan dan sharing pengalaman, serta untuk mendapatkan umpan balik (feed back) bagi peningkatan kualitas peneli�an dan pengembangan.

Lokakarya menampilkan presentasi serta sharing pengalaman 18 orang teknisi litkayasa dari hasil pendampingan beragam kegiatan litbang di instansi mas ing-masing. Peserta kokakarya melipu� Teknisi Litkayasa lingkup BLI, peneli�, penyuluh, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), perwakilan dari KPH lingkup Provinsi Sumsel, serta Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si sebagai pembicara kunci dan mo�vator bagi teknisi li tkayasa agar semakin semangat berkarya sebagai teknisi litkayasa.

Prosiding ini memuat semua makalah yang dipresentasikan, makalah penunjang serta proses sharing pengalaman dan transfer pengetahuan yang berlangsung pada lokakarya. Apresiasi dan ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan lokakarya dan dalam penyusunan prosiding ini. Palembang, Juli 2016

Kepala Balai,

Ir. Choirul Akhmad, ME

NIP. 19670129 199403 1 007

Page 5: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

iv

Page 6: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

.............................................................................................................

iii

DAFTAR ISI

..........................................................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN

.............................................................................................................

vii

SAMBUTAN

.........................................................................................................................

ix

RUMUSAN

...........................................................................................................................

xi

MAKALAH UTAMA

1.

Aklima�sasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan

Endin Izudin

(BBPTH Yogyakarta)

................................................................................

1

2.

Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama (F-1)

Surip

(BBPTH Yogyakarta).............................................................................................

7

3.

Penggunaan

Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air Untuk Pemadaman

Kebakaran Hutan Dan Gambut

Eko Priyanto dan Yusnan

(BPK Banjarbaru)

.................................................................

15

4.

Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan di Balai Peneli�an

Teknologi perbenihan Tanaman Hutan

Anggun Musyarofah,

Danu dan

Dwi Harya� (BPTPTH Bogor)

....................................

21

5. WPC (Wood Plas�c Composite) Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok) .................................................................................... 33

6. Persepsi Masyarakat Mollo Terhadap Keberadaan Segi�ga Kehidupan (Manusia, Ternak dan Hutan) Di Cagar Alam Gunung Mu�s

Oskar K.

Oematan

(BPK Kupang)

..................................................................................

37

7.

Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Ja� Bonak Kecamatan Biboki

Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara

Mar�nus Lalus

(BPK Kupang)

.......................................................................................

45

8.

Teknik Pembibitan Bidara laut

Gipi Samawandana

(BPK Mataram)

.............................................................................

53

9.

Teknik

Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu

Mansyur

(BPK Mataram)

..............................................................................................

59

10.

Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan

Finishing Kayu Yang

Murah

Darta

(Puslitbang Hasil Hutan

Bogor)

..........................................................................

67

11.

Hubungan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah

Terhadap Kewenangan Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

Muhamad Fajri

(BPK Samarinda)

.................................................................................

71

12.

Adopsi Lebah Apis Cerana Solusi Peningkatan

Kualitas Hidup Pegawai Litbang

Hendra Sanjaya dan Aam Hasanudin

(BPK Aek Nauli)

................................................

79

13.

Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja

Yusub Wibisono

(BPTKSDA Samboja)

...........................................................................

85

Page 7: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

vi

14.

Teknik Pemindahan Koloni Trigona ke dalam Stup

Edi Kurniawan

(BPK Mataram)

....................................................................................

97

15.

Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bi� Menggunakan Fungi

Mikoriza

Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil

Edi Kurniawan

(BPK Makasar)

......................................................................................

101

16.

Pengaruh Kanalisasi Dalam Pengelolaan Lahan Gambut Terhadap Kebakaran

Hutan

Johan P.

Tampubolon

(BPK Palembang)

......................................................................

115

17.

Silvikultur Prak�s Tembesu untuk Peningkatan Produk�vitas

Syaiful Islam

(BPK Palembang)

.....................................................................................

121

18.

Teknik Pemantauan Hot Spot Dalam Mendukung Kegiatan Peneli�an

Joni Muara

(BPK Palembang)

.......................................................................................

127

MAKALAH PENUNJANG

1.

Hama yang Berpotensi Menyerang Tanaman Acacia sp

di Arboretum

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

Agus

Winarsih

(BPTSTH Kuok)

......................................................................................

135

2.

Pembangunan Plot Konservasi Jenis Kulim (Scorodocarpus borneensis)

di KHDTK Bukit Suligi

Arifin Budi Siswanto dan

Eko Sutrisno

(BPTSTH Kuok)

.................................................

147

3. Informasi Teknis Bisbul (Diospyros blancoi)

Kosasih dan Agus Winarsih (BPTSTH Kuok) ................................................................. 157

4. Petunjuk Teknis Budidaya Galo-Galo (Trigona itema) Syasri Janne�a, Irwan dan Rozi Hardinasty (BPTSTH Kuok) ........................................ 165

5.

Petunjuk teknis Mendapatkan Bibit/Koloni Apis cerana Suhendar dan Syasri Janne�a

(BPTSTH Kuok)

.............................................................

181

6.

Petunjuk Pengelolaan Arboretum

BPTSTH Kuok

Agus Winarsih dan Sunarto

( BPTSTH Kuok)

................................................................

185

7.

Pembuatan Pot Organik dengan Metode Hot Press dan Vacuum

Eko Sutrisno dan Andi Matalata Putra

(BPTSTH Kuok)

................................................

195

8.

Demonstrasi Mesin Pencacah Sampah

Dedaunan Kering sebagai Bahan

Pembuatan Pupuk Organik

Agus Hidayat,

Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur

(Puslitbang

Hasil Hutan)

.........

205

9.

Proses Pembuatan Kertas dari Limbah Pelepah Pisang

Setyani Budi Lestari dan Yuswita

(Puslitbang

Hasil Hutan)

..........................................

205

10.

Perkembangan Istrumentasi Spektroskopi

Neta Rahma�sari

(Puslitbang

Hasil Hutan)

..................................................................

213

11.

Inovasi Fourier Transform Infrared (FTIR)

Suci Aprianty Wa�

(Puslitbang

Hasil Hutan)

................................................................

219

12.

Menyemai Benih Unggul Peneli� dari Trubusan Teknisi Litkayasa

Fajri Ansari

(BPK Makasar)

...........................................................................................

223

Page 8: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Susunan Acara

Lokakarya

..............................................................................................

233

2.

Da�ar Peserta

Lokakarya

..............................................................................................

234

3.

Susunan Pani�a

Lokakarya

............................................................................................

236

4.

Notulensi

Lokakarya

......................................................................................................

237

Page 9: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

viii

Page 10: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

ix

SAMBUTAN SEKRETARIS BADAN LITBANG DAN INOVASI

PADA LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA

LINGKUP BADAN LITBANG DAN INOVASI

PALEMBANG, 28

OKTOBER 2015

Kepada yang terhormat:

1.

Kepala Balai

Peneli�an Kehutanan Palembang

2.

Kepala Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli

3.

Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si

4.

Para pejabat struktural di lingkup BPK Palembang

5.

Teman-teman Teknisi Litkayasa dan Laboran lingkup BLI

6.

Hadirin para undangan yang saya horma�.

Assalamualaikum Wr.Wb.

Sepatutnya kita senan�asa mengawali segala ak�vitas kita dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kemurahan yang masih kita terima terutama berupa kesehatan dan kesempatan sehingga kita

semua dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka Lokakarya Teknisi Litkayasa lingkup Badan Litbang dan Inovasi.

Hadirin yang berbahagia,

Teknisi Litkayasa merupakan jabatan fungsional yang sangat pen�ng di lingkup BLI -KLHK karena menjadi mitra bagi peneli� dan perekayasa dalam mengembangkan iptek yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah serta dalam memikirkan dampak penerapan hasil peneli�an terhadap umat manusia dan lingkungan hidup. Mengingat pen�ngnya keberadaan dan peran Teknisi Litkayasa dalam mendukung keberhasilan kegiatan peneli�an dan pengembangan di lingkup BLI-KLHK maka dibutuhkan adanya ruang atau kesempatan untuk sesama teknisi litkayasa saling bertemu, berdiskusi untuk transfer pengetahuan serta bertukar pengalaman dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang keteknikan. Karnanya, Saya menyambut baik dan mengapresiasi Balai Peneli�an Kehutanan Palembang yang telah berinisia�f menyelenggarakan Lokakarya Teknisi Litkayasa ini.

Selain merefleksikan adanya perha�an serius dan penghargaan terhadap profesi Teknisi Litkayasa di lingkup BLI-KLHK, lokakarya ini juga menjadi ajang berbagi hal baru mengenai teknis keteknisian yang terselenggara sesuai tugas dan fungsi satker masing -masing. Mengingat teknisi �dak berbasis spesialisasi

atau kepakaran, maka moment demikian sangat berguna dalam pengembangan diri seorang teknisi untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mendukung kegiatan pelayanan peneli�an serta untuk saling asah, asih dan asuh melalui berbagi/bertukar pengetahuan, karya dan pengalaman.

Forum ini juga diharapkan menghasilkan sebuah rumusan menyangkut pola pembinaan karir fungsional teknisi litkayasa ke depan, membahas peranan dan tantangan teknisi untuk terus berperan mendukung peneli�an yang terus berkembang, serta strat egi agar kemampuan teknisi mengkaji aspek teknis meningkat dan dengan demikian rekan-rekan teknisi semakin professional di bidangnya. Saya berharap ke depan event semacam ini dapat terselenggara secara kon�nu sebagai wadah yang efek�f untuk meningkatkan

kapasitas dan semangat berkarya rekan-rekan teknisi serta laboran yang berkecimpung dalam ranah keteknikan di lingkup BLI-KLHK. Saya juga berharap dan mendorong rekan-rekan teknisi dan laboran yang hadir agar memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk membentuk Forum Komunikasi

Page 11: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

x

Teknisi Litkayasa Lingkup BLI KLHK. Keberadaan dan fungsi forum khusus teknisi litkayasa pen�ng untuk menjadi media dalam menyalurkan aspirasi, berbagi pengetahuan, karya dan pengalaman, serta wadah untuk memperjuangkan kebutuhan dan harapan-harapan rekan-rekan teknisi dan laboran di lingkup BLI KLHK guna peningkatan profesionalitas di bidang keteknikan.

Akhirnya saya ucapkan selamat melaksanakan lokakarya, saling asah, asih dan asuh antar sesama teknisi litkayasa dan laboran melalui presentasi, demontrasi serta diskusi, baik yang akan dilaksanakan di ruangan ini, hingga esok hari akan melakukan kunjungan ke KHDTK Kemampo. Saya himbau agar seluruh undangan yang hadir saat ini secara khusus kepada semua rekan-rekan teknisi litkayasa

dan laboran agar antusias mengiku� acara dari awal sampai akhir sehingga masing-masing memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk semakin semangat bekerja dan berkarya dalam aspek keteknikan di lingkup BLI-KLHK.

Demikian, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim acara Lokakarya Teknisi Litkayasa ini, saya nyatakan resmi dibuka.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Palembang, 28 Oktober 2015

Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi,

Ir. Tri Joko Mulyono, MM. NIP. 19580713 198503 1 003

Page 12: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

xi

RUMUSAN

Memperha�kan sambutan dan arahan Sekretaris Badan Peneli�an Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pembicara Kunci yang disampaikan Ketua Dewan Riset Prof.

Dr.

Gustan Pari dan

presentasi 18 makalah serta diskusi yang berkembang selama lokakarya teknisi Litkayasa, maka dihasilkan rumusan sebagai berikut:

1.

Hasil lokakarya merupakan salah satu kontribusi seluruh teknisi litkayasa serta seluruh peserta untuk mendukung pengembangan kemampuan teknisi litkayasa dalam rangka pembangunan lingkungan dan kehutanan. Formula yang dipakai dalam pengembangan ini adalah kemitraan antara teknisi litkayasa dengan peneli� dalam melakukan kegiatan peneli�an secara professional sesuai perananya masing-masing.

2.

Pen�ngnya teknisi untuk memahami prinsip-prinsip peneli�an dan langkah-langkah kerja dengan teli� untuk menghasilkan data yang akurat, sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan peneli�an dalam upaya menunjang visi Badan Peneli�an Pengemba ngan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

3.

Transformasi Badan Peneli�an dan Pengembangan menjadi Badan Peneli�an Pengembangan dan Inovasi memberikan kesempatan yang luas dan “strategis” kepada teknisi litkayasa untuk melakukan “inovasi”. Inovasi yang diharapkan adalah menghasilkan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara luas dengan berbasis IPTEK yang telah dihasilkan oleh para peneliti

di

lingkungannya.

4.

Teknisi memiliki peran strategis untuk mencapai tujuan peneli�an dengan bermitra se cara langsung dengan peneli�. Beberapa peran strategis teknisi dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: a. Laboratorium b. Survey potensi dan pengukuran c.

Silvikultur dan Biotekhnologi

d.

Pendampingan masyarakat, Sosial Ekonomi dan Peraturan Perundangan e.

GIS dan

Teknologi Informasi

5.

Sebagai langkah kongkrit dalam untuk meningkatkan kualitas kemitraan,

peningkatan kualitas teknisi diperlukan melalui keikutsertaan dalam pela�han

dan mengiku� pendidikan

pada jenjang yang lebih �nggi (S1, S2 dan S3). Selain itu teknisi dapat beralih

profesi dari peneli� litkayasa menjadi perekayasa.

6.

Untuk memberikan kesempatan kepada teknisi litkayasa dalam bertukar informasi dan menyampaikan hasil kerjanya, maka diperlukan ruang/media

untuk pertemuan antar-teknisi litkayasa dalam bentuk forum teknisi litkayasa seper� sekarang ini dan forum ini dapat dikembangkan menjadi FORUM TEKNISI LITKAYASA DAN FUNGSIONAL LAIN yang mengadakan pertemuan se�ap 2

(dua) tahun sekali dalam bentuk Jambore atau Pekan Inovasi.

Palembang, 28 Oktober 2015

Lokakarya Teknisi Litkayasa

Tim Perumus

Page 13: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

xii

Page 14: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

xiii

MAKALAHUTAMA

Page 15: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …
Page 16: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

1

AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN

Endin

Izudin

Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta

I.

PENDAHULUAN

Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman (sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma) dan menumbuhkannya dalam kondisi asep�k sehingga bagian tersebut berkembang menjadi tanaman lengkap. Pada umumnya teknik kultur jaringan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu: Tahap pertama induksi (penanaman awal), untuk menumbuhkan jaringan tanaman baik berupa tunas maupun kultur kalus dengan tujuan untuk membentuk kultur masal sel/tunas yang belum terdiferensi. Tahap kedua mul�plikasi (perbanyakan), untuk memperbanyak tunas dari hasil tahap pertama dimana tunas yang sudah terbentuk dipotong-potong dengan tujuan untuk memproduksi tunas majemuk. Tahap ke�ga roo�ng (pembentukan akar), yaitu pemindahan tunas terbaik hasil mul�plikasi ke media perakaran dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar sehingga menjadi

planlet yang sempurna. Tahap keempat adalah aklima�sasi, yaitu penyesuaian kondisi

tempat tumbuh dari lingkungan invitro ke tempat tumbuh di rumah kaca dan atau

lapangan agar tanaman mampu beradaptasi terhadap iklim dan lingkungan yang baru (Herawan, 200 0).

Tahapan aklima�sasi ini diperlukan oleh plantlet karena terdapat perbedaan kri�s antara kedua tempat tumbuh tersebut. Tanpa proses aklima�sasi plantlet �dak akan mampu tumbuh dan beradaptasi dengan kondisi luar, kondisi lingkungan tersebut melipu� kelembaban udara, intensitas cahaya, suhu dan media tumbuh (Nugroho dan Sugito, 1996).

Pada umumnya tanaman yang tumbuh secara invitro membutuhkan proses aklima�sasi untuk meningkatkan ketahanan ke�ka dipindahkan ke lapangan. Tujuan aklima�sasi tanam an hasil kultur jaringan adalah untuk menyesuaikan (prakondisi) dari lingkungan invitro ke lingkungan

di rumah kaca dan persemaian, dari kegiatan tersebut diharapkan diperoleh

tanaman yang memiliki formasi

perakaran dan �nggi tunas yang lebih baik dan kokoh.

II.

TEKNIK AKLIMATISASI

Teknik yang paling baik untuk aklima�sasi adalah mengacu pada perubahan suhu dan kelembaban yang lebih rendah, �ngkat pencahayaan yang lebih �nggi dan adaptasi terhadap lingkungan yang �dak asep�k. Proses aklima�sasi dapat

dimulai ke�ka plantlet masih dalam kondisi invitro yang

ditunjukkan dengan telah keluarnya akar seper� pada tanaman cendana.

Plantlet yang akan diaklima�sasi terutama bagian akarnya harus dicuci; dibersihkan dari media tumbuh (agar) dan zat hara yang terdapat pada media, selanjutnya direndam dengan larutan fungisida selama 2-3 menit, sehingga

dapat menekan pertumbuhan organisme penyebab kontaminasi misalnya cendawan/jamur.

Untuk menjaga agar kelembaban udara tetap stabil, plantlet yang telah di tanam dalam media tanah di tutup dengan plas�k bening, setelah dua minggu plas�k penutup di gun�ng pada bagian ujung sedikit demi sedikit hingga tanaman tersebut sepenuhnya terbuka dan siap untuk dipindahkan ke persemaian.

Yang harus diperha�kan pada tahap aklima�sasi, adalah sebagai berikut:

Page 17: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

2

A.

Ruang Aklima�sasi

Aklima�sasi tanaman hasil kultur jaringan dilakukan di rumah kaca. Kondisi yang dibutuhkan pada saat aklima�sasi tergantung pada jenis

tanaman dan kualitasnya. Secara umum faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklima�sasi adalah:

1.

Kelembaban

Mempertahankan kelembaban rela�f yang �nggi untuk beberapa hari pertama setelah aklima�sasi merupakan hal yang pen�ng untuk meningkatkan daya hidup plantlet. Penurunan kelembaban dan penurunan intensitas cahaya harus sepelan mungkin dilakukan untuk membentuk tanaman yang makin kuat sehingga tanaman �dak stres. Beberapa teknik mendapatkan kelembaban yang sesuai adalah dengan menggunakan sistem penutupan dengan kantong plas�k bening (sungkup), sistem ini terbuk� lebih baik dan rela�f murah dan mudah dalam pengerjaannya.

2.

Cahaya

Pada kondisi invitro,

tanaman disinari pada �ngkat cahaya yang rendah. Bila tanaman langsung dipindahkan pada kondisi dengan �ngkat cahaya yang �nggi maka daun akan menjadi kering seper� terbakar. Untuk itu pada saat tanaman diaklimat isasi perlu diberikan naungan, yang akan mengurangi transpirasi dan kelebihan cahaya yang dapat merusak molekul klorofil. Setelah beberapa waktu di bawah naungan, tanaman secara perlahan -lahan dipindahkan ke kondisi pencahayaan sebenarnya dimana tanaman akan di tanam.

3.

Temperatur

Kondisi di ruang aklima�sasi (rumah kaca) diusahakan mempunyai suhu berkisar antara

25o-30oC. Pengaturan suhu dapat juga dilakukan dengan melakukan penyiraman, fen�lasi terkontrol dan sistem pengkabutan.

B. Tahap Aklima�sasi 1.

Seleksi plantlet

Plantlet yang akan di aklima�sasi terlebih dahulu diseleksi, seleksi plantlet melipu� kondisi penampakan batang dan akar, plantlet siap untuk diaklima�sasi ditandai dengan batang hijau tua dan telah mempunyai akar tunggang dan akar rambut

2.

Sterilisasi plantlet

Plantlet hasil seleksi dibawa ke ruang aklima�sasi (rumah kaca) kemudian dikeluarkan

dari botol dengan menggunakan pinset, mengeluarkan planlet dilakukan secara ha� -ha� supaya akar

�dak putus. Planlet dibersihkan dari media agar dengan cara dicuci pada air mengalir, selanjutnya direndam pada larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/liter selama 2 -3 menit.

3.

Penyiapan media aklima�sasi

Media yang digunakan untuk aklima�sasi disesuaikan dengan jenis yang akan di tanam, pada umumnya media yang digunakan adalah top soil, pasir halus, sekam padi, vermikulit dan kompos. Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara media di goreng, di siram dengan air mendidih dan penyiraman dengan fungisida. Dalam hal penyiapan dan pemilihan media ada beberapa hal yang harus diperha�kan, yaitu antara lain: media cukup terjaga kebersihannya (terbebas dari mikroba), media cukup aerasi (porositas) dan media cukup mengandung makanan yang dibutuhkan.

Page 18: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

3

4.

Penanaman plantlet

Sebelum plantlet di tanam terlebih dahulu media tanam di siram dengan air secukupnya, kemudian di buat lubang tanam. Pada saat penanaman dilakukan secara ha� -ha� mengingat formasi perakaran yang halus dan mudah patah. Penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan di tempat yang terlindung dari sinar matahari.

5.

Pemeliharaan plantlet

Kegiatan pemeliharaan melipu� penyiraman, buka tutup sungkup (sungkup masal), penggun�ngan ujung sungkup (sungkup tunggal) dan penyiangan. Pembukaan dan penggun-�ngan sungkup dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit �ap minggu hingga keseluruh-annya terbuka.

C.

Teknik Penyungkupan

Penyungkupan yaitu suatu teknik untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban, serta meningkatkan daya tahan terhadap cahaya matahari secara langsung. Penyungkupan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1.

Sungkup tunggal

Sungkup tunggal yaitu sungkup yang dilakukan satu persatu terhadap se�ap tanaman. Penggunaan sungkup tunggal untuk skala besar secara ekonomis �dak menguntungkan dan memakan waktu, tetapi kelebihannya suhu

dan kelembaban yang diperoleh tanaman dapat

lebih stabil.

2.

Sungkup masal

Sungkup masal yaitu penyungkupan yang dilakukan terhadap seluruh tanaman, misalnya dalam satu bedeng atau areal tertentu. Pengaturan s uhu dan kelembaban dilakukan dengan cara buka tutup, secara ekonomis penggunaan sungkup ini lebih menguntungkan dan lebih prak�s.

III.

APLIKASI DI KEHUTANAN

Tanaman hasil kultur jaringan Khususnya tanaman kehutanan secara umum masih sulit

untuk dipelihara sesuai dengan kondisi rumah kaca

karena masih sangat peka. Oleh karena itu, perlu ada tahap aklima�sasi atau penyesuaian untuk menghadapi kondisi yang sulit bagi tanaman yang lemah terutama menghadapi transisi dari media agar ke media tanah. Sehingga diharapkan tanaman mempunyai perakaran yang lebih baik, ke�nggian tunas yang memadai dan lebih kokoh.

Tanaman kehutanan yang telah dikembangkan perbanyakannya

melalui kultur jaringan adalah: ja�, cendana, acacia, eucalyptus, suren, hasil pengamatan persen tumbuh untuk jenis tanaman tersebut tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk jenis: ja�, acacia, eucalyptus dan suren mempunyai persen tumbuh �nggi, hal tersebut dikarenakan formasi akar telah cukup kuat sehingga mampu menyesuaikan pada media

tanah.

Sedangkan untuk jenis cendana

(Santalum album) karakteris�k formasi perakarannya miskin akar rambut walaupun sudah terbentuk sehingga banyak mengalami kema�an dengan persen tumbuh kecil, disamping itu jenis ini �dak bisa berdiri sendiri hidupnya

sehingga diperlukan adanya tanaman inang.

Page 19: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

4

Tabel 1.

Persen Tumbuh Beberapa Tananaman Hasil Aklima�sasi di rumah kaca BBPBPTH

No

Jenis Tanaman

Komposisi Media

Jumlah

Diaklima�sasi

Jumlah

Hidup

Persen Tumbuh

1.

Ja� (Tectona grandis)

Top soil

+

Kompos

+

arang sekam padi (2:1:1)

57

50

87,7

2.

Acacia mangium

Top soil

+

Kompos

+

arang sekam padi (2:1:1)

46

39

84,8

3.

Eucalyptus pellita

Top soil

+

Kompos

+

arang sekam padi (2:1:1)

55

51

92,7

4

Toona sinensis

Top soil

+

Kompos

+

arang sekam padi

(2:1:1)

68

65

95,6

5.

Santalum album

Top soil

+

Kompos

+

arang sekam padi (2:1:1)

62

41

66,1

Tanaman inang untuk di persemaian yang banyak digunakan pada umumnya jenis krokot merah (Altenanthera

sp.). Lebih lanjut menurut Surata (2001) dinyatakan bahwa krokot merah merupakan tanaman inang primer yang paling baik untuk membantu pertumbuhan cendana. Selain itu krokot merah memenuhi syarat sebagai inang primer, yaitu mudah tumbuh kembali setelah dipangkas, mudah didapat, �dak menimbulkan kompe�si, s istem perakaran sukulen dan sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya. Berikut gambar formasi perakaran tanaman hasil kultur jaringan jenis Cendana dan tanaman Suren.

Gambar 1.

Formasi Perakaran Cendana dan Suren

Menurut Bonga (1985) beberapa masalah yang juga dialami oleh tanaman kehutanan (berkayu) dari hasil kultur jaringan pada saat akan dipindahkan ke lapangan, yaitu:

1.

Planlet �dak dapat bertahan hidup jika dipindah secara �ba-�ba

2.

Planlet mengering setelah dipindahkan

3.

Damping off yang disebabkan oleh jamur, dan

4.

Terjadi dorman jika planlet terlalu besar pada saat dipindahkan

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan aklima�sasi, dimana aklima�sasi dari tanaman berkayu bervariasi antara satu jenis dengan jenis lainnya,

tergantung pada sistem yang digunakan dan respon jenis tanaman terhadap manipulasi setelah dikulturkan.

Alterna�f yang sering digunakan adalah dengan mengakarkan plantlet pada media non agar secara invivo, misal pada vermikulit atau media lainnya, dari kondisi ini plantlet kemudian dapat diaklima�sasi.

Page 20: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

5

IV.

PENUTUP

Aklima�sasi adalah pengkondisian plantlet atau tunas mikro di lingkungan baru yang asep�k di luar botol dengan media tanah sehingga plantlet dapat bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Pada tahap ini planlet diisolasi di greenhouse atau rumah plas�k.

Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru dikatakan berhasil jika plantlet dapat diaklima�sasi ke kondisi eksternal dengan �ngkat keberhasilan yang �nggi . Tahap ini merupakan tahap kri�s karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plas�k dan lapangan sangat jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol. Planlet lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi suhu dan kelembaban �nggi, asep�k serta cukup suplai hara mineral dan sumber energi.

DAFTAR PUSTAKA

Bonga, J.M. 1985. Tissue Culture Technique.

Tissue Culture in Forestry.

Mar�nus Nijhoff/DR.W.Junk. Publ . Nedherlands.

Herawan, 2000. Teknik Aklima�sasi Kultur

Jaringan Cendana (Santalum album

Lin.). Informasi

Teknis Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta .

Nugroho, A. & H. Sugito., 1996. Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta .

Surata, K., 2001. Sekilas Mengenai Cendana. Edisi Khusus masalah cendana NTT. Berita Biologi. Balai Peneli�an dan Pengembangan Botani. Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor .

Page 21: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

6

Page 22: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

7

PEMBANGUNAN KEBUN BENIH SEMAI

GENERASI PERTAMA (F-1) JENIS Acacia mangium

Surip

Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta

I.

PENDAHULUAN

Uji keturunan adalah cara untuk menduga susunan gene�s suatu individu dengan meneli� sifat-sifat keturunannya (Soeseno, 1985). Sistem uji keturunan ada

dua macam yaitu sistem sub-line yaitu uji keturunan dibangun berdasarkan masing-masing

provenansi atau asal sumber benih

secara terpisah satu dengan lainnya

dan sistem single popula�on yaitu uji keturunan dibangun dengan cara menggabungkan dari

beberapa provenansi atau sumber benih dalam satu plot uji keturunan. Pada umumnya setelah dilakukan serangkaian seleksi plot uji keturunan nan�nya akan dikonversi menjadi kebun benih yang dapat menghasilkan sumber benih unggul.

Dalam era sekarang ini kebutuhan akan benih unggul sudah �dak bisa dielakan lagi, hal ini terbuk� banyak animo masyarakat dan para pengusaha hutan mencari informasi benih unggul sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat maupun hutan tanaman industri. Jenis Acacia mangium saat ini merupakan salah satu jenis yang banyak digunakan sebagai materi untuk pengembangan hutan rakyat ataupun hutan tanaman industri. Jenis ini juga telah membuk�kan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun demikian kebutuhan untuk meningkatkan produk�vitas tanaman A.mangium masih perlu terus diupayakan. Untuk itu dalam memenuhi ketersediaan benih unggul A. mangium, sejak tahun 1994 Balai Besar Peneli�an Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta telah membangun sebanyak 44 Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) jenis Acacia dan Eucalyptus di Jawa dan Luar Jawa.

Pembangunan KBSUK merupakan salah satu program pemuliaan pohon yang sangat berguna dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas gene�k suatu jenis untuk menghasilkan benih unggul. Perbaikan gene�k yang dihasilkan dari KBSUK sebagai produksi benih unggul dapat diperoleh dari 3 langkah pokok yaitu seleksi pohon plus, seleksi famili dan seleksi individu (Nirsatmanto, 1996). Perbaikan gene�k yang dihasilkan melalui seleksi famil i dan seleksi individu suatu KBSUK sangat dipengaruhi oleh rancangan dan desain yang digunakan. Untuk mewujudkan KBSUK yang berkualitas sebagai sumber produksi benih unggul �daklah mudah, banyak hal yang harus dipersiapkan, di

antaranya adalah ketersediaan materi gene�k benih dan petunjuk teknis prak�s dilapangan.

II.

METODE PEMBANGUNAN KBSUK

A.

Eksplorasi materi gene�k

Eksplorasi adalah kegiatan pengumpulan materi gene�k benih untuk tujuan tertentu. Sebelum dilakukan pengumpulan materi gene�k harus dipersiapkan rencana dan tujuan setelah benih terkumpul. Dalam memilih lokasi eksplorasi dengan tujuan untuk pembangunan KBSUK adalah lokasi yang memiliki tegakan pohon yang rapat dan diyakini memiliki basis gene�k yang luas. Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah seleksi pohon induk dimana pohon

Page 23: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

8

yang terpilih memiliki performa terbaik (feno�pik) diantara pohon induk yang ada dikelompoknya.

Teknik seleksi pohon induk di alam, salah satunya adalah menentukan jarak minimal antar pohon induk yaitu minimal 50 meter dan �dak dalam posisi soliter. Kemudian pohon induk terpilih tersebut diiden�fikasi ciri dan sifat yang dimiliki dan diunduh buahnya serta dinomori sesuai nomor urut pohon induk tersebut. Data pohon induk yang terkumpul akan digunakan untuk penyusunan data base benih dan tujuan lainnya. Contoh cara pemilihan pohon induk di hutan alam tercantum pada Gambar 1.

Pohon plus 1 Pohon plus 2 Pohon plus 3

Gambar 1. Teknik pemilihan pohon induk di hutan alam

B. Pengepakan dan pelabelan benih untuk persemaian Setelah materi gene�k benih terkumpul selanjutnya dilakukan pengepakan (packing)

benih dan menyusun blangko iden�fikasi data benih (recording form benih). Setelah data benih tersusun kemudian benih tersebut diberi nomor berupa tenta�ve code

atau nomor famili. Data

jumlah nomor famili tersebut dapat memberikan informasi akan kebutuhan bibit per famili, model desain dan luas areal KBSUK yang akan dibangun. Kegiatan packing

benih sebaiknya dilakukan 2 paket (ulangan) per famili untuk semua jenis, hal ini dimaksudkan apabila ulangan satu terkena serangan hama penyakit diharapkan masih ada ulangan ke dua yang bisa diharapkan sebagai materi untuk pembangunan KBSUK.

Kebutuhan benih per famili untuk jenis A.mangium cukup 2 gram untuk dua ulangan.

Sebagai contoh dalam pembuatan label pada benih: A-46-I dan A-46-II yaitu secara berturut-turut memuat informasi grup (A), nomor famili

(46), dan ulangan

(I atau II).

Setelah kegiatan pelabelan selesai, selanjutnya adalah pengecekan ulang dan mengurutkan nomor famili

dengan recording form benih yang sudah ada, untuk an�sipasi terjadi duplikasi atau famili yang terlewat.

Kemudian

benih siap digunakan dalam

proses pembuatan bibit selanjutnya dipersemaian, yaitu perkecambahan hingga menjadi bibit siap tanam di lapangan ( Gambar 2).

Page 24: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

9

Gambar 2.

Recording form

data benih dan cara pengepakan benih

C.

Persemaian

Benih yang telah dipersiapkan kemudian dilakukan kegiatan perkecambahan,

yaitu persiapan bak tabur yang terisi pasir dengan ketebalan sekitar 5 cm dan disterilkan dengan obat fungisida guna mencegah �mbulnya jamur. Sebagaimana pengepakan benih, bak tabur diulang dua kali dan diberi label atau nomor sesuai dengan masing-masing nomor famili yang ditetapkan sebelumnya. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan per kecambahan

di bak

tabur yang harus dilakukan se�ap saat, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan kecambah sekaligus mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kondisi kecambah jadi �dak normal.

Bersamaan dengan kegiatan perkecambahan benih, perlu dipersiapkan pembuatan media sapih yaitu pengisian polybag atau pot-rays dengan media sapih. Media sapih yang baik dan biasa digunakan adalah top soil (tanah lapisan atas), kompos/pupuk kandang dan pasir. Perbandingan untuk pembuatan media sapih adalah 3:2:1 (3 : top soil, 2 : kompos/pupuk kandang, 1 : pasir). Selanjutnya kumpulan polybag yang tersusun didalam bedengan dinaungi dengan shading net dengan itensitas cahaya antara 65-80% dan pembuatan sungkup plas�k selama bibit perlu mendapat perlindungan dari percikan hujan dan hama. Bedengan yang baik adalah bedengan yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan bibit selanjutnya sampai bibit siap tanam.

Selanjutnya kegiatan penyapihan yang baik dengan membawa bak kecambah ke kelompok polybag yang tertata dan disiapkan di bedengan. Setelah dilakukan pencocokan label antara yang tertera pada kelompok polybag dan bak kecambah, maka baru dilakukan penyapihan. Kegiatan penyapihan sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara jam 07.00 –

09.00 atau sore hari sekitar jam 15.00, dikarenakan pada waktu tersebut suasana udara �dak terlalu panas.

Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan bibit dipersemaian, diantaranya melalui penyiraman, penyulaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit dan seleksi bibit untuk persiapan penanaman

(Gambar 3). Setelah itu pengamatan se�ap saat untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan bibit di persemaian dan informasi tersebut sangat berguna untuk kegiatan evaluasi KBSUK lebih lanjut.

Page 25: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

10

Gambar 3.

Kegiatan penaburan benih di persemaian

D.

Pemilihan lokasi

Dalam pemilihan lokasi calon areal pembangunan KBSUK harus baik, dan pada akhirnya nan� areal KBSUK tersebut dapat menghasilkan benih unggul baik segi kualitas maupun kuan�tas. KBSUK tentunya diisyaratkan sebagai plot untuk pendidikan dan penyedian sumber benih unggul, sehingga harus memiliki areal yang baik dan terjamin. Secara umum syarat pemilihan calon areal KBSUK adalah sebagai berikut:

a.

Tingkat aksesibilitas �nggi

b.

Tingkat kesuburan tanah

c.

Topografi yang rela�f datar

d.

Kesesuain jenis tanah dan iklim

e. Jarak lokasi dengan tanaman yang sejenis berjauhan f. Lokasi uji keturunan mewakili kegiatan pengembangan tanaman hutan g. Kondisi tanah secara umum homogen.

Setelah lokasi ditentukan langkah selanjutnya adalah pengolahan lahan. Pada dasarnya didalam pengolahan lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan KBSUK, yang harus diperha�kan adalah kebersihan areal dari sisa-sisa penebangan pohon. Hasil pengamatan di lapangan sisa tonggak hasil persiapan lahan dapat menimbulkan hama rayap yang akan menyerang tanaman pada waktu masih kecil. Disamping proses pengolahan lahan dan �dak kalah pen�ngnya adalah pembuatan sekat bakar sebagai perlindungan KBSUK dari bencana kebakaran hutan.

E.

Penyusunan rancangan dan desain

Kegiatan penyusunan rancangan dan desain dilaksanakan dua tahap yaitu penyusunan

desain sementara sebelum diketahui jumlah bibit se�ap familinya dan penyusunan desain permanen setelah diketahui jumlah bibit �ap familinya dan siap tanam. Ada beberapa aspek yang perlu diperha�kan dalam penyusunan rancangan dan desain adalah sebagai berikut (Nirsatmanto, 1996):

a.

Jumlah famili yang dikembangkan harus sesuai dengan ukuran kebun benih agar dicapai perbaikan gene�k yang maksimal.

b.

Kerapatan tegakan awal yang �nggi, disarankan selama ruang atau tempat masih memungkinkan untuk kegiatan evaluasi lebih lanjut.

c.

Jumlah famili yang dipilih untuk dikembangkan akan menjadi lebih banyak apabila ukuran dan kerapatan tegakan semakin besar.

d.

Jumlah blok atau replikasi ditentukan berdasarkan efisiensi operasional kegiatan selama tujuan dari pengujian dan produksi benih dapat dicapai.

Page 26: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

11

Selanjutnya adalah randomisasi family atau pengacakan letak famili di dalam blok. Hasil randomisasi tersebut akan digunakan sebagai dasar pembangunan KBSUK di lapangan yang melipu� penomoran famili se�ap plotnya, penomoran bibit di persemaian dan pembuatan field-note atau blangko pengamatan di lapangan.

F.

Penanaman

Setelah pengolahan lahan selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah pengeplotan desain di lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan model KBSUK yang sudah dirancang sebelumnya. Desain hasil randomisasai diterapkan di lapangan dan menempatkan plot-plot famili sesuai dengan posisinya, sehingga memudahkan dalam pendistribusian bibit di lapangan. Kemudian dilakukan pemasangan ajir sebagai tanda tempat dimana plot famili diposisikan dan untuk penempelan label nomor famili sesuai dengan desain permanen yang telah di buat sebelumnya

(Gambar

4 ).

Label nomor famili dipersiapkan 2 ulangan yaitu satu ulangan untuk di lapangan dan satu ulangan untuk ditempelkan di bibit. Sedangkan informasi yang ada di label memuat informasi row-column-famili (6

2 –

4) dari informasi tersebut sudah sangat memudahkan dalam pelaksanaan penanaman. Contoh pelabelan sebagai berikut:

Gambar 4.

Cara pemasangan label di ajir dan bibit

Setelah pemasangan label di ajir dan di bibit selesai dilakukan, langkah selanjutnya

adalah pengepakan bibit di persemaian. Bibit-bibit tersebut di kemas untuk masing-masing plot. Untuk jenis A. mangium dalam 1 (satu) plot terdiri 4 (empat) tanaman. Dalam proses pengepakan bibit juga dilakukan seleksi bibit di persemaian, yaitu dengan cara memilih bibit yang memiliki performa sehat dan keseragaman bibit antar famili. Setelah pengepakan bibit selesai dilakukan langkah selanjutnya adalah pengangkutan bibit ke lapangan dan pendistribusian dengan teli� dan kesabaran. Seandainnya ada bibit yang labelnya hilang akibat pengangkutan atau pendistribusian bibit dan �mbul keraguan maka sebaiknya bibit tersebut �dak di pakai dan di gan� bibit dengan nomor yang sama. Kesalahan dalam pelabelan atau penempatan bibit di lapangan berakibat fatal terhadap keakuratan data dan evaluasi KBSUK. Teknik distribusi bibit di lapangan adalah bibit yang sudah di kemas dan beberapa ikatan bibit diposisikan melalui kolom (column).Teknik ini sementara yang terbaik untuk menekan kesalahan dalam pendistribusian bibit di lapangan

(Gambar 5).

6 –

2 –

4

=

Page 27: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

12

Gambar 5. Langkah dalam pendistribusian bibit di lapangan

Dari Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa step 1

merupakan kelompok dari beberapa ikatan plot yang dikumpulkan jadi satu dan ditempatkan pada column

1 yang terdiri dari plot

yang menempa� pada posisi plot di row

1, 2 dan 3, step 2: biasanya dalam satu kelompok terdiri dari 3 plot, kemudian didistribusikan plot tersebut ke masing-masing posisi yaitu row

1, 2 dan 3, step 3: setelah label di ajir dan di bibit sama baru, dilakukan pendistribusian individu bibit (tree-plot)

ke masing-masing lubang tanam. Bibit yang ada labelnya ditempatkan pada ajir yang ada labelnya dan selanjutnya tanaman tersebut dijadikan sebagai pohon pertam a dalam plot tersebut. Setelah pendistribusian bibit selesai dilakukan baru boleh dilakukan penanaman dan diperlukan pengecekan kembali terhadap kemungkinan adanya bibit-bibit yang belum tertanam atau salah dalam menempatkan plot.

Setelah kegiatan penanaman di KBSUK selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah penyusunan dokumentasi KBSUK tersebut melipu� nama lokasi, nama organisasi, informasi benih, waktu penanaman, luas areal, informasi silvikultur, posisi lokasi kebun benih, peta desain, peta posisi blok dan informasi lainnya yang diperlukan.

G.

Pengukuran dan analisa data

Untuk mendapatkan informasi terhadap perkembangan tanaman di KBSUK diperlukan pengamatan secara periodik. Untuk jenis A.mangium

pengukuran dilakukan 6 bulan sekali yang melipu� pengamatan sifat pohon yang dimuliakan seper� �nggi pohon, diameter batang, �nggi bebas cabang, penggandaan batang dan bentuk batang. Karena KBSUK di rancang sebagai proses pengujian keturunan, maka kegiatan pengukuran juga harus dilakukan dengan ha� -ha�

Page 28: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

13

yaitu dengan cara pembuatan field-note atau blangko pengamatan untuk pengumpulan data. Pengukuran se�ap periodik harus konsisten dalam memasukan data di field -note dan �dak boleh ada kesalahan dalam memasukan data. Data dari hasil pengukuran di lapangan selanjutnya dimasukan ke computer dan dianalisis dengan menggunakan metoda tertentu untuk mengetahui perkembangan beberapa parameter gene�k yang dihasilkan dari KBSUK tersebut.

H.

Seleksi

Tujuan seleksi sangat berkaitan denga sifat-sifat yang ingin dimuliakan. Seleksi dilakukan dengan cara melihat pola pertumbuhan tanaman dan keunggulan yang dikehendaki, misalnya riap yang �nggi, berbatang tunggal dan lurus, percabangan halus, bebas cabang �nggi, tahan terhadap hama dan penyakit. Tahapan dalam seleksi pada kebun benih semai untuk jenis A.mangium tercantum pada table 1.

Tabel 1.

Tahapan seleksi pada kebun benih semai jenis A.mangium

Umur (tahun)

Seleksi

Penebangan

1 –

2

Seleksi dalam plot pertama

Menebang 1 pohon dari 4 pohon di dalam plot

3

Seleksi dalam

plot ke-dua

Menebang 1 pohon dari 3 pohon didalam plot

4

Seleksi dalam plot ke-�ga

Menebang 1 pohon dari 2 pohon didalam plot

5

Seleksi famili dan pohon plus

Menebang famili yang �dak memenuhi syarat (dengan intesitas seleksi tertentu) dan juga memilih pohon plus di dalam KBSUK

III. PENUTUP

Untuk mewujudkan pembangunan Kebun Benih Semai yang berkualitas diperlukan persiapan yang matang di

antaranya

pengumpulan materi gene�k benih yang memiliki basik

gene�k yang luas, menguasai secara teknis dari pengepakan benih hingga penanaman di lapangan dan menguasai teknis evaluasi KBSUK se�ap periodiknya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.Ir. Arif Nirsatmanto, M .Sc dan �m Acapella yang telah memberikan saran dan kri�k dalam penyusunan makalah sederhana ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nirsatmanto, A. 1996. Petunjuk Teknis Penerapan Sistem Sub -line dalam Pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan.

Informasi teknis BP3BTH Yogyakarta.

Soeseno, O.H., 1985. Pemuliaan Pohon. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.

Page 29: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

14

Page 30: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

15

PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL SEBAGAI SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Eko Priyanto dan Yusnan

Balai Peneli�an Kehutanan Banjarbaru

I.

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan gambut saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang perlu di cari jalan keluarnya, hal yang terbaik memang perlu di cari formula yang tepat untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun �ndakan awal untuk pemadaman sebelum api kebakaran menjadi �dak terkendali yang dampaknya akan menyulitkan kegiatan pemadaman, karakteris�k api kebakaran di hutan dan lahan gambut memang agak berbeda dibandingkan kebakaran yang terjadi di tanah mineral, bahkan kabut asap yang seringkali terjadi saa t ini lebih diduga karena hasil kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gambut. Kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut memerlukan perlakuan yang sangat Khusus

dimana ke�ka melakukan ak�fitas pemadaman �dak cukup memas�kan api telah pa dam namun juga harus memperha�kan bara yang masih terjadi terutama pada batang pohon maupun pada serasah yang menempel pada pangkal pohon/tanaman, karena bila kegiatan pemadaman dilakukan secara �dak tuntas (benar-benar padam) maka bara-bara ini akan terus melakukan proses pemanasan sehingga bila mencapai ��k bakar kembali maka api kebakaran seringkali akan �mbul dilokasi yang sebelumnya telah dilakukan kegiatan pemadaman.

Hambatan yang sering terjadi pada saat melakukan pemadaman kebakaran di hutan d an lahan gambut adalah �dak tersedianya sumber air dan akses jalan yang sulit, hal ini menyebabkan seringkali kegiatan pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat dengan sumber air (sungai, kanal, embung dll), walaupun ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan mesin pemadam telah ada namun bila pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat sumber air maka bisa dikatakan api kebakaran di hutan dan lahan gambut masih terus terjadi dimana api kebakaran telah masuk kedalam yang jaraknya jauh dari jalan terdekat, hal ini ditandai kabut asap yang belum berhen� walaupun upaya pemadaman telah dilakukan, seper� kasus bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Kalimantan sampai dengan bulan Oktober 2015, dimana kabut asap masih terjadi di daerah yang terdapat hutan dan lahan gambut seper� Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sementara itu upaya pemadaman dengan metode water bombing dengan menggunakan helikopter dan pesawat

udara juga megalami kesulitan yang cukup �nggi hal ini disebabkan lokasi kebakaran yang tertutup kabut asap sehingga cukup menyulitkan kegiatan pemadaman dari udara. Upaya pembuatan kanal sebagai sumber air juga dinilai memiliki resiko �nggi terhadap kelestarian ekosistem lahan gambut, karena dengan adanya kanal ini dapat memperburuk kondisi hutan dan lahan gambut karena gambut dapat menjadi kering hal ini disebabkan kehilangan air gambut yang keluar melalui kanal ini, padahal kita harus tetap mempertahankan kelembaban lahan gambut untuk mencegah terjadinya kebakaran. Oleh sebab itu pembuatan sumur bor dangkal pada hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan penggendalian kebakaran dengan menyiapkan sumber air untuk kegiatan pemadaman bila kebakaran terjadi. Sumur-sumur bor ini berfungsi sebagai hydrant seper� fungsi hydrant yang

Page 31: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

16

sering kita temui pada daerah perkotaan, sumur bor dangkal ini berfungsi sama yaitu sebagai sumber air dan penyuplai

air bila kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi.

II.

MENGENAL SUMUR BOR DANGKAL DI LAHAN GAMBUT

Sumur bor dangkal ini sebenarnya bukanlah inovasi baru namun telah lama juga digunakan Khususnya untuk keperluan air bagi kebutuhan manusia untuk keperluan sehari-hari seper� mandi, cuci dan memasak di

daerah lahan gambut. Namun demikian pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk ketersediaan sumber air guna kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut ini yang perlu disosialisasikan. Balai Peneli�an Kehutanan Banjarbaru telah melakukan kegiatan dalam rangka peneli�an dan pengembangan teknologi penggendalian kebakaran hutan dan lahan, pada saat tahun 2000an metode sumur bor dangkal ini belum menjadi prioritas sebagai sumber air, karena pada saat itu pembuatan sumber air cukup dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu pembuatan sumur gali yang berukuran 2 x 2 x 1,5m dan mampu sebagai penyedia sumber air saat kegiatan pemadaman, namun saat ini bila kita menggunakan sumur gali manual ini

sudah �dak efek�f karena ketersediaan airnya sudah sangat minim, hal ini diduga akibat proses pengeringan di lahan gambut yang terus terjadi dimana air keluar melalui kanal-kanal yang telah dibuat sebelumnya (study kasus kondisi lahan gambut didaerah Tumbang Nusa Kalimantan tengah). Oleh sebab itu keberadaan sumur bor dangkal dapat menjadi satu solusi dalam rangka penyedian sumber air untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang meneli� tentang dampak keberadaan sumur bor dangkal terhadap kerusakan lahan gambut, hal ini dinilai menjadi pen�ng karena diharapkan sumur bor dangkal ini dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran di hutan dan lahan gambut.

Gambar 1.

Sumur gali manual di lahan gambut

Sumur bor dangkal memiliki kedalaman yang bervariasi antara 20-25m, dalam proses

pembuatannya sumur bor dangkal di lahan gambut ini dapat dibuat sendiri dan walaupun dibuat oleh orang yang ahli biayanya juga �dak telalu besar berkisar antara 1 -1,5 juta rupiah persumur (gambar 1). Didalam sumur bor ini menggunakan pipa air ukuran 2 inch yang nan�nya akan dihubungkan pada selang hisap mesin pompa pemadam saat proses pemadaman dilakukan (gambar 2 dan 3). Sumur-sumur bor ini dapat dibuat pada lokasi yang jauh dari sumber air alam ataupun buatan (sungai, kanal, embung dll), sehingga diharapkan bila kebakaran terjadi permasalahan sumber air untuk kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut sudah dapat teratasi. Selain dapat menjadi sumber air keberadaan sumur

Page 32: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

17

bor ini juga berfungsi sebagai penyuplai

air pada lokasi yang jauh dari ��k keberadaan sumur bor, hal ini dapat dilakukan dengan metod e estafet.

Gambar 2. Proses pembuatan sumur bor dan sumur yang telah jadi

Ketersediaan sumber air berupa sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut bukan menjadi patokan bahwa kebakaran yang terjadi di hutan dan lahan gabut sudah dapat di atasi namun dengan tersedianya sumur bor dangkal ini yang ditempatkan pada lokasi rawan terjadi kebakaran sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya kebakaran selain itu akan mempermudah cara kerja pada saat kegiatan pemadaman dilakukan karena sumber air telah tersedia.

III. PENGGUNAAN SUMUR BOR DANGKAL DALAM RANGKA PEMADAMAN

Cara penggunaan sumur bor dangkal sebagai sumber air langsung untuk kegiatan

pemadaman bukan hal yang dirasa sulit, karena metodenya �nggal menghubungkan pipa pada sumur bor tersebut dengan selang hisap pada mesin pompa pemadam dan kemudian sumur bor ini dapat digunakan

(Gambar 4). Oleh sebab itu ketersediaan mesin pompa pemadam

menjadi hal utama untuk dapat menggunakan sumur bor dangkal ini. Mesin pompa pemadam yang digunakan juga �dak harus memiliki spek Khusus

untuk dapat mengoperasikan sumur bor ini, karena standar mesin pompa pemadam yang tersedia umum di pasaran saat ini sudah dapat digunakan untuk penggunaan sumur bor ini dalam kegiatan pemadaman kebakaran.

Gambar 3. Mesin pompa yang telah dihubungkan pada pipa sumur bor

Prosedur kerja dan kelengkapan yang harus diperha�kan dalam rangka penggunaan sumur bor ini untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut dapat diuraikan sebagai berikut:

Page 33: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

18

1.

Pas�kan ��k keberadaan

sumur bor yang akan digunakan sebagai sumber air untuk

kegiatan pemadaman.

2.

Cek kondisi mesin pompa yang akan digunakan (kondisi selang hisap, bbm, karet klep dll) .

3.

Lepaskan saringan pada selang hisap mesin pompa, karena dalam penggunaan sumur bor

ini �dak menggunakan saringan yang terdapat pada ujung selang hisap.

4.

Sambungkan selang hisap pada ujung pipa sumur bor.

5.

Ikat kencang sambungan selang hisap dan pipa sumur bor dengan menggunakan tali karet

bekas ban dalam mobil, pas�kan �dak ada rongga udara pada sambungan ini karena dapat

mempengaruhi kualitas hisap mesin pompa pada sumur.

6.

Masukan air pancingan pada mesin pompa atau pada mesin yang telah memiliki pompa,

maka lakukan kegiatan memompa air. Hal ini perlu dilakukan agar waktu menyalakan

mesin dan keluarnya air menjadi lebih singkat.

7.

Hal yang perlu diperha�kan bila mesin pompa pemadam yang digunakan �dak tersedia alat

pompa untuk memompa air, maka untuk memancing air harus tersedia air te rlebih dahulu

yang dimasukan pada lubang pancingan yang tersedia pada mesin pompa pemadam.

8.

Sambungkan selang pemadam pada mesin pompa pemadam dan pada ujung selang

pasangan nozzel

pemadam, bila kurang panjang selang dapat disambungkan pada selang

lain yang telah disiapkan sebelumnya.

9.

Nyalakan mesin dengan cara menarik tali starter, sebelumnya pas�kan mesin dalam kondisi

on dan chock mesin dibuka.

10. Setelah mesin menyala perlahan-lahan naikan gas, setalah air dirasa sudah naik (terhisap)

maka buka kran pada mesin agar air keluar pada selang pemadam, dan kegiatan

pemadaman dapat dilakukan.

Berdasarkan hasil pengamatan oleh �m pemadaman kebakaran hutan dan lahan BPK Banjarbaru pada saat kegiatan pemadaman dengan pemanfaatan sumur bor dangkal ini kegiatan pemadaman dapat dilakukan terus-menerus (6 jam) ketersediaan air pada sumur bor masih terpenuhi. Hal ini dinilai efek�f dibandingkan bila menggunakan sumber air dari sumur gali manual atau

pun menunggu suplai

air. Namun demikian catatan yang perlu diperha�kan agar kegiatan pemadaman dengan menggunakan sumur bor dangkal ini menjadi efek�f hendaknya saat pembuatan sumur bor ini menggunakan pipa ukuran 2 inch, hal ini disebabkan mesin pompa yang tersedia dipasaran umumnya berukuran pipa hisap 2 inch dan selang lemparnya berukuran 1,5 inch.

IV.

PENUTUP

Keberadaan sumur bor dangkal ini dapat menjadi solusi kebutuhan air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu menjadi perha�an bahwa posisi sumur-sumur bor yang telah dibuat sebelumnya perlu diberi tanda maupun lokasinya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait sehingga siapa

pun yang melakukan kegiatan pemadaman dapat menggunakan sumber air melalui sumur bor ini, selain itu perlu kegiatan kajian yang lebih mendalam agar sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut dapat menjadi salah satu kebijakan dalam rangka kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut.

Page 34: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

19

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho W.C. et al. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands Interta�onal. Bogor.

Faidil S., 2000. Pengenalan Sifat-Sifat Api. Pela�han Pencegahan dan Kebakaran Hutan Tingkat Pelaksana Lapangan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.

Harun M.K., 2015. Rencana kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Tumbang Nusa Tahun 2015.

Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Pen erbit Abdi Tandur Jaka.

Page 35: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

20

Page 36: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

21

TEKNIK

PEMATAHAN

DORMANSI

BENIH

TANAMAN

HUTAN

DI

BALAI

PENELITIAN

TEKNOLOGI

PERBENIHAN

TANAMAN

HUTAN

(BPTPTH)

Anggun Musyarofah, Danu dan Dwi Haryadi

Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

I.

PENDAHULUAN

Dormansi benih adalah suatu kejadian dimana benih dalam keadaan hidup tetapi �dak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambah an. Faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau �dak adanya proses imbibisi, proses respirasi lambat dan rendahnya proses metabolisme cadangan makanan

(Sutopo, 2004).

Schmidt (2000) menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik, dormansi embrio (fisiologis), dormansi mekanis, dormansi kimia, dormansi cahaya dan dormansi suhu.

1.

Dormansi Fisik

Dormansi fisik terjadi karena ada

pembatas struktural terhadap perkecambahan seper�

kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada berbagai jenis tanaman. Yang termasuk dormansi fisik adalah: (a). Impermeabilitas kulit biji terhadap air:

Benih-benih yang menunjukkan �pe dormansi ini disebut

benih keras contohnya seper� pada famili Leguminoceae. Hal ini mengakibatkan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel -sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. (b) Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio: Pada �pe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan maka embrio akan

tumbuh dengan

segera. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji. (c) Adanya zat penghambat:

Dormansi ini terjadi karena

adanya

zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat.

2.

Dormansi Fisiologis (embrio)

Dormansi ini terjadi karena

embrio yang belum sempurna pertumbuhannya atau belum matang. Benih

yang

demikian memerlukan jangka waktu tertentu agar dapat berkecambah (penyimpanan). Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun tergantung jenis benih. Benih-benih ini biasanya ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah.

3.

Dormansi Mekanis

Penyebab dari dormansi ini adalah pertumbuhan embrio secara f isik dihambat karena kulit biji yang �pis.

Page 37: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

22

4.

Dormansi Kimia

Peyebabnya adalah terjadinya penghambatan perkecambahan karena benih mengandung zat-zat kimia.

5.

Dormansi Cahaya

Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan cahaya tertentu yang harus dipen uhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi cahaya yang tepat akan memacu perkecambahan.

6.

Dormansi Suhu

Dormansi ini dikarenakan adanya keperluan kondisi suhu tertentu yang harus dipenuhi untuk membantu benih berkecambah. Kondisi suhu yang tepat akan memacu perkecambahan.

II.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENGENDALIKAN DORMASI

Ada beberapa faktor yang mengendalikan dormansi diantaranya adalah gene�k, lingkungan, hormon, dan perkembangan kulit benih yang keras.

1.

Faktor Gene�k

Benih secara umum terdiri dari 3 jaringan yang berbeda secara gene�k, yaitu: embrio diploid,endosperma triploid dan testa triploid. Dormansi dapat terjadi karena bawaan dalam embrio atau rangsangan oleh jaringan luar embrio. Pada beberapa jenis, geno�f embrio memperlihatkan pengaruh pen�ng dalam mengendalikan dormansi.

2. Faktor Lingkungan

Dormansi sangat dipengaruhi perubahan lingkungan sehingga memungkinkan terjadi keragaman dari tahun ke tahun. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan dan ketebalan kulit benih seperti pada Manilkarakauki (Sudrajat dkk., 2008). Hal ini tentu saja akan mempengaruhi dormansi benih karena ketebalan kulit akan mempengaruhi proses perkecambahan.

3.

Hormon

Dormansi dikendalikan oleh interaksi promotor (perangsang) dan inhibitor (penghambat)

perkecambahan. Inhibitor ABA merupakan penyebab pen�ng dormansi. Pada benih kemiri, kadar ABA pada ko�ledon semakin �nggi sejalan dengan meningkatkan kemasakan benih. Tingginya kadar ABA pada ko�ledon (5,05 μg/g BB) tersebut menyebabkan benih sulit berkecambah (Murnia�, 1995).

4.

Perkembangan Kulit Benih

Kondisi kulit benih yang keras merupakan kondisi yang diturunkan dan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan (Schmidt, 2002). Faktor nutrisi seper� �ngkat konsentrasi kalsium yang berhubungan dengan lignifikasi akan meningkatkan kekerasan kulit benih. Waktu pembungaan dan pemanenan/pengunduhan, lokasi dan iklim akan berpengaruh Khususnya pada derajat pengeringan benih dimana benih akan lebih keras dan kedap air (impermeable) jika kadar air benih diturunkan. Umumnya jika kadar air benih melebihi kadar air 12-14%, kulit benih akan permeable, sedangkan pada kadar air 3-4%, kulit benih akan impermeable. Pada kadar air pertengahan, kulit benih mungkin impermeable namun mungkin juga permeable oleh manipulasi kelembaban di luar benih.

Page 38: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

23

III.

TEKNIK PEMATAHAN DORMANSI BENIH TANAMAN HUTAN DI BPTPTH

Benih tanaman hutan memiliki sifat yang unik sebagai bentuk adaptasi dari lingkungan aslinya di hutan sehingga tak jarang memberikan dampak adanya sifat dormansi pada benih tersebut. Sifat dormansi akan memberikan pengaruh pada sulit dan lamanya proses perkecambahan. Hal ini tentu saja akan memberikan pengaruh pada rendahnya persentase daya berkecambah benih sehingga diperlukan adanya pematahan dormansi.

Cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan dormansi benih yaitu dengan melakukan perlakuan awal. Perlakuan awal adalah perlakuan yang dilakukan sebelum penaburan dilakukan untuk menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan benih yang di tabur. Panduan penandaan pematahan dormansi benih pada dasarnya

sebagian besar telah ada pada ‘Petunjuk Teknis Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih’ namun untuk ketepatan teknik perlu disesuaikan kembali dengan karakteris�k dan keadaan benih. Ada beberapa pelakuan yang dilakukan

untuk mematahkan dormasi yaitu:

1.

Perlakuan Mekanis

Teknik pematahan dormansi mekanik merupakan suatu cara pematahan dormansi dengan perlukaan seper�

mengupas,

mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas empelas, melubangi kulit biji dengan pisau, perlakuan impac�on (gocangan) untuk benih-benih yang memiliki sumber gabus.Berikut beberapa hasil peneli�an teknik pematahan dormansi benih tanaman hutan di Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (Tabel 1).

Tabel 1. Teknik pematahan dormansi mekanis pada beberapa jenis tanaman hutan

No Jenis Teknik pematahan dormasi Pustaka 1 Kemiri (Aleurites moluccana) Ditipiskan kulitnya/Amplas Bramasto dan Putri, 2005 2 Krasi karpa (Acacia crassicarpa) Pencabikan kulit Yuniarti dkk., 2013 3 Merbau (instia bijuga) Pengikiran Yuniarti, 1996 4

Mindi (Melia azedarach)

Peretakan

Danu, 2003

5

Nyampung (Colophyllum inaphillium

Pengupasan kulit

Zanzibar dkk., 2009

6

Sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum)

Pengikiran

Djam’an, 1998

7

Pala (Myristica fragrans

Houtt)

Pengupasan kulit

Djam’am

dan Sudrajat, 2002

Salah satu hasil peneli�an di

BPTPTH

mengenai teknik pematahan dormansi dengan teknik mekanis di cabik pada benih Acacia crassicarpa (Krasi) menunjukan hasil daya berkecambah terbaik (Yuniar�

dkk.,

2013).

Berdasarkan hasil peneli�an Yuniar�

dkk.

(2013) pada Tabel 2. diketahui bahwa teknik pematahan dormansi terbaik untuk perkecambahan adalah dengan teknis mekanis dengan dicabik dan dikecambahkan dengan metode Uji Di Atas kertas dengan persentase daya kecambah 96%.

Berdasarkan Tabel 2, metode pematahan dormansi dengan perendaman air mampu meningkatkan persentase daya berkecambah benih namun belum

maksimal. Hal ini dikarenakan kulit benih Acacia crassicarpa

tebal sehingga metode mekanis dengan prinsip menghilangkan hambatan masuknya air atau gas ke embrio dengan cara mencabik benih akan lebih op�mal.

Metode mekanis dengan peretakan benih menggunakan ragum atau palu dengan arah retakan akan membantu proses perkecambahan benih mindi. Cara ini menghasilkan daya berkecambah 89% dengan kecepatan tumbuh 55% selama satu minggu (Danu, 2003).

Page 39: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

24

Tabel 2.

Hasil pengujian daya berkecambah benih krasi dengan beberapa

perlakuan

pematahan dormansi

Perlakuan

Metode perkecambahan

Rata-rata

Uji Di Atas Kertas

Uji Antar Kertas

Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi Didirikan

Kontrol

19

37

19

25

Rendam air panas 1 menit

kemudian rendam dalam air dingin 24 jam

64

58

25

49

Dicabik

96

75

80

84

Sumber:

Yuniar� N dkk.

(2013)

2.

Perlakuan Kimia

Tujuan

teknik pematahan dormansi kimia untuk

menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seper� asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang juga sering digunakan adalah: potassium hydroxide, asam hidrochlorit, potassium nitrat, dan thiourea. Disamping itu dapat pula digunakan hormon tumbuh untuk memecahkan dormansi

pada benih,

antara lain adalah: cytokinin, gibberellin, auxin

ataupun hormon alami seper� air kelapa.

Tabel 3 . Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan

No

Jenis

Teknik pematahan dormasi

Pustaka

1

Cendana (Santalum album) Perendaman benih dalam larutan

Ethyl Alkohol

40% selama 10-15 menit

Nurhasybi dan

Widodo,

1988

2 Kayu afrika (Maesopsis emenii)

- Perendaman dalam H2SO4

selama 20 menit - Perendaman dalam KNO3 2%

selama 30 menit

Kurniaty, 1987

Yuniarti, 2002

3

Kayu Kuku (pericopsis mooniana)

Perendaman H2SO4 15 menit

Utami

dan Syamsuwida,

1999 4

Kemiri (Aleurites moluccana)

Rendam air kelapa 2 -6 jam

Eliya dkk., 2004

5

Krasikarpa (Acacia crassicarpa)

Perendaman H2SO4

7 menit

Sudrajat dkk., 2003

6

Lamtoro (Leucaena leucacephala

Perendaman H2SO4

10 menit

Suita

dkk., 2013

7

Merbau (Instia bijuga)

Perendaman H2SO4

1 jam

Yuniarti, 1996

8

Mindi (Melia azedarach)

Perendaman H2SO4

10 menit, kemudian direndam GA3 300ppm selama 10 menit

Pramono

dan danu, 1998

9

Pangkal Buaya (zanthoxyilum rhetsa

(Rox burgh))

Perendaman H2SO4

2 jam

Djam;an, 2002

10

Pilang (Acacia Leucophloea)

Perendaman H2SO4

20 menit

Suita dan Bustomi, 2014

11

Saga pohon (Adenanthera pavonina)

Perendaman Asam sulfat 30 menit

Yuniarti, 2002

12

Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum)

Perendaman H2SO4

35 menit

Yuniarti, 2002

13

Tembesu (Fragraea fragrans Roxb)

Perendaman H2SO4

24 jam

Zanzibar dkk., 2010

14

Tisuk (Hibiscus macrophylus)

Perendaman H2SO4

selama 30 menit

Yuniarti

dkk., 2002

Sudrajat dkk., 2009

15

Tusam (Pinus merkusii)

-

Perendaman dalam larutan

H202

1% selama 24 jam

-

H2O2

1% 24 jam

Yuniarti,

1996

Danu, 2005

16

Weru (Albizia procera Benth).

Perendaman H2SO4

10 menit

Suita dan Nurhasybi, 2014

Hal pen�ng yang harus diperha�kan dalam pematahan dormansi kimia adalah ketepatan pembuatan larutan. Hal ini dilakukan dengan cara menimbang/mengukur bahan

Page 40: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

25

kimia sesuai yang dianjurkan. Rumus yang digunakan untuk reaksi pengenceran adalah sebagai berikut:

Dimana:

C1

: konsentrasi larutan asli

C1

: konsentrasi larutan yang diinginkan

V1

: volume larutan asli yang diperlukan untuk memperoleh larutan yang diinginkan

V2

:

volume larutan yang diinginkan

Misalnya ke�ka kita ingin membuat larutan KWO3

2% untuk larutan 100 ML maka kita harus menyiapkan 2 ml larutan KWO3

lalu ditambahkan aquades sebanyak 98 ML. Setelah itu larutan dicampurkan dan digunakan untuk merendam benih, misalnya untuk benih kayu afrika selama 30 menit. Setelah itu benih di bilas dengan aquades dan di�riskan lalu di tabur pada media. Tahapan ini pada in�nya sama untuk se�ap jenis bahan kimia

dengan waktu perendaman yang disesuaikan berdasarkan hasil peneli�an.

