Top Banner
279

PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

Feb 02, 2018

Download

Documents

dangkien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi
Page 2: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi
Page 3: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

PROSIDING

Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Call for Paper

Tema:

Standardisasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Sabtu, 23 April 2016 Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

Diselenggarakan Oleh:

Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS

Page 4: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

PROSIDING

Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Standardisasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

ISBN: 978-602-386-073-9

Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Penanggungjawab: Ketua Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Penyeleksi Abstrak/Makalah: Prof. Dr. dr. Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN., DLSHTM., PKK.

Prof. Dr. dr. Soebijanto Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.

Ketua Editor: Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.

Anggota Editor: Azham Umar Abidin, S.K.M., M.P.H.

Risma Arum Lintar Indira, S.K.M., M.P.H.

Tim Korektor Prosiding: Bambang Hermawan, S.K.M.

Dwi Nurani Ohorella, S.Kep., Ns. Ihya Hazairin Noor, S.K.M.

Mahfi Yusuf, S.Pd.

Diselenggarakan Oleh:

Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Program Pascasarjana, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281 Tel.: 0274–560300, 581876

Website: www.kesker.fk.ugm.ac.id, E-mail: [email protected]

Penerbit: Gadjah Mada University Press www.ugmpress.ugm.ac.id

Page 5: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

iii

SUSUNAN PANITIA

Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Penasehat

Penganggungjawab

Ketua Panitia

Sekretaris

Bendahara

Sie Ilmiah

Sie Humas

Sie Acara

Sie Konsumsi

Sie Perlengkapan

Sie Pubdekdok

:

:

:

:

:

:

:

:

:

:

:

Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan,

dan Kedokteran Sosial

Ketua Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(Prof. Dr. dr. Adi Heru Sutomo, M.Sc., DCN.,

DLSHTM., PKK.)

Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.

Risma Arum Lintar Indira, S.K.M., M.P.H.

1. Esty Sundari

2. Pirenaningtyas, A.Md.

1. Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.

2. Azham Umar Abidin, S.K.M., M.P.H.

3. Dwi Nurani Ohorella, S.Kep., Ns.

1. Mahfi Yusuf, S.Pd.

2. Tiva Gani Agustina, S.S.

Triasih Widiawati

Fadhilla Pratamasari, S.Gz., M.P.H.

1. Anton Dwi Haryanto

2. Asnandar Prabowo

3. Triandaru

1. Ihya Hazairin Noor, S.K.M.

2. Bambang Hermawan, S.K.M.

Page 6: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

iv

SAMBUTAN

KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL K3

Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Alhamdulillah, atas kehendak-Nya, kegiatan "Seminar Nasional Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3)" hari ini, Sabtu, 23 April 2016, di Fakultas Kedokteran,

Universitas Gadjah Mada, dapat terselenggara. Kegiatan ini merupakan agenda

penting yang diselenggarakan oleh Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3), pada Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran

Sosial. Dalam seminar ini, diambil tema: Standardisasi Penerapan K3 di Indonesia

Dalam Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita ketahui, bahwa persoalan dalam

dunia kerja dengan aspek K3-nya begitu luas. Pada sisi lain, tuntutan standardisasi

sistem kerja menjadi kebutuhan dasar yang tidak dapat ditawar lagi. Maka, dalam

seminar ini, kita akan menelaah berbagai masalah dalam standardisasi K3 di

Indonesia dalam iklim MEA yang harus kita hadapi.

Seminar ini terdiri dari 2 sesi, pertama paparan ilmu dari para narasumber, kedua

adalah presentasi dari para pemakalah yang datang dari berbagai perguruan tinggi

di Indonesia. Dari hasil seleksi abstrak dan makalah yang masuk, jumlah makalah

yang akan dipresentasikan nanti sebanyak 39 judul, subtopik ilmu dibagi menjadi

4 kelompok. Kita pahami, bahwa keilmuan K3 ditopang oleh 2 subdisiplin ilmu,

yaitu (1) ilmu kesehatan - kedokteran, dan (2) ilmu keteknikan - rekayasa. Maka,

dalam presentasi call for paper pada seminar ini, judul dan bidang ilmu yang

dicakup cukup variatif (interdisipliner).

Kami, panitia seminar, mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan

pemakalah seminar yang datang dari berbagai kota di Indonesia, dan terima kasih

atas partisipasi yang diberikan dalam kegiatan ini. Terima kasih kami haturkan

kepada Bapak Dekan Fakultas Kedokteran, Ibu Ketua Departemen Perilaku

Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial, Bapak Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat, dan semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan

kegiatan ini. Mohon dimaafkan atas segala kekurangan. Semoga kegiatan ini

menjadi kontribusi bermakna bagi pengembangan K3 di Indonesia.

Selamat ber-seminar, dan sukses untuk semuanya!

Wassalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Yogyakarta, 22 April 2016

Panitia Seminar Nasional K3

Ketua,

Dr. Ir. Widodo Hariyono, A.Md., M.Kes.

Page 7: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

v

SAMBUTAN

KETUA DEPARTEMEN PERILAKU KESEHATAN,

LINGKUNGAN, DAN KEDOKTERAN SOSIAL

Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Kami mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan pemakalah seminar

dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta serta institusi lain di

Indonesia.

Dalam menyongsong industrialisasi global dunia kerja dalam beberapa dekade

terakhir ini, peranan para ahli dan pendidik Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3) menjadi semakin penting. Masalah-masalah terkait aspek K3 dalam sektor

kerja menjadi semakin luas dan beragam. Di sisi lain, tuntutan standardisasi dalam

semua bentuk pekerjaan, baik dalam skala makro maupun mikro, menjadi

kepentingan bagi semua jenis industri. Standardisasi ini mencakup baik industri

skala kecil, menengah, maupun besar, dan juga dalam sektor industri barang

maupun jasa.

Kegiatan "Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)” pada hari

Sabtu, 23 April 2016, di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ini

diselenggarakan untuk turut menjawab tantangan tersebut. Kegiatan ini diinisiasi

oleh Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari Departemen

Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial. Seminar ini bertujuan

untuk memerluas wawasan dan pencerahan terkait dengan bidang ilmu K3 sesuai

tema dalam seminar ini, yaitu: "Standardisasi Penerapan K3 di Indonesia Dalam

Iklim Masyarakat Ekonomi ASEAN".

Pada seminar ini akan dipaparkan berbagai makalah yang dibagi dalam beberapa

subtopik. Presentasi dari para pemakalah akan memerkaya khazanah riset dalam

bidang K3 dan aplikasinya di dunia industri. Kami berharap partisipasi dalam

kegiatan ini dapat menjadi kontribusi penting dalam pengembangan keilmuan K3

maupun cabang ilmu lain yang berkaitan dengan K3.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

penyelenggaraan kegiatan ini. Semoga kegiatan ini menjadi tonggak permulaan

yang penting bagi pengembangan keilmuan K3 di Indonesia yang lebih luas.

Selamat mengikuti seminar, semoga menjadi manfaat besar dan berlipat ganda!

Wassalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Yogyakarta, 22 April 2016

Departemen PKLKS

Ketua,

dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, M.P.H., Ph.D.

Page 8: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

vi

SAMBUTAN

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UGM

Assalamualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, salam sejahtera dan keselamatan untuk kita

semuanya. Atas nama Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM),

saya selaku Dekan mengapresiasi tinggi atas kerja segenap Panitia pemrakarsa

terselenggaranya Prodi S2 Ilmu Kesehatan Kerja dan Panitia atas terselenggara

Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Seminar dalam

rangkaian peringatan Hari K3 Nasional tahun ini mengangkat tema “Standardisasi

Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Iklim Masyarakat Ekonomi

ASEAN/MEA”.

Tema ini saya kira sangat relevan untuk merespon mulai diberlakukannya

perdagangan bebas dunia, dimana di Asia Tenggara mulai diberlakukan MEA.

Pemberlakuan perdagangan bebas ini tentu akan memicu adanya kompetisi global

yang tentu menuntut adanya daya saing korporasi dan tenaga kerja/sumber daya

manusia (SDM). Salah satu indikator daya saing korporasi adalah penerapan

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di lingkungan

kerja. Penerapan SMK3 yang terintegrasi menjadi bukan hanya menjadi tuntutan

utama dalam pemenuhan standar Internasional untuk produksi dan penjualan

produk barang atau jasa, bahkan menjadi faktor penentu kelangsungan usaha

perusahaan serta daya saing sebuah negara. Penerapan SMK3 saat ini merupakan

kebijakan Pemerintah dan amanat konstitusi Pasal 87 Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 yang telah diatur dalam pedoman penerapan SMK3 melalui Peraturan

Pemerintah No. 50 Tahun 2012.

Sebagaimana diketahui bahwa SMK3 adalah menciptakan suatu sistem

keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur

manajemen, tenagakerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam

rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta

terciptanya tempat kerja yang selamat, sehat, dan aman. Kondisi ini diharapkan

dapat memacu produktifitas kerja dan mensejahterakan seluruh pemangku

kepentingan (stakeholders). Namun realitas masih menunjukkan bahwa K3 belum

menjadi mainstream korporasi dan masyarakat industri di Indonesia. BPJS

Ketenagakerjaan masih mencatat bahwa pada akhir tahun 2015 kecelakaan kerja

yang dilaporkan sebanyak 105.182 kasus, dengan korban meninggal dunia 2.375

orang.

Dalam bidang kesehatan, pemberlakukan perdagangan bebas, termasuk

MEA akan memicu mobilisasi dan perpindahan manusia dalam jumlah besar

dalam waktu yang cepat lintas negara. Kondisi ini sangat mungkin akan memicu

adanya transmisi penyakit karena transportasi yang melebihi batas inkubasi

penyakit. Tantangan yang lebih besar adalah bagaimana transmisi penyakit ini

dapat diatasi tanpa menganggu aktivitas perdagangan dan perjalanan

internasional. Tentunya ini memerlukan kerjasama sektor kesehatan antar negara

dan pemberlakuan aspek legalnya.

FK UGM sebagai salah satu instiusi pendidikan dokter, perawat dan ahli

gizi tentu merespon positif isu kebijakan kesehatan dunia ini dengan

Page 9: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

vii

mempersiapkan tenaga kesehatan kompeten dan berwawasan global. FK UGM

mulai tahun akademik 2007/2008 menerapkan inovasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) dengan strategi Belajar Berdasarkan Masalah (BBM) atau

Problem Based Learning (PBL) dan terus mengembangkan Continuing

Profesionalism Development/CPD dan Continuing Medical Education/CME

untuk meningkatkan kapasitas SDM.

Akhirnya kami mengucapkan selamat berseminar, selamat Hari K3

Nasional, dan kami berharap agar forum ini dapat menjadi media yang kondusif

dalam upaya memicu akselerasi penerapan K3 dalam berbagai bidang kerja untuk

meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan kerja masyarakat.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.

Yogyakarta, 22 April 2016

Fakultas Kedokteran UGM

Dekan,

Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K)Onk.

Page 10: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

viii

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ......................................................................................... i

Data Bibliografi …………………………………………………………... ii

Susunan Panitia …………………………………………………………… iii

Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional K3 …………………………... iv

Sambutan Ketua Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan

Kedokteran Sosial ..............................................................................

v

Sambutan Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ............. vi

Daftar Isi...................................................................................................... viii

Subtopik: Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1. Analisis Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi Deskriptif di PT Citra

Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek Penerapan OHSAS

18001: 2007) Ayu Agustiana, Rini Fatmawati, Herman

1 - 7

2. Analisis Penerapan Budaya Keselamatan Kerja Oleh

Radiografer di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Paru Respira

Yogyakarta Azidanti Saufi, Ahmad Ahid Mudayana

8 - 14

3. Efektivitas Penanganan Limbah Padat di Rumah Sakit Umum

Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan Veza Azteria

15 - 20

4. Evaluasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Bengkel St.

Yosef Nenuk Atambua Sebastianus Baki Henong

21 - 26

5. Evaluasi Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Unit

Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II Istika Dwi Kusumaningrum, Widodo Hariyono

27 - 33

6. Implementasi Manajemen Keselamatan Proses Dengan

Revalidasi HAZOP & Klasifikasi SIL Unit Ammonia Pabrik-4 Basuki Rachmad

34 - 44

7. Implementasi Regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3). (Studi Kasus Pada Dua Daerah TK II di Sumbar Kendala

Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN) Amrizal Arief, Yulianita

45 - 47

Page 11: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

ix

8. Manajemen Keselamatan Proses Sebagai Bentuk Pengelolaan

Potensi Bencana Industri di Indonesia Sidik Mastrilianto

48 - 55

9. Peran Contractor Safety Management System (CSMS) Dalam

Meminimalkan Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek

Pembangunan Waduk Teritip Kota Balikpapan Erwin Ananta

56 - 63

10. Program Induksi Terhadap Penerapan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT Supraco Indonesia.

(Studi Kasus: Barge Pioneer Blok Mahakam Kutai

Kartanegara) James Evert Adolf Liku, Zulkifli

64 - 69

11. Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) di

Perusahaan Sebagai Upaya Menekan Angka Kematian Akibat

Kecelakaan Kerja Septa Decelita, Hardi Yanta

70 - 77

12. Tinjauan Rujukan Daftar Bahaya dan Usulan Tambahan Daftar

Bahaya Keselamatan dan Kesehatan Syamsul Arifin

78 - 83

Subtopik: Penyakit Akibat Kerja

1. Estimasi Risiko Kejadian Penyakit Degeneratif Akibat Pajanan

Polusi Udara NO2 Pada Pekerja Jalan Tol di Jakarta E. Laelasari, H. Kusnoputranto, Budiawan Mustofa

84 - 91

2. Hubungan Antara Pola Makan dan Gaya Hidup Dengan

Sindroma Metabolik Pada Pekerja di PT X Ratih Damayanti, Erwin Dyah Nawawinetu

92 - 98

3. Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja Dengan Kadar Nikel

Dalam Urin Pekerja Sektor Informal Pelapisan Logam Yuliani Setyaningsih

99 - 105

4. Hubungan Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Karyawan

Game4Indo Yogyakarta Suci Khoiriyah, Nor Wijayanti

106 - 112

5. Pengaruh Frekuensi Menyusui Terhadap Keluhan Sakit

Punggung Pada Pekerja Wanita di Perusahaan Garmen Yeremia Rante Ada’, Sumardiyono

113 - 119

6. Keluhan Gangguan Pernapasan Ditinjau Dari Kadar Debu

Total, Masa Kerja, Behavior Based Safety (BBS) Karyawan di

PT Borneo Melintang Buana Eksport Kabupaten Sleman Sitti Fatimah Rahmansyah, Dwi Nurani Ohorella, Hening Rizky Permata, Mahfi Yusuf

120 - 125

Page 12: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

x

7. Pengurangan Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan di Rumah

Sakit X Kota Padang Tahun 2016 Fadillah Ulva, Adi Heru Sutomo, Agus Surono

126 - 130

Subtopik: Ergonomi

1. Analisis Faktor Penyebab Musculoskeletal Disosders Dengan

Metode Rapid Upper Limb Assessment Pada Staf Kependidikan

UNIDA Tofan Agung E.P., Eka Rosanti, Ratih Andhika A.R., Edwina Rudyarti

131 - 138

2. Hubungan Intensitas Pencahayaan Dengan Kelelahan Mata

Pada Pekerja Home Industry Batik Sragen Seviana Rinawati, Siti Rachmawati

139 - 144

3. Hubungan Sikap Kerja Pengangkutan Dengan Keluhan Low

Back Pain Pada Pekerja Depot Air Minum Arinta Puspita Restu

145 - 152

4. Identifikasi Postur Kerja Pekerja Pada Usaha Pembuatan Tahu

Dengan Menggunakan Metode RULA, REBA, QEC, OWAS dan

WERA Chalis Fajri Hasibuan

153 - 159

5. Kajian Kualitas Udara Dalam Ruangan di Perkantoran untuk

Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan Muslikha Nourma Rhomadhoni

160 - 166

6. Kenyamanan, Kekuatan Otot, Denyut Nadi, dan Kelelahan

Mekanik Bengkel Sepeda Motor Konvensional di Kotamadya

Padang Amrizal Arief, Erzedin Alwi

167 - 173

7. Kesejahteraan di Tempat Kerja, Menciptakan Lingkungan

Kerja yang Positif, dan Peningkatan Produktivitas Karyawan Charli Sitinjak

174 - 179

8. Pengaruh Postur Kerja Terhadap MSDs Karyawan Instalasi

Central Sterile Supply Department, Laundry, dan Jahit di

RSUD Dr. Moewardi, Surakarta Agustina Dwi Suryawati, Sumardiyono, Yeremia Rante Ada’

180 - 186

9. Penilaian Risiko Terhadap Kondisi Ergonomi Pengrajin

Songket “Fikri Koleksi” di Talang Semut Bukit Tanggal,

Palembang Septia Milanda, Desca Olympia Citra

187 - 193

Page 13: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

xi

10. Posisi Kerja Ergonomis Berkorelasi Positif Dengan Tingkat

Kelelahan Pembatik Yamtana, Ayub Belasihi

194 - 200

11. Studi Keluhan Muskuloskeletal Pada Pramudi Bus Trans

Jakarta Koridor IX (Pendekatan Ergonomi) Tahun 2015 Decy Situngkir

201 - 207

Subtopik: Teknik Pengendalian Kecelakaan

1. Analisis Kesesuaian Penyediaan Energi di Tempat Kerja Pada

Karyawan PTS Gresik Erwin Dyah Nawawinetu, Ratih Damayanti

208 - 212

2. Aplikasi Sistem Peringatan Dini Pada Keamanan, Keselamatan

dan Kesehatan Kerja Aan Burhanuddin, Muchamad Malik

213 - 218

3. Dow’s Fire dan Explosion Index Sebagai Solusi Alternatif

Dalam Penilaian Potensi Bahaya dan Risiko Terjadinya

Kebakaran dan Ledakan. (Studi Kasus di Tangki Penyimpanan

LPG Pertamina Perak Surabaya) Dani Nasirul Haqi

219 - 226

4. Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang

Dirancang Secara Sederhana Dalam Meminimalisir Faktor

Bahaya Debu Pada Industri Informal Saiku Rokhim

227 - 232

5. Efektifitas Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Dengan

Menggunakan Metode Prosedur Standar Oprasional di Barge

Pelangi Tirtamas 2 (Studi Kasus PT Pelangi Niaga Mitra

Internasional Kutai Kartanegara) M. Isradi Zainal, Mustadin Umar

233 - 239

6. Excessive Workload Detector “Exator” Sebagai Alat Pencegah

Stres Kerja untuk Meningkatkan Perkembangan Electromedic

di Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN Satria Indra Nugraha, Zahrotul Mahmudati, Hafidzoh Najwati, Zakiyah Islamiyati O.P., Oktavinta Warits P.P., Baju Widjasena

240 - 245

7. Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko, dan Pengendalian Risiko

Pada Pekerjaan Tambang Belerang (Studi Pada Pekerja

Tambang Belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen) Khairul Anwar, Isa Ma’rufi, Anita Dewi Prahastuti S

246 - 253

8. Pengetahuan dan Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara

(Safety Riding) Dengan Insiden di Jalan Raya Pada Pelajar

SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta Eko Maulana S., Ihya Hazairin Noor, Sujiah, Bambang Hermawan

254 - 260

Page 14: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

xii

9. Prototype “SAIRIS Tech” (Alat Penangkap Polutan Udara

Dalam Ruangan) Husaini, Abdul Haris

261 - 264

Page 15: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

1

Analisis Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Studi Deskriptif di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek

Penerapan OHSAS 18001: 2007)

Ayu Agustiana, Rini Fatmawati, Herman Prodi Ilmu Administras Bisnis, FISIP, Universitas Hang Tuah

Jl. Arif Rahman Hakim 150 Surabaya

Tel: (031)5945864. E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana penerapan dan operasi sistem

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa berdasarkan

OHSAS 18001: 2007. Berdasarkan hasil wawancara dapat simpulkan Berdasarkan uraian

diatas, maka hasil penelitian ini adalah dari seluruh aspek penerapan dan operasi sistem

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja terdapat beberapa aspek yang sudah

diterapkan dan belum diterapkan dengan baik oleh perusahan sesuai dengan

OHSAS18001: 2007. Dilihat dari aspek sumber daya manusia dan ketrampilan khusus,

manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, peningkatan kinerja K3, tenaga kerja,

pengembangan dan peninjauan K3, dan konsultasi eksternal dampak K3 belum diterapkan

oleh perusahaan. Dan dari aspek infrastruktur, teknologi dan finansial, laporan kinerja

K3, pertanggung jawaban laporan K3, pertanggungjawaban laporan K3, pendelegasian

pihak manajemen, tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman, evaluasi aktivitas

pelatihan, peduli dengan peran dan tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi potensil,

komunikasi internal, komunikasi eksternal, merespon komunikasi, identifikasi bahaya,

penyelidikan insiden, dan konsutasi internal dampak K3 sudah diterapkan oleh

perusahaan.

Kata kunci: kerja, kesehatan, keselamatan, sistem manajemen.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Perkembangan perusahaan jasa saat ini semakin pesat karena tidak terlepas

dari peran tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan yang baik

adalah perusahaan yang benar-benar menjaga keselamatan dan kesehatan

karyawannya dengan membuat aturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja

yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan. Perlindungan

tenaga kerja dari kecelakaan kerja sangat dibutuhkan oleh karyawan agar

karyawan merasa aman dan nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Pada dasarnya negara telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan

yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Undang-

undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah kewajiban pengusaha

melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapi karyawan. Namun

tidak sedikit perusahaan yang tidak memaksimalkan program Keselamatan dan

Kesehatan Kerja sebagai perlindungan bagi karyawan. Masih banyak perusahaan

yang memandang Keselamatan dan Kesehatan Kerja kurang bermanfaat dan

hanya menambah beban pengeluaran perusahaan yang semakin besar. Meski

Page 16: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

2

begitu, kesalahan tentu tidak boleh hanya dilihat dari pihak perusahaan saja,

melainkan juga dari pihak tenaga kerjanya sendiri.

Menurut (Dessler, 2003) kondisi yang tidak aman dapat berupa prosedur

yang berbahaya, penyimpanan yang tidak aman serta peralatan yang tidak terjaga

dengan baik. Sedangkan tindakan yang tidak aman dapat berupa kecerobohan,

kesalahan dalam pelaksanaan prosedur dan ketidak telitian. Kondisi dan tindakan

yang tidak aman tersebut sangat besar kemungkinan terjadinya di dalam industri

jasa freight forwarding. Banyaknya peralatan dan mesin-mesin yang dapat

membahayakan keselamatan karyawan menjadikan kecelakaan kerja sangat

mungkin terjadi.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat hingga tahun 2010,

kecelakaan kerja masih didominasi bidang jasa konstruksi (31,9%), disusul

industri (31,6%), transport (9,3%), pertambangan (2,6%), kehutanan (3,8%), dan

lain-lain (20%). Tingginya angka kecelakaan kerja di sektor jasa konstruksi itu

karena kesadaran dari penyedia jasa terhadap keselamatan kerja masih rendah. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah anggota yang memiliki sertifikat Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) baru sekitar 5%. Sedangkan, menurut

data statistik, kecelakaan akibat kerja di Indonesia masih tinggi, berdasarkan data

yang ada di PT. Jamsostek sepanjang tahun 2007 angka kecelakaan kerja yang

terjadi mencapai 83.714 kasus, dan pada tahun 2008 angka kecelakaan kerja

mencapai 58.600 kasus, kemudian pada tahun 2009 telah terjadi sebanyak 54.398

kasus kecelakaan kerja, sedangkan pada tahun 2010 angka kecelakaan kerja

mencapai 47.919 kasus, dengan rincian sebanyak 7.965 meninggal dunia, dan

jumlah santunan yang dibayarkan sebesar Rp. 150.987 triliun (http://apindo.or.id).

Berdasarkan fakta-fakta tersebut perlu segera diselesaikan permasalahan

kecelakaan kerja di perusahaan yakni dengan mencari prioritas penanganan

terhadap jenis pekerjaan yang nantinya digunakan untuk mengevaluasi keamanan

serta mencegah kecelakaan, untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang

analisis penerapan dan operasi sitem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

di PT Citra Swasrika Sentosa yang merupakan perusahaan jasa freight forwarding

yang bertaraf Internasional dengan pelayanan yang khusus melayani jasa

pengangkutan domestik dan Internasional seperti jasa Ekspedisi Muatan Kapal

Laut (EMKL) dan Custom Clearance. Berdasarkan fenomena masalah yang

terjadi peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis

Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(Studi Deskriptif di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-Aspek

Penerapan dan Operasi OHSAS 18001: 2007)”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas untuk memahami kebenaran

penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT

Citra Swastika Sentosa maka peneliti mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

“Bagaimana Penerapan dan Operasi Sistem Manajemen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja di PT Citra Swastika Sentosa ditinjau dari Aspek-aspek

penerapan dan operasi OHSAS 18001: 2007.

Page 17: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

3

1.3. Kerangka Konsep

Gambar 1. Model Konseptual

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis

penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti berusaha memperoleh

gambaran yang konkret tentang Analisis penerapan dan operasi sistem manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa.

Dalam hal ini fokus penelitian yang akan diuraikan oleh peneliti berisi

mengenai aspek-aspek yang akan menyaring berbagai informasi yang dibutuhkan

sesuai dengan permasalahan yang diangkat sekaligus sebagai upaya pengukuran

atas fenomena yang ada. Untuk membatasi kajian yang akan dibahas dalam

penelitian ini maka akan menggunakan fokus dengan aspek-aspek sebagai berikut:

aspek sumber daya, peran, tanggung jawab, akuntanbilitas dan wewenang.

Sumber daya meliputi: sumber daya manusia dan ketrampilan khusus,

infrastruktur, teknologi dan finansial. Peran meliputi: manajemen yang

bertanggung jawab tentang K3, laporan kinerja SMK3. Tanggung jawab meliputi:

peningkatan kinerja K3 dan tenaga kerja. Akuntabilitas meliputi:

Aspek Kompetensi,

pelatihan dan

kepedulian

Aspek Sumberdaya,

peran, tanggung jawab,

akuntabilitas dan

wewenang

Aspek Komunikasi,

partisipasi dan

konsultasi

Penerapan dan Operasi

Sistem Manajemen

Keselamatan dan

Kesehatan Kerja

Penilaian Penerapan

dan Operasi

Keselamatan dan

Kesehatan Kerja

Sistem Manajemen

Keselamatan dan

Kesehatan Kerja

Page 18: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

4

pertanggungjawaban laporan K3. Wewenang meliputi: pendelegasian pihak

manajemen dan aspek kompetensi. Pelatihan dan kepedulian meliputi.

Kompetensi meliputi: tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman. Pelatihan

meliputi: evaluasi aktivitas pelatihan. Kepedulian meliputi: peduli dengan peran

dan tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi potensial. Aspek komunikasi,

partisipasi dan konsultasi meliputi: komunikasi meliputi: komunikasi internal,

komunikasi eksternal, merespon komunikasi. Partisipasi dan konsultasi meliputi:

identifikasi bahaya, penyelidikan insiden, pengembangan dan peninjauan K3,

konsultasi internal dampak K3, konsultasi eksternal dampak K3.

Subyek dan sumber informasi dalam penelitian ini yaitu beberapa orang

yang berkompeten untuk memberikan informasi mrngenai penerapan dan operasi

SMK3 diantaranya:

A. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dari hasil pengamatan

langsung ke area perusahaan, wawancara dan diskusi dengan pihak-pihak yang

berkaitan langsung dengan penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan

dan kesehatan kerja di PT Citra Swastika Sentosa diantaranya yaitu:

1. Manajer Operasional

2. Manajer Personalia

3. Manajer Keuangan

4. Staf Operasional

5. Staf keuangan

6. Staf Personalia (koordinator lapangan)

7. Tally

8. Tenaga Kerja Bongkar Muat

B. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yang berhubungan

dengan penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan

kerja.

3. Hasil dan Pembahasan

Lokasi penelitian yang dipilih penulias adalah PT Citra Swastika Sentosa

yang terletak di Jalan Perak Timur 512 Blok D-4 Surabaya, Jawa Timur.

Penerapan dan Operasi SMK3 memberikan perusahaan freight forwarding dan

transportasi logistik utama yang terbaik dengan penyediaan fasilitas dan

pelayanan terpercaya kepada pelanggan dan Mendukung pelayanan kepabeanan

yang efisien dan efektif untuk menjamin daya saing perindustrian transportasi

logistik, Melayani sistem distribusi muatan kapal laut dan udara dengan bongkar

muat yang efisien, efektif dan aman sampai ketempat tujuan, Mampu memberi

solusi terbaik dalam permasalahan pada dunia logistik dan transportasi yang

profesional, Mendukung kesejahteraan karyawan demi kemajuan perusahaan.

Ketentuan PT Citra Swastika Sentosa untuk mendukung keselamatan kerja

karyawannya adalah dengan cara memenuhi kelengkapan alat pelindung diri

untuk menunjang keselamatan kerja di lapangan, antara lain: rompi, sepatu

pelindung, helm pelindung, dan masker.

Page 19: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

5

3.1. Aspek Sumber Daya, Peran, Tanggung Jawab, Akuntabilitas, dan

Wewenang

Berdasarkan analisis pada aspek pertama yang terdiri dari aspek sumber

daya, peran, tanggung jawab, akuntabilitas dan wewenang, jika dilihat dari segi

manajemen dapat menunjukkan bahwa manajemen di PT Citra Swastika Sentosa

masih belum mempunyai sumber daya manusia yang khusus bertanggung jawab

dalam pengolahan SMK3 di perusahaan, tetapi di sisi lain tanggunng jawab dan

pelaksanaan SMK3 telah dibebankan menjadi satu kepada staf personalia yang

selaku koordinator lapangan juga, selain itu pelaksanaan SMK3 juga telah

berjalan dengan baik meskipun tidak sepenuhnya terlaksana seperti yang

diterapkan pada OHSAS 18001: 2007.

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Salafudin

(2013), Suprijo (2012) dan Suhara (2008) yang ketiganya menyatakan bahwa

pada perusahaan yang diteliti telah menerapkan SMK3 yang berupa program,

kebijakan, peraturan, prosedur dan pedoman yang bertujuan untuk mencegah dan

mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkan pada kenyataannya

pada PT. Citra Swastika Sentosa belum sepenuhnya menerapkan SMK3 dan

hanya beberapa program dan peraturan saja yang di terapkan dalam lingkungan

kerja perusahaan guna mengurangi potensi terjadinya kecelakaan kerja, hal

tersebut menandakan bahwa penerapan SMK3 di PT Citra Swastika Sentosa

belum sepenuhnya diterapkan dibuktikan dengan adanya nilai negatif (-) yang

menandakan belum diterapkannya suatu aspek dalam K3 menurut OHSAS 18001:

2007, seperti pada sub indikator sumber daya manusia dan ketrampilan khusus,

manajemen yang bertanggung jawab tentang K3, peningkatan kinerja serta tugas

dan tanggung jawab diatur dalam ketentuan perusahaan sesuai dengan masing-

masing bidang.

Hal ini dikarenakan kurangnya karyawan khususnya untuk tenaga ahli pada

bidang K3 pada PT. Citra Swastika Sentosa dan untuk menanggulanginya pihak

menajemen perusahaan menggunakan SDM yang ada untuk menggandakan

pekerjaannya untuk mengurusi tentang K3 di perusahaan.

3.2. Aspek Kompetensi, Pelatihan, dan Kepedulian

Berdasarkan analisis pada aspek kedua yang terdiri dari aspek kompetensi,

pelatihan dan kepedulian, menunjukkan hasil yang sudah baik. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprijo (2012) yang mengungkapkan

bahwa faktor penunjang yang paling tinggi adalah pelatihan yang kemudian

ditambah dengan tersediaannya APD untuk para pekerja di lapangan.

Berbeda dengan Salafudin (2013) dan Suhara (2008) yang mengungkapan

tentang keseluruhan SMK3 pada perusahaan yang diteliti sudah cukup baik. Pada

kenyataannya hanya aspek kompetensi, pelatihan dan kepedulian pada PT. Citra

Swastika Sentosa yang sudah diterapkan dengan baik, hal ini ditandai dengan

adanya nilai positif (+) pada seluruh sub indikator yang berlaku sesuai OHSAS

18001: 2007 seperti tingkat pendidikan, pelatihan/ pengalaman, evaluasi aktivitas

pelatihan, peduli dengan peran tanggung jawab, peduli dengan konsekuensi

potensial.

Hal ini dikarenakan perusahaan telah menerapkan program kompetensi,

pelatihan dan kepedulian untuk karyawan terutama untuk karyawan yang baru

masuk ke dalam perusahaan.

Page 20: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

6

3.3. Aspek Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi

Berdasarkan analisis pada aspek ketiga yang terdiri dari aspek komunikasi

telah menunjukkan hasil baik, sedangkan pada aspek partisipasi dan konsultasi

menunjukkan hasil yang sudah baik namun perlu danya beberapa perbaikan pada

indikator pengembangan dan peninjauan K3 dan konsultasi eksternal K3.

Hasil penelitian tersebut berbeda dengan ketiga penelitian terdahulu seperti

Salafudin (2013), Suprijo (2012) dan Suhara (2008) karena hasil penelitian

ketiganya pada perusahaan yang diteliti telah menerapkan SMK3 dengan baik

pada perusahaannya. Sedangkan pada kenyataannya SMK3 di PT Citra Swastika

Sentosa belum sepenuhnya berjalan dengan baik terbukti dengan adanaya nilai

negatif (-) pada kedua indikator yang tidak terbukti berlaku sesuai OHSAS 18001:

2007.

Artinya bahwa penerapannya belum dijalankan dengan baik oleh

perusahaan, hal itu akan mempengaruhi penilaian pada aspek ketiga ini secara

keseluruhan. Permasalahan tersebut dapat di atasi dengan cara manajemen

menunjuk pihak tertentu untuk khusus mengatur dan bertanggung jawab atas K3

di perusahaan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka hasil penelitian ini adalah dari seluruh

aspek penerapan dan operasi sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

terdapat beberapa aspek yang sudah diterapkan dan belum diterapkan dengan baik

oleh perusahan sesuai dengan OHSAS 18001: 2007. Dilihat dari aspek sumber

daya manusia dan ketrampilan khusus, manajemen yang bertanggung jawab

tentang K3, peningkatan kinerja K3, tenaga kerja, pengembangan dan peninjauan

K3, dan konsultasi eksternal dampak K3 belum diterapkan oleh perusahaan.

Aspek infrastruktur, teknologi dan finansial, laporan kinerja K3, pertanggung

jawaban laporan K3, pertanggungjawaban laporan K3, pendelegasian pihak

manajemen, tingkat pendidikan, pelatihan atau pengalaman, evaluasi aktivitas

pelatihan, peduli dengan peran dan tanggungjawab, peduli dengan konsekuensi

potensil, komunikai internal, komunikasi eksternal, merespon komunikasi,

identifikasi bahaya, penyelidikan insiden, dan konsutasi internal dampak K3

sudah diterapkan oleh perusahaan.

5. Saran

Atas dasar temuan penelitian, berikut merupakan saran peneliti untuk

menerapkan sistem manajemen K3 sesuai dengan OHSAS 18001: 2007 adalah

dari aspek sumberdaya manusia dan ketrampilan khusus diperlukan adanya

manajemen yng bertanggung jawab tentang SMK3 dan dari tenaga kerja juga

sebaiknya memiliki peran dan tanggung jawab atas K3. Dengan adanya

manajemen khusus dan tenaga kerja yang bertanggung jawab maka peningkatan

kinerja K3 juga akan terlaksana dengan baik. Kemudian sebaiknya juga dilakukan

pengembangan dan peninjauan K3 agar perusahaan dapat mengetahui bagaimana

kondisi K3 di perusahaan dan melakukan konsultasi eksternal dampak K3 juga

sebaiknya dilakukan agar perusahaan mendapat masukan baru mengenai dampak

K3 dan cara penyelesaian dampak tersebut.

Page 21: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

7

Daftar Pustaka

Dessler . Keselamatan dan kesehatan kerja. Jakarta: Bumi Aksara ; 2003

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Penerapan

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Occupational

Health and Safety Assesment Series (OHSAS) 18001: 2007

Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan

http://apindo.or.id/kementerian-tenaga-kerja-kecelakaan-kerja/2010/05/html

(diakses, Jumat, 11 September 2015)

Page 22: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

8

Analisis Penerapan Budaya Keselamatan Kerja Oleh Radiografer

di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta

Azidanti Saufi, Ahmad Ahid Mudayana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan

Jalan Prof. Dr. Soepomo, SH., Janturan, Warungboto, Yogyakarta

Tel: 085643709243. E-mail: [email protected]

Abstrak

Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 164 menyatakan bahwa

upaya keselamatan dan kesehatan kerja harus diselenggarakan di semua tempat kerja,

khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan seperti di Instalasi

Radiologi sebab menggunakan radiasi. Program keselamatan kerja sebaiknya dimulai dari

tahap yang paling dasar yaitu membentuk budaya keselamatan kerja bagi radiografer

yang dapat terwujud melalui tindakan aman dalam melakukan pekerjaan. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui penerapan budaya keselamatan kerja oleh radiografer di

Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta.

Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Instalasi

Radiologi di RS Paru Respira Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 10

responden yang meliputi 1 orang kepala Instalasi Radiologi, dan 9 orang radiografer.

Teknik pengumpulan data dengan wawancara. Keabsahan data menggunakan triangulasi

sumber.

Rumah sakit memiliki sistem manajemen keselamatan yang cukup baik yang diwujudkan

dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD), adanya jaminan kesehatan, pemeriksaan

kesehatan berkala, mendukung adanya pelatihan bagi radiografer, standar operasional

prosedur, dan terjalin komunikasi yang baik antara pimpinan dengan radiografer maupun

antar radiografer. Lingkungan kerja di Instalasi radiologi sudah cukup baik karena sudah

dikelilingi timbal. Radiografer sudah memiliki kesadaran yang cukup baik namun masih

sering tidak menggunakan APD karena sudah bekerja di balik tabir timbal dan

menggunakan Thermoluminisence Dosemeter (TLD) saat terpapar radiasi saja.

Penerapan budaya keselamatan kerja oleh radiografer di Instalasi Radiologi RS Paru

Respira Yogyakarta sudah cukup baik meskipun ada radiografer yang tidak menggunakan

APD secara lengkap.

Kata kunci: analisis, keselamatan kerja, penerapan, rumah sakit.

1. Pendahuluan

Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 164,

menyatakan upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup

sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang

diakibatkan oleh pekerjaan. Jika memperhatikan isi dari pasal tersebut, maka

rumah sakit termasuk tempat kerja yang memiliki potensi mengalami kecelakaan

dan penyakit akibat kerja khususnya di Instalasi Radiologi sebab menggunakan

sumber radiasi[1]

. Instalasi Radiologi merupakan salah satu instalasi penunjang

medik sebab menggunakan sumber radiasi pengion untuk mendiagnosis adanya

suatu penyakit dalam bentuk gambaran anatomi tubuh yang ditampilkan dalam

film radiografi[2]

. Instalasi Radiologi memiliki beberapa tenaga kerja yang

bertugas dalam mengoperasikan peralatan sinar-X yang selanjutnya disebut

radiografer.

Page 23: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

9

Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab meliputi:

(1) Melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi; (2) Melakukan teknik

penyinaran radiasi pada radioterapi; (3) Menjamin terlaksananya penyelenggaraan

pelayanan kesehatan bidang radiologi atau radiografi sebatas kewenangan dan

tanggungjawabnya; (4) Menjamin akurasi dan keamanan tindakan proteksi

radiasi; (5) Melakukan tindakan jaminan mutu peralatan radiografi[3]

. Tugas dan

tanggung jawab tersebut maka seorang radiografer harus mendapatkan

perlindungan terkait keselamatan kerja. Mengingat pekerjaan seorang radiografer

berhubungan dengan sinar-X maupun radiasi pengion lainnya yang mempunyai

karakteristik dapat menimbulkan efek deterministik (kerusakan jaringan) maupun

genetik[4]

.

Radiasi ini memiliki efek bagi radiografer jika radiografer tidak bekerja

secara aman. Rendahnya kesadaran terhadap keselamatan kerja merupakan salah

satu bentuk perilaku terhadap keselamatan kerja yang kurang baik. Program

keselamatan kerja sebaiknya dimulai dari tahap yang paling dasar yaitu

membentuk budaya keselamatan kerja. Budaya keselamatan kerja yang baik dapat

membentuk perilaku terhadap keselamatan kerja yang baik, yang dapat terwujud

melalui tindakan aman dalam melakukan pekerjaan[5]

. INSAG-4 mendefinisikan

budaya keselamatan sebagai gabungan dari karakteristik dan sikap dalam

organisassi dan individu yang menetapkan bahwa, sebagai prioritas utama,

masalah keselamatan instalasi nuklir memperoleh perhatian yang sesuai dengan

kepentingannya. Meskipun budaya keselamatan kerja merupakan konsep yang

abstrak namun memiliki peran penting dalam menentukan keselamatan pekerja

dan lingkungan di tempat kerja yang menggunakan teknik radiografi[6]

. Oleh

sebab itu, seorang radiografer harus memiliki dan menerapkan budaya

keselamatan kerja selama bekerja dengan radiasi.

Berbagai model dan indikator budaya keselamatan telah diterapkan, mulai

dari yang paling sederhana hingga model yang paling komplek. Budaya

keselamatan kerja merupakan sebuah kesatuan dari tiga (3) aspek yaitu aspek

organisasi dan manajemen keselamatan kerja yang ada di perusahaan (safety

management system), aspek nilai-nilai dan persepsi keselamatan kerja dari setiap

pekerja terhadap lingkungan kerja (safety climate), dan aspek perilaku K3 dalam

bekerja sehari-hari (safety behaviour)[7]

.

Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun

2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif

sebagai upaya pengendalian[8]

. Selain itu, Surat Keputusan Kepala Badan

Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) nomor 01/Ka-Bapeten/V-99 tentang

Ketentuan Kerja terhadap Radiasi, yang memuat nilai batas dosis yaitu radiografer

<50 mSv/tahun dan masyarakat umum <5 mSv/tahun[9]

.

Permasalahan yang ada di Instalasi Radiologi RS Paru Respira Yogyakarta

yaitu sudah tersedia Alat Pelindung Diri (APD) radiasi untuk radiografer namun

belum rutin digunakan setiap kali melakukan pemeriksaan, karena sudah terdapat

tabir timbal sehingga petugas tidak menggunakan APD lainnya. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis penerapan budaya

keselamatan kerja oleh radiografer di Instalasi Radiologi RS Paru Respira

Yogyakarta.

Page 24: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

10

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Subjek dalam penelitian ini,

meliputi dokter spesialis radiologi yang menjabat sebagai kepala Instalasi

Radiologi, dan 9 radiografer. Penentuan sumber data pada orang yang

diwawancarai dilakukan dengan purposive sampling. Pertimbangan dalam

penelitian ini yaitu masa kerja di atas 2 tahun. Teknik pengumpulan data dengan

wawancara (indept interview). Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan

triangulasi sumber. Lokasi penelitian di Instalasi Radiologi di RS Paru Respira

Yogyakarta.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Sistem Manajemen Keselamatan

Hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa sistem manajemen

keselamatan yang ada di rumah sakit sudah cukup baik terkait dengan komitmen

yang diberikan pimpinan, peraturan dan prosedur keselamatan, komunikasi,

keterlibatan, dan kompetensi radiografer.

3.1.1.1. Komitmen Top Management

Rumah sakit cukup memberikan perhatian masalah keselamatan kerja bagi

radiografer, sebagaimana yang diungkapkan responden sebagai berikut:

“Sebenarnya dikatakan perhatian ya perhatian, kalau kurang ya kurang.

Masalahnya mungkin karena pengetahuan tentang keselamatan kerja belum

sepenuhnya dipahami jadi perhatiannya kurang.”(P2)

“Iya memperhatikan, tapi karena mereka tidak begitu tahu masalah tentang

radiologi jadi mereka mendukung sepenuhnya. Kebetulan di radiologi itu

menjadi syarat untuk perpanjangan (ijin). Kalau disini sepertinya hanya

pemeriksaan kesehatan, pelatihan tentang keselamatan radiasi saja.”(P3)

3.1.1.2. Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja

Peraturan dan prosedur kerja sedang dalam proses penyusunan sebab rumah

sakit baru akan akreditasi, sebagaimana yang diungkapkan responden sebagai

berikut:

“Prosedurnya ada tapi belum tertulis (dalam proses pembuatan) karena

belum disahkan direktur, tapi sudah ada. Baru akan akreditasi. Sekarang

memakai yang sementara pernah ada, pakai BP4 (Balai Pengobatan Paru-

Paru). Tapi hanya thorax, belum semua. Kalau yang mau dibuat itu SOP

pemeriksaan, SOP alur, SOP alat, SOP pemeliharaan alat, pemeliharaan

alat, keselamatan pasien juga ada, tapi baru mau dibuat.” (P1)

“Prosedur ada. Prosedur kerja standarnya ya begitu kalau kita kerjanya

sesuai standar itu sudah pasti, sudah terbiasa” (P4)

3.1.1.3. Komunikasi, Kompetensi, dan Keterlibatan Pekerja

Komunikasi yang terjalin cukup baik meskipun beda lokasi dengan

pimpinan rumah sakit. Komunikasi yang baik antara manajemen dan radiografer

akan meningkatkan kompetensi dan keterlibatan radiografer, sebagaimana yang

diungkapkan responden terkait komunikasi, kesadaran akan risiko, dan

keterlibatan dalam pembuatan SOP, sebagai berikut:

“Ya karena posisinya jauh kalau sesama kita yang di sini mudah, kalau

manajemen ya karena posisinya jauh (di daerah Minggiran, Yogyakarta) ya

kurang. Pergantian shift juga tidak ada masalah.” (P1)

Page 25: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

11

“Sejauh ini lancar-lancar saja, meski kita tidak sering bertemu karena shift

tapi kita komunikasi lewat sosial media kalau ada informasi nanti di share di

grup itu.” (P3)

“Iya kalau risiko itu selalu ada tapi bagaimana usaha kita untuk menekan

risiko itu. Seminimal mungkin. Kerja hati-hati. Yang perlu dilakukan ya

dilakukan, kontak dengan pasien juga secukupnya, pakai APD.” (P2)

“Drafnya (SOP) dari kita, semua terlibat. Jadi di bagi-bagi nanti kan kalau

sudah ajdi dikoreksi lagi. Jadi ada yang bikin, ada yang verivikator, baru

naik ke menajemen untuk penomoran sama tanda tangan.” (P1)

“Kalau pembuatan SOP ya kita semua ikut membuat, hanya dibagi-bagi.”

(P4)

3.1.2. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja yang yang kondusif dapat mendukung penerapan program

keselamatan kerja dengan optimal bila seluruh radiografer mengutamakan

program keselamatan.

“Kurang besar. Lahannya kurang. Kalau istirahat disini.” (P1)

“Sudah rata-rata. Kalau dibilang nyaman sekali ya tidak, dibilang tidak

nyaman ya tidak juga, tempatnya bersih, dan ada AC-nya, bersih kamar

mandinya.” (P2)

3.1.3. Perilaku Keselamatan

Perilaku keselamatan berhubungan dengan kepatuhan dalam menggunakan

APD, melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan pemeriksaan dosis

radiasi. Radiografer jarang menggunakan APD dengan asumsi bahwa sudah aman

sebab bekerja di balik tabir timbal. Sebagaimana yang diungkapkan responden

sebagai berikut:

“Kalau rontgen tidak perlu karena sudah ada tabir Pb-nya. Ada apron

gonad, thyroid, semua ada. Digunakannya di situasi tertentu kalau

membutuhkan. Apron biasanya digunakan untuk pasien hamil dan anak atau

radiografer yang memegangi anak kecil itu pakai apron” (P1)

“Sebenarnya ada banyak (APD). Apronnya sudah lengkap tapi jarang

dipakai juga. Karena sudah di balik tabir, misalkan pasien anak-anak susah

untuk diam jadi harus dipegangi. Karena ga terbatas jadi yang pakai

radiografernya yang bantu pegangin. Apron ada 2 tapi ada tambahan tapi

saya belum hitung. Kalau thyroid dan gonad masing-masing satu. Sarung

tangan itu cuma administratif, tapi kalau sekarang belum dipakai. Biasanya

untuk pemeriksaan fluroskopi tapi di sini belum ada.” (P2)

Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dan

rontgen. Pemantauan dosis radiasi menggunakan alat untuk mengukur dosis

radiasi secara akumulasi, sesuai dengan yang diungkapkan responden sebagai

berikut:

“Paling medical check up ya. Dilakukan setahun sekali kalau akan ijin

(perijinan alat). Pemeriksaan yang dilakukan itu rontgen sama darah

lengkap.” (P1)

“Ada, rutin setahun sekali. Pemeriksaan laboratorium, rontgen.” (P4)

“TLD itu kan untuk dosis jadi kita perbulannya berapa. Nanti dinilaikan

dan dilaporkan ke Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) di

Jakarta. Sejauh ini dosisnya masih normal.”(P1)

“Ada monitor radiasi, jenis TLD.”(P4)

Page 26: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

12

3.2. Pembahasan

Penerapan budaya keselamatan kerja di Instalasi Radiologi RS Paru Respira

Yogyakarta tahun 2016 meliputi sistem manajemen keselamatan, lingkungan

kerja, dan perilaku keselamatan.

3.2.1. Sistem Manajemen Keselamatan

3.2.1.1. Komitmen Top Management

Komitmen yang diberikan pimpinan sangat berpengaruh untuk terwujudnya

budaya keselamatan bagi radiografer. Komitmen top manajemen merupakan

faktor utama sesuai bahwa komitmen pihak manajemen baik yang berupa

tindakan, tulisan, maupun kata-kata, menjadi faktor terpenting untuk terciptanya

budaya keselamatan.

Komitmen dari manajemen dapat terwujud dengan

memberikan perlengkapan keselamatan kerja, pengawasan, membuat peraturan

dan prosedur kerja yang mudah dipahami dan dilaksanakan[10]

.

3.2.1.2. Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja

Rumah sakit juga sudah memberikan dan memberlakukan peraturan dan

prosedur kerja dalam bentuk SOP yang wajib dilaksanakan oleh seluruh pekerja

termasuk radiografer. Peraturan dan prosedur yang baik dan benar, mudah

dimengerti dan mudah diterapkan oleh pekerja. Terdapat sanksi apabila melanggar

peraturan dan prosedur tersebut[10]

.

3.2.1.3. Komunikasi, Kompetensi, dan Keterlibatan Pekerja

Komunikasi antara manajemen dan staf merupakan faktor sangat penting

untuk meningkatkan kompetensi dan keterlibatan pekerja, dimana dua faktor ini

sangat berpengaruh pada perilaku pekerja. Oleh karena itu komunikasi menjadi

sangat penting diperhatikan untuk memperbaiki perilaku sikap pekerja radiasi

rumah sakit[6]

. Jika radiografer memiliki kompetensi yang baik, diharapkan

mampu meminimalisir risiko terjadi kecelakaan kerja dan meningkatkan

kompetensi radiografer yang lain terhadap keselamatan kerja.

3.2.2. Lingkungan Kerja

Persepsi seseorang mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap keselamatan

kerja. Mengidentifikasi persepsi dan radiografer dengan melakukan survei tentang

pandangan atau persepsi radiografer tentang lingkungan kerja yang

mempengaruhi keamanan selama bekerja[7]

. Lingkungan kerja yang baik dapat

menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman bagi radiografer sehingga

tidak mudah bosan dan lelah selama bekerja.

3.2.3. Perilaku Keselamatan

Hampir semua radiografer tidak patuh dalam memakai APD karena

radiografer menganggap mereka berada di balik tabir timbal, sehingga mereka

merasa aman walaupun bekerja tanpa memakai APD. Selain itu hasil TLD selama

ini selalu di ambang batas normal yaitu 0.10 mSv. APD yang harus dipakai cukup

berat, misalnya apron seluruh tubuh yang beratnya mencapai 2kg[11]

. Alasan

lainnya yaitu untuk menghindari pengulangan foto pada pasien terutama pasien

yang perlu dibantu saat melakukan foto (dipegang) maka radiografer tidak

menggunakan apron agar waktu digunakan lebih cepat. Selain penggunaan apron,

radiografer harus memakai masker setiap kali bekerja demi terhindar dari efek

nosokomial yaitu penularan penyakit dari pasien ke radiografer dan sebaliknya[11]

.

Page 27: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

13

Mengingat RS Paru Respira merupakan rumah sakit khusus yang menangani

penyakit paru-paru dan pernafasan dan penularannya dapat melalui udara.

Pemeriksaan kesehatan bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan

pekerja radiasi baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja minimal hingga

30 tahun data kesehatan disimpan. Pemeriksaan kesehatan meliputi anamnesis

riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendukung antara lain

rontgen dan pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui keadaan

umum dan khusus dari metabolisme tubuh terutama yang berhubungan dengan

paparan radiasi. Selain itu pemeriksaan laboratorium juga mencakup pemeriksan

kromosom, analisis sperma[12]

.

Dosis radiasi yang aman bagi manusia yaitu dosis maksimum yang dapat

diterima oleh tubuh manusia tanpa menimbulkan efek terhadap manusia dan

sesuai dengan Nilai Batas Dosis (NBD). NBD ditentukan berdasarkan penetapan

organisasi internasional yang menangani proteksi radiasi yaitu International

Commission on Radiological Protection (ICRP). Selain mengacu pada ICRP,

untuk menentukan NBD juga mengacu pada instansi yang berwenang dalam

bidang tenaga nuklir (atom) yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yaitu <50 mSv/tahun[9] [13]

.

4. Kesimpulan

Penerapan budaya keselamatan oleh radiografer harus didukung dengan

sistem manajemen keselamatan yang meliputi komitmen top manajemen,

peratudan dan prosedur keselamatan, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan

radiografer, serta lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Semua ini harus

didukung oleh perilaku radiografer yang mengutamakan keselamatan kerja selama

bekerja.

Daftar Pustaka

1. Undang-Undang RI, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36

tentang Kesehataan, Jakarta.

2. Maryanto, D., Solichin, Zaenal, A., 2008, “Analisis Keselamatan Kerja

Radiasi Pesawat Sinar-X di Unit Radiologi RSU Kota Yogyakarta”, Seminar

Nasional IV SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, BATAN:679-690

3. Kepmenkes RI, 2007, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 375/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Radiografer,

Jakarta.

4. Akhadi, M., 2002, “Budaya Keselamatan dalam Pemanfaatan Radiasi di

Rumah Sakit”, Buletin ALARA, Jakarta, dalam Mayerni dkk, 2013, “Dampak

Radiasi terhadap Kesehatan Pekerja Radiasi di RSUD Arifin Achmad, RS

Santa Maria dan RS Awal Bros Pekanbaru”, Jurnal Ilmu Lingkungan, 7

(1):Pp. 114-127

5. Terinate, Kelvin dan Oentoro, Albert, 2010, Pengaruh Budaya Keselamatan

Kerja Pada Proyek Konstruksi Terhadap Unsafe Act Pekerja, Skripsi,

Universitas Kristen Petra.

6. Khoiri, Muhammad, 2010, “Upaya Peningkatan Budaya Keselamatan Pekerja

Radiasi Rumah Sakit di Indonesia”, Seminar Nasional VI SDM Teknologi

Nuklir Yogyakarta, BATAN:571-576

Page 28: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

14

7. Cooper, Dominic, 2001, Improving Safety Culture: A Practical Guide,

Apllied Behaviour Science, Hull. Pp: 14-27

8. Peraturan Pemerintah RI, 2007, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan

Sumber Radioaktif, Jakarta.

9. BAPETEN, 1999, Keputusan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir

Nomor:01/Ka-Bapeten/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap

Radiasi, Jakarta.

10. Andi, Ratna, S. A., Aditya, C., 2005, “Model Persamaan Struktural Pengaruh

Budaya Keselamatan Kerja pada Perilaku Pekerja di Proyek Konstruksi”,

Jurnal Teknik Sipil, 12(3):Pp. 127-136

11. Hendra, dkk, 2011, “Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Praktik

Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) pada Radiografer di Instalasi

Radiologi 4 Rumah Sakit di Kota Semarang”, Jurnal Kesehatan Masyarakat

Indonesia, 7 (1):Pp. 9-1

12. Tetriana, D., Evalisa, M., 2006, “Sangat Penting, Pemeriksaan Kesehatan

Pekerja Radiasi”, Buletin ALARA, 7 (3): Pp. 93-101

13. Wardhana, W.A., Teknologi Nuklir Proteksi Radiasi dan Aplikasinya, ANDI,

Yogyakarta, Hal. 189-192

Page 29: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

15

Efektivitas Penanganan Limbah Padat

di Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

Veza Azteria Prodi D4 K3, Universitas Balikpapan

E-mail: [email protected]

Abstrak

Limbah padat rumah sakit mengandung bahan berbahaya (bersifat infeksius, toksik dan

radioaktif) jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan polusi bagi

lingkungan serta berbahaya terhadap kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengkaji efektifitas penanganan limbah padat Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Kanudjoso Djatiwibowo. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional

deskriptif yang dilakukan secara cross sectional dengan pengamatan, menganalisa,

observasi dan mengolah data serta informasi yang telah dikumpulkan secara sistematik.