Beberapa hasil peneli�an BPTPTH untuk pematahan dormansi secara kimia untuk beberapa jenis benih tanaman hutan seper� pada Tabel 3.

Tabel 4.

Hasil pengujian daya berkecambah benih weru dengan beberapa perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Metode perkecambahan

Rata-rata

Uji Di Atas Kertas

Uji Antar Kertas

Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi

Didirikan

Kontrol 36.5 30.25 31.5 32.75 H2SO4 10 menit 91.50 90.50 93 91.66 H2SO4 20 menit 87.5 89.75 84 87.08 Air Panas

85.25

84.75

83.50

84.5 Air kelapa 1 jam

33.25

29.75

32.25

31.75

Air kelapa 2 jam

36.50

31.50

32

33.33

Air kelapa 24 jam

32.5

30.75

34.50

32.58

Sumber:

Suita dan Nurhasybi, 2014

Salah satu peneli�an yang telah dilaksanakan di BPTPTH, menunjukan bahwa teknis perlakuan kimia sangat tepat untuk pematahan dormansi benih weru (Albizia procera

Benth). Benih weru memiliki kulit benih yang keras sehingga sebelum dikecambahkan memerlukan perlakuan pendahuluan untuk mempercepat mulainya berkecambah. Perlakuan pendahuluan yang dianjurkan adalah dengan perendaman H2SO4 atau perendaman dengan air panas. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa penggunaan bahan kimia H2SO4 dalam jangka waktu 10 menit meningkatkan daya kecambah benih weru (Albizia procera

Benth) hampir 60% dengan persentase

daya kecambah ter�nggi (91,66%) dibandingkan dengan perlakuan pematahan dormansi yang lain (Suita

dan Nurhasybi, 2014).

Perendaman H2SO4 selama 20 menit untuk pematahan dormasi juga tepat digunakan untuk jenis benih pilang (Acacia Leucophloea) karena mampu meningkatkan daya berkecambah 37.41% dan kecepatan berkecambah

9.41% KN/etmal dari benih kontrol (Suita dan Bustomi, 2014). Perendaman H2SO4

10 menit pada benih lamtoro (Leucaena leucacephala) selama 10 menit juga meningkatkan daya berkecambah lamtoro 65% dari benih kontrol (Suita

dkk., 2013).

Pemanfaatan air kelapa

juga dapat dimanfaatkan sebagai pematahan dormansi pada jenis benih kilemo (Litsea cubeba). Hal ini mampu meningkatkan persentase daya kecambah

Page 41: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

26

26% dari kontrol (Suita

dkk., 2013). Hal ini dikarenakan air kelapa mengandung komponen fitohormon, asamamino, asam organik, dan komponen an organik.

3.

Teknis Perlakuan Perendaman dengan Air

Pada dasarnya perendaman dengan air bertujuan untuk pencucian zat-zat yang menghambat dalam buah dan benih serta merangsang penyerapan lebih cepat (Schmidt, 2002). Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. Prosedur yang umum digunakan adalah sebagai berikut: air dipanaskan (hingga suhu tertentu sesuai ketentuan) lalu benih dimasukkan ke dalam air panas tersebut

untuk beberapa saat atau dibiarkan sampai menjadi dingin (selama beberapa waktu

yang ditentukan).

Tabel 5.

Teknik pematahan dormansi kimia pada beberapa jenis tanaman hutan

No

Jenis

Teknik pematahan dormasi

Pustaka

1

Balsa (Ochroma bicolar Rowlee)

-

Perendaman air dingin 24 jam

-

Rendam jemur 3 hari

Nurhasybi, 2002

Sudrajat dkk., 2002

2

Beringin (Ficus benyamnina)

Perendaman air panas 600C selama 10

menit

Sudrajat, dan Pramono, 2005

3

Bitti (Vitex cofassus Reinw)

Perendaman air

panas (1000C) 1 menit +

air dingin 24 jam

Kurniaty, 2003

4

Jati (Tectona grandis)

Perendaman selama 3 hari air di ganti setiap hari

Nurhasybi, 2005

5

Jelutung (Dyera spp)

Perendaman air dingin 24 jam

Kartiko dan danu, 2003

6

Johar (Cassia siamea ) -

Perendaman air panas (100

0C) 1

menit + air dingin 12-24 jam

-

Air dingin 48-72 jam Syamsuwida, 2002

7 Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Perendaman air dingin selama 24 jam Sudrajat dkk., 2004

8 Kayu Kuku (Pericopsis mooniana)

Perendaman air panas 800C dan dibiarkan

dingin selama 24 jam Yuniarti dan Kurniawati, 1999

9 Kemenyan (Styrax benzoin dryand)

Perendaman 30 menit air panas (1000C)

+24 jam air dingin

Widyani dan Rohan, 2002

10

Kemiri (Aleurites moluccana)

Rendam jemur selama 7 hari

Sudrajat dkk., 2006

11

Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn)

Perendaman air panas 800C selama 3

menit

Sudrajat, 2002

12

Kepuh (Sterculia foetida Linn)

Perendaman Air panas (1000C) 1 menit

+air dingin 12-24 jam

Zanzibar, 2005

13

Kesambi (Sterculia foetida Linn)

Perendaman air dingin 24 jam

Danu, 2002

14

Kihiyang (Albizia procera Benth)

Perendaman air panas (1000C) 2

menit+air dingin 24 jam

Syamsuwida, 2005

15

Krasikarpa (Acacia crassicarpa)

Perendaman air panas 800C dan dibiarkan

dingin selama 24 jam

Sudrajat dkk., 2003

16

Mangium (Acacia mangium Wild)

Air panas 1000C dan dibiarkan dingin 24 jam

Yuniarti dkk., 2010

17

Sawo kecik (Manilkara kauki)

Rendam jemur 3 hari

Sudarajat dkk., 2010

18

Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

Perendaman air dingin 24 jam

Nurhasybi, 2005

19

Sonobritz (Dalbergia latifolia Kurtz)

Perendaman air dingin 24 jam

Yuniarti dan Pramono, 2003

20

Tanjung (Mimusops elengi L)

Perendaman air dingin 24 jam

Nurhasybi, 2002

21

Tembesu (Fragraea fragrans Roxb)

Perendaman air panas 800C dan dibiarkan

dingin selama 24 jam

Zanzibar, 2010

Selain perendaman dengan air panas, beberapa benih juga dapat dipatahkan dormansinya dengan perendaman air dingin, air mengalir atau pergiliran perendaman dan pengeringan. Prosedur yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan adalah pada langkah awal benih direndam dengan air lalu di jemur atau diangin-anginkan. Setelah itu benih

Page 42: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

27

direndam kembali hingga beberapa kali sesuai ketentuan dan pada saat akan di tanam posisi benih adalah setelah perlakuan perendaman. Waktu yang digunakan untuk perendaman dan pengeringan berbeda-beda untuk se�ap jenis.

Beberapa peneli�an di BPTPTH terkait pematahan dormansi menggunakan perendaman air terdapat pada Tabel 5.

Tabel 6.

Hasil pengujian daya berkecambah benih mangium

dengan beberapa

perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Metode perkecambahan

Rata-rata

Uji Di Atas Kertas

Uji Antar Kertas

Uji Kertas Di Gulung Dengan Posisi

Didirikan

Kontrol

27

37

39

34.33

Air panas 1000C dan dibiarkan dingin 24 jam

91

79

78

82.67

H2SO4

5 menit

69

74

66

69.67

H2SO4

10 menit

70

73

63

68.67

H2SO4

15 menit

72

71

60

67.67

Sumber:

Yuniar� dkk., 2010

Salah satu hasil peneli�an di BPTPTH terkait pematahan dormansi benih mangium (Acacia mangim

Wild) menyimpulkan bahwa perlakuan pematahan dormansi pada benih mangium mampu meningkatkan persentase daya berkecambah (Tabel 6).Teknik perendaman dengan air mendidih (100oC) lalu dibiarkan dingin hingga 24 jam berasarkan

hasil peneli�an

Yuniar� dkk

(2010) memberikan pengaruh daya berkecambah ter�nggi yaitu 82,67% (Tabel 6). Bahkan mendapatkan persentase daya berkecambah ter�nggi (91%) untuk pada

metode

perkecambahan uji di atas kertas. Salah satu hasil peneli�an tentang teknik perendaman dengan air dingin selama 24 jam efek�f untuk mematahkan dormansi benih kayu afrika bahkan memberikan angka nilai daya kecambah hingga 93% (Yuniar�, 2013). 4. Teknik Pematahan Dormansi Kombinasi

Merupakan cara pematahan dormansi yang dilakukan dengan menggabungkan dua teknik. Biasanya dilakukan dengan menggabungkan teknik mekanis lalu di kombinasi dengan perendaman, baik perendaman bahan kimia maupun dengan air. Hal ini bertujuan mempercepat masuknya air dan udara ke dalam kulit benih. Hal ini perlu dilakukan untuk benih yang daya berkecambahnya sudah naik persentasenya setelah pematahan dorma nsi namun masih

rendah. Sebagai contoh untuk benih merbau setelah diberi perlakuan pematahan dormansi dikikir (mekanis) setelah itu di rendam dengan air dingin selama 24 jam memberikan persentase daya berkecambah 93,33% dan KCT 13,97KN/etmal (Yuniar�, 1997). Beberapa hasil peneli�an BPTPH terkait kegiatan pematahan dormansi dengan teknik kombinasi (Tabel 7).

Tabel 7.

Teknik pematahan dormansi kombinasi pada beberapa jenis tanaman hutan

No

Jenis

Teknik pematahan dormasi

Pustaka

1.

Kenari (canarium odoratum)

Peretakan + perendaman air dingin

3 x

24 jam

Yuniarti, 2001

2.

Kourbaril (Hymenaea courbaril Linn)

Kikir + perendaman asam sulfat 20 menit

Yuniarti, 2002

3.

Merbau (Instia bijuga)

Kikir + perendaman air dingin 24 jam

Yuniarti, 1997

4.

Tanjung (Mimusops elengi)

Kikir + perendaman air 24 jam

Eliya dkk., 2004

Dari uraian dan beberapa hasil peneli�an yang telah dilakukan di BTPTPH diketahui bahwa ada beberapa jenis benih yang pematahan dormansinya dapat dilakukan dengan

Page 43: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

28

beberapa teknik atau kombinasi dari beberapa teknik. Hal ini perlu disikapi dengan bijak dan disesuaikan dengan kebutuhan karena pada in�nya tujuan dari perlakuan pematahan dormansi adalah mendapat persentase daya berkecambah

yang �nggi sesuai dengan kualitas benih dalam waktu yang cepat. Untuk melihat perbandingan dari teknik pematahan dormansi terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kelebihan dan kekurangan teknik pematahan dormansi

parameter

Mekanis

Kimia

Air

Biaya

Murah

Mahal

Murah

Tingkat ketelitian

Diperlukan ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi

Diperlukan ketelitian

Mudah

Waktu

Tergantung kecepatan dan jumlah tenaga yang digunakan

Lebih singkat mulai dari 1 menit hingga 24 jam

Untuk air panas lebih sing-kat sedangkan air dingin biasanya lebih dari 24 jam.

Hal yang wajib diperhatikan

Dalam perlakuan/

pengikiran

tidak boleh merusak benih

Ketepatan pengenceran bahan kimia dan waktu perendaman

Ketepatan jenis air (panas/dingin) atau perlakuan (jemur kering)

dan waktu perendaman

Penyebab kegagalan

Embrio benih rusak karena kurang kehati-hatian dalam proses mekanis

(embrio

terluka/pecah)

Embrio mati karena konsentrasi bahan kimia terlalu pekat atau waktu peren-daman terlalu lama

Embrio mati karena air ter-lalu panas atau embrio ke-racunan karena proses pe-rendaman terlalu lama tan-pa pengantian air dingin

IV. PENUTUP

Se�ap benih tanaman hutan memiliki karakteris�k yang unik sehingga memerlukan teknik pematahan dormansi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologis benih.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya dormansi adalah rendahnya atau �dak adanya proses imbibisi,

proses respirasi lambat dan rendahnya proses metab olisme

cadangan makanan

(Sutopo,

2004).

Schmidt,

2000 menyebutkan bahwa secara umum dormansi ada enam yaitu dormansi fisik,

dormansi embrio,

(fisiologis),

dormansi mekanis,

dormansi kimia,

dormansi cahaya dan dormansi suhu.

Teknik pematahan dormansi biji antara lain mekanis,

kimia dan air.

Secara teknis kimia membutuhkan biaya lebih mahal,

secara teknis menggunakan air lebih mudah simple dan murah tetapi perlu ha�-ha� terutama �ngkat kepanasan air dan lama perendaman.

DAFTAR PUSTAKA

Bramasto Y.

dan Putri K.

P. 2005.Kemiri ( Aleurites moluccana). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus

Vol.

4 No.

2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Danu, 2002. Kesambi (Sterculia foe�da Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV Publikasi Khusus

Vol.

2 No.

9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Danu, 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I. Publikasi Khusus

Vol.

3 No.

8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Page 44: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

29

Danu, 2005. Tusam (Pinus merkusii). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid v Publikasi Khusus

Vol.4 No.

2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Djam’an D. 1996. Pengaruh Tin gat Kematangan polong dan Skarifikasi Benih sengon Buto (Eterolobium cyclocarpum) terhadap perkecambahan. Bule�n Teknologi Perbenihan Vol.

3 No.

2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Djam’an D F. 2002. Pangkal Buaya (Zanthoxyilum rhetsa

(Rox burgh)). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus Vol.

2 No.

9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Djam’am F D dan Sudrajat D. 2002.Pala (Myris�ca fragrans Hou�).

Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus Vol.

2 No.

8,

Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Kar�ko H dan danu. 2003. Jelutung (Dyera spp). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus Vol.

3 No.

8,

Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Kurniawaty R. 2003. Bi� (Vitex cofassus

Reinw).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid I Publikasi Khusus

vol.3 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Nurhasybi dan W. Widodo. 1988. Cara Ekstraksi Benih Cendana (Santalum album) dengan Ethyl Alkohol. Laporan Hasil Uji Coba Balai Teknologi Perbenihan No. 49.

Bogor.

Nurhasybi. 2002. Balsa (Ochroma bicolar

Rowlee). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi

Khusus

vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Nurhasybi. 2002. Tanjung (Mimusops elengi

L. )Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Nurhasybi. 2005. Ja� (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Nurhasybi. 2005.Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus

vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Pramono AA. dan Danu 1998. Teknik Pematahan Dormansi Benih Mindi (Melia azedarach).

Balai Teknologi Perbenihan. Bule�n Vol. 5 No. 3.

Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Terjemahan. Ditjen RLPS. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Yuniar�, N, Megawa� dan Leksono B. 2013. Teknik Perlakuan pendahuluan dan Metode Perkecambahan untuk mempertahankan viabilitas benih Acacia crassicarpa hasil pemulian. Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea.vol 2.no1. April 2013 : 1 -11.

Sudrajat D. 2002. Kemlandingan (Leucaena courbaril Linn. Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III.

Publikasi Khusus

vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Sudrajat D, Djam’an dan Widyani N. 2004. Kaliandra ( Calliandra calothyrsus).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid II. Publikasi Khusus

vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Sudrajat, D.J. dan Megawa�. 2010. Keragaman Morfologi dan

Respon Pra Perkecambahan Benih 5 Populasi Sawo Kecik (Manilkara kauki). Balai Peneli�anTeknologi Perbenihan Bogor. Bogor.

Sudrajat D, dan Pramono A A. 2005. Beringin (Ficus benyamina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus

vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Page 45: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

30

Sudrajat, D.J., E. Suita dan E.R. Kar�ana. 2003. Standardisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Acacia crassicarpa. Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.

Suita E dan Bustam S. 2014. Teknik Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Pilang. Jurnal Peneli�an Hutan Tanaman Vol.II No. 1. Maret 2014 : 45 -52.

Suita E dan Nurhasybi. 2014. Pengujian Viabilitas benih Weru (Albizia procera

benth). Jurnal perbenihan Tanaman Hutan. Vol 2(1). Agustus 2014 :9-17.

Suita E, Suhar� T, Haryadi D dan Abay. 2013. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Lamtoro (Leucaena leucacephala) dan Kilemo (Litsea Cubeba). Peneli�an Balai Peneli�an Perbenihan Tanaman Hutan B ogor. Tidak diterbitkan.

Sutopo, Lita, 2004. Teknologi Benih. Jakarta. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.

Syamsuwida D. 2002. Johar (Cassia siamea). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid IV. Publikasi Khusus

vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor

Syamsuwida D. 2005. Ja� (Tectona grandis).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus

vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Utami D E dan Syamsuwida D. 1999. Efek Perendaman Benih Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Semai kayu Kuku (Pericopsis mooniana). Bule�n Teknologi Benih. Vol 5 no 1 : 10-17.

Widyani N dan Rohan D A. 2002. Kemenyan (Styrax benzoin dryand).Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Yuniar�, N. 1996. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Perendaman Air Dingin, GA3, dan H2O2 terhadap Viabilitas Benih Tusam (Pinus merkusii

et de Vriese). Bule�n Teknologi

Perbenihan 3(2). Bogor.

Yuniar� N.1997. Penentuan Cara Perlakuan Benih Merbau (Ins�a bijuga). Bule�n Tekonologi Perbenihan. Vol 4 no 2: 21-27. Balai teknologi Perbenihan. Litabang Kehutanan.

Yuniar�, N. 2001. Teknik Penanganan Benih Ortodoks. Laporan Hasil Uji Coba Balai Peneli�an dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor.

Yuniart N. 2002. Kourbaril (Hymenaea courbaril

Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III. Publikasi Khusus

vol.2 n0.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Yuniar�, 2002.Saga pohon (Adenanthera pavonina). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid III.

Publikasi Khusus

vol.2 no.8. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Yuniar� N. 2002. Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum). Atlas Benih Tanaman Hutan. Jilid IV. Publikasi Khusus

vol.2 no.9. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Yuniar� N. 2013. Peningkatan Viabilitas Benih kayu Afrika (Maesopsis emenii)Dengan Berbagai Perlakuan Pendahuluan. Jurnal Perbenihan T anaman Hutan V ol.1 No.1, Agustus 2 013: 15-23.

Yuniar� N, Hidayat A T, Kar�ana E, Priyatna A dan sutrisno. 2010. Penanganan benih Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan Jenis Mangium(Acacia mangium

Wild). Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.

Page 46: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

31

Zanzibar M et al.2010. Teknik penangan Benih Tanaman Hutan Penghasil Kayu Pertukangan jenis Gelam (Melaleucha leucadendron Roxb), Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) dan Kayu bawang (Pro�um javanicum).Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Perbenihan. Bogor.

Zanzibar M. 2005. Kepuh (Sterculia foe�da

Linn). Atlas Benih Tanaman Hutan Jilid V. Publikasi Khusus

vol.4 no.2. Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor.

Page 47: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

32

Page 48: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

33

WPC (wood plas�c composite),

MEMAKSIMALKAN PEMANFAATAN BAHAN BAKU KAYU

Fitri Windrasari dan Eko Sutrisno

Balai Peneli�an Teknologi Serat

Tanaman Hutan

I.

PENDAHULUAN

Penggunaan jenis kayu yang dapat tumbuh dengan cepat sekarang mulai dikembangkan sebagai bahan pengisi untuk pembuatan material komposit kayu plas�k, seper� jenis kayu akasia, ekaliptus dan jabon. Pemanfaatan jenis kayu tersebut juga didasari oleh jumlahnya yang cukup banyak dan mudah tumbuh di Indonesia. Pemanfaatan limbah kayu untuk dijadikan komposit kayu plas�k (wood plas�c composite)

yang telah lama dikembangkan merupakan salah satu alterna�f penyelesaian. Polimer yang sering digunakan sebagai matrik antara lain polipropilena, polie�lena, polivinilklorida dan polisterin.

Wood Plas�c Composite

adalah komposit polimer yang menggabungkan par�kel serbuk kayu dengan termoplas�k. Is�lah WPC mencakup bahan komposit yang

sangat luas dengan menggunakan bahan penguat plas�k dan bahan pengisi mulai dari serbuk kayu sampai serat hasil tanaman pertanian (Clemons, 2002).

Kayu plas�k memiliki beberapa keunggulan, antara lain

dapat di daur

ulang, perawatan mudah, sifat tahan panas lebih stabil dibanding plas�k, kestabilan dimensi, tahan kelembaban, tahan pembusukan, memiliki profil teknis, lebih seragam. Namun kayu plas�k memiliki beberapa kelemahan, yaitu rela�f lebih mahal, sulit dicat, nilai lentur yang rendah dan temperatur leleh lebih rendah dibanding kayu, koefisen ekspansi panas dan density yang �nggi.

Besarnya potensi biomassa limbah pabrik kayu maupun pabrik pulp merupakan potensi pengembangan komposit kayu plas�k sebagai material alterna�f penggan� kayu alam. Dengan per�mbangan tersebut, maka peneli�an ini difokuskan untuk mendapatkan komposit kayu jabon

dengan sifat mekanis yang baik. Melalui perlakuan material pengisi dalam berbagai ukuran pada persiapan material, pemberian coupling agent,

pencampuran dan perlakuan aging

setelah

pembentukan komposit.

Pemilihan produk WPC

ini

memiliki sifat ramah lingkungan karena bahan matrik plas�k dapat berasal dari plas�k asli ataupun daur ulang dan bahan pengisi serbuk kayu dapat berasal dari limbah kayu. Limbah kayu dan

plas�k daur ulang dalam banyak kegunaan

berdampak nega�f terhadap lingkungan,

sehingga penggunaan bahan tersebut sebagai komponen WPC dapat mengurangi dampak nega�f yang di�mbulkan.

II.

BAHAN DAN ALAT

1.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu: Serbuk kayu dengan ukuran 60, 80 dan 100 mesh, Bu�ran Polypropylene

(PP), Bu�ran Maleic Anydride Polypropylene

(MAPP). Alat yang dipergunakan adalah: Alat penyerbuk kayu,

Alat penyaring serbuk, Hot

Mixer

(untuk pencampuran), Hydraulic Hot Press

(untuk pengempaan panas)

dan Digital thermometer.

2.

Rancangan Percobaan

Pembuatan sampel WPC dimulai dengan penimbangan serbuk kayu atau Wood Flour (WF) dan Polipropilena (PP) dengan rasio pencampuran

yaitu:

Page 49: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

34

50WF

/

50PP

=

kode A

60WF

/

40PP =

kode B

70WF

/

30PP =

kode

C

3.

Prosedur Kerja

a.

Pembuatan serbuk

Batang kayu diserbukkan sesuai dengan dimensi (ukuran mesh) yang diinginkan. Penyerbukan dapat dilakukan menggunakan hand circular saw. Untuk memas�kan ukuran yang dimaksud lakukan pengayakan menggunakan saringan mesh.

Gambar 1.

Sortasi serbuk kayu

b.

Pencampuran

Campurkan MAPP dengan PP dengan perbandingan yang telah ditentukan. Lelehkan Bu�ran PP dan MAPP dengan cara dipanaskan dalam hot mixer

pada temperatur 1900C hingga

mencair. Selanjutnya serbuk kayu dicam purkan secara bertahap sambil dilakukan pengadukan pada putaran 360 rpm selama 30 menit. Gambar 2 hasil keluaran dari hot mixer akan berupa komposit semi solid (slurry).

Gambar 2.

Proses pelelehan dan pencampuran

c.

Pencetakan

Selanjunya Hydraulic Press di se�ng pada suhu 180 0C dan tekanan 1000 psi selama ± 30 menit. Masukkan komposit semi solid

kedalam Hydraulic Press yang telah dipanaskan. Hasil yang diperoleh berupa lembaran (slab) berukuran 195 x 121 x 6 mm (Gambar 3). Kemudian dikondisikan selama 24 jam untuk mencapai distribusi kadar air yang seragam dan melepaskan tegangan sisa dalam lembaran sewaktu pengempaan.

Gambar 3.

Proses pencetakan dan produk WPC

Page 50: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

35

III.

HASIL

Semua produk WPC yang terbentuk, dilakukan uji fisik yang melipu� uji kerapatan,

kadar air, pengembangan tebal dan daya serap air .

Tabel 1. Data uji fisik WPC

No

Kode sampel

Kerapatan (gram/cm3)

Kadar Air (%)

Daya Serap Air (%)

Pengembangan Tebal (%)

2 jam

24 jam

2 jam

24 jam

1

60.A

1,206

2,439

0,294

1,916

0,000

2,463

2

60.B

1,021

3,060

5,003

8,243

0,000

1,305

3

60.C

0,924

2,506

1,398

6,093

0,000

2,683

4

80.A

1,009

0,332

0,252

1,403

0,000

1,442

5

80.B

0,903

0,505

9,301

13,367

0,209

3,921

6

80.C

1,017

2,024

19,165

22,641

0,000

2,072

7

100.A

1,025

1,299

0,266

1,333

0,751

2,656

8

100.B

0,921

0,309

15,121

16,657

0,185

1,547

9

100.C

1,093

0,179

0,579

2,700

0,434

2,608

10

Kayu pejal

0,367

15,179

75,751

92,854

2,222

8,231

Mengacu

pada hasil uji fisik di Tabel 1, nilai kerapatan komposit terendah adalah sampel

80.B (0,903 gram/cm3) sedangkan nilai kerapatan ter�nggi adalah sampel 60.A (1,206 gram/cm3). Perbedaan kecenderungan pengaruh komposisi unsur komposit maupun ukuran serbuk terhadap kerapatan ditentukan oleh perlakuan proses tekan panas ( hot press) antara lain temperatur, gaya dan waktu penekanan. Selain itu komposisi dan jenis plas�k juga mempengaruhi sifat fisik papan plas�k yang dihasilkan. Menurut Osswald dan Menges (1996) dalam Mulyadi (2001), secara garis besar plas�k yang dapat digunakan dalam biokompo sit dari �pe thermoplas�c, yaitu plas�k yang dapat dilunakkan berulang kali (recycling) dengan menggunakan panas. Penambahan thermoplas�c

berperan sebagai adi�f yang dapat berikatan

dengan serat kayu. Menurut Febrianto

dkk.

(1999), penambahan polyprophylene

dapat meningkatkan kekompakan pada produk komposit.

Keterikatan ini terjadi pada polyprophylene

dengan zat pengisi (tepung kayu).

Kadar air WPC terendah pada sampel 100.B (0,309%) dan ter�nggi pada sampel 60.B (3,06%). Daya serap air terendah pada sampel 80.A (0,252%) untuk 2 jam perendaman dan 100.A (1,33%) untuk 24 jam perendaman. Daya serap air ter�nggi pada sampel 80.C yaitu 19,2% pada 2 jam perendaman dan 22,64% pada 24 jam perendaman. Penurunan kadar air WPC ini dikarenakan pengadukan dengan hot mixing dilakukan pada temperatur 190 oC sehingga akan mengurangi kadar air pada serbuk kayu. Dari data daya serap air diatas diketahui bahwa peningkatan jumlah matrik PP akan menurunkan daya serap air. Sebaliknya peningkatan komposisi serbuk kayu dalam komposit akan meningkatkan sifat daya serap airnya. Bakar (2003) menyatakan kelemahan dari wood flour

adalah bersifat higroskopis dengan mudah menyerap air dari lingkungan sekitar. Semakin kecil ukuran serbuk maka matrik PP akan lebih mudah melipu�nya secara menyeluruh. Karena sifat PP yang �dak menyerap air, maka par�kel serbuk kayu terhindar dari penyerapan air.

Pengembangan tebal sampel WPC untuk perendaman 2 jam nilainya kurang dari 1%. Setelah perendaman 24 jam nilai pengembangan ter�nggi pada sampel 80.B (3,9%). Pengembangan tebal yang rendah didominasi oleh koposisi WPC dengan mesh 60. Keadaan ini terjadi karena komposisi WPC dengan ukuran wood flour yang kasar sehingga menyerap air yang mengakibatkan pertambahan tebal. Menurut Ogorkiewicz (1970) dalam Gunara (1993)

Page 51: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

36

menyatakan bahwa sifat mekanik dari bahan thermoplas�c dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya temperature, waktu pembuatan, lingkungan dan bahan penyusun. Peningkatan temperatur dan waktu pembebanan yang semakin lama cenderung

menurunkan tegangan yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan kondisi lingkungan yang �dak sesuai, seper� kehadiran zat kimia tertentu akan mereduksi keteguhan mekanik dari bahan thermoplas�c.

IV.

PENUTUP

Produk WPC mencapai kondisi op�mal diperoleh pada komposit dengan serbuk kayu berukuran 80 mesh dan komposisi 50% kayu. Peneli�an dalam bidang komposit kayu plas�k ini masih pada tahap peneli�an dasar untuk mencari kesesuaian sifat material kayu, we�ng agent

dan bahan adi�f. Produk WPC sudah mulai digunakan dalam industri proper�. Dengan demikian terbuka peluang untuk membuat WPC secara massal tanpa mengkonsumsi bahan baku kayu yang banyak dan utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, E.S . 2003. Kayu Sawit Sebagai Subs�tusi Kayu dari Hutan Alam. Forum

Komunikasi dan Teknologi dan Industri Kayu.

Clemons, C. 2002. Wood-Plas�c Composites in the United States. Forest Products Journal 52(6): 10-18.

Febrianto F., M.Yoshooka, Y. Nagai, M. Mihara dan N. Shiraishi. 1999. Composites of Wood and Trans-1, 4-Isoprene Rubber: Mechanical, Physical and Flow Behavior. Journal Wood Science 45 : 38-45. Kyoto.

Gunara N.

1993. Pengaruh Berat Labur Beberapa Perekat Termoplas�k terhadap Keteguhan

Rekat Kayu Perupuk (Lophopetalum Spp). Skripsi Fakultas Kehutanan Ins�tut Pe rtanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Mulyadi.

2001.

Sifat –

sifat Papan Par�kel dari Limbah Kayu dan Plas�k. Skripsi Fakultas Kehutanan Ins�tut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasika n.

Page 52: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

37

PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN

SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK DAN HUTAN) DI

CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS

Oskar K. Oematan

Balai Peneli�an

Kehutanan Kupang

I.

PENDAHULUAN

Keberadaan hutan alami Ampupu (Eucalyptus urophylla) di kawasan Gunung Mu�s,

Khususnya dalam kawasan cagar alam rela�f masih utuh dan homogen. Berbagai fauna khas Nusa Tenggara menghuni kawasan ini dan telah membentuk wilayah ini sebagai kawasan spesifik dan unik. Topografi wilayah ini berbukit dengan kemiringan 60% dan memiliki curah hujan rata-rata 1500-2000

mm/tahun serta beriklim sejuk. Hulu �ga buah sungai besar juga dimulai dari kawasan ini dan memberi kontribusi untuk kebutuhan air bagi masyarakat di Timor Barat. Menurut FAO/UNDP (1982) tegakan ampupu merupakan tegakan terluas di wilayah Nusa Tenggara Timur.

Di

sekitar Cagar Alam (CA) Gunung Mu�s terdapat 14 desa dan 2 diantaranya berada di

dalam kawasan cagar alam (enclave). Populasi penduduk di kawasan ini berkisar 25.486 orang yang sebagian besar

terdiri dari suku Mollo dan Miomafo. Sebagian besar mata pencaharian

masyarakat adalah bertani kebun, seper� bawang, jeruk, jagung, dan kacang -kacangan. Disamping itu, mereka umumnya memiliki ternak sapi maupun kuda yang dilepas di

dalam

kawasan. Berdasarkan sensus dari WWF Nusa Tenggara tahun 1996 di 9 desa sekitar kawasan CA Gunung Mu�s, jumlah ternak sapi dan kuda yang dilepas di dalam kawasan mencapai 11.132 ekor. Jumlah ini diluar yang diikat yaitu sekitar 3.548 ekor. Kepemilikan ternak bagi masyarakat Mollo dan Miomafo �dak hanya memiliki dimensi ekonomi tetapi juga berdimensi sosial budaya (status sosial).

Keberadaan cagar alam sangat besar manfaatnya, keanekaragaman sumber daya alam haya� yang dapat dimanfaatkan oleh manusia melipu� berbagai aspek seper� ekonomi, ekologi, sosial maupun budaya. Upaya untuk menjaga kawasan dari kerusakan dan dapat menyebabkan gangguan cagar alam juga dilakukan, �dak hanya mencegah terjadinya perambahan kawasan oleh ak�vitas manusia, akan tetapi juga mencegah pencurian dan pembakaran hutan. Pelaksanaan dalam pengelolaan hutan, yang harus diperha�kan adalah nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat serta memperha�kan hak -hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan peran serta masyarakat setempat (Departemen Kehutanan, 1993).

Sebagian besar masyarakat Mollo menggantungkan hidupnya dari kawasan CA Gunung Mu�s. Oleh karena itu masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat untuk selalu menjaga kelestarian hutan dalam kawasan CA Gunung Mu�s. Masyarakat sangat menjunjung prinsip bahwa dengan menjaga keharmonisan antara manusia, ternak dan hutan maka akan menjamin keberlangsungan hidup mereka dan masa depan anak cucu. Pengetahuan lokal masyarakat Mollo dan kepatuhan mereka terhadap norma dan budaya lokalnya yang telah berlangsung lama dan merupakan warisan nenek moyang tentang bagaimana menjaga kelestarian kawasan hutan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Page 53: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

38

II.

KEADAAN BIOFISIK KAWASAN CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS

A.

Letak dan Luas

Kawasan CA Gunung

Mu�s terletak di bagian barat laut Pulau Timor, secara geo grafis terletak antara 124010’

-

124020’ Bujur Timur dan 9030’ -

9040’ Lintang Selatan. Secara administrasi pemerintahan,

CA Gunung

Mu�s berada dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan

(TTS)

dan Timor Tengah Utara/TTU( Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi kawasan CA Gunung Mu�s B.

Hidrologi dan Vegetasi

Berdasarkan peta tanah Indonesia,

�pe tanah kawasan CA Gunung Mu�s adalah tanah

kompleks dengan bentuk pegunungan kompleks dan tanah mediteran dengan bentuk wilayah pegunungan lipatan. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan terbasah di pulau Timor dengan lima

bulan kering dan tujuh

bulan basah.

Kawasan CA

Gunung Mu�s merupakan pegunungan yang membagi

pulau Timor menjadi dua sistem: fisiografi utara dan selatan. Kondisi penutupan vegetasi

yang rapat dan keadaan fisiografi daratan �nggi menciptakan iklim makro yang khas dengan curah hujan yang �nggi. Kawasan CA

Gunung Mu�s menyediakan air sepanjang tahun bagi �ga aliran sungai utama di Timor barat yaitu

Noelmina, Benenain, dan Oebesi yang menjadi pemasok utama kebutuhan air masyarakat Timor.

Jenis tumbuhan yang paling umum dan dominan adalah Ampupu (Eucalyptus urophylla). Perbedaan �pe vegetasi penutupan di beberapa kelompok hutan lebih diakibatkan oleh kondisi topografi permukaan, tekanan angin,

zonasi kegiatan ternak, penebangan liar dan perladangan berpindah.

C.

Flora dan Fauna

Berbagai macam jenis tumbuhan dan satwa khas Nusa Tenggara bisa dijumpai di kawasan CA Gunung Mu�s, seper� yang terlihat di Tabel 1.

Page 54: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

39

Tabel 1.

Jenis-jenis tumbuhan

di

CA

Gunung Mu�s

No

Nama lokal

Nama ilmiah

Famili

1

Ampupu

Eucalyptus urophylla

Myratecea

2

Ajaob

Casuarina junghuniana

Casuarinacea

3

Tune

Podocarpus imbricata

Podocarpaceae

4

Hautefu

Croton caudatus geisel

Euphorbiaceae

5

Hue

Eucalyptus alba

Myrtaceae

Tabel 2. Jenis-jenis satwa

di

CA

Gunung Mu�s

No

Nama jenis Indonesia

Nama ilmiah

Keterangan

I

Aves

1

Gagak Pohon

Carvus furgilegus

2

Merpa�

Columbia livia

3

Nuri dada hijau

Tanygnathus megalorinchus

4

Elang brontok

Spizaetus cirratus

Dilindungi

5

Alap-alap layang

Falco cencrhoides

6

Puyuh

Coturnix coturnix

7

Hantu abu-abu besar

Strix nebulosa

8

Gagak hitam

Corvus corone

9

Walet

Collocalis maxima

10 Nuri kepala merah Neopsi�acauda pullicauda

11 Kipas Rhipidura javanica Dilindungi II Mamalia 1 Babi hutan Sus scrofa 2

Kera ekor panjang

Macaca fascicularis

3

Kus-kus abu-abu hitam

Phalanger gimas�s

Dilindungi

4

Kuda

Eguus p caballus 5

Sapi

Bos indicus

III.

KEBERADAAN MASYARAKAT MOLLO DAN MIOMAFO DI KAWASAN

CA GUNUNG MUTIS

Asal usul masyarakat Mollo dan

Miomafo dalam sejarah konon berasal dari luar pulau Timor. Kedatangan mereka ke Gunung Mu�s melalui arah timur dan mereka berjumlah delapan orang. Menurut pengakuan mereka,

Gunung Mu�s adalah warisan

nenek moyang karena kedelapan orang pengembara tersebut �ba di pulau Timor belum ada penghuninya.

Ketertarikan mereka untuk

datang ke Gunung Mu�s karena pada malam hari tampak api menyala di

puncak gunung tersebut. Dengan melalui suatu perjalanan yang jauh �balah mereka di

atas Gunung Mu�s dan ternyata di

sana telah ada penduduk asli dengan ciri fisik berbeda dengan mereka. Konon mereka

bertelinga lebar, berbulu lebat bahkan memiliki taring yang panjang. Pada saat ditanya siapa namamu? dijawab “fatu tu an hau tuan“ ar�nya pemilik batu dan pemilik kayu. Bergabunglah mereka di

atas Gunung Mu�s untuk beberapa saat dan selanjutnya keenam pengembara sepakat untuk menyebar ke

suluruh penjuru pulau Timor sedangkan dua orang lainnya tetap menetap di Gunung Mut is yaitu Raja Kono menguasai wilayah timur dan Raja Oematan menguasai wilayah barat sedangkan turunan penduduk asli

Page 55: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

40

yang kemudian hari dikenal dengan suku Anin tersebar di wilayah �mur dan barat

Gunung Mu�s.

Dalam perkembangan selanjutnya masih adanya pengakuan dari kedua tokoh

tersebut yaitu Kono dan Oematan masih memiliki hubungan persaudaraan. Seper� tampak dalam penuturan adat (Natoni) terungkap suatu keterkaitan persaudaraan yang sangat kuat. Dimana Kono sebagai kakak menurunkan masyarakat Miomafo,

sedangkan Oematan sebagai adik menurunkan masyarakat Mollo.

Sebelum berlakunya pemerintahan baru, masyarakat Mollo

dan

Miomafo telah memiliki lembaga adat tradisional. Susunan lembaga-lembaga adat tradisional adalah:

Gambar 2. Susunan Lembaga Adat Masyarakat Mollo dan Miomafo

Berdasarkan kedudukannya dalam penyelenggaran pemerintahan dapat dibedakan lagi atas dua golongan yaitu (1) Ki� Nonot, (2) Nesu Eno. Ki� Nonot disebut juga raja dalam, di

tempat sebagai orang tua atau kepala yang kerjanya hanya duduk-

duduk dalam istananya yang disebut Sonaf, dan menunggu laporan dari Nesu Eno, karena tugasnya yang demikian dia juga dijuluki Kon hae beo kael

yang ar�nya duduk berselonjor kaki bersandar. Gol ongan Usif yang kedua disebut Nesu Eno

yang dapat diar�kan Raja Pintu. Dengan sebutan ini dimaksudkan bahwa jalannya pemerintahan �dak melalui Ki� Nonot melainkan Nesu Eno. Nesu Eno inilah yang berkuasa atas tanah dan rakyat di wilayah Mu�s.

Pengangkatan seorang Raja (Usif) biasanya �dak

terlepas dari keberadaan suku-

suku asli yang mendiami kawasan Mu�s. Secara tradisional yang berhak diangkat menjadi Usif adalah mereka yang berasal dari golongan bangsawan. Dalam pelaksanaan pemerintahan manajemen fungsional lebih diutamakan. Amaf adalah pembantu Usif dalam membantu menjalankan pemerintahannya, terutama dalam merumuskan kebijakan dan aturan -aturan adat, baik yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam maupun dalam penyelenggaraan

TEMUKUNGKECIL

MASYARAKAT

FETOR

FETOR

FETOR

USIF/KESEL

TEMUKUNGBESAR

KEPALASUKU(AMAF)

TOBE MEO

Page 56: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

42

binatang asli Gunung Mu�s namun �dak ada legenda yang menceritakan asal usul kud a. Jenis ternak sapi merupakan ternak introduksi yang dibawa

oleh Belanda.

V.

PERSEPSI MASYARAKAT MOLLO TERHADAP KEBERADAAN SEGITIGA KEHIDUPAN (MANUSIA, TERNAK, HUTAN)

Suranto (2011) menyatakan bahwa persepsi adalah memberikan makna pada s�mulasi inderawi atau menafsirkan informasi yang tertangkap oleh alat indera. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap s�muli inderawi yang berasal dari seseorang (partner komunikasi), yang berupa pesan verbal maupun nonverbal. Sedangkan menurut Baron dan Byrne (2004) persepsi sosial (social percep�on) adalah suatu proses yang kita gunakan untuk mencoba memahami orang lain. Karena orang lain memiliki peran pen�ng dalam usaha untuk mencoba menger� perilaku orang lain, apa yang mereka sukai sebagai individu, mengapa mereka ber�ngkah laku (atau �dak ber�ngkah laku) tertentu dalam situasi dan bagaimana perilaku mereka nan� dalam situasi berbeda.

Pen�ngnya persepsi terhadap lingkungan menurut hasil peneli�an Erwina (2005) bahwa alasan perlunya peneli�an persepsi terhadap lingkungan adalah untuk mencapai secara op�mal kualitas lingkungan yang baik, yakni kualitas lingkungan yang sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakannya. Hal ini sesuai dengan definisi persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi dan keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu. Kualitas lingkungan selayaknya dipahami secara subyek�f, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio kultural masyarakat. Dengan demikian kualitas lingkungan ini harus didefinisikan secara umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Pandangan ini menyempurnakan pandangan sebelumnya yang mengar�kan kualitas lingkungan hanya dari aspek fisik, biologis dan kimia saja.

Menurut persepsi masyarakat

Mollo dan Miomafo,

Gunung Mu�s dipercaya mempunyai makna yang pen�ng bagi kehidupan mereka. Secara turun temurun, masyarakat Mollo sangat mengagungkan batu-batu yang menjulang �nggi ibarat pohon yang dikenal dengan Faut Kanaf (Batu Nama). Di bawah Faut Kanaf keluarlah mata air yang disebut Oe Kanaf (Air Nama). Faut Kanaf diyakini masyarakat Mollo telah membentuk mata air yang mengalir dan menyatu membentuk DAS Benain dan DAS Noelmina. Kedua DAS yang bersumber dari Faut Kanaf ini telah memberikan kehidupan bagi masyarakat di Pulau Timor. Dengan demikian Faut Kanaf/ Batu Nama bukanlah sembarang batu namun memiliki makna yang berkaitan dengan pembentukan hidrologi. Oleh karena itu Faut Kanaf dan Oe Kanaf oleh masyarakat Mollo dinilai sebagai sumber kehidupan yang tetap dipelihara sampai saat ini.

Di kalangan masyarakat Pulau Timor dikenal

konsep segi�ga kehidupan yang disebut Mansian Muit Nasi Moni Nabuan

yang bermakna bahwa manusia, hutan, dan ternak merupakan satu kesatuan yang �dak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dan memiliki saling ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan di hutan, dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Konsep segi�ga kehidupan lahir sebagai kristalisasi dari pengalaman interaksi yang saling hidup dan menghidupkan antara kehadiran manusia yang menghorma� keberadaan sumberdaya alam beserta hak-hak budayanya terhadap hutan, tanah dan air termasuk ternak yang merupakan bagian �dak terpisahkan dari pola sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal (Njurumana, 2006).

Persepsi masyarakat Mollo terhadap segi�ga kehidupan bahwa mereka beranggapan bahwa itu adalah warisan

Page 57: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

41

kehidupan masyarakat. Amaf dapat dikatakan sebagai kepala

suku. Kepala sukulah yang menguasai lahan maupun hutan dalam suatu kawasan dan mengatur pemanfaatannya.

Wilayah yang menjadi tanggung jawab oleh seorang Amaf biasa disebut Suf. Suf ( Na’hae noe,

Na’nak Autuf) dapat diar�kan sebagai satu wilayah yang melipu� lahan kebun, ladang atau hutan yang batas-batasnya ditandai oleh benda-benda atau fenomena alamiah seper� sungai, jurang, batu besar, bagian ter�nggi dibatasi puncak gunung, sedangkan bagian terendah berbatas sungai. Amaf melakukan pengontrolan ru�n

dan menyampaikan laporan-laporan pen�ng kepada Temukung, sebagai imbalannya Amaf berhak mengambil hasil hutan berupa gaharu,

madu dan kayu cendana.

Tobe adalah pejabat yang berperan sangat pen�ng dalam penyelenggaraan upacara -upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan kalender pertanian maupun

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai contoh dalam upacara mendatangkan lebah dan pengambilan madu serta pengambilan kayu

cendana.

Meo adalah panglima perang dan penanggung jawab

keamanan dan keutuhan wilayah. Pemilihan pengangkatan meo dilakukan oleh Usif bersama-sama para Amaf dan disahkan melalui upacara adat.

Ke�ka Belanda datang dan mulai berkuasa di daratan Timor pada tahun 1905 mereka �dak membuat perubahan yang mendasar dalam susunan pemerintahan tradisonal. Sistem pemerintahan yang sudah ada tetap diberlakukan dengan membuat beberapa modifikasi. Modifikasi terhadap pemerintah tradisional antara lain menggan�kan nama jabatan yang ada sebelumnya. Ki� Nonot digan� dengan Kesel sedangkan Nesu Eno dengan sebutan Fetor.

Wilayah yang dulu dikuasai oleh Usif dinamakan Kefetoran. Kemudian dibawah Kefetoran ini ditambahkan dua lembaga yaitu Temukung Besar dan Temukung Kecil. Sistem pemerintahan kefetoran masih berlaku di wilayah Gunung Mu�s hingga beberapa waktu setelah kemerdekaan. Namun sejak ada pemerintahan gaya baru tahun 1967 kedudukan dan peranan Fetor serta pimpinan adat diambil alih oleh Camat dan Kepala desa beserta aparatnya. Perubahan kedudukan dan perangkat pemimpin adat tersebut berpengaruh pula terhadap penyelanggaraan upacara-upacara adat dan pranata-pranata pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahan gaya baru kedudukan/posisi Amaf dan Tobe digan�kan oleh seksi lingkungan di

dalam LKMD.

IV.

KEBERADAAN TERNAK KERBAU, SAPI DAN KUDA

Berdasarkan informasi masyarakat, asal usul kerbau diceritakan dalam alur yang berbeda-beda tetapi memiliki in� sama. Kerbau merupakan binatang asli pulau Timor yang berasal dari pemberian buaya di Danau

Maon Am Laime.

Konon kerbau langsung keluar dari alam yang disebut dengan is�lah poi pah

(secara harfiah ar�nya

keluar dari bumi) karena asal usulnya berasal dari buaya yang ada di danau, maka kerbau mempunyai kebiasaan be rkubang.

Pada mulanya kerbau merupakan ternak andalan

namun sejalan dengan perkembangan masyarakat, populasi kerbau menurun bahkan sampai punah. Masyarakat lebih berminat memelihara sapi dibanding kerbau karena sapi lebih mudah dipelihara

dan lebih cepat berkembang biak.

Penurunan populasi kerbau juga dipercepat dengan

suatu

penyakit

yang dikenal di kalangan masyarakat Mollo sebagai

“Kakolilo“. Selain itu, menurunnya populasi kerbau disebabkan oleh

hilangnya danau dan telaga yang dulunya terdapat di

Mu�s. Hilangnya danau ini karena adanya air bah pada tahun 1939.

Disamping kerbau, kuda diakui masyarakat sebagai

Page 58: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

43

leluhur yang akan menentukan kehidupan mereka di masa yang akan datang sehingga harus dijaga kelestariaanya.

VI.

PENUTUP

Kehidupan masyarakat Mollo sangat erat kaitannya dengan kawasan CA Gunung Mu�s, sudah sejak lama mereka berinteraksi dengan kawasan tersebut baik secara langsung maupun �dak langsung. Berdasarkan adanya interaksi ini, maka masyarakat Mollo mempunyai pengalaman-pengalaman tentang kawasan hutan sehingga mereka dapat memberikan persepsi terhadap

kawasan hutan. Masyarakat Mollo tetap menjaga prinsip keharmonisan segi�ga kehidupan (manusia, ternak, hutan), patuh terhadap norma dan budaya lokal demi kelestarian kawasan yang sudah menjadi sumber kehidupan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Baron RA, Byrne D.

2004. Psikologi Sosial. Jakarta. Penerbit Airlangga.

Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Par�sipasi Masyarakat Terhadap Kualit as Lingkungan di Daerah Pesisir: Kasus Di Kelurahan Marinda, Jakarta Utara.[tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Ins�tut Pertanian Bogor.

FAO/UNDP. 1982. Na�onal Conserva�on Plan for Indonesia. 4: Nusa Tenggara. Bogor :FAO of the United Na�ons ((Field Report 44).

Njurumana, G. ND. 2006. Cagar Alam Mu�s Sebagai Indikator Pembangunan di Timor Barat. Sebuah Ar�kel. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi X Tahun 2006. Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Suranto AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta. Graha Ilmu .

Page 59: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

44

Page 60: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

45

POTENSI STOK KARBON DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI

BONAK,

KECAMATAN BIBOKI SELATAN,

KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

Mar�nus Lalus

Balai Peneli�an Kehutanan Kupang

I.

PENDAHULUAN

Pemanasan global saat ini merupakan isu lingkungan yang pen�ng dan penyebab terjadinya perubahan iklim global. Terjadinya pemanasan global sebagai akibat peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang menyebabkan kese�mbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas. Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah yang menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming).

GRK pen�ng yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O)

yang kontribusinya lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2

yang diemisikan dari ak�vitas manusia (anthropogenic) mendapat

perha�an yang lebih besar. Sumber emisi GRK berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) dan alih fungsi lahan atau Land Use, Land Use Change and Forestry

(LULUCF). LULUCF ini menyumbang 18% terhadap konsentrasi GRK di atmosfer dan perubahan iklim (Stern, 2007 cit. Masripa�n & Rufi’e, 2008). Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini.

Peranan Hutan sebagai penyerap karbon dioksida mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca tersebut, Peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju

yang mengkhawa�rkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya

mengatasi (mi�gasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.

Peran hutan melalui proses

fotosintesis menyerap CO2 dengan bantuan cahaya matahari, air dari tanah dan klorofil daun. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin �nggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhen� tumbuh atau dipanen.

Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon -pohon yang sedang

berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO 2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi �dak dapat menyerap CO2

berlebih/ekstra(Kyrklund,1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah

karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada

lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2

di atmosfer.

Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (PPLH-KLH) Regional Bali dan Nusa Tenggara (2007), menyatakan bahwa dampak perubahan i klim adalah : 1) naiknya permukaan laut (tenggelamnya pulau kecil, instrusi air laut); 2) naiknya suhu laut(hasil perikanan turun); 3) naiknya suhu (penyakit meningkat, kebakaran hutan & lahan, hilangnya keanekaragaman haya�); 4) peningkatan curah hujan ( banjir & longsor, perubahan musim tanam); 5) peningkatan penguapan (rawan pangan/kekeringan) dan 6) peningkatan badai tropis (rawan transportasi).

Page 61: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

46

Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kenaikan permukaan air laut yang mengancam eksistensi pulau-pulau kecil di dunia. Bagaimana dengan propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? NTT merupakan provinsi kepulauan terdiri dari 566 pulau

besar dan kecil, 42 pulau telah diberi nama sedangkan 524 belum bernama. Jajaran pulau besar adalah

P. Flores, P. Sumba dan P . Timor serta gugusan P. Alor (Renstra Dishut NTT, 2006). Dari kondisi tersebut, diduga NTT akan bermasalah jika dampak perubahan iklim �dak teratasi. Beberapa bencana yang terjadi di NTT terkait dengan fenomena perubahan iklim diantaranya adalah tsunami di Maumere Flores (12 Desember 1992), banjir bandang di Bena Kabupaten Bellu (2000), tanah longsor di pulau Flores (2006), dan naiknya air laut ke wilayah daratan sejauh sekitar 10 meter di Belu selatan, Kabupaten Belu dan di wilayah pantai selatan Timor Tengah Selatan (TTS) pada tahun 2007 (Sakeng, 2008; Putro, 2007). Kepala Bapedalda NTT, pada sambutannya dalam Rencana Aksi Nasional Mi�gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RANMAPI) pada akhir Mei 2008, mengungkapkan bahwa pada awal tahun 2008 ini dampak perubahan iklim di NTT ditandai dengan adanya badai tropis yang

melanda daerah pesisir Maumere dan Ende (Pulau Flores), abrasi pantai selatan Kabupaten Rote Ndao dan ditetapkannya beberapa daerah di NTT sebagai daerah epidemi penyakit demam berdarah dan malaria.

Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan (2006) dalam Indonesia Civil Society Forum for Climate Jus�ce

mengungkapkan bahwa “sekarang ini pertanyaannya bukan lagi apakah pemanasan global ini benar-benar terjadi, tetapi apakah dalam menghadapi situasi darurat ini

kita dapat

menyesuaikan diri?”. Berbagai cara untuk mengatasi (merespon) kondisi lingkungan hidup yang baru (sebagai dampak perubahan iklim) dengan melakukan penyesuaian yang tepat, ber�ndak untuk mengurangi berbagai resiko/pengaruh nega�f atau memanfaa tkan efek-efek posi�fnya inilah yang kemudian disebut dengan adaptasi (Irawan�, dkk, 2008). Berbagai literatur menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling banyak menderita karena �dak mampu membangun infrastruktur untuk beradaptasi, walaupun da mpak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (Stern, 2007 dalam Ginoga, 2008).

Selain adaptasi, pengurangan emisi GRK di atmosfer menjadi salah satu upaya dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, mi�gasi merupakan intervensi manusia dalam mengurangi sumber GRK (UNFCCC, 2007). Stern (2007) dalam

Ginoga (2008),

mengungkapkan bahwa, upaya mi�gasi untuk mengurangi sumber emisi atau meningkatkan penyerapan emisi GRK yang berbasis tata guna lahan dipercaya merupakan kegiatan yang leb ih murah dibandingkan dengan melakukan mi�gasi emisi melalui kegiatan lain. Dalam kaitannya dengan tata guna lahan, kehutanan merupakan sektor yang paling disorot dalam upaya mi�gasi perubahan iklim. Vegetasi pada kawasan hutan berperan dalam menyerap da n meyimpan karbon melalui kegiatan fotosintesis.

Melalui proses fotosintesis CO2 diserap dari atmosfer dan diubah oleh tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa pada waktu tertentu. Simpanan karbon inilah yang dikenal dengan is�lah stok karbon (Apps dkk., 2003).

Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni Tahun 1999 ditetapkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.808.990 Ha atau 38,20 % dari luas daratan NTT. Dishut Provinsi NTT menyatakan bahwa, dari luasan kawasan hutan tersebut 661.680,74 ha dinyatakan kri�s (Citra Landsat ETM 7 tahun 2000). Laju lahan kri�s selama 20 tahun terakhir +

15.163,65 ha per tahun (untuk lahan kri�s di dalam dan di luar kawasan). Usaha penanganan lahan kri�s

dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan lahan. Di propinsi NTT, kemampuan dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan selama 20 tahun terakhir adalah sebesar +

3.615 ha per tahun. Banyaknya lahan kri�s di dalam kawasan hutan ini dikawa�rkan akan menurunkan simpanan karbon pada kawasan hutan NTT. Tujuan dan Sasaran : 1. Menges�masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak Kecamatan

Page 62: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

47

Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, 2. Tersedianya data dan informasi es�masi kandungan karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara.

II.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Lokasi dan waktu peneli�an

Kegiatan peneli�an dilakukan pada kawasan hutan tanaman Ja� di Bonak kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara. Waktu yang dibutuhkan selama 1 bulan mulai dari kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah

B.

Bahan dan Alat :

Bahan

:

Tegakan ja� di

Bonak Kecamatan Biboki Selatan, peta pendukung.

Alat

: Alat pembuatan plot (tali,cangkul, parang, dsb); alat pengukuran (phi-band/pita ukur, hagameter,

dan �mbangan), GPS.

C.

Rancangan

Pada ekosistem daratan, karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok: biomasa, nekromasa dan bahan

organik tanah. Karbon di atas permukaan tanah melipu�: biomasa pohon,

biomasa tumbuhan bawah, nekromasa dan seresah. Karbon di

bawah permukaan tanah melipu�: biomasa akar dan bahan organik tanah.

Peneli�an stok karbon yang akan dilakukan untuk

memperoleh data stok karbon melipu�: kegiatan survey lokasi, pengukuran biomassa tegakan, tumbuhan bawah, nekromassa, pengolahan data, analisa data, dan analisa tanah

D. Metode Peneli�an Metode pengumpulan data, tabulasi data dan analisa data dilakukan berdasarkan

“Petunjuk Prak�s Pengukuran "Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan” (Hairiah, K. dan Rahayu,2007).

Kelebihan dari pada penggunaan metode tersebut adalah metode

ini dapat digunakan diberbagai penggunaan lahan, dan �dak merusak bagian tanaman pokok kecuali untuk tumbuhan bawah. Es�masi cadangan karbon dilakukan dengan pembuatan plot pada kawasan hutan. Simpanan karbon dihitung dengan persamaan allometrik. Hasil yang diharapkan, data kandungan karbon bisa digunakan sebagai acuan untuk menjawab isu perdagangan karbon dan dijadikan per�mbangan untuk pembangunan hutan tanaman jenis Ja�.

Kegiatan utama:

1)

Pembuatan plot, pengukuran biomasa pohon, biomasa tumbuhan bawah, nekromasa seresah dan es�masi karbon tersimpan dalam akar.

2)

Menghitung jumlah karbon tersimpan.

3)

Analisa tanah.

4)

Membuat plot contoh

pengukuran (Gambar 1):

a.

Plot (20m x 100m) untuk pengukuran pohon berdiameter >30 cm.

b.

Sub Plot (5m x 40m) untuk pengukuran pohon berdiameter 5-30 cm.

c.

Sub-subplot (0,5m x 0,5m) untuk pengukuran tumbuhan bawah (understorey) seresah dan tanah.

Page 63: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

48

Gambar 1. Plot contoh untuk pengukuran biomasa dan nekromas

1)

Mengukur biomasa pohon

Pengukuran biomasa pohon dilakukan dengan cara 'non destruc�ve' (�dak merusak bagian tanaman).

Cara pengukuran

dan pengumpulan data:

a.

Mencatat nama se�ap pohon, dan mengukur diameter batang se�nggi dada dan �nggi.

b.

Mengukur diameter batang dan �nggi tunggak bekas tebangan yang masih hidup (�nggi >

50 cm dan diameter > 5 cm).

c. Menghitung berat jenis (BJ) kayu dari masing-masing jenis pohon dengan jalan memotong kayu dari salah satu cabang, lalu mengukur panjang, diameter dan menimbang berat basahnya kemudian di oven, pada suhu 100oC selama 48 jam dan �mbang berat keringnya.

d.

Hitung volume dan BJ kayu dengan rumus sebagai berikut: Volume (cm3) =

2

T

x100%

(gr)basahBerat

(gr)keringBerat)cmBJ(gr 3

Dimana:

R = jari-jari potongan kayu = ½ x Diameter (cm)

T = panjang kayu (cm)

2)

Pengolahan

data

a.

Menghitung biomasa pohon menggunakan persamaan alometrik

Tabel 1. Persamaan Allometrik

untuk Menghitung Biomasa Pohon

Jenis Pohon

Es�masi BiomasaPohon (kg/pohon)

Sumber

Pohon bercabang

BK = 0.11*BJ*D2.62

Ke�erings, 2001

Pohon �dak bercabang

BK = π*BJ*H*D2/40

Hairiah dkk, 1999

Sumber: Hairiah dkk, 2007

Keterangan: BK=berat kering; D=diameter pohon; H=�nggi pohon

BK = berat kering; D = diameter pohon, cm; H = �nggi pohon, cm; π

= 3,14

b.

Jumlahkan biomasa semua pohon yang ada pada suatu lahan, baik yang ukuran besar maupun yang kecil, sehingga diperoleh total biomasa pohon per lahan (kg/luasan lahan).

Page 64: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

49

3)

Mengukur biomasa tumbuhan bawah ('understorey')

Pengambilan contoh biomasa tumbuhan bawah harus dilakukan dengan metode 'destruc�ve' (merusak bagian tanaman). Tumbuhan bawah yang diambil sebagai contoh adalah semua tumbuhan hidup berupa pohon yang berdiameter < 5 cm, herba dan rumput-rumputan.

Pengolahan data

Hitung total berat kering tumbuhan bawah per kuadran dengan rumus sebagai berikut:

(

)

(

)

(

)

(

)

4)

Mengukur es�masi penyimpanan karbon pada nekromasa dan seresah

Nekromasa dibedakan menjadi 2 kelompok: nekromasa berkayu dan nekromasa �dak berkayu.

a.

Nekromasa berkayu: pohon ma� yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggul -tunggul tanaman, cabang dan ran�ng yang masih utuh yang berdiameter 5 cm dan panjang 0.5 m.

Pengolahan data

§

Menghitung berat nekromasa berkayu yang bercabang dengan menggunakan rumus allometrik seper� pohon hidup (lihat Tabel 2), sedangkan untuk pohon yang

�dak

bercabang dihitung berdasarkan volume silinder sebagai berikut:

BK =

0,11*BJ*D^2,62

Dimana: H = panjang/�nggi nekromasa (cm), D = diameter nekromas (cm), = BJ kayu (g cm-3). Biasanya BJ kayu ma� sekitar 0,4 g cm-3, namun dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi pelapukannya. Semakin lanjut �ngkat pelapukan kayu, maka BJ nya semakin rendah.

§

Melakukan pengolahan data nekromasa berkayu sama caranya dengan pengolahan biomasa pohon, yaitu bedakan antara jenis nekromasa besar (berdiameter > 30 cm) dan nekromasa sedang (berdiameter antara 5-30 cm), karena luas plot pengumpulan datanya berbeda.

b.

Nekromasa �dak berkayu: seresah daun yang masih utuh (seresah kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (seres ah halus).

5)

Penghitungan jumlah karbon (C)

tersimpan di atas permukaan tanah (aboveground)

Semua data (total) biomasa dan nekromasa per lahan dimasukkan ke dalam Tabel 6

yang merupakan es�masi akhir jumlah C tersimpan per lahan. Konsentrasi C dalam bahan organik biasanya sekitar 46%, oleh karena itu es�masi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat masanya dengan konsentrasi C, sebagai berikut:

Berat kering biomasa atau nekromasa (kg/ha) x

0,46

Page 65: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

50

Tabel 2.

Form es�masi total penyimpanan karbon bagian atas tanah pada suatu

system

penggunaan lahan (Mg ha-1)

Land use

Biomasa pohon

(Mg/ha)

Tumbuhan bawah

(Mg/ha)

Nekromasa (Mg/ha)

Seresah kasar

(Mg/ha)

Seresah halus

(Mg/ha)

Total biomasa (Mg/ha)

% C

Total Penyimpanan

C (Mg/ha)

Keterangan:

Total biomasa = biomasa+tumbuhan bawah+nekromasa+seresah kasar+seresah halus

Total penyimpanan C = total biomasa x %C

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Gambaran umum Lokasi Peneli�an

Bonak termasuk dalam wilayah Kecamatan Biboki Selatan, Kelurahan Supun. Luas kawasan hutan tanaman Ja� adalah 22,25 ha, ke�nggian tempat antara 554 -571 m dpl. Jumlah penduduk yang berdekatan dengan lokasi peneli�an ini terdapat 3 desa/kelurahan, dengan total jumlah penduduk sebanyak 9404 jiwa. Lokasi ini juga selain sebagai hutan tanaman jenis ja� yang dapat berperan dalam menyerap karbon juga merupakan penghasil sumber mata air Khususnya bagi masyarakat pada kelurahan Supun dan kelurahan Upfaon, sedangkan ketergantungan masyarakat sekitar kawasan hutan selain sebagai sumber mata air juga sebagai penghasil kayu bakar. Pada umumnya lokasi ini di dominasi oleh vegetasi jenis ja�, dengan jarak tanam 3 x 1 m yang ditanam pada tahun 1961 oleh Dinas Kehutanan Kabup aten Timor Tengah Utara.

Hutan tanaman ja� di lokasi Bonak Kecamatan Biboki Selatan di tanam pada

tahun 1961 atau sudah berumur (50

tahun)

pada saat peneli�an dilakukan. Hasil pengukuran

stok/simpanan karbon disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 3.

Potensi stok/simpanan karbon Bonak Kecamatan Biboki Selatan

Lokasi

Keterangan

jumlah

Luas

Biomasa

C

30 UP

5 -30

Serasah

Tb

nekro

Tanah

Bonak 1

153,94

0

4,561

0,615

0

Bonak 2

9,99

16,97

3,27

0,14

0

Bonak 3

149,97

0

3,11

0,64

0

Total

313,9

16,97

10,941

1,395

0

Biomassa

104,63

5,66

3,65

0,47

0,00

114,40

C

48,13

2,60

1,68

0,21

0,00

6,30

58,92

22,25

2545,44

1310,97

Sumber:

Hasil pengukuran dan analisis data primer

Dari Tabel 6

terlihat bahwa total biomasa terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter

30-up, dan seterusnya berturut-turut pohon 5 –

30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah sedangkan nekromas �dak terdapat pada lokasi ini. Demikian pula simpanan karbon terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30-up, dan seterusnya

Page 66: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

51

berturut-turut pohon 5 –

30, serasah, tanah, dan biomasa terkecil adalah tumbuhan bawah dan Nekromasa �dak tersedia pada lokasi ini.

Gambar 2.

Urutan simpanan karbon

Pada gambar 2 diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan stok karbon. Simpanan karbon pada lokasi peneli�an terbesar terdapat pada pohon yang berdiameter 30 cm up, dan berturut -turut di iku� oleh pohon 5 –

30 up, serasah, dan tumbuhan bawah. Sedangkan stok karbon pada komponen nekromasa �dak ada, Hal ini dipengaruhi oleh kebakaran hutan yang sering terjadi. Selain dari pada permasalahan kebakaran hutan, lokasi ini menjadi tempat yang menjadi obyek bagi masyarakat untuk memperoleh kayu bakar. Oleh karena hal tersebut simpanan pada komponen nekromasa �dak dijumpai sehingga jumlah stok karbon menjadi lebih kecil. Terdapat beberapa jenis vegetasi yang terdapat pada kawasan hutan ini. Sementara itu total karbon yang tersimpan di lokasi peneli�an Bonak pada pohon berdiameter 30 up adalah 144,39, pohon berdiameter 5 –

30 adalah 17,0, serasah 10, 9, tumbuhan bawah 1,4. Dan

kandungan C pada bahan organik adalah 6,3. Total stok karbon pada biomasa pohon sangat kecil, merupakan implikasi dari jumlah pohon yang berdiameter 30 cm-up/ha terdapat 85 pohon, jika dibandingkan dengan lokasi peneli�an Oeluan yang sama-sama jumlah pohon berdiameter 30 cm-up yakni 85 pohon/ha, maka Lokasi Bonak masih dianggap kurang banyak dalam menyerap karbon karena umur tanaman di lokasi Bonak sudah mencapai 50 tahun pada saat dilakukan peneli�an.

B.

Kerapatan Vegetasi

Kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi stok biomasa atau kandungan C, dimana semakin �nggi nilai kerapatan vegetasi semakin rendah nilai C untuk pohon berukuran diameter 30 cm-up, atau sebaliknya semakin rendah kerapatan vegetasi semakin �nggi nilai C untuk pohon berdiameter 30 cm-up. Total pohon berdiameter 30 cm-up adalah sebanyak 85 pohon/Ha dan jumlah total pohon pada lokasi Bonak adalah 1891,25 pohon, sedangkan untuk pohon yang berdiameter 5-30 cm adalah sebanyak 100 pohon/ha, atau 2225 pohon untuk 22,25 Ha.