Hasil penelitian pengelolaan limbah padat rumah sakit Dr. Kanudjoso Djatiwibowo mulai

dari minimasi limbah, pemilahan, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan,

pengolahan, pemusnahan dan pembuangan limbah padat sudah sesuai berdasarkan

Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Namun yang perlu diperbaiki adalah

kesadaran petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD).

Sehingga perlu ditingkatkan dari segi pengawasan dan pelatihan secara berkala.

Kata kunci: limbah padat, lingkungan, rumah sakit.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk

pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Rumah sakit dalam melaksanakan

fungsinya menghasilkan limbah baik limbah padat maupun cair. Limbah-limbah

tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan

kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar

ke lingkungan rumah sakit. Beban limbah rumah sakit tergantung pada jumlah

pasien yang dilayani oleh rumah sakit dan akan meningkat seiring dengan

peningkatan kapasaitas pelayanan rumah sakit.

Penanganan limbah padat infeksius di rumah sakit diperlukan sejak awal

kegiatan, karena jika penanganan awal sudah dilaksanakan diharapkan buangan

tersebut tidak menimbulkan gangguan pada instalasi pengolah limbah. Limbah

rumah sakit merupakan limbah infeksius yang dapat menimbulkan infeksi

nosokomial, dapat membahayakan bagi pasien rawat inap maupun karyawan

(medis, non medis, perawat) yang ada pada rumah sakit tersebut serta pengunjung

atau pasien yang menjalani rawat jalan maupun terhadap lingkungan yang ada di

sekitar rumah sakit.

Limbah buangan dari rumah sakit berasal dari bagian tubuh maupun

jaringan manusia, darah atau cairan darah, zat ekskresi, obat obatan maupun

produk kimia, kain pel ataupun pakaian, jarum suntik, gunting dan benda tajam

lainnya. Sehingga limbah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori (Amro

Page 30: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

16

Atik 2011) yaitu: limbah umum (limbah dari makanan atau minuman, limbah

cuci, bahan pengemas), limbah patologis (plasenta, darah dan cairan tubuh),

limbah infeksius, limbah benda tajam (jarum suntik, gunting), limbah farmasi

(obat-obatan), limbah sitotoksik, limbah radioaktif.

Adapun sarana pengelolaan limbah dirumah sakit salah satunya

menggunakan insinerator. Dengan adanya unit insinerator diharapkan selain

mengurangi volume sampah sebelum dibuang dapat juga menghilangkan sifat

berbahaya dan beracunnya. Sedangkan untuk limbah domestik padat dibuang pada

tempat pembuangan sampah sementara. Berdasarkan adanya aktifitas pelayanan

rumah sakit dalam pelayanan medis yang menghasilkan limbah padat, maka

peneliti melihat penting untuk dilakukan penelitian terhadap efektifitas

penanganan limbah padat yang ada di Rumah Sakit Dr. Kanudjoso Djatiwibowo.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penanganan limbah padat

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kanudjoso Djatiwibowo.

2. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ada tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap

pelaksanaan dan tahap analisa data.

2.1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan seperti proses administrasi,

pelaksanaan evaluasi, studi literatur hingga penyusunan laporan.

2.2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di RS. Dr.Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan Jl.

MT Haryono No. 656 dimulai dari bulan Juli 2015 – Agustus 2015. Data yang

diperoleh dan dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan

data sekunder.

1. Data Primer

a. Melalui interview, penulis melakukan wawancara langsung kepada

pembimbing lapangan dan pegawai rumah sakit.

b. Melalui observasi lapangan, penulis melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi

di rumah sakit dan mengamati proses pengelolaan limbah padat mulai dari

sumber timbulan limbah padat, kuantitas dan pengelolaan limbah padat.

2. Data Sekunder

a. Data laporan harian

b. Dokumen dan referensi dari rumah sakit

c. Data gambaran umum rumah sakit

d. Data sumber timbulan limbah padat

e. Data-data lain sebagai penunjang.

2.3. Tahap Analisa Data

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian evaluasi bersifat observasional

deskriptif yang dilakukan secara cross sectional dengan pengamatan,

menganalisa, observasi dan mengolah data serta informasi yang telah

dikumpulkan secara sistematik. Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan

dianalisa berdasarkan standar yang ada di rumah sakit. Analisa data dikhususkan

pada sumber timbulan dan kuantitas limbah padat dalam proses pengelolaan

limbah padat. Selain itu membandingkan dengan peraturan menteri kesehatan

Page 31: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

17

dengan membandingkan dengan kondisi lapangan yang sebenarnya kemudian

membuat kesimpulan dan memberikan saran apabila diperlukan.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Dasar Hukum

Efektifitas penanganan limbah padat yang ada di RS Dr. Kanudjoso

Djatiwibowo mengacu pada Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah

Sakit. Peraturan tersebut menetapkan prosedur untuk pengelolaan limbah padat

rumah sakit dalam mengelola limbah mulai dari minimasi limbah, pemilahan,

pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, pemusnahan dan

pembuangan limbah padat.

3.2. Limbah Padat

Limbah padat rumah sakit dibagi kedalam dua jenis yaitu limbah non medis

dan limbah medis. Adsavakulchai (2002) limbah medis meliputi:

a. Non medis limbah: benda tajam seperti jarum suntik, pipa pasteur,

perlengkapan intravera, botol obat, infus plastik, tabung, masker bedah dan

perban.

b. Patologi limbah: darah cairan tubuh, jaringan dan bagian tubuh

c. Limbah farmasi: obat yang kadaluarsa, obat yang tersisa.

Menurut Reinhardt (1991) limbah medis merupakan limbah patologi,

limbah infeksius, benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksik dan limbah

radioaktif.

3.3. Analisa Penanganan Limbah Padat Non Medis

Banyak limbah yang dihasilkan dari rumah sakit. Tidak semua limbah yang

dihasilkan berbahaya, tetapi prosedur penanganan yang paling berbahaya dan

membutuhkan spesifik yang tidak menimbulkan ancaman saat menangani.

3.3.1. Pemilahan dan Penyimpanan

Sampah biasanya ditampung di tempat penampungan dengan bentuk,

ukuran dan jumlah yang disesuaikan dengan jenis dan jumlah sampah serta

kondisi setempat. Adapun persyaratan penampungan sampah antara lain

(Departemen Kesehatan, 2002):

a. Bahan tidak mudah berkarat

b. Kedap air terutama untuk menampung limbah basah

c. Bertutup rapat

d. Mudah dibersihkan

e. Mudah dikosongkan atau diangkut

f. Tidak menimbulkan bising

g. Tahan terhadap benda tajam atau runcing.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung ke lapangan, di

Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo sudah melakukan semua prosedur

tersebut dengan baik. Untuk memudahkan pengosongan dan pengangkutan, pihak

petugas menggunakan kantong plastik kuning pelapis dalam bak sampah. Kantong

plastik tersebut membantu membungkus sampah pada saat pengangkutan

sehingga mengurangi kontak dengan manusia, mengurangi bau dan tidak terlihat

sehingga lebih estetis dan memudahkan dalam pencucian bak sampah (Wilson,

l977).

Page 32: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

18

3.3.2. Pengangkutan

Untuk merencanakan pengangkutan sampah rumah sakit perlu

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Wilson, 1977):

a. Penyebaran tempat penampungan sampah

b. Jalur jalan dalam rumah sakit

c. Jenis dan kapasitas sampah

d. Jumlah tenaga dan sarana yang tersedia.

Pengangkutan limbah padat dilakukan setiap hari yaitu pada waktu pagi

(05.30 - 07.00) dan sore hari (15.00 – 17.00) dengan menggunakan troli. Troli

digunakan untuk mengangkut limbah medis dan non medis secara bersamaan.

Petugas yang mengangkut limbah harus dilengkapi dengan menggunakan

perlengkapan seperti pakaian kerja khusus, sarung tangan dari bahan neophrane,

masker, topi pengaman dan sepatu boot atau lars.

3.3.3. Pembuangan

Untuk sampah non medis pembuangan limbah dilakukan setiap hari pada

sore hari. Pembuangan limbah non medis langsung ditangani oleh Pihak

Kebersihan Kota Balikpapan yang langsung diangkut ke tempat pembuangan

akhir Manggar. Keberadaan sampah dengan daur ulang dapat dilakukan seperti

limbah plastik yang digunakan sebagai botol minuman, kaleng minuman, kardus.

3.4. Analisa Penanganan Limbah Medis

Tidak semua limbah medis berbahaya, tetapi sebagian besar membahayakan

sehingga memerlukan prosedur penanganan, penampungan dan pengangkutan

serta pemusnahannya karena alasan sebagai berikut (Wilson,1977):

a. Volume limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan pembuangannya

b. Beberapa limbah berpotensi menimbulkan bahaya dalam pembuangan apabila

tidak ditangani dengan baik.

Limbah ini menimbulkan pencemaran lingkungan bila mereka dibuang

secara sembarangan dan akhirnya membahayakan atau menganggu kesehatan

masyarakat. Coloni (2001) menyatakan bahwa risiko penularan akan muncul pada

saat pembuangan dari sumbernya, proses pengumpulan, pengangkutan,

penyimpanan hingga penanganan baik onsite maupun offsite.

3.4.1. Pemilahan dan Pengumpulan

Hal yang paling penting dalam mengurangi risiko dalam menangani limbah

adalah dengan menggunakan pewadahan dengan tepat. Yaitu dengan menangani

limbah dari sumber. Bila hal ini dilakukan dengan benar, maka kontak selama

penanganan saat sorting dan repacking yang berisiko penyebab terjadinya

penularan bisa dihindari.

Menurut Reinhardt (1991) pertimbangan pertama adalah untuk mengetahui

tipe limbah infeksius, dimana digolongkan menjadi tiga tipe yaitu limbah padat,

limbah benda tajam dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan besar secara fisik,

kimia dan risiko. Tempat sampah dalam penggunaannya harus dilapisi plastik

kuning dengan ukuran 60x100 cm yang biasa ditemui di ruang perawatan, ruang

operasi, radiologi, ruang medis, dan farmasi.

3.4.2. Pengangkutan

Pengaturan waktu pembuangan sudah cukup jelas yaitu shift pagi (05.30 -

07.00) dan sore (15.00 – 17.00). Rute transportasi limbah sebagian besar melalui

jalan-jalan yang dilalui oleh pasien seperti koridor dll. Kekurangan yang dihadapi

dalam pengangkutan limbah padat atau limbah medis, ada beberapa petugas

Page 33: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

19

pengangkut yang tidak menggunakan kelengkapan standar yang terkandung dalam

Peraturan Departemen Kesehatan. Selain itu, troli pengangkut yang tidak ditutup.

Kurang lengkapnya standar ini menyebabkan mudahnya transmisi penyakit

kepada petugas pengelolaan limbah padat.

Selama proses pengumpulan dari setiap bin ke transportasi dari

pembuangan, petugas yang bekerja kadang tidak menggunakan peratan

keselamatan yang diberikan. Perangkat keselamatan yang harus digunakan antara

lain sarung tangan, masker, sepatu bot (World Health Organization, 1999).

Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwobowo sendiri telah membuat aturan, tetapi

kurangnya pengawasan dan kesadaran personil sendiri masih kurang efektif.

3.4.3. Penyimpanan

Untuk limbah medis setelah trasnportasi dilakukan, limbah tas kuning

dikumpulkan dalam ruang khusus. Fungsi penyimpanan adalah untuk

mengumpulkan limbah medis sebelum dibakar atau dikirm ke insinerator.

Tujuannya adalah agar tidak terjadi penularan melalui udara, kontak langsung atau

melalui hewan. Pada prinsipnya limbah medis harus segera diproses secepat

mungkin. Untuk limbah medis Rumah Sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo

penyimpan dilakukan 1 x 24 jam.

Limbah tidak boleh disimpan terlalu lama pada suhu kamar, karena dapat

mendorong pertumbuhan penyakit, disamping bahan-bahan pertimbangan

estetika. Membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang bisa memasuki

area, melakukan pelabelan dan pemilihan tempat yang tepat untuk penyimpanan.

3.4.4. Pengolahan Limbah Medis

Dalam pengolahan limbah medis rumah sakit dilihat dari segi ekonomi,

teknis, lingkungan dan sosial dengan adanya partisipasi dari pihak swasta. Metode

yang paling direkomendasikan adalah dengan menggunakan insinerator

(Tchobanoglous, 1993). Proses Pembakaran yang dilakukan pihak Rumah Sakit

Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan menggunakan insinerator

dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 25

tahun 2010 Tentang Izin Pengoperasian Alat Pengolahan (Insinerator) Limbah

Bahan Berbahaya dan Beracun Infeksius.

Gambar 1. Insinerator (Kiri) Residu Hasil Pembakaran (Kanan)

Pembakaran dilaksanakan oleh dua orang petugas cleaning service dan satu

orang operator, dengan metode kerja shift. Waktu pembakaran dilakukan setiap

hari pada pukul 17.00 WITA, pada waktu ini dianggap efektif karena dianggap

tidak menganggu pegawai atau masyarakat yang beraktifitas disekitar rumah sakit.

Page 34: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

20

Kecuali yang berada di wilayah parkir belakang gedung anggrek hitam rumah

sakit Dr.Kanudjoso Djatiwibowo. Timbulan limbah medis padat yang dibakar

berkisar 120 – 150 kg/hari, dengan daya tampung yang dimiliki insinerator adalah

3 kubik.

Pada pengoperasian insinerator lebih diperhatikan pada residu yang

dihasilkan baik ke udara maupun abu yang akan dibuang. Berdasarkan lokasinya

insinerator dapat bersifat onsite ataupun offsite. Pada Rumah Sakit Dr.Kanudjoso

Djatiwibowo uji emisi insinerator dilakukan 3-6 bulan sekali, yang dilakukan oleh

pihak Sucofindo atau Mutu Agung Samarinda. Proses pembuangan abu

pembakaran di Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

dilakukan oleh pihak ketiga atau rekanan yang mengambil hasil abu/residu dari

abu pembakaran limbah padat infeksius. Proses pengambilan abu atau residu sisa

pembakaran dilakukan 2-3 hari dengan jumlah pembuangan abu berkisar 1 ton.

Namun, masih banyak kekurangan dalam penerapannya limbah padat. Hal ini

dikarenakan kurangnya kesadaran petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan

alat pelindung diri (APD). Salah satu penyebabnya kurang adanya pengawasan,

pelatihan yang sifatnya berkala, dan pengetahuan mengenai limbah padat.

4. Kesimpulan

Dari hasil pemaparan dan penelitian diatas, maka dapat diketahui bahwa

limbah rumah sakit dapat menimbulkan polusi bagi lingkungan serta serta

berbahaya terhadap kesehatan pasien apabila tidak dikelola dengan baik. Maka

perlu dilakukan penanganan yang baik dari sumber limbah hingga pemusnahan

limbah tersebut. Berdasarkan Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah

Sakit, penanganan limbah padat di rumah sakit dr.Kanudjoso Djatiwibowo sudah

cukup baik dalam mengelola limbah mulai dari minimasi limbah, pemilahan,

pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, pemusnahan dan

pembuangan limbah padat. Namun yang perlu diperbaiki adalah kesadaran

petugas dan kedisiplinan dalam penggunaan alat pelindung diri (APD). Sehingga

perlu ditingkatkan dari segi pengawasan, dan pelatihan secara berkala.

Daftar Pustaka

Adsavakulchai. 2002. Study on Waste from Hospital and Clinic Phitsanulok. Vol

1. Issue 3

Atik, AMA. 2011. Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat Secara Terpadu di

Rumah Sakit. Vol 11. No 2. Jurnal Dian. [ 2 Mei 2011]

Colony,S. 2001. Hospital Waste Management at SMF. http://www.SMF-Hospital

Waste Management.htm

Reinaldht,PA and Gordon JG. 1991. Infectious and Medical Waste Management.

Michigan. Lewis Publisher Inc.

Tchobanaglous, George and Vigil, Samuel. 1993. Integrated Solid Waste

Engineering. Singapore; Mc Graw-Hill Book Co.

Wilson,D.G. 1977. Handbook Of Solid Waste Management. New Work. Van

Nostrand Reinhold Co.

World Health Organization.1999. Safe Management of Waste from Health-care

Activities.

Page 35: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

21

Evaluasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Bengkel

St. Yosef Nenuk Atambua

Sebastianus Baki Henong Fakultas Teknik, Prodi Teknik Sipil, Universitas Katolik Widya Mandira

E-mail: [email protected]

Abstrak

Sumber daya manusia memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu organisasi atau

perusahaan, oleh karena itu sumber daya manusia merupakan aset hidup yang perlu

dipelihara dan dikembangkan. Kenyataan bahwa manusia sebagai aset utama dalam

organisasi atau perusahaan, harus mendapatkan perhatian serius dan dikelola dengan

sebaik mungkin. Penelitian dilakukan di bengkel St. Yosef Nenuk. Bengkel ini terdiri dari

unit bengkel kayu (mebel), dan unit bengkel besi (otomotif), dengan mempekerjakan

sekitar 50 orang tenaga kerja. Penelitian ini diselesaikan menggunakan metode frekuensi

sederhana, dengan membagikan kuisioner kepada para pekerja. Hasil penelitian

menunjukan bahwa 62 % karyawan telah mengetahui dan memahami keselamatan dan

kesehatan kerja, dengan menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja, sedangkan 38 %

sudah mengetahui adanya Keselamatan dan Kesehatan Kerja namun dalam pelaksanaan

tidak menggunakan alat pelindung diri sehingga masih terjadi kecelakaan. Karena itu

solusi yang diberikan adalah perlu adanya peringatan baik dari teman kerja maupun

manajemen untuk menegur bahkan memberikan sanksi kepada para karyawan jika tidak

menggunakan alat pelindung diri ketika bekerja sehingga dengan demikian kecelakaan

kerja dalam pelaksanaan konstruksi dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

Kata kunci: bengkel, kerja, kesehatan, keselamatan.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sumber daya manusia memegang peranan penting bagi keberhasilan suatu

organisasi atau perusahaan, oleh karena itu sumber daya manusia merupakan aset

hidup yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Kenyataan bahwa manusia

sebagai aset utama dalam organisasi atau perusahaan, harus mendapatkan

perhatian serius dan dikelola dengan sebaik mungkin. Hal ini dimaksudkan agar

sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan mampu memberikan kontribusi

yang optimal dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Dalam pengelolaan

sumber daya manusia inilah diperlukan manajemen yang mampu mengelola

sumber daya secara sistematis, terencana, dan efisien. Salah satu hal yang harus

menjadi perhatian utama bagi manajer sumber daya manusia ialah sistem

keselamatan dan kesehatan kerja (Ryska, 2013).

Keselamatan dan kesehatan kerja termasuk salah satu program pemeliharaan

yang ada di perusahaan. Pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja

bagi karyawan sangatlah penting karena bertujuan untuk menciptakan sistem

keselamatan dan kesatuan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga

kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mengurangi

kecelakaan.

Bengkel St. Yosef Nenuk terdiri dari unit bengkel kayu (mebel) dan unit

bengkel besi (otomotif). Berdasarkan pengakuan beberapa konsumen hasil mebel

Page 36: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

22

maupun reparasi otomotif dari bengkel ini, merasa sangat puas karena perabotan

yang dihasilkan sangat berkualitas, murah sehingga mampu dijangkau oleh

masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu banyak konsumen

yang memesan mebel (meja, kursi, lemari dll) di bengkel ini.

Berdasarkan data yang diperoleh di Bengkel St. Yosef Nenuk, hampir setiap

tahun tenaga kerja yang bekerja di bengkel ini mengalami kecelakaan kerja,

padahal penerapan keselamatan dan kesehatan kerja sudah diterapkan semaksimal.

Data kecelakaan kerja selama lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel 1 di

bawah ini.

Tabel 1. Data Kecelakaan Kerja Bengkel St. Yosef Nenuk

Tahun Jumlah

Kecelakaan Kerja Keterangan

2011 5 Tangan luka terkena gergaji, kaki ditimpa benda tajam

2012 6 Tangan terluka, terjatuh di lantai dan tertimpa balok

2013 4 Kaki tertimpa kayu dan terjatuh di lantai

2014 7 Kaki tertimpa kayu, tangan luka

2015 5 Tangan terluka, terjatuh di lantai dan tertimpa balok

Jumlah 28

Sumber: Bengkel St. Yosef Nenuk

Berdasarkan data yang ada maka perlu diadakan evaluasi keselamatn dan

kesehatan kerja di Bengkel St. Yosef Nenuk Atambua sehingga kecelakaan kerja

dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Pengertian Kecelakaan Kerja

1. Menurut Sulaksmono (1997) kecelakaan adalah suatu kejadian tak diduga dan

tidak dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur.

2. Menurut (OHSAS 18001, 1999) dalam Shariff (2007), kecelakaan kerja adalah

suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian,

luka-luka, kerusakan harta benda atau kerugian waktu.

Dari kedua pengertian dapat dijelaskan bahwa kecelakaan kerja adalah

kejadian tak terduga dan juga tak diinginkan, yang mengacaukan proses aktivitas

dan juga menimbulkan kerugian pada manusia dan harta benda.

1.2.2. Penyebab Kecelakaan Kerja

Menurut Anizar (2009), ada dua faktor penyebab kecelakaan yaitu unsafe

action (faktor manusia) dan unsafe condition (faktor lingkungan).

Unsafe Action dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain:

1. Ketidakseimbangan fisik tenaga kerja yaitu: posisi tubuh yang menyebabkan

mudah lelah, cacat fisik, cata sementara, kepekaan panca indra terhadap

sesuatu.

2. Kurang pendidikan: kurang pengalaman, salah pengertian terhadap suatu

perintah, kurang terampil, salah mengartikan Standart Operational Procedure

(SOP) sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat kerja.

3. Menjalankan pekerjaan tanpa mempunyai kewenangan

4. Menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya.

5. Pemakaian alat pelindung diri (APD) hanya berpura-pura

6. Mengangkut beban yang berlebihan

Page 37: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

23

7. Bekerja berlebuhan atau melebihi jam kerja

Unsafe condition dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain:

1. Peralatan yang sudah tidak layak pakai

2. Ada api ditempat bahaya

3. Pengamanan gedung yang kurang standar

4. Terpapar bising

5. Pencahayaan dan ventilasi yang kurang atau berlebihan

6. Kondisi suhu yang membahayakan

7. Dalam keadaan pengamanan yang berlebihan

8. Sistem peringatan yang berlebihan

9. Sifat pekerjaan yang mengandung bahaya

1.2.3. Klasifikasi Kecelakaan Akibat Kerja

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) (1962) seperti dikutip

oleh Anizar (2009) mengklasifikasikan kecelakaan akibat kerja antara lain:

1) Klasifikasi menurut jenis pekerjaan:

a. Terjatuh

b. Tertimpa benda jatuh

c. Tertumbuk atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh

d. Terjepit oleh benda

e. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan

f. Pengaruh suhu tinggi

g. Terkena arus listrik

h. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi

i. Jenis-jenis lain termasuk kecelakaan-kecelakaan yang data-datanya tidak

cukup atau kecelakaan-kecelakaan lain yang belum masuk klasifikasi

kecelakaan diatas.

2) Klasifikasi menurut penyebab:

a. Mesin: pembangkit tenaga, terkecuali motor-motor listrik, Mesin penyalur,

mesin-mesin untuk mengerjakan logam, mesin-mesin pengolah kayu,

mesin-mesin pertanian, mesin-mesin pertambangan, mesin-mesin lain yang

tidak termasuk klasifikasi tersebut.

b. Alat angkut dan alat angkat: mesin angkat dan peralatannya, alat angkutan

diatas rel, alat angkutan lain yang beroda, terkecuali kereta api, alat

angkutan udara, alat angkutan air, alat-alat angkutan lain.

c. Peralatan lain: bejana bertekanan, dapur pembakar dan pemanas, instalasi

pendingin, instalasi listrik termasuk motor listrik tetapi dikecualikan alat-

alat listrik tangan, alat-alat listrik (tangan), alat-alat kerja dan

perlengkapannya, kecuali alat-alat listrik, tangga, perlatan lain yang belum

termasuk klasifikasi tersebut.

d. Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi: bahan peledak, debu, gas, cairan dan zat-

zat kimia terkecuali bahan peledak, benda-benda melayang, radiasi, bahan

dan zat lain yang belum termasuk golongan tersebut.

e. Lingkungan kerja: di luar bangunan, di dalam bangunan, di bawah tanah

3) Klasifikasi Menurut Sifat Luka atau Kelainan

a. Patah tulang

b. Dislokasi/kaseleo

c. Regang otot/urat

d. Memar dan luka dalam yang lain

Page 38: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

24

e. Amputasi

f. Luka dipermukaan

g. Gegar dan remuk

h. Luka bakar

i. Keracunan-keracunan mendadak

j. Mati lemas

k. Pengaruh arus listrik

l. Pengaruh radiasi

m. Luka-luka yang banyak dan berlainan sebabnya

4) Klasifikasi menurut Letak Kelainan atau Luka di Tubuh

a. Kepala

b. leher

1.2.4. Kerugian Akibat Kecelakaan

Setiap kecelakaan kerja pasti akan menimbulkan kerugian-kerugian, baik itu

kerugian material maupun fisik. Menurut Anizar (2009) kerugian yang

diakibatkan oleh kecelakaan kerja antara lain:

1. Kerugian Ekonomi:

a. Kerusakan alat/mesin, bahan dan bangunan

b. Biaya pengobatan dan perawatan

c. Tunjangan kecelakaan

d. Jumlah produksi dan mutu yang berkurang

e. Kompensasi kecelakaan

f. Penggantian tenaga kerja yang mengalami kecelakaan

2. Kerugian non ekonomi yang meliputi:

a. Penderitaan korban dan keluarga

b. Hilangnya waktu selama sakit, baik korban maupun pihak keluarga

c. Keterlambatan aktivitas akibat tenaga kerja lain berkerumun/berkumpul,

sehingga aktivitas terhenti sementara

d. Hilangnya waktu kerja

3. Kerugian langsung: pengobatan dan perawatan, kompensasi, kerusakan

bangunan, kerusakan perkakas dan peralatan.

4. Kerugian tidak langsung: tertundanya produksi, biaya untuk mendapatkan

karyawan penggantinya, biaya training, upah lembur, waktu kerja dari

pengawas tambahan, hilangnya waktu kerja si korban, hilangnya waktu kerja

bagi keluarga yang datang menjenguk si korban, waktu untuk menyelesaikan

urusan administrasi, biaya untuk membayar karyawan pendamping.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode frekuensi

sederhana. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dan

wawancara (Sugiyono, 2013). Data responden dihimpun lalu dijumlahkan.

Pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner dijawab dengan setuju atau tidak.

Berapa orang yang menyetujui setiap pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner.

Selain itu juga diadakan wawancara dengan pihak manajemen maupun beberapa

tukang.

Page 39: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

25

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

Dari 60 kuesioner yang disebar ke responden (karyawan bengkel), kembali

ke peneliti sebanyak 50 dengan rincian, umur responden berkisar antara 25-60

tahun. Pendidikan responden berkisar antara Sekolah dasar dan Sekolah

menengah pertama dan semua responden telah menikah dan mempunyai anak.

Ada sepuluh pertanyaan yang diberikan kepada para responden dalam kuesioner

dan jawaban yang diperoleh dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Jawaban Kuesioner

No Pertanyaan Jawaban Ya

Ya Tidak %

1.

Apakah dibengkel selalu disediakan pelindung kerja seperti

helm, sepatu boots, sarung tangan, masker, dll yang dapat

menghindarkan saya dari kecelakaan kerja

31 19 62

2. Apakah pelindung kerja seperti helm, sepatu boots, sarung

tangan, masker, dll dalam keadaan baik?

31 19 62

3. Apakah semua peralatan kerja dalam kondisi baik dan layak

pakai?

31 19 62

4. Apakah peralatan yang berbahaya telah diberi suatu tanda

peringatan

38 12 76

5.

Apakah perusahaan memberikan pelatihan dan pendidikan bagi

setiap karyawan untuk bertindak dengan aman dalam

menyelesaikan pekerjaan?

37 13 74

6. Melalui pendidikan yang saya peroleh, saya dapat menjalankan

tugas dan dapat memperbaiki kualitas kerja saya

42 8 84

7. Setiap karyawan yang bekerja berada dalam kondisi lingkungan

kerja yang aman dan bersih

42 8 84

8. Apakah perusahaan melakukan pengawasan secara lebih

intensif terhadap pelaksanaan pekerjaan saya

33 27 66

9. Apakah perusahaan memberikan metode/ petunjuk kerja yang

dapat mempermudah pekerjaan saya

35 15 70

10. Apakah perusahaan menyediakan obat-obatan untuk

pertolongan pertama apabila terjadi kecelakaan

42 8 84

11. Apakah perusahaan memberikan jaminan kesehatan kepada

setiap karyawan

42 8 84

3.2. Pembahasan

Dari analisa yang telah dipaparkan dalam tabel 2, dapat dijelaskan:

1. Pada umumnya manajemen di bengkel St. Yosef Nenuk – Atambua telah

mengetahui akan pentingnya Alat Pelindung Diri (APD) sehingga manajemen

menyediakan APD yang dibutuhkan oleh para karyawan. Namun ada beberapa

alat pelindung yang tidak terlihat misalnya helm dan kaos tangan. Hal ini

ditujukan dengan 62 % responden menyetujui pertanyaan pertama. Selain itu

juga pihak manajemen juga menyediakan obat-obatan dalam kotak P3K. Hal

ini dapat membantu para pekerja sehingga ketika terjadi kecelakaan para

pekerja perlu mendapatkan pertolongan pertama sebelum di bawa ke Rumah

Sakit dan para pekerja mengetahui akan hal ini.

2. Pihak manajemen juga menyediakan waktu serta tenaga (pekerja) untuk

mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan pada kursus-kursus baik yang

diadakan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah Provinsi. Selain itu juga

Page 40: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

26

tenaga-tenaga terampil dari Bengkel ini diminta untuk membimbing para siswa

(magang) dari beberapa Sekolah Kejuruan.

3. Pihak manajemen selalu mengawasi pekerja di bengkel, dan selalu

memberitahu/mengajari penggunaan alat-alat secara benar sehingga para

pekerja tidak bekerja sendiri dalam ketidaktahuan tetapi selalu mendapat

bimbingan.

4. Ada beberapa karyawan yang seringkali lalai dalam menjalankan aturan yang

telah ditetapkan oleh pihak manajemen misalnya tidak menggunakan APD

secara baik dan benar, meninggalkan bengkel dalam keadaan kotor dan alat

kerja yang berserakan di lantai, kerja tidak sesuai dengan petunjuk yang

diberikan oleh pengawas sehingga pihak manajemen.

4. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukan bahwa 62 % karyawan telah mengetahui dan

memahami keselamatan dan kesehatan kerja, dengan menggunakan alat pelindung

diri ketika bekerja, sedangkan 38 % sudah mengetahui adanya Keselamatan dan

Kesehatan Kerja namun dalam pelaksanaan tidak menggunakan alat pelindung

diri sehingga masih terjadi kecelakaan.

5. Saran

1. Berhadapan dengan karyawan yang kurang tertib dalam menjalankan tugasnya,

misalnya terlambat hadir tepat waktu, tidak menggunakan APD ketika bekerja,

membiarkan alat kerja berhamburan di lantai pihak manajemen sebaiknya

memberikan teguran langsung maupun tertulis. Jika masih terus dilanggar

hendaknya diberi sanksi, karena selama ini sanksi belum pernah diterapkan

kepada pekerja.

2. Pihak manajemen hendaknya terus mengawasi pekerja, sehingga para pekerja

tidak bekerja sendirian. Ketika terjadi ketidaktahuan dalam menyelesaikan

suatu pekerjaan atau penggunaan mesin, para pekerja langsung bertanya dan

mendapat jawaban yang benar, dengan demikian pekerja merasa aman, nyaman

dan produktif.

Daftar Pustaka

Ryska, R, Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Kinerja

Karyawan PT Ceria Utama Abadi, cabang Palembang, 2013

Sulaksmono, Handout: Manajemen Keselamatan Kerja, Surabaya, 1997

Shariff, S.M, Occupational Safety and Health Management, University

Publication Centre (UPENA), Malaysia: Universiti Teknologi MARA. 2007

Anizar, Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri, Graha Ilmu

Yogyakarta, 2012

Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta Bandung,

2013

Page 41: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

27

Evaluasi Penggunaan Alat Pelindung Diri

Pada Perawat Unit Hemodialisa

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II

Istika Dwi Kusumaningrum1, Widodo Hariyono

2

1Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Surya Global, Yogyakarta

Jalan Ring Road Selatan, Blado Potorono, Banguntapan, Bantul

Tel: 085643301114. E-mail: [email protected] 2Prodi IKM, FKM, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Abstrak

Pelayanan yang diberikan kepada pasien hemodialisa infeksius dengan mengutamakan

pencegahan penularan infeksius dengan menggunakan alat pelindung diri (APD). Faktor

ketidakpatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri diantaranya adalah

kurangnya pengetahuan petugas terhadap bahaya risiko, alat pelindung diri dirasa kurang

nyaman, serta sistem pengawasan yang buruk terhadap penggunanaan alat pelindung diri.

Penggunaan APD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II belum maksimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan alat pelindung diri (APD) pada

perawat unit Hemodialisa. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif

dan hasil disajikan secara deskriptif dengan rancangan penelitian studi kasus (case study).

Subjek penelitian ini dilakukan kepada Direksi dan perawat unit Hemodialisa. Objek

penelitian ini adalah Penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat unit

Hemodialisa.

Metode telusur didapatkan hasil bahwa temuan dari hasil observasi, bukti pelaksanaannya

hanya dapat ditemukan sebagian saja yang dilaksanakan. Kebijakan maupun prosedur

sudah ditetapkan dan dilaksanakan tetapi tidak dapat dipertahankan. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa evaluasi penggunaan APD di unit Hemodialisa masih kurang.

Penggunaan APD di unit Hemodialisa tidak dilaksanakan dengan baik karena sebagian

petugas tidak mengenakan APD secara lengkap. Pengawasan di unit Hemodialisa belum

maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga

fungsi managerial belum terlaksana dengan baik.

Kata kunci: alat pelindung diri (APD), perawat, unit hemodialisa.

1. Pendahuluan

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, khususnya pasal

165: “Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan

melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga

kerja”. Berdasarkan pasal diatas maka pengelola tempat kerja di Rumah Sakit

mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah satunya

adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja1.

Kementerian Kesehatan melakukan revitalisasi Program Pencegahan dan

Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit yang merupakan salah satu pilar

menuju patient safety. Diharapkan kejadian infeksi di rumah sakit dapat

diminimalkan serendah mungkin sehingga masyarakat dapat menerima pelayanan

kesehatan secara optimal. Sebagai perbandingan, bahwa tingkat infeksi

nosokomial yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Amerika adalah rendah

yaitu sekitar 1% dibandingkan dengan kejadian di negara-negara Asia, Amerika

Page 42: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

28

Latin dan Sub-Afrika yang tinggi hingga mencapai lebih dari 40% dan menurut

data WHO, angka kejadian infeksi di RS sekitar 3 – 21% (rata-rata 9%). Hasil

laporan National Safety Council (NCS) tahun 2008 menunjukkan bahwa

terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di industri lain.

Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/

terpotong, luka bakar dan penyakit lainnya2.

Hemodialisa (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang

menggunakan alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju

filtrasi glomerulus yang rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia

dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Saat ini unit hemodialisis di Indonesia

yang terdata di PERNEFRI sebanyak ± 4000 unit, sementara Indonesia

membutuhkan sekitar 6000 unit mesin hemodialisis. Adanya globalisasi dalam

sektor kesehatan ini berdampak dalam pelayanan kesehatan terutama dalam

melakukan tindakan. Pelayanan kesehatan baik dalam terapi, pemberian resep

maupun pemakaian alat kesehatan mengikuti perkembangan globalisasi tersebut.

Dengan meningkatnya penderita gagal ginjal kronik dari tahun ke tahun maka

hemodialisis menjadi kebutuhan yang tidak dihindari lagi3.

Pelayanan yang diberikan kepada pasien hemodialisa infeksius dengan

mengutamakan pencegahan penularan infeksius dengan menggunakan alat

pelindung diri (APD). Alat pelindung diri (APD) adalah suatu alat yang dipakai

untuk melindungi diri dari atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja

dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja

yang terjadi peralatan pelindung tidak menghilangkan atau mengurangi bahaya

yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dan bahaya dengan cara

penempatan dan penghalang antara tenaga kerja dan bahaya4.

Dari beberapa komponen pelayanan kesehatan di rumah sakit, perawat

adalah salah satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien

yang intensitasnya paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Perawat

sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit (40-

60 %) dimana pelayanan keperawatannya yang diberikan merupakan bagian

integral dari pelayanan kesehatan memiliki peran kunci dalam mewujudkan

keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit5.

Faktor ketidakpatuhan petugas dalam menggunakan alat pelindung diri

diantaranya adalah kurangnya pengetahuan petugas terhadap bahaya risiko, alat

pelindung diri dirasa kurang nyaman, serta sistem pengawasan yang buruk

terhadap penggunanaan alat pelindung diri. Sesuai dengan fungsi sarana kesehatan

tersebut semua pekerja di rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya selalu

berhubungan dengan bahaya potensial bila tidak ditanggulangi dengan baik dan

benar dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keselamatan dan

kesehatannya, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerjanya6.

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II memiliki mesin HD sebanyak

25 buah (22 mesin untuk pasien umum, 2 mesin khusus pasien infeksius), yang

mana setiap hari 24 mesin yang dioperasionalkan secara rutin sedangkan yang 1

digunakan apabila ada keadaan emergensi sebagai cadangan. Kecelakaan kerja

yang sering terjadi adalah tertusuk jarum bahkan terinfeksi Hepatitis. Sedangkan

program pemeriksaan Hepatitis B, C dan HIV baru diusulkan. Penggunaan APD

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II belum maksimal. Baju kerja

khusus HD hanya tersedia 2 untuk masing-masing perawat, sedangkan terpapar

Page 43: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

29

oleh pecikan darah sangat tinggi. Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk

meneliti tentang evaluasi penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat

Unit Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit II.

2. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan hasil disajikan

secara deskriptif dengan rancangan penelitian studi kasus (case study)7. Subjek

penelitian ini dilakukan kepada Direksi (Direktur, Manajer Keperawatan, Tim PPI

dan perawat Hemodialis) dengan teknik purposive sampling. Objek penelitian ini

adalah penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat unit Hemodialisa.

Evaluasi penggunaan APD dilakukan dengan cara: telusur dokumen, observasi

lapangan, diskusi kelompok terfokus (FGD/Focus Group Discussions). Analisis

data dengan menggunakan checklist observasi dan model telusur dokumen untuk

mendapatkan informasi tentang kesesuaikan dalam penggunaan alat pelindung diri

(APD) di unit Hemodialisa.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Hasil Observasi

Dari hasil observasi petugas Hemodialisa terhadap 8 orang perawat pada

bulan Maret 2015, didapatkan hasil bahwa masih banyak petugas yang belum

membiasakan untuk menerapkan 5 Moments for Hand Hygiene. Panduan patient

safety, prosedur handwash dan handrub masing-masing unit diberikan tetapi

jarang untuk diterapkan. Sebanyak 87% petugas tidak membersihkan tangan

(handwash) sebelum menggunakan sarung tangan (handscoen). Setelah melepas

sarung tangan pun petugas tidak membersihkan tangan terlebih dahulu dan

langsung ganti sarung tangan baru kemudian tindakan pasien. Tempat untuk

mencuci tangan (handwash) di unit HD ada 3, sedangkan cairan berbasis alkohol

(handrub) tersedia 2.

Jenis APD di unit Hemodialisa tersedia lengkap meliputi, pelindung badan

khusus HD, handscoen, masker dan kacamata. Pelindung badan khusus HD

masing-masing perawat unit HD hanya disediakan 2 setel baju kerja khusus HD

sebagian ada yang masih disimpan di loker ruang perawat ada juga yang dibawa

pulang karena baju kerja khusus HD kebesaran. Hanya 3 petugas yang

menggunakan baju kerja khusus HD itupun tidak setiap hari, sedangkan 75%

petugas tidak memakai masker, kaca mata digunakan untuk alat reuse saja.

Pelindung tangan (handscoen) wajib digunakan untuk tindakan hemodialisa,

masing-masing tempat tidur pasien atau mesin HD disediakan 2 pasang

handscoen digunakan tiap tindakan memasang dan melepas jarum.

Pada tanggal 21 Maret 2015 saat observasi didapatkan petugas yang

melakukan handrub pada saat masih menggunakan handscoen kemudian lanjut

tindakan ke pasien. Pada hari yang bersamaan petugas melakukan punksi akses

vaskuler dan penyuntikan tidak menggunakan handscoen.Saat pelepasan jarum

pasien ketika selesai tindakan Hemodialisa juga ditemukan pasien mengalami

kebocoran karena kurang pas atau terburu-buru. Dapat disimpulkan bahwa

petugas unit HD tidak menggunakan APD lengkap untuk melakukan tindakan

pasien infeksius maupun non infeksius.

Page 44: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

30

3.1.1.1. Telusur Dokumen

Telusur dokumen di unit HD dan IPCN tidak ditemukan prosedur tentang

proses reuse dialiser, SPO penggunaan APD di unit HD, SPO pelayanan HD

pasien infeksius (untuk petugas) dan kebijakan infeksi kontrol untuk Hepatitis B,

C dan HIV di unit HD.

3.1.1.2. Hasil Wawancara dengan Direksi

Rekomendasi dari informan kunci (Direktur Diklat) adalah merubah

perilaku perawat atau seseorang itu tidak mudah. Merubah seseorang perlu proses

maka perlu di gali terus pada hal-hal yang sifatnya membangun, seperti memberi

pelatihan maupun sosialisasi ke perawat. Penggunaan APD harus lebih

diperhatikan, insiden cidera maupun potensial cidera harus dilaporkan.

Seharusnya tim PPI/IPCN membuat PDCA untuk mengembangkan mutu

pelayanan rumah sakit. Dari hasil wawancara dengan Direktur rumah sakit dan

diikuti dengan telusur dokumen, dihasilkan bahwa prosedur terkait dengan

penggunaan alat pelindung diri di unit Hemodialisa belum semuanya terpenuhi.

3.1.2. Hasil FGD/Group Interview

3.1.2.1. Pengetahuan

Gambaran pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini, meliputi

pengetahuan informan utama dalam menjelaskan dan memaparkan definisi,

bahaya, manfaat, jenis alat pelindung diri (APD) di unit Hemodialisa,

peraturannya dan memelihara APD. Tidak semua informan utama bisa

menjelaskan definisi APD. Sepatu kerja tidak selalu di pakai saat melakukan

tindakan, masih ada beberapa petugas mengenakan sandal saat tindakan.

3.1.2.2. Sikap

Kendala petugas tidak melakukan hand hygiene (handwash/handrup) karena

pada saat pasien selesai melakukan tindakan HD (ending) selalu bersamaan, jadi

petugas selama ini hanya mengganti sarung tangan baru dan kembali tindakan

pasien berikutnya. Kadangkala juga sampai lupa untuk mengganti sarung tangan

baru. Dari hasil wawancara sebetulnya petugas tahu jika sebelum maupun setelah

menggunakan sarung tangan harus mencuci tangan dengan air tidak boleh

menggunakan cairan beralkohol (handrub) karena bedak handscoen yang

menempel pada tangan tidak bisa dibersihkan hanya dengan cairan beralkohol.

Baju kerja disimpan di loker ruang perawat. Sedangkan handscoen dibuang di

tempat sampah yang letaknya bersebelahan dengan tempat tidur pasien.

3.1.2.3. Keyakinan

Gambaran keyakinan yang dimaksud dalam penelitian ini, meliputi

keyakinan informan utama dalam menerapkan APD di unit HD, dan bersedia

menggunakan sesuai dengan kebijakan dan standar kerja. Standar kerja di unit HD

sudah sesuai, untuk penggunaan handscoen masih belum terkontrol. Setiap satu

tindakan sudah disediakan 2 pasang namun masih ada petugas yang mengambil

handscoen baru di box. Baju kerja HD hanya 2 untuk masing-masing perawat,

standarnya 1 shift 1 baju kerja.

3.1.2.4. Ketersediaan APD

Ketersediaan APD yang dimaksud pada penelitian ini adalah gambaran

mengenai ada atau tidaknya APD yang disediakan rumah sakit dan peraturannya.

Dari hasil wawancara dengan informan bahwa APD sudah tersedia dari rumah

sakit.

Page 45: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

31

3.1.2.5. Kebijakan/SPO

SPO yang dimaksud pada penelitian ini yaitu adanya prosedur atau petunjuk

kerja di unit hemodialisa. Aturan atau SPO sudah ada terkait dengan hand

hygiene, terkendalanya adalah sosialisasi yang kurang.

3.1.2.6. Pengawasan

Pengawasan dilakukan oleh supervisor masing-masing unit. Pengawasan

belum berjalan secara maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan

kegiatan pelayanan sehingga fungsi managerial belum terlaksana dengan baik.

Dokumen atau buku untuk pengawasan petugas HD belum ada di unit HD.

3.2. Pembahasan

Risiko penularan infeksi yang dihadapi oleh petugas pelayanan kesehatan

disebabkan karena kontak dengan darah dan sekresi tubuh pasien sewaktu

tindakan keperawatan rutin. Petugas perawatan kesehatan dapat melindungi diri

mereka sendiri dari kontak dengan bahan infeksius atau terpajan pada penyakit

menular dengan memiliki pengetahuan tentang proses infeksi. Memang pada

kenyataannya masih banyak petugas kesehatan seperti dokter dan perawat tidak

menggunakan sarung tangan pada saat melakukan tindakan keperawatan seperti

tindakan menyuntik dengan alasan karena mereka khawatir akan kehilangan

kepekaan dan selain itu juga karena merasa tidak nyaman8.

Menurut informan kunci penggunaan sarung tangan saat menyuntik atau

memasukkan jarum ketubuh pasien sebelum dan sesudah tindakan wajib

menggunakan sarung tangan bahwa semua penyakit pasien berisiko atau infeksi

berbahaya sehingga mereka harus menggunakan APD karena darah termasuk

infeksius. Penggunaan APD seperti sarung tangan sebenarnya sangatlah mutlak

dilakukan, disamping penggunaan alat-alat medis yang steril dalam setiap

pemberian tindakan keperawatan, pemakaian sarung tangan bertujuan untuk

melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret dan

selaput lendir. Selain melindungi petugas kesehatan, sarung tangan juga

mengurangi penyebaran infeksi dari pasien. Cuci tangan dan penggunaan sarung

tangan, merupakan komponen kunci dalam meminimalkan penularan penyakit

serta mempertahankan lingkungan bebas infeksi.

Baju pelindung bertujuan untuk melindungi baju dari bahan-bahan yang

infeksius, melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah

atau cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju atau kulit petugas kesehatan.

Penggunaan masker di unit HD menjadi suatu perdebatan. Hemodialisa

(HD) potensi menularnya melalui darah bukan melalui udara. Masker bertujuan

mencegah membran mukosa petugas terkena kontak dengan percikan darah dan

cairan tubuh, sedangkan untuk pasien mencegah kontak droplet dari mulut dan

hidung petugas yang mengandung mikroorganisme saat bicara , batuk dan bersin.

Berdasarkan informasi dari petugas unit HD menyatakan bahwa pasien di unit HD

ada yang menderita penyakit TBC sebanyak 4 orang. Pasien yang menderita TBC

sudah diberikan arahan untuk menggunakan masker tetapi pasien tidak mau

memakainya karena susah untuk bernafas. Sedangkan petugas sendiri juga enggan

untuk memakainya.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa semua informan utama

memiliki pengetahuan tentang alat pelindung diri (APD). Untuk sikap yang

dimiliki informan utama dalam menggunakan APD bersikap positif. Sedangkan

keyakinan dalam penggunaan APD informan utama sangat yakin jika ada

Page 46: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

32

ketentuannya karena APD dapat melindungi petugas. Penelitian lain yang

mendukung adalah, penggunaan sarung tangan, relevansi untuk praktik klinis,

pendidikan dan prakek cuci tangan yang benar dan pemakaian sarung tangan

antara kesehatan rumah sakit dan dukungan pekerja yang diperlukan9.

Di unit HD pengawasan belum berjalan dengan maksimal mengingat

supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan sehingga fungsi

manajerial belum terlaksana dengan baik. Waktu pengawasan juga belum

terjadwal dengan baik. Pengawasan yang dilakukan secara berkala dan intens,

kondisi yang berbahaya atau kegiatan yang tidak aman dapat diketahui dengan

segera dan dapat dilakukan usaha untuk memperbaikinya. Teknik pengawasan

dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung10

. Hal ini juga dikuatkan

dengan pendapat Ayu dan Denny (2013), bahwa pengawasan yang dilakukan

setiap hari oleh supervisor dapat membentuk perilaku perawat agar disiplin untuk

berperilaku aman dalam bekerja, dan dengan adanya pengawasan akan

mengurangi risiko yang ada misalnya kesalahan perawat dalam menangani

pasien11

.

4. Kesimpulan

Penggunaan APD di unit Hemodialisa tidak dilaksanakan dengan baik

karena sebagian petugas tidak mengenakan APD secara lengkap. Pengetahuan

petugas, sikap, dan keyakinan tentang alat pelindung diri (APD) sudah cukup baik

hal ini terbukti dari jawaban yang petugas sampaikan, namun juga hanya sebatas

pengetahuan saja karena tidak semua diterapkan saat tindakan Hemodialisa.

Kebijakan atau SPO di unit Hemodialisa untuk pelaksanaan Hemodialisa sudah

sesuai, namun SPO untuk petugas dalam penggunaan APD penanganan pasien

Hemodialisa infeksius maupun non infeksius belum ada, SPO proses reuse

dialyzer juga belum ada. Sedangkan kebijakan infeksi control, Hepatitis B, C dan

HIV di unit Hemodialisa masih diusulkan. Pengawasan di unit Hemodialisa belum

maksimal mengingat supervisor masih disibukkan dengan kegiatan pelayanan

sehingga fungsi managerial belum terlaksana dengan baik.

Rekomendasi yang perlu dilakukan adalah manajemen rumah sakit yang

arahnya mendukung akreditasi harus ditingkatkan. Pelatihan maupun sosialisai

untuk petugas terkait dengan pencegahan infeksi yang sudah diberikan wajib

diterapkan serta melengkapi standar prosedur operasional (SPO) yang belum ada

di unit Hemodialisa.

Daftar Pustaka

1. Direktorat Bina Kesehatan Kerja. 2010. Kep Menkes

RI/No.1087/Menkes/SK/VIII/ 2010. Standar Kesehatan dan Keselamatan

Kerja di RS. Jakarta. KepMenkes RI

2. Surveilans infeksi rumah sakit. 2010. Situs: http://buk.depkes.go.id/ index.php

option=com content & view=article & id=123: surveilans-infeksi-di rumah

sakit.

3. Direktoran Bina Pelayanan Medik Spesialistik. 2009. Pedoman Pelayanan

Hemodialisis di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Departemen

Kesehatan RI

4. Suma’mur, P.K. 2009. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan.

Jakarta. CV Haji Masagung.

Page 47: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

33

5. Depkes RI. 2006. Peningkatan Manajemen Kinerja Klinik (PMKK) Perawat

dan Bidan, Pusdiklat SDM Kesehatan bekerjasama dengan Direktorat Bina

Pelayanan Keperawatan. Jakarta.

6. Hasyim, H. 2005. Manajemen Hiperkes dan Kesehatan Kerja di RS (Tinjauan

Kegiatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Institusi Sarana Kerja).

Sumatera Selatan. FK Prodi Kesmas Universitas Sriwijaya.

7. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta.

8. Demak, Denisa Listy. 2013. Analisis Penyebab Perilaku Aman Bekerja Pada

Perawat di RS Islam Asshobirin Tangerang Selatan Tahun 2013. Jakarta.

FKIK UIN Syarif Hidayatullah.

9. Sharon, WM Pang. 2011. An Evaluation of Hospital Hand Hygiene Practise

and Glove Use in Hongkong. Journal of Clinical Nursing volume 20.

10. Sarwono, SW. 2009. Teori-teori Psikologi Sosial. CV. Jakarta. Rajawali.

11. Ningsih, AR; Denny AW. 2013. Evaluasi Pelaksanaan Behavior Based Safety

Pada Program Stop Dalam Membentuk Perilaku Aman Tenaga Kerja di PT X

Tahun 2013. FKM Universitas Airlangga.

Page 48: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

34

Implementasi Manajemen Keselamatan Proses

Dengan Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL

Unit Ammonia Pabrik-4

Basuki Rachmad Turn Around Department, PT Pupuk Kalimantan Timur

Tel: 0062-548-41202 ext 2620. E-mail: [email protected]

Abstrak

Tujuan dilakukannya Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL ini adalah untuk mereview

kembali dokumen HAZOP existing yang dilakukan sejak masa proyek Kaltim-4

berdasarkan kondisi operasi saat ini dengan metode HAZOP yang sesuai antara lain

dilakukan risk score dan menerapkan konsep IPL (Independent Protection Layer), serta

mengevaluasi dan mengendalikan potensi bahaya yang baru teridentifikasi dan

merekomendasikan bila ditemukan safeguard belum mencukupi atau diperlukan

safeguard tambahan ataupun ada kesalahan safeguard agar potensi bahaya risiko yang

tinggi dapat diturunkan sampai batas yang dapat ditoleransi. Dan agar sistem interlock

di Ammonia Pabrik-4 memiliki klasifikasi SIL untuk meningkatkan keandalan sistem

interlock Ammonia Pabrik-4. Juga untuk menindak lanjuti arahan pemegang saham.

Tahap pertama dipilih unit Ammonia untuk dilakukan Studi HAZOP SIL karena

mempunyai potensi bahaya tertinggi. Existing HAZOP terdiri dari 17 Node kemudian

dilakukan revalidasi dengan menggunakan metode HAZOP yang sesuai antara lain

dilakukan risk score dan menerapkan konsep IPL (Independent Protection Layer).

Revalidasi HAZOP di Ammonia Pabrik-4 diperoleh bahwa dari 17 node yang tidak ada

rekomendasi sebanyak 5 node karena safeguard yang ada sudah cukup, adapun 12 node

lainnya ada rekomendasi sejumlah 20 rekomendasi untuk menurunkan tingkat risiko yang

dapat ditoleransikan. Adapun analisis klasifikasi SIL dengan metode LOPA dari 116

interlock system di Unit Ammonia Pabrik-4, ada 83 interlock system dengan klasifikasi

SIL-3, 18 interlock system klasifikasi SIL-2, 5 interlock system klasifikasi SIL-1 dan 10

interlock system tergolong Non SIL.

Kata kunci: ammonia, HAZOP, klasifikasi SIL, layer of protection analysis, risk score.

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sejak beroperasi tahun 2002 Pabrik-4 sampai saat ini belum pernah

dilakukan revalidasi HAZOP. Sejauh ini sudah banyak modifikasi yang telah

dilakukan, namun dokumen yang terkait dengan perubahan tersebut salah satunya

dokumen P&ID belum dilakukan up dating. Hal ini dapat mengakibatkan

terjadinya kesalahan pengoperasian maupun pemeliharaan. Kesalahan

pengoperasian maupun pemeliharaan dapat berdampak safety, environment

maupun asset.

Berdasarkan Pedoman Manajemen Keselamatan Proses dari Pupuk

Indonesia (Dok no F01000-PP-093) pada elemen 2 hal 8 disebutkan bahwa

setidaknya setiap lima tahun sekali dilakukan evaluasi dan validasi ulang

HAZOPS. Demikian juga dengan sistem interlock di Pabrik-4 sampai saat ini

belum ada klasifikasinya. Berdasarkan standard internasional ANSI/ISA–84.01

klasifikasi sistem interlock adalah Safety Integrity Level (SIL). Ada 4 klasifikasi

Page 49: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

35

SIL yakni SIL1, SIL2, SIL3 dan SIL4. Untuk melakukan klasifikasi sistem

interlock tersebut diperlukan suatu metode antara lain Layer Of Protection

Analysis (LOPA). Saat ini umumnya implementasi HAZOPS diintegrasikan

dengan implementasi SIL agar dalam mengimplementasi keduanya lebih efektif

dan efisien dari segi waktu maupun biaya.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat disusun

perumusan masalah sebagai berikut;

1. Apakah metode studi HAZOP SIL efektif untuk revalidasi studi HAZOP

existing?

2. Bagaimana mereview studi HAZOP existing?

3. Bagaimana menentukan risk score?

4. Bagaimana menentukan klasifikasi SIL?

1.3. Manfaat dan Tujuan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk evaluasi manajemen pemeliharaan

SIS pada unit Ammonia Pabrik-4, juga dapat digunakan sebagai acuan untuk

evaluasi sistem sejenis lainnya. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai

adalah sebagai berikut ;

1. Untuk mereview kembali dokumen HAZOP existing, mengevaluasi dan

mengendalikan potensi bahaya yang baru teridentifikasi.