Gambar 3.

Perbedaan penyusun stok karbon se�ap komponen di Bonak Kecamatan

Biboki Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara

313,9

16,97

10,941

1,395

0

3,16

POHON 30-UP POHON 5-30 SERASAH TUM.BWH NEKRO tanah

perbedaan penyusun karbon/komponen

313,39

16,97

10,941

1,395

0

6,31

BONAK

Page 67: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

52

Gambar 3

di atas menggambarkan komponen karbon yang terdapat pada permukaan tanah. Komponen penyusun karbon terbesar adalah pohon yang berdiameter 30 cm up 313,9 ton/ha, dimasukkan kedalam persamaan allometrik menjadi 144,4 ton C/ha, hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman yaitu (50) tahun pada saat peneli�an. Sementara po hon yang berdiameter 5-30 cm lebih sedikit jika dibandingkan dengan pohon 30 cm-up. Stok karbon yang tersimpan pada pohon beriameter 5-30 cm adalah sebanyak 16,97ton/ha (biomasa) atau 7,8 ton/ha (C), selanjutnya berturut-turut kandungan komponen penyusun karbon yang menempa� urutan berikut adalah serasah dengan nilai stok karbon sebanyak 10,941 (biomasa) atau 5,0 ton/ha dan tumbuhan bawah 1,395 ton/ha stok biomasa atau 0,6 ton/ha C. Sedangkan kandungan C pada bahan organik tanah memiliki stok karbon C sebanyak 3,16. Untuk kandungan biomasa pada pohon ma� (nekromasa) �dak ada.

III.

PENUTUP

Potensi stok Karbon Pada hutan tanaman ja� dilakukan di Bonak

Kecamatan

Biboki Selatan,

Kabupaten Timor Tengah Utara, dengan luas hutan

tanaman ja� 22,25 Ha tahun tanam 1961. Adapun

total stok karbon yang tersedia antara lain pada komponen Biomasa pohon berdiameter 30 cm-up 1070,893 ton/Ha, bahan organic tanah sebanyak 140,175 ton/Ha,

57,85

ton/Ha untuk pohon berdiameter 5-30 cm, nekromasa serasah 37,38 ton/Ha, dan tumbuhan bawah

0,416/Ha atau 9,27 ton/Ha

nekromasa berkayu 0.

Jadi total stok karbon pada hutan

tanaman ja� Bonak Kecamatan Biboki Selatan adalah 1310,97 ton/Ha.

DAFTAR PUSTAKA

BMG Kupang. 2008. NTT Mengalami Perubahan Iklim yang Ekstrim. URL: h�p://www.kapanlagi.com

diakses 23 Mei 2008.

Depu� Bidang KSDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, 2008. Rencana Aksi Nasional

dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Kupang.

Dinas Kehutanan NTT. 2006. Rencana

Strategis Dinas Kehutanan NTT 2006-2009. URL: h�p://www.dephut.go.id

diakses 6 Februari 2007.

Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi�gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor

Hairiah, K. dan Rahayu, S., 2007.

Petunjuk Prak�s Pengukuran ’Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Agroforestry Center-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya (Unibraw). Bogor. 77 p.

Irawan�, S., Sakuntaladewi, N. dan Sylviani,2008.

Kajian Pola Adaptasi Masyarakat terhadap Perubahan Iklim .Materi Presentasi dalam Rakor Integra�f Puslitsosek. Bogor.

PPLH-KLH Bali & Nusa Tenggara, 2007. Perubahan Iklim Global, Dampaknya dan sUpaya Menghadapi Perubahan Iklim. Materi Presentasi pada Seminar RAN-MAPI. Mataram

Sakeng, K. 2008. NTT Rentan Bencana. URL : h�p://www.beritabumi.or.id

diakses 23 Mei 2010.

Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. dalam Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mi�gasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor .

Page 68: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

53

TEKNIK PEMBIBITAN BIDARA LAUT

(Strychnos lucida. R.Br)

Gipi Samawandana

Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Mataram

I.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara megadiversity untuk tumbuhan obat di dunia. Tumbuhan-tumbuhan obat tersebut sebagian besar dari wilayah hutan tropika. Diperkirakan di

dalam kawasan hutan wilayah asia sekitar 70-90% tanaman obat berada di berbagai wilayah di Indonesia dan dari sekitar 40.000 jenis tumbuhan obat di dunia sekitar 30.000

jenis diantaranya terdapat dalam kawasan hutan indonesia. Salah satu jenis diantaranya adalah Bidara Laut (Strychnos lucida. R.Br).

Bidara laut merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat-obatan. Tanaman ini merupakan tanaman berkhasiat obat yang telah banyak dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Khususnya di NTB dan Bali. Pemanfaatan bidara laut oleh masyarakat secara turun-temurun membuat tanaman ini sangat populer sebagai obat an� malaria sehingga jika sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan bidara laut hanya untuk kebutuhan pengobatan mereka sendiri, maka seiring dengan adanya komersialisasi bidara laut ini masyarakat kemudian beralih memanfaatkannya untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan kayu bidara laut sebagai obat sudah pada tahap pemasaran. Tetapi masyarakat masih menjualnya dalam bentuk utuh tanpa pengolahan lebih lanjut. Sistem pemungutan masih dengan menebang pohonnya langsung dari kawasan hutan (BPK Mataram, 2009). Kontribusi penjualan kayu bidara laut ini �dak signifikan. Justru yang terjadi adalah semakin langka tanaman ini di hutan dimana masyarakat bergantung untuk pengobatan. Akibat lebih lanjut adalah degradasi hutan dan lingkungan hidup masyarakat, disisi lain teknologi budidaya belum ada.

II.

EKOLOGI

1.

Mengenal Jenis Bidara Laut

Tanaman bidara laut ini di daerah sering dikenal dengan nama: Kesena (Lombok), Songga

(Bima-Dompu), Kayu Pait (Bali), Kayu Ular, Dara Laut (Jawa), Bidara Gunong (Madura), Bidar a Mapai (Bugis).

Taksonomi Bidara Laut:

Kingdom

:

Plantae

Sub Kingdom

:

Tracheobionta

Super Divisi

:

Spermtophyta

Divisi

:

Magnoliophyta

Kelas

:

Magnoliopsida

Sub Kelas

:

Asteridae

Ordo

:

Gen�anales

Famili

:

Loganiaceae

Genus

:

Strychnos

Species

:

Strychnos lucida

R.Br

Page 69: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

54

Ciri-ciri tanaman Bidara Laut ini memiliki batang yang kecil, tetapi berkayu keras dan kuat. Bidara laut adalah tanaman yang tumbuh seper� semak.

Berikut ciri-ciri bidara laut adalah sebagai berikut (Hyne, 1987; Leenhouts, 1962):

a.

Tamanan merupakan pohon kecil yang mempunyai diameter batang dapat mencapai 30 cm dan �nggi rata-rata 12 m.

b.

Tanaman Bidara Laut yang masih muda mempunyai duri dan kadang-kadang batang membengkok.

c.

Kayunya berwarna kuning pucat, keras dan kuat.

d.

Semua bagian dari tanaman ini terasa pahit mulai dari buah, daun, batang, dan akar

e.

Daunnya mempunyai ukuran sekitar 2,6 –

6,1 cm x 1,7 –

3,7 cm dan bagian bawah daunnya pada umumnya mempunyai warna lebih pucat dari bagian atasnya

(Gambar 2).

f.

Bunga mempunyai kelopak antara 1 –

1,3 mm sedangkan mahkotanya mempunyai panjang 10 –

15 mm (Gambar 3).

g.

Buah berbentuk bulat berwarna hijau tua bila masih muda dan berwarna

orange apabila sudah tua/masak

(Gambar 1).

Gambar 1.

Buah bidara laut

Gambar

2. Bagian-bagian bidara laut

dan

Bunga bidara laut

2.

Kondisi Tempat Tumbuh

Tempat tumbuh ideal tanaman Bidara laut ini

sangat baik di ke�nggian 15-300 mdpl. Type iklim D, E, dan F, dengan curah hujan tahunan 428-1.622 mm/tahun, suhu udara 27

-

Page 70: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

55

30

, kelembaban 68%

-78%

dan bulan basah rata-rata 3-5. Tanaman Bidara Laut ini mampu hidup pada lahan yang secara fisik cukup berat yaitu topografi perbukitan, kemiringan dari landai (<10%) sampai curam

(>40%), batuan permukaan 20%-60%, batuan singkapan 15%-60%. Tingkat erosi antara rendah sampai berat dan tekstur tanah antara halus sampai kasar. Jenis tanah habitat bidara laut didominasi oleh podsolik merah kuning dan sebagian kecil jenis regosol dan kambisol dengan kandungan C –

Organik dan N rendah. Unsur P didominasi �ngkat sangat rendah, unsur K �nggi, unsur KTK yang �nggi dan ka�on tanah dari sangat rendah sampai sangat �nggi.

III.

TEKNIK PEMBIBITAN

Pembibitan tanaman Bidara Laut dapat dilakukan secara genera�f (buah dan anakan alam) dan secara vegeta�f (stek batang dan stek pucuk).

PEMBIBITAN SECARA GENERATIF

A.

Berasal dari buah/ biji

Buah/biji dapat diperoleh pada saat tanaman bidara laut musim berbuah yaitu bulan Mei-Juli yang ditandai dengan buah matang/masak berwarna orange (kuning-kemerahan). Buah yang telah matang kemudian diekstraksi dengan cara mengeringanginkan buah. Kemudian keluarkan biji dengan mengupas kulit dan daging buahnya. Setelah itu dilakukan sortasi benih. Benih yang baik berukuran besar –

sedang. Sebelum di tabur, benih bidara laut

dicuci terlebih dahulu kemudian di jemur di bawah sinar matahari selama 1-2 hari. Hal ini dilakuan untuk mempercepat benih berkecambah.

Perkecambahan benih dilakukan dengan cara menabur di dalam bak – bak kecambah. Media perkecambahan yang digunakan adalah media top soil + pasir (1:3) atau menggunakan pasir halus 100% (Rahayu & Wahyuni, 2013).

Penaburan benih dilakukan dengan membenamkan seluruh bagian benih kedalam media kecambah dengan posisi benih bagian pangkal berada di posisi bawah dan kedalaman 1 cm.

Bak kecambah diletakkan dibawah naungan agar terjaga suhu dan kelembabannya. Kondisi tempat perkecambahan berada pada suhu 29

-32

dan kelembaban >75% (Kurnia� & Danu, 2012). Hasil perkecambahan dapat mencapai >80%.

B.

Berasal dari anakan alam

Anakan dari tanaman bidaral laut dapat menjadi alterna�f dalam perbanyakan tanaman.

Kriteria anakan yang diambil untuk pembibitan tanaman sebaiknya sudah berdaun minimal 2 helai daun

dan �nggi 10-20 cm (Kurniaty & Danu, 2012). Anakan disemaikan pada kantong plas�k (polybag) yang berisi media tanah + pupuk organik (1:1) dan diletakkan dibawah naungan. Hasil pembibitan dapat mencapai > 80%.

C.

Penyapihan

Penyapihan dilakukan minimal 2 bulan sejak benih disemaikan atau ditandai dengan ciri semai telah memiliki sepasang daun dan telah terbuka sempurna. Penyapihan dilakukan pada polybag yang telah berisi media sapih dengan campuran tanah + pasir + pupuk kandang (3: 2 : 1) ( Nandini & Agustarini, 2011) atau bisa juga menggunakan tanah + arang sekam + cocopeat (2 : 2 : 1) (Rahayu & Wahyuni, 2013). Semai

dipindahkan dari bak kecambah dengan cara mencabut secara ha�-ha� agar akar �dak terputus.

Page 71: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

56

Kelebihan pembibitan secara genera�f adalah:

1.

Mudah dilakukan

2.

Tidak memerlukan perlakuan Khusus

3.

Ketersediaan biji dan anakan alam rela�f banyak

4.

Persentasi/�ngkat keberhasilan pertumbuhan tanaman lebih besar

Kekurangan pembibitan secara genera�f adalah keter sediaan biji/benih harus menunggu pada bulan musim berbuah.

PEMBIBITAN SECARA VEGETATIF

A.

Stek Batang

Bahan stek batang yang digunakan dipilih dari cabang/batang tanaman yang umurnya masih muda. Stek dipilih yang tumbuh tegak (ortohotrop). Hal ini dimaksudkan agak nan�nya tanaman dapat tumbuh lurus ke atas, dan �dak tumbuh ke samping/miring. Cara penyetekannya adalah sebagai berikut:

1.

Stek batang bidara laut diperoleh dengan memotong cabang/batang sepanjang 10-20 cm dan berdiameter batang 1 cm.

2.

Sebelum ditanam stek batang diberi zat pengatur tumbuh terlebih dahulu. Agar cepat mengeluarkan akar nan�nya.

3.

Media stek disiapkan didalam polybag dengan campuran top soil + pasir + pupuk kandang (2 : 1 : 1)

4.

Stek batang ditanam pada polybag kemudian ditempatkan di bawah naungan agar tetap terjaga suhu dan kelembabannya.

B. Stek Pucuk/tunas Bahan stek pucuk/tunas diperoleh dari bagian tunas muda yang berada di ujung

tangkai/cabang daun ataupun tunas trubusan. Cara penyetekannya hampir sama dengan stek batang. Perbedaaannya bahan stek pucuk/tunas didapatkan dengan memotong bagian pucuk daun dengan menyisakan 2 ruas daun. Selanjutnya daun-daunnya dipotong setengah untuk mengurangi penguapan.

Setelah ditanam pada media penyetekan diberi sungkup plas�k agar kelembaban, suhu dan penguapannya terjaga.

Kelebihan pembibitan secara vegeta�f adalah:

1.

Dapat mengatasi masalah kebutuhan bibit tanpa harus menunggu bulan musim berbuah.

2.

Dapat diambil bahan stek kapan saja.

Kekurangan pembibitan secara vegeta�f adalah:

1.

Tingkat kesulitan pembibitan lebih �nggi dibandingkan dengan pembibitan genera�f.

2.

Memerlukan perlakuan Khusus.

3.

Persentasi/�ngkat keberhasilan pertumbuhan lebih kecil.

IV.

PEMELIHARAAN, HAMA DAN PENYAKIT

A.

Pemeliharaan

Pemeliharaan yang dilakukan selama dipembibitan adalah penyiraman, yang

dilakukan pada pagi atau sore hari. Intensitas penyiraman disesuaikan dengan kondisi tanaman tersebut. Kelebihan dan kekurangan air harus diperha�kan agar tanaman tersebut �dak kekeringan ataupun tergenang sehingga dapat menyebabkan tanaman ma�.

Page 72: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

57

Pembersihan gulma dapat dilakukan 2 minggu sekali tujuannya adalah agar tanaman gulma/penganggu �dak tumbuh liar yang dapat menghambat pertumbuhan bidara laut karena persaingan cahaya matahari dan mengambil unsur hara.

B.

Hama dan Penyakit

Hama yang sering menyerang tanaman bidara laut di persemaian adalah hama perusak pucuk tanaman, hama perusak daun, hama perusak batang, hama perusak akar, dan hama perusak biji (Suhar�, 2003). Pengendaliannya dengan cara menyemprotkan insek�sida. Sedangkan Penyakit pada tanaman bidara laut diakibatkan oleh jamur, bakteri dan virus. Pengendaliannya dengan cara membuang bagian tanaman yang terserang penyakit agar �dak menular ke tanaman lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

BPK Mataram. 2009. “Kandungan Senyawa Ak�f Jenis-Jenis Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat dan Kosme�k”. Laporan Hasil Peneli�an. Mataram: Balai Peneli�an Kehutanan.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Kurniaty, R. dan Danu. 2012. “Teknik Persemaian”. Publikasi Khusus. Bogor: Balai Peneli�an

Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.

Nandini, R. dan R. Agustarini. 2011. “Teknik Budidaya Tanaman Bidara Laut (Strychnos lucida

R.Br) secara Genera�f”. Prosiding Workshop, Sintesa Hasil Peneli�an Hutan Tanaman 2010. Hlm. 359-365. Bogor: Pusat Litbang Peningkatan Produk�vitas Hutan.

Rahayu, A.A.D. dan R. Wahyuni. 2013. “Teknik Pembibitan Genera�f dan Vegeta�f Jenis Bidara Laut/Songga”.

Laporan Hasil Peneli�an.

Mataram: Balai Peneli�an Teknologi Hasil

Hutan Bukan Kayu.

Page 73: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

58

Page 74: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

59

TEKNIK ISOLASI JAMUR PEMBENTUK GAHARU

Mansyur

Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram

I.

PENDAHULUAN

Gubal gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah ma�, sebagai akibat proses infeksi yang terjadi, baik secara alamiah maupun buatan pada pohon tersebut yang pada umumnya terjadi pada tanaman Gyrinops spp. dan Aquilaria spp.

Gubal gaharu adalah salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang produk gubalnya mengandung damar wangi (aroma�c

resin). Keharuman aroma gaharu menjadikannya sebagai komoditas perdagangan pen�ng dalam lingkungan industri parfum, kosme�ka dan obat-obatan tradisional. Hampir seluruh produk gaharu di Indonesia diperoleh dari alam.

Di Indonesia terdapat dua genus utama penghasil gaharu yakni Aquilaria spp dan Gyrinops spp.

(Departemen Kehutanan, 2003). Daerah tumbuh tanaman gaharu beriklim panas

dengan suhu rata-rata 32°C, kelembaban sekitar 70% dan curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002). Penyebaran pohon penghasil gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan

hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan

Jawa (Sumarna, 2007). Penyebaran G. versteegii terdapat di pulau-pulau Indonesia bagian �mur, yaitu Pulau

Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Minahasa dan Irian Jaya. Spesies ini menyeba r dari dataran rendah sampai ke�nggian 900 mdpl (CITES, 2004). G. versteegii dikenal juga dengan nama daerah ke�munan (Lombok), ruhu wama (Sumba) dan seke (Flores dan Sumbawa) (CITES, 2004; Mulyaningsih dan Isamu, 2007).

G. versteegii memiliki ciri morfologi berupa pohon kecil dengan

�nggi 1-4 m, dan diameter 1-10 cm. Pohon ini �dak selalu berbunga dan buahnya berwarna kuning atau orange (Mulyaningsih dan Isamu, 2007).

Jenis Aquilaria

tumbuh baik di jenis tanah podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainase sedang sampai baik, iklim A -B, kelembaban 80%, suhu 22 –

28°C, curah hujan 2000-4000 mm/th, �dak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4 (Mogea dkk, 2001).

Zaman

dahulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepen�ngan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena dieksploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Banyak daerah saat ini sudah melakukan pembudidayaan gaharu. Tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi fungi pembentuk

gaharu yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan fungi pembentuk gaharu, kemudian dilakukan inokulasi.

Pohon penghasil gaharu melakukan perlawanan dengan memproduksi resin (fitoaleksin)

supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Lama-kelamaan, resin tersebut mengeras, dan menjadi berwarna kecoklatan serta harum bila dibakar. Mengingat jenis isolat fungi pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan, maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu (Turjaman dkk, 2009).

Page 75: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

60

Prinsip dari isolasi mikroba adalah memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lainnya yang berasal dari campuran bermacam-macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkannya dalam media padat, sel-sel mikroba akan membentuk

suatu koloni sel yang tetap pada tempatnya (Sutedjo, 1996). Jika sel-sel tersebut tertangkap oleh media padat pada beberapa tempat yang terpisah, maka se�ap sel atau kumpulan sel yang hidup akan berkembang menjadi suatu koloni yang terpisah, sehingga memudahkan pemisahan selanjutnya (Sutedjo, 1996). Bila digunakan media cair, sel-sel mikroba sulit dipisahkan secara individu karena terlalu kecil dan �dak tetap �nggal di tempatnya. Beberapa faktor yang perlu diperha�kan dalam mengisolasi mikroorganisme adalah sifat dan jenis mikroorganisme, habitat mikroorganisme, medium pertumbuhan, cara menginokulasi dan inkubasi, cara mengiden�fikasi, cara pemeliharaannya, dan metode isolasinya (Dwidjoseputro, 1998).

II.

BAHAN DAN PERALATAN

1.

Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Lapangan

Bahan dan alat untuk eksplorasi

Bahan:

Pohon Gyrinops

sp. yang pada bagian batang/akarnya terindikasi membentuk gaharu.

Alat :

Parang, plas�k, �su, label, spidol permanen, buku catatan, ballpoint.

Bahan dan alat untuk inokulasi

Bahan:

Alkohol 70%, isolat cair fungi pembentuk gaharu

Alat : Pipet, bor, blender, corong, genset, �su, tangga, masker, sarung tangan, plas�k, parang, label, korek api, buku catatan, penggaris, meteran, spidol permanen, paku, ballpoint, kertas kalkir/kertas minyak, pensil, penghapus, standar warna.

2. Bahan dan Peralatan untuk Kegiatan di Laboratorium Bahan dan alat untuk sterilisasi

Bahan

:

Alkohol 70%, alkohol 95%, spiritus, bayclin, aquadest

steril. Alat

:

Autoclave, bunsen, oven, korek api, masker, jas lab, sarung tangan, �su, alumunium foil, seal

Bahan dan alat untuk pembuatan medium padat

Bahan :

PDA botolan, aquadest.

Alat

:

Jas lab, masker, pisau, gelas beker, saringan, s�rrer, �mbangan anali�k, magne�c s�rsrer, gelas ukur, erlenmeyer, petridish, alumunium foil, seal.

Bahan dan alat untuk isolasi

Bahan :

Irisan kayu yang terindikasi membentuk gaharu, alkohol 70%, spiritus

Alat

:

pisau, petridish

steril kosong, �su steril, pinset, laminar air flow

(LAF), jas lab, masker, sarung tangan, jarum ose, bunsen, korek api, saringan, gelas ukur, label, spidol permanen.

Bahan dan alat untuk penanaman pada medium PDA

Bahan :

Medium PDA dalam petridish, alkohol 70%, spiritus, potongan-potongan kayu yang mengindikasikan terbentuknya gaharu.

Alat :

Jarum ose, pinset, skalpel, mata skalpel, bunsen, seal, alumunium foil, �su steril, petridish

kosong yang telah disterilisasi, korek api, label, spidol permanen.

Page 76: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

61

Bahan dan alat untuk penanaman pada medium cair

Bahan :

Isolat fungi pembentuk gaharu dalam petridish, alkohol 70%, spiritus

Alat

:

LAF, korek api, bunsen, �su, botol inokulan, jas lab, sarung tangan, seal, masker, spidol permanen, label.

Bahan dan alat untuk inkubasi

Bahan :

Isolat fungi pembentuk gaharu

Alat

: Rak inkubasi dan inkubator

Bahan dan alat untuk pengamatan mikroskopis

Bahan : Aquades, alkohol 70%, spiritus.

Alat

:

Jarum ose, gelas benda, gelas penutup, bunsen, korek api, �su, jas lab, masker, sarung tangan, kamera mikroskop, dan mikroskop.

3.

Eksplorasi Jamur yang Terindikasi Membentuk Gaharu

Pohon yang akan dipilih dalam eksplorasi adalah pohon dengan kriteria:

-

Belum pernah disun�k/diinokulasi

-

Terdapat indikasi pembentukan gaharu

-

Mampu disayat/diiris bagian yang terindikasi pembentukan gaharu

Eksplorasi dilakukan pada pohon jenis Gyrinops

sp. yang belum pernah disun�k/diinokulasi sebelumnya. Pada pohon tersebut disayat pada bagian batang/akar yang terindikasi membentuk gaharu, dan sayatan tersebut disimpan, diberi label, untuk kemudian dapat diisolasi dan diproses di Laboratorium Mikrobiologi.

4. Kegiatan di Laboratorium Mikrobiologi

Kegiatan di laboratorium yang secara berkala dilakukan melipu�: a. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan secara berkala, dengan tujuan agar kontaminasi dapat diminimalisir sekecil mungkin. Proses sterilisasi basah dilakukan menggunakan autoclave, sedangkan sterilisasi kering dilakukan menggunakan oven. Sterilisasi basah biasa digunakan untuk sterilisasi medium, sterilisasi kering biasa digunakan untuk sterilisasi alat.

b.

Pembuatan medium agar (Potato Dextrose Agar)

Proses pembuatan medium dilakukan dengan cara menimbang PDA sebanyak 20 gram, kemudian dicampur aquadest

steril 500 ml dalam erlenmeyer

sambil dipanaskan menggunakan magne�c s�rrer. Medium kemudian di autoclave

dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C, setelah di autoclave, medium langsung dimasukkan ke dalam petridish

yang telah disterilisasi (proses ini harus dilakukan secara asep�s di dalam LAF).

c.

Isolasi

Proses isolasi dilakukan dengan memotong-motong bagian kayu Gyrinops

sp. hasil eksplorasi menjadi bagian-bagian kecil (ukuran 2 x 2 x 2 mm), kemudian direndam dalam alkohol 70%, dikocok menggunakan vortex

atau diaduk secara cepat menggunakan spatula, dibilas dengan aquadest

steril, lalu ditanam pada media PDA, kemudian dimurnikan masing-masing koloni yang akan dipelihara.

d.

Peremajaan fungi pada media padat

Fungi yang telah dewasa dan memenuhi seluruh bagian petridish

perlu diremajakan kembali, untuk menjaga ketersediaan nutrisi agar tetap terjaga dengan baik pertumbuh annya. Peremajaan fungi pada media padat dilakukan dengan mengambil/mengiris bagian fungi termuda (bagian paling pinggir) pada petridish, dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm ke dalam media

Page 77: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

62

PDA baru, dan kemudian diinkubasi pada suhu ruang (proses penanaman ini haru s dilakukan secara asep�s di dalam LAF).

e.

Inkubasi

Kegiatan inkubasi dapat dilakukan pada suhu ruang maupun di dalam inkubator.

f.

Pembuatan medium cair

Proses pembuatan medium cair dilakukan dengan metode:

menimbang kentang, dextrose, kemudian di campur aquadest

steril 500 ml, dipanaskan dalam

erlenmeyer, lalu dimasukkan ke dalam botol inokulan, kemudian di autoclave

dengan tekanan 1 atm dan suhu 121°C

g.

Pembuatan inokulan cair

Proses pembuatan inokulan cair dilakukan dengan cara membagi isolat yang telah tumb uh dalam media padat dengan masing-masing bagian yang sama, diiris membentuk juring (dari pusat lingkaran ke tepi lingkaran), kemudian dimasukkan ke dalam botol inokulan, untuk selanjutnya di kocok/di shaker

(proses pembuatan inokulan cair harus dilakukan secara asep�s di dalam LAF).

h.

Pengocokan

Proses pengocokan dilakukan 1 bulan sebelum tahap uji di lapangan dilakukan. Tahapan dari proses ini adalah meletakkan botol-botol berisi inokulan cair pada shaker, dan diatur waktu pengocokannya, yaitu dengan kecepatan 125 rpm, selama 1 bulan.

5.

Kegiatan Ujicoba Isolat di Lapangan

Tahapan kegiatan inokulasi di lapangan adalah sebagai berikut:

a. Metode yang dilakukan dengan inokulasi menggunakan metode bor 1 lajur untuk �ap -�ap jarak lubang bor pada batang pohon Gyrinops sp. dengan ukuran lubang bor 3 mm, dengan perlakuan jarak bor 30 cm, 50 cm, dan 70 cm, menggunakan isolat dan kontrol yang berisi media kosong tanpa isolat.

b.

Jarak lubang bor terbawah dari permukaan tanah sebesar 20 cm (Sasmuko dkk, 2011). Semua pohon

diperlakukan dengan jumlah lubang yang sama (yaitu untuk jarak 70 cm

sebanyak 9 lubang, untuk jarak 50 cm sebanyak 9 lubang, dan untuk jarak 30 cm sebanyak 9 lubang, dengan dosis yang sama yaitu masing-masing 3 ml. Keterangan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

c.

Pengamatan hasil inokulasi, melipu� luasan area, warna, dan bau.

Pengamatan dilakukan pada saat 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan setelah inokulasi, dengan mengupas bekas bor sebanyak 3 ulangan kupasan (bagian atas, tengah, dan bawah) untuk masing-masing perlakuan. Pada �ap-�ap pengamatan, dilakukan pengelupasan pada lubang bor yang berbeda (1 bekas lubang bor hanya diama� 1 kali pengamatan).

Luasan area indikasi pembentukan gaharu diama� dengan metode mengupas/menguli� bekas bor sedalam ± 0,5 cm, selanjutnya mengcopy/menjiplak luasan area yang terbentuk pada lubang bekas bor menggunakan kertas kalkir / kertas minyak, kemudian hasil jiplakan tersebut di copy

kembali ke kertas milimeter blok, dan di hitung luasan area indikasi terbentuknya gaharu.

Warna yang terbentuk diama� dengan mencocokkan warna pada bekas lubang bor yang diama� dengan standar warna yang telah ada. Bau diama� dengan membakar irisan indikasi terbentuknya gaharu, dihirup oleh 3 orang, kemudian dirata-rata hasil/pendapat dari 3 orang tersebut, kemudian dicatat skornya.Pohon yang akan dipakai dalam ujicoba ini sejumlah 2 pohon. Jumlah pohon yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 78: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

63

Tabel 1.

Jumlah Pohon yang Diperlukan

No

Inokulan

Jumlah Pohon

Dosis (ml)

1

Isolat

1

3

2

Kontrol

1

3

Total

2

Dalam 1 pohon akan diinokulasi menggunakan 1 macam isolat saja, dengan 3 perlakuan jarak lubang bor yang berbeda, yaitu jarak 30 cm, 50 cm, dan 70 cm (pembagiannya dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 1).

Gambar 1. Perlakuan pada kegiatan inokulasi di lapangan

Pencatatan pengamatan pembentukan gaharu dapat dilihat pada Tabel 2 dan standar

warna pembentukan gaharu dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 2.

Pengamatan Pembentukan Gaharu

No

Isolat

Ukuran Luasan

Warna

Bau

1

2

3

Warna

Skor

1

1

2

3

4

5

6

Gambar 2. Standar warna pembentukan gaharu

Sedangkan pencatatan metode skoring untuk indikasi bau gaharu yang diama� dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Skoring untuk Indikasi Bau Gaharu

Indikasi Bau

Berbau gaharu

Agak berbau gaharu

Tidak berbau gaharu

Skor

1

2

3

30 cm

70 cm

20 cm dari permukaan tanah

30 cm

70 cm

50 cm

Jarak 30 cm

Jarak 50 cm

Jarak 70 cm

Penampang melintang batang Gyrinops

sp.

Page 79: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

64

6.

Hasil Ujicoba Isolat di Lapangan

Hasil ujicoba isolat dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4.

Hasil ujicoba isolat pada pohon gaharu

No.

Jarak Antar

Lubang Inokulasi

(cm)

Bulan ke-1

Bulan ke-3

Bulan ke-6

Inokulan

Luas Area

(mm)

Warna

Bau

Luas Area

(mm)

Warna

Bau

Luas Area

(mm)

Warna

Bau

1

Isolat

30

353

5

3

421

5

2

1242

5

2

2

Isolat

50

428

4

3

716

5

2

1019

5

2

3

Isolat

70

509

5

2

532

5

2

755

5

1

4

Kontrol

30

172

5

3

270

5

3

389

5

3

5

Kontrol

50

268

5

3

319

5

2

779

5

3

6

Kontrol

70

332

4

3

295

4

3

744

5

2

Berdasarkan hasil pengamatan ternyata jarak antar lubang inokulasi dan waktu berpengaruh terhadap hasil uji coba teknik isolasi jamur pembentuk gaharu.

Dari Tabel

4. di atas diketahui bahwa jarak antar lubang 70 cm (terpanjang) baik isolate maupun control pada bulan ke enam memiliki skor bau 1 dan 2.

Sedangkan untuk warna pembentukan gaharu,

baik

jarak antar lubang inokulasi maupun waktu kurang berpengaruh.

7.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomis �nggi dan merupakan sumber pendapatan yang menjanjikan bagi masyarakat. Telah diupayakan proses budidaya untuk mengurangi adany a ilegal logging akibat adanya perburuan gaharu alam, salah satunya dengan metode inokulasi. Di Indonesia sendiri teknologi inokulasi untuk menghasilkan gaharu telah banyak dikembangkan. Teknologi inokulasi tersebut �dak lepas dari adanya peran isolat fungi pembentuk gaharu.

DAFTAR PUSTAKA

CITES. 2004. Conven�on on Interna�onal Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Gyrinops. pdf.

Departemen Kehutanan. 2003. Teknik Budidaya Gaharu. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi

Alam. Bogor.

Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi

. Djambatan. Malang.

Mogea, J.P. dkk. 2001. Tumbuhan langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.

Mulyaningsih T. dan Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in Nusa Tenggara, Celebes and West Papua

h�p://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/final_ reports2007/ar�cle/43-tri.pdf.

Sasmuko, S. A., Y. M. M. A. Nugraheni, A. Setyayudi. 2011. Eksplorasi dan Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu di NTB. Laporan Hasil Peneli�an. Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. NTB.

Sutedjo, M. 1996. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Page 80: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

65

Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Bogor.

_________. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Turjaman, M. dkk. 2009. Overview Pengembangan Gaharu ITTO PD425/06 REV.1 (1). Makalah

Seminar Nasional Gaharu pada tanggal 12 November 2009.

Bogor.

Page 81: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

66

Page 82: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

67

PEMBUATAN FILLER SECARA SEDERHANA

UNTUK BAHAN FINISHING KAYU YANG MURAH

Darta

Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor

I.

PENDAHULUAN

Finishing kayu adalah suatu kegiatan melapisi permukaan kayu dengan tujuan peningkatan nilai keindahan dan perlindungan

(terhadap kondisi cuaca, benturan/gesekan, dan

jamur).

Produk kayu

yang akan diletakkan di lingkungan terbuka (eksterior) perlu dilindungi dengan bahan finishing

agar tahan lebih lama. Sedangkan untuk pemakaian di interior, keindahan lebih diutamakan sehingga bahan finishing

yang dapat mengekspos tampilan serat kayu menjadi pilihan yang lebih tepat ( Sunaryo, 1997).

Wood filler

adalah lapisan awal dari finishing

kayu yang berfungsi untuk menutup pori-pori kayu. Bahan ini digunakan sebelum proses sanding (pemberian warna dasar). Filler yang biasa beredar di masyarakat adalah yang menggunakan bahan pelarut spritus, �ner, dan metanol. Penggunaan bahan pelarut tersebut selain mahal juga berdampak terhadap kesehatan jika �dak dilakukan secara ha�-ha�. Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan menyajikan hasil uji coba pembuatan filler

dari bahan yang murah dan mudah diperoleh. Sebagai bahan pelarut

digunakan air.

II. BAHAN DAN METODE

Bahan untuk pembuatan filler dalam peneli�an ini menggunakan PollyVinyl Acetat (PVAC), oker tepung dari gamping, air murni, boraks boriks. Apabila filler mau berfungsi sebagai

bahan pengawet maka dalam pembuatan larutan filler dapat ditambahkan dengan bahan pengawet larut air. Alat yang digunakan antara lain: �mbangan, pengaduk (mixer), gelas ukur, wadah pengaduk plas�k (1000 ml), botol plas�k, kuas, dan ampelas nomor 100 dan 400

(Gambar 1).

1 2 3 4

Gambar 1.

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan fil ler, 1 (mikser), 2 (�mbangan),

3 (gelas ukur) dan 4 (oker)

Page 83: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

68

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Membuat Kemasan

Kegiatan diawali dengan menimbang 1 ons pollyvinyl acetat

(PVAC)

dan tambahkan 5 ons tepung oker secara perlahan-lahan (atau dengan perbandingan 1 : 5). Untuk penentuan warna filler disesuaikan dengan selera pemakai. Bahan-bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ember dan dicampurkan dengan 1.000 ml air murni serta 5% boraks boriks sebagai bahan pengawet. Untuk mendapatkan filler yang baik, bahan tersebut diaduk dengan menggunakan mikser selama ±5 menit hingga merata (Gambar 2).

Untuk mengetahui apakah filler yang dihasilkan sudah siap pakai atau belum, dapat dilihat dari homogenitas campuran yang sudah dihasilkan tersebut. Setelah campuran filler tersebut teraduk secara merata bahan filler tersebut dapat dicobakan kepada kayu yang akan di finishing.

Gambar 2. Proses pembuatan filler dan kemasan filer yang sudah jadi

B.

Cara Pelaburanan Filler Untuk menghasilkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu menjadi tertutup,

penggunaan larutan filler dilabur secara berulang dan merata, ar�nya apabila pelaburan filler tahap pertama sudah dilakukan dan keadaan sudah kering dilanjutkan

dengan pelaburan kedua dan seterusnya sampai mendapatkan permukaan kayu kelihatan tertutup larutan filler dan merata, pengulangan filler bisa dilakukan hingga 5 kali laburan

(Gambar 3). Kayu yang sudah dilabur filler didiamkan ±1 jam sampai permukaan kayu mengering untuk keadaan cuaca panas, apabila keadaan permukaan kayu sudah kering maka dapat dilakukan proses selanjutnya.

Gambar 3.

Aplikasi filler pada contoh produk kayu

Page 84: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

69

C.

Finishing

Kayu yang sudah dilabur dengan filler pas�kan dalam keadaan kering, maka untuk proses selanjutnya yaitu melakukan pengamplasan permukaan kayu yaitu untuk mendapatkan permukaan kayu yang halus dan pori kayu sudah tertutup filler secara merata, sebelum dilakukan proses lebih lanjut. Filler yang dihasilkan dipakai dalam percobaan sebagai bahan dasar finishing pada meubeler yaitu meja, lemari, dan pintu. seper� terlihat pada Gambar 4. Hasil pemakaian filler dari ke�ga jenis produk tersebut setelah diamplas menunjukkan hasil permukaan kayu yang halus dan pori-pori kayu telah tertutup secara merata. Hasil ini dapat diteruskan kepada proses finishing selanjutnya.

Gambar 4. Contoh produk jadi aplikasi filler

D.

Keuntungan dan Kerugian

1.

Keuntungan: -

Kayu limbah dan bertekstur murah atau berkualitas murah bisa dima nfaatkan

-

Bahan dan alat terjangkau dan murah sederhana

-

Tidak perlu modal �nggi

-

Ramah lingkungan

-

Tidak mengandung kimia berbahaya �nggi

-

Resiko kegagalan rendah

-

Bisa dilakukan manual

-

Tahan lama pada kemasan sederhana yang pen�ng tertutup.

2.

Kelemahan:

-

Lambat mengering karena pelarut yang dipakai air

-

Waktu yang diperlukan untuk mengering cukup lama yaitu sampai 60 menit (Panas matahari) dapat dilanjutkan tahapan kefinishing selanjutnya

-

Bila pemileran dilakukan pada saat kondisi lembab/hujan, untuk mencapai

kering bisa mencapai 12 Jam, berbeda dengan sifat cat minyak yang dapat menutup seluruh permukaan produk kayu yang mudah kering sehingga dapat dilanjutkan kefinishing selanjutnya.

-

Penggunaan filler ini cenderung ke produk interior yang memakai bahan baku kayu berkwalitas rendah dan harga kayu murah, seper�

kayu yang sudah diserang blue

Page 85: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

70

steen, kayu bekas jamuran, kayu bersifat blok tetapi corak kayu masih dapat ditampilkan.

-

Filler ini hanya Khusus

untuk produk kayu, bersifat menutup pori-pori yang akan di finishing seper�: kursi, meja, lemari dll yang biasa lazim disebut juga filler cair.

IV.

PENUTUP

Filler yang digunakan untuk bahan finishing

dapat dibuat secara sederhana dengan harga yang dapat terjangkau, namun hasil yang diperoleh cukup baik. Bahan

filler tersebut menggunakan pelarut air dengan pemakaian pada mebel secara mudah dan �dak membahayakan kesehatan. Hasil pemakaian filer terhadap meubelair

menunjukan hasil yang baik, baik itu kesan raba, penutupan tektur serat kayu, pelunturan dan pembor osan pemakaian bahan, serta ramah lingkungan. Namun ada satu kekurangan yaitu lambat kering mengingat bahan pelarut yang dipakai adalah air.

DAFTAR BACAAN

Agus Sunaryo. ( 1997).

Reka Oles Mebel Kayu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Page 86: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

71

HUBUNGAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2014

TENTANG OTONOMI DAERAH

TERHADAP KEWENANGAN PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

M. Fajri

dan M.Andriansyah

Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa

I.

PENDAHULUAN

Pada tahun 2014 telah terbit

undang-undang tentang otonomi daerah yang berisi tentang hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepen�ngan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diterbitkannya

UU no 23 tahun 2014 ini bertujuan untuk memperbaiki sistem otonomi daerah yang sudah berlaku sebelumnya.

Pemberan otonomi daerah

oleh pemerintah pusat dimaksudkan adalah agar daerah mempunyai

kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah

tersebut

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang -undangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepen�ngan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).

Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang �dak tergantung pada siapapun. Dalam bahasa yang lebih poli�s, dalam konteks hubungan pusat daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, sumberdaya alamnya, dan hal-hal lain dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepaka� bersama.

Salah satu yang menjadi kewenangan otonomi daerah adalah pemerintah daerah berwenang dalam mengelola kawasan hutan

lindung. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah (Keppres no 32 tahun 1990). Oleh sebab itu Dengan terbitnya UU no 23 tahun 2014 ini penulis ingin mencoba menganalisa perubahan apa saja yang ada pada UU no 23 tahun 2014 ini terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama pengelolaan kawasan hutan lindung. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji tentang pengelolaan kawasan hutan lindung sebelum dan sesudah terbitnya undang-undang

no23

tahun 2014 tentang otonomi daerah.

II.

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG

A.

Sejarah perkembangan otonomi daerah

Otonomi daerah sudah berjalan hampir lima belas

tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, direvisi lagi oleh UU no 12 tahun 2008

dan terakhir UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun waktu berlakunya UU No.

22 tahun 1999 sampai dengan UU No.

12 tahun 2008 tersebut

Page 87: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

72

ternyata dinilai belum berjalan secara

efek�f. Sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, �dak ada hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU No.

12

tahun 2008

tentang Pemda, kondisi �dak banyak berubah. Bahkan,

kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah daerah juga �dak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakuka n pengawasan dan pembinaan atas

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan �dak pula memuat sanksi tegas bagi Kabupaten dan Kota yang melanggar aturan. Paling Gubernur cuma sebatas menegur Bupa� atau Walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau �dak ya jalan terus.

Konstruksi yuridis

UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 dan UU No.

12 tahun 2008, hanya menggeser pusat

kekuasaan dari elit poli�k pusat kepada elit poli�k daerah sebagai bentuk akomodasi poli�k kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit poli�k daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbuk� telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita �dak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang

sama.

B.

Kawasan hutan lindung

Menurut UU No. 5 tahun 1967 dalam pasal 3 ayat 1, berbunyi bahwa yang dimaksud Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi ser ta pemeliharaan kesuburan tanah. Sedangkan menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 1 ayat 8, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengend alikan erosi, mencegah intrusi

air laut dan

memelihara kesuburan tanah. Apabila hutan lindung di ganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seper� banjir, erosi, maupun tanah longsor.

III. PEMBAHASAN

A.

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

sebelum terbitnya UU No.

23 Tahun 2014

Sebelum terbitnya UU No.

23 tahun 2014 yang menggan�kan UU No.

32 tahun 2004 tentang otonomi daerah

maka pengelolaan kawasan hutan lindung sudah diatur di

dalam aturan sebagai berikut:

1.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000 menegaskan “Kewenangan Daerah Atas Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Pada

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 10 dapat disimpulkan, bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.

Keputusan Presiden RI No.

32/1990 tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung” dapat disimpulkan bahwa untuk pemahaman fungsi dan manfaat kawasan lindung perlu diupayakan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan kawasan

Page 88: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

73

lindung, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemda Provinsi yang mengumumkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan lindung.

3.

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 dapat disimpulkan

pula, bahwa untuk pengelolaan Kawasan Hutan Lindung yang terletak di Pemerintahan Kabupaten/

Kotamadya, Pemda Kabupaten atau Kotamadya dapat segera membuat Perda ataupun untuk sementara SK

Kepala Daerah.

Dari beberapa uraian tentang aspek hukum pengelolaan suatu kawasan lindung terlihat bahwa pada dasarnya pengelolaan hutan lindung berada di tangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Akan tetapi dalam kaitannya dengan otonomi, PP No. 25 Tah un 2000 �dak tercantum adanya kewenangan pengelolaan hutan lindung pada Pemerintah Provinsi, maka pengelolaan hutan lindung berada ditangan Pemerintah Kabupaten/Kota akan tetapi kewenangan tersebut baru efek�f apabila pemerintah daerah propinsi, kabupate n maupun kotamadya telah membuat landasan hukumnya. Selain itu di dalam PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan

di bidang kehutanan kepada daerah, dimana hutan Lindung diserahkan kepada daerah maka dalam rangka otonomi daerah p erlu ditetapkan dengan peraturan daerah.

B.

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung setelah terbitnya UU No.

23 Tahun 2014

Sebelum kita membahas mengenai pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan siapa yang berhak mengelola

Kawasan Hutan Lindung,

apakah Pemerintah Pusat,

Pemerintah Provinsi atau

Pemerintah Kota/Kabupaten, maka kita bisa bahas dulu pasal-pasal UU No.

23 tahun 2014 dimulai dari:

1. BAB IV URUSAN PEMERINTAHAN, Bagian Kesatu, mengenai Klasifikasi Urusan Pemerintahan, yaitu: a. Pasal 9 yang berbunyi: (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan

absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dari pasal 9 di

atas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu

1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no 23 tahun 2014),

3).Urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Presiden.

b.

Pasal 13 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat

(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen�ngan strategis nasional;

(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah; provinsi atau lintas negara; c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak nega�fnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara; d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepen�ngan nasional. (3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada

Page 89: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

74

ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah kabupaten/kota; b. Urusan

pemerintahan yang penggunanya lintas daerah kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak

nega�fnya lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah provinsi. (4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah: a. Urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; b. Urusan pemerintahan yang penggunanya dalam daerah

kabupaten/kota; c. Urusan pemerintahan yang manfaat atau

dampak nega�fnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau d. Urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya

lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah

kabupaten/kota.

c. Pasal 14 yang berbunyi (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi;

(2) Urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota; (3) Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat;

(4) Urusan pemerintahan

bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota. (5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Penentuan daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaima na dimaksud pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari daerah yang berbatasan.

d.

Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah pusat

dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang �dak terpisahkan dari Undang-Undang ini;

(2) Urusan pemerintahan konkuren yang �dak tercantum dalam lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan �ap �ngkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan

presiden;

(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang �dak berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren pada �ngkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan sepanjang �dak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

e.

Pasal 16 yang berbunyi (1) pemerintah pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteri a dalam rangka penyelenggaraan

Page 90: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

75

urusan pemerintahan; dan b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah;

(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai pedoman dalam penyelenggaraan

urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan yang menjadi kewenangan daerah.

(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian; (4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah non

kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan dengan kementerian terka it; (5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.

f.

Pasal 17 berbunyi (1) Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; (2) Daerah dalam menetapkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat; (3) Dalam hal kebijakan daerah yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah �dak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dima ksud pada ayat (2), Pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (5) pemerintah pusat belum menetapkan norma, standar, prosedu r, dan kriter ia, penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Dari penjelasan bab III mengenai urusan pemerintahan dari pasal 9 sampai dengan pasal 17 dalam hubungannya dengan kewenangan pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut:

1.

Dari pasal 9 diatas dapat dijelaskan bahwa urusan pemerintahan ada 3 yaitu 1). urusan pemerintahan absolut yang dikelola oleh pemerintah pusat (pasal 10 ayat 1, UU no 23 tahun 2014), 2). Urusan pemerintahan konkuren (pasal 11 dan 12 UU no

23 tahun 2014); 3) urusan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan presiden.

2.

Pasal 13 menjelaskan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepen�ngan strategis nasional;

3.

Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi sedangkan urusan pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kab upaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, ini berar� pengelolaan kawasan

hutan lindung sekarang di bawah kewenangan propinsi sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1.

4.

Pasal 15 yang berbunyi (1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran

yang merupakan bagian yang �dak terpisahkan dari Undang-

Undang ini. Pada Tabel 1, bisa dilihat bahwa pengelolaan hutan lindung menjadi kewenangan pemerintah propinsi, kecuali kawasan taman hutan raya menjadi kewenangan oleh pemerintah kabupaten dalam pengelolaannya.

Page 91: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

76

5.

Pemerintah propinsi dalam mengeluarkan aturan yang mengatur pengelolaan kawasan hutan lindung harus berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat (pasal 16 (a yat 4) dan pasal 17 ayat 1, 2, 3,) dan apabila 2 tahun setelah UU ini terbit, pemerintah pusat belum mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria, maka pemerintah daerah hanya melaksanakan kewenangannya

saja (pasal 17 ayat 4).

IV.

PENUTUP

Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu:

1.

UU no 23 tahun 2014 tentang otonomi daerah telah memberikan wewenang kepada pemerintah propinsi untuk mengelola kawasan hutan lindung.

2. Terbitnya UU no 23 tahun 2014 telah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah propinsi secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pengelolaan hutan lindung dan tetap berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat.

3.

Pelaksanaan kebijakan mengenai sumber daya alam, Khususnya kawasan hutan lindung di daerah

merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka

implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan .

B. Saran-saran Diharapkan kepada pemerintah daerah se�ap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan

dengan proses pembangunan daerahnya berkoordinasi dengan kementerian terkait serta berpatokan dengan norma, standar, prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dengan

tetap memperha�kan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk ak�f dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat dian�sipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang nega�f.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1967. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Setneg. Jakarta.

Anonim. 1990. Undang-

undang no. 5 tahun 1990 tentang: konservasi sumberdaya alam haya� dan ekosistemnya. Setneg. Jakarta.

Anonim. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang: Pengelolaan Kawasan Lindung. Setneg. Jakarta.

Anonim. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah Presiden Republik Indonesia. Setneg. Jakarta.

Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.

Page 92: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

77

Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Setneg. Jakarta.

Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Setneg, Jakarta.

Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta .

Anonim. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.

Anonim. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam. Setneg. Jakarta.

Anonim. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Setneg. Jakarta.

Page 93: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

78

Lampiran

1.

Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan

Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota

Tabel 1.

Pembagian kewenangan pengelolaan di bidang kehutanan

No.

Sub urusan

Pemerintah pusat

Pemerintah propinsi

Pemkab/pemkot

Pengelolaan hutan

a.

Penyelenggaraan tata hutan

b.

Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan

c.

Penyelenggaraan

pemanfa-atan hutan dan pengguna-an kawasan hutan

d.

Penyelenggaraan

rehabili-tasi dan reklamasi hutan

e.

Penyelenggaraan

perlin-dungan hutan

f.

Penyelenggaraan

pengolah-an dan

penatausahaan hasil hutan

g.

Penyelenggaraan pengelo-laan kawasan hutan dengan tujuan Khusus

(KHDTK)

a.

Pelaksanaan tata hutan kesatuan penge-lolaan hutan kecuali pada

kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK)

b.

Pelaksanaan rencana pengelolaan kesa-tuan pengelolaan hutan kecuali pada kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK)

c.

Pelaksanaan pemanfaatan hutan di ka-wasan hutan produksi dan hutan lin-dung, melipu�: 1) Pemanfaatan kawa-san hutan; 2) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; 3) Pemungutan hasil hutan; 4) Pemanfaatan jasa lingkungan kecuali

pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon

d.

Pelaksanaan rehabilitasi diluar kawasan hutan negara

e.

Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung, dan hutan produksi

f.

Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu

Page 94: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

79

Adopsi Lebah Apis cerana

Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pegawai Litbang

Hendra Sanjaya

dan Aam Hasanudin

Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli

I.

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara tropis merupakan tempat yang sangat baik dalam budidaya lebah madu, karena variasi jenis tumbuhan yang sangat �nggi dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun, sehingga jika madu merupakan salah satu komoditas unggulan sebagai pengembangan usaha sangat dimungkinkan. Variasi sumberdaya pakan yang �nggi juga sangat mempengaruhi variasi produk madu cair yang dihasilkan seper� halnya, warna, aroma, rasa yang khas berbeda sesuai dengan dominan pakan sumber nektar yang dihisap oleh lebah itu sendiri (Hasanudin,

2010). Hal ini berbeda dengan negara luar tropis dimana produksi madu sangat dipengaruhi oleh musim tersebut karena �dak adanya sumber pakan madu akibat perubahan 4 musim yang terjadi.

Madu adalah cairan manis hasil proses campuran bahan kimia tertentu dengan nectar bunga yang telah dihisap oleh lebah yang selanjutnya dimasukkan kedalam tabung kantung madu ditubuh lebah, kemudian selanjutnya setelah sampai disarangnya zat campuran tersebut dimasukkan kedalam sel heksagonal dan dimasak menjadi madu (Walji, 2001). Madu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu, baik sebagai minuman kesehatan, fungsi obat-obatan tradisional, hingga saat ini variasi pengolahan bahan baku madu dan produksi ikutannya banyak digunakan dalam industri farmasi, industri minuman kesehatan, kecan�kan dan lain sebagainya, sementara �ngginya �ngkat kebutuhan global akan madu sebagai bahan baku �dak berbanding lurus dengan produksi yang dihasilkan secara nasional.

Novandra, Widnyana, 2013, menyatakan bahwa pada tahun 2012 Indonesia mengalami defisit perdagangan madu yang sangat besar, dengan jumlah total pendu duk sekitar 250 juta jiwa dan asumsi konsumsi madu perkapita hanya 30gr/tahun, kebutuhan madu domes�k membutuhkan madu sebesar 7.500 ton pertahun, sementara data Kementerian Kehutanan tahun 2010, produksi madu kita pada tahun 2009 hanya 1.932 ton saja. Pr oduksi ini juga disuplai sebesar 70% dari produksi hasil madu liar alam (kuntadi, 2008) atau hanya 30% dari hasil budidaya, sementara potensi sumberdaya yang sangat �nggi �dak dimanfaatkan sebagai peluang domes�k meningkatkan produksi madu hasil budidaya.

Budidaya lebah madu merupakan jawaban yang tepat dalam memenuhi kebutuhan

tersebut, banyak hal yang telah dilakukan baik dari sisi peneli�an hingga kepada pengembangannya, baik dengan pengadaan diklat-diklat oleh ins�tusi terkait, gelar teknologi dan

bentuk lainnya, akan tetapi secara hasil ini belum op�mal mampu meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk serius dalam mengembangkan madu budidaya ini. Banyak hal yang menjadi kendala pengembangan budidaya lebah madu ini baik modal, pengetahuan, tempat dan pemasarannya, sementara rendahnya konsumsi masyarakat juga disebabkan oleh pasaran umum harga madu dengan �ngkat kepercayaan asli

mendapa� posisi harga yang sangat mahal.

Menyadari hal tersebut diatas dimana madu sangat dibutuhkan oleh se�ap strata kebutuhan, penulis menawarkan konsep adopsi lebah dalam sekala kecil dan sebagai demplot uji coba adalah masing-masing satker litbang dimana peserta adopsinya adalah pegawai litbang itu sendiri. Tulisan ini bertujuan mendapatkan solusi peningkatan kualitas

hidup pegawai

Page 95: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

80

litbang dari hasil litbang itu sendiri, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah adopsi lebah merupakan salah satu konsep tepat dan dapat diterapkan di lingkungan litbang.

II.

SEBUAH BUDIDAYA DAN PROYEKSI HASIL

A.

Sekilas Lebah Apis cerana

Lebah lokal ini memiliki daya adaptasi yang �nggi dengan kualitas hasil madu yang baik pula, merupakan lebah lokal asli Asia menyebar mulai dari Afganistan, Cina, Jepang termasuk Indonesia. Habitat jenis ini di alam sangat varia�f menyesuaikan dengan kondisi alam sekelilingnya, sering ditemukan pada batang pohon berlubang, di pemukiman sangat suka bersarang didalam atap rumah, bawah kolong rumah atau pada habitat buatan “glodog” merupakan batang kelapa yang dibuat sebagai sarang. Di Kabupaten Simalungun-

Sumatera Utara pada beberapa daerah perladangan dan pemukiman desa terkecuali daerah kebun teh dan kebun sawit,

jenis A.

cerana ini ditemukan bersarang pada rongga �ang listrik beton PLN. (Hasanudin,

2012).

B.

Budidaya

Sejarah mencatat bahwa kegiatan budidaya

lebah madu Khususnya jenis A.cerana

ini telah dilakukan oleh Dr.

D.

Horst di Indonesia sejak tahun 1884, kemudian Mr.

M Kutsche di

Nongkojajar telah membangun pusat percontohan ternak modern lebah lokal A.cerana, seterusnya berkembang dan pada tahun 1973, oleh Pusat Perlebahan Pramuka dibuka Pela�han Perlebahan Nasional (Apiari, 2002).

Suhu ideal yang cocok bagi lebah adalah sekitar 26o C, pada suhu ini lebah dapat berak�fitas normal walaupun pada suhu di atas 10o C lebah juga masih mampu berak�fitas dan syarat utama keberhasilan budidaya adalah pasokan sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun dan ini tentu saja mampu disuplai dari keberadaan hutan kita yang luas dan produksi pertanian yang terus meningkat.

Kesederhanaan, teknologi tepat guna, biaya rendah serta �ngkat keberhasilan yang �nggi dalam budidaya ini memudahkan dalam pengembangan dan manajemen pengelolaannya, perilaku budidaya lebah pada jenis ini selain peralatan standar pekerja berupa masker topi dan baju lebah, alat panen, dan untuk pengelolaan lebah berupa glodog serta stub/kotak dengan frim didalamnya yang telah dipenuhi oleh koloni lengkap dengan ratu didalamnya, mampu berproduksi ak�f pada musim panas dan menurun pada musim penghujan sepanjang tahun serta dapat dipecah koloni dalam

1 tahun sekali, merupakan modal utama keberhasilan budidaya dan konsep adopsi lebah.

C.

Produksi Madu Global

Indonesia mempunyai keunggulan kompara�f dari negara lain dengan potensi sumberdaya alam yang sangat luas dan dapat dijadikan sebagai modal dasar ji ka dikembangkan melalui pembangunan ekonomi sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan perekonomian nasional secara umum (Novandra

dan Widnyana, 2013).

Salah

satu sumberdaya tersebut adalah madu.

Kebutuhan madu

dunia mencapai angka 15.000 ton per

tahun, dan angka itu masih sangat jauh walaupun Indonesia mampu memproduksi dari para petani sebesar 5000 ton per tahun yang merupakan para petani jaringan madu hutan Indonesia.

Buwono,

2014, menyatakan bahwa pemerintah dalam upayanya melalui Kementerian Kehutanan akan membangun daerah percontohan pengembangan madu dalam negeri

untuk meningkatkan daya dukung madu hutan Indonesia yang pada tahun 2014 memilih Provinsi

Page 96: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

81

Nusa Tenggara Barat sebagai daerah pengembangan madu tersebut, walaupun jenis yang banyak dikembangkan pada wilayah ini adalah jenis Apis dorsata

yang hanya mengandalkan dari kelangsungan hidup pada wilayah berhutan saja.

Madu Budidaya yang menempa� posisi 30% dari produksi dalam negeri saat ini mutlak perlu di�ngkatkan, karena secara kualitas madu Indonesia sangat baik dan mampu bersaing di pasar global. Sehingga perkiraan potensi berdasarkan perhitungan potensi oleh Madu pramuka sebagai salah satu negara penghasil madu terbesar dunia sebesar 2,5 juta ton dapat tercapai dan menjadi peluang yang cukup besar bagi pemasukan negara.

D.

Konsep Adopsi Lebah

Konsep adopsi lebah A.cerana ini menggunakan analogi sederhana dengan manajemen pengelolaan �m kerja pengelolaan dan peserta adopsi dimana asumsi lebah adopsi adalah lebah koloni utuh pada 1 stub/kotak dengan lima frime/bingkai dan �m pengelola tenaga ahli dan �m pemelihara lebah. Sistem bagi hasil yang ditawarkan adalah 50% hasil untuk pengadopsi, 30% hasil untuk pengelola dan 20% hasil untuk pemeliharaan dan pemecahan koloni.

Ilustrasi konsep adopsi dapat dilihat di

bawah ini.

1.

Modal awal/tetap perlengkapan standar

-

Masker baju

Rp

200.000

-

Masker topi

Rp

200.000

- Smoker Rp

200.000

- Ekstraktor fiber Rp

900.000

Total

Rp

1.500.000

2.

Modal adopsi dan proyeksi hasil

Modal Stub Adopsi produk�f: Rp.500.000/stub, sedangkan proyeksi hasil budidaya dapat dilihat pada Tabel 1 di

bawah ini.

Tabel 1.

Proyeksi hasil budidaya

Hasil madu

Harga jual

pasar /kg

Bln

op�mal

Jumlah Hasil

Proyeksi Bagi hasil (Rp)

a (min)

B (maks)

a (Rp)

B (Rp)

30%

20%

50%

a

B

a

b

a

b

0,5

1,5

65.000

10

325.000

75.000

97.500

292.500

65.000

95.000

162.500

487.500

Harga 1 stub/kotak lebah A.cerana produk�f

sebesar Rp. 500.000,-, dimana dengan sumber daya cukup dan kondisi lebah prima dengan memper�mbangkan musim penghujan sehingga diperoleh sebanyak 10 bulan panen dengan rata-rata hasil madu antara 0,5-1,5 kg/kotak, maka hasil ini setara dengan Rp 325.000-

Rp 975.000,-

/tahun. Berdasarkan metode bagi hasil untuk pengelola, koloni dan pengadopsi maka rata -rata hasil sebesar 30% (Rp. 97.500-Rp.292.500), 20% (Rp 65.000-Rp 195.000) dan 50% (Rp 162.500-Rp 487.500) dalam se�ap kotaknya.

Angka 20% untuk pemeliharaan koloni lebah dimanfaatkan untuk pengembangan koloni, dimana dalam 1 tahun koloni yang sehat dapat memecah dari satu koloni menjadi dua koloni. Kebutuhan alat dalam pemecahan koloni ini adalah kotak lebah dengan bingkai

Page 97: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

82

di

dalamnya, harga pasaran kotak saat ini adalah sebesar Rp200.000/kotak, sehingga melihat besaran nilai biaya pemeliharaan koloni maka selisih nilai rupiah dari harga pasaran kotak adalah menjadi tanggungjawab peserta adopsi lebah.

Berdasarkan hasil proyeksi diatas dengan mengabaikan modal awal/perlengkapan standar, maka peserta adopsi dan �m pengelola secara utuh baru dapat menikma� hasil pada tahun ke dua, karena masing-masing peserta telah memiliki 2 lebah adopsi dan selanjutnya tahun ke�ga akan terus berkelipatan menjadi mempunyai 4 lebah adopsi dan seterusnya.

Proyeksi adopsi lebah ini jika pesertanya adalah seluruh pegawai pada masing -masing satker litbang, sebagai ilustrasi seandainya Balai Peneli�an dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Aek Nauli sebagai contoh dari pilot project adopsi lebah ini dengan jumlah pegawai (PNS dan Pegawai kontrak) sekitar 100 orang, maka dalam setahun produksi madu dari jenis A.cerana sebesar 50-150 kg /tahun pada tahun pertama dan pada tahun kedua berlaku kelipatan dan jika diilustrasikan pada tahun kelima hasil madu BPK Aek Nauli sebesar 800-2400/kg/tahun.

Asumsi jika pilot project ini dapat berhasil dilaksanakan oleh Badan Litbang Inovasi (BLI) dimana pesertanya adalah pegawai litbang dengan beberapa lokasi wilayah satker didaerah, dengan asumsi jumlah pegawai litbang sebesar 1.000 orang maka BLI sendiri mampu menghasilkan madu sebesar 500-1500 kg/tahun dan pada akhir renstra BLI mampu menghasilkan madu sebesar 8.000-24.000kg/tahun, sehingga produk ini bukan hanya menjadi salah satu andalan litbang juga mampu meningkatkan kualitas hidup pegawai litbang itu sendiri.

III. PENUTUP

Lebah A.

cerana

merupakan lebah lokal dengan adaptasi �nggi sehingga sangat potensial untuk dibudidayakan sebagai salah satu altena�f peningkatan kualitas hidup.

Strategi

peningkatan kualitas hidup pegawai salah satunya adalah dengan mengembangkan budidaya lebah A.

cerana sebagai penghasil madu dengan model adopsi lebah.Adopsi lebah selain bermanfaat kepada pegawai lingkup litbang juga dapat menunjang kebutuhan madu

nasional.

BP2LHK Aek Nauli sangat cocok dijadikan lokasi pilot project model adopsi lebah A.

cerana pada Badan Litbang Inovasi.

DAFTAR PUSTAKA

Apiari P, 2002. Lebah Madu, Cara Beternak dan Pemanfaatannya. Seri Agribisnis. Pusat Perlebahan Apiari Pramuka.

Buwono, A, 2014. Indonesia Mampu Hasilkan Madu 5000 Ton pertahun. beritadaerah.co.id, Member of Vibiz Media Network. 2014/10/17.

Hasanudin, A, 2010. Makalah Budidaya Lebah Madu Apis cerana.

Laporan Gelar Teknologi Gaharu dan Lebah Madu, Jhanto-Nangroe Aceh Darusalam 2010. Balai Peneli�an Kehutanan Aek Nauli.

Hasanudin, A, 2012. Perkembangan Jumlah Koloni Lebah Apis cerana Yang bersarang pada Tiang Listrik Beton pada Berbagai Penggunaan Lahan di Kecamatan Sidamanik-

Page 98: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

83

Kabupaten Simalungun. Skripsi Progam Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Simalungun-Pematangsiantar.

Kuntadi, 2008. Perbandingan �ga cara uji untuk mengukur agresivitas koloni madu Apis cerana. Info Hutan Vol.V.No 4 Tahun 2008.

Novandra Alex, Widnyana I Made, 2013. Peluang Pasar Pr oduk Perlebahan Nasional. Alih Teknologi 2013. Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.

Walji H, 2001. Terapi Lebah, Daya Kekuatan dan Khasiat Lebah Madu, dan Serbuk Sari, Bergizi Bagi Kesehatan. Prestasi Pustaka Publisher.

Page 99: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

84

Page 100: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

85

KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN BERKHASIAT OBAT

DI KHDTK SAMBOJA

Yusub Wibisono

Balai Peneli�an Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

I.

PENDAHULUAN

Kawasan hutan hujan tropika merupakan lingkungan terkaya di bumi da lam ukuran ekosistem dan keanekaragaman haya� baik flora maupun fauna, dari total 250.000 spesies tumbuhan yang terdapat di bumi, sekitar 100.000 dari spesies tumbuhan terdapat di hutan tropika. Dari sekian banyak tumbuhan tersebut beberapa kelompok etnis

telah mengetahui khasiat dan memanfaatkan tumbuhan disekitarnya sebagai bahan obat-obatan. Beberapa kelompok etnis ini umumnya memiliki pengetahuan lokal serta tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan obat untuk mengoba� penyakit tertentu (Sangat

dkk, 2000).

Pada era seper� saat ini pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal menjadi salah satu alterna�f bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan dan mengoba� suatu penyakit, hal ini disebabkan karena penggunaan tumbuhan berkhasiat obat atau herbal di

samping

murah juga �dak menimbulkan efek samping dibandingkan menggunakan obat modern atau obat-obatan dari bahan kimia. Pramono (2002) dalam Zuraida dkk

(2009) melaporkan bahwa

diperkirakan 30.000 jenis tumbuhan ditemukan di dalam hutan tropika Indonesia,

1.260 jenis diantaranya berkhasiat sebagai obat. Meskipun demikian, baru sekitar 180 jenis yang telah digunakan untuk keperluan industri obat herbal dan jamu.