2. Untuk menentukan klasifikasi SIL suatu SIF berdasarkan asesmen risiko yang

berdampak pada manusia (safety), potensi kerusakan yang berdampak

lingkungan (environment) juga potensi kerusakan yang berdampak pada biaya

pemeliharaan dan kehilangan produksi (asset).

3. Agar semua potensi bahaya dapat teridentifikasi dan merekomendasikan bila

ditemukan safeguard belum mencukupi atau diperlukan safeguard tambahan

ataupun ada kesalahan safeguard agar potensi bahaya risiko yang tinggi dapat

diturunkan sampai batas yang dapat ditoleransi.

4. Agar sistem interlock Pabrik-4 memiliki klasifikasi SIL untuk meningkatkan

keandalan sistem interlock Pabrik-4.

1.4. Ruang Lingkup

Revalidasi HAZOP dan Klasifikasi SIL Pabrik-4 meliputi unit Utility,

Ammonia dan Urea. Tahap pertama dipilih unit Ammonia karena dari ketiga unit

tersebut yang mempunyai potensi bahaya tertinggi adalah unit Ammonia, adapun

dokumen HAZOP Ammonia Pabrik-4 existing yang akan dilakukan Revalidasi

HAZOP & Klasifikasi SIL yakni; HAZOP Report for Ammonia Unit K-4 Project

(Doc. No.: K4-01-P1-OR-001-R, Rev.1, 5 September 2000). Unit Ammonia

Pabrik-4 terdiri dari 17 Node; (1) Desulphurization, (2) Reforming, (3) CO

Conversion, (4) Process Gas Cooling, (5) C02 Absorption, (6) C02 Stripping, (7)

MDEA Preparation, Storage & Drain, (8) Methanation, (9) Natural Gas Feed &

Compression, (10) Process Air Compressor, (11) Syn Gas Compression, (12)

Ammonia Synthesis Loop, (13) Ammonia Refrigeration, (14) Ammonia Receiver

and Ammonia Product Transferring, (15) Process Condensate Stripping, (16)

Boiler Feed Water dan (17) Steam System.

Adapun analisis klasifikasi SIL terhadap interlock system Ammonia Pabrik-

4 akan dimulai dari interlock system yang berdasarkan hasil studi revalidasi

HAZOP risk score-nya yang kategori critical kemudian dilanjutkan kategori

medium critical, sedangkan yang kategori non critical langsung dapat

Page 50: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

36

diklasifikasikan Non SIL. Jumlah interlock system di unit Ammonia Pabrik-4

sekitar 116 interlock system.

2. Metode Penelitian

Metode Hazard and Operability Study (HAZOP) adalah metode yang

digunakan untuk mengidentifikasi potensi hazard dan masalah operabilitas yang

disebabkan oleh penyimpangan dari tujuan desain pada suatu proses pabrik

(Dieltjens, 2010). Teknik HAZOP (Hazard & Operability Study) yakni dengan

cara mengkombinasikan antara parameter dan guide word menjadi deviasi dari

design intent suatu node. Kemudian penyebab dan konsekuensi dari deviasi

diidentifikasi, dengan mengases safeguard yang terkait. Severity (S) dari

konsekuensi ditentukan berdasarkan Risk Matrix, demikian juga likelihood (L)

terjadinya causes juga ditentukan berdasarkan Risk Matrix, sehingga diperoleh R

(Risk Score). Action adalah tindakan untuk mengeliminasi dan memitigasi potensi

bahaya yang telah teridentifikasi.Penyebab (causes) yang tidak dianggap dalam

studi HAZOP adalah sebagai berikut; (a) Kegagalan simultan lebih dari satu

independent protection device, (b) Kejadian simultan dari dua insiden yang tidak

berkaitan, (c) Kelalaian manusia, (d) Bencana alam, (e) Sabotase, (f) Analisis

HAZOP bukan merupakan design review, (g) Equipment/machinery telah di

desain, difabrikasi dan diinspeksi dengan baik tidak ada kerusakan dan (h)

Mechanical protection device (PSV, rupture disc) dianggap bekerja baik.

Klasifikasi SIL dengan metode Layer Of Protection Analysis (LOPA),

adalah suatu proses (metode, system) untuk mengevaluasi efektifitas dari

independent protection layer dalam mereduksi kemungkinan terjadinya

konsekuensi yang tidak diinginkan. Langkah awal dalam melakukan studi SIL

adalah mengidentifikasikan SIF (Safety Instrumented Function) atau interlock

system dengan benar. Tujuan dipasangnya suatu SIF adalah untuk mencegah

hazardous situation menjadi hazardous event.Masing-masing SIF diidentifikasi

dan diklasifikasi dengan menggunakan LOPA worksheet.Fungsi yang terkait

dengan pushbutton, fire&gas alarm system, control dan electrical tidak termasuk

dalam studi LOPA. Semua sistem interlock yang teridentifikasi di dalam Cause

and Effect Diagram atau sistem interlock hasil rekomendasi studi HAZOP akan

dibahas dalam studi klasifikasi SIL. Metodologi proses studi HAZOP SIL

ditunjukkan secara diagram alir seperti pada Gambar 3.

Page 51: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

37

Gambar 1. Metodologi Studi HAZOP SIL

3. Hasil

3.1. Revalidasi HAZOP

3.1.1. Rekomendasi Hasil Revalidasi HAZOP

Dari 17 node yang tidak ada rekomendasi sebanyak 5 node karena safeguard

yang ada sudah cukup, adapun 12 node lainnya ada rekomendasi untuk

menurunkan tingkat risiko yang dapat ditolenrasikan. Secara lengkap rekomendasi

setiap node ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Daftar Rekomendasi Hasil Revalidasi HAZOP

NODE RECOMMENDATION RISK BY

1 Pasang flow alarm low dari 1-FT-2005 Non Critical Instrument

Pasang temperature alarm low dari 1-TI-2004 Non Critical Instrument

2 Pasang flow alarm low dari 1-FT-2005

Medium

Critical Instrument

Pasang alarm press high 1-PAH-2008 Critical Instrument

3 Tidak ada rekomendasi

4 Tidak ada rekomendasi

5

Pasang ESD terpisah dari 1-FIC-3008 Critical Instrument

Pasang ESD terpisah dari 1-FIC-3006 Critical Instrument

Pasang high alarm level terpisah dari existing

(1-LIC-3009A) Critical Instrument

Mulai

Perumusan Masalah

Menentukan Tujuan & Manfaat

Mengumpulkan Data

Studi HAZOP SIL

Semua node &

interlock

Kesimpulan & Saran

no

yes

Selesai

Page 52: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

38

6 Kondisi saat ini masih disable untuk 1-PSL-

3004 sehingga perlu di enable Non Critical Instrument

7 Tidak ada rekomendasi

8 Install low pressure alarm 1-PI-4041 Non Critical Instrument

9 Tidak ada rekomendasi

10 Tidak ada rekomendasi

11 Pasang 1-PIC/PV-7002, untuk venting Critical Instrument

12 Pasang interlock dari 1-TAHH-5022 to close 1-

HV-5003 Critical Instrument

13 Pasang 1-PAL-4065 Non Critical Instrument

14

Pasang High Alarm bukan 1-LT-5006 +

Prosedur pengamanan Critical

Instrument

Operasi

Pasang High pres. alarm 1-PAH-5011 Critical Instrument

Pasang LSLL interlock trip to 2-P-204A/B & 2-

P-201A/B Critical Instrument

Modifikasi dengan menambah kapasitas 2-E-

211/2-C-202 untuk mengurangi pencemaran

lingkungan

Critical PPE

15 Pasang interlock system terpisah dengan 1-LIC-

7001 by I-752 Critical Instrument

16

Pasang line pengarah overflow ke lokasi aman Non Critical Istek

Pasang level alarm high terpisah dari 1-LT-

2001 (gunakan 1-LT-2002) Critical Instrument

17 Buat SOP kontingensi planing bila 1-LV-2003

fail open

Medium

Critical Operasi

3.2. LOPA

3.2.1. Hasil Analisis Klasifikasi SIL

Diperoleh klasifikasi SIL untuk interlock system di Unit Ammonia Pabrik-4

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Dari 116 interlock system di Unit

Ammonia Pabrik-4, ada 83 interlock system dengan klasifikasi SIL-3, 18 interlock

system klasifikasi SIL-2, 5 interlock system klasifikasi SIL-1 dan 10 interlock

system tergolong Non SIL.

Tabel 2. Daftar Klasifikasi SIL Interlock Systemdi Unit Ammonia Pabrik-4

No

SIFs SIL Selection Required

SIL Sensor Design Intent Risk

Category

Initial

SIL

1 1-FSLL-2002

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

tube & coil Primary

Reformer

Asset SIL3 SIL3

2 1-FFSLL-2002

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

tube & coil Primary

Reformer

Asset SIL3 SIL3

3 1-FFSLL-2005

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

tube & katalis Primary

Reformer

Asset SIL3 SIL3

4 1-PSLL-2008

(1oo1)

Untuk menghindari

explotion gas di furnace Safety SIL3 SIL3

Page 53: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

39

5 1-LSLL-2002

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

WHB Asset SIL3 SIL3

6 1-TSHH-2030

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis Asset SIL3 SIL3

7 1-FSLL-2010

(1oo1)

Untuk mencegah coil

rupture 1-E-202A/B Asset SIL3 SIL3

8 1-LSHH-3003

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis Converter Asset SIL3 SIL3

9 1-LSHH-3008

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

packing 1-V-302 dan

furnace Primary Reformer

Asset SIL3 SIL3

10 1-PSHH-4174

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Safety SIL3 SIL3

11 1-LSHH-4022

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

12 1-LSHH-4024

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

13 1-LSHH-4026

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

14 1-PSHH-4208

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & tube condensor Asset SIL3 SIL3

15 1-PSLL-4252

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

16 1-ZSHHLL-

4271 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

17 1-ZSHHLL-

4274 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

18 1-ZSHHLL-

4276 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

19 1-XSHH-4271

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

20 1-XSHH-4272

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

21 1-XSHH-4273

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

22 1-XSHH-4274

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

23 1-XSHH-4275

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

24 1-XSHH-4276

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

25 1-PSLL-4201

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

26 1-LSH-4152

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

27 1-SS-4021

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

28 1-TSHH-4023

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

29 1-TSHH-4025

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

Page 54: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

40

30 1-TSHH-4028

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

31 1-TSHH-4030

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

32 1-LSHH-4022

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

33 1-LSHH-4024

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

34 1-LSHH-4026

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

35 1-LSHH-4062

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

36 1-LSHH-4064

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

37 1-TSHH-4064

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

38 1-TSHH-4068

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

39 1-PSLL-4452

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

40 1-ZSHHLL-

4471 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

41 1-ZSHHL-

L4474 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

42 1-ZSHHLL-

4476 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

43 1-XSHH-4471

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

44 1-XSHH-4472

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

45 1-XSHH-4473

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

46 1-XSHH-4474

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

47 1-XSHH-4475

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

48 1-XSHH-4476

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

49 1-PSHH-4473

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor dan

pencemaran lingkungan

Asset SIL3 SIL3

50 1-PSHH-4474

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor dan

pencemaran lingkungan

Asset SIL3 SIL3

51 1-PSHH-4477

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor dan

pencemaran lingkungan

Asset SIL3 SIL3

52 1-PSHH-4478

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor dan

pencemaran lingkungan

Asset SIL3 SIL3

53 1-XA-4403

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL3 SIL3

Page 55: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

41

54 1-LSH-4352

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

55 1-SS-4061

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

56 1-PSLL-4452

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

57 1-LSHH-3012

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

58 1-LSHH-4042

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

59 1-LSHH-4044

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

60 1-LSHH-4046

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

61 1-TSHH-4043

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

62 1-TSHH-4045

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

63 1-TSHH-4048

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

64 1-PSLL-4352

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL3 SIL3

65 1-PSHH-4308

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & tube condensor Asset SIL3 SIL3

66 1-ZSHHLL-

4371 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

Turbine Asset SIL3 SIL3

67 1-XSHH-4371

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

68 1-XSHH-4372

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

69 1-XSHH-4373

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

70 1-XSHH-4374

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

71 1-XSHH-4375

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

72 1-XSHH-4376

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

73 1-PSHH-4373

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Asset SIL3 SIL3

74 1-PSHH-4374

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Asset SIL3 SIL3

75 1-PSHH-4377

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Safety SIL3 SIL3

76 1-PSHH-4378

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Safety SIL3 SIL3

77 1-FSLL-3008

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis dan Reactor

Methanator

Asset SIL3 SIL3

78 1-FSLL-3006

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis dan Reactor

Methanator

Asset SIL3 SIL3

Page 56: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

42

79 1-LSHH-5005

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

80 1-PSHH-5002

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

coil start up heater Asset SIL3 SIL3

81 1-LSHH-5009

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL3 SIL3

82 1-LSHH-7001

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

packing Stripper Asset SIL3 SIL3

83 1-LSLL-7001

(1oo1)

Untuk mencegah tube

rupture 1-E-701A/B/C Asset SIL3 SIL3

84 1-PSHH-2012

(1oo1)

Untuk mencegah keluarnya

api pembakaran ke

lingkungan

Safety SIL2 SIL2

85 1-LSLL-3003

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

1-P-302A/B & CO2

Absorber

Asset SIL2 SIL2

86 1-LSLL-3005

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

1-P-301A/B & CO2

Absorber

Asset SIL2 SIL2

87 1-PSLL-4152

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL2 SIL2

88 1-ZSHHLL-

4171 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL2 SIL2

89 1-ZSHHLL-

4174 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL2 SIL2

90 1-XSHHLL-

4171 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine Asset SIL2 SIL2

91 1-XSHH-4172

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL2 SIL2

92 1-XSHH-4173

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL2 SIL2

93 1-XSHH-4174

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset SIL2 SIL2

94 1-PSHH-4173

(1oo1)

Untuk mencegah terjadinya

explotion gas Asset SIL2 SIL2

95 1-PSLL-4101

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL2 SIL2

96 1-LSH-4152

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL2 SIL2

97 1-SS-4001

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset SIL2 SIL2

98 1-ZSHHLL-

4374 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

Compressor Asset SIL3 SIL2

99 1-ZSHHLL-

4376 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

Compressor Asset SIL3 SIL2

100 1-FSLL-3002

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

pompa 1-P302A/B Asset SIL2 SIL2

101 1-LSLLL-

6002 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis Converter Asset SIL3 SIL2

102 1-FSLL-2005

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis dan tube Reformer Asset SIL1 SIL1

Page 57: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

43

103 1-TSHH-3017

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis Methanator dan

equipment di down stream

Asset SIL3 SIL1

104 1-TSHH-3019

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

katalis Methanator dan

equipment di down stream

Asset SIL3 SIL1

105 1-PSLLL-

3009 (1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

pompa 1-P302A/B Asset SIL1 SIL1

106 1-LSLL-6001

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

pompa 1-P-601A Asset SIL3 SIL1

107 1-LSLL-3010

(1oo1)

Untuk mencegah rupture

flash drum Safety SIL3 NR

108 1-TSHH-4003

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset NR NR

109 1-TSHH-4023

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset NR NR

110 1-TSHH-4025

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset NR NR

111 1-TSHH-4028

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset NR NR

112 1-TSHH-4030

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

compressor Asset NR NR

113 1-FSLL-3001

(1oo1)

Untuk menjaga temperature

CO2 product Asset NR NR

114 1-LSLL-5007

(1oo1) Untuk level di 1-V-502 Asset NR NR

115 1-ASHH-7001

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

tray 1-C-701 Asset NR NR

116 1-PSLL-4401

(1oo1)

Untuk mencegah kerusakan

turbine & compressor Asset NR NR

3.2.2. Rekomendasi Hasil Analisis Klasifikasi SIL

Dari analisis klasifikasi SIL ada satu rekomendasi terkait dengan final

element (FE) interlock system yang bergabung dengan control system seperti pada

Tabel 3.

Tabel 3. Daftar Rekomendasi Hasil Analisis Klasifikasi SIL

Sensor Logic

Solver

Final

Element

(FE)

Recommendation Required

SIL By

1-LSHH-

7001

(1oo1)

1-IS-

752

(1oo1)

1-LV-

7001

close

(1oo1)

Pasang FE interlock

system terpisah

dengan 1-LV-7001

sehingga antara

interlock system dan

control system

menjadi independen

SIL-3 Instrument

4. Kesimpulan

Dengan melakukan Risk Scoring pada setiap deviasi akan mempermudah

proses studi HAZOP untuk menentukan apakah safeguard yang terpasang sudah

cukup atau belum cukup untuk menurunkan risiko pada level yang dapat

Page 58: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

44

ditoleransikan. Sehingga mempermudah dalam proses rekomendasi. Dengan

melakukan Klasifikasi SIL dengan metode LOPA setelah dilakukan Studi HAZOP

adalah suatu langkah yang efektif karena analisis klasifikasi SIL terkait langsung

dengan hasil studi HAZOP terutama tentang Causes dan Consequences. Sehingga

mempercepat analisis klasifikasi SIL.

Hasil Studi HAZOP dan Klasifikasi SIL di Unit Ammonia Pabrik-4 ini dapat

dijadikan sharing knowledge management kepada karyawan yang lebih muda

karena yang menjadi nara sumber proses studi ini mayoritas adalah karyawan

senior berdasarkan pengalaman puluhan tahun.

Daftar Pustaka

Bingham, Ken dan Goteti, Prasad, 2004, Integrating HAZOP And Sil/Lopa

Analysis: Best Practice Recommendations, Reliant Center Houston, Texas

Dieltjens, Luc, 2010, SIL classification in Urea Plants, 23rd AFA Int.’l Technical

Conference, June 29 – July 1, 2010, Ramada Plaza Tunis Hotel, Tunisia

ISA, 2004, Standards Library for Automation and Control, Fisrt edition

2004,ISANetwork, North Carolina.

Macdonald, D.M., 2004, Practical Industrial Safety, Risk Assesment and

ShutdownSystems, First Published 2004, IDC Technologies, Newnes An

imprint of Elsevier,Oxford.

Page 59: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

45

Implementasi Regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Studi Kasus Pada Dua Daerah TK II di Sumbar

Kendala Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Amrizal Arief, Yulianita

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Baiturrah Padang

Jalan By Pass KM 15 Aie Pacah Padang

HP: 0811661493, E-Mail: [email protected]

HP: 082172821841, E-Mail: [email protected]

Abstrak

Era Masyarakat Ekonomi ASEAN membuat industri harus siap dengan persoalan K3 yang

dihadapi Industri masing-masing, kalau produknya mau memasuki negara-negara

ASEAN. Persoalan sekarang tidak semua industri yang berada di daerah TK II di

Indonesia, memiliki indikator apakah industrinya memenuhi persyaratan K3 yang

dipersyaratkan sesuai dengan komitmen global baik yang berskala bila teral maupun

multilateral.

Kasus yang dikemukakan disini adalah keterbatasan kemampuan Disnaker/Balai

Hiperkes setempat untuk mengevaluasi Nilai Ambang Batas yang berbahaya pada

pekerja, membuat industri kesulitan bila pihak Auditor Eksternal mengaudit industri

tersebut. Pada Industri lain ditemukan Industri yang mau melaksanakan SMK3, tetapi

tidak dapat pembinaan dari Pihak Disnaker.

Persoalan ini sebenarnya bisa diatasi oleh Lembaga Pendidikan Tinggi K3, melalui ahli

K3 yang dimiliki Lembaga Pendidikan Tinggi, sejauh kepakaran yang dimiliki Perguruan

Tinggi diakui oleh lembaga yang berwewenang mengakui profesi K3.

Seandainya kasus di industri ini di atas tidak terjembatani secara baik dikhawatirkan

persoalan pembinaan K3 di Industri di daerah TK II, merupakan kendala terbesar dalam

rangka menghadapi MEA.

Kata kunci: Profesi dan Keahlian K3.

1. Latar belakang

Dewasa ini kecenderungan penanaman modal untuk berbagai kegiatan

industri telah mulai di berbagai daerah, karena telah dipangkasnya berbagai

Peraturan daerah yang berhubungan dengan investasi, ini ditandai dengan

munculnya beberapa industri skala besar didaerah tingkat II (Kabupaten atau

Kotamadya). Keberadaan industri sudah barang tentu diikuti dengan pembukaan

lapangan kerja, sekali gus mengatasi pengangguran yang mungkin terjadi didaerah

sekitar.

Pada bagian ini penulis akan menampilkan dua perusahaan pada daerah

TK II, pertama PT. X di Kabupaten Y, yang bergerak dalam penyediaan, pem-

prosesan, distribusi material baja dan beton siap pakai untuk industri konstruksi,

kelistrikan, pertambangan, telekomunikasi, dan perhubungan. Dalam operasional-

nya perusahaan ini didukung oleh lima divisi seperti divisi pipa, divisi tiang besi,

divisi elbow, divisi enginering, dan satu divisi perkantoran. Di luar persoalan

perizinan lembaga yang berkompeten mengawasi perusahaan tersebut adalah

Disnaker setempat. Kasus lain adalah PT Y di Kotamadya Z, yang bergerak dalam

Page 60: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

46

pe-ngolahan dan ekspor karet, sebagai perusahaan yang bergerak di daerah Kota-

madya, selain Disnaker, juga ada Balai Hiperkes Propinsi.

Kedua perusahaan tersebut dalam operasionalnya seperti PT X, kegiatan

K3 nya masih belum terkoordinir di bawah P2K3, masih ditangani oleh Pengawas

K3 dengan segala keterbatasannya, dalam bekerja sehari-hari, pekerja mengalami

kebisingan, Vibrasi dan Temperatur di atas NAB. Sementara PT Y, kegiatan ber-

gerak dalam skspor pengolahan karet, yang telah menerapkan majemen kualitas

(ISO-9000, QS-9000) dan manajemen lingkungan (ISO-14000), se-kalipun dalam

kegiatan K3 nya sudah ada pengawas K3 dan kegiatannya sudah dipantau oleh

P2K3, tetapi gangguan yang berhubungan dengan Higiene Industri, diperusahaan

tersebut, seperti gangguan fisik, ergnomi masih saja tetap ada, dan perusahaan

tersebut cukup kesulitan mencari mitra yang bergerak dalam K3, apalagi PT Y

sudah diharapkan menerapkan Manajemen K3 sesuai tuntutan pasar Internasional

2. Masalah

Pertumbuhan industri tidak selalu berkorelasi positif dengan penanganan

persoalan K3, baik berupa hygiene industry maupun pembinaan K3 seperti SMK3.

Penanganan dilapangan membutuhkan Sumber Daya Manusia yang memahami

persoalan K3 secara profesional sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Mengandalkan lembaga resmi yang berwewenang dengan K3 seperti

Disnaker Tingkat II yang dialami oleh perusahaan PT X, persoalan utamanya

adalah keterbatasan wawasan dalam pemahaman dan keahlian dalam bidang K3.

Kecendrungan yang sering muncul dari pihak Disnaker adalah sebatas apakah

disetujui atau tidak kegiatan industri dilapangan tersebut, artinya pihak pengelola

industri dilapangan tidak puas dengan sistem yang ada. Pada PT Y yang sudah

memiliki lembaga P2K3, persoalan yang mengemuka adalah tidak adanya

pembinaan yang berhubungan dengan SMK3, karena ini sudah merupakan

tuntutan Internasional.

Dampaknya cukup membikin pengelola perusahaan industri di atas pusing

dalam menghadapi tantangan industri ke depan, di satu sisi butuh masalah-

masalah dilapangan ini bisa diselesaikan dalam waktu cepat dan tepat, tetapi di

sisi lain terkendala dengan keterbatasan SDM baik di internal perusahaan maupun

pihak eksternal seperti Disnaker/Balai Hiperkes.

3. Solusi

Pihak Perguruan Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang memiliki kajian

Ilmu K3 mampu menjembatani kebuntuan situasi yang ada, tetapi dihadapkan

adanya semacam ketentuan apakah ahli di Perguruan Tinggi memiliki ke-

wenangan yang setara dengan Ahli K3 yang diakui oleh Kemenaker atau Disnaker

setempat, persoalan ini selalu menjadi pertanyaan kalangan Industri, oleh pihak

perguruan tinggi sulit untuk diberikan jawabannya.

Sekalipun pada PT X, minat K3 FKM Unbrah telah berhasil melak-

sanakan evaluasi higiene industri dan hasilnyasudah diakui oleh pihak Auditor

seperti PT Biro Klarifikasi Indonesia Persero 26 Maret 2016 yang khusus

mengaudit SMK3. Misi yang bersamaan pada PT Y yang bergerak dalam kegiatan

ekspor karet seperti penyuluhan dan penataran tentang K3 yang berhubungan

dengan budaya K3, seperti tiga elemen utama yang membentuk budaya K3, yaitu

Page 61: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

47

sikap individual, SMK3 dan Kepemimpinan K3, dalam rangka meningkatkan

wasasan K3 diperusahaan tsb.

Kedua perusahaan PT X maupun PT Y menilai apa yang telah dilakukan

seperti evaluasi lingkungan industri dan penyuluhan dan penataran K3 cukup

memuaskan, tetapi bagi minat K3 FKM Unbrah sepertinya kedua perusahaan

tersebut, masih mempersoalkan sertifikat K3 yang diakui sebagai Ahli K3 yang

telah disahkan oleh Kemenaker.

Gambaran yang dikemukakan di atas, akan berimplikasi pada pengakuan

profesi K3 yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi. Apakah Ilmuan K3 yang ada

memiliki kesetaraan dengan ahli K3 yang ditentukan Kemenaker/Disnaker.

Menurut peneliti hal ini harus segera dituntaskan baik oleh Kemenristek Dikti

maupun Kemenaker, karena dilapangan orang-orang yang memiliki sertifikat ahli

K3 yang dengan beragam latar belakang pendidikan bahkan ada yang tamatan

SLTA tetapi memiliki sertifikat ahli K3, eksistensinya diakui oleh pihak

Kemenaker/Disnaker, tetapi dalam mengimplementasikan keilmuannya tidak

semampu tamatan D3, S1 maupun S2 yang berhubungan dengan K3.

4. Kesimpulan

Apabila persoalan tersebut jangka panjang tidak teratasi, menurut peneliti

akan berdampak pada animo masyarakat untuk mendalami keilmuan K3, di sisi

lain dilapangan pada daerah TK II yang dijadikan kasus penelitian ini mem-

buktikan bahwa Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang mempunyai minat K3

mampu memberi solusi pada persoalan yang ada. Permasalaan ini harus segera

dicari jalan keluarnya, sebab hubungannya tidak saja pada pertumbuhan minat K3

seperti kajian keilmuan K3, tetapi dilapangan akan berpengaruh pada industri

yangsangat membutuhkan SDM, karena pada akhirnya akan menentukan

keterlibatan industri tersebut dalam merebut pasaran Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA)

Daftar Pustaka

PP No 50 Tahun 2012 tenang penerapan SMK3

Permenaker No. Per.05/MEN/1996. Tentang SMK3

Somad I, 2013. Teknik Efektif Dalam Membudayakan K3. Dian Rakyat Jakarta.

Thomas R. Krause; 2005. Leading with Safety; John Willey & Sons, Inc, New

Jersey.

Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Page 62: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

48

Manajemen Keselamatan Proses Sebagai Bentuk Pengelolaan

Potensi Bencana Industri di Indonesia

Sidik Mastrilianto Pusat Kajian K3, Universitas Balikpapan

Jalan Pupuk Raya, Balikpapan 76114, Kalimantan Timur

HP: +6281351676234, E-Mail: [email protected]

Abstrak

Belajar dari pengalaman bencana di dunia Industri, perkembangan ilmu keselamatan

mulaimemberi perhatian lebih pada tingginya tingkat risiko keparahan atau

konsekuensinya di Perusahaan yang menyimpan, memproses, dan menyalurkan bahan

kimia berbahaya dan beracun. Bencana di industri, menggugah praktisi keselamatan dan

rekayasa industri dunia untuk memperbaiki prevensi dan proteksi keselamatan proses

industri.

Assosiasi dan Institusi di berbagai negara, sudah menetapkan aturan dan pedoman atau

recommended practice tentang Process Safety Management. Pelatihan sertifikasi bagi

praktisi keselamatan juga banyak berdatangan ke Indonesia. Bahkan banyak perusahaan

migas mempersyaratkan sertifikasi Negara lain untuk menjadi seorang ahli K3 Industri.

Metode implementasi deskriptif dilakukan penulis terhadap praktisi K3 di industri

migasdan Peraturan Pemerintah di Indonesia dengan apa yang sudah dilakukan oleh

Perusahaan multinational di beberapa negara.

Dalam makalah ini akan diutarakan faktor-faktor yang berkontribusi sistematis suatu

bencana industri, dan bagaimana sebaiknya pengelolaan pencegahan bencana industri,

keterkaitannya dengan peraturan Pemerintah, pendidikan formal atau pelatihan sertifikasi

dalam menciptakan sistem manajemen dan praktisi K3 industri yang mampu bersaing

dengan sistem dan praktisi K3 industri asing sertapeningkatan keilmuan Keselamatan

Proses di Indonesia.

Kata kunci: Bencana industri, manajemen keselamatan.

1. Pendahuluan

Perbedaan mendasar dari Keselamatan Kerja yang selama ini banyak

diperdalam penerapannya dengan Keselamatan Proses dapat tercermin dari

defenisi Manajemen Keselamatan Proses itu sendiri. Manajemen Keselamatan

Proses (Process Safety Management - PSM) menurut U.S. OSHA 1993 adalah

suatu system pendekatan yang saling berkaitan untuk mengelola bahaya di proses

suatu industri dengan tujuan untuk menurunkan tingkat kekerapan (frequency) dan

tingkat keparahan (severity) insiden-insiden yang dipicu dari terlepasnya bahan

kimia dan sumber energy lainnya. Sistem tersebut merupakan perangkat analitik

yang berfokus pada pencegahan terlepasnya suatu bahan kimia berbahaya “highly

hazardous chemicals” dari wadah yang semestinya (primary containment).

Beberapa system manajemen di ciptakan untuk mengorganisir berupa standard

atau petunjuk desain, prosedur operasional, program audit dan metode-metode

pencegahan lainnya.

Pengalaman di dunia Industri, bencana terlepas dan tersebarnya Methy

Isocyante (MIC) di Bhopal, India pada tanggal 3 Desember tahun 1984

merupakan kejadian yang sangat menakutkan dimana ribuan nyawa melayang

Page 63: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

49

dengan dampak yang masih tersisa sampai puluhan tahun kemudian. Berselang

sekitar setahun setengah kemudian di industri nuklir juga sempat dikejutkan

dengan bencana Chernobyl pada tanggal 26 April 1986, namun di era Uni Soviet

(USSR) tersebut sedikit sekali informasi yang dapat diperoleh. Dalam perjalanan

waktu kemudian industri hilir (downstream) Migas juga tidak kalah menyumbang

catatan buruk dunia industri pada tahun 1987, seperti peledakan di BP

Grangemouth Hydrocracker tanggal 22 Maret, peledakan depor Shell Port

Edouard Herriot, Lyon tanggal 2 Juni dan terlepasnya Hydrogen Fluoride (HF) di

Refinery Marathon Oil Texas City, tanggal 30 Oktober, bahkan di industri Hulu

(upstream) Migas dengan terjadinya bencana di Laut Utara, terbakarnya platform

Piper Alpha pada tanggal 6 Juli tahun 1988(11)

.

Para praktisi keselamatan kerja terlena dengan berfokus pada hal-hal yang

hanya berisiko tinggi saja, dimana tinggi tingkat kekerapan dan tinggi tingkat

keparahannya. Bencana industri kalau diperhatikan dari tingkat kekerapannyaakan

berada pada tingkat yang sangat jarang terjadi, walau bila bencana tersebut terjadi

akan sangat mungkin menyebabkan banyak korban (multiple fatality) dengan

potensi kerusakan lingkungan (environmental damage) yang berdampak sangat

buruk, seperti yang terjadi di teluk Meksiko tanggal 20 April 2010.

Di era sekitar tahun sembilan puluhan, Amerika Serikat dan beberapa

Negara di Eropa sudah mulai berkolaborasi antara agensi atau assosiasi

Keselamatan dengan praktisi Lingkungan, karena keduanya memiliki kepentingan

yang sama dalam perlindungan manusia dan lingkungan. Langkah awal yang

dilakukan adalah membuat pendekatan sistematis untuk identifikasi bahaya

proses, dimana biasanya bersifat laten atau tersembunyi. Ditetapkanlah beberapa

peraturan-peraturan, standard-standard, technical codes, recommended practices

terkait dengan keselamatan proses. Isi dari aturan aturan tersebut berisi

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh industri sebagai bentuk

pencegahan atau meminimalisasi konsekuensi atau dampak pelepasan bahan

kimia beracun (toxic), reaktif (reactive), mudah terbakar (flammable),atau

meledak (explosive), yang dengan pelepasannya dapat menghasilkan bahaya

keracunan, kebakaran dan peledakan.

Gambar. 1: Konsep Bow-Tie Diagram – (adopted from CCPS Book)

(1)

Ilmu Keselamatan Proses mulai difokuskan oleh industri-industri yang

menyimpan, memproses dan menyalurkan bahan kimia berbahaya. Bermunculan

pengembangan teori-teori keselamatan dan metodologi penilaian risiko, seperti

Bow-Tie Analysis, HAZOP-LOPA, Banyak lembaga pelatihan, bahkan sertifikasi

memberikan pelatihan-pelatihan bagi para manager, engineer, praktisi K3 sampai

ke lini terbawah dari industri.

Page 64: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

50

Di Indonesia, sebagian besar industri yang dikatagorikan industri berisiko

tinggi sudah banyak yang memenuhi kewajibannya dengan menerapkan Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan bahkan secara

sukarela menerapkan beberapa standard internasional terkait Keselamatan Proses.

Sampai saat ini Indonesia tidaklah mengalami bencana industri yang cukup

signifikan. Hal ini tentu dapat mendatangkan pertanyaan bagi kita, apakah

memang Manajemen Keselamatan Proses sudah benar-benar diterapkan dengan

baik? Atau sebenarnya masih banyak bahaya laten atau tersembunyi seperti

gunung es yang belum teridentifikasi menunggu waktunya muncul ke permukaan

dan menjadi bom waktu saja?, yang sewaktu-waktu dapat terjadi konsekuensi

yang parah.

Latar belakang permasalahan yang diteliti oleh penulis untuk pencapaian

cita-cita bahwa Indonesia bebas dari bencana industri diantaranya adalah:

1.1. Sudahkah Indonesia belajar dari pengalaman bencana industri yang terjadi di

Negara lain atau bahkan dari insiden-insiden industri di dalam negri yang

terjadi / dilaporkan?

1.2. Apakah peraturan-peraturan terkait atau bahkan sistem manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia sudah secara tidak langsung

mengatur tentang manajemen keselamatan proses?

1.3. Apakah industri di Indonesia yang menyimpan, memproses serta

menyalurkan bahan kimia berbahaya dan beracun, manajemen dan

pekerjanya sudah menyadari akan pentingnya mengimplementasikan

Keselamatan Proses?

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah peneilitian kombinasi

dokumentasi dan pengalaman lapangan (field experience) yang dalam

pengumpulan datanya dilakukan secara langsung dari lokasi penelitian dan studi

literatur. Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan implementasi yang

merupakan pemaknaan dalam berkonsep dengan melihat kondisi aktual di

lapangan dan sistem yang berlaku saat ini. Sehingga akan menghasilkan deskripsi

mengenai gambaran situasi yang diteliti serta pemaknaan yang terkandung dalam

data hasil pengamatan.

Spesifikasi pada penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analisis

yaitu penyajian data yang banyak dalam bentuk kata dan bahasa secara holistic

pada suatu konteks khusus yang terjadi saat ini dan dengan memanfaatkan

berbagai literatur, melakukan analisis secara induktif dengan menggunakan

pendekatan implementasi. Jadi penelitian yang dilakukan ini guna menyelidiki

kondisi Indonesia saat ini dalam mengelola pencegahan bencana industri

(Industrial Catastrophic Incident) berkaitan dengan penerapan manajemen

keselamatan proses.

2.1. Objek Penelitian

Objek penelitian yang diteliti pada penelitian implementasi deskriptif

analisis ini adalah penerapan manajemen keselamatan proses di Perusahaan Migas

yang menampung, memproses dan mendistribusikan bahan mudah terbakar dan

meledak, serta kebijakan atau peraturan yang berlaku.

Page 65: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

51

2.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejalan dengan perjalanan penulis menjadi pengajar

dan pekerja di salah satu Perusahaan Migas hulu dan hilir, sejak awal tahun 2014

sampai akhir tahun 2015 di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

2.3. Sumber Data

2.3.1. Sumber Data Primer

Data primer penelitian ini adalah kegiatan penerapan manajemen

keselamatan proses di Perusahaan Migas hulu dan hilir di Kalimantan Timur. Data

diambil dari observasi dan audit internal yang dilakukan peneliti, yang termasuk

didalamnya wawancara langsung dengan rekan pelaksana, praktisi K3 dan dinas

ketenaga kerjaan setempat.

2.3.2. Sumber Data Sekunder

Data sekunder penelitian ini adalah peraturan atau kebijakan yang mengatur

penerapan manajemen keselamatan proses dari berbagai Negara dan literatur

terkait dengan investigasi bencana industri dan pengelolaan pencegahannya.

2.4. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini menggunakan pola pikir induktif, yakni peneliti berada

langsung di lapangan dengan menjadi pelaksana dan pengamat, yang secara

parallel mempelajari manajemen keselamatan proses, menganalisa dengan

pendekatan implementasi penerapan yang ada dan membandingkansistem

manajemen K3 di Indonesia dibandingkan dengan dari berbagai negara, serta

memperkayanya dengan studi literatur terkait penyelidikan bencana industri di

berbagai Negara dan industri.

2.4.1. Analisa Faktor Penyebab Sistemik Bencana Industri

Dengan menggunakan elemen-elemen systemic factors dari Center for

Chemical Process Safety (CCPS), analisa dilakukan terhadap hasil investigasi 15

bencana industri (catastrophic / major incidents) yang terjadi sejak tahun 1984

sampai 2010.

2.4.2. Perbandingan penerapan Manajemen Keselamatan Proses di Industri.

Membandingkan standard-standard dan peraturan-peraturan Negara lain,

dalam hal ini U.S. OSHA dan CCPS terhadap peraturan-peraturan di Indonesia

yang terkait dengan Keselamatan Proses.

2.4.3. Observasi Kepatuhan Kebijakan Manajemen Keselamatan Proses.

Mempelajari implementasi penerapan Sistem Manajemen Keselamatan

Proses dilakukan penulis sejak awal tahun 2014 sampai akhir tahun 2015 di salah

satu Perusahaan Migas di Indonesia, tepatnya di Lepas pantai, stasiun pengumpul

dan fasilitas produksi LPG di Kalimantan Timur. Observasi dilakukan pada hasil

audit korporasi di tahun 2015 dengan referensi protokol OSHA & CCPS.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Bencana Industri dan Faktor Penyebab Sistemik

Dari 15 bencana industri yang pernah terjadi terdapat 5 hal penting (Top

Five) sebagai faktor penyebabsistemnya, diantaranya adalah; (1) Identifikasi

bahaya dan penilaian risiko, (2) Kesiapan tanggap darurat (3) Manajemen

Perubahan di fasilitas produksi dan operasi (4) Pelatihan kompetensi keselamatan

proses, dan (5) Asset Integrity and Reliability.

Page 66: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

52

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

Pro

cess

Saf

ety …

Co

mp

lian

ce w

ith

Proc

ess

Safe

ty …

Wo

rkfo

rce …

Stak

ehol

der …

Pro

cess

Haz

ard

Ope

rati

ng …

Sa

fe W

ork

Ass

et In

tegr

ity …

Cont

ract

or …

Tra

inin

g &

Man

agem

ent

of …

Ope

rati

onal

Cond

uct

of …

Emer

gen

cy …

Inci

den

t …

%

Grafik.1: 15 Major Incidents vs. Systemic Contributing Factors

(11,12,15)

3.1.2. Penerapan Manajemen Keselamatan Proses

U.S. OSHA 1910.119 dan U.K. COMAH Seveso II Directive

Mempersyaratan untuk pencegahan atau meminimalisasi konsekuensi dari

pelepasan luas dari bahan kimia beracun, reaktif, mudah terbakar dan mudah

meledak, dimana dapat mengkasilkan bahaya-bahaya keracunan, kebakaran dan

peledakan, menjadi beberapa elemen tersendiri.Ruang lingkupnya bagi suatu

proses yang menyimpan, menggunakan dan menyalurkan bahan kimia berbahaya

pada atau lebih dari jumlah ambang batasnya (daftar bahan kimia dan NAB nya

tersedia) gas yang mudah terbakar (Kategori 1 dalam daftar) atau cairan mudah

terbakar dengan titik nyala (flashpoint) dibawah 100 °F (37.8 °C) di satu lokasi,

dengan kuwantitas 10,000 pounds (4535.9 kg) atau lebih, kecuali; untuk bahan

bakar yang diatur tersendiri, cairan mudah terbakar dengan titik nyala (flashpoint)

dibawah 100 °F (37.8 °C) yang disimpan dalam atmospheric tanks atau ditransfer

dengan mempertahankan titik didih normalnya tanpa proses pendinginan. Tidak

berlaku untuk: Fasilitas Retail, Sumur Pengeboran Migas atau Operasi

supportnya, atau fasilitas terpencil yang normal operasinya tidak ditinggali

manusia. Pengukuran performa kinerja menggunakan Tier-1 dan Tier-2 sebagai

Indikator hasil (lagging indicator) dan Tier-3 dan Tier-4 sebagai Indikator usaha

(leading indicator).

Di Indonesia dengan 166 Kriteria SMK3 bagi Perusahaan Berisiko

Tinggi:Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus

orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh

karakteristik proses bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja

seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib

menerapkan Sistem Manajemen K3. Namun belum secara detail memiliki

pedoman dalam mengelola Keselamatan Proses, masih bersifat umum.

Page 67: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

53

Tabel 1. Perbandingan Elemen Manajemen Keselamatan Proses

RBPS of CCPS Element OSHA Element SMK3 element &

Sub-element

I. Commit to Process Safety

Process Safety Culture Elemen 1 - 5

Compliance with Standards Process Safety Information

Process Safety Competency

Workforce Involvement Employee Participation

Stakeholder Outreach

II. Understanding Hazards and Risk

Process Knowledge Management Process Safety Information Elemen 2

Hazard Identification and Risk Analysis Process Hazard Analysis Elemen 6

III. Manage Risk

Operating Procedures Operating Procedures Sub elemen 6.1

Safe Work Practices Operating Procedures Sub elemen 6.1

Hot Work Permits Sub elemen 6.1

Asset Integrity and Reliability Mechanical Integrity

Contractor Management Contractors Sub elemen 6.6

Training and Performance Assurance Training Elemen 12

Management of Change Management of Change Sub elemen 6.5

Operational Readiness Pre-startup Safety Review

Conduct of Operations

Emergency Management

Emergency Planning &

Response Sub elemen 6.7

Incident Investigation Incident Investigation Elemen 8

Measurement and Metrics

Auditing Compliance Audits Elemen 11

Management Review &Continuous

Improvement

3.1.3. Implementasi Manajemen Keselamatan Proses di Industri Migas.

Semua elemen-elemen CCPS sudah diterapkan oleh Industri Migas yang di

observasi oleh penulis. Internal Audit dilakukan setiap tahunnya untuk

menghadapi tiga tahunan audit Prosess Safety Management dari Korporasi nya.

Secara umum hasil Audit Manajemen Keselamatan Proses tahun 2015 adalah

“Memuaskan”.

Grafik-2 Hasil Audit Process Safety Management tahun 2015.

(18)

Page 68: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

54

3.2. Pembahasan

1. Teridentifikasi bahwa terdapat 3 hal utama yang banyak berkontribusi sebagai

penyebab sistemik atau dilanggar oleh industri berisiko tinggi, diantaranya

adalah:

a. Kurangnya komitmen manajemen untuk peningkatan kompetensi pekerja

terkait keselamatan Proses, serta kajian manajemen untuk peningkatan

berkelanjutan sistem manajemen keselamatan proses terkait integritas asset

nya.

b. Kurangnya pemahaman pekerja dalam mengidentifikasi bahaya tersembunyi

(latent hazard) dan menganalisa risiko proses (process risk), sehingga

preventive safeguard dan protective safeguard terutama pada perubahaan

yang dilakukan dalam siklus produksi. (MOC) belum mendapatkan

perhatian lebih.

c. Manajemen Kondisi Darurat danbelajar dari Investigasi insiden merupakan

dua element yang masih terdapat ruang untuk peningkatan (room for

improvement)

2. Masih terdapat perbedaan presepsi terhadap apa yang dimaksud dengan

Perusahaan berisiko tinggi dan kriteria audit SMK3, serta belum secara spesifik

menilai implementasi dari Manajemen Keselamatan Proses.

3. Perusahaan Migas sudah melaksanakan penerapan Manajemen Keselamatan

Proses dengan acuan dari peraturan atau standard internasional dan atau

multinasional korporasinya.

Keterlibatan banyak pihak sangatlah di perlukan untuk memastikan bahwa

pencegahan dan proteksi (preventive and mitigative safeguards) sudah tersedia

atau terpasang, serta dipastikan dapat berfungsi dengan baik. Mulai dari

Pemerintah, Manajemen dan Pekerja di Industi terkait, Pendidik dan Praktisi

Keselamatan Kerja, perlu saling bahu membahu menjadikan Indonesia yang

aman, selamat dan sehat dari potensi dampak buruk kemungkinan bencana

industri yang bisa terjadi.

4. Kesimpulan dan Saran

Indonesia belum belajar banyak dari pengalaman buruk bencana industri

yang pernah terjadi. Kita belum memiliki ketetapan atau aturan yang secara

spesifik mewajibkan bagi perusahaan yang menyimpan, memproses dan

mendistribusikan bahan kimia berbahaya dan beracun untuk menerapkan

Manajemen Keselamatan Proses. Masih sulit mendapatkan informasi terkait

bencana industri yang terjadi di Indonesia dengan minimnya informasi hasil

investigasi yang disebar luaskan.

Banyak Perusahaan Migas di Indonesia yang sudah menerapkan Manajemen

Keselamatan Proses dengan acuan dari peraturan Negara lain atau Multinasional

Korporasinya. Hal ini dikarenakan juga Kita belum memiliki aturan khusus

mengenai Manajemen Keselamatan Proses.

Saran ditujukan pada yang berwenang membuat kebijakan K3, Pendidik dan

Praktisi K3 di industri untuk dapat saling bahu membahu membuat aturan spesifik

tentang Management Keselamatan Proses yang terintegrasi dalam Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang berlaku.Dengan

memanfaatkan banyaknya assosiasi atau perhimpunan profesi K3 untuk memiliki

Page 69: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

55

semacam Industrial Safety Committee Board yang dapat membantu inspektur /

pengawas ketenagakerjaan dalam investigasi bencana industri yang terjadi dan

memberi masukkan kepada pihak yang berwenang dalam pemutakhiran peraturan-

peraturan terkait pencegahan cedera serius atau kematian dan bencana industri di

Indonesia.

Daftar Pustaka:

OSHA: Process Safety Management of Highly Hazardous Chemical (29 CFR

1910.119), U.S.,1992

Environmental Protection Agency; Risk Management Program rule (40 CFR 68),

U.S, 1996.

European Commission; Seveso I Directive, 1982 and Seveso II Directive, 1997.

Health and Safety Executive COMAH regulations – The control of Major

Accident Hazards Regulations, United Kingdom, 1999.

OHS Act 1985 (Major Hazard Facilities) Regulation 1999 (SR 1999), National

Standard for the Control of Major Hazard Facilities [NOHSC 1014(1996)],

Australian

Korean OSHA PSM Standard, Industrial Safety and Health Act. – Article 20,

Preparation of Safety and Health Management Regulations, Korean Ministry

of Environment – Framework Plan on Hazardous Chemical Management,

Republic of Korea, 2001 – 2005.

ANG Oil & Gas Industry accident prevention regulation, Brazil

American Petroleum Institute API RP 750

Department of Occupational Safety and Health, Ministry of Human Resources

Section 16 of Act 514, Malaysia.

Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2012 dan Permenaker No 5 Tahun 1996

John Atherton and Frederic Gil; “Incidents That Define Process Safety”, BP plc

Process Safety Community of Practice, CCPS - Wiley Publication, 2008.

Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Risk Based Process Safety”

Wiley Publication, 2007.

Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Process Hazard Evaluation

Procedures” Third Edition, Wiley Publication, 2008.

Center for Chemical Process Safety; “Guidelines for Engineering Design for

Process Safety” Second Edition, Wiley Publication, 2012.

Andrew Hopskins; Disastrous Decisions “The Human and Organizational Causes

of the Gulf of Mexico Blowout”, First published CCH Australia limited,

2012.

Trevor A Kletz.; “What Went Wrong? Case Histories of Process Plant Disasters”,

Gulf Publishing Company, 1985

“Managing Process Safety within Chevron” Last Edition Handbook, ETC

Houston, TX, 2014.

Operational Excellent Audit Final Report, Chevron Corporate Health,

Environment and Safety Operational Excellence Assurance Group, Nov,

2015

Page 70: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

56

Peran Contractor Safety Management System (CSMS) Dalam

Meminimalkan Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek

Pembangunan Waduk Teritip Kota Balikpapan

Erwin Ananta Program Studi Diploma IV Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Universitas Balikpapan

Kampus: Jalan Pupuk Raya, Kel. Gunung Bahagia, Balikpapan 76114

HP: 081350608600, E-Mail: [email protected]

ABSTRAK

Pembangunan waduk Teritip Balikpapan dirancang merupakan waduk terbesar di Kota

Balikpapan dengan menelan dana sebesar 2,4 trilyun rupiah yang sumber dananya

diambil dari APBN dalam tahun jamak (multi years). Pembangunannya dimulai sejak 11

Februari 2014 dan dikerjakan oleh BUMN PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan

berlangsung hingga penelitian ini dilakukan. Proyek yang ground beaking dilakukan oleh

Menteri Pekerjaan Umum ini dirancang bangun untuk mengatasi kekurangan air yang

kerap kali menimpa Kota Balikpapan pada musim kemarau dihampir setiap tahunnya.

Proyek bernilai trilyunan rupiah itu, sudah barang tentu membutuhkan sebuah sistem

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang baik pula untuk memastikan

pekerja-pekerja yang terlibat dalam proyek ini bekerja dengan aman dan selamat.

Contractor Safety Management System (CSMS) merupakan salah satu sistem manajemen

dalam mengelola aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam bidang konstruksi

dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya risiko kecelakaan kerja yang terjadi dalam

setiap kegiatan proyek konstruksi. CSMS apabila tidak dilaksanakan dengan baik, maka

akan menimbulkan rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di lingkungan

kerja. Jangka panjangnya, akan menimbulkan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja,

serta kerugian-kerugian lainnya seperti kerusakan lingkungan, kerusakan alat peralatan,

produktivitas menurun, dan bahkan dapat merusak nama baik perusahaan.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan melalui pengamatan (observasi) terhadap

suatu sistem manajemen, dengan memberikan gambaran melalui implementative

description terhadap penerapan CSMS yang dilaksanakan oleh kontraktor proyek ini,

dimana tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran CSMS yang telah dilakukan

dengan membandingkan dengan tata kelola K3 proyek yang baik.

Kata kunci: Contractor Safety Management System (CSMS), Manajemen K3.

1. Pendahuluan

Balikpapan adalah kota yang terletak di pesisir pantai di Provinsi Kaliman-

tan Timur. Setiap kali kemarau melanda, defisit air bersih kerap kali mengancam

hampir setiap tahunnya. Penyebabnya adalah air bersih yang digunakan untuk ke-

butuhan warga kota berasal dari air baku yang diolah menjadi air bersih oleh

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagian besar mengandalkan air tadah

hujan yang tertampung di Waduk Manggar, Balikpapan Utara. Selama enam

bulan ketika tidak turun hujan, Waduk Manggar mampu mencukupi kebutuhan air

bersih warga, namun apabila kemarau melanda dan tidak ada turun hujan dengan

intensitas cukup di atas waduk lebih dari enam bulan, maka terjadilah defisit air

bersih. Kelurahan Teritip yang terletak di Balikpapan Timur dipilih sebagai lokasi

Page 71: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

57

yang digunakan untuk menjadi waduk tadah hujan kedua untuk menambah daya

tampung air baku. Waduk ini direncanakan menjadi waduk terbesar di kota Balik-

papan mengalahkan waduk sebelumnya, yakni Waduk Manggar, juga digunakan

sebagai pengendali banjir. Meski demikian air yang digunakan sebagai sumber

bahan baku masih sama persis, yakni air hujan yang ditampung. Artinya, ketika

kemarau panjang melanda, maka tidak tertutup kemungkinan kedua waduk ini

bisa menjadi kering. Tapi setidaknya dengan adanya penambahan Waduk Teritip,

akan mampu memperpanjang usia pelayanan air bersih dari PDAM ketika hujan

tak kunjung turun. Proyek Pembangunan Waduk Teritip ini sendiri menggunakan

sistem pendanaan tahun jamak (multiyears system) dengan menelan biaya angga-

ran APBN murni sebesar Rp2,4 trilyun.

Proyek pembangunan wa-

duk yang ditinjau Presiden Joko

Widodo bulan Maret 2016 ini

yang menelan biaya trilyunan

rupiah, maka sudah barang

tentu membutuhkan sebuah

sistem manajemen keselamatan

dan kesehatan kerja (K3) yang

baik, dengan menerapkan

manajemen K3 yang baik maka

dipastikan bahwa pekerja-

pekerja yang terlibat dalam pro-

yek ini bekerja dengan aman

dan selamat.

Salah satu pendekatan ke-

selamatan dan kesehatan kerja yang cocok untuk diterapkan dalam bidang

konstruksi sipil adalah Contractor Safety Management System (CSMS). CSMC

merupakan salah satu sistem manajemen dalam mengelola aspek keselamatan dan

kesehatan kerja (K3) dalam bidang konstruksi dengan tujuan untuk

meminimalkan terjadinya risiko kecelakaan kerja yang terjadi dalam setiap

kegiatan proyek konstruksi.

CSMS apabila tidak dilaksanakan dengan baik, maka akan menimbulkan

rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di lingkungan kerja. Jangka

panjangnya, akan menimbulkan kecelakaan kerja, kerusakan alat peralatan, pro-

duktivitas menurun, dan bahkan dapat merusak nama baik perusahaan. Di sam-

ping itu akibat CSMS tidak diterapkan dengan baik, maka perlu dilakukan per-

baikan kembali terhadap sistem manajemen K3 yang tengah berlangsung.

2. Metode Penelitian

2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada proyek pembangunan waduk dan bendungan

Teritip, kelurahan Teritip, kecamatan Balikpapan timur, kota Balikpapan. Lokasi

ini dipilih karena masih dalam kawasan kota Balikpapan yang berbatasan dengan

wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Mengingat proyek ini menelan biaya yang

cukup besar dimana saat ground breaking dilakukan oleh Menteri Pekerjaan

Umum pada Jumat, 11 April 2014 dan kontraktor utama yang mengerjakan pro-

yek ini adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk, yang merupakan perusahaan

Gambar 1: Progres Proyek Pembangunan

Waduk Teritip (Maret 2016)

Page 72: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

58

BUMN dengan menggunakan beberapa sub-kontraktor, maka peneliti merasa ter-

tarik untuk melakukan penelitian terhadap aspek keselamatan dan kesehatan kerja

(K3), khususnya CSMS dalam proyek ini.

2.2 Metodologi

Rangkaian kegiatan penelitian ini disusun berdasarkan kegiatan-kegiatan

yang akan digunakan meliputi pendekatan penelitian; lokasi dan waktu penelitian;

teknik pengumpulan data penelitian; dan pemeriksaan keabsahan (validitas) data

yang diterima dan dikumpulkan dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan melalui pengamatan (observasi)

terhadap suatu sistem manajemen, dengan memberikan gambaran melalui imple-

mentative description terhadap penerapan CSMS yang dilaksanakan oleh kontrak-

tor utama, dimana tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran CSMS

yang telah dilakukan dengan membandingkan dengan tata kelola K3 proyek yang

baik. Secara prinsip metodologi dalam penelitian ini adalah bagaimana menjawab

pertanyaan penelitian yang meliputi metode yang dipergunakan, prinsip dasar dari

metode penelitian yang digunakan, prosedur kerja dilakukan, asumsi-asumsi yang

mendasari penelitian, instrumen penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan

data, dan alasan substantif yang mendasari dilakukannya penelitian ini.

Teknik dan instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan de-

ngan melalui teknik wawancara mendalam (in depth interviewing), dimana teknik

ini diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap narasumber secara langsung.

Kegiatan wawancara dilakukan untuk menyempurnakan data yang diperoleh me-

lalui pengamatan (observasi) yaitu berkaitan dengan masalah implementasi

CSMS. Reduksi data digunakan untuk memudahkan pemahaman terhadap data

yang dihasilkan, dan dilakukan sejak awal dalam langkah analisis data. Teknik re-

duksi data ini dilakukan dengan membuat rangkuman terhadap pokok-pokok ma-

salah yang ada dalam penelitian. Dilakukan secara sistematis dengan mengesam-

pingkan data yang tidak valid atau data yang tidak diperlukan. Tahapan reduksi

data ini dimulai dengan melakukan telaah secara menyeluruh atas hasil data yang

diperoleh dari berbagai sumber, berbagai pengamatan, wawancara, dan studi lain-

nya termasuk studi dokumentasi. Reduksi data juga dilakukan untuk menyeleksi

dan menyortir data secara menyeluruh, melakukan penyederhanaan atas data yang

diperoleh, kompaksi data dari data mentah (row datum) menjadi data siap olah.