Sebagian besar tumbuhan berkhasiat obat digunakan oleh masyarakat yang bertempat �nggal di pedesaan terutama daerah yang belum terjangkau fasilitas kesehatan umum. Untuk kebutuhan sehari-hari biasanya masyarakat sering mengambil tumbuhan sebagai bahan baku obat langsung dari alam, sedangkan dipihak lain permintaan bahan baku obat dan jamu untuk kebutuhan industri terus meningkat, sehingga dikhawa�rkan akan mengancam ketersediaan dan kelestarian tumbuhan berkhasiat obat. Hal tersebut dapat terjadi apabila upaya pelestarian tumbuhan berkhasiat obat �dak dilakukan.

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Samboja dengan luas 3.504 Ha adalah bagian dari Taman Hutan Raya Bukit Suharto yang mempunyai potensi keragaman biodiversitas hutan hujan (rain forest) yang cukup banyak. Berbagai jenis keragaman flora dan fauna asli Kalimantan masih dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Beragamnya potensi flora tersebut merupakan salah satu kawasan yang berpotensi sebagai tumbuhan berkhasiat obat.

Saat ini informasi mengenai potensi dan manfaat tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja masih sangat kurang. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneli�an ini perlu dilakukan untuk mengetahui potensi dan manfaat yang dimiliki. Hasil peneli�an ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar upaya pemanfaatan, pengembangan dan pelestarian tumbuhan berkhasiat obat di kawasan

ini.

Page 101: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

86

II.

METODE PENELITIAN

A.

Lokasi dan Waktu

Peneli�an ini dilaksanakan di areal KHDTK Samboja. Secara administra�f pemerintahan, kawasan ini terletak di wilayah Kelurahan Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara

dan Desa Semoi,

Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara,

Kalimantan Timur. Peneli�an ini telah dilakukan pada bulan Mei -

September 2015.

B.

Kondisi Umum Lokasi Peneli�an

Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Samboja, ditunjuk sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.201/MENHUT-II/2004 tanggal 10 Juni 2004 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Seluas ± 3.504 (Tiga ribu lima ratus empat) Hektar pada Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

Samboja.

Jenis tanah pada lokasi KHDTK Samboja adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), yang terbentuk dari perkembangan profil tanah dari batuan liat dan batu pasir. Fraksi pasir terdiri dari kuarsa dengan fragmen batuan kuarsit, konkresi besi dan mineral lapuk yang kandungan mineralnya sangat rendah.

KHDTK Samboja termasuk ke dalam iklim �pe A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Suhu udara berkisar antara 26o-28oC dengan perbedaan suhu siang dan malam berkisar antara 5-7oC. Kelembapan rata-rata berkisar antara 63-89%. Rata-rata curah

hujan

tahunan berkisar 1.682-2.314 mm dengan jumlah hari hujan 72-154 hari. Ke�nggian KHDTK Samboja di wilayah Samboja antara 50-150 m dpl, sedangkan di wilayah Semoi ke�nggiannya adalah 40 - 140 m dpl (Atmoko, 2007).

C. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi dengan cara

survey. Data yang dikumpulkan berupa: 1. Data primer, melipu� nama jenis tumbuhan (lokal, ilmiah), famili dan habitus dari tumbuhan

berkhasiat obat. Data primer dikumpulkan dengan cara pengamatan langsung dilapangan.

2. Data sekunder, melipu� manfaat dan bagian yang digunakan. Data sekunder dikumpulkan dengan cara studi pustaka.

Objek dari kegiatan ini adalah semua jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berada di

KHDTK Samboja.

D.

Analisis Data

Analisis data dalam peneli�an ini menggunakan pendekatan deskrip�f kualita�f yaitu dengan mengelompokkan se�ap jenis tumbuhan obat ke dalam

suku, habitus, bagian yang digunakan, serta potensi khasiat yang dimiliki. Iden�fikasi se�ap jenis tumbuhan dilakukan di Herbarium Wanariset Samboja bagi se�ap jenis tumbuhan yang �dak teriden�fikasi di lapangan.

Page 102: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

87

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja

Dari hasil pengamatan terdapat 96 jenis tumbuhan yang telah teriden�fikasi berkhasiat sebagai tumbuhan obat. Untuk lebih jelasnya mengenai jenis, famili, habitus, bagian tumbuhan yang digunakan dan kegunaannya dapat dilihat pada Tabel

1 berikut.

Tabel 1.

Jenis Tumbuhan berkhasiat Obat di KHDTK Samboja

Nos

Jenis tumbuhan berkhasiat obat/nama

daerah

Famili

Habitus

Bagian yang

digunakan

Kegunaan

1

2

3

4

6

7

1.

Ageratum conyzoides

Linn./Bandotan

Asteraceae

Herba

Daun

Obat luka, diare, wasir

Akar

Penurun panas, disentri

2.

Aleurites moluccana

(L.) Willd./Kemiri

Euphorbiaceae

Pohon

Kulit batang

Malaria

3.

Alstonia iwahigensis

Elmer/Pulai

Apocynaceae

Pohon

Kulit batang

Diabetes, tekanan darah �nggi,

diare, malaria

4.

Anthocephalus cadamba

(Roxb.) Miq./Jabon

Rubiaceae

Pohon

Kulit batang

Obat kuat

5.

Allamanda cathar�ca

L./Bungo cino

Apocynaceae

Perdu

Pucuk

Batuk berdahak

6.

Alpinia galanga

Willd./Lengkuas Zingiberaceae

Herba

Umbi

Diabetes

Akar

Penyakit kulit

7.

Aquilaria microcarpa

Baill./Gaharu Thymelaeaceae

Pohon

Kulit dan kayu

Obat asma, penyakit ha�, tonikum

Daun penahan muntah 8. Archidendron jiringa

(Jack) I.C. Nielsen/ Jengkol

Fabaceae Pohon Akar Diabetes

9.

Areca catechu Linn./Pinang

Arecaceae

Pohon

Biji

Obat cacingan, luka, batuk, peluruh haid, pelangsing, peluruh air seni, pencahar, koreng, sakit gigi

Daun

Sakit pinggang, kudis, an�sep�c

10.

Arenga pinnata

(Wurmb.) Merr./Aren

Arecaceae

Pohon

akar

Obat batu ginjal, peluruh air seni, peluruh haid

Getah

Obat sariawan, pencahar, radang paru-paru, disentri, wasir

11.

Artocarpus elas�cus Reinw./Teureup

Moraceae

Pohon

Pucuk daun

Mimisan, sakit kepala, TBC

Getah

Disentri

12.

Asplenium nidus

Linn/Kadaka

Aspleniaceae

Paku

Daun

Penyubur rambut

13.

Bauhinia tomentosa

Linn./Daun kupu-kupu

Fabaceae

Liana

Daun

Demam, luka, diare

14.

Bhesa paniculata

Arn.

Celastraceae

Pohon

Kulit

Muntaber

Akar

Demam, sariawan

Page 103: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

88

1

2

3

4

6

7

15.

Blenchnum orientale L./

Paku lencir

Blechnaceae

Paku

Umbi

Gatal-gatal (bengkak)

Daun

Bisul

16.

Callicarpa longifolia

Lam/Nasi-nasi

Lamiaceae

Perdu

Akar, batang

Gusi bengkak, malaria

Daun

Gusi bengkak, malaria, diare, demam, mencret

17.

Cananga odorata

(Lam.) Hook. F. & Thoms./

Kenanga

Annonaceae

Pohon

Bunga

Nyeri haid, malaria, asma, sesak nafas, bronchi�s

18.

Cayra�a

sp./Cawat palui

Vitaceae

Liana

Batang

Ginjal, sakit pinggang, pemulih stamina, impotensi, penguat kandungan

19.

Caryota mi�s Lour./

Sarai

Arecaceae

Pohon

Umbut batang

Rema�k

20.

Clidemia hirta

D.Don./ Harendong bulu

Melastomataceae

Perdu

Daun

Luka

21.

Cnes�s platantha

Griff./

Belimbing bikut

Connaraceae

Liana

Daun

Kontrasepsi, sari rapat

22.

Coscinium fenestratum

(Gaertn.) Colebr./Akar kuning

Menispermaceae

Liana

Akar

Sakit kuning, hepa��s, malaria

23.

Costus speciosus

(Koenig) Smith/Pacing Zingiberaceae

Herba

Batang

Penurun panas, mata, cacar, penyubur rambut, batuk, bengkak

Akar/rimpang

Spilis

24. Cratoxylum formosum

(Jack) Dyer/Mampat Hypericaceae Pohon Daun Sakit pinggang

Getah Sakit kulit 25. Cratoxylum

sumatranum (Jack) Blume./Limbutun

Hypericaceae Pohon Daun Pegal-pegal Pucuk Jerawat

26.

Curculigo la�folia Dryand./Lemba

Amarylindaceae

Herba

Buah

Menambah nafsu makan, peluruh air seni,

Akar

Kencing berdarah, demam

Daun

Bengkak, luka

27.

Dillenia excelsa

(Jack.) Gilg.

Dilleniaceae

Pohon

Kulit

Kutu air, malaria

Daun

Demam, sakit perut, bengkak

28.

Diplazium esculentum

Swartz/Paku sayur

Polypodiaceae

Paku

Daun

Menghilangan bau keringat

29.

Donax caniformis

(G.Forst) K.Schum./

Bamban

Maranthaceae

Herba

Daun

Obat bisul, bengkak, gigitan ular, mata,

Batang

Gigitan ular

30.

Dracontomelon dao

Merr. & Rolfe/

Singkuang

Anacardiaceae

Pohon

Batang

Mempermudah keluarnya ari-ari pada persalinan

31.

Drymoglossum pilosello-ides

(L.) Presl. Sisik naga

Polypodiaceae

Paku

Daun

Radang gusi, rema�k, sakit kuning, sariawan

32.

Dryobalanops lanceolata/Kapur

Dipterocarpaceae

Pohon

Getah

Sakit perut

33.

Duabanga moluccana

Blume/Binuang laki

Sonnera�aceae

Pohon

Kayu

Pasca melahirkan

Page 104: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

89

1

2

3

4

6

7

34.

Durio zibethinus

Murr./Durian

Bombacaceae

Pohon

Akar

Demam

Kulit buah

Memperlancar BAB

35.

Dyera costulata (Miq.) Hook. F/Jelutung

Apocynaceae

Pohon

Getah

Disentri

36.

Endospermum diadenum

(Miq.)/Kayu raja

Euphorbiaceae

Pohon

Akar

Luka

Daun

Pencahar

Kulit batang

Busung air

37.

Erigeron sumatrensis

Retz./Jabung

Asteraceae

Perdu

Daun

Sakit kepala

Akal

Pegal linu

38.

Eupatorium inulifolium

Kunth.

Asteraceae

Perdu

Daun

Demam berdarah, sakit perut

39.

Eurycoma longifolia

Jack./Pasak bumi

Simarubaceae

Perdu

Akar

Diabetes, tekanan darah �nggi, rema�k

40.

Eusideroxylon zwageri

Teijsm & Binn./Ulin

Lauraceae

Pohon

Daun

Ginjal

Biji

Penyubur rambut

41.

Fagraea racemosa

Jack

ex Wall./Mengkudu

hutan

Loganiaceae

Pohon

Daun

Nyeri haid

42.

Fibraurea �nctoria

Lour./

Akar Kuning

Menispermaceae

Liana

Daun, akar

Sakit kuning, malaria

43.

Ficus benjamina

Linn./

Beringin

Moraceae

Pohon

Akar

Pilek, demam, rema�k

Daun

Influenza, batuk, disentri

44.

Ficus variegata

Blume/

Nyawai Moraceae

Pohon

Buah

Diare

45.

Flagellaria indica

Linn./ Selanak wowo

Flagellariaceae

Liana

Daun

Obat luka

Getah Obat sakit mata, kontrasepsi

Akar Obat kuat 46. Fordia splendidissima

(Blume ex miq.)/Kayu kayan

Fabaceae Perdu Akar Daun

Sakit sendi Luka

47.

Goniothalamus macrop-hyllus

(Blume) Hook.f. &

Thoms/Empalis

Annonaceae

Perdu

Biji

Sakit Kulit

48.

Hedyo�s diffusa

Willd./

Lidah �ong

Rubiaceae

Herba

Demam, peluruh air seni

49.

Helmintostachys zeylani-ca

Hook./Tunjuk langit

Ophioglossaceae

Herba

Seluruh bagian

Sakit kepala, lemah syahwat

Daun

Mimisan

Akar

Batuk, disentri

50.

Homalanthus populneus (Geiseler) Pax /Buta-buta lalat

Euphorbiaceae

Perdu

Daun

Sakit perut, demam

Bunga

Paru-paru, TBC

51

Hyp�s brevipes

Poit./

Daun pusar

Lamiaceae

Herba

Daun

Luka

52.

Imperata cylindrica

(Linn.) Beauv./Alang-alang

Poaceae

Herba

Akar

Peluruh air seni, penu-run panas, asma, mimis-an, kepu�han, tekanan darah �nggi, prostat, diare, kencing nanah, disentri, sakit pinggang, hepa��s, kanker, tumor

Page 105: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

90

1

2

3

4

6

7

53.

Lansium domes�cum

Corr./Langsat

Meliaceae

Pohon

Buah

Peluruh air seni, mem-perlancar pencernaan

Kulit buah, biji

Diare, demam

Kulit batang

Disentri

54.

Lantana camara

L./

Tembelekan ayam

Verbenaceae

Perdu

Daun

Sakit perut, luka, kontrasepsi

55.

Leea indica

(Burm. F.) Merr./Mali-mali

Leeaceae

Perdu

Daun

Sakit kepala

56.

Lepisanthes amoena

(Hassk.) Leenh./Kayu kupu

Sapindaceae

Perdu

Daun

Shampo, sabun

57.

Ligodium circinatum

(Burm.f.) Sw./Litu

Schizaeaceae

Paku

Akar

Pasca melahirkan, sakit gigi

58.

Luvunga eleutherandra Dalz./Seluang belum

Rutaceae

Liana

Batang, akar

Stamina

59.

Macaranga bancana

Muell. Arg./Makaranga

Euphorbiaceae

Pohon

Akar

Sariawan

Daun, buah

Diare

60.

Macaranga gigantea

Muell. Arg./Merkubung

Euphorbiaceae

Pohon

Akar, kulit

Diare

61.

Macaranga hypoleuca

(Reichb.f.

& Zoll) Muell Agr./Amporan

Euphorbiaceae

Pohon

Daun, buah

Diare

62.

Macaranga tanarius (Linn.) Muell. Arg./ Mapu

Euphorbiaceae

Perdu

Kulit batang

Disentri, pasca lahiran

Akar

Demam

Daun

Luka

63. Mallotus paniculatus

(Muell.) Arg./Empawa Euphorbiaceae Pohon Daun Perut kembung

Pucuk Demam Batang Gusi bengkak

64. Mapania cuspidate (Miq.) Ui�en./Lidah adam

Cyperaceae Herba Seluruh bagian Kontrasepsi

65.

Melastoma malabathricum

Linn./Karamun�ng

Melastomataceae

Perdu

Daun

Menetralkan racun, luka bakar, buang air berdarah, kepu�han

66.

Melicope glabra

(Blume) T.G. Hartley/Lepotung

Rutaceae

Pohon

Daun

Pilek

67.

Merremia peltata

(Linn.) Merr./Blaran

Convolvulaceae

Liana

Daun, batang

Luka

68.

Mikania scandens (L.) Wild.

Asteraceae

Liana

Umbi

Luka bakar

69.

Mimosa pudica

Linn./Putri malu

Fabaceae

Perdu

Akar

Demam, batuk

Daun

Sakit kepala

70.

Paspalum conjugatum

Berggr./Beriwit

Poaceae

Herba

Pucuk

Luka

71.

Passiflora foe�da

L./

Kelubut

Passifloraceae

Liana

Daun

Luka

Akar

Diabetes, hipertensi

72.

Peperomia pellucida (L.)/

Ancin-ancinan

Piperaceae

Herba

Daun

Bisul

73.

Peronema canescens

Jack./Sungkai

Verbenaceae

Pohon

Daun

Penurun panas, sakit gigi

74.

Phyllantus niruri

L./

Meniran

Euphorbiaceae

Herba

Seluruh bagian

Hepa��s, sakit kuning, sariawan, pelancar haid

Page 106: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

91

1

2

3

4

5

6

75.

Piper aduncum

L./

Gedebong

Piperaceae

Perdu

Daun

Diare

76.

Polyalthia rumphii

(Bl. Ex Hensch) Merr./ Sigam

Annonaceae

Pohon

Daun muda

Sakit mata

77.

Pome�a pinnata

Forst./ Matoa

Sapindaceae

Pohon

Kulit batang

Luka

78.

Pycnarrhena tumefacta

Miers/Bekei

Menispermaceae

Liana

Peluruh air seni

79.

Rhodamnia cinerea

Jack./Mempoyan

Myrtaceae

Pohon

Akar, daun

Pasca melahirkan

80

Scaphium macropodum Beumee/Kepayang

Sterculiaceae

Pohon

Buah

Asma, demam

Akar

Muntaber

81.

Schima wallichii

(DC.) Korth./Puspa

Theaceae

Pohon

Bunga

Gangguan syaraf

82.

Scleria laevis

Willd./Hiring

Cyperaceae

Herba

Umbut

Maag, batuk

Akar

Nyeri haid

83.

Shorea leprosula

Miq./

Mengkorau

Dipterocarpacea

e

Pohon

Pilek

84.

Shorea ovalis

(Korth.) Blume/Ponten

Dipterocarpaceae

Pohon

Daun muda

Memperhalus kulit

85.

Smilax zeylanica

L./Akar

bentul Smilacaceae

Liana

Akar

Rema�k, kencing nanah, disentri

Umbi

Bisul

86.

Solanum jamaicence Mill./Terong PKI

Solanaceae

Perdu

Buah

Sakit kepala

87. Stachiphrynium borneensis Ridl/Lirik

Maranthaceae Perdu Daun Luka

88. Stachytarpheta jamai-censis

(L.) Vahl/Pecut

kuda

Verbenaceae Perdu Herba Batuk, rema�k Akar

Kepu�han

Tangkai bunga

Hepa��s

89.

Stenochlaena palustris

(Burm.f.) Bedd.

Blechnaceae

Paku

Daun

Impotensi, anemia

90.

Swietenia mahagoni

Jacq./Mahoni

Meliaceae

Pohon

Biji

Tekanan darah �nggi, kencing manis, kurang nafsu makan, rema�k, demam, masuk angin

91.

Syzygium polyanthum

(Wight) Walp./Salam

Myrtaceae

Pohon

Daun

Diare, diabetes, maag

Kulit

Kudis

92.

Tetracera

sp. /Kayu Amplas

Dilleniaceae

Liana

Diabetes

93.

Urena lobata L./Pulut-pulut

Malvaceae

Herba

Daun

Diare, disentri, sakit kuning

Akar

Batuk

Bunga

Mempermudah persalinan

94.

Vernonia arborea Buch. Ham./Seringan

Asteraceae

Pohon

Awet muda

95.

Vernonia cinerea (Linn.) Less./Sawi langit

Asteraceae

Herba

Seluruh bagian

Bisul, sakit kepala

96.

Vitex pinnata

Linn./

Laban

Verbenaceae

Pohon

Kulit, daun

Stamina, luka

Biji

Malaria

Page 107: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

92

9

7

4

4

3

3

3

33

3

Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil diiden�fikasi di KHDTK Samboja, ini lebih sedikit

bila dibandingkan dengan hasil peneli�an yang telah dilakukan oleh Sangat

dkk (2000) di sekitar kawasan konservasi Pulau Weh, Aceh ditemukan 98 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan untuk mengoba� berbagai macam penyakit. Meskipun demikian, bila

dibandingkan dengan

peneli�an yang dilakukan oleh Zuraida

dkk (2010) di kawasan Taman Wisata Alam Buyan-Tamblingan, Bali dan di Nusa Tenggara Barat, telah dikumpulkan jenis -jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sering digunakan dalam pengobatan maupun kosme�k oleh masyarakat sebanyak 70 jenis, maka hasil ini lebih �nggi. Teriden�fikasinya 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja membuk�kan jika KHDTK Samboja sebagai kawasan hutan peneli�an berfungsi sebagai habitat pen�ng bagi berbagai jenis

tumbuhan berkhasiat obat.

B.

Famili Tumbuhan Berkhasiat Obat

Dari 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang sudah teriden�fikasi di KHDTK Samboja terdiri dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae yaitu 9 jenis.

Gambar 1.

Sepuluh famili ter�nggi tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja

Berdasarkan jumlah famili dari gambar di atas nampak bahwa dari 48 famili, yang paling banyak ditemukan adalah famili Euphorbiaceae sebanyak 9 jenis, selanjutnya famili Asteraceae sebanyak 7 jenis, famili Verbenaceae dan Fabaceae masing 4 jenis, Annonaceae, Apocynaceae, Moraceae, Dipterocarpaceae, Arecaceae dan Menispermaceae masing-masing 3 jenis,

Hyperi-caceae, Myrtaceae, Sapindaceae, Meliaceae, Rutaceae, Rubiaceae, Dilleniaceae, Melastoma-taceae,

Piperaceae, Lamiaceae, Zingiberaceae, Poaceae, Marantaceae dan Polypodiaceae masing-masing 2 jenis, Lauraceae, Loganiaceae, Thymelacaceae, Theaceae, Anacardiaceae, Son-nera�aceae, Bombacaceae, Celastraceae, Simarubaceae, Solanaceae, Amarylindaceae, Malva-ceae, Connaracaceae, Flagellariaceae, Vitaceae, Smilacaceae, Convolvulaceae, Stercu liaceae dan Passifloraceae masing-masing 1 jenis

(Gambar 1).

Famili Euphorbiaceae lebih �nggi pemanfaatannya sebagai obat dibandingkan dengan famili lainnya,

hal ini disebabkan famili ini memiliki karakteris�k populasi yang cukup banyak karena umumnya tergolong sebagai penciri hutan sekunder yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Page 108: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

93

C.

Habitus Tumbuhan Berkhasiat Obat

Jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat di KHDTK Samboja dapat dikelompokkan menjadi lima �ngkatan yaitu �ngkat pohon, perdu, herba, liana dan paku-pakuan.

Berdasarkan habitus nampak bahwa tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat dan yang paling banyak ditemukan yaitu �ngkat pohon sebanyak 43 jenis, kemudian diiku� oleh perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis

(Gambar 2).

Tumbuhan berkhasiat obat dengan habitus pohon lebih �nggi dibandingkan dengan habitus lainnya, hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukan oleh Z uhud dan Hikmat (2009) bahwa dari 7 (tujuh) pengelompokan habitus tumbuhan obat yang ada di Indonesia, spesies tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih �nggi dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 717 spesies (40,58%).

Gambar 2. Habitus Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja

D. Tujuan Pemanfaatan Tumbuhan Berkhasiat Obat Tujuan pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat adalah sebagai obat alterna�f untuk

mengoba� berbagai jenis penyakit yang ada di masyarakat.

Dari hasil yang diperoleh menunjukkan 84 jenis penyakit yang dapat dioba� dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang ada di KHDTK Samboja. Jenis tumbuhan terbanyak yang ditemui berkhasiat obat yaitu untuk mengoba� luka, diare, demam, disentri, batuk, malaria, diabetes, sakit kepala, peluruh air seni dan rema�k.

Gambar 3.

Sepuluh jenis penyakit ter�nggi yang dapat dioba� dengan menggunakan tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja

43

19

14

13

7

Page 109: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

94

Berdasarkan gambar di atas nampak bahwa 10 jenis penyakit ter�nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing-masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, diabetes dan sakit kepala masing-masing 7 jenis, peluruh air seni dan rema�k masing-masing 6 jenis

(Gambar 3). Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat terlihat bahwa luka merupakan sakit dengan jumlah terbanyak. Hal ini disebabkan karena masyarakat lokal yang �nggal di sekitar kawasan hutan banyak melakukan ak�vitas di lua r rumah seper� bertani atau berburu. Kegiatan bertani atau berburu ini kalau �dak dilakukan dengan ha� -ha� maka akan menyebabkan luka. Dan apabila mereka mengalami luka biasanya mereka memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang berada di dekat tempat ak�vitas mereka.

E.

Bagian Tumbuhan Yang Dimanfaatkan

Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah daun, akar, kulit batang, pucuk, umbi, kayu, biji, getah, batang, bunga, umbut, buah, kulit buah, tangkai bunga dan seluruh bagian tumbuhan.

Gambar 4 menunjukkan bahwa bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 42 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing-masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis

(Gambar 4).

Gambar 4.

Sepuluh Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan sebagai obat

di KHDTK Samboja

Bagian daun paling banyak dimanfaatkan karena daun mengandung zat yang bisa

menyembuhkan penyakit dan daun dapat langsung dikonsumsi tanpa harus memerlukan proses dan ada juga melalui pemrosesan. Selain itu dilihat dari �ngkat ketersediaan tumbuhan berkhasiat obat yang memanfaatkan bagian daun akan lebih menjamin ketersediaan sumber bahan baku

karena pengambilan daun �dak akan mema�kan dari tumbuhan tersebut. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan pemanfaatan pada bagian akar seper� jenis pasak bumi di mana potensi kepunahan menjadi lebih �nggi karena pengambilan bagian akar dilakukan

dengan teknik pencabutan sehingga dapat mengganggu keseimbangan populasi alami dari jenis tersebut.

Page 110: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

95

IV.

PENUTUP

Dari hasil yang telah diperoleh ternyata tumbuhan yang berkhasiat obat di KHDTK Samboja, ditemukan 96 jenis yang sudah teriden�fikasi dari 49 famili. Pemanfaatan terbanyak adalah famili Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan berkhasiat obat yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi lima �ngkatan yaitu �ngkat pohon sebanyak 43 jenis, perdu 19 jenis, herba 14 jenis, liana 13 jenis dan paku-pakuan 7 jenis.

Dari segi pemanfaatannya se�daknya ada 84 jenis penyakit yang dapat dioba� dengan menggunakan 96 jenis tumbuhan berkhasiat obat yang terdapat di KHDTK Samboja. Diketahui 10 jenis penyakit ter�nggi adalah sakit luka 14 jenis, diare dan demam masing-masing 13 jenis, disentri 10 jenis, batuk 9 jenis, malaria 8 jenis, disentri, diabetes dan sakit kepala masing-masing 7 jenis, peluruh air seni dan rema�k masing-masing 6 jenis. Bagian dari tumbuhan berkhasiat obat yang paling banyak digunakan adalah daun sebanyak 43 jenis, akar 24 jenis, kulit 10 jenis, batang dan buah masing-masing 7 jenis, getah 5 jenis, pucuk, umbi dan biji masing-masing 4 jenis kayu, bunga 3 jenis, kayu, umbut dan kulit buah masing-masing 2 jenis dan tangkai bunga 1 jenis.

DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, T. 2007. Rin�s Wartono Kadri “Pusat Keanekaragaman Haya� di KHDTK Samboja”. Wana Tropika vol.2 (4) 2007. Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Sangat, M.H., Ervizal A.M.Z., E.K. Damayan�. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Zuhud, E.A.M., Siswoyo, E. Sandra, A. Hikmat dan E. Adhiyanto. 2013. Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia Jilid X. Dian Rakyat. Jakarta.

Zuraida, A. Lelana dan H.S. Nuroniah. 2009. Perkembangan Biofarmaka Kehutanan. Bunga

Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor. Hal. 3 -13.

Page 111: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

96

Page 112: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

97

TEKNIK PEMINDAHAN KOLONI TRIGONA KE

DALAM STUP

(Trigona clypearis dan Trigona sapiens)

Edi Kurniawan

Balai Peneli�an Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram

I.

PENDAHULUAN

Trigona

spp

merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain madu dan bee bread.

Flavonoid yang terkandung dalam propolis bermanfaat untuk manusia dimana Flavonoid adalah zat an�oksidan yang mempunyai fungsi memperlancar peredaran darah, menyembuhkan penyakit, dan menambah daya tahan tubuh.Propolis sudah banyak dikenal dikalangan masyarakat sebagai obat untuk segala macam penyakit sehingga kebutuhan industri akan propolis mentah meningkat untuk itu diperlukan langkah-langkah budidaya trigona sebagai penghasil propolis.

Ada beragam jenis trigona di dunia dan penyebaran Trigona

spp

di Indonesia sangat beraneka ragam, Sumatra ada sekitar 31 jenis, Kalimantan ada 40 jenis, Jawa 14 jenis, dan Sulawesi ada 3 jenis (Guntoro, 2013). Beberapa jenis diantaranya adalah T. minangkabau dan T. fimbriata (Sumatra), T. apicalis dan T. incisa (Kalimantan), T. terminata dan T. Incisa (Sulawesi),

T.laeviceps dan T.moorei (Jawa), sedangkan di Nusa Tenggara Barat teriden�fikasi 2 jenis yaitu Trigona clypearis dan Trigona sapiens (BPTHHBK, 2012)

Teknik pemindahan koloni trigona kedalam stup yang dijelaskan adalah jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens yang telah teriden�fikasi di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Dimana jenis ini sudah banyak dikembangkan dimasyarakat di pulau Lombok.

II.

PERSIAPAN

Untuk melakukan pemindahan koloni ke dalam stup dibutuhkan persiapan sebagai

berikut:

a.

Pengambilan Koloni di Alam

Perburuan koloni trigona di

alam biasanya ditemukan di pohon lapuk, pohon bambu, batang pohon gerowong, �ang bambu, batok kelapa, pondasi rumah dll. Setelah ditemukan ambilah koloni yang dianggap mudah untuk dilakukan pemindahan kedalam kotak/stup seper� di bambu, batok kelapa dll. Pengangkutan koloni dari alam ke tempat lainya (ke rumah) sebaiknya dilakukan pada malam hari dengan tujuan seluruh koloni sudah kembali kesarangnya karena pada malam hari lebah trigona �dak keluar dari sarangnya, Jika �dak memungkinkan pada malam hari pengangkutan dapat dilakukan siang hari dengan menutup lubang dengan menggunakan jaring kecil atau kain.

b.

Stup/Kotak

Standar ukuran stup trigona jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens belum ada standar, diupayakan �dak terlalu besar dan �dak terlalu kecil pada dasarnya lebah dapat mengontrol sarang dengan baik.

Contoh yang pernah dilakukan 15

cm x 10

cm x 40 cm. Bahan kayu yang digunakan untuk pembuatan stup usahakan kering dan bagian dalam dihaluskan.

Page 113: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

98

c.

Alat dan Bahan

Alat yang perlu dipersiapkan yaitu Topi Lebah, gergaji, palu, parang, sendok, paku dll disesuaikan dengan kebutuhan.

Gambar 1.

Proses pembuatan stup dari bahan kayu

d.

Tempat pemindahan dan penyimpanan bebas semut

Sebelum dan setelah dilakukan pemindahan koloni kedalam stup,

koloni lebah

membutuh-

kan waktu untuk membersihkan sarang dan menutup celah agar terhindar dari serangan predator (semut) oleh karena itu dibutuhkan tempat pemindahan dan penyimpanan bebas semut seper� contoh menyiapkan gantungan yang telah diberikan oli, tempat penyimpanan adalah tempat yang teduh bebas trik matahari.

Gambar 2.

Penyimpanan stup lebah Trigona spp

III.

PELAKSANAAN

Pemindahan koloni sebaiknya dilakukan pada siang

hari, pemindahan koloni pada malam hari dalam proses pemindahan dapat menyebabkan beberapa koloni yan g bisa terbang mengejar lampu-lampu kemudian ma� karena panasnya bola lampu. Tahap pemindahan koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a.

Ambillah

stup/kotak

diletakkan pada tempat atau alas yang telah disiapkan agar terhindar dari serangan semut

(Gambar 2)

b.

Ambillah

koloni pada bambu kemudian dibelah dengan ha�-ha� agar anak lebah yang belum bisa terbang �dak jatuh dari bambu dan madu �dak bocor.

Setelah terbelah,

bambu di

Page 114: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

99

ketok-ketok supaya lebah yang bisa terbang keluar untuk mengurangi kema�an . Pindahkan telur lebah ke stup menggunakan sendok dengan memperha�kan ratu lebah agar �dak ma� . Ratu lebah memiliki ukuran perut yang lebih besar dari lebah pekerja.

c.

Setelah telur dipindahkan ambillah madu dan bee bread (ro� lebah) ke wadah yang telah disiapkan dengan tetap memperha�kan ratu yang bisa saja pada bagian madu dan bee bread.

Untuk madu dan bee bread �dak perlu dimasukkan kedalam stup.

d.

Setelah semua telur, anak lebah dan ratu dimasukkan tutup rapat stup kemudian ambil sedikit getah yang terdapat pada pintu masuk di oles atau tepelkan pada pintu masuk agar lebah bisa mendeteksi lubang masuk, maka lebah akan masuk dengan sendirinya.

e.

Stup yang telah terisi tetap diamankan dari serangan semut hingga terbentuknya pertahanan lebah ditandai dengan beberapa celah atau lubang pada stup akan ditutup menggunakan propolis (Gambar 3)

f.

Setelah koloni terisi,

letakkan stup pada tempat yang teduh tidak tekena terik matahari langsung hal ini dapat menyebabkan getah yang terdapat pada stup mencair dan lebah bisa ma� atau kabur.

Gambar 3.

Stup Sudah Terisi Madu

IV.

PENUTUP

Trigona

spp

merupakan lebah tanpa sengat yang menghasilkan propolis selain madu dan bee bread (ro� lebah). Trigona memiliki kelebihan �dak mudah kabur, �dak memiliki sengat sehingga aman utuk anak-anak. Trigona

spp

menghasilkan sedikit madu dibanding lebah yang lainnya namun dengan memiliki kelebihan �dak mudah kabur dapat dilakukan perbanyakan koloni untuk menghasilkan madu yang lebih banyak.

Pemindahan koloni jenis Trigona clypearis dan Trigona sapiens

sangat mudah dilakukan pemindahan kedalam stup yang perlu diperha�kan sebelum dan setelah dilakukan pemindahan dilakukan pengamanan dari predator (semut) sampai terbentuk pertahanan ditandai dengan seluruh celah dan lubang stup tertutup oleh propolis dan simpanlah setup yang terbebas dari terik matahari secara langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Guntoro, Y.P. 2013.

Ak�vitas Dan Produk�vitas Lebah Trigona laeviceps di Kebun Polikultur Dan Monokultur Pala (Myris�ca fragrans).

Skripsi.

Ins�tut Pertanian Bogor.

Page 115: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

100

Page 116: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

101

PENINGKATAN PERTUMBUHAN TANAMAN BITTI MENGGUNAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

DAN PUPUK NPK

PADA MEDIA SUB SOIl

Edi Kurniawan

Balai Peneli�an Kehutanan Makassar

I.

PENDAHULUAN

Lahan kri�s merupakan kondisi dimana

kemampuan lahan sudah �dak sesuai dengan penggunaan lahannya, baik sebagai media produksi, pengatur tata air maupun sebagai perlindungan alam lingkungan. Keberadaan lahan kri�s saat ini sudah merupakan masalah nasional yang perlu mendapatkan perha�an yang serius dari pemerintah. Inventarisasi lahan kri�s sampai tahun 2011 di Indonesia mencapai angka 27.294.842 hektar yang terdiri atas lahan kri�s seluas 22.025.581 hektar dan sangat kri�s 5.269.260 hektar dengan laju deforestasi sebesar 613.480,7 hektar per tahun (Kementerian Kehutanan, 2013).

Reklamasi dan rehabilitasi lahan kri�s

(RHL)

diperlukan untuk mengembalikan fungsi lahan

tersebut secara op�mal. Dalam pelaksanaan kegiatan RHL diperlukan bibit dalam jumlah yang besar dan se�ap tahunnya sekitar 1,5 milyar bibit yang disediakan oleh pemerintah

(Kementerian Kehutanan, 2013). Besarnya target luas penanaman berimplikasi pada besarnya jumlah bibit yang harus disediakan, namun tetap harus diingat bahwa besarnya kuan�tas bibit yang harus disediakan jangan sampai mengabaikan segi kualitas bibit tersebut.

Dalam kegiatan RHL, pemilihan jenis tumbuhan setempat yang cocok dengan tapak akan membantu dalam upaya mempercepat suksesi. Salah satu jenis tumbuhan asli Sulawesi yang digunakan dalam kegiatan RHL adalah tanaman bi� (Vitex cofassus Reinw.). Namun dalam penyediaan bibit di lapangan mengalami banyak kendala yaitu dengan adanya fa ktor pembatas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam pembibitan.

Salah satu faktor pembatas dalam menyiapkan bibit yang cukup, baik dalam kualitas maupun kuan�tas adalah media sapih dari tanah sub soil.

Tanah ini memiliki sifat kurang subur

karena memiliki kandungan zat makanan yang sangat sedikit, berbatu,

testurnya agak kasar dan agak lengket. Pada lapisan ini, ak�vitas organisme dalam tanah mulai berkurang, demikian juga dengan sistem perakaran tanaman

untuk mengatasi hal tersebut diperlukan

input untuk meningkatkan pertumbuhan semai di

persemaian dan meningkatkan daya tahan hidup bibit di

lapangan. Dalam rangka menyiapkan bibit yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuan�tas perlu dicari alterna�p yang �dak saja efek�f

tetapi

lebih murah dan bersahabat dengan lingkungan.

Salah satu teknologi yang digunakan untuk memperbaiki media tumbuh yang digunakan dalam pembuatan bibit bi� adalah dengan penggunaan fungi Mikoriza arbuskula

(FMA). Se�adi (2000) mengemukakan bahwa peran fungi mikoriza

arbuskular (FMA) sangat pen�ng dalam memperbaiki lingkungan, diantaranya dapat memperbaiki nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan

bibit, memperbaiki sifat fisika tanah, sebagai pelindung haya� (bio-protec�on), melindungi tanaman dari

patogen

akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim.

Peran FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman berkaitan dengan kemampuan FMA untuk menyediakan unsur fosfor dari tanah. Selain meningkatnya penyerapan fosfor menurut

Bowen dan Smith (1981) penyerapan unsur lain juga meningkat terutama ion-ion kurang mobil seper� Cu2+, Zn2+

dan Amonium (NH4+).

Selain itu Fungi mikoriza mampu

Page 117: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

102

menghasilkan ectoenzym yang

memengaruhi eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P (Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam

Prayudyaningsih, 2014)

Pemupukan adalah upaya pemberian atau penambahan hara dalam jumlah dan cara sesuai yang diperlukan tanaman ke dalam tanah dalam waktu tertentu (Setyaningsih

dkk, 2000). Penyerapan P melalui pemupukan dapat di�ngkatkan dengan adanya fungi mikoriza pada akar tanaman (Se�awa�

dkk, 2000). Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se�awa�

dkk, 2000).

Penggunaan subsoil sebagai media tumbuh mempunyai keuntungan karena dengan menggunakan subsoil maka tanah akan terpakai secara ver�kal dibandingkan penggunaan tanah topsoil yang akan menghabiskan luas tanah secara horizontal. Jika penggunaan fungi Mikoriza arbuskular

(FMA) dan pupuk NPK dapat membantu memperbaiki kondisi fisik dan kimia dari tanah subsoil sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman maka hal ini akan sangat menguntungkan karena berar� tanah subsoil dapat produk�f kembali dan kita �dak akan

tergantung pada tanah topsoil semata sebagai media tumbuh di persemaian.

Penggunaan FMA

dan pupuk NPK tentunya memperha�kan dosis yang tepat. Penggunaan inokulum FMA dan pupuk yang baik merupakan langkah yang efesien dalam menunjang pertumbuhan tanaman di pembibitan dan keberhasilan pada saat pemindahan bibit ke lapangan. Ber��k tolak dari uraian di atas bahwa aplikasi FMA dan pupuk NPK di persemaian untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik perlu dikaji lebih dalam Khususnya mengenai penggunaan dosis isolat fungi Mikoriza arbuskula

dan pupuk NPK pada pertumbuhan bibit tanaman bi�.

Peneli�an ini bertujuan mengevaluasi respon pertumbuhan tanaman bi� terhadap inokulasi fungi Mikoriza arbuskula

(FMA) dan pupuk NPK pada berbagai dosis.

II.

BAHAN & METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam peneli�an ini adalah mikroskop binokuler (Nikon), cawan petri (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), pipet tetes, 1 set saringan spora (100 mesh), botol sampel, gun�ng, oven, pinset, ayakan tanah, oven listrik (Memmert), mistar, caliper, �mbangan digital ( Sartorius), bak kecambah dan polybag ukuran 12 X 17 cm.

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam peneli�an ini adalah benih bi�, pupuk NPK

(20:10:10), Fumigan bahan ak�f Dazomet 98%, alkohol 70%, KOH 10%, HCl 1%, HCl 2%, gliserin, asam fuchsin, aquadest, lactogliserol, air, kertas label tanah subsoilI

dan

yang disimpan 6 bulan dan FMA ( Isomik MK1).

Rancangan Peneli�an

Rancangan peneli�an yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 3 x 4. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10

kali, sehingga diperoleh 120 satuan percobaan.

Faktor A

(dosis inokulasi mikoriza):

A0

=

Tanpa inokulasi mikoriza, A1

= Inokulasi mikoriza 5 gram (Mansur, 2010) ,

dan A2

=

Inokulasi mikoriza 10 gram. Faktor B (dosis pupuk NPK):

B0 = dosis 0 gram per polybag, B1 = dosis 0,5 gram per polybag, B2 =

dosis 1 gram per polybag (Suharta�, 1997), dan B3 = dosis 1,5 gram per polybag.

Pemupukan yang tidak optimal

Page 118: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

103

Menurut Gaspersz (1994), model sta�s�k untuk percobaan faktorial dua faktor

dengan menggunakan rancangan dasar RAL adalah:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

i = 1, 2 ,3

j = 1, 2, 3,4

k = 1,

2,...10

Ket : Yijk

=

Nilai pengamatan pada faktor A

(inokulasi FMA) taraf ke-

i, faktor B

(dosis pupuk NPK)

taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ

=

Rata-rata umum

αi

=

Pengaruh faktor inokulasi FMA

βj

=

Pengaruh faktor dosis pupuk NPK

(αβ)ij

=

Komponen interaksi dari faktor inokulasi FMA

dan faktor dosis pupuk NPK

εijk

=

Pengaruh

acak yang menyebar normal

Prosedur Kerja

Kegiatan peneli�an ini dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

1.

Sterilisasi

Media Tumbuh

Tanah dikeringanginkan kemudian dihaluskan dan diayak dengan ayakan berdiameter 3 mm agar bu�ran yang diperoleh seragam. Sterilisasi dilakukan dengan cara mencampur tanah dengan basamit sesuai takaran, kemudian diaduk sampai merata. Agar uap fumigan dari basamit bereaksi dengan baik dalam tanah maka tanah disiram sedikit demi sedikit sampai seluruh permukaan bu�ran tanah menjadi basah. Tanah yang telah diberi basamit disimpan dalam tempat tertutup rapat, sehingga gas/uap fumigan dari basamit �dak menguap bebas. Tanah didiamkan selama 11 hari. Pada hari ke-11 sampai hari ke-18 tanah dibuka dan dikeringanginkan untuk menghilangkan pengaruh uap fumigan (Misto, 2001).

2.

Persiapan Polybag dan Media Tumbuh

Ukuran polybag yang digunakan adalah 12 x 17 cm. Polybag diisi tanah sampai penuh sebanyak 400 gram. Setelah polybag terisi tanah kemudian diberi kode sesuai perlakuan. Tiga

hari sebelum dilakukan pemindahan tanah disiram dengan air hingga jenuh kemudian didiamkan.

3.

Penaburan Benih

Benih dikecambahkan pada bak perkecambahan dengan metode tabur. Media perkecam -bahan adalah pasir halus yang telah disterilkan dengan cara dioven p ada suhu 100oC selama 2 jam. Sebelum ditabur, benih direndam dalam air dingin selama 24 jam. Penaburan dilakukan dengan cara mengisi bak perkecambahan dengan pasir setebal ±10 cm. Kemudian benih ditabur secara larikan dan ditutupi dengan pasir setebal ½ dari panjang benih, kemudian disiram merata.

4.

Penyapihan, Inokulasi FMA dan Pemupukan

Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap disapih, yaitu kecambah telah mempunyai empat daun.Inokulasi dilakukan pada saat penyapihan dengan cara memberikan inokulum FMA hasil isolasi dari tanah lahan bekas tambang kapur yang terdiri dari �ga jenis spora yaitu Gigaspora, dan

Acaulospora sesuai perlakuan di dalam lubang tanam. Selanjutnya semai ditanam dengan posisi akar mengenai inokulum FMA. Pemupukan dilakukan pada saat semai berumur 1,5 bulan setelah penyapihan.

5.

Pemeliharaan Bibit

Bibit dipelihara di dalam green house dengan melakukan penyiraman sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pengaturan bibit dalam ruang perakaran

sesuai dengan perlakuan.

Page 119: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

104

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Ragam. Apabila terjadi perbedaan yang nyata/signifikan dilanjutkan dengan Duncan Mul�ple Range Test

(DMRT). Menurut Gaspersz (1994), rumus Uji Beda Duncan adalah sebagai berikut:

S

Ϋ = (s2/r)1/2

=

(KTG/r)1/2

Dimana:

s2

=

nilai kuadrat tengah galat

r

=

jumlah ulangan

KTG

=

kuadrat tengah galat

Variabel yang diama�

1.

Pertumbuhan �nggi

2.

Pertumbuhan diameter batang

3.

Jumlah daun

4.

Nisbah Pucuk Akar (NPA)

5.

Indeks Mutu Bibit (IMB)

Indeks mutu bibit diukur berdasarkan cara Dickson et al.

(1960) dalam

Putri (2008):

(

)

(

)

(

)

(

)

6.

Persen Kolonisasi FMA

Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan dengan metode pewarnaan akar (Kormanik dan McGraw, 1982). Perhitungan presentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (slide)

menurut Giovanne� dan Mosse (1980). Potongan -potongan akar sepanjang 1 cm memiliki 6 bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa, vesikula, arbuskula atau spora) diberi tanda posi�f (+) sedangkan yang �dak terdapat tanda diberi tanda nega�f (-). Persentase kolonisasi FMA pada akar dihitung menggunakan rumus:

III.

HASIL PENELITIAN

Pertambahan Tinggi Tanaman

Pertambahan �nggi semai bi� yang diama� 2 minggu sekali selama 3 bulan menunjukkan bahwa semai bit�,

yang diinokulasi FMA

hasil isolasi dari tanah lahan bekas tambang kapur yang terdiri dari �ga jenis spora yaitu Gigaspora dan

Acaulospora mempunyai pertambahan �nggi yang lebih baik dibanding semai bi�

yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan �ngkat

pertambahan �nggi semai bi�

yang diinokulasi FMA dengan kontrol

pada umur empat minggu belum terlihat. Pengaruh

asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar 1a).

Peranan mikoriza terhadap pertambahan �nggi se mai dapat di�ngkatkan dengan penambahan pupuk NPK. Pertambahan �nggi semai yang diinokulasi mikoriza dan diberi pupuk NPK semakin meningkat, sedangkan semai yang �dak diberi pupuk

%KolonisasiFMA=

∑bidangpandangbertanda(+)

∑keseluruhanbidangpandang

bertanda

X100%

Page 120: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

105

NPK terjadi pertambahan �nggi semai rendah dibandingkan semai yang diber i pupuk NPK pada umur 8 minggu (Gambar 1a).

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1), perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode

Duncan

memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai (Tabel 1), tetapi menunjukkan interaksi perlakuan FMA dosis 5 g/polybag dengan NPK dosis 0,5 g/polybag menghasilkan pertambahan �nggi ter�nggi dan berbeda nyata dengan pemupukan dengan dosis 1 g/polybag dan 1,5 g/polybag tanpa diinokulasi FMA.

Tabel 1 dan Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa, dengan menambahkan dosis FMA dan dosis pupuk NPK �dak serta merta bahwa dosis FMA dan NPK

yang �nggi lebih baik daripada dosis yang rendah dalam meningkatkan pertumbuhan �nggi semai

bi�.

Interaksi perlakuan inokulasi FMA dan pupuk NPK (20:10:10) mempunyai pertumbuhan �nggi yang lebih �nggi dan berbeda nyata dengan semai bi� yang �dak diinokulasi FMA. Semai yang �dak diinokulasi FMA (A0B0, A0B1, A0B2 dan A0B3) mempunyai pertumbuhan �nggi yang lebih rendah (Tabel 2

dan Gambar 1a).

Pertambahan Diameter Batang

Pertambahan �nggi semai bi� yang diama� 2 minggu sekali menunjukkan bahwa

semai bi�,

yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan diameter

yang lebih baik dibanding semai bi�

yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Perbedaan peningkatan pertambahan diameter

semai bi�

yang diinokulasi FMA dengan kontrol

pada umur empat minggu tidak terlalu berbeda jauh. Namun setelah berumur enam minggu

peningkatan pertambahan �nggi semai bi�

yang diinokulasi FMA sangat berbeda jauh dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh asosiasi FMA mulai terlihat setelah inokulasi lebih dari empat minggu (Gambar

1b).

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 2)

menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai sedangkan dosis pupuk NPK �dak menunjukkan perbedaan respon. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan diameter semai (Tabel 1), tetapi kombinasi perlakuan menghasilkan pertambahan diameter yang paling besar adalah A1B1 (4,33 mm), A1B2 (4,29 mm), A1B3 (4,25 mm), A2B1 4,02 mm) dan A2B3 (4,01 mm). Dari ke lima kombinasi perlakuan tersebut, diketahui bahwa inokulasi FMA dosis 5 gram sangat menonjol apabila dikombinasikan dengan pupuk NPK dosis 0,5

(Tabel 2).

Perlakuan A1B1 meningkatkan pertumbuhan diameter semai antara 156,21%-283,28% dibandingkan dengan semai tanpa diinokulasi FMA.

Pertambahan Jumlah Daun

Pengamatan pertambahan jumlah daun se�ap 2 minggu menunjukkan semai yang diinokulasi FMA mempunyai pertambahan jumlah daun yang lebih baik dibanding yang �dak diinokulasi FMA walaupun ditambahkan pupuk NPK (Gambar

1c). Waktu pertambahan jumlah daun pada semai yang diinokulasi FMA lebih cepat dibanding dengan tanaman yang �dak diinokulasi FMA, pada umur 5 minggu tanaman yang diinokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai sedangkan tanaman tanpa inokulasi FMA memiliki pertambahan daun 10 helai pada umur 10 minggu (Gambar 1c)

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa, perlakuan dosis mikoriza, dosis pupuk NPK dan interaksinya menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan jumlah daun semai. Kemudian berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode

Page 121: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

106

Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis pupuk NPK �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap pertambahan �nggi semai (Tabel 2). Dosis pupuk 1,5 g (A0B3) menghasilkan pertambahan �nggi ter�nggi tetapi berbeda �dak nyata dengan dosis 0,5 g (A0B1) dan 1 g (A0B2).

Kombinasi perlakuan yang menghasilkan pertambahan jumlah daun yang paling besar adalah: A1B3 (31,20 helai) namun �dak beda nyata A1B2 (31,20 helai), A2B3 (28,40 helai), A2B2 (28,00 helai) dan A1B1 (27,80 helai). Dari hasil uji

Duncan, diketahui bahwa pada dasarnya semua perlakuan dengan perlakuan inokulasi

FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel 2).

Prosentase Kolonisasi FMA

Tingkat kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan mikoriza di dalam akar maupun pada rhizosphere. Hasil analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan bahwa interaksi antara inokulasi FMA dan pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap prosentase kolonisasi FMA.

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan memperlihatkan perlakuan dosis FMA dan dosis

pupuk �dak menunjukkan perbedaan respon terhadap prosentase kolonisasi FMA tetapi memperlihatkan kombinasi perlakuan yang menghasilkan kolonisasi FMA yang paling

�nggi adalah A2B1 yaitu 76,66%, tetapi terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA �dak memberikan perbedaan yang nyata.

IV. PEMBAHASAN

Rendahnya kandungan unsur hara dalam media semai bi� terutama unsur hara makro N unsur P yang sedang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Hal tersebut terbuk� pada pertumbuhan semai bi� yang �dak diinokulasi FMA (kontrol). Semai bi� yang �dak diinokulasi FMA dengan penambahan pupuk NPK mempunyai pertumbuhan �nggi yang paling rendah yaitu 8,19

cm-15,02 cm

pada umur �ga bulan (Tabel 2). Menurut Hanafiah

(2012) gejala

paling menonjol dari defisiensi unsur hara adalah pertumbuhan yang sangat terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil.

Menurut Se�adi

(1997), salah satu cara meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah dengan cara menginokulasi akar tanaman dengan fungi pembentuk mikoriza. Sebagaimana telah diketahui asosiasi FMA pada akar tanaman mampu meningkatkan penyerapan unsur hara dan air. Peningkatan unsur hara terjadi karena hifa eksternal FMA memperluas jang kauan penyerapan unsur hara dan menyediakan permukaan yang lebih efek�f (lebih ekstensif dan lebih baik penyebarannya) dalam menyerap unsur hara dari tanah yang kemudian akan dipindahkan ke akar inang. Selain itu luas permukaan penyerapan akar tanaman yang bersimbiosis dengan FMA meningkat 18 kali lipat dibandingkan akar yang �dak bermikoriza (Orcu� dan Nielsen,

2000 dalam Prayudyaningsih, 2014).

Berdasarkan hasil analisis tanah media tanam semai bi� ( Lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan kalsiumnya (Ca) sangat �nggi. Sehingga walaupun unsur hara P pada media termasuk sedang

dengan kandungan Ca yang sangat �nggi dapat menyebabkan rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P karena P akan terikat Ca membentuk mineral kalsium trifosfat (Ca3(PO4)2) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002; Hardjowigeno, 2010;

dan Hanafiah, 2012).

Fosfat dalam bentuk demikian disebut occluded phosphate

dan merupakan bentuk yang tak tersedia bagi tanaman. Fungi mikoriza mampu menghasilkan ectoenzym yang

memengaruhi

Page 122: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

107

eksudasi akar sehingga meningkatkan keterlarutan P

(Simanungkalit, 2007 dan Bucher, 2007 dalam

Prayudyaningsih, 2014)

Unsur P merupakan unsur hara yang sangat pen�ng bagi pertumbuhan tanaman. Unsur P berperan dalam pembentukan senyawa berenergi �nggi yaitu ATP yang mempuny ai peran pen�ng dalam berlangsungnya proses-proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman seper� pembelahan dan pemanjangan sel, respirasi dan fotosintesis (Hanafiah, 2012 dan Bucher, 2007 dalam

Prayudyaningsih, 2014). Dengan demikian meningkatnya penyerapan P dalam jaringan tanaman akan meningkatkan proses pembelahan dan pemanjangan sel sehingga meningkatkan pertumbuhan �nggi dan diameter tanaman. Seper� telah dijelaskan sebelumnya, unsur hara P tersedia pada media semai bi� yang terikat dengan Ca menj adi tersedia dengan diinokulasi

FMA.Kombinasi antara inokulasi fungi mikoriza dan pemberian pupuk dapat meningkatkan hasil tanaman terutama melalui peningkatan serapan P (Se�awa�

dkk, 2000). Akibatnya Interaksi

FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan �nggi

300,99% dibanding kontrol atau meningkatkan �nggi 635,40% dibanding semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 gram tanpa diinokulasi.

Rahayu (1999) dalam Misto (2001) menulis bahwa standar kualitas semai siap tanam apabila �nggi semai telah mencapai 30–50 cm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dengan dosis 5 gra m dikombinasikan dengan pupuk NPK 0,5 gram menghasilkan bibit yang memenuhi standar kualitas pada umur 2,5 bulan. Bila dibandingkan dengan hasil peneli�an Suharta�

(1997),

pemberian pupuk pada bibit bi� dengan media topsoil dan pasir dengan perbandingan 1:1 sebanyak 1 g/polybag NPK (15:15:15) dapat memberikan peningkatan pertumbuhan �nggi sebesar 22% dan diameter 5.6%, dengan menggunakan media subsoil yang inokulasi FMA tentunya dapat menghemat 50% penggunaan pupuk NPK/semai.

Inokulasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara N melalui pemupukan NPK dalam menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akar meningkat (Santoso dkk, 2006). Peningkatan suplai air kedalam tanah menghasilkan serapan hara meningkat. Penyerapan unsur hara N yang terdapat dalam pupuk NPK 20:10:10 akan meningkat seiring tersedianya air yang cukup. Unsur N berperan sebagai komponen utama berbagai senyawa di dalam tubuh tanaman. Selain itu

unsur ini juga merupakan bahan penyusun tubuh vegeta�f tanaman.

Pemberian pupuk NPK (20:10:10) pada kondisi agak alkalis �dak efek�f meningkatkan

pertambahan jumlah daun tanpa diinokulasi FMA. Pengaruh FMA terhadap peningkatan pertumbuhan bibit bi� lebih di�ngkatkan dengan pemberian pupuk NPK, ini dibuk�kan dengan Interaksi

FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan jumlah daun

13,40 helai

dibanding kontrol atau meningkatkan �nggi 13,8 helai, dibanding dengan jumlah daun tanaman semai yang di pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag, hal ini membuk�kan adanya interaksi posi�f antara perlakuan FMA dan pupuk NPK. Hal ini dibuk�kan dengan adanya gejala defisiensi semai yang diinokulasi FMA tanpa diberi pupuk NPK .

Berdasarkan SK.17/PTH-3/2014 direktur bina perbenihan tanaman hutan, kualitas bibit bi� siap tanam apabila �nggi bibit ≥ 25 cm, diameter ≥ 3 mm, akar dalam media telah membentuk gumpalan yang kompak padat, batang kokoh tegar, umur bibit lebih dari 4 bulan dan bibit dalam kondisi sehat serta penampakannya baik. Mengacu pada standar tersebut, maka inokulasi FMA dikombinasikan dengan pupuk NPK dapat mempersingkat waktu persemaian 1 bulan.

Page 123: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

108

Tingkat prosentase kolonisasi mikoriza merupakan salah satu indikator keberhasilan perkembangan FMA di

dalam akar. Uji kolonisasi dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan

nilai parameter yang diukur merupakan akibat atau pengaruh adanya asosiasi FMA. Dari Tabel 2 terlihat terjadi penurunan kolonisasi FMA berkaitan dengan penambahan dosis pupuk yang diberikan dan berkaitan dengan penambahan dosis FMA �dak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukarno (1998) dalam Setyaningsih dkk., (2000) yang mengemukakan bahwa pemupukan yang tepat dapat meningkatkan kemampuan FMA untuk menginfeksi akar dan bila berlebihan akan berakibat sebaliknya.

Misto (2001)

mendapatkan hal yang sama, yaitu FMA dengan tanpa penambahan serbuk arang mendapatkan 82,25 % terinfeksi sedangkan pada parameter �nggi, diameter, serapan fosfat, nisbah pucuk/akar, indeks kualitas bibit dan berat kering semai mendapatkan hasil yang rendah. Beberapa analisis dapat dikemukakan, antara lain: (1) kandungan spora potensil berbeda. Memperha�kan

pengaruhnya terhadap parameter yang diukur, menunjukkan ke�dak jelasan hubungan antara �ngkat infeksi dan �ngkat efek� fitas FMA. Hasil peneli�an sejalan dengan hasil peneli�an Setyaningsih dkk (2000). Keadaan ini diduga berkaitan dengan penger�an parameter �ngkat infeksi sebagai indikator ak�vitas infeksi. Tingkat infeksi FMA hanya menunjukkan prosentase dari akar terinfeksi (Abbot dan Robson, 1982). Walaupun demikian �dak dapat juga disimpulkan bahwa �ngkat infeksi FMA �dak mempengaruhi bibit, karena (1) �ngkat infeksi merupakan gambaran yang paling tepat untuk ak�vitas FMA, (2) �ngkat infeksi dan berat segar akar merupakan komponen penghitung nilai berat segar akar bermikoriza, yang diduga berkaitan dengan keefek�van peran FMA (Komarayan�, 1993). Pendapat lain menyebutkan bahwa luas penyebaran hifa ekstraradikal dan intensitas infeksi FMA �dak selalu berkolerasi posi�f dengan efisiens i suatu jenis FMA. Diduga pula bahwa perkembangan FMA terkait dengan perkembangan akar itu sendiri.

Bila dikaitkan dengan pertumbuhan tanaman, terlihat bahwa interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag memberikan pertumbuhan �nggi dan diameter semai terbaik. Interaksi antara FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan pertambahan jumlah daun dan nisbah pucuk akar semai terbaik, interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 1,5 g/polybag memberikan indeks mutu bibit terbaik dan prosentase kolonisasi FMA terbaik terdapat pada interaksi FMA dosis 10 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag, namun berbeda �dak nyata dengan interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag. Dengan demikian interaksi perlakuan yang efek�f meningkatkan pertumbuhan semai bi� adalah interaksi FMA dosis 5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag.

IV.

PENUTUP

Pemberian dosis FMA 5 g/polybag meningkatkan pertumbuhan �nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA dibanding dosis FMA 10 g/polybag. Pemberian dosis 0,5 g/polybag pupuk NPK meningkatkan pertumbuhan �nggi dan diameter. Pemberian dosis 1 g /

polybag menghasilkan prosentase kolonisasi ter�nggi. Interaksi FMA dosis

5 g/polybag dengan pupuk NPK dosis 0,5 g/polybag dapat meningkatkan pertambahan �nggi, diameter, jumlah daun, dan prosentase kolonisasi FMA.

Page 124: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

109

DAFTAR PUSTAKA

Abbot L.K. dan Robson A.D. (1982). The Role of Vesicular Arbuscular Fungi in Agriculture and Selec�on of Fungi for Inoculum. Aust. J. Agr. Research 33:389.

Gaspersz V. (1994).Metode Perancangan percobaan. Untuk ilmu -ilmu Pertanian,Ilmu-Ilmu Teknik dan Biologi Edisi kedua. Armico,Bandung. Hal 33-185.s

Giovanne� M. dan Mosse B. (1980). An Evaluation of Tecnique for Measuring Vesicular Arbuskular Mycorrhizal Infec�on in Roots. New. Phytol . 84 : 489 –

500.

Hardjowigeno S. (2010). Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hal 59-97.

Hanafiah

K.A. (2012). Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal 258-263.

Kementerian Kehutanan.

(2013). Sta�s�k Kehutanan Indonesia 2013.

h�p://www.dephut.go.

id/uploads/files/2�a7c7da8536e31671e3bb84f141195.pdf.

Diakses tanggal 19 Januari 2015.

Komarayan� S. (1993). Pengaruh Inokulasi Jamur dan Pemberian Batuan Fosfat Tehadap Pembentukan Ekto dan Endomikoriza Serta Efek�vitasnya Pada Semai Eucalyptus deglupta di Tanah Marginal Samas. Tesis Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Kormanik P.P. dan McGraw A.C. (1982). Quan�fica�on

of Vesikular-Arbuskular Mycorrhizal in Plant Roots. dalam : Schenk, N.C, Penyun�ng. Methods and Principles of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Society. Minnesota.

Misto. (2001). Efek�vitas Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA ), Penambahan Serbuk Arang dan Batuan Fosfat pada Pertumbuhan Semai Vitex cofassus Reinw . Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta . Hal 30 -45.

Prayudyaningsih R.

(2014). Pertumbuhan Semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis

dan Mun�ngia calabura

yang diinokulasi Fungi Mikoriza arbuskular

(FMA) pada Media

Tanah Bekas Tambang Kapur. Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea , Vol. 3 No 1, April 2014.

Hal 13-21.

Rosmarkam A. dan Yuwono N.W. (2002). Ilmu KesuburanTanah . Kanisius. Jakarta Hal 48-83.

Santoso E.,

Turjaman M.,

dan Irianto R.SB. (2006). Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Dalam Prosiding dan Ekspose Peneli�an Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang 20 September 2006.

Pusat Peneli�an dan Pengembangan

Konservasi Alam. Bogor.

Hal 71-80.

Se�adi Y. (1997). Peranan Mikoriza arbuskula

untuk Hutan Tanaman Industri. Proceedings

Seminar on mycorrhizae.ODA. Samarinda, 1997. Hal 11-21.

Se�awa� MR., Fitria�n B. N., dan Suryatman P. (2000). Pengaruh Mikoriza dan Pupuk Fosfat terhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan Komponen Pertumbuhan Tanaman Kedelai. Proseding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor.

Hal 92-99.

Setyaningsih L., Munawar Y., dan Turjaman M. (2000). Efek�fitas Cendawan Mikoriza Arbusula

dan Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Bi�. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor.

Hal 192-201.

Page 125: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

110

Suharta�. (1997). Teknik Pemeliharaan Bibit Gofasa (Vitex sp.) dan Bintangur (Calophyllum sp.) di Persemaian.

Bule�n Peneli�an Kehutanan.

IV (3): 12-24. Balai Peneli�an Kehutanan Ujung Pandang.

Page 126: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

111

Tabel 1.

Hasil uji duncan pengaruh perlakuan tunggal terhadap

pertambahan �nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah

daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF)

bibit bi�

Keterangan:

angka yang diiku� oleh huruf

yang sama berbeda �dak nyata pada taraf

kepercayaan 95%

Tabel 2.

Hasil uji duncan interaksi inokulasi FMA dengan beberapa dosis dan pupuk NPK terhadap terhadap pertambahan �nggi (T), pertambahan diameter (D), jumlah daun (JD), nisbah pucuk akar (NPA), indeks mutu bibit (IMB), dan persen kolonisasi FMA (PKF) bibit bi�

No

Perlakuan

T (cm) D (mm) JD (helai) NPA IMB PKF (%) 1

A1B1

60,23 a

4,33 a

27,80a

3,52a

0,41ab

76,11 a

2

A1B2

58,74 a

4,29 a

31,20a

3,34 def

0,43ab

69,44ab

3

A2B3

58,60 a

4,01 b

28,40a

3,61a

0,31bc

67,22abc

4

A1B3

54,06 ab

4,25 a

31,20a

3,17 def

0,48a

50,88 bc

5

A2B1

53,91 ab

4,02 b

27,20a

2,94def

0,40abc

76,66 a

6

A2B2

51,87 b

3.93 b

28,00a

3,25 def

0,38abc

44,99 cd

7

A2B0

36,61 c

3,61 b

19,20b

2,36bcd

0,28bcd

46,66 cd

8

A1B0

33,97 c

3,54 b

18,80bc

2,46 def

0,24 cd

46,66 cd

9

A0B0

15,02d

1,13 d

14,40cd

2,25 bcd

0,08 e

0,00e

10

A0B3

11,29 de

1,40 cd

14,00d

1,54 abc

0,08 e

0,00 e

11

A0B1

10,13 de

1,30 cd

12,80d

1,34 ab

0,03 e

0,00 e

12

A0B2

8,19 e

1,69 c

14,40cd

1,16 a

0,02 e

0,00 e

Keterangan: angka yang diiku� oleh huruf yang sama berbeda �dak nyata pada taraf kepercayaan 95%

Perlakuan

Respon

T (cm)

D (mm)

JD (helai)

NPA

IMB

PKF (%)

FMA

A1

27,25a

4,10b

27,25a

3,12a

0,34a

60,77a

A2

25,70a

3,89b

25,70a

3,04a

0,39a

58,88a

A0

13,90b

1,38a

13,90b

1,57b

0,05b

6,66b

Pupuk

B3

24,53a

-

24,53a

-

0,29a

50,92a

B2

24,53a

-

24,53a

-

0,28a

45,55a

B1

22,60a

-

22,60a

-

0,28a

39,99ab

B0

17,46b

-

17,46b

-

0,20b

31,96b

Page 127: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

112

Gambar 1.

Grafik pengaruh inokulasi FMA terhadap pertambahan �nggi, diameter,

dan jumlah

daun

semai bi�

sampai

umur 12 minggu

Page 128: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

113

Lampiran 1.

Hasil Analisi Ragam Pertambahan Tinggi (cm) Bibit Bi� umur 3 bulan

Keterangan:

Db

:

Derajat bebas

*

:

Berbeda nyata pada taraf uji 0,05

**

:

Berbeda nyata pada taraf uji 0,01

Lampiran 2.