Tahapan akhir dari implementative decription adalah penarikan kesimpulan

atas data yang telah diperoleh melalui rangkaian analisis sebelumnya dengan ter-

lebih dahulu dilakukan verifikasi atas data tersebut. Penarikan kesimpulan ini di-

maksudkan untuk memberikan simpulan akhir terhadap data yang diperoleh

dalam bentuk pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan merujuk pada

aspek-aspek yang telah diteliti.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Peran CSMS Bidang Konstruksi

CSMS merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh korporasi bi-

dang konstruksi yang menjadi bagian secara keseluruhan dalam sistem manaje-

men keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). Seluruh kegiatan mengenai kese-

lamatan dan kesehatan bagi industri, pekerja dan lingkungan diatur dalam suatu

rangkaian yang saling terkait.

Page 73: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

59

Gambar 2: Posisi CSMS dalam hubungan aktivitas proyek

Kontraktor merupakan unsur penting dalam industri konstruksi sebagai ba-

gian yang membantu kegiatan operasional terciptanya kerja yang aman. Kontrak-

tor rawan terhadap kecelakaan dalam menjalankan kegiatan proyek, hal ini dise-

babkan oleh: (a) tenaga kerja yang dilibatkan oleh kontraktor umumnya bersifat

sementara; (b) pekerja-pekerja yang terlibat di lapangan mayoritas adalah pekerja

kasar dengan pendidikan relatif rendah; (c) tingkat disiplin terhadap K3 kurang;

(d) pemahaman tentang peraturan K3 perusahaan rendah; dan (e) terlibat langsung

dalam pelaksanaan pekerjaan sehingga lebih banyak terpapar bahaya.

Kontraktor utama dalam melaksanakan kegiatan proyek konstruksi wajib

menekankan pentingnya K3 kepada sub-sub kontraktor yang berada dibawahnya,

karena kecelakaan yang menimpa sub-kontraktor tinggi. Kelalaian yang dilakukan

oleh sub-kontraktor dapat menimbulkan bahaya dan mempengaruhi kinerja opera-

sional kontraktor utama. Kegiatan sub-kontraktor harus dikelola dengan baik un-

tuk menjamin keselamatan dalam setiap kegiatan proyek konstruksi. Untuk itulah

dibutuhkan Contractor Safety Management System dalam pengelolaannya.

Gambar 3. Struktur Organisasi Proyek Konstruksi

Page 74: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

60

CSMS sedikit berbeda dengan SMK3 PP 50/2012 pada umumnya, karena

pada pekerjaan konstruksi dengan sistem kontrak kerja terdapat batasan waktu, se-

hingga perlu ada proses berupa tahapan mulai dari pemilihan kontraktor dan sub-

kontraktor sampai dengan berakhirnya pekerjaan sesuai kontrak. Posisi dan peran

CSMS dalam hubungannya dengan aktivitas proyek ini dapat ditunjukkan seperti

pada Gambar 2.

CSMS dalam hal ini, merupakan sistem manajemen untuk mengelola para

kontraktor dan sub-sub kontraktor yang bekerja di lingkungan korporasinya.

Fungsi dibutuhkan adanya CSMS diantaranya adalah untuk: (a) meningkatkan ki-

nerja K3 di tempat kerja dengan membantu kontraktor dan sub-kontraktor dalam

administrasi yang efektif; (b) membantu kontraktor dalam mengelola program K3

sesuai tujuan dan target yang ditetapkan; (c) memfasilitasi kontraktor utama de-

ngan pemilik proyek, dan kontraktor utama dengan para sub-kontraktor dalam ka-

itannya dengan pekerjaan, seperti terlihat pada struktur organisasi proyek kon-

struksi Gambar 3.

3.2 Analisis Lapangan

Dari hasil observasi di lapangan, pengumpulan data, dan wawancara kepada

narasumber didapatkan bahwa proyek pembangunan Waduk Teritip ini dikerjakan

dengan kerjasama antara PT Waskita Karya (Persero) Tbk selaku kontraktor uta-

ma dengan PT Mettana joint operation dengan PT Teknika Cipta, dengan melibat-

kan empat sub-kontraktor lokal Balikpapan.

Dalam pemilihan sub-kontraktor yang dilibatkan dalam proyek pembangun-

an pekerjaan sipil tubuh bendungan, pihak PT Waskita Karya (Persero) Tbk me-

nerapkan CSMS melalui beberapa tahapan.

PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang telah memiliki sertifikasi ISO 9001

Quality Management, ISO 14001 Environmental Management, OHSAS 18001 Oc-

cupational Health and Safety, juga sertifikasi SMK3 PP 50/2010, dalam memi-

lihan sub-kontraktor yang dilibatkan pada proyek ini, menggunakan kebijakan da-

lam dua tahap utama CSMS, yakni (a) tahap administrasi; dan (b) tahap imple-

mentasi.

3.3 Penerapan CSMS

Kebijakan kontraktor utama terhadap CSMS seperti diuraikan diatas terdiri

dari dua tahap yaitu administrasi dan implementasi. Dalam tahap administrasi, di-

lakukan analisis terhadap tahapan penilaian risiko kerja (risk assessment), Pra-

kualifikasi sub-kontraktor dan seleksi sub-kontraktor. Pada tahap implementasi

terdapat tahapan prelimineary activities, on-going project activities, dan over all

evaluation. Tahapan ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Pada tahapan risk assessment bertujuan untuk: (a) mengetahui tingkat risiko

suatu pekerjaan yang akan diserahkan kepada sub-kontraktor; (b) menyesuaikan

potensi bahaya dengan kemampuan sub-kontraktor dalam menjalankan pekerjaan

dengan aman; dan (c) sebagai dasar menentukan kriteria sub-kontraktor yang se-

suai melaksanakan pekerjaan. Sub-kontraktor dalam pekerjaannya diklasifi-

kasikan menurut tingkat risiko bahaya yang mungkin terpapar. Tingkat risiko

dibagi tiga, yakni (a) Risiko Tinggi (High risk) dengan nilai minimum 80; (b)

Risiko Sedang (Medium risk) dengan nilai minimum 70; dan (c) Risiko Rendah

(Low risk) dengan nilai minimum 60.

Page 75: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

61

Pada tahapan pa-kualifikasi, dilakukan penyeleksian awal terhadap sub-kon-

traktor yang memenuhi persyaratan K3 dalam melakukan pekerjaan. Pra-kuali-

fikasi ini juga untuk mengevaluasi dokumen yang diserahkan oleh sub-kontraktor

kepada kontraktor utama tentang persyaratan administratif, pengalaman dalam

K3, organisasi K3, petugas-petugas K3 yang dimiliki, rekam jejak K3 di proyek

sebelumnya, manual-manual K3 yang dimiliki, serta referensi dan sertfikasi yang

diperoleh.

Tahapan seleksi bertujuan untuk menentukan sub-kontraktor yang akan me-

laksanakan pekerjaan sesuai dengan proses penunjukan atau proses pelelangan,

baik secara terbuka ataupun tertutup, berdasarkan kinerja K3 yang baik, penawar-

an biaya yang rasional baik secara teknikal maupun ekonomis, juga sebagai salah

satu unsur dalam menentukan pemenang lelang dari beberapa sub-kontraktor yang

mengikuti pelalangan sesuai Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2010 tentang Pe-

ngadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pada tahap implementasi, prelimineary activities dilaksanakan setelah pe-

menang/pelaksana proyek telah ditetapkan. Kegiatan awal sebagai persiapan sebe-

lum proyek dijalankan meliputi antara lain: (a) pertemuan pendahuluan membahas

rencana kerja; (b) menentukan strategi pelaksanaan pekerjaan lapangan; (c) me-

nentukan persyaratan perizinan yan diperlukan (d) menentukan persyaratan tenaga

kerja yang diperlukan; (e) menentukan sistem supervisi selama pekerjaan berlang-

sung; dan (f) memberikan kesempatan kepada sub-kontraktor untuk mengenal le-

bih lanjut lokasi dan aktivitas yang akan dikerjakan.

Tahapan on-going project activities meliputi implementasi program K3

yang telah disusun sebelumnya pada saat kegiatan kerja berlangsung. Sub-kon-

traktor melakukan upaya pencegahan kecelakaan dalam setiap langkah kegiatan-

nya sesuai dengan sifat dan jenis bahaya yang ada, dan program K3 yang dijalan-

kan disesuaikan dengan skala pekerjaan, tingkat risiko dan jumlah tenaga kerja

yang dipekerjakan.

Over all evaluation merupakan tahapan dimana dilakukan evaluasi secara

menyeluruh terhadap hasil kerja K3, CSMS dievaluasi secara berkala, khususnya

setelah suatu pekerjaan kontrak selesai dan dilakukan penyerahan pekerjaan dari

sub-kontraktor kepada kontraktor utama. Hasil evaluasi digunakan untuk menilai

kinerja sub-kontraktor, dan digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan pro-

gram CSMS berikutnya. Dalam tahapan ini pula dibentuk tim evaluasi yang me-

libatkan semua unsur terkait dalam.

Page 76: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

62

Pada saat penelitian ini berlangsung, tahap administrasi sudah selesai dilak-

sanakan, sehingga Peneliti hanya bisa melakukan pengamatan dan wawancara

mendalam pada tahap implementasi CSMS. Implementasi yang telah dilakukan

secara administratif sudah menunjukkan adanya upaya yang baik terhadap pene-

rapan keselamatan dan kesehatan kerja proyek. PT Waskita Karya (Persero) Tbk

sejauh ini telah melakukan upaya membudayakan K3 dengan baik. Adanya komit-

men dari pihak manajemen untuk mengutamakan K3 dalam setiap kegiatan pro-

yek sudah menunjukkan itikad korporasi dalam menjunjung tinggi K3, namun im-

plementasi di tingkat lapangan masih perlu dibenahi. Diperlukan adanya ketegas-

an dan keseriusan oleh semua pihak dalam menjalankan program-program K3 di

lapangan.

4. Kesimpulan

Peran CSMS dalam kegiatan pelaksanaan proyek konstruksi sangat penting

untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan kerja terhadap pekerja konstruksi di

lapangan yang terpapar secara langsung atas kegiatan yang dilakukan. Mengingat

sebagian besar pekerja merupakan pekerja kasar dengan taraf pendidikan yang

rendah serta pemahaman K3 yang masih kurang, maka perlu secara terus-menerus

disadarkan akan pentingnya K3 melalui beragam program K3 atau kampanye K3.

Sejauh penelitian ini dilakukan, tahap implementasi CSMS kepada sub-kon-

traktor yang mengacu pada pedoman tata kerja organisasi PT Wakita Karya (Per-

sero) Tbk telah cukup baik, adanya komitmen manajemen terhadap K3 sudah

menggambarkan upaya serius yang dilakukan korporasi, namun implementasi di

tingkat lapangan terdapat beberapa hambatan yang membuat penerapan rencana

K3 dalam CSMS tidak bisa diterapkan sepenuhnya, hal ini disebabkan masih be-

lum adanya ketegasan, konsistensi, dan keseriusan dalam menerapkan rencana

K3. Kurangnya kesadaran dan budaya K3 yang rendah menjadi penghambat da-

lam penerapan CSMS di lapangan.

Daftar Pustaka

Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Peme-

rintah.

Peraturan Pemerintah RI No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manaje-

men Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 09/Per/M/2008 tentang Pedoman Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan

Umum.

Berita Waskita. 2014. Waskita Karya Mulai Kerjakan Bendungan Teritip, Balik-

papan. Jakarta: Internal buletin.

DuPont. 2016. Contractor Safety Management Consulting. http://www.dupont

.com.

Geigle. 2015. Developing a Construction Safety Management System. Oregon:

OHSA Academy.

Ramli, Soehatman. 2008. Contractor Safety Management System. https:// hsek3ll-

migas.googlecode.com

Wendt, Noel and Newman, Peter. 2001. Contractor Safety Management: WHO

Manages WHO: A Contractor's Perspective. Queensland: Roche Mining.

Page 77: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

63

Waskita Karya (Persero) Tbk, PT. 2014. Kebijakan Rencana Keselamatan dan Ke-

sehatan Kerja, Lingkungan dan Mutu (RK3LM) Proyek Pembangunan Lan-

jutan Bendungan Teritip Kota Balikpapan. Kontrak No. HK.02.03/SNVT.PJ

SA.K.III/PKDSA/23/II/2014 tanggal 18 Februari 2014.

Page 78: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

64

Program Induksi Terhadap Penerapan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada PT Supraco Indonesia (Studi Kasus: Barge Pioneer Blok Mahakam Kutai Kartanegara)

James Evert Adolf Liku, Zulkifli Pusat Kajian K3, Universitas Balikpapan

Jalan Pupuk Raya, Balikpapan 76114 Kalimantan Timur

E-Mail: [email protected], E-Mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan gambaran mengenai manfaat

dilakukannya Induksi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja yang ada di PT. Supraco

Indonesia.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan jumlah

responden 30 orang dengan sampel purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu, pertimbangan yang digunakan untuk menentukan sampel dalam

penelitian ini yaitu karyawan baru yang masuk diarea kerja PT. Supraco Indonesia, hal ini

dilakukan karena jumlah karyawan baru yang masuk tidak tentu atau tidak dapat

diperkirakan. Data dikumpulkan dengan metode angket dengan skala likert dan

dokumentasi. Uji kualitas data menggunakan Uji-Chi Square.

Dari hasil penilaian rata-rata dalam persentase terhadap jawaban responden yang diterima

atas pertanyaan mengenai efektifitas induksi yang berkaitan tentang penyampaian induksi

dan juga pokok materi yang disampaikan pada saat induksi yang skor penilaiannya dapat

dikatakan bahwa sebagian besar responden mempunyai jawaban positif tentang induksi

yang diberikan, dilihat dari kemampuan menjawab responden 71% dari 15 kuisioner yang

diberikan.

Disarankan dengan diketahuinya bahwa variabel penyampaian induksi dan variabel

pokok materi yang disampaikan pada saat induksi mempunyai hubungan yang signifikan

maka perusahaan harus lebih memperhatikan setiap kekurangan dalam langkah proses

induksi beserta prosedurnya. Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan

memasukkan teori-teori lainnya sehingga hal ini dapat menambah referensi bagi PT.

Supraco Indonesia dan selain itu untuk menambah ilmu pengetahuan secara umum.

Kata kunci: kecelakaan kerja, pencegahan, penerapan dan sistem manajemen

keselamatan kerja

1. Pendahuluan

Situasi dan kondisi kerja pada lokasi kerja mempunyai kekhususan yang

berpotensi menimbulkan kecelakaan terhadap setiap orang yang masuk ke lokasi

tersebut terutama karyawan baru, karyawan pindahan dan tamu/visitor. Agar

keseragaman pelaksanaan disetiap tempat kerja tercapai maka induksi

keselamatan dan kesehatan kerja harus distandarkan.Induksi Keselamatan dan

Kesehatan Kerja adalah pengenalan dasar-dasar keselamatan dan kesehatan kerja

khususnya kepada karyawan baru, karyawan pindahan dan tamu. Selain

memberikan pemahaman tentang keselamatan kerja dan juga untuk memberikan

informasi tentang kondisi dalam area kerja.

PT. Supraco Indonesia adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang

jasa kontraktor khususnya Constructions/Civil. Perusahaan ini termasuk

perusahaan yang kompeten dalam persaingan di bidang jasa proyek

Page 79: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

65

kontruksi.Dalam kegiatan operasional perusahaan tentunya mempunyai berbagai

potensi bahaya pekerjaan yang menyangkut keselamatan dan kesehatan pekerja

dan hal ini sangat berpengaruh dalam kegiatan perusahaan untuk mencapai

targetnya.

Pada Juni 2014 pernah terjadi satu accident di area kerja PT. Supraco

khususnya di Barge Pioneer, korban pada waktu itu adalah karyawan baru dengan

posisi sebagai Fuel-man, kronologisnya adalah pada waktu korban mengambil

sebuah kertas dokumen di lantai atas dan setelah selesai hendak menuruni tangga

tiba-tiba korban terpeleset jatuh dan langsung dilarikan di klinik Barge Pioneer.

Atas latar belakang tersebut penulis ingin mengetahui dan mempelajari apakah

induksi keselamatan kerja dapat mempengaruhi atau bermanfaat bagi personal

yang diinduksi yang ada di PT. Supraco Indonesia.Adapun rumusan masalah

dalam penulisan tugas akhir ini yaitu: “Apakah induksi keselamatan dan

kesehatan kerja dapat meningkatkan pengetahuan karyawan baru untuk mencegah

kecelakaan yang ada di area kerja PT. Supraco Indonesia di Barge Pioneer”.

2. Metode Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metodologi

deskriptif kuantitatif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan

utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu penerapan secara objektif

yang menurut Sugiyono (2012).

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitianinidilaksanakan di PT. Supraco Indonesia khususnya dalam area

Barge Pioneer ( North Processing Unit, Delta Mahakam, Anggana Kutai Karta

Negara ). Penelitian ini dilakukan pada periode Mei 2015 - Agustus 2015.

2.2 Metode Analisis Data

Dasar pengambilan keputusan dalam uji chi square dapat dilakukan dengan

melihat nilai output “Chi Square Test” hasil olah data dengan SPSS. Dalam

pengambilan keputusan kita dapat berpedoman pada dua hal, yakni

membandingkan nilai Asymp. Sig dengan batas kritis yakni 0,05 atau dapat

dengan chi square tabel.

1. Melihat nilai Asymp. Sig:

a. Jika nilai Asymp. Sig < 0,05 , maka terdapat hubungan yang signifikan

antara Penyampaian Induksi dengan Materi Induksi

b. Jika nilai Asymp. Sig > 0,05, maka tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara Penyampaian Induksi dengan Materi Induksi

2. Melihat nilai chi square:

a. Jika nilai Chi square hitung > Chi square tabel, maka terdapat hubungan

antara Penyampaian Induksi dengan Pokok Materi Induksi

b. Jika nilai Chi square hitung < Chi square tabel, maka tidak terdapat

hubungan antara Penyampaian Induksi dengan Pokok Materi Induksi.

Pengujian terhadap keterkaitan antara dua buah variabel hasil perhitungan

(Count Data), sehingga dasar pengujian yang digunakan adalah selisih nilai

proporsi dari nilai observasi dengan nilai harapan dan juga untuk menguji

hubungan atau pengaruh dua variabel nominal dan mengukur kuatnya hubungan

antara variabel yang satu dengan variabel nominal lainnya (C=Coefesien of

contingency).

Page 80: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

66

3. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Faktor Intrinsik Penyampaian Induksi (X1)

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan teknik penyampaian

induksi sebanyak 5 responden (17%), baik 19 responden (63%), tidak baik 6

responden (20%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

a. Alat Bantu Induksi

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan alat bantu

penyampaian induksi sebanyak 0 responden (0%), baik 5 responden (17%),

tidak baik 19 responden (63%) dan sangat tidak baik 6 responden (20%).

b. Buku Panduan

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan buku panduan yg

diberikan setelah induksi sebanyak 6 responden (20%), baik 19 responden

(63%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0 responden

(0%).

c. Buku Induksi

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan buku induksi

sebanyak 11 responden (37%), baik 19 responden (63%), tidak baik 0

responden (0%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

d. Ruang Induksi

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tempat/ruang induksi

sebanyak 4 responden (13%), baik 8 responden (27%), tidak baik 18

responden (60%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

3.1.2 Faktor Ekstrinsik Pokok Materi Induksi (X2)

a. Kebijakan

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kebijakan yang

disampaikan pada saat induksi sebanyak 12 responden (40%), baik 11

responden (37%), tidak baik 7 responden (23%) dan sangat tidak baik 0

responden (0%).

b. Target (HSE Program)

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan target yang

disampaikan pada saat induksi sebanyak 11 responden (37%), baik 14

responden (46%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0

responden (0%).

c. Prosedur

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan prosedur yang

disampaikan pada saat induksi sebanyak 4 responden (14%), baik 14

responden (46%), tidak baik 12 responden (40%) dan sangat tidak baik 0

responden (0%).

d. Tanggung Jawab

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tanggung jawab yang

disampaikan pada saat induksi sebanyak 8 responden (27%), baik 14

responden (46%), tidak baik 8 responden (27%) dan sangat tidak baik 0

responden (0%).

e. Kondisi gawat darurat

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kondisi gawat darurat

yang disampaikan pada saat induksi sebanyak 12 responden (40%), baik 13

Page 81: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

67

responden (43%), tidak baik 5 responden (17%) dan sangat tidak baik 0

responden (0%).

3.1.3 Pemahaman Induksi (Y)

a. Patuh kepada kebijakan yang ada

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kepatuhan kepada

kebijakan yang ada sebanyak 6 responden (20%), baik 24 responden (80%),

tidak baik 0 responden (0%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

b. Bekerja sesuai dengan prosedur

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan kesesuaian antara cara

kerja dengan prosedur sebanyak 5 responden (17%), baik 13 responden

(43%), tidak baik 11 responden (37%) dan sangat tidak baik 1 responden

(3%).

c. Aktif dalam pemenuhan HSE Program

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan keaktifan dalam

pemenuhan HSE Program sebanyak 1 responden (3%), baik 11 responden

(36%), tidak baik 13 responden (43%) dan sangat tidak baik 6 responden

(18%).

d. Safe Action

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan tindakan yang aman

saat bekerja sebanyak 4 responden (13%), baik 18 responden (60%), tidak

baik 8 responden (27%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

e. Produktivitas kerja

Diketahui tanggapan sangat baik berkaitan dengan produktivitas kerja

sebanyak 12 responden (40%), baik 17 responden (57%), tidak baik 1

responden (3%) dan sangat tidak baik 0 responden (0%).

3.2 Pembahasan

3.2.1 Uji Kualitas Data

Berdasarkan dari hasil out put SPSS maka hasil dari pengujian tersebut adalah:

a. Case Processing Summary

Terdapat 30 data yang semuanya diproses (tidak ada data yang missing

atau hilang), sehingga tingkat ke validannya 100%.

b. Penyampaian Induksi dan Materi Induksi

Terlihat table silang yang memuat hubungan antara variable

Penyampaian Induksi dan Pokok Materi yang disampaikan pada saat

induksi.

c. Chi Square Tests

Pada bagian pearson chi square terlihat nilai Asymp. Sig sebesar 0,04.

Karena nilai Asymp. Sig 0,04 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ha

diterima, yang artinya “Terdapat hubungan yang signifikan antara

Penyampaian Induksi dengan Pokok materi induksi yang disampaikan”. Hal

ini dapat diartikan bahwa penyampaian induksi mempunyai korelasi dengan

materi yang disampaikan berkaitan dengan pencegahan kecelakaan. Karena

faktanya memang pencegahan kecelakaan kepada karyawan baru itu

tergantung dari pengenalan awal di area kerja karna induksi K3 memberikan

pemahaman tentang keselamatan kerja dan juga untuk memberikan

informasi tentang kondisi dalam area kerja sehingga karyawan baru

mengerti potensi-potensi bahaya di tempat kerja.

Page 82: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

68

3.2.2 Pengujian Hipotesis

Chi square adalah uji statistik yang biasa digunakan untuk membandingkan

data observasi dengan data yang diharapkan untuk menguji hipotesis. Berdasarkan

data hasil yang diperoleh mengenai penyampaian induksi yang baik tidak

menjamin terhindarnya kecelakaan kerja. Merekap data, menginput data

menggunakan software, menerapkan uji sampel data, menghitung derajat

kebebasan kemudian output. Berdasarkan output nilai chi square hitung adalah

16,2 (P = 0,04). Adapun tabel silang yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

Interprestasi Hasil

Karena p-value (0,04) lebih kecil dari tingkat signifikansi (0,05), kita tidak dapat

menerima hipotesis nol. Dengan demikian disimpulkan bahwa Ha diterima yaitu

ada hubungan antara cara penyampaian induksi dengan materi yang disampaikan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis data terhadap hasil-hasil

penelitian sebagai output dari pengumpulan dan pengolahan data secara pengujian

hipotesis sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka pada bab

ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil penilaian rata-rata dalam persentase terhadap jawaban responden

yang diterima atas pertanyaan mengenai efektifitas induksi yang berkaitan

tentang penyampaian induksi dan juga pokok materi yang disampaikan pada

saat induksi yang skor penilaiannya dapat dikatakan bahwa sebagian besar

responden mempunyai jawaban positiftentang induksi yang diberikan, dilihat

dari kemampuan menjawab responden71% dari 15 kuisioner yang diberikan.

2. Dari ketiga variabel yang dianalisis menggunakan uji chi square, yaitu sebagai

faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi efektifitas induksi dalam

pencegahan kecelakaan, ternyata ada dua faktor yang paling berpengaruh

secara signifikan terhadap manfaat induksi, yaitu kriteria teknik penyampaian

induksi dan alat bantu yang digunakan dalam proses belangsungnya induksi.

Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti buku panduan, buku induksi dan ruang

khusus tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efektifitas dari induksi.

3. Faktor penyampaian induksi yang baik (X1) berpengaruh signifikan terhadap

efektifits dari induksi (Y) karena teknik penyampaian yang baik berupa tata

cara komunikasi yang spesifik, jelas, tidak ambigu, variatif, singkat beserta

didukung oleh alat bantu sehingga penyampaian akan mudah dipahami dan

dimengerti oleh karyawan baru.

4. Faktor pokok materi yang disampaikan saat induksi (X2) juga berpengaruh

signifikan terhadap efektifits dari induksi (Y) karena dengan adanya materi

yang sesuai standar yang dianjurkan akan meningkatkan pemahaman kepada

Tabel 3.1. Out Put Chi Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi Square 52.122a 36 .04

Likelihood Ratio 35.856 36 .475

Linear-by-Linear Association .737 1 .391

N of Valid Cases 30

a. 49 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .03.

Page 83: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

69

karyawan baru sehingga mereka lebih mengerti dengan apa saja yang

menyangkut tentang Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan kerja yang

ada diperusahaan.

5. Faktor-faktor lain seperti buku panduan dan buku induksi dalam hasil analisis

uji chi square juga cukup berpengaruh secara signifikan terhadap efektifitas

induksi. Hal ini dapat ditunjukkan secara statistik bahwa nilai Asymp. Sig pada

Person chi square sebesar 0,04. Nilai-nilai tersebut lebih kecil dari 0,05,

sehingga kita tidak dapat menerima hipotesis nol. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa Ha diterima yaitu ada hubungan antara cara penyampaian

induksi dengan materi yang disampaikan.

Berdasarkan analisis data serta kesimpulan yang telah diuraikan, maka

selanjutnya penulis mengajukan saran yang semoga dapat bermanfaat yaitu:

1. Agar setiap penyampaian induksi mengalami peningkatan, hal ini dapat

dilakukan dengan mengkaji ulang SOP induksi.

2. Agar terbentuknya kenyamanan saat proses induksi maka perlu

disediakanfasilitas pelaksana seperti tempat khusus dan alat bantu induksi.

3. Adanya pendokumentasian tentang dilaksanakannya induksi keselamatan dan

kesehatan kerja.

Daftar Pustaka

Cochran WG. (2014). Some methods for strengthening the common χ² tests.

Biometrics 1956; l0:4l7-5l.

Cristian, adrian. 2011. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta.

Handoko, martin. 2012. Orientasi dan penempatan karyawan baru. Semarang.

Husna Suad & Heiddjrachman. 2010. Manajemen Personalia. Penerbit BPFE.

Yogyakarta.

Instruksi MANAKER 05 Tahun 1996. Tentang Pengawasan Dan Pembinaan

Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Kontruksi Bangunan. Jakarta.

Meidi, 2011. SemuaTentangKeselamatan. Bandung.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. PER.01/MEN/1980.

Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Kontuksi Bangunan.

Jakarta.

Riza pamula achmad.2010. Interisti Sejati. Jakarta.

SNI 13-7083-2005. Tata cara induksi keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

pertambangan. Badan Standarisasi Nasional (BSN).

Sriwidianty, 2012. Program Keselamatan Di Tempat Kerja. Jakarta.

Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Kombinasi, Penerbit

Alfabeta Bandung ISBN 979-8433-71-8, Indonesia.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970. Tentang Keselamatan Dan Kesehatan

Kerja. Jakarta.