Hasil Analisi Ragam Pertambahan Diameter (mn) Bibit Bi� umur 3

bulan

Keterangan: Db

:

Derajat bebas

*

:

Berbeda nyata pada taraf uji 0,05

**

:

Berbeda nynata pada taraf uji 0,01

Lampiran 3.

Hasil Analisi Ragam Pertambahan Jumlah Daun Bibit Bi� umur 3 bulan

Keterangan:

Db

:

Derajat bebas

*

:

Berbeda nyata pada taraf uji 0,05

**

: berbeda nynata pada taraf uji 0,01

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat

db

Kuadrat Tengah

F.hitung

F.tabel

5%

1%

Mikoriza

42373,822

2

21186,911

446,155**

3,08

4,71

NPK

3437,398

3

1145,799

24,128**

2,69

3,96

Mikoriza * NPK

3950,856

6

658,476

13,866**

2,18

2,97

Galat

5128,684

108

47,488

Total

225611,480

119

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat

db

Kuadrat Tengah

F.hitung

F.tabel

5%

1%

Mikoriza

183,327

2

91,663

331,027**

3,08

4,71

NPK 1,496 3 ,499 1,801tn 2,69 3,96

Mikoriza * NPK 5,469 6 ,912 3,292** 2,18 2,97

Galat 29,906 108 ,277 Total 183,327 119

Sumber Variasi

Jumlah Kuadrat

Db

Kuadrat Tengah

F.hitung

F.tabel

5%

1%

Mikoriza

4264,867

2

2132,433

94,994**

3,08

4,71

NPK

1002,767

3

334,256

14,890**

2,69

3,96

Mikoriza * NPK

614,333

6

102,389

4,561**

2,18

2,97

Galat

2424,400

108

22,448

Total

67892,000

119

Page 129: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

114

Lampiran 4.

Hasil Analisi sifat kimia tanah

Sifat

Nilai

Harkat

C-Organik (%)

0,58

Sangat rendah

N-Total (%)

0,09

Sangat rendah

C/N

6

Rendah

P2O5 (me/100g)

37

Sedang

P2O5 Bray/(ppm)

130

Sangat �nggi

P2O5 Olsen/(ppm)

130

Sangat �nggi

K2O HCL 25% (me/100g)

106

Sangat �nggi

KTK (me/100g)

26,82

Tinggi

K tertukar (me/100 g)

0,12

Sangat rendah

Na tertukar (me/100 g)

0,27

Rendah

Mg tertukar (me/100 g)

1,83

Sedang

Ca tertukar (me/100 g)

22,83

Sangat �nggi

KB (%)

93

Sangat �nggi

Kejenuhan Al (%)

0,00

Sangat rendah

pH H2O

7,6

Agak basa

Sumber:

Hasil analisis tanah laboratorium tanah

Page 130: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

115

PENGARUH KANALISASI DALAM PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

TERHADAP KEBAKARAN LAHAN

Johan Tampubolon

Balai Peneli�an Kehutanan Palembang

I.

PENDAHULUAN

Lahan gambut adalah bagian dari ekosistem hutan tropis dengan tanah yang lembab dan banjir berkala menghalangi kayu dan daun ma� dari proses pembusukan. Ke�ka materi organik ini semakin terkumpul ia menyerap lebih banyak air, mirip spons raksasa. Lahan gambut kemudian membentuk kubah materi organik yang basah dengan �ngkat kedalaman yang berbeda. Lahan gambut yang paling rawan terbakar memiliki kedalaman sebesar 4 meter, dan bisa mencapai kedalaman lebih dari 20 meter (Gambar 1). Selama gambut tersebut masih basah, ia �dak akan mudah terbakar. Tapi ke�ka lahan gambut dikeringkan dengan sistem kanal guna menjadi lahan HTI/Pertanian/Perkebunan, lahan tersebut menjadi mudah terbakar. Begitu api mulai menyala di lahan gambut, akan sangat sulit dipadamkan karena bara api dapat tersimpan di dalam tanah selama berbulan-bulan

(The World Bank, 2015).

Gambar 1.

Peat fire/kebakaran di lahan gambut

(Dr. Guillermo Rein )

Dampak Kebakaran Hutan Dan Asap Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi Indonesia dan negara-negara tetangga. Jumlah kerugian dan dampak jangka panjangnya belum sepenuhnya diketahui. Bank Dunia tengah ikut serta menghitung dampak kerugian dari kebakaran dan asap, untuk berbagai sektor. Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 mencapai 4,5 kali lebih luas dari Pulau Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait keanekaragaman haya� diperkirakan bernilai se kitar $295 juta pada tahun 2015

(belum termasuk kerugian ekonomi dan sosial). Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur. Pada �ngkat global, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada bulan

Page 131: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

116

Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 per hari. Jika Indonesia bisa menghen�kan kebakaran, Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar

29% pada 2030

(The World Bank, 2015).

Indonesia memiliki luasan lahan gambut lebih dari 14,9 juta Ha. Dalam pengelolaannya haruslah dilakukan dengan desain yang mampu melindungi lahan gambut, karena emisi yang dihasilkan jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan kebakaran pada lahan mineral. Tabel

1

dan Tabel

2 dibawah ini

memberikan gambaran luas lahan gambut yang kita miliki serta dampak emisi yang dihasilkan kebakaran lahan gambut bila dibandingkan terhadap lahan mineral.

Tabel

1.

Luas Lahan Gambut per Pulau Besar di Indonesia berdasarkan Ketebalan

Tabel

2.

Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan

(Levine, 2004)

II.

DESAIN PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

Saat ini kondisi lahan gambut di lapangan yang telah dikelola dalam bentuk HTI, Perkebunan maupun pertanian berada dalam keadaan yang mempriha�nkan. Kanal -kanal yang dibangun membelah sampai pada kubah gambut. Keadaan ini tentu menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering �dak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau,

polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.

GHG(greenhousegas)

Mineral

Gambut

CO2

11.00

171.00(16xMineral)

N2O(Dinitrogenmonoxide)

0.03

0.92(31xMineral)

CH4(Metana/hidrokarbon)

0.04

1.80(45xMineral)

Page 132: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

117

Pengelolaan Lahan gambut idealnya melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap) dengan mengedepankan desain fungsional (zonasi konservasi, konversi). Juga hubungan serasi antara penguasaan lahan skala besar dan masyarakat dalam satuan hidrologis/landscape

yang saling terhubung (Sapariah

Saturi,

2015).

Untuk itu perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi.

Termasuk, pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal -hal yang perlu diperha�kan, antara lain,

perhitungan

neraca air/lengas tanah di zonasi peruntukan dalam satuan hidrologis, gambut �dak kering di permukaan, lembab dan mampu menyerap air, dan minimum gangguan. Kemudian, pemilihan jenis tanaman yang mampu menyesuaikan diri terhadap ekosistem gambut. Tanaman yang ditanam adalah tanaman yang dapat beradaptasi dengan gambut. Bukan sebaliknya, lahan gambut yang dikondisikan mengiku� persyaratan tumbuh tanaman. Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan air, apabila pengelolaannya �dak memperha�kan karakteris�k lahan, maka yang terjadi adalah pengeringan lahan gambut yang kemudian akan memicu kebakaran.

Menjaga

kubah gambut menjadi pen�ng agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan. Satuan hidrologis, menjadi dasar peruntukan, zona konservasi (kubah), zona penyangga, dan zona pemanfaatan, dengan densitas saluran makin sedikit ke arah kubah. Pilihan komoditas adap�f ke lingkungan alami untuk zona yang makin mendeka� kubah. Pengeringan lahan gambut demi mengakomodir tanaman lahan kering (karet, sawit, akasi, dll) sangat �dak dianjurkan. Kondisi air tanah harus tetap se gar bergerak, �dak stagnan. Secara berurut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.

Kubah Gambut dipertahankan dalam kondisi alami.

2. Zona penyangga dapat ditanami HTI dengan tanaman adap�f rawa seper� jelutung atau pulai.

3. Zona kanalisasi terbatas HTI. 4. Zona aerasi dapat ditanami perkebunan. 5.

Zona tanggul alam dan pasang surut itu tanaman pangan atau tanaman semusim.

Selain itu, gambut �dak boleh dibiarkan terbuka tanpa tumbuhan penutup. Untuk tujuan penataan air, perhitungan neraca air, perlu peta lebih ri nci, peta yang dihasilkan dengan teknologi LiDAR (Light Detec�on and Ranging) dapat sangat membantu. Peta ini, sangat berguna bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, perancangan zona adapatasi, serta dalam menilai dampak lingkungan, termasuk bahaya kebakaran lahan.

III.

PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DI LAHAN GAMBUT

Beberapa hal penyebab gambut mudah terbakar seper� terjadi selama ini. Antara lain, aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas tetapi tak me mperha�kan satuan hidrologis, hanya berdasar konsesi atau penguasaan lahan, dan tak ada sumber air di posisi lebih �nggi karena kubah rusak. Lalu, saluran dan bangunan pengontrol, drainasi berlebihan hingga menguras air ke posisi lebih rendah, kemarau, lama �dak hujan berurutan dan akumulasi penguapan. Penyebab lain, air tanah terlalu dalam hingga kemampuan aliran kapiler gambut rendah, kesadaran lingkungan rendah, dan cara termudah membuka lahan dengan membakar. Selain itu, terjadi konflik kepen�ngan, pengawasan lemah. Kondisi ini akan bertambah parah bila antar pemegang kendali kewenangan �dak bersinergi.

Page 133: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

118

Beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut:

1.

Moratorium/menghen�kan pembuatan kanal dan pembangunan di lahan gambut; Sebelum desain pengelolaan lahan gambut yang mampu melindungi lahan gambut dari bahaya kebakaran, disepaka� dan ditetapkan, �ndakan moratorium pembuatan kanal adalah �ndakan yang paling bijaksana. Hal ini pen�ng, mengingat dampak buruk yang sangat besar akibat dari kebakaran lahan gambut.

2.

Program rehabilitasi lahan gambut yang rusak;

Lahan gambut yang telah rusak pen�ng untuk kembali ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang adap�f terhadap karakteris�k lahan gambut itu sendiri. Kondisi lahan gambut yang kembali basah akan mencegah terja dinya kebakaran lahan.

3.

Pengelolaan kebakaran hutan yang lebih bertumpu pada pencegahan.

Dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:

a. Penyatuan sistem peringatan dini potensi mudah terbakar, baik aspek hidrometeorologi, posisi gambut terhadap bentang lahan. Juga kondisi fisik gambut dan tumbuhan di atasnya, muka air tanah, keterlintasan, status penguasaan, kerawanan sosial, sampai kesiapan sarana pemadaman dini. Juga pengelolaan air yang dilakukan bersama -sama, baik, Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kemendagri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bappenas), Masyarakat dan Perusahaan.

b.

Pengelolaan Lahan gambut sebagai satu kesatuan hidrologis (lansekap), bukan berdasarkan pembagian hak konsesi.

c.

Menerapkan eko-hidro

yang arif, bukan hanya menata air di saluran, tetapi lebih pen�ng menjamin ada cukup air di posisi lebih �nggi. Hingga secara gravitasi mampu membasahi gambut di bagian bawah, dan kubah terlindungi.

d. Penutupan kanal pembatas yang terlanjur dibuat di batas satuan penguasaan dalam satu kesatuan hidrologis.

e.

Kejelasan status lahan, hindari kawasan abu-abu yang �dak ada penanggungjawab. Hal ini dapat sangat membantu, agar se�ap tapak ada pengelolanya, yang kemudian bertanggungjawab, dalam mencegah terjadinya kebakaran dilahan yang dikelolanya.

III.

PENUTUP

Pengelolaan Lahan Gambut, harus sesuai karakteris�k

gambut

yang

basah. Dalam konteks lebih

besar harus mampu mengakomodir

semua kepen�ngan baik itu usaha kehutanan, pertanian, perkebunan maupun perikanan. Namun desain pengelolaannya �dak boleh merubah karakter gambut itu sendiri, karena merubah karakter gambut yang basah menjadi kering hanya akan menghasilkan kebakaran lahan gambut yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Guillermo Rein. 2008. E.

Burns: Peat

fire/kebakaran di lahan gambut.

Levine. 2004. Emisi (Mt) Kebakaran Hutan 1997 di Sumatera dan Kalimantan.

Page 134: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

119

Ritung dkk. 2011.

Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi

: Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertani an .

Mongabay. Ar�kel “ Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2”) ,

January

16,

2015

Sapariah

Saturi

(h�p://www.mongabay.co.id/2015/01/16/mau -kelola-lahan-gambut-inilah-pesan-para-pakar-bagian-2/).

The World Bank.

Ar�kel “Indonesia’s fire and haze crisis”, November 25, 2015 (h�p://www.

worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis).

Page 135: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

120

Page 136: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

121

SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU

UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Syaiful Islam

Balai Peneli�an

Kehutanan Palembang

I.

PENDAHULUAN

Tembesu (Fragraea fragrans) merupakan jenis tanaman lokal potensial di Sumatera Bagian Selatan.

Menurut Heyne (1987), Khususnya di wilayah Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat.

Menurut Martawijaya dkk. (2005), kayu tembesu memiliki

kualitas kayu yang sangat baik

dan

termasuk dalam kelompok kayu berkualitas (kelas kuat I –

II),

kelas awet I, kelas ketahanan terhadap jamur II.

Dengan kualitas dan sifat kayunya, pemanfaatan kayu tembesu bisa dikatakan sangat luas. Tembesu juga memiliki nilai jual �nggi, dimana harga jual kayu tembesu di �ngkat desa berkisar

antara 3-4 juta per m3 (Mar�n

dkk, 2014).

Selain nilai ekonomi, bagi masyarakat sumsel kayu tembesu merupakan warisan budaya lokal terutama bagi pegiat seni ukir palembang, kayu tembesu merupakan bahan utama berbagai jenis ukiran Palembang. Sedangkan potensi sumberdaya gene�c tembesu masih cukup banyak, karena potensi alaminya di beberapa daerah di Sumsel cukup baik (Sofyan,

2011). Oleh

karena itu, pemilihan tanaman tembesu untuk komodi� pembangunan hutan tanaman maupun hutan rakyat di wilayah Sumatera Selatan merupakan langkah yang logis ditambah lagi bila di�njau dari dari aspek kesesuaian lahan.

Minat masyarakat untuk mengembangkan jenis tanaman tembesu rela�f cukup baik, namun pemahaman yang masih rendah terhadap teknik budidaya tembesu menyebabkan rendahnya produk�vitas tanaman tembesu. Selain riap pertumbuhannya lambat, penampilan fisik tanaman tembesu seper� bentuk batang, percabangan serta tajuk juga �dak beraturan.

Hal ini tentu dapat menurunkan minat masyarakat, apalagi bila membandingkan dengan komoditas lain terutama tanaman perkebunan.

Budidaya jenis tembesu selama ini memang masih dilakukan secara tradisional, dimana sebagian besar petani masih memanfaatkan regenerasi yang berasal dari trubusan alami yang terdapat di areal kebun, dengan merawatnya bersama -sama dengan tanaman pokok (karet atau sawit) yang mereka kelola

(Sofyan dkk, 2010). Dari sini terlihat bahwa aspek sumber benih/bibit tanaman tembesu yang dikembangkan masyarakat belum memperha�kan aspek kualitas. Selain aspek asal bibit, hal yang �dak kalah pen�ng dalam budidaya tanaman tembesu adalah pemeliharaan tanaman sejak tahun pertama penanaman. Pengabaian ataupun teknik pemeliharaan yang �dak tepat akan mengakibatkan pertumbuhan yang �dak op� mal dan menurunnya riap.

Pertumbuhan tembesu secara alami termasuk lambat dengan daur tebang 25 tahun, sehingga untuk mempercepat daur pada hutan tanaman atau hutan rakyat tembesu diperlukan manipulasi atau teknik silvikultur yang benar dan tepat. Peneli� an tentang teknik budidaya tembesu juga telah dilakukan dalam satu dekade terakhir dengan berbagai macam percobaan dan perlakuan silvikultur. Tulisan ini akan membahas tentang silvikultur prak�s pada tanaman tembesu dari beberapa rangkaian silvikultur yang ada dengan harapan akan mudah diterapkan oleh masyarakat serta hasil peneli�an yang telah dilakukan terhadap tanaman tembesu dalam rangka meningkatkan produk�vitas tanaman.

Page 137: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

122

II.

SILVIKULTUR PRAKTIS TEMBESU

Silvikultur adalah perpaduan antara ilmu dan seni menumbuhkan hutan, dengan berdasarkan ilmu silvika. Penerapan teknik silvikultur yang lengkap dan intensif sudah pas� akan memberikan pengaruh yang besar terhadap produk�vitas tanaman termasuk pada budidaya tembesu. Rangkaian kegiatan silvikultur sudah dimulai sejak pemilihan benih, pembibitan/persemaian, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Peneli�an terhadap keseluruhan rangkaian tersebut telah dan terus

dilakukan pada tanaman tembesu dan hasil yang diperoleh telah memberikan beberapa informasi pen�ng tentang teknik budidaya tembesu yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Dari beberapa perlakuan atau penerapan silvikultur yang telah dilakukan, terdapat beberapa perlakuan yang memberikan dampak sangat signifikan pada peningkatan produk�vitas tanaman. Perlakuan silvikultur bersifat prak�s dan dapat dijadikan panduan mudah bagi masyarakat dalam membudidayakan tanaman tembesu.

A. Pemangkasan cabang (prunning)

Pemangkasan cabang merupakan salah satu aspek yang sangat pen�ng dalam rangkaian teknik silvikultur tanaman tembesu. Sebagaimana diketahui, tembesu memiliki kemampuan yang rendah untuk meluruhkan cabangnya secara alami. Pada tanaman tembesu umur 7 tah un, cabang-cabang yang tumbuh sama sekali �dak mengalami peluruhan atau rontok secara alami sama sekali (Junaidah

dkk, 2014). Karena tembesu adalah tanaman yang peruntukannya untuk

kayu pertukangan, dengan kondisi alami seper� itu maka pemangkasan cabang

harus

dilakukan (Gambar 1).

Gambar 1.

Pohon tembesu tanpa pemangkasan

Untuk mendapatkan hasil op�mal, pemangkasan cabang pada tanaman tembesu harus

dimulai sedini mungkin sejak tahun pertama (Gambar 2)

dengan memperha�kan:

1.

Waktu dan Frekuensi pemangkasan

Pemangkasan cabang harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang op�mal serta untuk menjaga kualitas batang. Pemangkasan dilakukan saat cabang masih muda akan mempercepat pemulihan luka pada mata kayu. Karena itu pada tahun pertama dan kedua frekuensi pemangkasan harus di�ngkatkan. Pada tahun pertama pemangkasan dapat dilakukan mulai umur 4 bulan setelah tanam selanjutnya dilakukan ru�n se�ap 4 bulan. Hal ini karena pemangkasan yang dilakukan sebelum tanaman berumur 2 ta hun memberikan pengaruh yang besar pada pertumbuhan diameter.

Page 138: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

123

2.

Cara dan alat pemangkasan

Pada tanaman yang masih muda, pemangkasan sebenarnya rela�f mudah dilakukan yaitu dengan memotong cabang miring 45º. Alat yang digunakan pada cabang muda cukup menggunakan gun�ng pruning, sedangkan pada cabang yang sudah besar pada tanaman umur di atas 2 tahun dapat menggunakan gergaji prunning bergagang baik manual maupun bermesin.

Gambar 2.

Kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu

3.

Intensitas pemangkasan

Intensitas pemangkasan yang op�mal bagi tanaman tembesu adalah 50% dari �nggi total. Hasil peneli�an yang dilakukan Lukman dkk

(2014) menunjukkan bahwa pemangkasan dengan intensitas 50% menghasilkan pertambahan diameter batang 23,7% lebih �nggi.

Beberapa hal di atas perlu diperha�kan dalam kegiatan pemangkasan cabang pada tanaman tembesu. Pemangkasan cabang yang tepat pada dua tahun awal sangat pen�ng dilakukan karena pengaruh yang diberikan sangat signifikan bagi pertumbuhan tanaman Khususnya diameter. Setelah umur dua tahun pemangkasan tetap harus dilakukan, walaupun pengaruhnya terhadap pertambahan diameter �dak terlalu nyata, namun memberikan dampak pada �nggi bebas cabang tanaman

(Gambar 3).

Page 139: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

124

Gambar 3.

Tegakan tembesu umur 4 tahun hasil pemangkasan

B.

Penjarangan

Salah satu �ndakan pemeliharaan yang juga harus dilakukan adalah penjarangan. Menu -rut Kosasih dkk. (2002) dalam Lukman dkk

(2014), penjarangan merupakan �ndakan pengu-rangan jumlah batang per satuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegak -an. Oleh karena itu penjarangan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produk�vitas tanaman. Pada umumnya penjarangan dapat dilakukan pada tanaman berumur 5 tahun.

Uji coba perlakuan penjarangan telah dilakukan pada tanaman tembesu di KHDTK Benakat pada umur tegakan 5 tahun dengan jarak tanam awal adalah 3x2 meter. Penjarangan dilakukan dengan dua pola penjarangan yaitu untu walang dan tebang satu baris. Kedua pola tersebut bisa dilakukan, namun dari hasil peneli�an pola untu walang memberikan pengaruh lebih �nggi pada peningkatan diameter tanaman berkisar antara 4,1-8,2% (Gambar 4).

Gambar 4. Penjarangan tegakan tembesu

C.

Asal benih

Pemilihan asal benih merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pembibitan tembesu sendiri dapat dilakukan melalui dua cara yaitu generative dan vegeta�ve. Peneli�an terhadap kedua teknik pembibitan tembesu baik perbanyakan melalui biji maupun vegeta�ve (stek) telah dilakukan dengan informasi yang sangat bermanfaat.

Permudaan alam tembesu yang banyak dijumpai jarang sekali terjadi secara

genera�ve atau dari biji, biasanya tembesu beregenerasi

dari tunas yang muncul pada akar tembesu. Padahal tembesu termasuk jenis yang memproduksi buah cukup banyak bahkan berlimpah.

Page 140: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

125

Hasil peneli�an juga menunjukkan bahwa daya kecambah benih tembesu sangat �nggi dapat mencapai 100% (Sofyan

dkk, 2014).

Untuk meningkatkan hasil pada budidaya tembesu terutama pada masyarkat yang selama ini hanya mengandalkan tunas atau trubusan yang ada, maka pemahaman tentang pembibitan tembesu dan pemilihan asal benih tembesu yang baik menjadi hal yang sangat pen�ng dilakukan.

Untuk memilih asal benih yang baik sebenarnya cukup mudah yaitu dengan mengumpulkan benih/buah dari pohon yang baik, memiliki pertumbuhan dan penampilan yang baik. Dengan pemilihan induk yang baik (pohon plus) itu diharapkan akan diperoleh keturunan yang baik pada tanaman yang dikembangkan. Benih yang diperoleh dari pohon plus tersebut kemudian dilakukan proses selanjutnya berupa pembibitan tanaman.

Pemilihan pohon plus dapat dilakukan oleh masyarakat secara mudah pada tanaman tembesu yang ada di alam asalkan telah memahami pohon plus seper� apa yang harus dipilih. Tentu lebih baik lagi bila pohon penghasil benih tersebut sudah berupa pohon yang di tanam dengan perlakuan silvikultur yang baik dan di bangun sebagai tegakan benih.

III.

PENUTUP

Penerapan teknik silvikultur

sangat pen�ng dalam pengembangan tanaman tembesu dalam upaya meningkatkan produk�vitas tanaman. Minat masyarakat dalam membudidayakan tembesu dapat di�ngkatkan dengan memberikan informasi yang bermanfaat mengenai teknik budidaya tembesu yang baik dan tepat yang dapat dengan mudah diaplikasikan di lapangan.

Seluruh rangkaian silvikultur pada tanaman tembesu sangat baik bila dapat diterapkan secara lengkap, mulai dari pemilihan asal benih, teknik penyimpanan benih, pembibitan, penyiapan lahan, penanaman hingga pemeliharaan. Namun untuk mempersingkat dan mempermudah langkah budidaya, ada beberapa aspek yang paling signifikan yang dapat dilakukan berupa silvikultur prak�s sebagaimana telah dijelaskan.

Hasil peneli�an menunjukkan, aspek pemangkasan cabang pada penanaman tembesu memberikan pengaruh yang sangat baik bagi peningkatan produk�vitas tanaman, selanjutnya aspek penjarangan. Tentu saja aspek pemilihan asal benih juga merupakan salah satu faktor pen�ng, namun setelah fase penanaman, walaupun berasal dari bibit yang baik ke�ka pemangkasan cabang �dak atau terlambat dilakukan, pertumbuhan tembesu �dak akan op�mal sehingga �dak dapat meningkatkan produk�vitas atau mempercepat daur tebangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Martawijaya, A., Kartasujana, I., Mandang, Y.I., Prawira, S.A, Kadir, K. 2005. Atlas K ayu Indonesia. Jilid II. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Junaidah, A., Sofyan, Nasrun. 2014. Mengenal Karakteris�k Tanaman Tembesu.

Mar�n, E., B.T., Premono. 2014. Upaya Komoditasi Tembesu dalam Prespek�f Sosi al Budaya Petani dan Pasar.

Page 141: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

126

Lukman,. A.H., A., Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu.

Sofyan, A., Junaidah., Lukman, A.H., Nasrun. 2010.

Teknik Budidaya Tembesu. Aspek Silvikultur. Laporan Hasil Peneli�an.Balai Peneli�an Kehutanan Palembang.

Page 142: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

127

TEKNIK PEMANTAUAN HOTSPOT

DALAM MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN

Joni Muara

Balai Peneli�an Kehutanan Palembang

I.

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang ru�n menimpa wilayah Sumatera dan Kalimantan Khususnya di daerah yang sebaran lahan gambutnya cukup luas. Salah satu diantara daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Sel atan yang luas lahan gambutnya mencapai 1,42 juta hektar (Wahyunto

dkk, 2005). Kebakaran kerapkali melanda lahan gambut tersebut menimbulkan bencana kabut asap yang sangat merugikan (Tacconi, 2003).

Penyebab kebakaran lahan gambut antara lain adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat penyiapan lahan untuk penanaman, Khusus

di daerah Ogan Komering Ilir Pembakaran dilakukan sebagai proses persiapan lahan untuk budidaya padi rawa yang dikenal dengan is�lah sonor. Ak�vitas yang sudah turun temurun itu ditengarai sebagai penyebab kebakaran lahan gambut, selain kegiatan sonor pembukaan HTI dan perkebunan serta konflik hukum adat dengan hukum negara juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran lahan gambut.Kebakaran lahan gambut dapat terpantau melalui satelit sebagai ��k panas (hotspot). Pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara paling efek�f bagi masyarakat dalam membuka lahan. Hal yang paling efek�f dalam menghambat dan menghen�kan pembukaan lahan dengan di bakar tersebut adalah peraturan daerah yang mengikat dan memberikan sangsi sosial sangat �nggi pada isu lingkungan. Peraturan pemerintah yang ada juga mendukung pencegahan pembukaan lahan dengan di bakar,terutama di daerah -daerah yang �dak memiliki peraturan adat yang terfokus pada pelestarian lingkungan hidup.

BPK Palembang sebagai salah satu Balai di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang berada di Sumatera selatan ikut berperan serta melaksanakan kegiatan kajian pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan pada tahun 2015 hingga 2019. Kegiatan peneli�an tersebut dilaksanakan sebagai salah satu bentuk peran ak�f BPK Palembang dalam mencari solusi permasalahan di daerah.

II.

BAHAN DAN METODE

Alat dan bahan survei yang digunakan dalam mendukung pengolahan data antara lain:

1.

Perangkat Keras (Hardware)

a.

Laptop Pen�um Core 2 Duo 1.86 GHz, Memori DDR 1500 MB

b.

Sistem Operasi: Microso� Windows XP SP2

c.

GPS sebagai alat ground cek lapangan

2. Perangkat Lunak (So�ware)

a.

So�ware FTP filezilla (open source)

b.

Arc Gis 10 untuk pengolahan data sebaran hotspot dan pembuatan layout peta

Page 143: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

128

Pengumpulan Data Ti�k Panas

Pada kegiatan pemantauan hotspot terdapat beberapa tahapan sebagai berikut:

1.

Menda�ar pada website penyedia untuk mendapatkan akses masuk guna

mendownload data hotspot dari website penyedia.(lakukan penda�aran untuk 1 akun)

2.

Download data hotspot

dari penyedia dengan menggunakan akun yang sudah di dapat sewaktu menda�ar sebelumnya. Gunakan aplikasi FileZilla untuk mempermudah proses download dan penyimpanann data yang di download.

3.

Lakukan pengolahan menggunakan Toolbox

Proses dan Tahapan Pengelolaan Data Ti�k Panas (hotspot)

Menda�arkan user baru pada website penyedia

1.

Buka link: h�ps://urs.earthdata.nasa.gov

2. Klik tombol REGISTER dan iku� petunjuk pada lembar isian yang disediakan oleh website penyedia Buat usernama dan password

Contoh: Username (Jhonmamora_BTR)

Password (Jhonmamora_234) Note: untuk password harus di buat dengan kombinasi angka-huruf-karakter

Apabila proses penda�aran telah selesai maka pihak penyedia akan mengirimkan email konfirmasi ke alamat email yang digunakan untuk menda�ar pada web penyedian data tersebut.

Langkah selanjutnya adalah melakukan konfirmasi dengan mengklik alamat site melalui

email yang dikirim dan secara otoma�s akan diarahkan langsung pada website sebagai buk� bahwa akun tersebut telah berhasil di buat dan dikonfirmasi.

Sampai dengan tahapan ini ar�nya:

Operator telah mempunyai akun yang dapat digunakan se�ap melakukan pengambilan data pada website tersebut .

Langkah selanjutnya mulai mendownload Data Harian dengan tahapan

Lakukan instalasi aplikasi Filezilla dan buat folder lokal sesuai dengan struktur yang sudah ditetapkan

3. Jalankan aplikasi Filezilla

4. Masukkan alamat host di: �p://nrt1.modaps.eosdis.nasa.gov

Masukkan username: (Jhonmamora_BTR)

Masukkan password dari username: (Jhonmamora_234)

atau gunakan

username dan password masing-masing yang sudah dibuat.

5.

Masuk ke folder FIRMS kemudian masuk ke Folder South East Asia

Page 144: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

129

6.

Contoh data ��k panas yang telah di dowload dan di buka dengan aplikasi Excel untuk

melihat informasi atribut data

Catatan 2. Perhitungan hari di Ti�k Panas Data yang diambil dari satelit Terra dan Aqua MODIS. Pemberian nama pada file mengiku� perhitungan jumlah hari dalam satu tahun. Misalnya: SouthEast_Asia_MCD14DL_2015200

Nomor

Bulan

Tahun Biasa

Tahun Kabisat Musim

Jumlah Hari

Nomor Hari

Jumlah Hari

Nomor Hari

1

Januari

31

1 –

31

31

1 -

31

Hujan

2

Februari

28

32 –

59

29

32 -

60

Hujan

3

Maret

31

60 –

90

31

61 -

91

Hujan

4

April

30

91 –

120

30

92 -

121

Hujan

5

Mei

31

121 –

151

31

122 -

152

Hujan

6

Juni

30

152 –

181

30

153 -

182

Kemarau

7

Juli

31

182 –

212

31

183 -

213

Kemarau

8

Agustus

31

213 –

243

31

214 -

244

Kemarau

9

September

30

244 –

273

30

245 -

274

Kemarau

10

Oktober

31

274 –

304

31

275 -

305

Kemarau

11

November

30

305 –

334

30

306 -

335

Kemarau

12

Desember

31

335 –

365

31

336 -

366

Hujan

Ar�nya:

SouthEast_Asia: data dikumpulkan di seluruh Asia Tenggara

MCD14DL: kodifikasi dari penyedia data

2015200: Tahun pengambilan 2015 dan hari ke 120

200: Kalkulasi dari bulan januari sampai april (31+28+31+30 +31+30+31= 200)

Sehingga data ini diambil pada tanggal 19 Juli 2015.

Page 145: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

130

III.

PROSES PENGOLAHAN AWAL TITIK PANAS HARIAN

Penyiapan data spasial (Langkah 1)

Data spasial ini akan digunakan sebagai informasi tambahan yang berupa layer-layer pen�ng untuk memberikan gambaran pada para pihak tentang sebaran lokasi Ti�k Panas tersebut. Beberapa layer pen�ng yang perlu dimasukkan antara lain:

n

istrasi Provinsi Sumatera

Konversi data Ti�k Panas TXT hasil download ke data spasial (Langkah 2)

Setelah di download se�ap hari, data hasil download di ubah menjadi Shp agar dapat diolah di Argis.

C.

Konversi data ke shapefile (Langkah 3)

Data hasil proses langkah kedua untuk konversi data spasial belum menjadi database spasial yang tersimpan di dalam struktur folder database kerja kita. Sehingga

kita perlu

melakukan tahap konversi data tersebut menjadi shapefile. Perlu kita ingat bahwa di data spasial kita mengenal 3 bentuk data yaitu: polygon (area), poliline (garis) dan dot (point) . Karena data Ti�k Panas ini memiliki koordinat XY (longitude -la�tute) dan bersifat �dak terhubung satu dengan yang lain maka akan kita simpan dalam bentuk dot atau point data spasial.

IV.

HASIL PEMETAAN

Membuat tampilan peta

Pembuatan peta hasil di ArcGIS akan dilakukan secara manual dan �dak menggunakan

toolbox. Tetapi pada pela�han ini sudah disiapkan template-nya supaya peserta pela�han Khususnya operator bisa lebih fokus pada proses pengolahan data. Namun untuk memberikan pemahaman tentang pembuatan peta atau kartografis akan diingatkan lagi komponen peta. Antara lain:

1. Memiliki judul peta

2. Tahun Pembuatan Peta

3. Tahun dari sumber data

4. Petunjuk arah atau kompas

5. Legenda

6. Skala

7. Garis Astronomi

8. Garis Tepi

9. Insert

Peta

Page 146: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

131

Di

bawah adalah contoh peta hasil pengolahan untuk pemantauan

Ti�k Panas di Provinsi Sumatera Selatan. Khusus

untuk tabel pemantauan Ti�k Panas ini dihubungkan dengan data perhitungan di excel

file sehingga bisa dilakukan secara otoma�s.

Page 147: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

132

IV.

PENUTUP

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan akibat kebakaran,

diperlukan pemetaan tentang sebaran ��k api (Hot Spot). Pemetaan ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem hutan.

Kesulitan pemetaan di lapangan merupakan kendala kelangkaan data kebakaran lahan. Sebagai alterna�f dikembangkan teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki jangkauan yang luas dan dapat memetakan daerah -daerah yang sulit dijangkau dengan perjalanan darat.

Pemantauan ��k api (Hot Spot) dengan metoda penginderaan jauh dapat menyingkat waktu pelaksanaan dan mencakup wilayah yang lebih luas dengan biaya lebih murah bila dibandingkan dengan cara konvensional.

DAFTAR PUSTAKA

Wahyunto,

S.

Ritung,

Suparno, and H. Subagjo.

2005.

Peatland Distribu�on and its C content in Sumatera and Kalimantan. Wetland Int,

Indonesia Programme and wildlife Habitat Canada.

Bogor,

Indonesia.

Tacconi L,

2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab,

biaya dan implikasi kebijakan

Bogor CIFOR.

Page 148: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

133

MAKALAHPENUNJANG

Page 149: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

134

Page 150: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

135

HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG TANAMAN Acacia sp. DI ARBORETUM

BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN (BPTSTH) KUOK

Agus Winarsih

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dibangun umumnya digunakan untuk pemasok kebutuhan industri perkayuan, seper� ply wood, kayu gergajian, dan pulp. Produk�vitas hutan tanaman dipengaruhi oleh iklim, tanah, fisiografi dan faktor pengelolaan. Kondisi tanah yang berpengaruh langsung terhadap vegetasi adalah komposisi fisik dan kimia tanah, kandungan air, suhu dan aerasi tanah.

Tanaman yang diusahakan pada lahan HTI masih terbatas pada tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing). Sedikitnya ada 18 jenis tanaman HTI yang dianjurkan oleh Departemen Kehutanan, yaitu Acacia sp., Eucalyptus sp., Paraserienthes falcataria, Ceiba petandra, Cassia siamea, Pinus sp., Peronema canescens, Pterocarpus indicus, Hevea

sp., Aleurites molucana, Anthocephalus cadamba, Shorea sp., Dyera costulata, dan kayu energi (Kherudin, 1994).

Diantara 18 jenis tanaman HTI tersebut, Acacia sp.termasuk jenis tanaman HTI yang pertumbuhannya cepat, �dak memerlukan persyaratan tumbu h yang �nggi dan �dak begitu terpengaruh oleh jenis tanahnya (Litbanghut, 2004). Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk industri pulp. Berdasarkan data dari Insect and Pest in Indonesian Forest, luas Hutan Tanaman Industri yang ditanami oleh Acacia sp. mencapai hampir 80% atau hampir 470 ribu hektar (Nair, 2000). Pada umumnya Acacia sp. mencapai �nggi lebih dari 15 meter, kecuali pada tempat yang kurang menguntungkan akan tumbuh lebih kecil antara 7-10 meter. Pohon Acacia sp.

yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur

longitudinal dan warnanya bervariasi mulai dari coklat gelap sampai terang (Litbanghut, 2004).

Seper� jenis pionir yang cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Acacia sp.

sangat membutuhkan sinar matahari, apabila mendapatkan naungan akan tumbuh kurang sempurna dengan bentuk �nggi dan kurus (Litbanghut, 2004).

Arboretum BPTSTH Kuok memiliki luas 7,6 Ha dengan jenis yang paling banyak yaitu

akasia. Keanekaragaman yang rendah ini tentu saja akan mengganggu keseimb angan

ekosistem yang pada akhirnya dapat terjadi booming

hama dan penyakit pada tanaman. Selain tersusun atas tegakan yang bersifat monokultur, tanaman HTI juga kebanyakan berusia sama. Hal Ini dapat berdampak pada bermunculannya hama dan penyakit. Hal ini

disebabkan oleh ketersediaan makanan maupun inang yang sesuai cukup banyak sehingga hama dan penyakit pada tanaman akan dapat berkembang dengan cepat.

Hama adalah semua jenis organisme mul�sel (biasanya berasal dari golongan arthopoda, nematoda, dan bahkan mammalia) yang bersifat merugikan bagi tanaman inang, misalnya adalah Pteroma plagiophelps

yang menyerang Acacia sp. Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit adalah semua jenis mikroorganisme (umumnya dari golongan bakteri dan jamur) yang bersifat merugikan tanaman inang. Misalnya adalah Fusarium oxysporum

yang dapat menyebabkan penyakit damping off pada tanaman Benuang Laki (Duabanga moluccana).

Timbulnya hama pada tanaman hutan dapat menyebabkan kerugian yang diperkirakan dalam bentuk uang dan dalam bentuk yang sukar diukur seper� progam penanaman,

Page 151: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

136

penyediaan bahan baku industri kayu dan pemandangan yang �dak menarik. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat gangguan hama dan penyakit perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian sesegera mungkin. Untuk mendapatkan cara pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit yang aman, efek�f, dan efisien perlu diketahui terlebih dahulu mengenai jenis-jenis hama pada hutan tanaman.

II.

HAMA YANG BERPOTENSI MENYERANG

Hama yang banyak menyerang tanaman hutan diantaranya berasal dari golongan arthopoda dan nematode. Sebenarnya mereka memiliki peranan yang besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Peranannya dalam siklus energi di hutan hujan tropis adalah 4 kali peranan vertebrata. Tetapi sehari -hari kita mengenal kelompok ini hanya dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak diantaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman hutan dan menjadi pembawa (vektor) bagi berbagai penyakit tanaman.

A.

Insecta (serangga)

Tabel 2.1. Tabel da�ar hama yang menyerang tanaman Acacia sp.

No

Jenis Hama

Nama umum

Bagian tanaman yang diserang

1.

Xystrocera fes�va

Penggerek batang

Batang

2. Eurema sp. Kupu-kupu kuning Daun

3. Aegus acuminatus Penggerek batang Batang 4. Rhopalosiphum maidis Kutu Daun 5. Valanga nigricornis Belalang Daun dan batang (bibit) 6.

Coptotermes curvignathus

Rayap

Akar

7.

·

Pteroma plagiophelps ·

Ama�ssa sp.

·

Cryptothelea sp.

Ulat kantong

Daun

8.

Heliopel�s sp.

Kutu

Pucuk dan daun

9.

Xylosandrus compactus

Pengebor batang

Batang

1.

Xystrocera fes�va

Hama ini merupakan jenis hama yang termasuk pengebor batang, Khususnya pada batang dari jenis leguminosae. Kerusakan pertama akan muncul ke�ka

bagian dari kulit pohon mengalami nekrosis dan menunjukkan adanya lubang yang berbentuk oval sebagai ak�vitas pengeboran dari larva hama ini. Gejala selanjutnya adalah cabang dan batang akan menjadi ma�. Jalan masuk hama pada batang akan tampak berwarna

hitam dan kering. Daerah penyebaran hama ini adalah India (Assam), Myanmar, Vietnam utara, Laos, Indonesia (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) ((Kalshoven, 1981).

Larva hama ini berwarna kuning kecoklatan dan berukuran 5 cm. Larva ini biasanya hidup secara berkelompok dan memakan kulit kayu, lapisan cambium, xylem, dan berdiam di bawah kulit kayu. Mendeka� fase pupa, larva akan melubangi sebuah saluran sekitar 20 cm. Bahkan saluran yang di buat dapat sampai ke pembuluh xylem. Hama ini mulai menyerang tanaman Acacia sp. yang berymur 2 atau 3 tahun (Matsumoto and Irianto, 1994).

Page 152: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

137

Gambar 2.1.

Xystrocera fes�va

(Sumber: www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15)

X. fes�va be�na hanya dapat hidup selama 4 hari. Selama masa hidupnya yang singkat itu, hama ini mampu mendepositkan sekitar 200 telur. Telur yang dihasilkan hama ini berwarna hijau terang dan berbentuk oval (2x1 mm).

Ukuran

tubuh jantan dewasa 40,2 x 15 mm dan yang be�na 29,71 x 7,3 mm (Kalshoven, 1981).

Untuk mengendalikan hama boktor, sesuai dengan tuntutan akan kelestarian lingkungan, diperlukan cara pengendalian yang selain efek�f juga ramah lingkungan. Salah satunya adalah dengan menggunakan pes�sida alami. Surian (Toona sisnensis

Roem)

merupakan jenis pohon yang memiliki banyak kegunaan, selain kayunya dipergunakan untuk bahan kontruksi, pertukangan, mebelair dan bahan perkapalan, pohon ini juga memiliki potensi lain karena mengandung senyawa yang dapat digunakan sebagai biopes�sida (Hidayat dan Kuvaini, 2005).

2. Eurema sp. Kupu-kupu ini ditemukan di India, Birma, dan Sri Langka. Sebenarnya hama ini

merupakan hama pen�ng yang terdapat pada pohon pelindung (shade tree) area perkebunan teh. Pada tahap instar awal, larva akan berada di bagian terluar epidermis daun dan akan memakan daun-daun tersebut ke�ka tumbuh besar. Hal inilah yang sering terjadi pada tanaman muda sehingga sering kali tanaman tampak gundul karena �dak memiliki daun (Kalshoven,1981).

Gambar 2.2.

Euremma

sp. (fase dewasa)

(Sumber: www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae )

Kupu-kupu ini ak�f selama musim dingin dan awal musim semi. Telurnya sering diletakkan pada posisi terbawah dari daun (lateral daun) dan sering kali diletakkan pada ujung

Page 153: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

138

tunas yang masih inak�f secara berkelompok. Telurnya berwarna pu�h dan diselimu� oleh benang-benang seper� jala. Tiap kelompok telur terdiri dari 28 sampai 137 bu�r. Masa inkubasi telur adalah 12-14 hari. Setelah menetas, fase berikutnya adalah larva yang akan tumbuh sempurna selama 22-26 hari pada bulan Desember dan 11-14 hari pada bulan Maret. Larva ini memiliki panjang 26-30 mm. Pada fase larva inilah terjadi proses perusakan yang �nggi. Hal ini disebabkan karena ak�vitas makan yang �nggi untuk persiapan pada fase pupa. Larva kemudian akan berubah menjadi pupa. Pupa ini memiliki warna hijau olive sampai dengan coklat kehitaman. Setelah fase pupa berlalu maka akan muncul kupu-kupu dewasa (Nayar dkk., 1976).

Beberapa organisme yang potensial dijadikan biokontrol untuk mengendalikan populasi Euremma

sp. Adalah:

1.

Euplectrus sp. dan Charops obtusus

yang menyerang pada fase larva.

2.

Brachymeria megaspila

yang menyerang pada fase pupa (Nayar, Ananthakrishnan, and David, 1976).

3.

Aegus acuminatus

Organisme ini bersifat destruk�f. Hal ini telah dapat dilihat pada fase larva yang telah memiliki kepala dan rahang yang

keras. Larva ini sering kali tampak menggulung. Larva ini memiliki habitat di dalam tanah, kayu ma�, dan sisa tanaman. Kumbang ini dinamakan stag beetles

karena kumbang jantan memiliki capit yang kuat dan keras (Kalshoven, 1981).

Gambar 2.3.

Aegus acuminatus

(sumber: www.flickr.com/photos/�magpie/1721946568 )

4.

Rhopalosiphum maidis

Tanaman yang menjadi inang utama bagi kutu daun ini sebenarnya adalah jagung. Akan

tetapi kutu ini memiliki inang alterna�ve mulai dari tanaman padi sampai pada tanaman hutan seper� Acacia

sp. Kutu ini menginfeksi semua bagian tanaman, akan tetapi infeksi terbanyak terjadi pada daun. Kutu ini selain merusak daun tanaman inangnya juga membawa sebaga i vector dari berbagai macam virus penyakit (Mau and Kessing, 1992).

Populasi kutu ini dapat mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh sifat perkembangbiakkannya yang parthenogenesis. Perkembangbiakan secara parthenogenesis memungkinkan suatu spesies untuk melestarikan jenisnya tanpa harus melakukan perkawinan (Kalshoven, 1981).

Daur hidup kutu ini dimulai dari telur, kemudian nympha, dan kutu dewasa. Pada fase nympha, kutu ini mengalami 4 tahapan. Tahapan pertama nympha akan tampak berwarn a hijau cerah dan sudah terdapat antena. Tahap nympha kedua tampak berwarna hijau pale dan sudah tampak kepala, abdomen, mata berwarna merah, dan antena yang terlihat lebih gelap dari pada warna tubuh. Pada tahap ke�ga, antena akan terbagi menjadi 2 segm en, warna tubuh

Page 154: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

139

masih hijau pale dengan sedikit lebih gelap pada sisi lateral tubuhnya, kaki tampak lebih gelap dari pada warna tubuh (Kalshoven, 1981).

Gambar 2.4.

Rhopalosiphum maidis

(�dak bersayap)

(sumber: www.aphidweb.com/)

Kutu dewasa ada beberapa yang memiliki sayap (alate) dan yang �dak memiliki sayap (apterous). Sayap pada kutu ini memiliki panjang antara 0,04 to 0,088 inchi. Tubuh kutu dewasa berwarna kuning kehijauan sampai berwarna hijau gelap (Kalshoven, 1981).

Populasi kutu ini dapat dikontrol dengan kehadiran Aphelinus maidis. A. maidis

akan memparasit kutu ini pada fase nympha. Selain itu, terdapat juga organisme predator seper� Allograpta

sp. dan beberapa jenis kumbang (Kalshoven, 1981).

5.

Valanga nigricornis

Daur hidup Valanga nigricornis termasuk pada kelompok metamorfosis �dak sempurna. Pada kondisi laboratorium (temperatur 28°C dan kelembapan 80% RH) daur hidup dapat mencapai 6,5 bulan sampai 8,5 bulan. Fekunditas rata-ratanya mencapai 158 bu�r. Keadaan yang ramai dan padat akan memperlambat proses kematangan gonad dan akan mengurangi fekunditas (Kok, 1971).

Metamorfosa sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui �ga stadia

yaitu telur, nimfa, dan dewasa ( imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya.

Gambar 2.5.

Valanga nigricornis

(Sumber: www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 )

Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain: dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta �ga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta �ga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran a lat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat

Page 155: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

140

pada �ap-�ap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen) (Kalshoven, 1981).

Pengendalian populasi hama ini dapat dengan menggunakan ekstrak daun dan biji nimba (Azadirachta indica). Pengujian ekstrak ini terhadap hambatan makan belalang,

menunjukkan adanya kenaikan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak nimba (Dahelmi, 2012).

6.

Coptotermes curvignathus

Banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika dengan 45% spesiesnya terdapat di daerah tropis. Bersarang di atas ataupun di bawah tanah pada batang pohon yang ma� dan banyak menyerang kayu-kayu konstruksi pada bangunan dengan sifat

serangannya yang meluas. Hal ini menjadikan rayap C. curvignathus

sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar.

Gambar 2.6 Coptotermes curvignathus

(sumber: www.termitesurvey.com/distribu�on/images)

C. curvignathus memiliki kandungan populasi flagelata yang �nggi dalam saluran pencernaannya. Hal tersebut jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap C. curvignathus merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang �nggi sehubungan dengan �ngginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4682 ekor flagelata/rayap. Di Sumatera bagian tengah, dilaporkan bahwa hama ini dapat merusak tanaman Acacia

sp. usia 1 tahun sebanyak 10-50% (Nair, 2000).

Pengendalian populasi rayap ini dapat menggunakan kitosan. Kitosan mampu

meningkatkan derajat ketahanan kayu seiring dengan semakin �ngginya konsentrasi kitosan. Sifat trofalaksis rayap dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap menggunakan kitosan. Kitosan bekerja sebagai racun perut, sehingga dapat mengganggu kinerja protozoa dalam sistem pencernaan rayap dan secara perlahan akan mema�kan rayap (Zakiah dkk., 2007).

Senyawa kitosan yang berasal dari limbah kulit rajungan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan pengawet kayu untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus. Limbah kulit rajungan sebagai salah satu sumber daya lokal dapat dimanfaatkan untuk bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia (Zakiah dkk., 2007).

7.

Bag worms

Hama ini dinamakan ulat kantong dikarenakan pada fase larva, hama ini akan membentuk struktur seper� kantong dan larva

akan �nggal di dalam kantong tersebut sampai dewasa. Pada fase larva kelompok hama ini hanya akan menggerakkan kepala dan thoraknya saja yang terbuat dari ki�n ke�ka sedang makan (Kalshoven , 1981).

Page 156: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

141

Hama be�na �dak dapat melakukan metamorfosis secara

sempurna sehingga tampak seper� “pupa” biasa. Be�na ini �dak mempunyai sayap berbeda dengan jantan yang memiliki sayap karena mengalami metamorfosis yang sempurna.

1.

Cryptothelea sp.

Hama jenis ini secara umum menyerang tanaman secara umum ( polyphagus). Larva hama ini berukuran 4-7 cm dan diselimu� oleh material

kering yang berasal dari bagian tanaman di sekitarnya. Be�na mampu memproduksi sampai 450 bu�r telur untuk satu kali bertelur.

Gambar 2.7 Gambar Cryptothelea sp. (fase dewasa)

(sumber: www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J... )

2.

Amma�sa

sp.

Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang menyerupai ujung panah atau piramida dengan ukuran (6x36 mm). Hama ini juga bersifat polyphagus.

3. Pteroma plagiohelps Hama ini pada fase larva akan membentuk kantong yang kecil �dak lebih dari 16 mm dan diselimu� oleh material-material daun yang telah kering. Ke�ka memasuki fase pupa, kantong akan berubah menjadi bentuk elips dan akan menggantung pada bagian bawah cabang (Kalshoven, 1981).

Hama ulat kantung ini memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk usaha pengendalian populasinya, yaitu Nealsomyia rufella, Exorista psychidarum, Thyrsocnema caudagalli, dan beberapa nematoda entomophagus (Kalshoven, 1981).

8.

Heliopel�s sp.

Kutu penghisap (Heliopel�s sp.) merupakan hama yang pen�ng di hutan tanaman

industri di Sumatera. Kutu ini juga dikenal sebagai hama yang menyerang beberapa tanaman hor�kultura

dan perkebunan di daerah tropis, misalnya teh dan coklat. Kerusakan yang disebabkan oleh kutu ini terhadap Acacia sp

telah dilaporkan terjadi di Malaysia dan Filipina yang merusak tanaman ini pada umur 6 sampai 18 bulan. Bagian tanaman yang diserang hama ini akan tampak menjadi nekrosis dan bahkan dapat menimbulkan kema�an pada pucuk tanaman (Kalshoven, 1981).

Page 157: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

142

Gambar 2.8 Heliopel�s sp.

(sumber: ditjenbun.deptan.go.id/perlinbun/linbun/index)

Kema�an pucuk tanaman kemungkinan disebabkan oleh racun yang diinjeksikan oleh kutu ini. Beberapa perusahaan menggunakan urea untuk meningkatkan kekebalan tanaman ini terhadap serangan kutu dan juga mengaplikasikan insek�sida. Serangan hama ini dapat menye-babkan kema�an pada pucuk tanaman sehingga pucuk tanaman menjadi kering (Nair, 2000).

9.

Xylosandrus compactus

Hama ini berukuran kecil (1/16 inchi), berwarna hitam cerah, dan berbentuk silinder. Lubang yang dibuat hama ini memiliki lebar sebesar 1/32 inchi yang terletak di bawah cabang. Hama ini terdapat di Sumatra, Vietnam, dan Afrika (Kalshoven, 1981).

Kumbang be�na merupakan penyebab kerusakan yang paling serius karena kumbang be�nalah yang melubangi batang untuk membuat jalan masuk. Saluran yang terbentuk oleh kumbang be�na ini akan menjadi “ladang jamur”. Jamur-jamur yang tumbuh ini akan menjadi makanan bagi larva-larva jika sudah menetas. Pada fase larva, hama ini �dak memi liki kaki. Pada fase pupa, hama ini sudah tampak seper� induk dewasanya dan telah memiliki kepala, sayap, dan anggota tubuh (Anonim, 2005).

Gambar 2.9. Xylosandrus compactus

(sumber: www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm )

Be�na dapat bertelur sebanyak 30-50 bu�r. Telur menetas setelah 5 hari. Setelah melengkapi pertumbuhannya selama 10 hari, larva akan berubah menjadi pupa. Fase dewasa terjadi setelah fase pupa berlangsung selama 1 minggu. Populasi kumbang ini dapat dikontrol dengan kehadiran

Tetras�chus xylebororum yang merupakan parasit dari kumbang ini (Kalshoven, 1981).

B.

Mite (tungau)

Tungau merupakan salah satu anggota dari kelompok arthopoda selain insecta, crustacean, dan mryapoda. Tungau termasuk dalam kelompok arachnida yang anggotanya

Page 158: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

143

terdiri atas laba-laba dan tungau itu sendiri. Ciri khas yang membedakan kelompok ini dengan insecta adalah jumlah kakinya yang mencapai 4 pasang, berbeda dengan insecta y ang hanya memiliki 3 pasang kaki (Denmark, 2006).

Tungau yang menyerang tanaman Acacia sp. adalah Brevipalpus californicus.

Brevipalpus californicus

sering kali disebut juga sebagai tungau omnivora. Hal ini disebabkan karena di Amerika Serikat hama ini menyerang banyak tanaman (polyphagus) dan dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Brevipalpus californicus telah banyak dilaporkan menyerang tanaman Acacia

sp. di banyak Negara, diantaranya Algeria, Angola, Australia, Brazil, Kongo, Papua New Guinea, South Africa, Thailand, dan Amerika Serikat (Denmark, 2006).

Tungau be�na memiliki panjang 228 mikrometer. Tungau ini berwarna kemerahan pada saat dewasa. Morfologi tubuhnya pipih dan berbentuk seper� segi�ga dengan lebar kira -kira 2/3 panjang tubuhnya.

Tungau ini pernah dilaporkan menyerang tanaman Acacia sp. Mekanisme Brevipalpus californicus dalam menyerang tanaman inang adalah dengan menginjeksikan cairan toxic

ke bagian tanaman inangnya. Gejala yang tampak adalah klorosis, bronzing, atau membentuk area nekrosis pada daun (Childers et al., 2005). Selain dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yang diserang, tungau ini juga dapat berlaku sebagai vector pembawa penyakit.

Gambar 2.10.

Brevipalpus californicus

(www.forestryimages.org)

Pengendalian populasi tungau ini dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, misalnya adalah dengan menggunakan tungau predator (dari famili Phytoseiidae).

C.

Nematoda (cacing)

Nematoda yang biasa menyerang tanaman Acacia

sp. adalah Meloidogyne incognita. Nematoda ini merupakan hama yang dapat menyebabkan “kanker” pada akar. Sel -sel pada akar yang terinfeksi oleh cacing ini pertumbuhannya akan jauh dari

normal dan akan tampak membesar seper� kanker (Kalshoven, 1981).

Meloidogyne

pada stadium larva juvenil II akan menyerang bagian ujung akar yang bersifat meristema�k. Sel-sel ini akan selalu mengadakan pembelahan dan pembelahannya dikendalikan oleh senyawa IAA. Pada saat nematoda menyerang tanaman, dari kelenjar subdorsal dikeluarkan enzim protease. Enzim ini akan memecah protein menjadi asam amino. Salah satu jenis asam amino hasil pemecahan adalah triptofan. Triptofan diketahui sebagai precursor terbentuknya IAA. Dengan semakin banyak IAA yang terbentuk mengakibatkan peningkatan pembelahan sel. Oleh karena itu tanaman akan membentuk sel yang berukuran lebih besar (giant sel). Sebenarnya tujuan pembentukan puru ini bagi tanaman adalah untuk menghambat gerakan nematoda dalam jaringan (Anonim, 2012)

Page 159: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

144

Cacing be�na dewasa

meletakan telurnya pada sebuah kantung pada bagian posterior tubuhnya. Sel telur yang diprediksi dapat mencapai 3000 bu�r. Pada waktu tertentu, telur tersebut akan menetas dan berubah menjadi larva juvenil I akan tetapi masih berada di dalam kantung induknya. Setelah larva ini lepas dari kantung induknya, larva ini berubah menjadi larva juvenil II yang berukuran (0,4-0,5 mm). Larva juvenil II ini sudah memiliki bentuk seper� cacing. Mereka dapat bergerak bebas di dalam tanah dan akan segera tertarik dengan eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman. Mereka mulai mempenetrasi jaringan akar dan mencari tempat dekat dengan jaringan pembuluh. Setelah cacing tersebut menginvestasikan dirinya pa da jaringan di akar maka cacing tersebut akan memulai simbiosis parasi�smenya dengan tanaman inang (Kalshoven, 1981).

Gambar 2.11. Meloidogyne incognita

(sumber: www.nature.com/.../v96/n4/fig_tab/6800794f1.html )

Keterangan gambar: a. Larva juvenil II yang bersifat infek�f b.

Cacing be�na dewasa dengan kantung telur pada bagian posterior (h= bagian anterior)

c.

Gejala yang tampak pada akar akibat serangan Meloidogyne incognita

Kerusakan yang di�mbulkan oleh cacing ini �dak terlalu nyata. Gejala yang tampak adalah menurunnya jumlah suplai makanan dan pertumbuhan yang stagnant.

Tanaman muda yang terserang hama ini akan lebih menderita lebih parah jika dibandingkan dengan t anaman yang dewasa. Kerusakan lebih serius terjadi pada tanaman muda yang ditanam pada periode yang bersamaan (Kalshoven, 1981).

Pengendalian populasi hama ini dapat dilakukan dengan pemberian pengaruh fisik.

Misalnya dengan pengeringan dan pemanasan tanah. Pemberian pengaruh seper� ini dapat memaksa cacing ini untuk keluar dari jaringan akar. Perendaman dengan air dapat mencegah perkembangan larva juvenil dan cacing dewasa akan tetapi �dak dapat menghambat perkembangan telur (Anonim, 2012). Selain itu pengendalian Meloidogyne

spp. dapat dilakukan secara biologi dengan menggunakan Pasteuria penetrans

(Panggeso dan Mulyadi, 1999).

III.

PENUTUP

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai macam jenis hama yang menyerang Acacia sp.,

di Arboretum BPTSTH Kuok

yaitu: Pteroma plagiophelps,

Ama�ssa sp.,

Cryptothelea sp. (Ulat kantong),

Xystrocera fes�va

(Penggerek batang),

Coptotermes curvignathus (Rayap),

Valanga nigricornis (Belalang),

Aegus acuminatus

Page 160: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

145

(Penggerek batang),

Eurema sp.

(Kupu-kupu kuning),

Rhopalosiphum maidis (Kutu),

Heliopel�s sp.

(kutu),

Xylosandrus compactus (Pengebor batang),

Brevipalpus californicus (tungau), Meloidogyne incognita

(nematoda).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005.

Xylosandrus compactus

(insect,).

h�p://www.issg.org. Diakses tanggal 13 Juni 2014.

Anonim. 2012. Gejala Serangan Nemotoda. h�p://mail.uns.ac.id/~subagiya. diakses

tanggal 13 Juni 2014.

Anonim. 2012. Trees In Agricultural Systems. h�p://www.echotech.org/ . Diakses tanggal 10 Juni 2014.

Badan Litbanghut. 1999. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersial. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Childers C.C., Mc Coy C.W., Nigg H.N., Stansly P.A., Rogers M.E. 2005. Florida citruss pest management guide: rust mites, spider mites, and other phytophagous mites. h�p://edis.ifas.ufl.edu/CG002

diakses tanggal 1 Juni 2014.

Dahelmi. 2012. Pengaruh Ekstrak Nimba (Azadirachta Indica

A. Juss) terhadap Ak�vitas Makan Belalang Valanga Nigricornis Burm. h�p://anekaplanta.wordpress.com/ . Diakses 12 Juni 2014.

H.A. Denmark. 2006. Brevipalpus californicus (Banks) (Arachnida: Acari: Tenuipalpidae). DPI Entomology Circulars, Florida.

Hidayat, Y and A Kuvaini. 2005. The Keefek�fan Ekstrak Daun Surian ( Toona sinensis Roem) Dalam Pengendalian Larva Boktor (Xystrocera fes�va Pascoe). Agrikultura 16: 133-136.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT Ich�ar Baru, Jakarta.

Kazuma Matsumoto and Ragil S. B. Irianto. 1994. Ecology and Control of the Albizzia Borer, Xystrocera fes�va. www.jircas.affrc.go.

diakses tanggal 12 Juni 2012.

Kherudin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya, Jakarta .

Kok M.L. 1971. Laboratory studies on the life-history of Valanga nigricornis. Bulle�n of

Entomological Research 60, 439-446.

Mau, R.F.L. and J.L.M., Kessing. 1992. Rhopalosiphum maidis

(Fitch). h�p://www.extento.hawaii.edu/Kbase/Crop/Type/rhopalos.htm . diakses tanggal 12 Juni 2012.

Nair, K.S.S. 2000. Insect Pests and Diseases in Indonesian Forests: of the major threats, research efforts and literature. CIFOR, Bogor.

Nayar, K.K., T.N. Ananthakrishnan, and B.V David. 1976. General and Applied Entomology . Mc Graw-Hill Publishing co. ltd., New Delhi.

Panggeso, J. dan Mulyadi. 1999. Perkembangan bakteri Pasteuria penetrans

pada nematoda puru akar (Meloidogyne spp.). Jurnal Agroland. v. 6(1-2) p. 82-87.

Page 161: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

146

Zakiah, S., Purnomo, D., Nugraheni, E., dan Adi Se�adi . 2007. Pemanfaatan Limbah Kulit Rajungan untuk Pengendalian Rayap Tanah. H�p://Adioke.Mul�ply.Com/

Journal/

Item/9. Diakses Tanggal 12 Juni 2014.

www.forestryimages.org

diakses tanggal 30 Mei 2014.

www.extento.hawaii.edu/Kbase/view/beetles.htm . diakses tanggal 30 Mei 2014.

www.mothphotographersgroup.msstate.edu/Files/JV/J.

diakses tanggal 1 Juni 2014.

www.termitesurvey.com/distribu�on/images . diakses tanggal 1 Juni 2014.

www.forestpests.org/subject.html?SUB=282 . diakses tanggal 28 Mei 2014.

www.aphidweb.com/

diakses tanggal 28 Mei 2014.

www.flickr.com/photos/�magpie/1721946568 . diakses tanggal 28 Mei 2014.

www.pbase.com/uplepidoptera/family_pieridae. diakses

tanggal 28 Mei

2014.

www.malaeng.com/blog/index.php?paged=15. diakses tanggal 28 Mei 2014.

Page 162: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

147

PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI JENIS KULIM (Scorodocarpus borneensis)

DI KHDTK BUKIT SULIGI

Arifin Budi Siswanto dan Eko Sutrisno

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan

I.

PENDAHULUAN

Kulim atau dikenal juga dengan nama kayu bawang merupakan nama lokal di Sumatera dan Kalimantan untuk

Scorodocarpus borneensis. Jenis ini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Serawak, Brunai, Semenanjung Malaysia hingga Semenanjung Thailand (Sleumer, (1984), Kebler, (1994), Tipot (1995)). Scorodocarpus borneensis

sering dikenali dengan cepat di hutan karena

memiliki ciri khas

berbau bawang pu�h hampir di

seluruh bagian tumbuhan. Bau bawang pu�h ini akan tercium kuat terutama setelah hujan atau ada bagian tumbuhan yang patah atau luka.Jenis ini memiliki habitus pohon besar dengan �nggi mencapai 40-60 m dan diameter 60-80 cm.

Scorodocarpus borneensis

memiliki habitat hutan primer dan sekunder dataran rendah dan sering ditemui terutama sepanjang sungai atau pada tempat-tempat yang sering tergenang (Sleumer,1984).

Pada

hutan

sekunder

bekas terbakar di Kalimantan, S.

boornensis

merupakan sisa-sisa dari individu pada kondisi habitat sebelumnya dan jarang ditemukan pada diameter >20 cm (Schulte, 1996).

Kayu

Scorodocarpus borneensis

potensial untuk dibuat kusen pintu rumah, konstruksi ringan dan bahan kapal kayu terutama bagian dinding/palka, dan �ang kapal (Martawijaya dkk.(1989), Heriyanto dkk (2004), Tipot (1995). Masyarakat Kalimantan menggunakan kulit dan biji S. borneensis sebagai bumbu masakan penggan� bawang pu�h. Biji yang dipanggang dapat dimakan dengan garam dan daun mudanya dimasak sebagai sayur (Lim, 2012). Kubota dkk (2009)

menemukan bahwa biji S. borneensis

memiliki kandungan sulphur yang berpotensi

sebagai bahan pengawet alami. Scorodocarpus borneensis saat ini masih belum tercatat sebagai jenis yang dilindungi.

Sidiyasa dkk (2006)

menyatakan bahwa jenis ini sudah sulit ditemui oleh masyarakat di Desa Setulang dan Sengayan, Kalimantan Timur.

Heriyanto dkk

(2004) memperkirakan akan terjadi kelangkaan kayu Scorodocarpus borneensis

dalam ukuran siap tebang sebagai bahan baku pembuatan kapal di Bagan Siapi-Api, Provinsi Riau. Kondisi ini diperkirakan karena pertumbuhan dari jenis tanaman ini yang sangat lambat sedangkan permintaan akan kayunya �nggi, sehingga keberadaan jenis ini mulai jarang dijumpai lagi. Tanaman Kulim menjadi jenis yang langka dan hanya dapat dijumpai pada areal hutan konservasi/taman nasional itupun berada jauh di dalam kawasan.

Upaya yang dilakukan dalam rangka melindungi dan melestarikan pohon kulim ini melalui konservasi insitu dan eksitu. Namun dalam pelaksanaanya diperlukan pengetahuan mengenai ekologi seper� habitat, penyebaran, morfologi, fisiologi, demografi, dan areal yang masih tersedia.

Berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh �m Balai Peneli�an Teknologi serat Tanaman Hutan (BPTSTH) saat ini habitus kulim berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu.

Page 163: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

148

II.

BAHAN DAN ALAT

1.

Tempat dan Waktu

Pembangunan plot konservasi jenis kulim ini dimulai pada April 2014 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

(KHDTK) Bukit Suligi, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pengamatan terakhir dilakukan pada April 2015.

2.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembangunan plot konservasi jenis kulim ini berupa bibit kulim berjumlah 20 famili, pupuk dasar, pupuk pertumbuhan, so�ware design p enanaman dan ATK. Alat–alat yang dipakai adalah golok, cangkul, paranet, solo sprayer, ajir, gerobak, kompas dan meteran.

3.

Rancangan Plot

Plot konservasi dibangun dengan acuan desain single tree plot

yang terdiri atas 20 famili dan 20 blok. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4x4 meter dan disekeliling plot dibuat border berupa jalur hijau sekaligus sebagai sekat bakar.

III.

PROSEDUR KERJA

Konservasi eksitu merupakan metode yang mengkonservasi suatu jenis di luar distribusi alaminya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melindungi suatu jenis tanaman yang biasanya sudah langka atau terancam punah, dengan mengambil materi gene�k pada keseluruhan habitat alaminya dan atau pada habitat yang sudah terancam keberadaannya. Kegiatan ini �dak hanya dimanfaatkan untuk pelestarian dari suatu jenis saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan lainnya di masa mendatang. Sebagai salah satu bentuk konservasi eksitu, plot konservasi kulim yang di bangun melalui tahapan sebagai berikut:

A.

Eksplorasi pohon indukan

Sebagai tahapan awal dalam membangun sebuah plot konservasi adalah mengumpulkan materi gene�knya. Jumlah individu yang dikoleksi materi gene�knya dapat berupa buah, biji atau cabutan akan mempengaruhi keterwakilan variasi gene�k yang ada dalam suatu populasi. Berbagai sumber mensyaratkan jumlah minimum individu yang harus dikoleksi untuk mendapat keterwakilan variasi gene�k dari suatu populasi. Jenis materi gene�k berupa buah, biji dan atau cabutan yang dikumpulkan dipisahkan per individu (famili) atau

untuk suatu populasi.

B.

Pembuatan desain plot konservasi

Desain plot ini disesuaikan dengan ketersediaan materi gene�k yang dapat dikumpulkan.

Idealnya desain plot akan ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat kemungkinan hasil pengumpulan materi gene�k �dak selalu sesuai dengan target yang telah ditentukan, maka desain ini dibuat setelah materi gene�k dikumpulkan. Desain plot konservasi eks-situ ini melipu� luasan plot yang akan dibangun, jarak tanam, lokasi penanaman dari masing-masing populasi, Oleh karenanya, sebelum desain dibuat, perlu terlebih dahulu melakukan survei calon lokasi pembangunan plot konservasi eksitu.

Page 164: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

149

C.

Perawatan di persemaian

Persyaratan kondisi dan media persemaian tergantung dari jenis tanaman yang

dikembangkan. Suhu, kelembaban dan media persemaian merupakan beberapa faktor yang perlu diperha�kan dalam persemaian. Pemisahan, baik antar individu maupun populasi, perlu dilakukan sesuai dengan desain dari plot konservasi eksitu agar �dak tercampur semai antar individu ataupun antar populasi. Apabila materi gene�k berupa cabutan sehingga susah untuk menentukan kepas�an induknya, maka pemisahan lebih difokuskan pada antar populasi.

D.

Survey lokasi plot

Lokasi untuk pembangunan plot konservasi eks-situ perlu memper�mbangkan beberapa hal, antara lain kesesuaian iklim, jenis tanah, perlu �daknya naungan, aksesibilitas dan keamanan dari perambahan, konflik masyarakat atau kepen�ngan dan lain -lain. Mengingat plot konservasi eksitu ditujukan untuk pemanfaatan di masa mendatang, maka perlu dipas�kan adanya jaminan keamanan dari plot tersebut.

E.

Penanaman plot konservasi

Lokasi penanaman perlu disiapkan terlebih dulu sesuai dengan desain plot konservasi yang telah dibuat. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah pembuatan jalur sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Selanjutnya adalah pembersihan lahan dan pemasangan ajir sebagai tanda lokasi semai yang akan di tanam. Pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar perlu dipersiapkan sebelum bibit/semai di tanam.

Masing-masing bibit yang telah siap tanam diletakkan pada dekat lubang penanaman sesuai dengan penempatan yang telah ditentukan. Perlu diperha�kan label bibit yang akan di tanam agar �dak terjadi kekeliruan. Setelah semuanya dipas�kan kebenarannya, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang dan ditutup (termasuk pupuk dasar). Bekas polybag di taruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah penanaman apabila diperlukan. F.

Pemeliharaan dan pengamatan

Pemeliharaan yang biasanya dilakukan adalah penyiangan,

pemupukan, pendangiran, penyiraman, penanggulangan hama dan penyakit, serta penyulaman. Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi pertumbuhan tanaman di lapangan. Untuk penyulaman, bibit yng digunakan harus sama asalnya dengan yang digan�kan. Apabila memungkinkan, bibit sulaman berumur sama dengan yang digan�kan, tetapi bila �dak ada, dapat berasal dari pembibitan yang baru apabila faktor umur bibit �dak mempengaruhi tujuan dari pembangunan plot tersebut. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui daya tumbuh ( survival rate) sampai dengan riap tumbuh tanaman. Pengamatan dilakukan dengan interval 12 bulan sekali, dikarenakan pertumbuhan kulim yang sangat lambat. Menurut Sosef dkk (1988),

riap tahunan dari pohon kulim hanya 0,2-0,3cm. Lambatnya pertumbuhan ini dikarenakan kandungan zat ekstrak�fnya yang �nggi.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembangunan plot konservasi eks-situ dapat ditujukan untuk berbagai keperluan, antara

lain sebagai tempat penyimpanan materi gene�k dengan keragaman yang cukup untuk pemanfaatan di masa mendatang, sebagai sumber benih untuk menyediakan benih dalam jumlah yang cukup dan sebagai populasi dasar untuk kegiatan pemuliaan pohon. Setahun kegiatan pembangunan plot konservasi jenis kulim ini menghasilkan informasi sebagai berikut:

Page 165: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

150

A.

Hasil eksplorasi

Eksplorasi bertujuan mengumpulkan biji dan cabutan anakan kulim sebagai sumber material gene�k. Eksplorasi dilakukan di seluruh kabupaten yang ada di Pr ovinsi Riau. Namun yang dapat dinilai sebagai habitat atau sebaran alami pohon kulim adalah Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu. Menurut Yoza (2015),

Potensi pohon kulim yang ada di Provinsi Riau tersebar pada kelompok hutan

Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasim, Tahura Aek Martua –

Hutan Produksi Terbatas Kai� –

Kubu Pauh, Hutan Gua Sikafir, Hutan Adat Rumbio dan eks areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kampar dan Bengkalis.

Pemisahan materi gene�k antar indukan atau populasi dilakukan sejak awal kegiatan. Pemisahan antar individu ini bertujuan agar keragaman gene�k dari masing -masing individu guna mendapatkan keragaman gene�k dalam populasi yang lebih besar.

Gambar 1. Kegiatan eksplorasi: a. pendataan pohon induk; b. penandaan pohon induk

Gambar 2.

Hasil eksplorasi: a. buah kulim; b. biji kulim; c. cabutan �ngkat semai

Kegiatan eskplorasi dalam rangka pengumpulan materi gene�k ini

sangat strategis karena keberhasilan dari pembangunan plot konservasi sangat ditentukan oleh kegiatan ini. Keberhasilan ini lebih mengarah kepada kemampuan untuk mengkoleksi materi gene�k yang dapat mewakili sebaran alam maupun variasi gene�k dari jenis

tersebut. Oleh karenanya, waktu dan dana kegiatan haruslah difokuskan untuk kegiatan ini. Dalam pelaksanaan kegiatan eksplorasi beberapa hal yang harus diperha�kan diantaranya: penentuan lokasi eksplorasi memper�mbangkan aspek teknis & non teknis, informasi sebaran alami pohon kulim dan penentuan jumlah individu untuk �ap populasi.

Tahapan pengumpulan material gene�k pada kegiatan eksplorasi melipu�:

1.

Pengumpulan data pohon induk yang terekam dalam tally sheet yang memuat informasi berupa: posisi koordinat, ke�nggian tempat, diameter, �nggi total, �nggi bebas cabang dan kondisi lingkungan sekitarnya.

2.

Pengumpulan material gene�k berupa buah matang, biji dan atau cabutan.

3.

Pemilihan pohon induk di pilih yang paling dewasa guna meminimalkan pengumpulan

dari keturunan yang sama.

Page 166: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

151

4.

Pengumpulan material gene�k dari buah yang terbaik yaitu apabila buah sudah matang di pohon namun belum jatuh. Untuk pohon yang terlalu �nggi, tentunya harus menunggu buah sampai jatuh di lantai hutan.

5.

Pengumpulan material gene�k dari cabutan �ngkat semai dengan cara membawa tanah disekitarnya menggunakan teknik stump dan usahakan biji/keping lembaga masih terbawa.

6.

Jumlah buah dan atau biji yang dikumpulkan per pohon induk harus sebanyak mungkin, dikarenakan musim buah yang �dak ru�n sepanjang tahun. Pohon induk yang diperoleh sekurang kurangnya 25 pohon atau populasi. Menurut Widyatmoko

(2014) plot konservasi eksitu dapat di buat sesuai dengan material gene�k yang terkumpul dengan memper�mbangkan keterwakilan dari se�ap pohon induk dalam suatu populasi.

7.

Pengepakan buah, biji dan cabutan yang telah ditandai harus dilakukan secepat mungkin. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerusakan material gene�k yang sudah terkumpul. Pengepakan harus mampu menjaga kelembaban.

B.

Pembuatan desain dan karakteris�k lokasi

Desain plot konservasi eks-situ idealnya ditentukan setelah penentuan tujuan pembangunan plot, tetapi mengingat hasil pengumpulan materi gene�k �dak sesuai dengan target yang ditentukan, maka desain ini di buat setelah materi gene�k dikumpulkan. Sebelum membuat desain plot telah dilakukan survey calon lokasi plot dengan hasil: memiliki pH 5,9 (mendeka� normal), berjenis tanah ul�sol, karakteris�k tanah berdasarkan perbandingan fraksi berjenis liat berpasir, nilai KTK

cukup besar sekitar 18,80 meq/100 gr, hal ini dapat menjadi

per�mbangan dalam tahap pemupukan,

topografi berkisar 2-5º

(landai sampai berlereng) dengan posisi 173 mdpl dan terdapat aliran air sebagai sumber air saat penyiraman. Lokasi plot konservasi mudah diakses dengan kendaraan roda dua yang berguna pasa saat pelangsiran bibit maupun untuk kegiatan pemeliharaan.

Berdasarkan informasi awal tersebut dan dengan jumlah material gene�k yang �dak terlalu banyak maka design yang dibuat pada plot konservasi

jenis kulim ini menggunakan

desain single tree plot

dan memiliki 20 blok dengan luas keseluruhan adalah 1 hektar. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 4 x 4 meter. Hal ini mengingat �dak ada penjarangan setelah penanaman.

Gambar 3. Survey penentuan lokasi : a. pemilihan lokasi; b. persiapan lokasi tanam

Lokasi penanaman perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum bibit di bawa ke lokasi tersebut. Persiapan ini mengiku� desain plot yang telah ditetapkan. Kegiatan yang dilakukan pada persiapan lokasi ini adalah: pengukuran dan pemetaan ulang sesuai desain plot, pembersihan jalur tanam, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan pemberian pupuk dasar (kompos:top soil

= 1:1). Seluruh rangkaian kegiatan persiapan tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan persiapan dan pemeliharaan material gene�k di persemaian.

a

b

Page 167: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

152

C.

Pembibitan dan pemeliharaan material gene�k

Kegiatan pembibitan biji dan pemeliharaan cabutan di persemaian merupakan kegiatan awal sebelum dilakukan penanaman di lapangan. Oleh karenanya hasil dari kegiatan di persemaian menjadi pen�ng karena menentukan jumlah bibit yang dapat di tanam pada plot konservasi. Sebelum kegiatan persemaian dilaksanakan, perlu dilakukan persiapan antara lain: pemilihan lokasi persemaian, kebutuhan bahan dan peralatan, kebutuhan tenaga kerja, tata waktu kegiatan persemaian dan penyiapan media.

Mengingat materi gene�k yang diperoleh dari lapangan kemungkinan berupa buah, biji dan atau cabutan, maka kegiatan di persemaian juga perlu dibedakan untuk masing-masing materi. Berikut kegiatan di persemaian yang perlu dilakukan untuk masing-masing materi gene�k adalah:

1.

Biji

Biji kulim dikecambahkan dapat langsung di dalam polybag mapun di bedeng tabur yang berisikan media pasir dan ditutup sungkup dari bahan plastik. Biji kulim memiliki cangkang atau kulit biji yang sangat keras, sehingga ke�ka akan dikecambahkan harus diretakkan terlebih da -hulu. Pada umumya waktu perkecambahan biji kulim berkisar 3 -6 bulan. Tahapan selanjutnya setelah biji berkecambah

adalah penyapihan jika terlebih dahulu dikecambahkan di

bedeng tabur.

2.

Cabutan �ngkat semai

Cabutan yang diperoleh langsung dapat ditanam di polybag. Untuk

penyesuaian lingkungan, seper� halnya pada bibit yang baru di sapih, cabutan disungkup hingga tahan terhadap sinar matahari dan suhu udara sekitar persemaian. Selama perjalanan, kemungkinan ada daun yang layu. Oleh karenanya, setelah ditanam di polybag, daun -daun yang layu ini diambil/dipotong. Menjadi mudah ke�ka dalam tahap pengumpulan material gene�k su dah dipisahkan antar pohon induk, maka di persemaian �nggal memisahkan antar populasi.

Tahap akhir dan sangat menentukan setelah material gene�k tumbuh adalah pemeliharaan. Kegiatan tersebut melipu� penyiraman, penyiangan, penyemprotan fungisida atau insek�sida dan pembukaan naungan/paranet sesuai dengan kebutuhan sinar matahari bagi pertumbuhan bibit. Pengamatan kondisi bibit dilakukan se�ap 3 minggu sekali sampai bibit siap tanam.

Gambar 4. Pembibitan: a. fase dipersemaian; b. bibit siap tanam

D.

Penanaman

Kegiatan penanaman dilakukan setelah bibit sudah siap tanam dan lokasi penanaman telah dipersiapkan seper� dijelaskan di atas. Pada kegiatan ini hal -hal yang perlu diperha�kan adalah sebagai berikut:

1.

Bibit dari persemaian (berasal dari biji dan cabutan) dan yang sudah siap tanam diletakkan pada tempatnya masing-masing.

Page 168: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

153

2.

Bibit antar populasi jangan sampai tercampur. Cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan pada saat pelangsiran adalah pemberian label dengan warna yang berbeda.

3.

Setelah semuanya dipas�kan kebenarannya pada lubang tanam, bibit dikeluarkan dari polybag dan dimasukkan ke lubang tanam lalu ditutup. Diusahakan tanaman �dak tertekuk, dan jika ada akar yang telah menerobos polybag sebaiknya dipotong dan bibit ditanam secara tegak sedalam leher akar. Tanah untuk mengisi lubang hendaknya gembur dan jika perlu bibit diikat dengan ajir agar tetap tegak. Bekas polybag ditaruh pada ujung atas ajir yang tersedia sebagai tanda bahwa polybag sudah diambil dari bibitnya. Penyiraman dilakukan sesudah dilakukan penanaman apabila diperlukan.

Setelah selesai menanam, kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk mempertahankan persen hidup bibit yang di tanam dan u ntuk meningkatkan pertumbuhannya. Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan adalah: pemberian paranet sebagai naungan dan pagar, penyiangan dan pembersihan gulma, pendangiran dengan metode piringan, pemberian pupuk pertumbuhan (NPK), perlindungan dan pengamanan dari gangguan hama, pemberantasan hama dan penyakit dan penyulaman.

Gambar 5.

Penanaman: a. bibit yang telah ditanam; b. paranet sebagai naungan

Dalam mengevaluasi pertumbuhan pada plot konservasi kulim, tahapan awal adalah pe-nyulaman. Kegiatan penyulaman dilakukan sebulan setelah bibit ditanam, tujuannya adalah mendapatkan jumlah tanam/kuan�tas yang dipersyaratkan dalam pembangunan plot kon ser-vasi. Secara populasi untuk tahap pertama daya tumbuh bibit kulim adalah 78,21% atau hi dup sebanyak 427 bibit dari 545 bibit yang ditanam. Famili yang dominan mampu beradaptasi di lapangan adalah dari famili yang bersal dari Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan Indragiri Hulu.

E.

Hasil pengamatan (tahun 1)

Pembangunan plot konservasi kulim agar sesuai dengan tujuan dan desainnya maka harus dilakukan pengamatan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjamin pertumbuhan dalam satu populasi, mengetahui kemampuan adaptasi serta adanya recording data base

jika nan� akan dilakukan ser�fikasi.

Gambar 6.

Pengamatan: a. pengukuran �nggi; b. pengukuran diameter

a

b

Page 169: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

154

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

SLG

001

SLG

002

TPG

001

TPG

005

TPG

006

TPG

00

7

TPG

01

0

TPG

01

2

TPG

013

TPG

01

4

TPG

022

TPG

02

3

RLS

T 0

01

RLS

T 0

03

RLS

T 0

04

RLS

T 0

05

RLS

T 0

10

AR

B 0

01

AR

B 0

04

RH

L 00

2

�n

ggi (

cm)

kode famili

�nggi T 0

�nggi T 1

Hasil pengamatan parameter �nggi pada tahap awal memiliki nilai yang baik, sampai pada pengamatan kedua. Famili yang mampu bertahan dan mempunyai adaptasi ter�nggi adalah dari Tapung, Kabupaten Kampar. Secara umum pertumbuhan plot konservasi ini sudah baik, semua famili yang berasal dari Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu bertambah nilainya pada pengamatan kedua. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi pertumbuhan �nggi diantaranya :

intensitas naungan, keberadaan gulma serta �pologi lahan. Grafik pertumbuhan �nggi dari masing-masing famili tergambar pada gambar 7.

Gambar 7. Grafik pertumbuhan �nggi pada plot konservasi jenis kulim

Pertambahan diameter untuk masing masing famili berkisar 0,1-0,2 mm. pertumbuhan paling sesuai untuk lokasi didominasi dari famili yang berasal dari Kabupaten Kampar. Pertambahan diameter paling �nggi terjadi pada famili yang berasal dari Kabupaten Rokan Hulu. Hal ini diduga secara tapak tumbuh lebih sesuai karena merupakan habitat alaminya. Hasil pengamatan diameter dari masing masing famili terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik pertumbuhan diameter pada plot konservasi jenis kulim

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

SLG

001

SLG

002

TPG

001

TPG

005

TPG

006

TPG

00

7

TPG

01

0

TPG

012

TPG

01

3

TPG

01

4

TPG

02

2

TPG

02

3

RLS

T 0

01

RLS

T 0

03

RLS

T 0

04

RLS

T 0

05

RLS

T 0

10

AR

B 0

01

AR

B 0

04

RH

L 00

2

dia

met

er (

cm)

Kode famili

diameter T0

diameter T1

Page 170: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

155

V.

PENUTUP

Pembangunan plot konservasi jenis pohon kulim (Scorodocarpus borneensis), merupakan salah satu bentuk konservasi secara eksitu. Selain untuk tujuan konservasi, plot konservasi kedepan diharapkan mampu menyediakan kebutuhan bibit pohon yang sudah langka ini. Tahapan pembangunan plot konservasi dimulai dari pengumpulan material gene�k berupa buah, biji dan cabutan �ngkat semai, kemudian persiapan di persemaian, penentuan lokasi plot konservasi, pembuatan desain, penanaman dan pengamatan pertumbuhan. Plot konservasi yang di bangun pada tahun 2014 di KHDTK Bukit Suligi ini berhasil mengumpulkan 20 pohon indukan (famili) yang berasal dari Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar dan Rokan Hulu. Sampai saat ini pertumbuhan sudah cukup baik, terlihat dari persentase tumbuh, pertambahan �nggi dan diameter. Masing masing famili menunjukkan pertumbuhan yang berbeda terhadap pertambahan �nggi dan diameter.

DAFTAR PUSTAKA

Heriyanto,

N.M. dan R. Garse�asih. 2004. Potensi Pohon Kulim ( Scorodocarpus borneensis

Becc.) di Kelompok Hutan Gelawan Kampar, Riau. Bule�n Plasma Nu�ah Vol. 10. No.1.

Kebler, P.J.A. dan Kade Sidiyasa. 1999. Pohon -pohon Hutan Kalimantan Timur (Pedoman Mengenal 280 jenis pilihan di Daerah Balikpapan-Samarinda). MOFEC-Tropenbos. Balikpapan.

Kubota, Kikue dan Akio Kobayashi. 2009. Sulfur Compounds in Wood Garlic (Scorodocarpus borneensis Becc.) as Versa�le Food Components. (Sulfur Compounds in Foods). Department of Nutri�on and Food Science, Ochanomizu University. Japan

Lim, T. K. 2012 Edible Medicinal And Non-Medicinal Plants Volume 4: Fruits.Springer Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu

Indonesia jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Schulte, A., Dieter Schone.

1996.

Dipterocarps Forest Ecosystems: Towards Suis�nable Management.

World Scien�fic.

Sidiyasa, K., Zakaria, Iwan R.2006. The forests of Setulang and Sengayan in Malinau, East

Kalimantan: their poten�al and the iden�fica�on of steps for their protec�on and sustainable management.CIFOR.Bogor

Sleumer,

H.O. 1984. Flora Malesiana I Vol. 10 (Olacaceae). Rijksherbarium/Hortus Botanicus. Leiden.

Sosef, M.S.M, L.T. Hong, and

Prawirohatmodjo. 1988. Timber trees: Lesser-Known Timber. Prosea 5. Bogor, Indonesia.

Tipot, L. 1995. Tree Flora of Sabah and Sarawak Vol.1 (Olacaceae). Forest Research Ins�tute Malaysia.

Widiyatmoko A.Y.P.B.C. 2014. Manual Pembangunan Plot Konservasi Ek s-Situ Shorea Penghasil Tengkawang. Balai Besar Peneli�an Dipterocarpa.

Samarinda.

Yoza D. 2015. Sebaran, Potensi, Pengelolaan dan Strategi Konservasi Kulim dan Giam. Prosiding Seminar ITTO PD 710/13 Rev.1 (F) 23 April 2015. Balai Peneli�an Teknolog i Serat Tanaman Hutan.

Kuok.

Page 171: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

156

Page 172: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

157

INFORMASI TEKNIS BISBUL

(Diospyros blancoi

A. DC)

Kosasih dan Agus Winarsih

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Bisbul

( Diospyros blancoi

A.

DC), dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) dengan panggilan persamaan

Diospyros blancoi

A.

DC

yaitu Diospyros discolor atau Buah Mentega. Ia merupakan buah yang awalnya hidup liar di hutan-hutan Filipina, namun kini telah menyebar di berbagai negeri tropis, termasuk Indonesia, terutama di Bogor, Jawa Barat. Bentuknya bulat gepeng, dengan besar kira-kira 5-12 cm x 8-10 cm dan berbulu halus seper� beledru. Buah ini termasuk dalam keluarga eboni (suku Ebenaceae) dan berkerabat dengan buah kesemek dan kayu hitam.

Tak heran jika di negeri asalnya ia dipanggil Buah Mabolo atau Buah Berbulu.

Tumbuhan ini berkerabat dengan

kesemek dan

kayu hitam, merupakan pohon yang sedang �ngginya, 10-30

m, meskipun umumnya hanya sekitar 15 m atau kurang. Berbatang lurus, dengan pepagan berwarna hitam atau kehitaman, diameter hingga 50 cm atau lebih di pangkal batang, bercabang kurang lebih mendatar dan ber�ngkat, dengan tajuk keseluruhan berbentuk

kerucut yang lebat dan rapat daun-daunnya sehingga gelap di bagian dalamnya.

Bisbul tumbuh dengan baik di daerah tropika beriklim muson, pada berbagai jenis tanah sampai dengan ke�nggian 800 m dpl. Di Filipina, bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe�k antara Maret - Mei.

Pohon bisbul terutama di tanam untuk buahnya, yang dapat di makan segar atau sebagai campuran minuman dan rujak. Kayunya berkualitas baik, coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras; di Filipina (dinamai kamagong) merupakan bahan kerajinan yang berharga dan dilindungi oleh undang-undang.

Karena tajuknya yang bagus,

pohon bisbul juga kerap ditanam di taman-taman dan tepi jalan.

Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala �pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan. Diduga potensi tanaman ini terus menurun sehingga semakin jarang ditemukan sebagai tanaman pekarangan apalagi dalam bentuk tegakan yang lebih luas. Banyak dilaporkan bahwa jenis ini sekarang sudah langka dan hanya bisa ditemukan di daerah -daerah tertentu. Oleh karena itu upaya upaya -upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan melalui serangkaian kegiatan iden�fikasi keragaman gene�k dan daerah populasi sebaran alami, koleksi materi gene�k dan pengembangan iptek pembibitan. Upaya-upaya tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan jenis ini pada masa yang akan datang.

II. TAKSONOMI TUMBUHAN DAN DESKRIPSI

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan

:

Plantae

Divisi

:

Magnoliophyta

Kelas

:

Magnoliopsida

Ordo

:

Ericales

Famili

:

Ebenaceae

Page 173: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

158

Genus

:

Diospyros

Spesies

:

Diospyros blancoi

Nama Binomial

:

Diospyros blancoi

A.DC

Bisbul berperawakan pohon, berkelamin dua dan selalu hijau, �ngginya 7 -15(-32) m, diameter pangkal batangnya 50(-80) cm, tajuknya berbentuk kerucut. Daunnya berselang-seling, berbentuk lonjong, berukuran (8-30) cm x (2,5-12) cm, pinggirannya rata, pangkalnya biasanya membundar, ujungnya melancip, menjangat; lembaran daun sebelah atas be rwarna hijau tua, berkilap, tak berbulu; lembaran daun sebelah bawah berbulu perak; daun mudanya berwarna hijau pucat sampai merah jambu, berbulu perak; tangkai daunnya mencapai panjang 1,7 cm.

Daun Bisbul

Sumber : h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul

Bunga-bunga jantannya tersusun dalam payung menggarpu, di ke�ak daun, terdiri atas 3-7 kuntum; tangkai bunganya pendek; daun kelopaknya berbentuk tabung, bercuping 4 yang dalam, panjangnya kira-kira 1 cm; daun mahkotanya sedikit lebih besar daripada daun kelopak, berbentuk tabung dan bercuping 4 juga, berwarna pu�h susu; benang sarinya 24-30

utas,

menyatu dipangkalnya, membentuk pasangan-pasangan; bunga be�na soliter, berada di ke�ak daun, bertangkai pendek, ukurannya sedikit lebih besar daripada bunga jantan, memiliki 4-5(-8) staminodia. Pohon asal benih cenderung tumbuh tegak,

kadang-kadang hanya memiliki satu batang tanpa cabang. Akan tetapi, pohon yang berasal dari sambungan perawakannya pendek dan mengeluarkan lebih banyak cabang lateral. Pohon yang berasal dari semai berbuah 6-7 tahun setelah di tanam, sedangkan yang berasal dari sambungan 3 -4 tahun. Pohon bisbul bervariasi terutama dalam bentuk dan perbuluan daun serta bentuk dan rasa buah.

Buahnya ber�pe buah buni yang berbentuk

bulat atau bulat gepeng, berukuran (5-12) cm x (8-10) cm, berbulu beludru, berwarna coklat kemerahan, dipangkalnya ada topi dari kelopak yang kaku dan �dak rontok; kulit buahnya �pis, tertutup rapat oleh bulu -bulu pendek yang berwarna coklat keemasan, mengeluarkan bau keras yang mirip bau keju; daging buahnya berwarna kepu�h-pu�han, keras, agak kering, rasanya manis, sepet, berbau harum. Bijinya 0-10 bu�r per buah, berbentuk baji, ukurannya mencapai 4 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo',

berar� buah berbulu, mengacu kepada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.

Page 174: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

159

Buah Bisbul/Buah Mentega

Sumber: h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul

III.

BUDIDAYA BISBUL

A.

Syarat tumbuh

Tumbuh baik di daerah yang beriklim muson, dari 0 m sampai 800 m dpl, dan pada hampir segala �pe tanah. Bisbul sangat tahan terhadap angin topan .

bisbul berbuah antara Juni-September, namun di Bogor buah telah dapat dipe�k antara Maret-Mei.

Buah Bisbul/Buah Mentega

Sumber: h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul

Page 175: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

160

B.

Pembibitan

Diospyros

blancoi

biasanya diperbanyak dengan benih yang memerlukan waktu 24 hari untuk berkecambah. Juga dapat diperbanyak secara vegeta�f dengan cangkokan, sambungan mata, atau sambungan pucuk.

Penyemaian benih Diospyros

blancoi

di persemaian

Penyapihan benih Diospyros

blancoi

di persemaian 3 bln setelah semai

Benih cepat mengalami kecambahnya namun pada saat sdh mengeluarkan daun dan

batang akan mengalami perlambatan pertumbuhan dengan demikian tanaman ini menjadi langka dikarenakan pertumbuhan lambat tetapi permintaan akan buah dan kayu banyak. Cara terakhir pembibitan

dipraktekkan secara komersial di Filipina. Pada sambungan celah digunakan batang bawah bibit yang berumur 1 tahun. Batang atasnya diperoleh dari cabang dewasa yang tumbuh pada musim terakhir, yang memiliki kuncup ujung yang tumbuh balk, dipotong sepanjang 10-12 cm. Anakan pohon yang berasal dari sambungan dapat ditanam di lapangan dengan jarak tanam 8-10 m, pada awal musim hujan. Pohon yang berasal dari semai

di tanam di sepanjang jalan dengan jarak tanam 10-15 m.

C.

Pemeliharaan

Setelah tanaman tumbuh dengan baik dan siap tanam di lapangan, pohon bisbul hampir �dak memperoleh

perawatan apa pun.Tunas-tunas liar dan cabang-cabang yang bertumpang-�ndih seringkali dipangkas, begitu pula cabang-cabangnya yang menyentuh tanah.

D.

Hama dan Penyakit

Ada laporan mengenai beberapa jenis serangga yang memakan pucuk dan daun bisbul, seper� kumbang kecil, penggulung daun,

siput lunak dan ulat rumpun, cacing kantung, dan

Page 176: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

161

serangga bersisik merah. Akan tetapi dijumpai juga hama -hama yang kurang berar�. Tidak diperoleh laporan mengenai penyakit yang berbahaya

Aulocophora similis oliver (oteng-oteng).

Hama ini berupa kumbang daun

yang panjangnya ± 1 cm, bersifat pemangsa segala jenis tanaman (polifag) serta dapat berpindah dari satu tanaman ke tanaman lain dengan terbang. Hama ini merusak dan memakan daging daun, sehingga menimbulkan gejala bolong-bolong dan jika serangan cukup berat maka semua jaringan daun habis di makan dan �nggal tulang-tulang daunnya. Pengendaliannya dengan cara melakukan rotasi tanaman, waktu tanaman serempak dan di semprot dengan insek�sida atau pengendalian natural BVR atau PESTONA.

Oteng-oteng atau Kutu Kuya (Aulocophora similis Oliver)

Sumber: h�p://mitalom.com/mengendalikan-hama-oteng-oteng-kumbang-perusak-daun/

E. Panen dan Pasca Panen

Buah bisbul dianggap matang jika telah berubah dari coklat kehijau-hijauan menjadi merah kusam. Setelah di panen buah bisbul dilap dengan secarik kain untuk menghilangkan bulu-bulunya agar penampilannya lebih menarik. Dalam 3-4 hari buah menjadi lunak dan harum baunya.

IV.

ANATOMI KAYU

Kayu dari pohon bisbul ini

punya

kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam, bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi.

Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi.

Pohon ini jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu �nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.

A

B

Page 177: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

162

Keterangan :

Nama daerah bisbul di Filipina ialah 'mabolo,' berar� buah berbulu, mengacu kepada buahnya yang berbulu. Buah bisbul memiliki 60-73% dari bagian yang dapat dimakan.Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.)

a. Transverse surface, scale bar = 1 mm

b. Transverse surface, scale bar = 200 µm

Sumber:

Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor

C D

Keterangan:

Kayu pohon buah mentega/Bisbu

Wood anatomical structure of Bisbul (D. Blancoi A.DC.)

c. Radial surface, scale bar = 80 µm

d. Tangen�al surface, scale bar = 40 µm

Sumber: Krisdianto and Abdurachman, Forest Products Technology Research and Development, Bogor

Keterangan:

Kayu pohon buah mentega/Bisbu

Sumber: h�p://infotanam.blogspot.co.id/2013/09/buah-mentega-bisbul-buah-langka-asal.html

Kayu dari pohon bisbul ini

punya

kualitas baik, warna kayu coklat kemerahan hingga hitam,

bertekstur halus, kuat dan keras mirip kayu hitam sulawesi.

Di Filipina kayu pohon bisbul atau pohon mentega ini merupakan bahan kerajinan, meubel dsb yang berharga mahal dan termasuk pohon dilindungi.

Pohon jika sudah tua bisa mencapai 30 meter, dan lurus batangnya dan jika sudah terlalu �nggi kita harus pakai galah panjang untuk mengambil buahnya.

V.

PENUTUP

Bisbul

(Diospyros blancoi A DC) dikenal juga sebagai Velvet Apple (Inggris) atau buah mentega.

Di negeri asalnya Filipina disebut buah mabolo atau buah berbulu,

buah ini

Page 178: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

163

mengeluarkan bau harum agak keras mirip keju,

rasanya manis agak sepet tapi disukai masyarakat sebagai buah segar atau sebagai campuran minuman dan rujak.

Kayunya berkualitas baik berwarna coklat kemerahan hingga hitam,

bertekstur halus kuat da keras.

Di Filipina merupakan bahan utama kerajinan yang berharga dan dilindungi undang-undang.

Tanaman ini sudah termasuk langka dan hanya bisa ditemukan di daerah-daerah tertentu,

oleh karena itu upaya-upaya pelestarian jenis ini sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Saleh, M., Mawardi, M., Edi, W. dan Hatmoko, D.

t.t. Determinasi dan Morfologi Buah Ekso�s Potensial di Lahan Rawa. Balai Peneli�an Pertanian Lahan Rawa Banjar Baru. bali�ra.litbang.deptan.go.id/ diakses tanggal 11 Desember 2013.

h�p://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/mabolo.html

Diakses tanggal 10 Desember 2013

h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia. Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://indonetwork.co.id/sentratani_bogor/1989879 . Diakses tanggal 15 Desember 2014.

h�p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://www.mekarsari.com/index.php ?op�on=com_content&view=ar�cle&id=52%3Abisbul&ca�d=39%3Abuah-langka&Itemid=96&lang=en. Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://www.enclaveconserva�on.com/fruits1.html . Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia-20120501.html. Diakses tanggal 15 Desember 2014.

h�p://naturindonesia.com/tanaman-pangan/tanaman-buah-dan-sayuran-b/615-bisbul-buah-

mentega.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/hama-dan-penyakit-dominan-pada-men�mun-0.

Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://nasa88.wordpress.com/2012/07/16/hama -dan-penyakit-tanaman-men�mun/.

Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://penyakitutama.blogspot.com/2007/09/01archive.html. Diakses tgl 12 Desember 2014.

h�p://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://beritaciamik.com/buah-mentega-atau-bisbul-buah-yang-sudah-sangat-langka-di-indonesia-20120501.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�p://aspal-pu�h.blogspot.co.id/2013/09/mengenal-buah-langka-buah-beludru-atau.html. Diakses tanggal 12 Desember 2014.

h�ps://id.wikipedia.org/wiki/Bisbul . Diakses tanggal 15 Desember 2014.

www.theplantlist.org/tpl/record/kew -2769627. Diakses tanggal 15 Desember 2014.

id.wikipedia.org/wiki/Bisbul. Diakses tanggal 15 Desember 2014.

h�p://wikimedia.org/wiki/Diospyros_blancoi . Diakses tanggal 12 Desember 2014.

Page 179: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

164

Page 180: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

165

PETUNJUK TEKNIS

BUDIDAYA GALO-GALO (Trigona itama Cockerell)

Syasri Janne�a, Irwan

dan

Rozi Hardinasty

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Sejak zaman dahulu usaha di bidang perlebahan sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat, Khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Usaha yang dilakukan adalah memungut atau berburu madu lebah hutan (Apis dorsata F) yang bersarang secara liar di pohon-pohon yang menjulang �nggi (rata-rata diatas 20m). Selain berburu madu hutan kegiatan budidaya lebah sayak (Apis cerana F) juga sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat dan dipelihara di lahan-lahan pekarangan di sekitar tempat �nggal mereka.

Lebah galo-galo (Trigona itama) merupakan salah satu jenis lebah sosial suku Apidae yang keberadaannya mudah dijumpai di areal hutan, kebun maupun lahan -lahan pekarangan. Sampai saat ini lebah jenis tersebut belum dimanfaatkan bahkan masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi perlebahan pada saat ini telah banyak mengungkap hasil riset produk lebah yang berupa

propolis.

Beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) kuok dapat diinformasikan bahwa budidaya T. itama mudah dilakukan karena �dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan �dak tergantung musim pembungaan. Tanaman pakan T. itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan-lahan disekitar tempat �nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih �nggi dibandingkan produk dari lebah Apis.

Keter�nggalan petani lebah di banding petani lebah daerah lain seper� di jawa atau petani lebah di negara-negara lain yang telah maju di bidang perlebahannya adalah dalam hal diversifikasi produk. Produk-produk lebah seper� bee pollen, lilin, royal jelly, bee venom dan propolis sampai saat ini belum dieksplore, begitu juga dengan beberapa jenis lebah lokal selain A. dorsata juga belum dikelola dengan baik bahkan untuk jenis Trigona sampai saat ini masih di pandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam.

Tahapan dalam budidaya T. itama harus dimulai dari mempelajari biologi T. itama,

tanaman pakan, peralatan budidaya, cara mendapatkan bibit, manajemen pen gelolaan dan Prospek pasar. Makalah ini di tulis untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak, Khususnya petani lebah madu bagaimana cara budidaya T. itama merupakan jenis lebah yang memiliki potensi penghasil propolis, mudah dalam budidaya dan berpeluang besar untuk diternakkan pada skala usaha rumah tangga.

II.

MENGENAL LEBAH T. itama

A.

Morfologi dan Taxonomi

Lebah T. itama merupakan salah satu dari beberapa jenis lebah sosial yang termasuk suku apidae (Gambar 1). Lebah jenis ini tak bersengat (s�ngless), bertubuh kecil dan ramping, berwarna hitam dan panjang 6 mm. Memiliki kepala yang membesar ke arah depan, matanya

Page 181: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

166

sempit ke arah mandibula, mata majemuk (Ocelli) membentuk garis lurus pada vertek, antenna filiform, torak agak membulat, abdomen pendek berbentuk oval, s�gma kecil, kakinya kuat dengan bagian ujung melebar dan pipih serta berbulu (Sakagami dkk., 1990) Gambar 2.

T. itama diklasifikasikan masuk pada:

Kelas

:

Insecta

Bangsa/ Ordo

:

Hymenoptera

Suku/ Famili

:

Apidae

Anak Suku/ Sub Famili

:

Apinae

Tribus

:

Meliponidae

Marga

:

Trigona

Jenis /Species

:

Trigona itama Cockerell

B. Koloni, Sarang dan Habitat

T. itama hidup berkoloni, dalam satu koloni lebah memiliki satu ratu, lebih dari 1000 pekerja dan lebih dari 100 lebah jantan. Masing-masing individu mempunyai tugas dan saling bertautan. Lebah ratu bertugas hanya untuk bertelur dan mengedalikan koloni (Eckert & Shaw,

1977). Lebah pekerja membuat sarang, membersihkan sarang, memberikan makanan ke lebah muda dan lebah ratu, menyimpan makanan, mencari makanan dan manjaga sarang sesuai dengan �ngkat umurnya. Lebah jantan bertugas hanya mengawini lebah ratu (Free,

1982).

Sarang T. itama terbuat dari material resin yang berasal dari tumbuhan. Hanya memil iki satu pintu masuk dan keluar untuk semua anggota koloni. Pintu terbuat dari resin menyerupai bentuk sebuah corong, berukuran panjang yang beragam, pendek (Gambar 4) atau panjang menyerupai belalai (gambar 5). Salmah (1983) melaporkan bahwa sarang T. itama terbagi menjadi 3 bagian sebagian tempat anakan, nectar atau madu dan pollen (Gambar 6). Sarang untuk menyimpan berbentuk Comb

yaitu susunan sel yang teratur seper� sisir (Gambar 7).

Gambar.1. Lebah Pekerja T. itama

Gambar.2. Morphologi T. itama (Sakagami dkk, 1990)

Gambar

3. Lebah Ratu,

Jantan dan Pekerja T. itama

Page 182: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

167

Habitat T. itama banyak dijumpai hidup di hutan primer dan hutan sekunder dan lahan-lahan pertanian dan perkebunan (Inoue dkk., 1984). Pohon yang memiliki lubang berongga adalah tempat yang paling disukai untuk bersarang dan berkembang biak (Sakagami,

1982).

III. PAKAN LEBAH T. itama

Pakan T. itama adalah cairan gula sederhana berupa nektar, nektar flora dan nektar ekstraflora seper�: pucuk/tunas daun muda atau bagian ke�ak/stomata daun. (Nektar

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat). Pakan lain berupa pollen (tepungsari bunga) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein, vitamin dan mineral. T. itama

juga membutuhkan getah (resin) tanaman untuk keperluan membangun sarang dan pertahanan diri dari berbagai gangguan. Umumnya lebah T. itama menyukai daerah dengan suhu 26-340C.

Tabel

1. Jenis tanaman dan bagian tanaman yang dikunjungi lebah T. itama

No

Jenis Tanaman

Bagian Tanaman yang dikunjungi

Nama Lokal

Nama La�n

Nektar

Pollen

Getah

1

2

3

4

5

6

1

Mangga

Mangifera indica

V

v

v

2

Manggis

Garcinia mangostana L

V

-

v

3

Keluwih

Artocarpus al�lis

V

-

v

4

Nangka

Artocarpus heterophyllus

V

-

v

5

Sawo

Manilkara kauki

V

-

v

6

Jarak

Jatropha sp

V

-

v

7

Nyamplung

Canophylum innophylum

V

v

v

8

Pulai

Alstonia scholaris

V

v

v

9

Juwet

Syzygium cumini

V

v

v

Gambar

4.

Pintu Keluar Masuk T. itama

(Bentuk Corong)

Gambar

5.

Pintu Keluar Masuk T. itama

(Bentuk Belalai)

Gambar 7. Sisiran Brood T. itama (Bentuk Comb)

Gambar 6. Sarang Koloni T. itama (Brood, Sel madu, sel

pollen)

Page 183: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

168

1

2

3

4

5

6

10

Kumbi

Ervatamia sphaerocarpus

V

v

v

11

Buni

An�desma bunius (l) Spring

V

-

v

12

Ela-ela

Sansevieria trifasciata

V

-

-

13

Belimbing

Averhoa sp

V

v

-

14

Jambu Biji

Psidium guajava

V

v

-

15

Jambu Air

Eugenia aquea

V

v

-

16

Jambu Mete

Anacardium occidentale

V

v

-

17

Kelapa

Cocos nucifera

V

v

-

18

Jeruk

Citrus sp

V

v

-

19

Alpukat

Persea gra�ssima Gaertn

V

v

-

20

Coklat

Theobroma cacao

V

-

-

21

Rambutan

Nephelium lappaceum

V

v

-

22

Pinang Areca

Catechu L

V

v

-

23

Aren

Arenga pinnata

V

v

-

24

Flamboyan

Delonix regia

V

-

-

25

Bidara

Ziziphus mauri�ana

V

-

-

26

Asam

Tamarindus indica

V

-

-

27

Bantenan

Spandias pinnata

v

-

28

Sonokeling

Dalbergia la�folia

V

v

-

29

Pisang

Musa sp

V

v

-

30

Pepaya

Carica papaya

V

v

-

31

Buah Naga

Hylocereus undatus

V

v

-

32

Randu

Ceiba pentandra

V

v

-

33 Durian Durio zibethinus V v -

34 Kelengkeng Niphelium longanum V v - 35 Kacang Arachis hypogaea V v - 36

Jagung

Zea mays

-

v

-

37

Cempaka

Michelia sp

V

-

- 38

Matahari

Helianthus annuus

-

V

-

39

Bougenvil

Bougainvillea glabra

V

-

-

40

Kendal

Cordia obliqua Auct

V

-

-

41

Ceruring

Lansium domes�cum Correa

V

-

-

42

Kepundung

Baccaurea racemosa Muell.

V

-

-

43

Bunga Bangkai

Amorpophalus sp

V

V

-

44

Kelor

Moringa oleifera

V

-

-

45

Asoka

Saraca asoca (Roxb.) Wilde

V

-

-

46

Anggrek tanah

Spathoglo�s plicata

V

-

-

47

Kenanga

Cananga odorata

V

-

-

48

Euphorbia

Euphorbia dentata Michx

V

-

v

49

Mawar

Rosa sp

V

-

-

50

Bunga Pukul 8

Turnera ulmifolia L

V

v

-

51

Matoa

Pome�a pinnata

V

v

-

52

Akasia

Acacia mangium

V

-

-

53

Kelapa Sawit

Elaeis guineensis Jacq.

-

v

-

54

Mengkudu

Morinda citrifolia L

V

v

-

55

Meran�

Shorea sp

-

-

v

Sumber:

Hasil pengamatan ak�vitas lebah di Desa Sei Maki, Desa Kuok, Kecamatan Kuok, Bulan

Februari –

April 2015

Page 184: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

169

IV. CARA MENDAPATKAN BIBIT T. itama

T. itama ditemukan hidup liar di alam dan menyebar disekitar hutan, kebun dan lahan pekarangan. Individu lebah pekerja T. itama dengan mudah dijumpai di bunga-bunga tanaman yang sedang mekar dalam rangka ak�fitasnya mengambil nektar dan atau pollen. Hasil survey koloni T. itama yang hidup liar di alam Riau umumnya ditemukan di rongga-rongga pohon baik dipohon yang masih hidup maupun di pohon yang sudah ma�. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan bibit T. itama sebetulnya �dak terlalu sulit. Berikut diuraikan beberapa cara untuk memperoleh bibit T. itama antara lain:

A. Mengambil langsung koloni lebah yang sedang bersarang di alam.

T. itama sangat menyukai tempat yang teduh dengan berbagai jenis tanaman. Semakin banyak jenis tanaman maka akan semakin banyak populasi T. itama yang ditemui.

T.

itama sangat menyukai rongga-rongga pohon yang masih hidup maupun yang sudah ma�, ditandai dengan adanya material

yang menonjol pada batang berbentuk seper� cerobong berfungsi sebagai “pintu” keluar masuk koloni. Seandainya pohon tempat bersarang sulit kita temukan, maka yang diuraikan di bawah dapat membantu menemukan koloni lebah tersebut.

1.

Menggunakan Ikan asin

Ikan asin dibakar sampai aromanya menyebar dan tercium oleh T. itama. Gerombolan T. itama akan berdatangan menghampiri ikan asin

tersebut. Setelah aroma ikan asin hilang,

lebah akan kembali ke sarang. Saat itulah kita dapat mengiku� arah lebah pulang sehingga letak sarang

dapat diketahui dengan pas�.

2. Melukai batang pohon

Batang pohon dilukai dengan pisau/parang, batang yang terluka akan mengeluarkan getah dan akan mengundang koloni T. itama untuk datang mengambil getah yang keluar sebagai sumber resin. Ke�ka lebah kembali ke sarang, arah kembali lebah dapat diiku� untuk mengetahui keberadaan lebah tersebut.

Pemindahan koloni yang bersarang di rongga pohon ke lokasi tempat budidaya dapat

dilakukan dengan melihat kondisi pohon.

Apakah batang atau cabang yang berisi koloni lebah memungkinkan di potong atau �dak. (1). Seandainya memungkinkan di potong maka batang di potong sepanjang 50-100 cm tergantung besar kecilnya sarang

mereka.

Setelah di potong batang pohon dibiarkan di tempat semula sampai matahari terbenam

atau malam hari. Pada sore hari lebah-lebah pekerja yang sedang diluar mencari makan akan

kembali ke dalam sarang. Setelah koloni lengkap potongan batang dapat di pindah ke tempat yang diinginkan. Jika �dak memungkinkan di bawa malam hari,

maka potongan batang yang berisi koloni lebah tersebut

dimasukkan kedalam karung dan langsung di bawa ke tempat yang kita inginkan. Konsekuensinya, koloni lebah �dak sempurna karena

ada beberapa lebah pekerja yang sedang diluar akan ter�nggal. (2). Seandainya batang pohon �dak memungkinkan di potong maka sarang anakan (brood) yang terdapat pada rongga pohon dapat

dipindahkan langsung ke kotak pemeliharaan. Setelah sarang anakan berhasil dipindahkan ke kotak,

lubang masuk kotak diolesi cerumen sel atau memindahkan cerobong pintu ke lubang kotak agar lebah dapat mengenali koloninya. Kotak yang berisi sarang anakan ditempatkan terlebih dahulu di

tempat semula agar lengkap lebah pekerja yang berada di luar masuk ke dalam kotak. Setelah koloni lebah lengkap, kemudian

kotak tersebut dapat dipindahkan ke tempat yang diinginkan.

B.

Memancing dan Membuat Perangkap.

Perangkap terbuat dari ruas bambu yang diberi lubang pada bagian bawah dengan diameter 15 mm dan digantung ver�cal di cabang-cabang pohon yang agak terlindung (Gambar

Page 185: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

170

8). Lebah yang

masuk adalah koloni hasil penangkaran alami bukan koloni lebah yang bermigrasi. Koloni Trigona �dak mempunyai sifat yang suka migrasi ,

seper� genus Apis. Setelah bambu terisi koloni lebah maka bambu tersebut dapat di pindah ke lokasi yang diinginkan. Budidaya

dapat dilakukan dengan tetap menggunakan bambu tersebut sebagai tempat bersarang,

atau

sel-sel anakan (brood) dipindahkan ke

dalam kotak yang telah kita siapkan.

V. PERALATAN BUDIDAYA T. itama

Budidaya

T. Itama dilakukan dengan menggunakan kotak pemeliharaan (stup) yang terbuat dari kayu/papan (Gambar 9). Stup merupakan elemen pen�ng dalam budidaya T. Itama, agar mudah melakukan pemeriksaan koloni maupun saat panen. Cara membuat stup �dak sulit, cukup memotong papan, di bentuk kotak (kubus atau persegi panjang), di buat lubang pada salah satu sisi sebagai tempat keluar masuk lebah T. Itama, plas�k transpasan/mika pada bagian atas dan tutup atas (cover). Pelalatan dan bahan yang dibutuhkan untuk budidaya T. Itama berupa pelindung kepala, sarung tangan, pisau stenlis, penyedot madu, alat saring, nampan dan toples.

VI. MANAJEMEN KOLONI T. itama

A.

Beberapa Kemudahan Budidaya lebah T. itama

1.

Budidaya dengan cara menetap

Ukuran tubuh T. itama yang lebih kecil dari tubuh lebah A. mellifera dan A. cerana F memungkinkan mereka masuk ke kelopak bunga yang cukup kecil sehingga ketersediaan pakan T.

itama lebih beragam. Oleh karena itu budidaya T. itama �dak perlu digembalakan dan cukup ditempatkan di sekitar rumah (Gambar 10).

Gambar

8.

Perangkap

Bambu

A

C

Gambar

9.

A). Stup Ver�kal Keatas, B). Stup Bentuk kubus, C) Stup Ber�ngkat,

D). Stup Memanjang

D

B

Page 186: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

171

Lebah dari genus Apis,

misalnya A. mellifera

membutuhkan sumber nektar dan polen yang melimpah sebagai pakan. Jika ketersediaan pakan ini �dak lagi memadai, peternak lebah akan menggembalakannya mengiku� siklus pembungaan tanaman sumber pakan. Hal

sebaliknya justru terjadi genus

Trigona. T. itama

bukan lebah penghasil madu

yang utama

maka kebutuhan nektar dan polen �dak terlalu besar. Dengan sumber pakan yang terbatas, ia masih bisa bertahan hidup.

T. itama

lebih banyak menghasilkan propolis. Sehingga getah pohon harus dalam jumlah yang memadai. Getah berbagai pohon tetap tersedia sepanjang hari selama pohon tersebut hidup.

2.

Tidak perlu di pelihara secara itensif

Budidaya lebah T. itama

�dak sama dengan budidaya lebah A. mellifera atau A.

cerana

yang membutuhkan perha�an Khusus

dari pemiliknya.

Dalam budidaya T. itama cukup ditempatkan pada tempat teduh. Sarang bisa berupa satu ruas bambu yang dilubangi pada bagian bawah sebagai pintu, kotak kayu (papan) sederhana, atau silinder yang terbuat dari pohon aren.

T. itama adalah lebah liar yang biasa hidup bebas di alam dan mengurus sendiri seluruh kebutuhan hidupnya. Trigona akan mencari sendiri nektar, polen dan nutrisi lainnya. Dengan ketersediaan sumber pakan yang minim, T. itama

mampu bertahan dan �dak mudah

bermigrasi. Namun, yang perlu diperha�kan adalah ketersediaan pohon penghasil getah.

3.

Tidak perlu peralatan Khusus

Untuk membudidayakan A. mellifera,

dibutuhkan sejumlah peralatan, misalnya masker, alat pengasap, pisau, sikat lebah, pengungkit, kotak eram, kotak kawin, kotak starter, polen trap, tempat air, cadangan makanan (feeder frame),

serta ekstraktor. Budidaya

T. itama

�dak memerlukan peralatan, cukup menyediakan kotak budidaya, penutup

rambut, pisau panen untuk mengambil propolis dan penyedot madu untuk pemanenan madu.

4.

Tidak perlu takut di sengat

T.

itama adalah lebah berukuran sangat kecil dan �dak memiliki sengat. Ke�ka kotak di

buka untuk mengecek atau memanen propolis, masker sebagai pelindung dan alat pengasapan untuk mengusirnya

�dak diperlukan. Jika

mereka merasa terganggu, mereka

akan menggigit, tetapi gigitannya �dak sakit. T.

itama

juga punya kebiasaan mengerumuni rambut di kepala seseorang yang dianggapnya mengancam keberadaan koloninya. Saat itu

T. itama akan mengeluarkan propolis yang menempel di

rambut sehingga rambut perlu

ditutupi.

5.

Tahan hama penyakit

Sarang

T. itama

tertutup dengan lubang sempit, ditambah kondisi dalam sarang (cadangan madu,polen,dan royal jelly) dipenuhi propolis, sehingga

T. itama

tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang biasa ditemukan pada lebah Apis,

�dak dikenal pada kehidupan lebah T. itama. Hama yang kadang ditemukan pada sarang T. itama

adalah semut, namun jarang terjadi.

Gambar

10. Budidaya T.

itama Di sekitar BPTSTH, Kuok

Page 187: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

172

6.

Tidak mengenal masa paceklik

Masa paceklik atau produksi yang menurun pada budidaya lebah A. mellifera

biasa terjadi. Bahkan, masa paceklik sudah merupakan ru�nitas tahunan. Kondisi perubahan iklim, misalnya hujan hampir di sepanjang tahun,

masa paceklik panjang adalah risiko yang harus dihadapi.

Pada masa paceklik, ketersediaan nektar dan polen dari alam menurun di bawah kecukupan bagi koloni lebah. Nektar adalah karbohidrat sumber energi kehidupan lebah. Jika karbohidrat ini lebih dari kebutuhan hidupnya, lebah mengubahnya menjadi madu. Para peternak biasa menyediakan gula agar lebah tetap bertahan hidup dan �dak kabur. Sedangkan Pollen, merupakan senyawa protein yang digunakan oleh lebah untuk pertumbuhan dan perkembangan koloni. Jika ketersediaan polen minim maka pertumbuhan dan pertambahan koloni terhambat, bahkan terhen�.

Kesulitan ru�n yang biasa terjadi saat masa paceklik pada lebah genus

Apis, �dak berlaku untuk lebah T. itama.

Hal ini karena, 1). T.

itama

adalah lebah berbadan mini. Sehingga kebutuhan terhadap nektar dan polen �dak terlalu besar, 2).

T. itama bukanlah lebah yang memproduksi madu

sebagai hasil utama, sehingga �dak membutuhkan nektar dalam jumlah yang banyak, 3). T.

itama

mampu mengambil sumber nektar dengan

jenis

yang

beragam dan luas, 4). T. itama lebih suka untuk memproduksi propolis, diutamakan getah sebagai sumbernya yang rela�f tersedia sepanjang tahun.

7. Produk�vitas propolis lebih �nggi

Kemampuan T. itama

dalam memproduksi propolis lebih �nggi dibanding A. mellifera. Fenomena ini terjadi secara alamiah, karena T.

itama

adalah lebah yang lemah. Oleh karena itu,

sebagai bentuk pertahanan diri beserta koloninya, T. itama dianugerahi kemampuan

memproduksi propolis. Propolis ini akan melindunginya dari ancam an predator dan hama lainnya.

B. T. itama Sebagai Agen Penyerbuk Tanaman Proses penyerbukan tanaman terjadi apabila serbuk sari menempel pada kepala pu�k.

Serbuk sari yang menempel pada kepala pu�k bisa jadi berasal dari bunga itu sendiri atau dari bunga lain dari tanaman sejenis. Akan tetapi �dak semua tanaman berbunga mampu melakukan penyerbukan sendiri. Mereka memerlukan perantara yang dapat membantu proses penyerbukan, seper�: air, angin, serangga, burung dan kelalawar (Crene & Walker, 1984). Perantara

kelompok serangga yang paling efek�f membantu proses penyerbukan adalah suku Apidae marga Trigona (Free,

1993).

Gambar 11. Hubungan antara Lebah madu, tanaman dan manusia

Page 188: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

173

Tubuh yang mungil dengan dipenuhi bulu-bulu pada badan dan kaki-kakinya sangat efek�f untuk membawa pollen dan berpindah ke

kepala pu�k dalam proses penyerbukan pada tanaman. Banyaknya jenis dan luasnya sebaran lebah Trigona membuatnya banyak dimanfaatkan sebagai penyerbuk tanaman. Di Australia bagian utara, lebah Trigona digunakan untuk penyerbukan tanaman mangga (Mangifera indica), (Anderson dkk., 1982). Di Mexico, Amerika tengah dan Guiana Perancis Trigona

dimanfaatkan untuk peningkatan hasil panen Vanilla (Vanilla planifolia), (Schwarz 1984). Di Brazil, lebah Trigona digunakan untuk membantu penyerbuk Kluwih (Arthocarpus ar�lis), (Brantjes 1981). Produksi buah strawberi sebesar 15% dengan citarasa lebih manis dengan proses penyerbukan melibatkan peran lebah Trigona dapat meningkat (Erniwa�, 2013). Lebah Trigona berperan pen�ng dalam penyerbukan tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan, sehingga membantu proses regenerasi dan suksesi tanaman. Hambali,

(1979) mencatat 25.000 tanaman berbunga asal Indonesia proses penyerbukannya sangat tergantung pada kehadiran Trigona dan lebah lain. Banyak ilmuan menduga, bila lebah punah dari

muka bumi, maka 30% sumber pangan akan ikut menurun.

Di Indonesia, budidaya lebah madu sudah populer dan banyak dilakukan, namun berbeda untuk budidaya lebah Trigona. Budidaya

Trigona masih minim.

C.

T. itama Sebagai Penghasil Propolis

Propolis berbentuk padat namun lembut, lentur dan sangat lengket menyerupai aspal. Propolis merupakan campuran dari liur lebah dengan getah (resin) yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai jenis tanaman. Sumber getah dapat berasal dari bunga, pucuk (tunas) daun, dahan yang patah atau batang yang terluka. Warna propolis bervariasi dari kuning terang, coklat kemerahan hingga hijau tergantung sumber tanamannya. Di daerah Riau, propolis T. itama yang paling sering dijumpai yang berwarna coklat gelap cenderung hitam. Substansi (propolis) tersebut oleh lebah digunakan sebagai bahan perekat sarang dan senjata untuk melindungi diri dari berbagai gangguan seper� bakteri, cendawan, maupun virus.

Letak propolis pada sarang terletak di pintu masuk sarang dan di seluruh tepian sarang yang biasanya tersimpan dengan pola zig zag (Gambar 12). Pola zig zag ini merupakan cara penyimpanan propolis yang efek�f untuk mengisi celah, menyumbat jalan masuk ke sarang. Lapisan �pis yang menyelimu� sel-sel larva dan sel-sel madu juga merupakan propolis. Propolis juga berperan sebagai filter alami yang melindungi sarang lebah dari udara luar yang dapat mengancam kehidupan koloni lebah. Propolis juga menjadi lapisan an�sep�k yang dilalui oleh lebah, sehingga lebah seper� “baru mandi” se�banya di pusat sarang yang steril.

Potensi propolis sebagai obat sudah banyak diungkap oleh banyak ilmuan dan terbuk� dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan an�oksidan pada propolis sangat �nggi yaitu 9.674 atau 403 kali lebih banyak dibandingkan dengan jeruk, dan kandungan fenolnya 135,68 atau 320 kali lebih banyak dibandingkan apel merah (Trubus, 2010). Dikatakan oleh

Gambar 12.

Raw Propolis pada sarang

(pola zig zag)

Page 189: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

174

Hasan

(2006) bahwa propolis Trigona spp

mempunyai daya hambat bakteri sekitar 1,5-2 kali lipat dibandingkan propolis lebah bersengat (Apis), dan mengandung an�bio�c golongan ampisillin 10 mg/Kal. Menurut Moppatoba S dalam

Trubus (2010) Propolis Trigona mengandung flavonoid 4%, sedangkan Apis hanya 1,5% dan jauh diatas standar internasional yang hanya 1%. Hasil peneli�an Mustofa tentang Nutrisi Propolis dalam Trubus (2010) propolis mengandung lebih dari 180 unsur fitokimia, beberapa diantaranya adalah flavonoid berbagai turunan asam carbonat, fitosterol dan terpenoid. Zat tersebut di atas terbuk� memiliki sifat an�inflamantesi, an�microbial, an�histarmin, an� mutagenic dan an� alergi. Flavonoid bersifat an� oksidan yang dapat mencegah infeksi serta turut menumbuhkan jaringan.

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi raw propolis T. itama dengan memanipulasi udara dan cahaya pada salah satu sisi bagian stup. Hasil uji penggunaan propolis trap dari bahan plas�c sreamin yang dipasang di sisi bagian samping ternyata dapat meningkatkan produksi raw propolis kering sebanyak 34,840 gram/koloni sampai 37,203 gram/koloni sedangkan penggunaan propolis trap dari bahan plas�c transparan dapat meningkatkan produksi raw propolis sebanyak 11,096 gram/koloni sampai 12,85 gram/koloni dibandingkan dengan produksi dari stup tanpa propolis trap (kontrol).

VII. PROSPEK PASAR DAN ANALISA PENDAPATAN BUDIDAYA T. itama

Berdasarkan uraian di

atas, dapat disimpulkan bahwa produk utama dari budidaya lebah T. itama

adalah propolis. Dalam satu koloni, propolis dan madu Trigona

dilakukan

se�ap 3 bu-lan sekali, panen propolis mentah kisaran 300gr

-

400gr/koloni/3 bulan, panen madu antara 250-300 ml/koloni/3 Bulan. Harga raw propolis Trigona saat ini berkisar Rp 400.000,-/Kg sedangkan harga 1 liter madu T.

itama

pada saat ini berkisar Rp

250.000,-. –

Rp

300.000,-/kg.

Dari analisa pendapatan budidaya T. itama yang dilakukan (Tabel

2), dengan mengeluarkan biaya Rp

1.550.000,-

dalam satu tahun, akan diperoleh keuntungan sebesar Rp

350.000,-

dengan �ngkat

efisiensi RCR (Return Cost of Ra�o)

budidaya T. itama sebesar sebesar RCR 1,23 ar�nya adalah budidaya T. itama sangat efisien dan layak untuk dilakukan.

Gambar 13. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping dengan menggunakan plas�c strimin)

Gambar 14. Modifikasi Stup (Sisi bagian samping

dengan menggunakan plas�c mika)

Gambar 16.

Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas�c

mika)

Gambar 15. Modifikasi Stup (Sisi bagian atas dengan menggunakan plas�c strimin)

Page 190: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

175

Tabel

2. Analisis Usaha Tani Budidaya lebah T. itama

NO

URAIAN

VOLUME

HARGA

SATUAN

NILAI (Rp)

PERSEN

(%)

A

BIAYA

1

Pengadaan Koloni

795.000

51,29

Koloni Trigona itama

3

Koloni

200.000

600.000

Stup

3

Buah

50.000

150.000

Standar Stup

3

Buah

15.000

45.000

2

Peralatan Budidaya

325.000

20,97

Penutup Kepala

1

Buah

300.000

300.000

Sarung Tangan

1

Buah

25.000

25.000

3

Peralatan Panen/ Pasca

Panen

430.000

27,74

Penyedot Madu

1

Buah

200.000

200.000

Pisau Stainless

1

Buah

50.000

50.000

Alat Saring

1

Buah

55.000

55.000

Nampan

1

Buah

50.000

50.000

Topless Madu Trigona 75 ml

5

Buah

15.000

75.000

Total Biaya

1.550.000

100,00

B Pendapatan Kotor

- Penjualan Raw Propolis 3 Kg 400.000 1.200.000 63,16 - Penjualan Madu T. itama 2 Liter 250.000 500.000 26,32 -

Penangkaran Koloni T.itama

1

Koloni

200.000 200.000

10,53

Total Pendapatan Kotor

1.900.000

100,00

C

Pendapatan Bersih

350.000

D

RCR

1,23

VIII. PENUTUP

Budidaya T. itama mudah dilakukan karena �dak membutuhkan tempat Khusus, mudah beradaptasi dan �dak tergantung musim berbunga. Tanaman pakan Trigona itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan -lahan disekitar tempat �nggal, Khususnya di pedesaan. Produk utamanya yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih �nggi dibandingkan produk dari lebah Apis. Hasil analisa

pendapatan budidaya T. itama disimpulkan bahwa lebah T. itama adalah layak untuk dikembangkan dan dapat menjadi kegiatan usaha yang menjanjikan bagi masyarakat.

Page 191: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

176

DAFTAR PUSTAKA

Anderson,

D.L., M. Sedgley., J.R.T. Short & A.J. Allwood 1982.

Insect Pollina�on of Manggo in Northern Australia. Aust.J. Res.33. 541-548.

Brantjes, N.B.M. 1981. Nectar and Pollina�on of bread fruit Artocarpus al�lis. Morales. Acta Bot. Neerl (4): 345 -

352.

Crane,

E & P. Walker. 1984. Pollina�on directory for world crops. Interna�onal Bee Research Associa�on, London: 183 PP.

Eckert, J.E. & F.R. Shaw. 1977. Beekeeping, Mac Millan Publishing Co Inc, New York: ix + 536 PP.

Erniwa�., 2013. Kajian Biologi Lebah Tak Bersengat (Apidae

: Trigona) di Indonesia. Fauna Indonesia Vol. 12 (1), 29-34.

Fearnley, J. 2001. Bee Propolis : Natural Healing From The Hive. Souvenir Press Ltd, London.

Free,

J.B. 1982. Bees and Mankind . George Allen & Unwin, London: xi +455 PP

Free,

J.B. 1993. Insect Pollina�on of Crops. Academic Press, London, 544 PP

Hasan,

A.E.Z. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp Sebagai Bahan An�bakteri. Seminar Nasional HKI: Bogor.

Hambali, G.G. 1979. Potensi Lebah Getah Trigona. Dalam Kongres Nasional Biologi IV. Perhimpunan Biologi, Indonesia Bandung: 1 -

10.

Inoue, T.S.F. Sakagami., S.Salmah & S. Yamane. 1984. The Process of Colony Mul�plica�on in the Sumatera S�ngless bees Trigona (Tetragonula) leeviceps.

Michener, C.D. 1974. The Social Behavior af The Bees: A Composa�ve Study. The Belknap Press of Havard University Press, Cambridge: xii + 312 PP

Sakagami, S.F., T.Inoue., S. Salmah. 1990 S�ngless Bees of Central Sumatera in: Ohgushi R.,

Sakagami,S.E and Roubik, D.W. (Eds). Natural History of Social Bees in Eguatorial Sumatera. Hokaido University Press, Japan. 125-137 P.

Sakagami, S.F, 1982. S�ngles Bees in: H.R. Herman (ed) 1082. Social Insects. Academic Press, New York.

Salmah, S. 1983 Aspek Morphologi dan Ekologi lebah tak bersengat Trigona (Tetragonula) leaviceps smith di Sumatera Barat in: Prosiding Kongress Entomologi II, Jakarta.

Schwarz, H.Z.1984. S�ngless bees (Meliponinae) of The Western Memisphone Bult. Am. Mus.

Nat. Hist 90: XVIII + 546 pp.

Trubus EXO, 2010, Propolis dari Lebah Tanpa Sengat Cara Ternak dan Olah,. Trubus Swadaya, Depok.

Page 192: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

177

PETUNJUK TEKNIS MENDAPATKAN BIBIT/ KOLONI

Apis cerana

UNTUK DIBUDIDAYAKAN

Suhendar, Syasri Janne�a

dan Lolia San�

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Indonesia dikenal memiliki potensi yang cukup besar dalam pengembangan perlebahan yang berupa kekayaan sumber daya haya� seper� berbagai jenis lebah asli Indonesia,

beranekaragam jenis tumbuhan sebagai sumber pakan lebah serta kondisi agroklimat tropis. Selain itu Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah hutan (Apis dorsata)

(Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).

Dari aspek lingkungan tempat hidup komponen yang mempengaruhi serangkaian

ak�vitas lebah dalam memproduksi madu dan produk lainnya yakni. Pertama kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi ak�vitas lebah dalam mengumpulkan nektar serta kualitas dan kwan�tas nektar yang disekresikan sumber pakan lebah. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi produksi madu antara lain curah hujan, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan kelembaban udara.

Kedua ketersediaan

pakan. Semua jenis tanaman berbunga (tanaman hutan, tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman hor�kultura dan tumbuhan liar) yang mengandung unsur nectar sebagai bahan baku madu, tepung sari dan propolis merupakan sumber makanan utama lebah. Nectar merupakan cairan yang kaya kandungan berbagai jenis gula (sukrosa, glukosa dan fraktosa) yang disekresikan oleh tumbuhan pada bagian bunga atau selain bunga. Nectar yang disekresikan pada organ tumbuhan selain bunga disebut nectar ekstraflora. Acacia sp mensekresikan nectar ekstrakfloranya pada bagian pangkal daun (Hadisoesilo dan Kuntadi, 2007).

Selama ini masyarakat kita memandang lebah hanya sebagai binatang penghasil madu (Belum menghargai lebah sebagai makhluk Tuhan yang mendapatkan wahyu).Sejak dimulainya sejarah manusia, telah termuat dalam semua kitab suci umat beragama tertera di ayat ayat kitab suci mengenai himbauan untuk umat manusia memanfaatkan produk lebah madu, bagi kesehatan kita masing-masing, seper� Zabur, Taurat, Injil dan Al Qur’an mengenai hasil lebah sebagai sumber makanan alami yang mengagumkan.

Dalam

Surat

An Nahl:

68. “Dan Tuhan mewahyukan kepada lebah “Bersaranglah di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan pada bangunan-bangunan lainnya yang dibuat oleh manusia“

69. “Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaranTuhan) bagi orang-orang yang memikirkan“

Pada surat An-Nahl dapat diambil makna sbb:

1.

Lebah adalah satu-satunya binatang yang memperoleh wahyu dari Tuhan.

2.

Makna kata Wahyu disini sangat dalam, karena sesuai petunjuk-NYA lebah diberi jalan Allah untuk mengambil sari buah-buahan sehingga terjadi penyerbukan tanaman dan terjadi pembuahan yang akan terjadi penyerbukan tumbuhan di dunia untuk mendukung kehidupan manusia di bumi (sumber makanan dan oksigen)

Page 193: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

178

3.

Pada saat lebah terbang kembali kesarangnya, Tuhan menggariskan

jalan sehingga lebah �dak pernah tersesat atau bingung dalam menempuh jalan kembali kesarangnya, meskipun letak dan jarak bunga-bungaan sangat bervariasi se�ap saat.

4.

Makanan berupa nectar dan pollen yang di bawa pulang lebah kesarangnya, selain bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan lebah sendiri, juga merupakan obat yang mujarab dan menyembuhkan bagi manusia, karena mengandung semua unsur makanan&berbagai enzim dan hormone yang diperlukan oleh tubuh manusia.

5.

Hal-hal tersebut merupakan kebesaran Tuhan bagi orang-orang yg memikirkannya.Mudah-mudahan kita semua termasuk golongan ini.

Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah antara lain madu, lilin lebah

(beeswak),

tepungsari

(beepollen),

propolis,

royaljelly,

dan

sengatan

lebah

(beevenon)

sedangkan manfaat �dak langsung,

yang �dak kalah pen�ngnya yaitu membantu proses penyerbukan

(Sarwono, 2001).

II.

CARA MENDAPATKAN BIBIT/KOLONI Apiscerana

A.

Menangkap langsung atau berburu di

alam

Menangkap langsung atau berburu dialam yaitu menangkap koloni lebah yang hidup liar dialam, biasanya dirumah-rumah, pohon-pohon atau di gua batu.Apabila perburuan lebah dilakukan pada tempat yang jauh maka diperlukan peralatan sebagai berikut: Kurungan Ratu, Kotak Baru (seper� kotak eram tetapi hanya cukup 3 -5 sisiran), Kain kasa hitam berbentuk kerucut (seper� jaring) dan Masker Perburuan dengan membawa peralatan tersebut bisa mendapatkan koloni dalam jumlah banyak.

Gambar 1.

Apis cerana Bersarang di dinding rumah

Gambar 2.

Apis cerana Bersarang di dalam gudang

Gambar 3.

Apiscerana

bersarang di pohon yang lapuk

B.

Memasang glodok atau perangkap lebahApis cerana

Glogok merupakan alatataukotak yang dipasang

untuk

memancing

lebah agar bersarang didalamnya sehingga memudahkan dalam mendapatkan bibit/koloni lebah.

Gelodog terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing -masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang leba h.

Page 194: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

179

Gambar 4.

Glodok (perangkap lebah)

Glodok terbuat dari batang kelapa/randu yang dibelah menjadi dua bagian yang sama, kemudian masing-masing belahan diambil bagian dalamnya sehingga apabila kedua belahan tersebut disatukan kembali akan terbentuk rongga. Rongga inilah tempat bersarang lebah

1.

Cara Membuat Gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana

a.

Pilih Pohon/Batang Kelapa yang sudah tua

Pohon/Batang kelapa harus yang sudah tua agar tahan lama, �dak mudah berjamur dan berkerut. b. Batang Kelapa dibelah dan dilubangi pada kedua belah sisinya

Untuk melubangi atau membelah pohon/batang kelapa dapat dilakukan dengan

menggunakan chainsaw dan pahat.

c.

Batang Kelapa yang telah dilubangi dijemur di bawah terik matahari

Page 195: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

180

d.

Batang Kelapa yang telah dijemur di bakar/diasapi

Tujuan pohon/batang kelapa dibakar atau diasapi antara lain:

1.

Membersihkan/atau merapikan serabut-serabut pohon/batang kelapa yang masih tersisa.

2.

Agar menimbulkan aroma khas pohon/batang kelapa yang disukai oleh koloni lebah Apis cerana.

Sebelum gelodog di pasang perlu dipersiapkan hal-hal antara lain:

a.

Pada sisi bagian bawah gelodog yang akan dipasang harus dibuat lubang agar air hujan �dak tergenang apabila gelodog telah dipasang nan�nya.

b.

Gelodog baru hendaknya dilumuri dengan lilin lebah terlebih dahulu.

c.

Siapkan tali atau kawat untuk menggantungkan gelodog di lokasi.

d.

Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya di daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pa kan lebah.

e.

Ikat gelodog dengan kawat/tali untuk memudahkan menggantungkan gelodog di

lapangan.

2.

Cara menempatkan gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana di lapangan

Tempatkan gelodog pada lokasi yang diperkirakan terdapat habitat lebah biasanya d i

daerah perlintasan lebah maupun daerah yang tersedia pakan lebah.

Bagan pemilihan lokasi untuk penempatan gelodog di lapangan

Page 196: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

181

Apabila gelodog telah berisi biarkan beberapa lama,

apabila koloni telah stabil baru dipindahkan ke kotak budidaya (stup).

3.

Cara memindahkan koloni Apis cerana dari gelodog atau perangkap Lebah Apis Cerana ke dalam stup

Untuk memindahkan Koloni Apis cerana dari perangkap lebah (gelodog) ke kotak budidaya (stup) bisa diiku� langkah-langkah sebagai berikut:

a.

Letakkan glodok di samping kotak yang akan ditempatkan koloni baru

b. Balikkan glodok dengan ha�-ha� yaitu memutar posisi glodok yang semula di atas diletakkan di bawah

c.

Asapi koloni dengan menggunakan smoker secukupnya

d.

Ambil ratu secara ha�-ha� dan masukkan dalam kurungan ratu.

e.

Ikatlah kurungan ratu pada permukaan bawah bingkai, masukkan ke dalam kotak budidaya.

f.

Pilihlah sarang dalam keadaan baik (ada telur, anakan, polen, madu) dan di potong secara ha�-ha� supaya �dak rusak.

Page 197: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

182

g.

Sisiran sarang yang sudah terlepas di ikat dengan menggunakan tali raffia dan dimasukkan satu demi satu ke dalam kotak lebah. Usahakan bingkai terpenuhi oleh sisiran, bila sisiran masih kurang maka potongkan sisiran yang lain.

h.

Masukkan seluruh lebah ke dalam kotak lebah

i.

Lebah-lebah yang masih ter�nggal biarkan masuk sendiri ke dalam kotak lebah. Setelah seluruhnya masuk tutuplah kotak dan letakkan pada tempat yang telah disediakan.

j.

Apabila pada sarang �dak dijumpai

madu, maka diberikan s�mulasi gula

k.

Satu hari kemudian kurungan ratu dapat di buka (setelah lebah dalam keadaan tenang)

l.

Tidak disarankan memotong sayap ratu karena bila koloni pindah maka ratu akan jatuh dan ma�. Sehingga koloni yang pindah �dak mempunyai ratu.

m.

Selama beberapa hari (3-5 hari) janganlah kotak lebah dipindah-pindah sebelum sarang lebah melekat betul pada bingkainya

Page 198: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

183

n.

Pintu jangan di buka seluruhnya, kurang lebih 3-5 cm. Jika lebah telah tenang dan konstan pintu dapat di buka seluruhnya.

C.

Membeli koloni (paket)

Membeli koloni (paket) dari apiari yang menjual bibit lebah, biasanya dijual dalam kondisi lengkap dengan kotak pemeliharaannya (stup).

III.

PE

NUTUP

Alam Indonesia sangat mendukung dalam pengembangan perlebahan,

selain itu menurut Hadisoesilo dan Kuntadi,

2007

Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang termasuk daerah penyebaran lebah madu hutan (Apis dorsata).

Manfaat langsung yang dapat dihasilkan dari lebah madu antara lain madu,

lilin lebah (beeswak),

tepung sari (beepollen),

propolis,

royal jelly dan sengatan lebah (beevenon) sedangkan manfaat �dak langsung adalah membantu proses penyerbukan tanaman.

Dalam rangka pengembangan perlebahan ada beberapa cara untuk mendapatkan koloni Apis cerana,

antara lain: menangkap langsung atau berburu di alam, memasang glodok atau perangkap lebah Apis cerana

dan yang paling mudah membeli koloni (paket).

DAFTAR PUSTAKA

Hadisoesilo S. dan Kuntadi, 2007. Kearifan Tradisional dalam ”Budidaya” Lebah Hutan ( Apis dorsata), Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.

Page 199: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

184

Page 200: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

185

TEKNIS PENGELOLAAN ARBORETUM BPTSTH KUOK

Agus Winarsih dan Sunarto

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Arboretum berasal dari kata arbor yang berar� pohon dan retum yang berar� kebun, sehingga arboretum dapat dikatakan sebagai kebun pepohonan. Dalam ar� luas arboretum didefinisikan sebagai kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam sedapat mungkin mengiku� habitat aslinya dan dimaksudkan sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya� dan sedikitnya dapat memperbaiki atau menjaga kondisi iklim disekitarnya. Selain itu arboretum juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu�ah yang diwujudkan dalam bentuk koleksi atau kumpulan pepohonan hidup baik yang di bangun melalui penanaman maupun pertumbuhan secara alami seper� di hutan alam. Namun arboretum dapat disiasa� memiliki fungsi yang lain. Pembangunan arboretum juga ditujukan sebagai bentuk lain dari konservasi sumberdaya haya� ex-situ yang aman dan efisien dalam pelestarian sumber daya gene�k.

Konservasi ex-situ dapat berfungsi menyelamatkan jenis-jenis langka atau yang �dak dapat tumbuh dan berkembang secara normal di lingkungan alaminya, sehingga populasi dari jenis-jenis tersebut terjamin kelestariannya. Sedangkan menurut Riskawa� (2010) arboretum sangat layak untuk dijadikan objek wisata eduka�f karena didalamnya para pengunjung dapat mempelajari beraneka ragam spesies flora bahkan fauna yang terdapat di dalam arboretum. Selain itu keberadaan arboretum juga dimanfaatkan sebagai sarana konservasi plasma nu�ah, wisata ekologi, laboratorium alam, pendidikan, peneli�an dan pengembangan. Salah satu upaya dalam menginformasikan potensi arboretum BPTSTH Kuok Khususnya teknik pengelolaan dan mengenal jenis-jenis tanaman.

II.

SEJARAH SINGKAT ARBORETUM BPTSTH

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) pada awalnya adalah Stasiun Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu (P2LM) yang dibangun oleh PT. Caltex Riau pada Tahun 1984, kemudian dihibahkan ke Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Riau pada tahun 1985 yang pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Riau. Pada tahun 1986 Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyerahkan P2LM kepada Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan untuk kegiatan Proyek Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu. Pada Tahun 1992 pengelolaannya dilimpahkan ke Balai Peneli�an Kehutanan Pematang Siantar dan pada tahun 1998 ditetapkan menjadi Wanariset II Kuok. Pada Tahun 2002 Wanariset II Kuok ditetapkan menjadi Loka Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (LP2HHBK). Berdasarkan kebijakan Depertemen Kehutanan yang dituangkan dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut -II/2006 tanggal 2 Juni 2006 LP2HHBK diubah menjadi Balai Peneli�an Hutan Penghasil Serat (BPHPS). Pada tahun 2011 BPHPS berubah menjadi BPTSTH sebagaimana Permenhut No P.33/Menhut -II/2011 tanggal 20 April 2011.

Page 201: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

186

Kawasan BPTSTH seluas 9 ha, terdiri atas bangunan gedung kantor, perpustakaan, laboratorium, mess, perumahan karyawan, persemaian dan arboretum. Arboretum dibangun bersamaan dengan ditetapkannya sebagai Stasiun Peneli�an dan Pengembangan Lebah Madu. Koleksi tanaman pada saat itu didominasi oleh jenis buah-buahan untuk pakan lebah seper� kapuk, pinang, rambutan, jambu, durian, nangka dan tanaman hias. Saat ini arboretum sedang dilakukan penataan dan pengembangan yang diarahkan pada penataan ruang, infrastruktur, sarana dan prasarana, pengayaan koleksi vegetasi terutama jenis lokal, jenis kayu serat, jenis langka dan tanaman buah-buahan.

III.

KONDISI BIOFISIK

Arboretum berada dalam areal kompleks perkantoran BPTSTH Kuok, dengan total luas sekitar 7,6 ha. Secara administra�f berlokasi di Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Areal ini berada pada ke�nggian ± 87 m di atas permukaan laut, secara geografis terletak pada 0O19’06” LU dan 100O57’53” BT. Berdasarkan peta klasifikasi tanah, areal arboretum tergolong jenis t anah Kandidults, Dystropepts dan Hapludox dengan bahan induk dari batuan halus dan kasar dengan pH masam. Topografi datar sampai berombak, rata-rata curah hujan ± 2103,6 mm/tahun dengan rata -rata jumlah hari hujan 133,8 hari termasuk �pe iklim A, suhu udara maksimum dan minimum rata-rata 34.8OC-20.14O C (Stasiun Klimatologi Simpang Tiga Pekanbaru).

Areal arboretum terdiri atas beberapa blok berdasarkan jenis vegetasi yang dikoleksi:

1. Blok A seluas 0,78 ha, adalah koleksi dari family Dipterocarpaceae. 2. Blok B seluas 0,69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae. 3. Blok C seluas 1,94 ha, adalah koleksi dari famili Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae,

Myrtaceae dan kelompok jenis tanaman serat. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman monumental.

4. Blok D seluas 0,97

ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis tanaman serat.

5.

Blok E seluas 2,07 ha, adalah koleksi dari famili Pinaceae, Verbenaceae, Pa lmae dan Meliaceae. Sebagian areal dalam blok ini diperuntukan sebagai lokasi penanaman tanaman langka.

6.

Blok F seluas 1,15 ha, adalah koleksi vegetasi lahan basah/rawa dari famili Dipterocarpaceae dan jenis tanaman serat seper� mahang, terentang dan gerunggang. Blok ini arealnya tergenang air sehingga digolongkan sebagai lahan basah (rawa).

IV.

TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan terwujudnya fungsi dan peranan arboretum BPTSTH yang mul�fungsi dan bermanfaat dalam menunjang kegiatan peneli�an,

pendidikan,

dan sasaran pengelolaan arboretum yaitu: Terpeliharanya tanaman koleksi di arboretum BPTSTH,

Terpeliharanya sarana dan prasarana yang ada, serta terpeliharanya lingkungan arboretum dan bertambahnya koleksi tanaman.

Page 202: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

187

V.

JENIS KEGIATAN PENGELOLAAN

A.

Pemetaan batas areal arboretum, pengukuran tofografi, penataan batas blok berdasarkan fungsinya, sehingga di peroleh peta situasi areal arboretum

B.

Menginventarisasi jenis-jenis vegetasi dan melakukan pengayaan. Kegiatan pengayaan jenis tanaman dilakukan secara periodik. Penanaman pohon monumental dilakukan pada momen-momen tertentu misalnya hari bersejarah, ada pejabat dari pusat dan daerah atau dari instansi lain.

C.

Iden�fikasi jenis vegetasi untuk mengetahui nama ilmiahnya (botanis).

D.

Pemasangan papan informasi di areal arboretum, sebagai panduan bagi pengunjung untuk memudahkan se�ap pengguna pada saat berada di arboretum

E.

Pemeliharaan ru�n areal arboretum dan perawatan tanaman koleksi , melipu�:

1.

Pemeliharaan areal arboretum melipu� pembersihan lantai hutan arboretum dari ran�ng-ran�ng kayu dan semak belukar (pemangkasan rumput) di sekitar drainase dari ran�ng-ran�ng yang menyumbat aliran air yang dilakukan secara ru�n se�ap hari.

2.

Perawatan tanaman koleksi dilakukan dengan pemupukan menggunakan pupuk kandang 2 x

dalam setahun dan mengunakan pupuk buatan 2 x dalam setahun sehingga dalam setahun dilakukan pemupukan sebanyak 3 bulan sekali dengan selang-seling antara pupuk kandang dan pupuk NPK, pemangkasan dilakukan pada tanaman yang dianggap menggangu/menutupi tanaman yang berumur muda jenis toleran terhadap cahaya, penyulaman dilakukan dengan mengan�kan tanaman yang telah dianggap ma� atau terserang hama/penyakit serta pendangiran di Khususkan untuk jenis yang berumur muda.

3. Sterilisasi bagi jenis yang berada di sekitar bangunan, serta tanaman yang terserang hama/penyakit. Sterilisasi disesuaikan dengan kemungkinan kerusakan yang akan di�mbulkan, misalnya dengan pemotongan hanya di beberapa cabang yang mengganggu bangunan atau dapat dilakukan penebangan pohon yang dikhawa�rkan akan roboh dan menimbulkan kerusakan yang besar terhadap bangunan.

4.

Pengumpulan benih dari koleksi tanaman arboretum dilakukan guna memperbanyak koleksi bibit di persemaian. Benih dikumpulkan dan di semaikan di persemaian kemudian pemeliharaannya diserahkan ke pengelola persemaian. Benih di catat kapan dipungutnya, dilokasi mana, jenis apa dan dihitung jumlahnya. Sehingga diketahui kapan musim berbuah dari masing-masing pohon yang tumbuh di arboretum.

F.

Penataan dan pengembangan arboretum mul�fungsi

Pembangunan dan pengelolaan arboretum BPTSTH merupakan kegiatan yang dilakukan

secara bertahap dan memerlukan waktu yang �dak singkat. Pemetaan dan pembagian blok yang dilakukan pada tahun 2008 merupakan awal dari penataan arboretum yang dilanjutka n dengan penanaman beberapa jenis koleksi ekso�k dan pengurangan pohon yang jumlahnya banyak dengan tujuan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada penanaman koleksi berikutnya.

Untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul�fungsi dapat di buat sa tu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas u�litas, wisata eduka�f dan sirkulasi (Baskara dkk, 1998).

1.

Konsep tata ruang

Konsep tata ruang arboretum BPTSTH dibagi menjadi blok tanam (Nurrohman, 2011) yaitu:

Page 203: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

188

a.

Blok A seluas 0.78 ha, adalah

merupakan koleksi dari family Dipterocarpaceae dan sebagian kecil diperuntukan untuk blok monumental.

b.

Blok B seluas 0.69 ha, adalah koleksi dari family Leguminosae, Myrtaceae dan Thymelaceae.

c.

Blok C seluas 1.94 ha, adalah

koleksi dari family Araucariaceae, Bombaceae, Leguminosae, Myrtaceae dan jenis tanaman serat.Sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman monumental.

d.

Blok D seluas 0.97 ha, adalah koleksi jenis lokal, jenis komersil, jenis pakan lebah dan jenis penghasil serat.

e.

Blok E seluas 2.07 ha,

merupakan koleksi dari family Pinaceae, Verbenaceae, Palmae, Meliaceae. Pada tahun 2015 sebagian areal diperuntukkan sebagai lokasi penanaman tanaman langka.

f.

Blok F

seluas 1,15 ha adalah koleksi jenis lahan basah/rawa

dari family Dipterocarpaceae

dan jenis penghasil serat seper� mahang, terentang dan gerunggang.

2.

Konsep tata hijau

Konsep ini didasarkan atas fungsi tanaman yang disesuaikan dengan fungsi ruang, kebutuhan dan kondisi tapak. Adapun dua fungsi

utama

yang

dapat diwujudkan

pada konsep tata hijau yaitu

fungsi pelestarian dan fungsi este�ka.

3.

Konsep fasilitas dan u�litas

Beberapa fasilitas dan u�litas yang telah ada pada areal arboretum adalah papan nama BPTSTH, papan nama arboretum, peta arboretum, jalur tracking, label ta naman dan lampu taman. Namun untuk pengembangan sebagai arboretum yang mul�fungsi (ekowisata) diperlukan beberapa fasilitas penunjang lainnya seper� papan informasi untuk deskripsi jenis, papan nama di se�ap blok, rambu-rambu penunjuk jalan dan tempat sampah. Pemeliharaan dan perawatan fasilitas yang ada juga perlu terus dilakukan sebagai bentuk pengelolaan arboretum.

4.

Konsep wisata eduka�f

Konsep wisata eduka�f yang diterapkan pada arboretum BPTSTH yaitu konsep dimana dapat menjangkau kalangan pelajar

baik di �ngkat SD dan SLTP. Tahap awal kegiatan tersebut telah dilakukan pada bulan Maret tahun 2013 serta akan dilanjutkan se�ap tahunnya. Seper� bulan Agustus 2015 yang lalu Arboretum BPTSTH melakukan Edu Fun Games merupakan suatu kegiatan Edukasi Lingkungan yang melibatkan siswa SD di Kecamatan Kuok. Dalam kegiatan tersebut 30 orang siswa di bawa untuk mengelilingi jalur tracking sambil mengenal berbagai pepohonan dan morfologinya, melakukan praktek penanaman serta meningkatkan pengetahuan mengenai l ingkungan (pembuatan kompos, pengenalan sampah organik dan anorganik). Kegiatan edukasi lingkungan ini di kemas dalam bentuk observasi/pengamatan, rekrea�f dan uji krea�fitas.

5.

Konsep sirkulasi melipu� sirkulasi pejalan kaki (jalur tracking) dan sirkulasi kendaraan.

G.

Pelabelan pada semua koleksi vegetasi. Contoh label pada pohon koleksi.

Nama Ilmiah

Family

Nama Lokal/Daerah

Acacia mangium Willd.

Leguminosae

Akasia

Page 204: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

189

H.

Kegiatan pengelolaan arboretum kedepannya masih perlu di�ngkatkan baik dengan mengintensi�an pemeliharaan areal arboretum, antara �m manajemen, sumber daya

manusia yang terampil dan tersedianya dana yang mamadai, perbaikan sarana dan fasilitas yang ada, perawatan tanaman koleksi, penataan areal dan �ndak lanjut pengembangan konsep perencanaan (perpaduan konsep tata ruang, tata hijau, fasilitas dan u�litas dan sirkulasi) untuk mendukung fungsi-fungsi arboretum yang diharapkan.

VI.

DAFTAR KOLEKSI VEGETASI ARBORETUM BPTSTH

Hasil iden�fikasi jenis yang telah dilakukan di areal arboretum ditemukan 137 jenis tanaman yang tergabung dalam 41 famili, sedangkan yang

belum teriden�fikasi ±60 jenis lagi.

No

Nama Daerah

Nama Ilmiah

Family

1

2

3

4

1

Akasia

Acacia mangium Willd.

Leguminosae

2

Alpukat

Persea americana Miller

Lauraceae

3

Angsana

Pterocarpus indica Willd.

Leguminosae

4

Araukaria

Araucaria sp.

Araucariaceae

5

Asam Jawa

Tamarindus indica Linn.

Leguminosae

6

Balam

Palaqium obovatum (Griffith) Enql.

Sapotaceae

7

Balangeran

Shorea balangeran (Korth.) Burck

Dipterocarpaceae

8

Bambu Hijau

Gigantochloa nigrociliata Kurz.

Gramineae

9

Bambu Kuning

Bambusa vulgaris Schrad.

Gramineae

10 Bambu Tali Gigantochloa apus Kurz. Gramineae

11 Bangkinang Elaeocarpus glaber Elaeocarpaceae 12 Bayur Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae 13 Belimbing Manis Aveirhoa carambola Linn. Oxalidaceae 14

Belimbing Sayur

Aveirhoa bilimbi Linn.

Oxalidaceae

15

Benuang

Octomeles sumatrana Miq.

Da�staceae

16

Bintangur

Calophyllum inophyllum L.

Clusiaceae 17

Bunga Kupu-Kupu

Bauhinia acuminata Linn.

Leguminosae

18

Bungur

Lagerstroemia speciosa Pers.

Lythraceae

19

Cempedak

Artocarpus champeden Spreng.

Moraceae

20

Damar Mata Kucing

Shorea javanica Koord. & Valeton.

Dipterocarpaceae

21

Dolok

Fordea splendidissima

Papilionaceae

22

Durian

Durio zibethinus Murr.

Bombaceae

23

Duwet

Euginia cuminii Merr.

Myrtaceae

24

Eboni

Diospyros celebica Bakh.

Ebenaceae

25

Cempaka

Michelia campaka L.

Magnoliaceae

26

Ekaliptus

Eucalyptus sp.

Myrtaceae

27

Flamboyan

Delonix regia

Leguminosae

28

Gaharu

Aquilaria malaccensis Lamk.

Thymelaceae

29

Gerunggang

Cratocylon arboresncens Blume

Clusiaceae

30

Jabon

Anthocephalus cadamba Miq.

Rubicaceae

31

Jambu Air

Euginia aquea Burm.

Myrtaceae

32

Jambu Biji

Psidium guajava Linn.

Myrtaceae

33

Jambu Bol

Euginia malaccensis Linn.

Myrtaceae

34

Jambu Monyet

Anacardium occidentale Linn.

Anacardiaceae

35

Jambu-Jambu

Syzygium cuprea

Myrtaceae

36

Ja�

Tectona grandis Linn.f.

Verbenaceae

37

Jelutung

Dyera costulata Hook.f.

Apocynaceae

38

Jelutung Rawa

Dyera lowii Hk.f.

Apocynaceae

39

Jengkol

Phitecolobium lobatum Benth.

Leguminosae

40

Johar

Cassia siamea Lamk.

Leguminosae

Page 205: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

190

1

2

3

4

41

Kaliandra

Calliandra callothyrsus

Leguminosae

42

Kamboja

Plumiera acuminata Ait.

Apocynaceae

43

Kandis

Garcinia parvifolia Miq.

Gu�ferae

44

Kapuk

Ceiba pentandra Gaertn.

Bombaceae

45

Karet

Hevea brasiliensis Muell.Arg.

Euphorbiaceae

46

Kayu Musang

Alangium begoniifolium

Alangiaceae

47

Kayu Ti�

Gmelina moluccana Backer.

Verbenaceae

48

Kedondong

Spondias dulcis Forst.

Anacardiaceae

49

Kelapa

Cocos nucifera Linn.

Palmae

47

Kayu Ti�

Gmelina moluccana Backer.

Verbenaceae

48

Kedondong

Spondias dulcis Forst.

Anacardiaceae

50

Kelat

Euginia sp.

Myrtaceae

51

Kemenyan

Styrax benzoin Dryand

Styraceae

52

Kemiri

Aleurites moluccana (L) Wild.

Euphorbiaceae

53

Ketapang

Terminalia ca�apa Linn.

Combretaceae

54

Klakok

Gluta sp.

Anacardiaceae

55

Kopi

Koffea arabica L.

Rubiaceae

56

Kulim

Scorodocarpus borneensis Becc.

Olacaceae

57

Laban

Vitex pubescens Vahl.

Verbenaceae

58

Langsat

Lancium domes�cum Coor.

Meliaceae

59

Lawang

Cinnamomum koordensii Linn.

Lauraceae

60

Lengkeng

Dimocarpus longan Lour

Sapindaceae

61

Mahang Kri�ng

Macaranga pruinosa

Euphorbiaceae

62

Mahang Pu�h

Macaranga hypoleuca

Euphorbiaceae

63

Mahoni

Swietenia mahagoni Jacq.

Meliaceae

64

Mangga

Mangifera indica Linn.

Anacardiaceae

65 Manggis Garcinia sp. Gu�ferae

66 Marpoyan Rhodamnia cenerea Myrtaceae 67 Matoa Pome�a pinnata Forst. Sapindaceae 68 Medang Alseodaphne coriacea Kosterm Lauraceae 69

Melinjo

Gnetum gnemon Linn.

Gnetaceaea 70

Mengkudu

Morinda citrifolia L.

Rubiaceae

71

Mentangor

Callophylum pulcherimum

Gu�ferae

72

Meran�

Shorea sumatrana

Dipterocarpaceae

73

Meran� Bapa

Shorea selanica Bl.

Dipterocarpaceae

74

Meran� Bukit

Shorea platyclados Slooten ex Foxw.

Dipterocarpaceae

75

Meran� Merah

Shorea johorensis Foxw.

Dipterocarpaceae

76

Meran� Merah

Shorea selanica Blume.

Dipterocarpaceae

77

Meran� Rawa

Shorea macranta

Dipterocarpaceae

78

Meran� Sabut

Shorea ovalis (Korth.) Blume.

Dipterocarpaceae

79

Meran� Tembaga

Shorea leprosula Miq.

Dipterocarpaceae

80

Meran�

Hopea odorata

Dipterocarpaceae

81

Merawan

Hopea mangarawan

Dipterocarpaceae

82

Merbau

Intsia bijuga

Leguminosae

83

Mindi

Melia azedarach Linn.

Meliaceae

84

Namnam

Cynometra cauliflora

Leguminosae

85

Nangka

Artocarpus integra Merr.

Moraceae

86

Nibung

Oncosperma �gillarium (Jack) Ridl.

Palmae

87

Pakis Haji

Cycas rumphii Miq.

Cicadaceae

83

Mindi

Melia azedarach Linn.

Meliaceae

84

Namnam

Cynometra cauliflora

Leguminosae

85

Nangka

Artocarpus integra Merr.

Moraceae

86

Nibung

Oncosperma �gillarium (Jack) Ridl.

Palmae

87

Pakis Haji

Cycas rumphii Miq.

Cicadaceae

88

Pasir-Pasir

Stemonurus secundiflorus Blume

Icacinaceae

89

Paulonia

Pawlania tomentosa

Paulowniaceae

Page 206: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

191

1

2

3

4

90

Petai

Parkia speciosa Hassk.

Mimosaceae

91

Petai Cina

Leucaena leucocephala Lamk.

Mimosaceae

92

Pinang

Areca catechu Linn.

Palmae

93

Pinus

Pinus merkusii Jungh.

Pinaceae

94

Pulai

Alstonia scholaris R.Br.

Apocynaceae

90

Petai

Parkia speciosa Hassk.

Mimosaceae

91

Petai Cina

Leucaena leucocephala Lamk.

Mimosaceae

92

Pinang

Areca catechu Linn.

Palmae

93

Pinus

Pinus merkusii Jungh.

Pinaceae

94

Pulai

Alstonia scholaris R.Br.

Apocynaceae

95

Rambutan

Nephelium lappaceum Linn.

Sapindaceae

96

Ramin

Gonystylus bancanus Kurz.

Thymelaceae

97

Randu

Gossampinus heptaphylla Bakh.

Bombaceae

98

Roda -

Roda

Hura crepitans Linn.

Euphorbiaceae

99

Saga

Adenanthera pavonina Linn.

Leguminosae

101

Sengon

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.

Leguminosae

102

Sentul

Sandoricum koetjape (Burm.F.) Merr.

Meliaceae

103

Sesendok

Endospermum malaccense Benth.

Euphorbiaceae

104

Skubung

Macaranga gigantea Muell.Arg.

Euphorbiaceae

105

Sukun

Artocarpus al�lis (Parkinson) Fosberg.

Moraceae

106

Sungkai

Peronema canescensJack.

Verbenaceae

107

Tampinai Kecil

Artocarpus ni�dus

Moraceae

108

Tampui Buah

Baccaurea macrocarpa Miq. Muell

Euphorbiaceae

109

Tanjung

Mimusops elengi L.

Sapotaceae

110

Tembesu

Fagraea fragrans Roxb.

Loganiaceae

111

Tengkawang

Shorea macrophylla

Dipterocarpaceae

112 Terentang Campnospermum coriaceum Anacardiaceae

113 Uar Artocarpus s.p Moraceae 114 Punak Tetramerista glabra Miq Theaceae 115 Balsa Ocroma bicolor Bombacaceae 116

Keruing

Dipterocarpus indicus

Dipterocarpaceae 117

Tengkawang

Shorea stenoptera

Dipterocarpaceae

118

Suntai

Palaqrum dasyphylum Pierre ex Dubard

Sapotaceae

119

Pisang-pisang

Mezze�a parui�lora Becc

Annonaceae

120

Makadamia

Macadamia ternifolia FvMUELL

Proteaceae

121

Bisbul, Buah Mentega

Diospyros blancoi

Ebenaceae

122

Kayu Pu�h

Melaleuca leucadendron

Myrtaceae

123

Giam

Cotylelobium spp

Dipterocarpaceae

124

Ulin

Eusideroxylon zwageri

T.et B.

Lauraceae

125

Sawo Kecik

Manilkara

spp

Apocynaceae

126

Bira-bira

Fagraea crenulata

Gen�anaceae

127

Pronojiwo

Sterculia javanica

R.Br

Sterculiaceae

128

Buni

An�desma bunius L. Spreng.

Phyllanthaceae

129

Darsono Mawar

Syzygium Malaccense

Myrtaceae

130

Asem Londo

Pitchecolobium dulce

Leguminosae

131

Kesambi

Schleichera oleosa

Sapindaceae

132

Bi�/Vitex

Vitex cofassus

Reinw.

Verbenaceae

133

Kepuh

Sterculia foe�da

L

Sterculiaceae

134

Va�ca

Va�ca Sumatrana

Dipterocarpaceae

135

Nogosari/Pupus Merah

Palaquium rostratum

(Miq. Burck)

Sapotaceae

136

Sawo Bludru

Chrysophillum cainato

Sapotaceae

137

Kepel

Stelechocarpus burahol

Annonaceae

Page 207: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

192

Peta Lokasi Arboretum BPTSTH

Keterangan: Blok A 0,78 Ha, Blok B 0,69 Ha, Blok C 1,94 Ha, Blok D 0,97 Ha, Blok E 2,07 Ha dan Blok F 1,15 Ha

VII.

PENUTUP

Arboretum merupakan kebun koleksi pepohonan dengan luasan tertentu berisi berbagai jenis pohon yang di tanam mendeka� habitat aslinya dan diharapkan dapat sebagai areal pelestarian keanekaragaman haya� atau juga bermakna sebagai salah satu bentuk konservasi plasma nu�ah.

Selain itu dapat berfungsi sebagai konservasi sumberdaya haya� eksitu dalam pelestarian sumberdaya gene�k.

Menurut Baskara dkk,

1998 untuk tahap awal pengembangan arboretum yang mul�fungsi dapat di buat satu konsep perencanaan yang terdiri dari konsep tata ruan g, konsep tata hijau, konsep fasilitas dan u�litas, konsep wisata eduka�p dan konsep sirkulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baskara, M., Aris, M. dan Tjahjono, S., 1998. Perencanaan Lanskap Arboretum Sumber Brantas sebagai Obyek Wisata Alam. Bule�n Taman dan Lanskap Indonesia Vol. 1 No. 3

F

C

D

A

B

E

G

Page 208: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

193

Nurrohman, E., dan Tri H. S., 2011. Info teknis arboretum. Kementerian Kehutanan. Badan Peneli�an dan Pengembangan Kehutanan. Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan.

Riskawa�,

T.,

2010.Arboretum yang bukan sekedar arboretum. h�p://edukasi.kompasiana.

com/2010/05/03/arboretum-itu-bukan-sekedar-arboretum-131782.html.

Diakses tgl

8 Desember 2014.

Page 209: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

194

Page 210: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

195

PEMBUATAN POT ORGANIK DENGAN METODE HOT PRESS

DAN VACUUM

Eko Sutrisno dan Andi Mandala Putra

Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

I.

PENDAHULUAN

Pembuatan bibit di persemaian, pada saat ini masih menggunakan media yang belum ramah lingkungan seper� kantong plas�k/polybag, po�ray dan poly

tube. Penggunaan polybag dalam penyiapan bibit tanaman menimbulkan permasalahan tersendiri dalam penanaman di lapangan. Media bibit tanaman yang berupa polybag akan menimbulkan limbah yang

akan menjadi bahan pencemar lingkungan.

Plas�k-plas�k bekas polybag yang digunakan dalam rehabilitasi lahan dan hutan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terdekomposisi secara alami.

Selain permasalahan lingkungan yang di�mbulkan oleh pemakaian polybag tersebut, di

dalam proses pengeluaran bibit tanaman seringkali akar tanaman mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan terganggunya kesehatan bibit. Kondisi tersebut biasanya disebabkan akar tanaman

yang tumbuh melingkar. Dengan terganggunya sistem perakaran bibit, adaptasi

terhadap lingkungan menjadi menurun yang dapat mengakibatkan persentase hidup dan pertumbuhannya menjadi rendah.

Menurut Budi (2012) kerusakan akar pada saat proses

pengeluaran bibit dari media tumbuhnya dapat mempengaruhi proses adaptasi dan pertumbuhan tanaman di lapangan.

Kembali ke alam merupakan is�lah yang tepat untuk menggambarkan kondisi ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Konsep daur ulang telah menjadi cerminan manusia sa at ini yang secara garis besar telah peduli dengan lingkungan. Memaksimalkan penggunaan suatu produk sampai dengan umur ekonomisnya atau bahkan sampai mengubah bentuk dan fungsi dari produk awal secara �dak langsung telah meminimalisir limbah.

Pemerintah

Indonesia Khususnya Kementerian

Kehutanan

telah membuat kebijakan so�

landing

yang antara lain isinya mengurangi peranan hutan alam sebagai bahan pemasok kayu industri pengolahan kayu Khususnya penggergajian, venir dan kayu lapis serta industri pulp dan kertas (Prakosa, 2002).

Pada tahun 2003-2008 sekitar 2,8 milyar bibit tanaman kehutanan dari berbagai jenis telah di tanam di lapangan untuk merehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi (Kementerian kehutanan, 2010). Selain menunjang kebijakan pemerin tah terkait pembangunan hutan tanaman sebagai pemasok kayu, dalam rangka konservasi dan rehabilitasi hutan juga memerlukan pasokan bibit tanaman. Untuk memproduksi bibit sebanyak itu diperlukan sekitar 7,119 ton polybag yang selama ini digunakan untuk wada h media tumbuh bibit di persemaian.

Pemanfaatan berbagai bahan organik dan konsep daur ulang diharapkan dapat berperan sebagai mi�gasi limbah plas�k polybag. Pot organik yang dihasilkan akan menjadi barang baru dan bernilai ekonomi lebih �nggi dan ramah

lingkungan.

Page 211: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

196

II.

BAHAN DAN ALAT

A.

Tempat dan Waktu

Peneli�an ini dilakukan di laboratorium pulp Balai Peneli�an Teknologi Serat Tanaman Hutan. Peneli�an dilaksanakan pada tahun 2012 sampai dengan 2014.

B.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus). Alat-alat yang dipakai adalah ember stainless steel, oven, kompor gas, alat pengaduk, alat pengukur derajat giling (CSF), alat penyaring, holander beater, mesin mould hot press dan mesin vacuum.

III.

PROSEDUR KERJA

A.

Penguraian serat (pulping)

Semua bahan sebelum diuraikan kembali seratnya di rendam terlebih dahulu dalam air selama 1 x 24 jam dengan air.

Hasil rendaman kemudian di

buat serpih dengan ukuran 3 x 2 cm kemudian di

saring dalam kondisi kering udara. Proses penguraian kembali serat ini menggunakan hollander beater (konsistensi 3%).

Dengan konsep penggunaan kembali maka

derajat kehalusan serat karton bekas ini berkisar 300-500 ml CSF.

Gambar 1. Proses pulping, a. penggilingan; b. pencucian dan penyaringan

B.

Pencampuran bahan

Setelah seluruh bahan baku menjadi pulp,

masing-masing di �mbang.

Penimbangan dilakukan dengan memperhitungkan berat kering oven. Untuk meningkatkan sifat fisik dan mekanik pot organik dapat ditambahkan dengan perekat alami. Sesuai formulasi yang di buat campurkan seluruh komposisi sampai homogen dan siap untuk di cetak.

Gambar 2.

A). penimbangan pulp; b).

penimbangan pulp, c). pencampuran

C.

Pencetakan

Proses pencetakan merupakan tahapan akhir dari pembuatan pot organik. Pencetakan dilakukan pada kondisi basah, hasil akhir pot organik berbentuk gelas.

Page 212: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

197

Gambar 3. Desain pot organic

a.

Metode hot press

Pencetakan dengan metode hot press ini dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1 : 1 (w/w). Kondisi pengempaan dilakukan pada suhu 150-1750C selama 15-20

menit. Setelah pengempaan dilakukan pengkondisian selama 1-2

minggu, kemudian dilakukan pengujian sifat fisis

dan pengujian di persemaian.

Gambar 4. Pencetakan dengan metode hot press

b. Metode vacuum Pencetakan dengan metode vacum dilakukan dengan kondisi bahan dan air berbanding 1:20 (w/w). Pencetakan pot organik dilakukan dengan ketebalan ±2 mm. Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan

pada suhu 1050C selama 24 jam.

Setelah pengeringan,

dilakukan pengkondisian selama 1 minggu, kemudian dilakukan pengujian.

Gambar 5. Pencetakan dengan metode vacuum

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pencetakan menggunakan metode hot press

dan vacuum secara umum telah sesuai dengan desain yang ditetapkan. Pemanfaatan kertas bekas HVS, koran dan karton pembungkus (kardus) sebagai bahan baku pembuatan pot organik merupakan implementasi dari konsep 4 R (Reduce of Energy, Reuse, Recycle dan Replace). Secara umum pot organik dari kedua metode tersebut terlihat pada Gambar 6.

Page 213: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

198

Gambar 6.

Pot organik. a). hasil hot press; b). hasil metode vacuum

Selanjutnya pot organik diharapkan selain berfungsi sebagai wadah tumbuh juga dapat memberikan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan meningkatkan diversitas mikroorganisme tanah. Pot organik yang ramah lingkungan dianggap prak�s karena dapat langsung di tanam ke dalam tanah tanpa harus membuka pada saat penanaman di lapangan. Selain itu diharapkan pot organik dapat terdekomposisi secara cepat serta �dak menyebabkan kerusakan lingkungan, dan pot organik �dak menyebabkan terjadinya kerusakan perakaran saat bibit dipindahkan ke lapangan. Menilai karakteris�k detail mengenai d an kekurangan pot organik yang dihasilkan dari kedua metode tersebut dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Penilaian Pot Organik

No.

Kriteria

Hot press

Vacuum

1.

Penampakan (performance)

Baik

Baik

2.

Sifat fisik*

Berkerapatan rendah Berkerapatan sedang

3. Daya jebol Kurang Sangat baik 4. Penetrasi akar Mudah Sedang 5. Kandungan hara Sedang Kurang 6. Nilai pH Asam – basa Asam – normal 7.

Input komponen lain (pupuk dll)

Tertentu

Apa saja

8.

Jumlah produk akhir

Terbatas

Tidak terbatas 9.

Kemudahan pengerjaan

Sedang

Mudah

10.

Jenis bahan baku

Tidak terbatas

Tidak terbatas

Mengacu pada Japanese Industrial Standard (JIS)

Berdasarkan Tabel 1, secara umum produk yang dihasilkan sudah baik dan layak

digunakan sebagai penggan� polybag dalam

menyemaikan dan atau menumbuhkan bibit. Melalui pot organik ini, diharapkan mampu mengurangi energi bibit pada saat penyapihan karena pot organik ini hanya untuk sekali pakai dimulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karakteris�k pot organik ini secara umum melipu� pengujian dari sifat fisik, yaitu kadar air, pengembangan tebal, daya serap air dan kerapatan. Wahyudi (2012) menyatakan

pot organik sebagai kontainer bibit yang di buat dengan metode hot press

tergolong ke dalam jenis kerapatan rendah. Berbanding terbalik dengan hasil peneli�an selanjutnya, Wahyudi (2014) menyatakan bahwa pot organik yang di buat dengan metode vacuum tergolong kepada produk berkerapatan sedang.

Daya jebol diasumsikan kemampuan pot organik menahan beban media tanam. Hal ini tentunya berkorelasi dengan kemampuan penetrasi akar terhadap pot organik tersebut. Menurut Nursyamsi (2014), biopo�ng yang di cetak secara kompak menjadikannya lebih padat dan kuat. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sengon laut kurang bagus, karena akar kurang dapat menembus biopo�ng dan menyerap unsur hara yang terdapat pada biopo�ng.

Kandungan hara dan nilai pH di duga dipengaruhi oleh prinsip kerja dari alat yang menggunakan hot press

dan vacuum. Kondisi suhu yang �nggi pada saat di kempa sedikit

Page 214: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

199

banyak mempengaruhi sifat kimia organik bahan baku, begitu juga dengan perbandingan bahan baku dan air pada metode vacuum. Untuk memperbaiki hal ini terbuka peluang melalui input komponen lain dari luar seper� penambahan kapur dolomit, kompos,pupuk dan lainnya. Budi (2012) menyatakan bahwa bahan baku pembuatan pot organik yang diberi tambahan kompos komposisi terbaiknya adalah pada perbandingan 50 : 50 (v/v). Sehingga aplikasi kedua alat tersebut yang �dak terbatas pada semua jenis bahan baku, dapat digunakan untuk mencari campuran sebagai bahan penolong.

Perbedaan prinsip kerja dan desain alat pencetak pot organik pada hasil akhir akan mempengaruhi kuan�tas produksi. Alat hot press sangat dipengaruhi oleh cetakan ( moulding) dengan waktu produksi yang terbatas se�ap jam dan harinya. Pada alat vacuum, faktor yang mempengaruhi kuan�tas produksi adalah keterampilan (skill) operator dan ketersediaan bahan baku. Tingkat kesulitan dalam produksinya sejauh ini disebabkan karena adanya ketergantungan pada kondisi alat.

V.

PENUTUP

Proto�pe pot organik yang dihasilkan dari metode hot press

dan vacuum

secara umum telah layak dan memenuhi kriteria sebagai media tumbuh untuk tanaman. Aplikasi pot organik telah turut serta dalam penyelamatan lingkungan dari polusi tanah yang diakibatkan oleh plas�k polybag. Selain itu, juga memberikan efek posi�f terhadap fisiologis tanaman mulai dari penyemaian sampai dengan penanaman di lapangan. Karena terbuat dari bahan organik, pada saat proses dekomposisi turut berperan sebagai input hara bagi lingkungan dan tanaman. Peluang riset masih terbuka lebar terkait jenis bahan baku, komposisi bahan baku, penambahan zat penolong dan teknik produksi massal.

DAFTAR PUSTAKA

Budi S.W., A. Sukendro dan L. Karlinasari.

2012. Penggunaan Pot Berbahan Dasar Organik untuk Pembibitan Gmelina arborea Roxb. di Persemaian.

Jurnal Agronomi 40 (3): 239-245.

Kementerian Kehutanan.2010.Peraturan Menteri Kehutanan No:P.08/Menhut -II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian

Kehutanan

Tahun 2010-2014. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Nursyamsi dan H. Tikupadang.

2014.

Pengaruh Komposisi Biopo�ng Terhadap

Pertumbuhan Sengon laut (Paraserianthes falcataria

L. Nietsen) di Persemaian.

Jurnal Peneli�an Kehutanan Wallacea Vol 3 No:

1.

April 2014:

65-73. Balai Peneli�an Kehutanan

Makassar.

Prakosa M. 2002. Kebijakan rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. Policy Paper Departemen Kehutanan. Jakarta.

Wahyudi A. Suharta�, R. Rinanda. 2012. Formulasi Kontainer Bibit Tanaman Kehutanan Ramah Lingkungan Dari Limbah Perkebunan Kelapa Sawit. Laporan Hasil Peneli�an PKPP Ristek Balai Peneli�an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan.

Wahyudi A. R. Rinanda, A.M.Putra. 2012. Pembuatan Po�ray Dari Jenis Kayu Ja bon (Anthocephalus cadammba) dan Limbah Pembalakan Hutan Tanaman Industri. Laporan Hasil Peneli�an Balai Peneli�an Teknologi Serat. Kuok. Tidak dipublikasikan.

Page 215: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

200

Page 216: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

201

DEMONSTRASI MESIN PENCACAH SAMPAH DEDAUNAN KERING

SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

Agus Hidayat, Yayan Sugilar dan Sahro Abdul Syukur

Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan

I.

PENDAHULUAN

Pengolahan sampah organik seper� rumput dan daun-daun pohon yang kering di lingkup Pustekolah Badan Litbang dan Inovasi, pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Namun dalam pelaksanaannya dihadapkan dengan berbagai kendala yang �mbul, mulai dari komitmen petugas pengolahan sampah organik, alat/mesin utama dan penunjang serta tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu dukungan terutama dari satuan kerja dan atau himpunan/forum/satuan/ikatan lingkup Pustekolah, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kegiatan pengolahan sampah organik yang saat ini dilaksanakan, didukung satuan kerja dan ikatan karyawa� lingkup pustekolah.

Gambar 1. Demo kegiatan pencacahan daun-daun pohon, disaksikan oleh pejabat struktural,

peneli� dan pengurus ikatan karyawa� lingkup Pustekolah (Bogor 08 Mei 2015)

Tujuan kegiatan pengolahan sampah organik adalah untuk membuat pupuk kompos, yang akan dimanfaatkan pada tahap awal untuk kalangan sendiri.

II.

BAHAN DAN ALAT

A.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah daun-daun kering, alat/mesin penyor�r, grobak dorong,

mesin pencacah daun, sapu lidi, pengki, terpal, karung dan �mbangan.

B.

Kegunaan

1.

Daun

Daun-daun kering digunakan pada proses penghancuran/pencacahan daun untuk bahan baku pembuatan kompos.

2.

Alat penyor�r daun

Alat penyor�r daun berfungsi untuk memisahkan bahan organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper� biji pohon, kerikil, kaleng, plas�k yang akan menghambat proses pencacahan daun.

Page 217: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

202

3.

Gerobak dorong

Gerobak dorong digunakan untuk alat angkut daun-daun pohon ke tempat penghancuran/pencacahan dan

alat angkut ke tempat membuat kompos.

4.

Mesin pencacah daun

Mesin pencacah daun digunakan untuk menghancurkan/mencacah daun-daun sehingga menjadi serpihan untuk bahan kompos.

5.

Sapu lidi, pengki, karung dan �mbangan

Sapu lidi dan pengki digunakan untuk mengumpulkan daun-daun pohon. Terpal digunakan sebagai alas untuk menaruh/mengumpulkan sementara serpihan dedaunan saat dilakukan pencacahan. Karung digunakan sebagai wadah/tempat untuk menaruh serpihan dedaunan yang telah dicacah. Sedangkan �mbangan digunakan

untuk menimbang serpihan dedaunan.

III. PROSES KERJA

A.

Pengumpulan Daun

Kegiatan pengumpulan daun dilakukan oleh petugas kebersihan, menggunakan sapu lidi dan pengki, kemudian dikumpulkan di

dekat mesin penghancur/pencacah daun.

B.

Penyor�ran Daun

Kegiatan penyor�ran daun dilakukan dengan maksud untuk memisahkan sampah organik (dedaunan kering) dari bahan-bahan lain, seper�; biji pohon, kerikil, kaleng, plas�k yang akan menghambat proses pencacahan daun. Kegiatan penyor�ran dilakukan secara manual dengan menggunakan sapu lidi dan pengki. C.

Proses Pencacahan Daun

Mesin untuk proses pencacahan daun ini, menggunakan mesin pencacah daun yang

merupakan gagasan dari Bapak Wesman Endom, MSc., ahli peneli� dan dibuat oleh para teknisi litkayasa di kel� keteknikan hutan dan pemanenan hasil hutan, Pustekolah, pada tahun 2015. Mesin ini dibuat berdasarkan pengalaman uji coba yang telah dilakukan dimana sebelumnya proses pencacahan daun menggunakan mesin chipper yang dibuat tahun 2013 oleh Wesman Endom et al., yang tujuan awalnya untuk pembuatan chip/serpihan kayu.

Kegiatan pencacahan daun-daun pohon yang dilaksanakan di lingkup Pustekolah, disajikan pada Gambar 2.

Adapun proses pencacahan daun dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan

daun-daun menjadi serpihan dedaunan. Proses pencacahan daun sebagai berikut; 1.Penyor�ran daun-daun; 2. Memasukan daun-daun kedalam mesin pencacah dengan menggunakan alat bantu sapu lidi; 3. Mengumpulkan hasil pencacahan berupa serpihan daun-daun dengan ukuran tertentu (2 cm) tergantung ukuran yang terpasang pada saringan mesin.

Page 218: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

203

Gambar 2. Kegiatan pencacahan daun-daun pohon di lingkup Pustekolah

D.

Pengumpulan Hasil Pencacahan Daun

Hasil pencacahan daun dikumpulkan, dimasukan ke

dalam karung untuk di�mbang kemudian di

angkut ke

bak/tempat pembuatan kompos.

IV.

PENUTUP

Pengolahan sampah organik seper� rumput,

daun-daun kering dan ran�ng kecil memerlukan alat atau mesin.

Dalam pelaksanaannya diperlukan komitmen petugas

pengelolaan sampah, alat atau mesin dan tempat/lokasi pengolahan sampah organik. Proses kerja melipu� kegiatan pengumpulan daun-daun kering yang dikumpulkan dalam satu tempat, penyor�ran daun untuk menghindari bahan-bahan lain masuk mesin dan kemudian baru proses pencacahan daun. Hasilnya dikumpulkan untuk dibuat kompos.

V.

SARAN

Kegiatan pencacahan daun-daun pohon/sampah organik untuk bahan pupuk kompos

perlu dilanjutkan, mengingat beberapa hal antara lain; bahan baku/daun-daun pohon cukup banyak tersedia, alat utama dan penunjang sudah tersedia meski pun belum

cukup memadai. Dengan demikian, untuk kelanjutan kegiatan ini perlu komitmen dan dukungan pihak terkait, sehingga tujuan dan manfaat yang di dapat akan lebih op�mal.

DAFTAR PUSTAKA

Endom, Wesman., 2015. Proto�pe portable chipper: Sebuah kenyataan dan

harapan.hhtp:// www.pustekolah.org/index.php/detail/750/PROTOTIPE -PORTABBLE-CHIPPER-SEBUAH-KENYATAAN-DAN-HARAPAN#. Diakses tanggal 17 juni 2015.

Page 219: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

204

Page 220: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

205

PROSES PEMBUATAN KERTAS DARI LIMBAH PELEPAH PISANG

Setyani Budi Lestari

dan Yoswita

Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor

I.

PENDAHULUAN

Keterbatasan sumber serat sebagai bahan baku pembuatan kertas, terutama kayu yang berasal dari hutan yang merupakan bahan baku utama serat mulai dirasakan dampaknya. Hal ini

sebagian besar disebabkan oleh adanya penebangan kayu yang berlebihan (over cu�ng) dan �dak diimbangi dengan penanaman hutan kembali dengan benar. Menipisnya sumber serat dari hutan tersebut juga dikarenakan produksi pulp di dunia sebagian besar mengg unakan bahan baku kayu.

Dalam rangka mengan�sipasi penurunan potensi sumber serat yang berasal dari hutan, dan guna meningkatkan efisiensi penggunaan sumber serat yang ada, telah banyak dilakukan upaya penghematan sumber bahan baku serat. Salah satu upaya

yang kemungkinan dapat dilakukan

adalah dengan memanfaatkan limbah daur ulang. Pemanfaatan kertas bekas sebagai sumber serat yang menurut Indonesian Pulp and Paper Industry directory 1999, Indonesian Pulp and paper associa�on sampai tahun 1998 pemanfaatan daur ulang kertas tercatat sekitar 24,69% produksi kertas yang ada. Juga adalah dengan memanfaatkan limbah yang mengandung lignoselulosa termasuk limbah pelepah pisang sebagai bahan pembuatan kertas.

Menurut Ary Saputra (2014), pelepah pisang mempunyai kadar lignin 5%, selulosa 63-64%, hemiselulosa 20% dan serat rela�ve panjang sekitar 4,29 mm. Kandungan serat selulosa pada pelepah pisang yang �nggi, bahan bakunya yang mudah didapat dan daur hidup piasang yang rela�ve pedek juga cara pembuatan yang rela�ve mudah sangat memungkinkan dipergunakan sebagai bahan baku kertas. Penggunaan limbah tersebut dapat dijadikan salah satu solusi bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku serat.

Keunggulan dari penggunaan serat limbah pelepah pisang ini selain dapat memenuhi kebutuhan kertas juga dapat menghasilkan produk kertas seni yang mampu meningkatkan nilai jual yang rela�f �nggi dan dapat dikembangkan dalam bentuk usaha bagi industri kertas. Di dalam tulisan ini akan disajikan proses pembuatan dari limbah pelepah

pisang yang didapat pada saat mengiku� pela�han di Bandung.

II.

PERSIAPAN

PROSES PEMBUATAN KERTAS

A.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah:

1.

Limbah pelepah pisang

2.

Air

3.

Bahan kimia: NaOH 10%, Natrium hypochlorit 15%, H2O2

4.

Bahan pewarna, jenis pewarna yang dipakai adalah Direx/pewarna tex�l (bila diperlukan).

Contoh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang, seper� pada Gambar 1.

Page 221: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

206

Gambar 1. Contoh pelepah pisang

B.

Alat

Alat yang digunakan dalam proses pembuatan kertas dari limbah pelepah pisang adalah:

1.

Bak plas�k besar

2.

Beater holander

3.

Papan triplek yang di

lapis kain

4.

Cetakan dari kayu yang terdiri dari screen, frame, rachel, rak pengering

III.

PROSES PEMBUATAN LEMBARAN KERTAS

1.

Bahan baku (contoh) pelepah pisang di

rajang dengan ukuran 2 X 3 cm.

2.

Ambil contoh kira kira 6 kg dengan kekeringan sekitar 60 –

90% dalam wadah.

3. Kemudian ditaburi bahan kimia NaOH 10%, seper� pada Gambar 2.

Gambar 2. Penaburan bahan kimia dan perendaman dengan air panas

4.

Di

rendam dengan air panas (mendidih) selama 2,5 Jam sampai terendam.

5.

Setelah 2,5 jam, di

angkat dan di

cuci sampai bersih bebas bahan kimia, air bekas cucian di

sebut black liquor atau lindi hitam.

6.

Contoh yang telah bebas bahan kimia di

giling dengan alat beater holander selama 5 menit, hasil penggilingan tersebut di

sebut buburan pulp.

7.

Sebelum di

bentuk lembaran dilakukan tahapan, sebagai berikut:

a.

Pemu�han dengan menggunakan bahan kimia: natrium hypochlorit 15%, selama lebih kurang 15 menit dengan perhitungan 6 kg contoh +15% natrium hypochlorit +20 gayung air, untuk mempercepat reaksi yang terjadi tambahkan H 2O2

0,5 -

1 liter, selanjutnya dilakukan pencucian, pencucian dihen�kan setelah terasa kesat di

tangan, seper� pada

Gambar 3 dan 4.

Page 222: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

207

Gambar 3. Penggilingan dengan Beater holder

Gambar 4. Tahap pemucatan dengan Nat.hypochlorit dan H202

b.

Pewarnaan dilakukan dengan cara:

a) Didihkan air dan masukkan zat pewarna direx/tex�l (20g/2 lt)

b) Tuang ke dalam wadah yang berisi pulp hasil penggilingan tadi c) Diaduk sampai rata (dianjurkan dalam pengadukan ini memakai sarung tangan)

8. Pulp yang sudah tercampur rata dapat langsung di cetak/di bentuk sesuai dengan ukuran yang diinginkan

9.

Pencetakan lembaran kertas yang biasa dilakukan adalah dengan menimbang 6 kg pulp dalam 30 gayung air (sekitar 30 lt) dalam bak plas�k, �nggi air dalam bak harus dapat membuat cetakan terendam, seper� pada Gambar 5.

Gambar 5. Pencelupan cetakan pada bak berisi bubur kertas

10.

Siapkan alas dari triplek yang telah dilapisi kain

11.

Masukkan cetakan kedalam bak berisi buburan pulp, cetakan screen di

bawah sedangkan cetakan kosong di

atas, seper� pada Gambar 6.

Page 223: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

208

Gambar 6. Pengangkatan cetakan dan penirisan air

12.

Angkat cetakan, �riskan sebentar agar air pada buburan berkurang

13.

Cetakan kosong di

angkat, tempelkan papan triplek yang telah dilapisi kain pada cetakan berscreen yang telah dileka� buburan pulp kertas, balikkan posisi cetakan screen di

atas

14.

Tekan-tekan cetakan dengan rachel atau bahan yang mudah menyera p air, seper� pada Gambar 7.

Gambar 7. Pengeringan air dan penggunaan rachel atau bahan

yang mudah menyerap air 15.

Angkat cetakan perlahan-lahan agar cetakan �dak rusak.

16.

Keringkan di

udara terbuka (kertas lebih cepat kering di

cuaca panas )

IV.

HASIL PEMBUATAN KERTAS

Setelah cetakan yang berisi bahan kertas atau buburan pulp dikeringanginkan di udara terbuka,

kemudian lepas kertas dari papan cetakan triplek. Kertas-kertas hasil cetakan yang sudah jadi tampak seper� lembaran-lembaran kertas pu�h yang mempunyai corak indah dan menarik seper� Gambar 8.

Gambar 8. Pengangkatan dan pengeringan lembar kertas

Page 224: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

209

Contoh hasil lembar kertas dari pelepah pisang dengan kombinasi bahan baku lainnya,

seper� enceng gondok,

aspal,

kertas HVS,

mendong,

daun pandan,

kulit bawang merah,

kulit bawang pu�h,

rumput dan pewarna dapat dilihat pada Gambar

1 hingga Gambar 16.

Gambar 1. Pelepah Pisang

Gambar 2. Pelepah Pisang + Kertas HVS

Gambar 3. Eceng gondok

Gambar 4. Kertas + Aspal

Gambar 5. Mendong

Gambar

6. Pandan

Gambar 7. Kertas HVS + Kulit Bawang-Merah

Gambar 8. Kertas

+ Eceng gondok

Gambar 9. Pelepah Pisang + Pewarna Gambir

Gambar 10. Pelepah Pisang + Pewarna

Page 225: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

210

Gambar 11. Pelepah Pisang+Pewarna

Gambar 12. Kerats + Kulit Bawang Pu�h

Gambar 13. Merang + Eceng gondok

Gambar 14. Kertas koran + Rumput

Gambar 15. Kerats + Pewarna Gambar 16. Kertas Kardus + Eceng gondok

V.

PEMBAHASAN

Pada pembuatan kertas dari pelepah pisang yang dilakukan di Bandung tersebut, lebih cenderung penggunaannya sebagai kertas seni, karena kertas yang dihasilkan dapat memberikan nilai ars�s�k pada lembaran kertasnya.

Penggunaan pewarna teks�l yang dipakai sudah biasa ditambahkan dalam pembuatan kertas, hal ini kemungkinan bisa berdampak pada lingkungan, tetapi sebenarnya pewarnaan dapat menggunakan bahan alami seper� gambir, kunyit,

daun pandan dan untuk mendapatkan mo�f mo�f yang sangat menarik dapat menggunakan daun bawang, serat nanas dan berbagai jenis bunga serta bahan lain yang berserat.

Pemu�han/bleaching yang dilakukan di Bandung tersebut, menggunakan Natrium hypochlorite dan peroksida. Ada cara yang ramah lingkungan adalah dengan menambahkan peroksida dan asam acetat dengan katalis Asam sulfat pada pulp kemudian dipanaskan. Keuntungan bleaching dengan metode ini adalah untuk meningkatkan derajat pu�h kertas dan mendegradasi lignin

(delignifikasi) yang mungkin masih terdapat dalam pulp. Selain itu �dak merusak selulosa, menyempurnakan proses ase�lasi dan bebas khlorin (Hidaya�,

2000)

Keuntungan dari pembuatan kertas dari pelepah pisang ini adalah:

·

Permukaan kertas bersifat agak kasar tergantung dari nilai seninya

·

Memiliki porositas �nggi dan porosi�nya �dak seragam, karena pengaruh cara manual.

·

Dalam kertas seni �dak dipen�ngkan

sifat kekuatan, penampakan seni lebih utama.

Page 226: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

211

VI.

PENUTUP

1.

Bahan baku mudah didapat

2.

Cara pembuatan kertas yang rela�ve mudah

3.

Pada produk lembaran kertas yang dihasilkan dapat

digunakan/dimanfaatkan sebagai media lukisan, kartu nama/undangan, map, kotak/box, figura, dan suvenir lainnya.

4.

Dari segi effisiensi pemanfaatan limbah dapat menjaga kelestarian hutan.

5.

Segi teknologi tepat guna proses pembuatan kertas ini dapat diterapkan di masyarakat dengan menggunakan peralatan sederhana dan mudah dikerjakan

6.

Segi peningkatan ekonomi, hasil produk

mempunyai daya jual �nggi, dapat dijadikan kegiatan masyarakat di rumah tangga untuk menambah penghasilan dan peningkatan ekonomi yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Hidaya�,

S. 2000. Pemu�han pulp Ampas tebu sebagai Bahan dasar Pembuatan CMC, Judul Agro Sains Vol 13 (1).

Indonesian Pulp and Paper Industry Directory 1999.

Indonesian Pulp and Paper Associa�on. PT.

Gramedia Jakarta.

Saputra,

Ary. 2014. Paper Teknologi Pengolah Limbah.pengolahan Batang PohonPisang menjadi Kertas. Program studi Teknik Pertanian. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Inderalaya

Page 227: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

212

Page 228: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

213

PERKEMBANGAN INSTRUMENTASI SPEKTROSKOPI

Nela Rahma� Sari

Pusat Peneli�an dan Pengembanga Hasil Hutan

I.

PENDAHULUAN

Laboratorium Instrument dan Proksimat Terpadu Pusat Litbang Hasil Hutan telah memperoleh akreditasi ISO/IEC 17025:2005 yang menerima berbagai jasa pengujian. Saat ini kebutuhan jasa uji terus meningkat seiring dengan perkembangan industri, perdagangan, inovasi-inovasi hasil hutan dan jasa analisa lainnya. Tuntutan kebutuhan tersebut mengharuskan se�ap laboratorium uji meningkatkan kemampuan atau kompetensinya baik dalam hal kehandalan data (dapat dipercaya kebenaran datanya) maupun kecepatan dan biaya analisis. Kemampuan laboratorium penguji selain bergantung pada SDM juga amat bergantung pada instrument analisa. Hal inilah yang mendorong perkembangan instrumentasi analisis berkembang amat pesat dengan dukungan perkembangan ilmu, elektronik dan komputer. Instrumentasi atau peralatan baru terus diciptakan untuk memenuhi kebutuhan uji termasuk instrumentasi spektroskopi.

Teknik spektroskopik adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengama� tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagne�k (REM). Pada prinsipnya interaksi REM dengan molekul akan menghasilkan satu atau dua macam dari �ga kejadian yang mungkin terjadi. Ke�ga macam kejadian yang mungkin terjadi sebagai akibat interaksi atom molekul dengan REM adalah hamburan (sca�ering), absorpsi (absorp�on) dan emisi (emision) REM oleh atom atau molekul yang diama�.

Hamburan REM oleh atom atau molekul melahirkan spektrofotometri Raman, absorpsi melahirkan spektrofotometri UV-Vis dan infra merah sedangkan absorpsi yang disertai emisi melahirkan fotoluminesensi yang kemudian lebih dikenal sebagai fluorosensi dan fosforesensi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, antara satu dengan yang lain memberikan kegunaan dan keunggulan yang berbeda-beda dalam bidang analisis instrumental. (Mulja dan Suharman, 1995).

Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia

laboratorium baik untuk pengujian kualita�f maupun kuan�ta�f terutama untuk analisa u nsur logam. Analisa logam semakin berkembang �dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food

sehingga diperlukan keteli�an dan sensi�vitas yang lebih �nggi. Dari bermacam-macam metode spektrofotometri tersebut diatas, pada tulisan ini akan dibahas sekilas mengenai perkembangan instrumentasi spektroskopi dari masa ke masa yang kami dapat dari salah satu pela�han yang telah kami iku� diantaranya spektroskopi molekuler (UV-Vis) dan spektroskopi ionik

(AAS Flame, MPAES, Graphite Furnace AAS, ICP OES, ICP MS).

Spektroskopi Molekuler

Spektroskopi molekuler terdiri dari spektrofotometer UV Vis dan Infra Red (jarak dekat, pertengahan dan jarak jauh). Pada kesempatan kali ini, yang akan dibahas mengenai spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer

merupakan alat yang digunakan untuk mengukur absorbansi

dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kuarsa

yang disebut kuvet. Spektrofotometer mampu membaca/mengukur kepekatan warna dari sampel tertentu dengan panjang gelombang tertentu pula. Alat ini

Page 229: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

214

dilengkapi dengan sumber cahaya (gelombang elektromagne�k), baik cahaya UV ( ultra-violet) atau pun cahaya nampak (visible).

Sinar UV digunakan untuk mengukur bahan (larutan) yang terbaca dengan panjang gelombang diantara 190-380 nm (radiasi UV dekat). Sedangkan visible light (sinar tampak) bisa digunakan untuk mengukur bahan dengan panjang gelombang 380-780 nm. (Kosasih Sa�adarma, 1981)

Spektrofotometer ada 2 jenis yaitu spektrofotometer

single beam

dan spektrofotometer double-beam. Perbedaan kedua jenis spektrofotometer ini hanya pada pemberian cahaya, dimana pada single-beam, cahaya hanya melewa� satu arah sehingga nilai yang diperoleh hanya nilai absorbansi dari larutan yang dimasukan. Berbeda dengan single-beam, pada spektrofotometer

double-beam, nilai blanko

dapat langsung diukur bersamaan dengan larutan yang diinginkan dalam satu kali proses yang sama. Spektrofotometer double-beam

memiliki keunggulan lebih dibanding single-beam, karena nilai absorbansi larutannya telah mengalami pengurangan terhadap nilai absorbansi

blanko. Selain itu, pada single-beam

ditemukan juga beberapa kelemahan seper� perubahan intensitas

cahaya akibat fluktuasi

voltase.

Pada mulanya spektrofotometer hanya memiliki 1 sumber cahaya yaitu cahaya UV, namun seiring berkembangnya teknologi, range panjang gelombang yang dimiliki semakin panjang (sinar tampak/visible).

Untuk spektrofotometer UV menggunakan lampu deuterium atau disebut juga heavy hidrogen. VIS menggunakan lampu tungsten yang sering disebut lampu wolfram.

Saat ini beberapa spektrofotometer UV Vis menggunakan lampu Xenon sebagai sumber lampu sehingga range panjang gelombangnya lebih panjang mencakup panjang gelombang UV dan visible. Dengan menggunakan lampu Xenon, pengukuran spektrofotometer ini �dak lagi harus dalam kondisi tertutup atau open sample area sehingga dapat ditambahkan aksesoris fiber op�c (seper� elektroda pada pH meter) dan fiber op�c ini sangat dibutuhkan untuk sampel yang memiliki volume kecil. (h�ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-vis-nir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60-uv-vis)

Gambar 1 dan Gambar 2.

Penggunaan aksesoris fiber op�c

pada sistem open sample area

dan untuk sampel yang memiliki volume kecil

Teknologi terbaru spektrofotometer UV-Vis menggunakan kombinasi 2 lampu yaitu tungsten dan deuterium untuk mendapatkan spectrum yang lebih komplit dan diode array

sebagai detector. Spektrofotometer �pe ini mampu menganalisa sampel fluorescens. Dengan

diode array detector, alat ini juga dapat digunakan dengan sistem open sample area.

Mulja dan Suharman (1995) dalam bukunya mengatakan bahwa radiasi ultraviolet jauh (100-190

nm) �dak dipakai, sebab pada daerah radiasi tersebut diabsorpsi oleh udara. Spektrofotometer di atas panjang gelombang 780 nm merupakan daerah radiasi infra merah sehingga harus dipakai detector dengan kualitas sensi�f terhadap radiasi infra merah (infrared

Page 230: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

215

sensi�ve). Berikut contoh spektrofotometer UV-Vis yang dikombinasikan dengan panjang gelombang near infra red (UV-VIS-NIR) berdasarkan pela�han yang kami iku�.

Gambar

3.

Skema sistem op�c Spektrofotometer UV-Vis dengan kombinasi 2 lampu (tungsten dan deuteurium)

Spektroskopi Atom/Ion

Spektroskopi atom/ion memiliki 2 prinsip dasar yaitu emisi dan absorbsi. Semua metode spektrofotometri emisi nyala mempunyai prinsip kerja yang sama yaitu penyemprotan sampel berupa tetesan-tetesan yang sangat halus ke dalam nyala api dan se�ap unsur logam akan memancarkan warna/spectrum yang khas, perbedaan prinsip dengan spektrofotometri serapan/absorpsi atom yaitu terjadi penyerapan sumber radiasi (diluar nyala) oleh atom -atom netral dalam keadaan gas yang berada dalam nyala, radiasi yang diserap biasanya UV/Visible. Pada

kali ini akan dibahas spektroskopi atom/ion berdasarkan perkembangan �ngkat

sensi�vitasnya secara berurutan. Atomic Absorb�on Spectroscopy (AAS) adalah spektroskopi yang berprinsip pada

serapan cahaya oleh

atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu,

tergantung pada sifat unsurnya. Instrumen AAS melipu� Hollow Cathode Lamp sebagai sumber energi, flame untuk menguapkan sampel menjadi atom. Monokromator sebagai filter garis absorbansi, detektor dan amplifier sebagai pencatat pengukuran. Dulu alat ini hanya bisa dipasang 1 lampu katode namun sekarang alat ini dapat dipasang 8 lampu katode baik single element maupun mul� element. AAS digunakan untuk analisa logam umumnya pada level ppm (mg/L) dan dapat ditambahkan aksesoris Vapour Genera�on Accessory untuk menganalisa unsur Hg dan hydride-forming elements (unsur pembentuk hidrida) dengan sensi�vitas lebih �nggi hingga level ppb (µg/L).

Gambar 4.

Spektrofotometer UV Vis NIR

Page 231: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

216

Microwave

Plasma-Atomic Emission Spektroskopi (MP-AES) merupakan teknik baru analisis unsur logam yang telah dirancang untuk meningkatkan kinerja dan produk�vitas, sekaligus mengurangi biaya operasional dengan menghilangkan kebutuhan gas yang mudah terbakar dan/atau mahal yang biasa digunakan dalam AAS. Plasma dihasilkan

dari nitrogen yang dapat dibuat dengan Nitrogen Generator dari udara sekitar, menghasilkan penurunan yang signifikan dalam biaya operasional dan mengurangi biaya infrastruktur. MP -AES juga mengurangi bahan consumable seper� lampu katoda yang digunakan da lam AAS.

Pengukuran

AAS berdasarkan absorbansi (selisih energi lampu utuh dengan energi ke�ka ada sampel) sedangkan AES berdasarkan emisi langsung dari sampel. Berdasarkan teknik emisi atom, teknik analisis unsur ini menghasilkan simpler spectra dari ICP-OES dan sensi�vitas yang lebih besar dari api AAS.

Graphite Furnace Atomic Absorp�on Spectroscopy (GF AAS) merupakan teknik spektroskopi yang sangat sensi�f dengan limit deteksi yang sangat baik untuk mengukur konsentrasi logam dalam sampel cairan dan padatan. Graphite furnace adalah sistem atomisasi tanpa nyala (dengan elektrothermal/tungku) yang dapat menghasilkan suhu se�nggi 3000°C. GFAAS memiliki sensi�vitas lebih besar dan limit deteksi lebih kecil dari pada AAS dan MPAES; gangguan spektral yang rendah dan mengurangi jumlah sampel.

Gambar 6. Skema sistem GFAAS

Induc�vely

Coupled Plasma Atomic-Op�cal Emission Spectrometry (ICP OES)

digunakan untuk analisis unsur-unsur kimia secara simultan dalam matriks yang kompleks. Plasma (ICP) memecah senyawa kimia menjadi unsur-unsur penyusunnya yang selanjutnya dieksitasi oleh plasma berenergi �nggi sehingga memancarkan sinar. Spektrometer memisahkan panjang gelombang spesifik dari sinar yang dipancarkan oleh �ap-�ap unsur. Sinar yang dipancarkan selanjutnya diubah menjadi sinyal listrik yang kemudian dikonversi menjadi

Gambar 5. Atomic Absorb�on Spectroscopy

Page 232: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

217

konsentrasi berdasarkan intensitas sinar yang dipancarkan. ICP berfungsi untuk menganalisis komposisi unsur-unsur kimia suatu material padatan dan cairan. Dapat menentukan komposisi hingga 30 unsur secara simultan dengan konsentrasi hingga �ngkat ppb (µg/L).

ICP menyelesaikan pembacaan

berbagai elemen yang dianalisis dapat dilakukan dalam jangka waktu yang singkat yaitu 30 de�k dan hanya menggunakan ±5 ml sampel. Walaupun secara teori, semua unsur kecuali Argon dapat ditentukan menggunakan ICP,

namun beberapa unsur �dak stabil memerlukan fasilitas Khusus

untuk menanganinya. Selain itu, ICP memiliki kesulitan menangani analisis senyawa halogens, op�k Khusus

untuk transmisi wavelengths sangat singkat sangat diperlukan.

ICP

Mass Spectrometry (ICP MS) merupakan pengembangan dari ICP OES. Dikarenakan analisa

logam semakin berkembang �dak hanya untuk parameter air limbah, mining, soil, tapi juga sudah merambah kebidang lain yaitu food. Diperlukan keteli�an dan sensi�fitas yang lebih �nggi

untuk

pangan. ICP OES �dak cukup bisa mengcover regulasi yang telah ditetapkan. Regulasi pada food berkisar di level ppb. Oleh karena itu muncul ICP -MS untuk mengatasi permasalahan sensi�vitas yang kurang baik pada generasi ICP-OES.

Sebelumnya ada GFAAS yang juga mampu mengcover sampai level ppb, keuntungan ICP-MS dibanding GF AAS adalah pengerjaan yang lebih cepat karena mul�compound dapat simultan dianalisa dengan ICP-MS dengan sensi�vitas yang juga lebih baik dari GFAAS. Prinsip kerja ICP MS yaitu sampel dimasukkan dengan pompa

peristal�k ke dalam nebulizer dan akan

dihasilkan

aerosol yang kemudian masuk kedalam plasma argon. Plasma mengeringkan aerosol,

mengatomisasi dan mengionisasi. Hasil ionisasi kemudian disaring massa yang memang akan dianalisa dengan

penyaring

massa.

System ICP MS yang paling biasa dipakai

menggunakan

spektrometer massa quadrupole yang cepat memindai rentang massa. Pada waktu tertentu, hanya satu massa akan diizinkan untuk melewa� spektrometer massa dari pintu masuk ke keluar menuju detektor. Saat ini sudah ada teknologi triple quadropole sehingga dapat menganalisa lebih sensi�f.

II. PENUTUP

Spektroskopi merupakan instrument analisa kimia yang banyak digunakan dalam dunia laboratorium baik untuk pengujian kualita�f maupun kuan�ta�f terutama untuk analisa unsur logam. Instrumentasi Spektroskopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat dan sangat mendukung dalam dunia analisis kimia. Berdasarkan

pela�han mengenai instrumentasi spektroskopi yang telah diiku� maka dapat disimpulkan bahwa Spektroskopi dibagi menjadi 2 yaitu spektroskopi molekuler dan spektroskopi atom/ion.

Gambar 7. ICP MS Triple Quadropole

Page 233: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

218

Spektroskopi molekuler salah satu diantaranya yaitu spektrofotometer UV -Vis yang saat ini proses pengukurannya �dak lagi terpengaruh oleh cahaya, dengan adanya dioda array detector

atau penggunaan sumber lampu Xenon maka sampel dapat diukur dalam kondisi terbuka (open sample area), penggunaan aksesoris fiber op�c

sangat bermanfaat untuk mengukur sampel dengan volume kecil dan telah dikombinasikan dengan infra merah seper� Spektrofotometer UV-Vis NIR.

Spektroskopi ion/atom digunakan untuk menganalisis unsur logam baik kualita�f maupun kuan�ta�f. Penggunaan instrumentasi analisis tergantun g pada rentang konsentrasi sampel yang akan dianalisa (ppm-ppb-ppt level). Berikut urutan sensi�vitas instrumentasi spektroskopi atom/ion: ICP MS QQQ, ICP MS, ICP OES, Graphite Furnace AAS, MPAES dan AAS Flame.

DAFTAR PUSTAKA

Mulja,

M

dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press. Surabaya.

Kosasih Sa�adarma. 1981. Spektrofotometri Absorpsi Molekul. Lembaga Peneli�an Farmasi Bagian Farmasi ITB. Bandung

h�ps://www.agilent.com/en -us/products/uv-vis-uv-vis-nir/uv-vis-uv-vis-nir-systems/cary-60-uv-vis

h�ps://www.agilent.com/en -us/products/molecular-spectroscopy

GOOGLE. 2015. Atomic Spectroscopy Innova�on. h�p://www.agilent.com/en -us/promo�ons/ atomic-spec-por�olio

Page 234: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

219

INOVASI FOURIER TRANSFORM INFRARED (FTIR)

Suci Aprianty Wa�

Pusat Peneli�an dan Pengembangan Hasil Hutan

I.

PENDAHULUAN

Teknologi semakin berkembang pesat dewasa ini, apalagi dengan mulainya memasuki era globalisasi. Perkembangan inovasi teknologi itu juga terlihat pada instrument yang dipakai dalam analisa dan peneli�an. Inovasi ini menghasilkan suatu hasil pekerjaan yang murah dari segi biaya dan baik dari segi kualitas. Ada berbagai macam

penyebab �mbulnya inovasi teknologi seper� kebutuhan akan pengurangan biaya dan waktu, kebutuhan akan peningkatan mutu, kemudahan dan keunggulan bersaing.

Sudah banyak instrument kimia yang mengalami perkembangan. Salah satu instrument yang digunakan untuk analisa dan peneli�an adalah FTIR (Fourier Transform Infrared). Salah satu jenis spektroskopi adalah spektroskopi infra merah (IR). Spektroskopi ini didasarkan pada vibrasi suatu molekul. Spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang mengama� interaksi molekul dengan radiasi elektromagne�k yang berada pada daerah panjang gelombang 0.75 -

1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 -

10 cm-1.

Prinsip kerja spektrofotometer infra merah adalah sama dengan spektrofotometer yang lainnya yakni interaksi energi dengan suatu materi. Spektroskopi inframerah berfokus pada radiasi elektromagne�k pada rentang frekuensi 400 – 4.000 cm-1, di mana cm-1 yang dikenal sebagai wavenumber (1/wavelength), yang merupakan ukuran unit untuk frekuensi. Untuk menghasilkan spektrum inframerah, radiasi yang mengandung semua frekuensi di wilayah IR dilewatkan melalui sampel. Mereka frekuensi yang diserap muncul sebagai penurunan sinyal yang terdeteksi. Informasi ini ditampilkan sebagai spektrum radiasi dari % ditransmisikan bersekongkol melawan wavenumber.

Spektroskopi inframerah sangat berguna untuk analisis kualita�f (iden�fikasi) dari senyawa organik karena spektrum yang unik yang dihasilkan oleh se�ap organik zat dengan puncak struktural yang sesuai dengan fitur yang berbeda. Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada frekuensi yang unik. Sebagai contoh, sebuah gu gus karbonil, C = O, selalu menyerap sinar inframerah pada 1.670

1.780 cm-1, yang menyebabkan ikatan karbonil untuk meregangkan (Silverstein, 2002).

Atom-atom di dalam suatu molekul �dak diam melainkan bervibrasi (bergetar). Ikatan

kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh suatu pegas. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui suatu cuplikan maka molekul -molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi di antara �ngkat vibrasi dasar

dan �ngkat tereksitasi.

Inframerah merupakan radiasi elektomagne�k dari suatu panjang gelombang yang lebih panjang dari gelombang tampak tetapi lebih panjang dari gelombang mikro. Spektroskopi inframerah merupakan salah satu teknik spektroskopi yang didasarkan pada penyerapan inframerah oleh senyawa. Karena spectrum IR memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dari panjang gelombang yang lain maka energi yang dihasilkan oleh spectrum ini lebih kecil dan hanya mampu menyebabkan vibrasi atom-atom pada

senyawa yang menyerapnya. Daerah radisai sinar inframerah terbagi menjadi 3 antara lain:

Page 235: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

220

1.

Daerah IR dekat (13.000

4.000 cm-1)

2.

Daerah IR tengah (4.000

-

200 cm-1)

3. Daerah IR jauh (200

-

10 cm-1)

Kebanyakan analisis kimia berada pada daerah IR tengah. IR jauh digunakan untuk menganalisis zat organik,anorganik dan organologam yang memiliki atom berat (massa atom diatas 19). Sedangkan IR dekat menganalisis kuan�ta�f dengan kecepatan �nggi. Karena panjang gelombang IR lebih pendek dari panjang gelombang

sinar tampak ataupun sinar UV maka energi IR �dak mampu mentransisikan elektron,

melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar.

Oleh karena FTIR dapat memudahkan pekerjaan Khususnya bidang analisis maka untuk mendapatkan informasi tentang inovasi alat-alat tersebut dibutuhkan seminar dari produsen alat tersebut. Oleh karena itu saya akan membahas sekilas tentang hasil seminar mengenai FTIR. Inovasi FTIR ini mempunyai kelebihan

diantaranya ukurannya yang kecil dan ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana, tanpa memerlukan preparasi sampel, tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya, pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit, jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit dan tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis/

dapat dibawa ke lapangan (Farooq, 2012).

II.

PERALATAN DAN BAHAN

Seminar FTIR dilakukan di ancol pada tanggal 25 Agustus dengan tema atomic spectroscopy seminar and user mee�ng. Peralatan yang dipakai seper� pada Gambar 1. Sebelum digunakan, alat harus dibersihkan dengan aseton agar pembacaan bisa akurat.

III.

CARA KERJA DAN HASIL

Untuk FTIR terdiri dari beberapa komponen dan memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat digunakan pada semua frekuensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis

dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau scanning. Sensi�fitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab radiasi yang masuk ke sistem detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah (s litless). Teknologi FTIR sudah lama dikenal dan diterima secara luas sebagai pilihan teknologi analisa akurasi �nggi memenuhi standar.

Gambar 1. Sensor FTIR dibersihkan dengan aseton

Page 236: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

221

Untuk pengukuran menggunakan FTIR biasanya menggunakan pelet KBr dan membutuhkan waktu kira-kira 10 menit

dari pengukuran hingga mendapatkan hasil. Namun dengan munculnya inovasi terbaru, pengukuran FTIR bisa lebih cepat. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa berbagai sampel cairan, padatan dan gas (Aderson,

2013).

Untuk cara kerja FTIR inovasi terbaru cukup mudah. Sebelumnya dialpath harus dibersihkan dahulu meggunakan aseton lalu sampelnya (cukup 2 tetes) disimpan pada sensor kemudian �nggal dipilih metodenya yang sesuai dengan jenis sampelnya. Lalu hasilny a akan muncul berupa peak yang khas.

FTIR inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Hanya

memerlukan sedikit sampel dengan lama proses pengukuran kurang dari 1 menit.

Fitur FTIR inovasi terbaru:

·

Ukurannya yang kecil dan

ringan sehingga bisa dibawa kemana-mana.

·

Tanpa memerlukan preparasi sampel.

·

Tanpa menggunakan pelet KBr sehingga mengurangi biaya.

·

Pengukuran hanya membutuhkan waktu kira -kira 1 menit.

·

Jumlah sampel yang diperlukan untuk pengukuran hanya sedikit.

·

Tahan terhadap lingkungan yang lembab dan tropis (dapat dibawa ke lapangan).

Gambar 4. Contoh Hasil Pengukuran FTIR terbaru

Gambar 2. FTIR lama dan FTIR terbaru

Gambar 3. (a) dialpath yang sesuai dengan jenis sampel,

(b) sampel diteteskan (c) metode yang digunakan

Page 237: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

222

IV.

PENUTUP

FTIR (Fourier Transaform Infrared) inovasi terbaru memberi kemudahan sebagai peralatan uji portable. Selain itu FTIR inovasi terbaru sangat mudah digunakan dan mampu menganalisa

berbagai sampel (cairan, padatan dan gas).

Waktu pengukuran lebih singkat dengan sampel hanya sedikit dan prak�s untuk dibawa ke lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Aderson. 2013. Infrared Spectroscopy (FTIR) (dipe�k bulan Oktober 2015) dari h�p://www.anderson materials.com/�ir.html.

Z. Farooq, A. 2012. Ismail, QA/QC of sugars using the Agilent Cary 630 ATR-FTIR analyzer, Agilent, publica�on number 5991-0786EN.

Agilent. 2015. Cary 630 FTIR Spectrometer

(dipe�k bulan Oktober 2015) dari h�ps://www.agilent.com/en -us/products/�ir/�ir-benchtopsystems/cary-6

Day, R.A dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuan�ta�f. Jakarta: Erlangga30 -�ir-spectrometer

Page 238: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

223

MENYEMAI BENIH UNGGUL PENELITI DARI TRUBUSAN TEKNISI LITKAYASA

Fajri Ansari

Balai Peneli�an Kehutanan Makassar

I.

PENDAHULUAN

Jabatan fungsional Teknisi Peneli�an dan Perekayasaan (Litkayasa) pertama kali ditetapkan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) No. 33 Tahun 1990, serta Surat Edaran Bersama antara Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Ketua Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No. 256/M/VI/1991 dan No. 12/SE/1991. Sebagaimana jabatan fungsional lainnya, pada periode awal ini, rumpun jabatan fungsional teknisi litkayasa dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yang terbagi menjadi sembilan jenjang jabatan. Besarnya nilai angka kredit pada unsur pelayanan dihitung berdasarkan lamanya waktu dalam ukuran/hitungan jam yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dengan kisaran nilai antara 0,0011 s/d 0,0069 per �ap jam kerja efek�f. Jam kerja efek�f adalah jumlah jam

yang digunakan secara berhasil guna oleh teknisi litkayasa untuk

melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan peneli�an dan perekayasaan. Jumlah jam efek�f maksimum dalam satu hari kerja adalah sebesar tujuh jam. Sedangkan pada unsur pendidikan, ijazah Diploma IV/Sarjana dinilai sebesar 75 poin kredit dan ijazah pasca sarjana/S2 dinilai sebesar 100 poin kredit.

Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan yang cukup besar dalam aturan mengenai jabatan fungsional yang ditandai dengan berlakunya Keputusan Presiden No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sebagai �ndak lanjut, pada tahun 2003 Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kemudian secara Khusus

merevisi aturan

mengenai teknisi litkayasa. MenPAN mengeluarkan SK MenPAN No. 23/Kep/M.PAN/2/2003 tentang Jabatan Fungsional Teknisi Peneli�an dan Perekayasaan dan Angka Kreditnya. Sebagai kementerian yang menaungi jabatan teknisi litkayasa, Kementerian Riset dan Teknologi (Menristek) kemudian menerbitkan

SK Menristek No.92 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya.

Kemudian pada tahun 2004, Menpan mengeluarkan SK Menpan No. 193/KEP/

M.PAN/

11/2004 yang menetapkan perubahan atas SK Menpan No. 23/Kep/M.PAN/2/2003 perihal pelimpahan wewenang instansi Pembina Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Perekayasa dari Kementerian Riset dan Teknologi kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berdasarkan SK tersebut diatas, BPPT dan BKN kemudian menerbitkan Peraturan Bersama No. 160/KA/BPPT/X/2005 dan No. 19 A Tahun 2005 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka kreditnya. Selanjutnya berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut, BPPT selaku Pembina jabatan fungsional teknisi litkayasa kemudia n mengeluarkan SK No. 147/Kp/BPPT/V/2007 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional teknisi litkayasa dan Angka kreditnya.

Jika pada periode awal, jabatan fungsional teknisi litkayasa terbagi atas 9 jenjang, maka pada saat ini, teknisi litkayasa hanya terbagi atas 4 jenjang yaitu Teknisi Litkayasa Pelaksana Pemula, Teknisi Litkayasa Pelaksana, Teknisi Litkayasa Pelaksana Lanjutan dan Teknisi Litkayasa Penyelia. Demikian pula dengan nilai angka kredit pada unsur pelayanan, jika sebelumnya berdasarkan jam kerja efek�f, maka saat ini nilai angka kredit dinilai berdasarkan jumlah

Page 239: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

224

laporan pelaksanaan kegiatan. Beberapa perubahan tersebut cukup membawa angin segar bagi para teknisi.

II.

UJUNG TOMBAK

PENELITIAN

Teknisi peneli�an dan perekayasaan (Litkayasa) merupakan PNS pada instansi pemerintah yang

diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang, untuk melakukan kegiatan pelayanan peneli�an dan perekayasaan pada instansi pemerintah.

Menurut BPPT 2007, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pelayanan seorang teknisi litkayasa dalam kegiatan peneli�an

adalah sebagai berikut: melaksanakan kegiatan percobaan, melaksanakan kegiatan survei, melaksanakan kegiatan rancang bangun/perekayasaan, memberikan pelayanan jasa teknis, memelihara alat dan fasilitas, memasyarakatkan hasil peneli�an dan perekayasaan, melakukan pemrosesan hasil peneli�an dan perekayasaan.

Jika memperha�kan tugas teknisi litkayasa yang memikul tugas untuk memberikan pelayanan

dalam kegiatan peneli�an dan perekayasaan, maka �dak terlalu berlebihan jika sekiranya para teknisi dianggap sebagai ujung tombak peneli�an. Perlu tangan dingin seorang teknisi dalam menerjemahkan rencana peneli�. Tanpa pengetahuan yang mumpuni dan keterampilan yang memadai, rencana peneli�an boleh jadi akan salah diterjemahkan dan dilaksanakan di lapangan yang tentu saja berakibat fatal dalam menghasilkan data. Namun sayangnya, para teknisi yang menjadi ujung tombak peneli�an tersebut seper�nya belum mampu mengembangkan potensi dirinya.

III. TERPUTUSNYA JABATAN TEKNISI LITKAYASA Pada umumnya, jabatan fungsional keterampilan akan selalu diiku� oleh jabatan

keahlian sebagai jabatan penjenjangan. Misalnya pada jabatan PEH, terdapat jabatan PEH Terampil dan PEH Ahli. Demikian pula pada

jabatan fungsional lainnya, hampir dipas�kan akan terdapat dua rumpun jabatan pada jabatan fungsional tersebut yaitu jabatan keterampilan dan jabatan keahlian. Selain sebagai suatu kesatuan rumpun jabatan, rumpun jabatan tersebut hampir dipas�kan akan dibina oleh satu ins�tusi yang sama.

Namun sayangnya hal tersebut di atas �dak berlaku pada jabatan fungsional teknisi

litkayasa. Pada jabatan fungsional teknisi litkayasa, jabatan keahlian sebagai jabatan penjenjangan seolah-olah �dak ada wujudnya. Menurut Ansari, 2011, sebagai jabatan fungsional keterampilan, sebenarnya teknisi litkayasa mempunyai peluang beralih jenjang ke jabatan fungsional keahlian peneli�. Namun untuk alih jenjang ke jabatan fungsional peneli� kurang memungkinkan mengingat persyaratan alih jenjang ke jabatan fungsional peneli� dari jabatan fungsional lain mempersyaratkan kualifikasi pendidikan minimal Pascasarjana (S2). Sementara bagi seorang teknisi litkayasa butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan ijazah S1 -nya. Seorang teknisi

harus menduduki golongan II/a, II/b, II/c, II/d sebelum pencantuman/

pengakuan gelar Sarjana di golongan III. Demikian pula dengan alih jenjang ke jabatan fungsional keahlian Perekayasa. Meskipun �dak mempersyaratkan kualifikasi pendidikan S2, namun hingga saat ini belum ada informasi yang jelas mengenai ketentuan alih jabatan dari Teknisi Litkayasa ke Perekayasa.

Page 240: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

225

Padahal jika memperha�kan tupoksi pelayanan seorang teknisi litkayasa terutama pada unsur “Pelaksanaan kegiatan percobaan” yang mana pada unsu r tersebut diuraikan tugas teknisi litkayasa adalah menyusun rencana percobaan, menyusun kebutuhan percobaan, menyiapkan kebutuhan percobaan, melakukan pengamatan/pengukuran obyek percobaan, mengolah data percobaan hingga menganalisis hasil percobaan, maka

dapat dilihat jika teknisi litkayasa tersebut pada dasarnya telah melakukan kegiatan seorang peneli�. Apalagi jika kegiatan tersebut dilanjutkan oleh teknisi litkayasa hingga pada unsur kegiatan “pengembangan profesi” yang mana pada unsur tersebut seoran g teknisi litkayasa bertugas untuk membuat karya tulis/karya ilmiah dibidang peneli�an dan perekayasaan termasuk petunjuk teknis dan saduran, maka teknisi litkayasa tersebut telah memiliki pengalaman yang cukup untuk diangkat sebagai peneli�.

IV.

MENGURAI MASALAH

Jika mencerma� permasalahan mendasar jabatan fungsional teknisi litkayasa, terutama pada teknisi litkayasa yang bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka dapat diasumsikan jika pada dasarnya, hanya terdapat dua jalan keluar bagi seorang teknisi litkayasa yaitu beralih jenjang jabatan ke jabatan peneli� yang menjadi jabatan keahlian atau beralih jenjang ke jabatan fungsional lain yang berar� pindah kantor.

Untuk mengatasi masalah jabatan teknisi dengan menggunakan jalan keluar pertama yaitu dengan beralih jenjang ke jabatan peneli� bukan merupakan suatu hal yang mudah bagi seorang teknisi litkayasa. Peralihan jabatan teknisi litkayasa jenjang terampil ke jenjang jabatan keahlian peneli� cukup berbeda kondisinya jika dibandingkan alih jabatan terampil fungsional tertentu lainnya ke jenjang jabatan keahliannya. Menjadi peneli� memerlukan persiapan dan keahlian tertentu yang memerlukan kerja keras dan pengalaman terutama dalam menulis jurnal. Tentu saja keahlian meneli� dan menuangkannya dalam sebuah tulisan ilmiah bukan merupakan suatu perkara yang mudah.

Untuk membentuk karakter teknisi litkayasa yang kemudian siap menjadi seorang peneli� memerlukan usaha yang keras dan proses yang cukup lama. Diperlukan perencanaan

yang matang untuk mewujudkan hal tersebut, mulai dari menghitung kebutuhan teknisi litkayasa itu sendiri, bagaimana menciptakan lingkungan yang mendukung teknisi litkayasa agar termo�vasi menjadi peneli�, hingga membuat terobosan atau solusi melalui for um teknisi litkayasa.

1.

Simulasi Kebutuhan Teknisi Litkayasa

Jika melihat laju rata-rata kenaikan pangkat teknisi litkayasa, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan angka kredit bukan menjadi suatu halangan bagi seorang teknisi litkayasa dalam meningkatkan karier

pangkat dan jabatannya. Pada umumnya teknisi litkayasa mampu untuk mengumpulkan nilai angka kredit secara tepat waktu sehingga kenaikan pangkat seorang teknisi litkayasa selalu memenuhi minimal waktu kenaikan pangkat yakni �ap 2 tahun. Demikian pula dengan jabatan teknisi, mereka mampu untuk menduduki jenjang jabatan yang lebih �nggi dari pangkat mereka.

Seorang teknisi litkayasa yang diangkat pertama kali sebagai PNS pada golongan IIa dengan perhitungan kenaikan pangkat sesuai kondisi saat ini yaitu

kenaikan pangkat melewa� semua golongan, maka akan membutuhkan minimal 2 tahun dikali 5 jenjang pangkat = 10 tahun. Ditambah setahun masa CPNS, maka akan membutuhkan waktu 11 tahun masa kerja sebelum mengalami masa keinginan untuk mengembangkan karir. Pa da waktu 11 tahun

Page 241: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

226

biasanya teknisi akan melanjutkan pendidikan S2 sehingga terdapat waktu 13-14 tahun bagi teknisi sebelum memutuskan untuk beralih jabatan ke fungsional peneli� atau beralih jabatan ke fungsional lainnya.

Pada tahap ini, pihak kepegawaian hendaknya melakukan peneli�an untuk mengetahui seberapa banyak teknisi yang mau beralih jenjang ke tahap peneli� atau beralih jenjang ke fungsional lain atau tetap bertahan di teknisi. Misalnya dengan melakukan wawancara terhadap teknisi litkayasa.

Pada tahap ini pula sebaiknya dilakukan wawancara terhadap peneli� sejauh mana mereka membutuhkan teknisi ? sehingga dapat dipetakan kebutuhan jumlah teknisi pada suatu kantor peneli�an.

Penghitungan jumlah teknisi yang dibutuhkan oleh sebuah kantor peneli�an sangat perlu dilakukan mengingat teknisi litkayasa pada kantor tersebut tentu memiliki keinginan untuk mengembangkan karir mereka. Apapun yang menjadi pilihan para teknisi sedapat mungkin diketahui sejak dini sehingga iklim kerja yang baik bagi teknisi tersebut tetap terjaga. Pengetahuan mengenai kondisi teknisi litkayasa juga pen�ng ar�nya dalam mengatur atau mengarahkan karir para teknisi.

2.

Peran Lingkungan Kantor

Membentuk karakter teknisi litkayasa menjadi seorang peneli� yang professional cukup sulit, diperlukan peran dan keikhlasan para pihak terutama para peneli�. Teknisi litkayasa tentu saja sangat membutuhkan bimbingan peneli�, peneli� hendaknya mengajarkan bagaimana penyusunan proposal misalnya dengan melibatkan teknisi dalam menyusun proposal peneli�annya. Peneli� harus membimbing teknisi tentang bagaimana cara menyusun metode peneli�an, mengambil data hingga menganalisa data, termasuk bagaimana cara berdiskusi secara ilmiah. Tidak hanya sampai disitu, peneli� hendaknya juga turut membimbing para teknisi bagaimana cara membuat tulisan popular untuk keperluan majalah hingga bagaimana cara membuat jurnal ilmiah yang baik.

Sedangkan dari pihak manajemen kantor, dapat berpar�sipasi dalam membentuk

karakter peneli� melalui pemberian mo�vasi terhadap teknisi litkayasa untuk melanjutkan pendidikan �dak hanya sampai pada jenjang pendidikan Sarjana saja tetapi hingga mencapai jenjang pendidikan S2 agar mampu memenuhi persyaratan untuk alih jenjang menjadi peneli�. Jika memungkinkan pihak manajemen membuka peluang beasiswa bagi teknisi litkayasa dalam melanjutkan pendidikan formalnya. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi teknisi litkayasa untuk mengiku� seminar atau lokakarya.

3.

Persiapan

menjadi peneli�

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada simulasi teknisi, berdasarkan asumsi normal kenaikan pangkat dan jabatan, seorang teknisi perlu memperhitungkan atau membuat rencana mengenai pengembangan karir mereka bila ingin menjadi peneli�. Salah satunya dengan menggunakan periode pangkat dan raihan ijazah sebagai dasar dalam peningkatan kapasitas diri sebelum menjadi peneli�.

Periode CPNS, pada periode ini, teknisi litkayasa kemungkinan besar masih akan dimagangkan pada se�ap seksi

maupun kel� di kantor tempat penempatannya. Pada periode ini, seorang teknisi litkayasa sedapat mungkin belajar mengenai tupoksi masing -masing seksi atau kel�, karena pada kenyataannya seorang teknisi �dak hanya akan berhubungan dengan kegiatan teknis peneli�an saja. Mereka akan menjadi tulang punggung juga pada urusan peneli�an yang berkaitan dengan administrasi.

Page 242: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

227

PNS dengan pangkat pengatur muda/II a, pada periode ini teknisi litkayasa sudah bisa mengiku� diklat pembentukan teknisi litkayasa. Pada periode ini pula, teknisi dapat mengusulkan jabatan dari calon teknisi litkayasa menjadi teknisi litkayasa pemula atau langsung menjadi teknisi litkayasa pelaksana.

Pada golongan II b, II c atau pada golongan II d, seorang teknisi litkayasa sudah bisa untuk melanjutkan pendidikan formalnya yakni menempuh kuliah S1. Sedapat mungkin untuk mengambil kuliah di universitas terbaik yang dekat dengan kantor dimana teknisi bekerja. Pada saat kuliah sebaiknya sudah memperhitungkan dengan cermat fakultas hingga jurusan yang dipilih. Termasuk memper�mbangkan minat teknisi dan kelompok peneli�an (kel�) yang dimasuki.

Tabel 1. Proses pembentukan karakter peneli� seorang teknisi litkayasa

No

Golongan Ruang

Proses pembelajaran

I.

CPNS, II a

Magang, belajar tentang hal-hal yang nan�nya

mendukung pekerjaan sebagai teknisi litkayasa

II.

II b, IIc, IId

Kuliah S1, belajar membuat proposal,

mempertajam metode, belajar menulis tulisan

popular dan semi ilmiah

III.

III a, III b

Kuliah S2, belajar menulis tulisan ilmiah, rajin

mengiku� seminar, menentukan pilihan karir

IV. III c, III d Batas mulai menentukan pilihan karir

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana S1, jika masih menduduki golongan II d ke

bawah maka teknisi litkayasa tersebut akan menunggu proses penga kuan gelar hingga golongannya minimal mencapai golongan III a. Sehingga secara normal teknisi litkayasa akan melanjutkan pendidikan Master minimal pada saat golongan III a. Setelah dua tahun, pada saat menyelesaikan pendidikan S2, seorang teknisi litkayasa

akan menduduki minimal pangkat III b.

Selama selang waktu yang dibutuhkan oleh teknisi litkayasa dalam mencapai ijazah S2 yang memungkinkan teknisi litkayasa tersebut untuk beralih jabatan ke jenjang peneli�, hendaknya mempersiapkan diri untuk belajar mengenai membuat proposal peneli�an atau rencana peneli�an, belajar menulis dari hasil kegiatan peneli�an berupa tulisan majalah, belajar menulis dari kegiatan peneli�an berupa karya tulis ilmiah, berusaha menulis karya ilmiah dari hasil peneli�an sendiri misalnya dengan menjalin kerjasama dengan peneli� untuk melakukan kegiatan peneli�an yang pembiayaannya diluar pembiayaan negara, dll.

4.

Forum Teknisi Litkayasa

Teknisi litkayasa berbeda dengan fungsional lainnya. Jumlah Teknisi litkayasa jauh lebih sedikit dibanding fungsional lain yang dibina langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seper� PEH dan Polhut sehingga mungkin kurang mendapat perha�an. Jumlahnya memang sedikit namun ternyata menyebar di semua kementerian dan atau lemba ga yang mempunyai ins�tusi peneli�an. Tersebarnya fungsional teknisi tentu mempunyai dampak tersendiri terutama dalam masalah yang dihadapi.

Masalah-masalah yang terjadi dalam teknisi litkayasa sebaiknya menjadi perha�an banyak pihak, sehingga pemecahan masalah yang dihadapi �dak hanya dari satu sudut pandang kementerian atau lembaga atau bersifat lokal tanpa memandang litkayasa sebagai suatu jabatan lintas sectoral kementerian atau lembaga. Padahal sebagai jabatan yang terdapat pada

Page 243: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

228

hampir se�ap kementerian atau lembaga, permasalahan-permasalahan Teknisi Litkayasa telah berkembang menjadi lebih kompleks dan rumit karena boleh jadi permasalahan teknisi pada masing-masing kementerian atau lembaga berbeda-beda dan bersifat Khusus.

Manajemen atau aturan yang mengatur teknisi litkayasa hendaknya dirumuskan secara holis�k yaitu memandang masalah secara utuh, terpadu dan memecahkannya secara mul�disiplin, lintas kementerian dengan memandang jabatan teknisi litkayasa sebagai satu kesatuan jabatan di bawah binaan BPPTP.

Untuk itu dalam rangka menjamin terselenggaranya pengelolaan jabatan teknisi litkayasa maka se�ap kementerian atau lembaga yang memiliki jabatan fungsional teknisi litkayasa seyogyanya duduk bersama untuk merumuskan pengelolaan jabatan teknis i litkayasa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu wadah untuk berkoordinasi, berkomunikasi dan berkonsultasi untuk memecahkan se�ap permasalahan teknisi litkayasa. Ber��k tolak dari kondisi dan pemikiran tersebut, untuk penguatan par�sipasi semua stak eholders, maka perlu dibuat suatu forum yang mewadahi para teknisi litkayasa.

Saat ini forum teknisi litkayasa belum terbentuk di se�ap balai peneli�an kehutanan. Padahal forum teknisi litkayasa pada se�ap kantor Balai Peneli�an Kehutanan (BPK) diharap kan akan sangat berperan pen�ng dalam memberikan masukan dalam pengelolaan jabatan teknisi litkayasa. Sebagai sebuah forum, kekuatan payung hukum akan lebih kuat dalam menyuarakan kepen�ngan teknisi litkayasa yang selama ini seper�nya kurang mendapat pe rha�an.

Forum teknisi litkayasa yang terbentuk hendaknya �dak hanya berhen� di �ngkat balai saja. Setelah �ngkat balai terbentuk, selanjutnya dibentuk forum litkayasa yang menyatukan forum teknisi litkayasa antar BPK. Forum induk ini kemudian harus bisa menjalin kerjasama dengan forum kementerian dan atau lembaga lain. Forum dari KLHK seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi kementerian atau lembaga lain untuk membentuk forum teknisi litkayasa. Forum KLHK hendaknya mampu memberikan masukan bagi BPPTP selaku Pembina jabatan agar mampu mendorong terbentuknya forum teknisi di se�ap kementerian atau lembaga, menyatukan dan menerima aspirasi atau masukan dari forum-forum tersebut.

Forum teknisi litkayasa minimal dapat berfungsi sebagai wadah pengkajian, konsultasi, koordinasi dan komunikasi antar teknisi litkayasa dari berbagai kementerian dan atau lembaga dan mampu memberi masukan kepada pengambil keputusan. Forum teknisi diharapkan dapat mengkaji kebijakan, rencana dan aturan mengenai jabatan teknisi litkayasa. Forum ini dapat pula berfungsi mengkaji permasalahan-permasalahan yang ada dalam masing-masing kementerian dan kemudian memberi per�mbangan dan saran pemecahan masalah kepada kementerian yang bersangkutan dan BPPTP selaku Pembina jabatan bahkan kepa da Menpan seandainya terdapat masukan atas aturan yang berlaku.

V.

PENUTUP

Lokakarya teknisi merupakan sesuatu hal yang baru buat teknisi litkayasa yang bekerja di KLHK. Mudah-mudahan dalam lokakarya atau seminar ini

para teknisi litkayasa lingkup KLHK dapat berkumpul untuk saling bertukar pikiran, pendapat, dan lain sebagainya dalam rangka untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sekaligus untuk menciptakan peluang dan atau krea�fitas bagi teknisi litkayasa Lingkungan Hidup Dan kehutanan.

Tiada kata terlambat dalam upaya menuju suatu perbaikan. Seorang teknisi litkayasa harus

mampu menciptakan dan membuka peluang dalam usaha menuju perbaikan. Jika seorang teknisi litkayasa menganggap semuanya sudah terlambat, pasrah dengan keadaan, dan

Page 244: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

229

�dak bekerja keras untuk berubah ke arah yang lebih baik, maka itu pertanda bahwa teknisi litkayasa tersebut an�pa� dengan perubahan dan mungkin �dak pantas bekerja dalam lingkungan peneli�an, karena seseorang yang berkutat dengan peneli�an harus selalu dan senan�asa berusaha untuk merubah keadaan menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Peraturan Pemerintah Tentang Pegawai Negeri Sipil. Citra Umbara. Bandung.

Anonim. 2003. Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta.

Anonim. 2003. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. Menristek. Jakarta.

Anonim. 2003. Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa. Bagian Kepegawaian Organisasi dan Tata Laksana Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan.

BPPT. 2007. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Teknisi Litkayasa dan Angka Kreditnya. BPPT. Jakarta.

Ansari, Fajri. Teknisi Litkayasa: Permasalahan dan Strategi Pemecahannya. Info SDM.

Kumbuh,

dkk. 2000. Penyusunan Rencana Operasional Pelayanan Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela�han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000.

Se�awan, Iwan. 2009. Langkah Menuju Penyempurnaan Polhut (dari terampil menuju ahli). Pusdiklat Kehutanan. Bogor.

Sumarna, Anang. 2000. Tata Cara Prosedur Pengusulan dan Penilaian Teknisi Litkayasa. Disampaikan pada pela�han Teknisi Litkayasa Budidaya Tanaman Kehutanan dan Perkebunan Tgl 21 September s/d 20 Oktober 2000.

Page 245: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Peran Teknisi Litkayasa sebagai Mitra Peneli�an Kementerian LHK

230

Page 246: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

Prosiding Lokakarya Teknisi Litkayasa

231

LAMPIRAN

Page 247: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

232

Page 248: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

233

Lampiran 1. Susunan Acara Lokakarya

Waktu

Acara

Pembicara

08.00 -

08.30

Registrasi Peserta

Panitia

08.30 -

08.35

Doa

Purwanto,

S.Hut

08.35 -

08.45

Laporan Pelaksanaan Kegiatan

Kepala

BPK Palembang

08.45 -

09.00

Arahan dan Pembukaan oleh Sekbadan Litbang

Sekretaris Badan Litbang dan Inovasi KLHK

09.00 -

09.20

Keynote Speech

Peran Strategis Teknisi Litkayasa Sebagai Mitra Penelitian

Prof. Gustan Pari

09.20 -

10.00

Diskusi

10.00 -

10.15

Coffee Break

10.15 -

12.15

Sesi 1

Moderator :

Drs.

Agus Sofyan,

M.Sc

10.15 -

10.25

1.

Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur Jaringan

Endin Izudin

(BBPBPTH Yogyakarta)

10.25 -

10.35

2.

Pembangunan Kebun Benih Semai Generasi Pertama

(F-1) Jenis A. mangium

Surip

(BBPBPTH Yogyakarta)

10.35 –

10.45

3.

Teknik Pematahan Dormansi Benih Tanaman Hutan

Anggun Musyarofah

(BPTPTH

Bogor)

10.45 –

10.55

4.

Teknik Pembibitan Bidara Laut

Gipi Samawandana

(BPTHHBK Mataram)

10.55 –

11.05

5.

Silvikultur Praktis Tembesu untuk Peningkatan Produktivitas

Saiful Islam

(BPK Palembang)

11.05 –

11.15

6.

Peningkatan Pertumbuhan Tanaman Bitti Menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula dan Pupuk NPK Pada Media Sub Soil

Edi Kurniawan

(BPK Makassar)

11.15 –

12.15

Diskusi

12.15 –

13.30

ISHOMA

13.30 –

15.00

Sesi 2

Moderator:

Hengki Siahaan,

S.Hut.,

M.Si

13.30 – 13.40 7. Teknik Isolasi Jamur Pembentuk Gaharu Mansyur (BPTHHBK Mataram)

13.40 – 13.50 8. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di KHDTK Samboja

Yusub Wibisono (BTKSDA Samboja)

13.50 – 14.00 9. Potensi Stok Karbon di Kawasan Hutan Tanaman Jati Bonak Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara

Martinus Lalus (BPK Kupang)

14.00 –

14.10

10.

Pengaruh Kanalisasi dalam Pengelolaan Gambut terhadap Kebakaran Lahan

Johan P.

Tampubolon (BPK Palembang)

14.10 –

14.20

11.

Teknik Pemantauan Titik Api (Hot Spot)

Joni Muara

(BPK Palembang)

14.20 –

14.30

12.

Penggunaan Sumur Bor Dangkal Sebagai Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

Eko Priyanto dan Yusnan

(BPK Banjarbaru)

14.30 –

15.30

Diskusi

15.30 –

15.45

Coffee Break

15.45 –

16.45

Sesi 3

Moderator :

Edwin Martin,

S.Hut.,

M.Si

15.45 –

15.55

13.

Pembuatan Filler Secara Sederhana untuk Bahan

Finishing Kayu yang Murah

Darta

(Puslitbang Hasil Hutan)

15.55 –

16.05

14. WPC (wood plastic composite), Memaksimalkan Pemanfaatan Bahan Baku Kayu

Fitri Windrasari dan eko sutrisno

(BPK Kuok)

16.05 –

16.15

15.

Persepsi Masyarakat Mollo terhadap Keberadaan Segitiga Kehidupan (Manusia, Ternak, dan

Hutan) di Cagar Alam Gunung Mutis

Oskar K.

Oetaman

(Puslitbang Hasil Hutan)

16.15 –

16.25

16. Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Menurut UU No 23 Tahun 2014

Muhammad Fajri dan Robianto Felani

(BBPD Samarinda)

16.25

16.35

17. Teknik Pemindahan Koloni Trigona spp ke dalam Stup

Edi Kurniawan

(BPTHHBK Mataram)

16.35 –

16.45

18.

Adopsi Lebah Apis Cerana, Solusi Peningkatan Kualitas

Hidup Pegawai Litbang

Hendra Sanjaya

(BPK Aek Nauli)

16.45 –

17.45

Diskusi

17.45

17.55

Pembacaan rumusan

Sahwalita,

S.Hut.,

MP

17.55 –

18.15

Penutupan

Kepala BPK Palembang

Page 249: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

234

Lampiran 2. Da�ar Peserta

No.

Nama

Instansi

1

Oskar K. Oetaman

BPK Kupang

2

Mar�nus Lalus

BPK Kupang

3

Sahwalita

BPK Palembang

4

Imam Muslimin

BPK Palembang

5

Edi Kurniawan

BPTHHBK Mataram

6

Anggun Musarofah

BPTHHBK Mataram

7

Dewi Sahmin PS

BPTHHBK Mataram

8

Mega Selviani

KPHL Banyuasin

9

Darta

Puslitbang Hasil Hutan Bogor

10

Gii Samawandna

BPTHHBK Mataram

11

Ramdiawan

BPTHHBK Mataram

12

Mansyur

BPTHHBK Mataram

13

Hendra Sanjaya

BPK Aek Nauli

14

Fitri Windrasari

BPTSTH Kuok

15

Dian Haya�

BPK Palembang

16

Nanang Herdiana

BPK Palembang

17

Abdul Hakim Lukman

BPK Palembang

18

Siskha H

BPPHP Wilayah V

19 Joni Muara BPK Palembang

20 Nasrun BPK Palembang 21 Asmaliyah BPK Palembang 22 E�k Ernawa� Hadi BPK Palembang 23

Pidin Mudiana

BPK Aek Nauli

24

Hendra A

Dishutbun Lahat

25

Agus Sofyan

BPK Palembang

26

Eni Rulian�

BP DAS Musi

27

Sufyan Suri

BPK Palembang

28

Saripin

BPK Palembang

29

Hengki Siahaan

BPK Palembang

30

Syaiful Islam

BPK Palembang

31

Andi Nopriansyah

BPK Palembang

32

Paizal Abidin

BPK Palembang

33

Udi Se�awan

KPHL Banyuasin

34

Tri Joko Mulyono

Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi

35

Iton Bambang Patono

BPK Aek Nauli

36

Helen Vaviarsi

BPTH Sumatera

37

Agus Rialyan A

BPTH Sumatera

38

Nia Kurniasih

BPTH Sumatera

39

Bambang Tejo Premono

BPK Palembang

40

Efendi Agus Waluyo

BPK Palembang

41

Nur Arifatul Ulya

BPK Palembang

42

Sunelia�

BP4K Kabupaten MUBA

43

Totok Hernawan

BKSDA Sumsel

Page 250: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

235

No.

Nama

Instansi

44

Tubagus Angga R

BPK Palembang

45

Yulia Farida

BP4K Kabupaten MUBA

46

Teten Rahman S.

BPK Palembang

47

Heriyanto

BPK Palembang

48

Edwin Mar�n

BPK Palembang

49

Hadian Bayu

BPPHP Wilayah V

50

Sucia� N

BPPHP Wilayah V

51

Agung Suprianto

B2PD Samarinda

52

Robianto

B2PD Samarinda

53

Edi Kurniawan

B2PD Samarinda

54

Ahmad Rojikin

B2PD Samarinda

55

Yudhis�ra

BPK Palembang

56

Kusdi Mulyadi

BPK Palembang

57

Choirul Ahmad

BPK Palembang

58

Kania Agus�ni

BPK Palembang

59

Diana Febrian�

BPK Palembang

60

Fajri Ansari

BPK Makasar

61

Eko Priyanto

BPK Banjarbaru

62

Zainudin

BPK Makasar

63 Edi Kurniawan BPK Makasar

64 Yusuf Wibisono BPTKSDA Samboja 65 Purwanto BPK Palembang 66 Surip BP3BTH Yogyakarta 67

Endin Izzudin

BP3BTH Yogyakarta

68

Agung Suprianto

B2PD Samarinda

69

Robianto

B2PD Samarinda

70

Adi Kunarso

BPK Palembang

71 Ahmad Rojikin B2PD Samarinda

72 Anita TL Silalahi BPK Palembang 73 Suningsih BPK Palembang 74 Hendra Priatna BPK Palembang 75

Mamat Rahmat

BPK Palembang

Page 251: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

236

Lampiran 3. Susunan Panita

Lokakarya

1.

Penanggung jawab

:

Kepala

Balai Peneli�an Kehutanan Palembang

2.

Ketua

:

Anita T. L Silalahi,SP.,

M.Si

3.

Sekretaris

:

Suningsih, S.Hut

4.

Seksi

Kesekretariatan

Koordinator

:

Hendra Priatna,ST

Anggota

1.

Syaiful Islam

2.

Johan P. Tampubolon

5.

Seksi

Acara

dan

Persidangan

Koordinator

:

Adi Kunarso, S.Hut.,M.Si

Anggota

:

1.

Joni Muara, SP.

2.

Kusdi,S.Hut

6.

Seksi Konsumsi

Koordinator

:

Shinta Friska Simbolon, SH

Anggota

:

1.

Rista Novalina Sihombing, S. Sos

2.

Nes� Andriani

7.

Seksi

Transportasi

dan

Umum

Koordinator

:

Agus Yanto,

SH

Anggota

:

1.

Teten R.Saepulloh

2. Sudarto

8. Seksi Dokumentasi

Koordinator : Andi Nopriansyah Anggota : 1. Nasrun Sagala

2.

Saripin 9.

Seksi Fieldtrip

Koordinator

:

Sufyan Suri,SP

Anggota

:

1.

Mualimin

2.

Wen� Irvantya

Page 252: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

237

Lampiran 4. Notulensi Diskusi Lokakarya

1.

Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Joni Muara (BPK Palembang).

Tanya

:

Mengingat cakupan areal yang luas,

untuk mendeteksi Hot Spot

perlu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan aplikasi ini ?

Jawab

:

Dalam aplikasi ini sangat tergantung dari kecepatan Internet untuk

mengunduh data karena data pendukung sudah dimiliki.

2.

Edi Kurniawan

(BPK Makasar) untuk Joni Muara (BPK Palembang).

Tanya

:

Karena hasil akhir dari aplikasi ini berupa peta maka sebaiknya

di

cantumkan skala peta dan jenis peta yang digunakan.

Jawab

:

Di dalam makalah sudah dijelaskan,skala peta yang di

gunakan tergantung dari pemakaian peta.

3.

Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja)

Tanya

:

Keanekagaman jenis tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Samboja

cukup banyak mencapai 96 jenis.

Dari sekian banyak jenis tadi apakah

sudah ada uji kimianya atau masih berupa pendapat atau pengalaman

yang �mbul di masyarakat.

Jawab

:

Sampai saat ini,pengobatan menggunakan tumbuhan obat atau herbal

masih berasal dari pengalaman yang ada di masyarakat dan belum di uji klinis.

4.

Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Mar�nus Lalus (BPK Kupang)

Tanya

:

Apakah pengamatan stok karbon di kawasan hutan tanaman ja� Bonak

Kecamatan Biboki selatan Kabupaten Timor tengah selatan merupakan plot permanen.

Jawab : Plot pengamatan stok karbon di hutan tanaman ja� Bonak bukan sebagai plot permanen.

5. Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli) untuk Oskar K Oematan (BPK Kupang) Tanya

:

Biasanya kondisi hutan di Cagar Alam masih potensial,

banyak kayunya

bagaimana pengelolaan Cagar Alamnya dan apakah �dak ada pencurian di Cagar Alam tersebut.

Jawab

:

Pengelolaan Cagar Alam di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam

sehingga kami �dak tahu masalah ada atau �daknya pencurian kayu di sana.

6.

Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram).

Tanya

:

Dalam makalah teknik isolasi jamur pembentuk gaharu,

belum dijelaskan

diameter minimum yang bisa disun�k isolate dan jenis jamur apa yang

digunakan.

Jawab

:

Dalam peneli�an teknik isolasi jamur pembentuk gaharu digunakan jenis jamur fusarium sedangkan diameter pohon gaharu yang di

inokulasi

berdiameter 15 cm/10 tahun,berbatang lurus dan dalam kondisi sehat.

7.

Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Mansyur (BPTHBK Mataram)

Tanya

:

Sebagaimana kasus sengonisasi yang kesulitan pemasaran pasca panen,

bagaimana prospek pemasaran kayu gaharu.

Jawab

:

Berdasarkan pengalaman di Mataram penjualan kayu gaharu hanya sampai ke pengepul saja,

sedangkan standar harga belum ada.

Menurut

Agus Sofyan dari BPK Palembang,pasar gaharu sudah ada,

untuk minyak gaharu dan air sulingan sudah bisa di jual.

Di Kabupaten Musirawas Provinsi Sumatera Selatan untuk gaharu kualitas super B berharga 8.000.000 s/d 12.000.000.

Page 253: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

238

8.

Aam Hasanudin (BPK Aek Nauli) untuk Yusub Wibisono (BPTKSDA Samboja)

Tanya

:

Saat ini sedang gencarnya promosi obat-obatan herbal,

mungkin karena

harganya yang rela�ve murah.

Yang saya tanyakan apakah ada efek sampingnya.

Jawab

:

Selama pemakaiannya mengiku� aturan dan dosisnya terukur selama ini �dak ada efek samping.

9.

Edi Kurniawan (BPK Makasar) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli)

Tanya

:

Dalam pengembangan budidaya lebah madu Apis cerana,

dimana

stup-stup sudah banyak.Apakah ada kendala dalam proses adopsi lebah madu dengan kebutuhan lahan untuk mencari pakan nektar.

Jawab

:

Selama ini �dak ada kendala,karena lebah madu Apis cerana

hidup

tersebar di seluruh Indonesia.

Indonesia sebagai negara tropis merupakan

tempat yang sangat baik untuk pengembangan budidaya lebah madu karena variasi jenis tumbuhan yang sangat �nggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan sumber pakan sepanjang tahun.

10.

Effendi AW (BPK Palembang) untuk Hendra Sanjaya (BPK Aek Nauli)

Tanya

:

Seper�nya BPK Aek Nauli sudah berpengalaman dalam pengembangan

lebah madu,

apakah selain lebah Apis cerana

juga dikembangkan jenis lain,

bagaimana prosesnya selain itu apakah madu yang dihasilkan sudah

di uji kualitasnya.

Jawab

:

Di BPK Aek Nauli juga sudah dikembangkan jenis lebah madu lain yaitu Trigona

sp,

yang propolisnya memiliki kandungan an� kanker paling �nggi.

Di tempat kami belum ada fasilitas untuk uji laboratorium madu tetapi kami memiliki petani binaan yang cukup banyak.Tambahan keterangan dari Edwin Mar�n (Moderator) bahwa kegiatan ini bisa diaplikasikan di KHDTK dan KPH.

11. Fitri Windrasari (BPTSTH KUOK) untuk Edi Kurniawaan (BPK Mataram) Tanya : Pengembangan budidaya lebah madu penghasil propolis di Mataram sudah

cukup lama,tapi apakah sudah ada cara untuk mengekstraksi propolis. Jawab

:

Kebiasaan masyarakat di Lombok,propolis yang masih di dalam lilin rumah lebah langsung di hisap/di makan.sedangkan dibalai belum

memiliki alat untuk

ekstraksi propolis. Sebagian masyarakat sudah ada yang mengekstraksi propolis dengan menggunakan Aquades dan alkohol.

12.

Siska (BP2HP) untuk Edi Kurniawan (BPK Mataram)

Tanya

:

Apakah teknik pemindahan koloni lebah ke stup bisa dilaksanakan pada

lebah alam yang �nggal di pohon-pohon (Apis cerana/dorsata).

Jawab

:

Pada prisipnya semua lebah bisa di adopsi,tapi untuk saat ini di Lombok

belum pernah ada yang berani membudidayakan jenis Apis cerana

atau

Apis dorsata,terutama saat mengambil ratunya karena takut disengat.

13.

Oskar Oematan (BPK Kupang) untuk Robianto (BPK Samarinda)

Tanya

:

Pengalaman di KHDTK Kupang,sudah ada masyarakat yang menghuni di dalam kawasan baru ditetapkan sebagai KHDTK.Langkah yang sudah dilakukan baru sebatas buat surat pemberitahuan belum sampai pada

tahap paksa. Bagaimana pengalaman pembuatan KHDTK di BPK Samarinda.

Jawab

:

KHDTK di BPK Samarinda (Labanan) adalah eks areal konsesi Inhutani masyarakat di sekitar Hutan dibebaskan untuk membuat ladang.

Penetapan KHDTK dilakukan

setelah masyarakat ada di sana dan banyak perusahaan

kebun dan tam bang di sekitarnya. Tambahan keterangan dari Agung S (BPK Samarinda) bahwa

Page 254: PROSIDING LOKAKARYA TEKNISI LITKAYASA BADAN …

239

masyarakat yang menggali tambang di dalam areal akhirnya lahan tersebut dikuasai perusahaan tambang.

Langkah

preven�f sudah dilakukan.sekarang langkah par�sipa�f dengan mencari

alterna�f penghasilan yang bisa diambil dari hutan tapi �dak merusak hutan.

14.

Edi Kurniawan (BPK Mataram) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok)

Tanya

:

Dengan kemajuan teknologi maka akan memaksimalkan pemakaian bahan Baku kayu yang ada.Seper� juga WPC (Wood Plas�c Coposite), yang saya

tanyakan apa kegunaan hasil dari WPC ini.

Jawab

:

Kondisi saat ini yang kekurangan bahan baku kayu maka WPC adalah sebagai alterna�f penggan� kayu untuk keperluan eksterior,

interior, sekat

kursi,

lemari dan lain lain.

15.

Edwin Mar�n (BPK Palembang/moderator) untuk Fitri Windrasari (BPTSTH Kuok)

Tanya

:

Apa Inovasi yang bisa dikembangkan terkait dengan mahalnya harga

WPC.

Jawab

:

Untuk menekan biaya produksi kami menggunakan kayu jabon sisa

peneli�an,

sehingga dapat menurunkan harga bahan baku dimana

implikasinya harga WPC bisa turun.

16.

Mar�nus Lalus (BPK Kupang) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang)

Tanya

:

Bagaimana perkembangan tanaman tembesu (Fragrea fragan)

kalau secara

genera�ve dan bagaimana caranya kami bisa mendapatkan benihnya untuk di

bawa ke Kupang,

untuk coba di

kembangkan di sana.

Jawab

:

Di BPK Palembang tembesu yang di tanam berasal dari biji (genera�ve)

tetapi juga sudah dilakukan peneli�an perkembangbiakan secara vegeta�f dengan hasil yang cukup baik. Secara genera�ve, prosesnya cukup sederhana buah tembesu yang masak berwarna merah diekstraksi, kemudian di tabur/di semai, kurang lebih 3 minggu sudah mulai berkecambah dan setelah satu bulan bisa dipindahkan ke polybag.

Khusus buat BPK Kupang masih ada stok benih tembesu

untuk dibawa pulang.

17.

Robianto (BPK Samarinda) untuk Syaiful Islam (BPK Palembang)

Tanya

:

Pohon tembesu ini merupakan jenis unggulan di Sumatera,

apakah

pohon ini

jenis pionir dan bagaimana perkembangbiakannya.

Selain itu

apa kendala kalau di tanam secara monokultur seper� serangan hama dan penyakit.

Jawab

:

Perkembangbiakan pohon tembesu umumnya secara genera�ve seper�

penjelasan pada pertanyaan sebelumnya.

Di

BPK Palembang pohon

tembesu di tanam secara monokultur,

yang sampai saat ini sudah

berumur 10 tahun.Hama yang ada belum mengganggu perkembangannya tapi ada juga ditemukan rayap,

sedangkan penyakitnya adalah jamur.

Tambahan keterangan dari Nasrun Sagala (BPK Palembang) kalau ada tanaman tembesu yang terserang jamur maka harus di

bongkar dan dibakar agar �dak menyebar.

Sebagai penutup sesi ini ada masukan dari Moderator,

Edwin Mar�n, S.Hut, M.Si

Peneli� BPK Palembang antara lain :

1.

Acara ini akan luar biasa sekali kalau dilakukan secara nasional karena teknisi -teknisi kita memahami apa yang sudah disampaikan.

2.

Saat menghadapi KPH teknisi kita bisa diandalkan dan �dak tergantung peneli�.