Usman, H. & R. Purnomo Setiady Akbar. 2011. Pengantar Statistika. Jakarta:

Bumi Aksara

Yuli, catur. 2011. Orientasi Keselamatan Di Perusahaan. Jakarta

Page 84: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

70

Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)

di Perusahaan Sebagai Upaya Menekan Angka Kematian

Akibat Kecelakaan Kerja

Septa Decelita1, Hardi Yanta

2

1Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat 2Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

E-mail: [email protected], E-mail: [email protected]

Abstrak

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk

menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga

dapat melindungi dan bebas dari kecelakaan kerja, pada akhirnya dapat meningkatkan

efisiensi dan produktivitas kerja. Pada tahun 2007 tercatat 65.474 angka kecelakaan yang

mengakibatkan 1.451 orang meninggal 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera.

Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota Jamsostek

dengan jumlah 7 juta orang atau 10% dari seluruh pekerja di Indonesia. Dengan demikian

diperlukan sistem manajemen K3 di perusahaan sebagai upaya menekankan angka

kematian akibat kecelakaan kerja.

Untuk melihat dampak penerapan sistem manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)

di perusahaan.

Studi ini menggunakan literature review pada beberapa jurnal berbahasa Inggris dan

Indonesia yang diambil dari tahun 2005 sampai dengan 2016, pencarian kepustakaan

dilakukan dengan memasukkan beberapa kata kunci yaitu: Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3), Manajemen, Perusahaan kedalam data base yang tersedia meliputi: Google

Schoolar, ProQuest, EBSCO. Diperoleh 16 artikel dan terpilih 10 artikel.

Sistem manajemen kecelakaan kerja dapat meminimalisir bahaya dan angka kecelakaan

kerja, karena masih banyaknya tenaga kerja yang tidak mengetahui dan bagaimana

penerapan K3 di perusahaan. Secara teknis manajemen kecelakaan kerja tidak dapat

menjamin keselamatan jiwa secara menyeluruh, namun melalui sistem manajemen

setidaknya bisa mengurangi risiko angka kematian akibat kecelakaan kerja. Sitem

manajemen tersebut dapat diterapkan melalui sosialisasi tentang manfaat, penerapan K3

serta pelatihan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di perusahaan.

Penggunaan sistem manajemen kecelakaan kerja merupakan aspek penting dalam

menekan angka kematian akibat kecelakaan kerja. Oleh karena itu pengetahuan,

kedisiplinan dari tenaga kerja dapat di wujudkan melalui sosialisasi, pelatihan pekerja

serta penggunaan alat pelindung diri pada pekerja.

Kata kunci: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen, Perusahaan.

1. Pendahuluan

Perusahaan mempunyai misi yang ingin dicapai baik itu yang bersifat

jangka pendek maupun untuk jangka panjang kedepannya. Perusahan dituntut

mampu meningkatkan produktivitas sumber daya manusia. Produktivitas sumber

daya manusia ditentukan oleh sejauh mana sistem yang ada di perusahaan mampu

menunjang dan memuaskan keinginan seluruh pihak.

Apabila suatu perusahaan peduli kesejahteraan karyawan, maka karyawan

akan meningkatkan produktivitas kerjanya terhadap perusahaan. Salah satu faktor

Page 85: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

71

yang mempengaruhi produktivitas karyawan adalah keselamatan dan kesehatan

kerja (K3). Menurut Hariandja (2007), K3 merupakan aspek yang penting dalam

usaha meningkatkan kesejahteraan serta produktivitas karyawan. Apabila tingkat

keselamatan kerja tinggi, maka kecelakaan yang menyebabkan sakit, cacat, dan

kematian dapat ditekan sekecil mungkin. Apabila keselamatan kerja rendah, maka

hal tersebut akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan sehingga berakibat pada

produktivitas yang menurun.

Kewajiban untuk menyelenggarakan Sistem Manajemen K3 pada

perusahaan besar melalui Undang-undang Ketenagakerjaan, baru menghasilkan

2,1% saja dari 15.000 lebih perusahan berskala besar di Indonesia yang sudah

menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar

disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi

tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana

kompensasi/santunan untuk korban kecelakan kerja sebagai akibat diabaikannya

Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di

tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan (Warta

Ekonomi, 2 Juni 2006).

Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan

korban jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Pada tahun 2007 menurut

jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang

meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan

tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota jamsostek dengan

jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10% dari seluruh pekerja di

Indonesia. Dengan demikian diperlukan suatu manajemen risiko kesehatan

keselamatan kerja sebagai upaya menekan angka kecelakaan kerja akibat

kecelakaan kerja.

2. Metode Penulisan

Studi ini menggunakan literature review pada beberapa jurnal berbahasa

Inggris dan Indonesia yang diambil dari tahun 2005 sampai dengan 2016.

Pencarian kepustakaan dilakukan dengan memasukkan beberapa kata kunci yaitu:

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Manajemen, Perusahaan kedalam data

base yang tersedia meliputi: Google Schoolar, ProQuest, EBSCO. Diperoleh 16

artikel dan terpilih 10 artikel.

3. Hasil dan Pembahasan

Sistem manajemen kecelakaan kerja dapat meminimalisir bahaya dan angka

kecelakaan kerja, karena masih banyaknya tenaga kerja yang tidak mengetahui

dan bagaimana penerapan K3 di perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa masih

kurangnya perhatian ataupun komitmen dari perusahaan untuk melaksanakan

program K3 dengan baik. Secara teknis manajemen kecelakaan kerja tidak dapat

menjamin keselamatan jiwa secara menyeluruh, namun melalui sistem

manajemen setidaknya bisa mengurangi risiko angka kematian akibat kecelakaan

kerja. Sitem manajemen tersebut dapat diterapkan melalui sosialisasi tentang

manfaat, penerapan K3 serta pelatihan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di

perusahaan. Hal tersabut di dukung oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1970 di

antaranya karyawan wajib memakai alat pelindung diri seperti helm dan sepatu di

lokasi perusahaan yang telah ditentukan, serta karyawan dilarang merokok di

Page 86: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

72

ruang AC dan di tempat – tempat yang mudah terbakar.

Sebagai wujud dari program keselamatan kerja, PG Krebet Baru

menyediakan alat pelindung diri kepada tenaga kerja yang disesuaikan dengan

keadaan tiap stasiun kerja. Alat pelindung diri yang dapat digunakan untuk

menjaga terlaksananya program keselamatan dan kesehatan kerja antara lain

masker, safety glove, safety shoes, welder glasses, helm pengaman, oto las kulit,

dan ear plug (penyumbat telinga). Perusahaan juga memasang himbauan

keselamatan kerja di berbagai tempat di dalam pabrik seperti poster “Gunakan

sepatu safety demi Keselamatan”. Sebagai wujud dari program kesehatan kerja,

PG Krebet Baru memberikan fasilitas kesehatan untuk karyawan. Fasilitas

kesehatan yang disediakan oleh PG Krebet Baru adalah poliklinik dan tenaga

medis. Perusahaan memberikan minuman yang bergizi (susu) sebagai penawar

racun kepada karyawan yang melaksanakan tugas berhubungan dengan bahan

beracun dan berbahaya.

Mengingat pentingnya Alat Pelindung Diri (APD), Berdasarkan hasil

kuesioner dan pengamatan di perusahaan, 8.33% karyawan bagian instalasi

mengungkapkan bahwa keselamatan kerja berpengaruh signifikan terhadap

produktivitas mereka. Keselamatan kerja membuat beberapa karyawan dapat

bekerja lebih cepat dan tepat waktu. Kesadaran karyawan tersebut terhadap

keselamatan kerja ditunjukkan dengan penggunaan alat pelindung diri saat

bekerja. Sebanyak 41.67% karyawan menyatakan hal yang berbeda bahwa

keselamatan kerja tidak berpengaruh terhadap produktivitas.

Pada penelitian lain, simultan variabel bebas yang terdiri dari keselamatan

kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh signifikan terhadap variabel

terikat produktivitas kerja karyawan (Y). Hal ini menunjukkan bahwa variabel

independen yaitu keselamatan kerja (X1) dan kesehatan kerja (X2) berpengaruh

cukup besar terhadap produktivitas kerja karyawan sebesar 53,6%. Tingkat

kecelakaan kerja memberikan kontribusi pengaruh yang signifikan dalam

penurunan produktivitas, sebesar 67,2%. Setiap kejadian kecelakaan kerja dapat

menurunkan nilai produktivitas sebesar 27,84 unit.

Mengingat tingginya angka kecelakaan kerja, implementasi Sistem

Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja (SMK3) perusahaan jasa konstruksi di

Kota Kupang termasuk dalam kategori kuning dengan persentase 62,38 % dan

tingkat kecelakaan masuk dalam kategori hijau maka implementasi SMK3 berada

pada level 2 (cukup aman). Alasan Penerapan SMK3 karena SMK3 bukan hanya

tuntutan pemerintah, masyarakat, pasar, atau dunia internasional saja tetapi juga

tanggung jawab pengusaha untuk menyediakan tempat kerja yang aman bagi

pekerjanya. Selain itu penerapan SMK3 juga mempunyai banyak manfaat bagi

industri kita antara lain manfaat lamgsungnya yaitu: 1) Mengurangi jam kerja

yang hilang akibat kecelakaan kerja, 2) Menghindari kerugian material dan jiwa

akibat kecelakaan kerja, 3) Menciptakan tempat kerja yang efisien dan produktif

karena tenaga kerja merasa aman dalam bekerja.

Perusahaan telah melaksanakan keselamatan kerja karyawan dengan baik

dengan upaya menjaga atau melindungi karyawan dari luka-luka yang disebabkan

oleh kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan. Hal tersebut dapat dibuktikan

dengan: 1) perusahaan telah menyediakan peralatan kerja dalam kondisi baik dan

layak pakai dengan cara mengganti peralatan yang berusia tua, 2) perusahaan

menyediakan alat perlindung diri untuk menjaga keselamatan karyawan dari

Page 87: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

73

segala risiko kecelakaan di tempat kerja, 3) perusahaan telah memasang rambu-

rambu kecelakan dan tanda larangan seperti larangan merokok, awas listrik

tegangan tinggi, awas lubang untuk menjaga keselamatan karyawan, 4)

perusahaan memberikan jaminan bahwa karyawan bekerja dalam kondisi

lingkungan kerja yang aman dengan menyediakan satpam di tempat kerja 5)

perusahaan secara rutin melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja yang

dilaksanakan oleh SHE Officer. Perusahaan memberikan sanksi jika menemukan

pekerja yang dianggap melanggap aturan di tempat kerja. 6) perusahaan

memberikan petunjuk kerja untuk mempermudah pekerjaan 7) perusahaan

memberikan pelatihan bagi setiap karyawan mengenai keselamatan kerja untuk

bekerja dengan aman.

Perusahaan telah melaksanakan kesehatan kerja karyawan dengan baik

dengan upaya menjaga atau melindungi kondisi umum fisik, mental, emosi atau

rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Hal tersebut dapat dibuktikan

dengan: a. Perusahaan menyediakan obat-obatan untuk pertolongan pertama

apabila terjadi kecelakaan sebagai tindakan awal dalam menangani kecelakaan

yang terjadi di tempat kerja. b. Perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan

secara berkala bagi karyawan untuk menjaga agar karyawan selalu dalam keadaan

sehat. c. Perusahaan memberikan jaminan kesehatan kepada para

karyawan/pekerja. d. Terpeliharanya lingkungan kerja yang sehat dan bersih untuk

menjaga kesehatan pekerja dari segala penyakit. e. Tersedia pelayanan kesehatan

bagi para karyawan/pekerja. f. Perusahaan memberikan pendidikan mengenai

pentingnya kesehatan dalam menyelesaikan pekerjaan.

Faktor yang mempengaruhi kesehatan kerja adalah lingkungan kerja segi

fisik dengan nilai signifikansi sebesar 5.104, lingkungan kerja dari segi psikologis

dan sosial dengan nilai signifikansi sebesar 3.808 dan perilaku kerja dengan nilai

signifikansi sebesar 1.973. Dan kesehatan kerja mempengaruhi stress kerja

dengan nilai signifikansi sebesar 2.169. Variabel keselamatan kerja (X1) dan

kesehatan kerja (X2) baik secara parsial maupuan secara simultan mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan PT Tracon

Industri dan diketahui variabel paling dominan dalam mempengaruhi

produktivitas kerja karyawan dalam penelitian ini adalah keselamatan kerja

ditunjukkan dengan nilai koefisien t- hitung memiliki nilai-nilai yang lebih besar

dari pada variabel komitmen organisasi.

Jadi apabila keselamatan kerja tinggi maka produktivitas kerja karyawan

juga akan tinggi. Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian dari Katsuro et al.,

(2010) yang menyatakan bahwa keselamatan kerja memiliki pengaruh signifikan

terhadap produktivitas kerja. Selain itu Padminingsih (2007) juga menyatakan

keselamatan kerja berpegaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja.

Kesehatan kerja dipresentasikan dalam enam indikator yaitu kebersihan

lingkungan, pemeriksaan kesehatan berkala bagi karyawan, fasilitas P3K, kondisi

balai pengobatan, keadaan ventilasi, tingkat kebisingan. Artinya semakin baik

tingkat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang diharapkan maka semakin

baik pula produktivitas karyawan, begitu sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Hariandja (2002: 312) bahwa peningkatan Keselamatan

dan Kesehatan Kerja (K3) akan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerja

perusahaan. Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa untuk mewujudkan Kinerja yang

Page 88: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

74

optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Tingkat

Keselamatan dan Kesehatan Kerja dikatakan baik apabila Perusahaan telah

memberikan peralatan kerja yang baik dan menjaga lingkungan kerja agar

terhindar dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

4. Kesimpulan

Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim

kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok

yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing

profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika

digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima,

berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu

tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi

terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas.

Daftar Pustaka

(Brock & Smith, 2007)Brock, T. P., & Smith, S. R. (2007). An Interdisciplinary

Online Course in Health Care Informatics, 71(3), 1–6.

Goorden, M., Vlasveld, M. C., Anema, J. R., Mechelen, W. Van, & Roijen, L. H.

(2014). Cost-Utility Analysis of a Collaborative Care Intervention for Major

Depressive Disorder in an Occupational Healthcare Setting, 555–562.

doi:10.1007/s10926-013-9483-4

Green, C., Richards, D. A., Hill, J. J., Gask, L., Lovell, K., Chew-, C., Bland, J.

M. (2014). Cost-Effectiveness of Collaborative Care for Depression in UK

Primary Care : Economic Evaluation of a Randomised Controlled Trial

( CADET ), 9(8). doi:10.1371/journal.pone.0104225

Group, P. B. (2009). Collaborative Mental Health Care Versus Care as Usual in a

Primary Care Setting : A Randomized Controlled Trial, 60(1).

Hills, H., & Richards, T. (n.d.). to Advance Behavioral Health Care, 3–8.

doi:10.1007/s11414-013-9374-7

Morone, N. E., Belnap, B. H., Hum, B., He, F., Mazumdar, S., Weiner, D. K., &

Rollman, B. L. (n.d.). Pain Adversely Affects Outcomes to a Collaborative

Care Intervention for Anxiety in Primary Care, 58–67. doi:10.1007/s11606-

012-2186-2

Nursing, P., & Source, A. H. (2006). Nutrition in Primary Health Care : Using a

Delphi Process To Design New Interdisciplinary Services.

Zucchero, A., Hooker, E., & Larkin, S. (2010). An interdisciplinary symposium

on dementia care improves student attitudes toward health care teams, 312–

320. doi:10.1017/S1041610209991293

Page 89: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

No

N

am

a P

enu

lis

(Ta

hu

n)

Met

od

e H

asi

l Ju

du

l

1.

H

enry

Bag

us

Set

iaw

an,

Her

u

Su

silo

dan

M.

Fai

sal

Riz

a

(20

14

)

Jen

is p

enel

itia

n y

ang

dig

un

akan

ad

alah

pen

elit

ian

su

rvei

yan

g

ber

sifa

t

pen

jela

san

(exp

lan

ato

ry

rese

arc

h).

Ada

pen

gar

uh

yan

g

sign

ifik

an

seca

ra

par

sial

dar

i

var

iab

el k

esel

amat

an k

erja

kar

yaw

an (

X1

) dan

kes

ehat

an

ker

ja k

ary

awan

(X

2)

terh

adap

kin

erja

kar

yaw

an (

Y).

Pen

gar

uh

Kes

elam

atan

dan

Kes

ehat

an

Ker

ja

Ter

had

ap

Kin

erja

K

ary

awan

(Su

rvei

Pad

a K

ary

awan

PT

. P

IND

AD

(Per

sero

) M

alan

g)

2.

Bel

la G

lori

a

Uk

his

iad

an

Ret

no

Ast

uti

sert

a

Ari

f H

iday

at

(20

12

)

Pen

gu

mp

ula

n

dat

a

men

gg

un

akan

ku

isio

ner

, pen

elit

ian

dan

re

spo

nny

a

diu

ku

r den

gan

men

gg

un

akan

sk

ala

lik

ert.

Kes

elam

atan

ker

ja

seca

ra

lan

gsu

ng

ti

dak

ber

pen

gar

uh

sign

ifik

an

terh

adap

pro

duk

tivit

as

kar

yaw

an.

Kes

elam

atan

ker

ja s

ecar

a ti

dak

lan

gsu

ng m

empen

gar

uh

i

pro

dukti

vit

as

kar

yaw

an

mel

alui

kes

ehat

an

ker

ja.

Kes

ehat

an k

erja

sec

ara

lang

sun

g b

erp

engar

uh s

ign

ifik

an

terh

adap

pro

dukti

vit

as k

aryaw

an.

Anal

isis

Pen

gar

uh

Kes

elam

atan

dan

Kes

ehat

an K

erja

ter

had

ap

Pro

du

kti

vit

as K

ary

awan

den

gan

Met

ode

Par

tial

Lea

st S

quare

s

3.

B

ayu

In

dra

Sis

wan

to, (2

01

5)

Stu

diL

apan

gan

(Fie

ld W

ork

Res

earc

h)

den

gan

cara

ob

serv

asi,

waw

anca

ra,

ku

esio

ner

dan

Stu

di

Do

ku

men

tasi

sim

ult

an v

aria

bel

beb

as y

ang

ter

dir

i dar

i k

esel

amat

an

ker

ja (

X1

) d

an k

eseh

atan

ker

ja (

X2)

ber

pen

gar

uh

sign

ifik

an t

erhad

ap v

aria

bel

ter

ikat

pro

dukti

vit

as k

erja

kar

yaw

an (

Y).

men

unju

kkan

bah

wa

var

iab

el i

ndep

enden

yai

tu k

esel

amat

an k

erja

(X

1)

dan

kes

ehat

an k

erja

(X

2)

ber

pen

gar

uh

cuk

up

bes

ar t

erhad

ap p

rodukti

vit

as k

erja

kar

yaw

an s

ebes

ar 5

3,6

%.

Pen

gar

uh

Pel

aksa

naa

n K

esel

amat

an

dan

Kes

ehat

an K

erja

ter

had

ap

Pro

du

kti

vit

as K

erja

Kry

awan

pad

a P

T

Pem

ban

gu

nan

Per

um

ahan

Tbk

Cab

ang

Kal

iman

tan d

i B

alik

Pap

an

4.

M

uch

. D

jun

aid

i

dan

Fai

zal

Ab

idin

(20

15

)

An

alis

is d

ilak

ukan

den

gan

men

gg

un

akan

pen

dek

atan

reg

ress

i

dan

ko

rela

si.

Tin

gk

at k

ecel

akaa

n k

erja

mem

ber

ikan

kon

trib

usi

pen

gar

uh y

ang s

ign

ifik

an d

alam

pen

uru

nan

pro

dukti

vit

as, se

bes

ar 6

7,2

%. S

etia

p k

ejad

ian

kec

elak

aan k

erja

dap

at m

enu

runkan

nil

ai p

rodukti

vit

as

sebes

ar 2

7,8

4 u

nit

.

Pen

ing

kat

an P

rodu

kti

vit

as K

erja

den

gan

Men

erep

kan

Sis

tem

Man

ajem

en K

eseh

atan

dan

Kel

amat

an

Ker

ja (

SM

K3

di

Un

iver

sal

Furn

itu

re

Indu

stri

Tab

el R

efer

ensi

S

iste

m K

3

75

Page 90: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

5.

Im

an K

urn

iaw

an

Wic

akso

no

dan

Mo

ses

L.

Sin

gg

ih (

20

11

)

Met

od

e

Pen

ilai

an

men

gg

un

akan

mat

rik

s p

enil

aian

risi

ko

yan

g

ber

sum

ber

dar

i

AS

/NZ

S 4

36

0:2

004

Ris

k M

an

ag

emen

t

Sta

nd

art

Lim

a ri

sik

o t

erti

ngg

i: l

ifti

ng m

ate

ria

l m

eng

gu

nak

an

tow

er c

rane

terd

apat

ris

iko m

ater

ial

terj

atu

h/

sebag

ian

bes

ar d

ari

mat

eria

l y

ang

dia

ng

kar

den

gan

to

tal

indek

s

risi

ko s

ebes

ar 1

3,9

5, S

teel

fix

ing,

form

work

,

inst

alla

tioo

n, co

ncr

etin

g, dan

pek

erja

an e

kst

ernal

wal

l

mem

ilik

i ri

siko

ter

jatu

h d

ari

ket

ing

gia

n d

eng

an t

ota

l

indek

s ri

sik

o s

eber

sar

13,1

6, in

stal

lati

on e

lect

rica

l p

ipe.

Man

ajem

en

Ris

iko

K

3

(kes

elam

atan

dan

kes

ehat

an

ker

ja)

pad

a pro

yek

pem

ban

gu

nan

ap

arte

men

pu

nca

k

per

mai

Su

rab

aya

6.

B

ryan

Alf

on

s

Wil

lyam

Sep

ang

,

J. T

jak

ra,

J. E

.

Ch.

Lan

gi,

D. R

.

O. W

alan

git

an

(2

01

3)

Met

od

e pen

ilai

an

risi

ko

den

gan

men

gg

un

akan

mat

rik

spen

ilai

an

risi

ko

.

Kri

teri

a kec

elak

aan te

rtin

gg

i y

aitu

te

rjat

uh

ny

a pek

erja

den

gan

Ris

k L

evel

L (

Lo

w)

sebes

ar 5

2%

dan

sub

-kri

teri

a

kec

elak

aan te

rtin

gg

i y

aitu

pek

erja

te

rjat

uh

dar

i ta

ngg

a

den

gan

Ris

k L

evel

L (

Lo

w)

sebes

ar 5

2%

. U

ntu

k k

rite

ria

fakto

r uta

ma

pen

yeb

ab

kec

elak

aan

tert

ing

gi

adal

ah

fakto

r m

anu

sia

den

gan

Ris

k L

evel

L (

Low

) se

bes

ar 5

6%

dan

su

b-k

rite

ria

fakto

r pen

yeb

ab

kec

elak

aan

tert

ingg

i

adal

ah

tid

ak

mem

akai

A

lat

Pel

indu

ng

D

iri

(AP

D)

den

gan

Ris

k L

evel

L (

Low

) se

bes

ar 5

6%

.

Man

ajem

en

Ris

iko

K

esel

amat

an

dan

Kes

ehat

an

Ker

ja

(K3)

pad

a P

roy

ek

Pem

abn

gu

nan

R

uk

o

Orl

ens

Fa

shio

n

Man

ado

7.

B

ob

by

Ro

cky

Kan

i, d

an R

. J.

M.

Man

dag

i, J

.

P.

Ran

tun

g, se

rta

G. Y

. M

alin

gk

as

(2

01

3)

Pen

elit

i la

ng

sun

g

men

gad

akan

su

rvey

di

lap

ang

an

un

tuk

men

gid

enti

fik

asi

men

gen

ai r

isik

o K

3.

Mas

ih

ban

yak

te

nag

a ker

ja

yan

g

tidak

m

eng

etah

ui

tenta

ng

K3.

Hal

in

i m

enu

nju

kkan

bah

wa

mas

ih

ku

rang

ny

a per

hat

ian a

taup

un

ko

mit

men

dar

i per

usa

haa

n

ko

ntr

akto

r untu

k

mel

aksa

nak

an

pro

gra

m

K3

den

gan

bai

k.

Kes

elam

atan

dan

K

eseh

atan

K

erja

Pad

a P

elak

sanaa

n

Pro

yek

K

on

stru

ksi

(Stu

di

Kas

us:

P

roy

ek

PT

. T

rakin

do

Uta

ma)

8.

Y

un

ita

A.

Mes

sah

, Y

oh

ana

Bolu

Ten

a d

an I

Mad

e

Udia

na(

20

12

)

Ad

apu

n a

cuan

pen

elit

ian

in

i ad

alah

ket

entu

an y

ang

dit

etap

kan

dal

am

SM

K3

.

Imple

men

tasi

SM

K3 p

eru

sahaa

n j

asa

ko

nst

ruksi

di

Kota

Kup

ang

te

rmas

uk

dal

am

kat

ego

ri

ku

nin

g

den

gan

per

senta

se 6

2,3

8 %

dan

tin

gk

at k

ecel

akaa

n m

asuk

dal

am

kat

egori

hij

au m

aka

imple

men

tasi

S

MK

3 ber

ada

pad

a

level

2 (

cukup a

man

).

Kaj

ian

Imple

men

tasi

S

iste

m

Man

ajem

en

Kes

elam

atan

d

an

Kes

ehat

an K

erja

Pad

a P

erusa

haa

n J

asa

Kon

stru

ksi

di

Ko

ta K

up

ang

9.

D

ewin

ta

Gra

han

inty

as,

Sri

tom

o

Wig

njo

soeb

roto

Dat

a y

ang

dig

un

akan

ber

asal

dar

i d

ata

ku

isio

ner

kar

yaw

an p

ada

Fak

tor

yan

g m

emp

eng

aruh

i k

eseh

atan

ker

ja a

dal

ah

lin

gk

ungan

ker

ja s

egi

fisi

k d

eng

an n

ilai

sig

nif

ikan

si

sebes

ar 5

.10

4, li

ngkun

gan

ker

ja d

ari

segi

psi

kolo

gis

dan

sosi

al d

eng

an n

ilai

sig

nif

ikan

si s

ebes

ar 3

.808

dan

Anal

isa

Kes

elam

atan

dan

Kes

ehat

an

Ker

ja d

alam

Men

ingk

atkan

Pro

du

kti

vit

as K

erja

(Stu

di

Kas

us:

Pab

rik

Th

e W

ono

sari

76

Page 91: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

dan

Eff

i

Lat

iffi

anti

(2

01

2)

bag

ian

pem

etik

an

dau

n s

amp

ai d

eng

an

pen

go

lah

an m

enja

di

pro

du

k t

eh s

ejum

lah

18

5 k

ary

awan

.

per

ilak

u k

erja

den

gan

nil

ai s

ign

ifik

ansi

seb

esar

1.9

73

.

Dan

kes

ehat

an k

erja

mem

pen

gar

uh

i st

ress

ker

ja d

eng

an

nil

ai s

ignif

ikan

si s

ebes

ar 2

.16

9

PT

PN

XII

)

10

Anan

da

Zu

liy

an

Pra

tom

o d

an

And

re D

wij

anto

W (

20

14

)

Pen

elit

ian

kuan

tita

tif.

Ran

can

gan

pen

elit

ian

yan

g d

igu

nak

an

dal

am p

enel

itia

n i

ni

adal

ah k

on

klu

sif.

var

iab

el k

esel

amat

an k

erja

(X

1)

dan

kes

ehat

an k

erja

(X2)

bai

k s

ecar

a par

sial

mau

puan

sec

ara

sim

ult

an

mem

pu

ny

ai p

eng

aruh

yan

g s

ign

ifik

an t

erhad

ap

pro

dukti

vit

as k

erja

kar

yaw

an P

T T

raco

n I

ndu

stri

dan

dik

etah

ui

var

iabel

pal

ing

dom

inan

dal

am m

empen

gar

uhi

pro

dukti

vit

as k

erja

kar

yaw

an d

alam

pen

elit

ian

in

i ad

alah

kes

elam

atan

ker

ja d

itu

nju

kkan

den

gan

nil

ai k

oef

isie

n t

-

hit

ung m

emil

iki

nil

ai-n

ilai

yan

g l

ebih

bes

ar d

ari

pad

a

var

iab

el k

om

itm

en o

rgan

isas

i.

Pen

gar

uh

Kes

elam

atan

dan

Kes

ehat

an

Ker

ja T

erhad

ap P

rodu

kti

vit

as K

erja

Kar

yaw

an P

T T

raco

n I

ndu

stri

77

Page 92: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

78

Tinjauan Rujukan Daftar Bahaya dan Usulan Tambahan Daftar

Bahaya Keselamatan dan Kesehatan

Syamsul Arifin Universitas Balikpapan

Jl Pupuk Raya, Gn Bahagia, Balikpapan

Tlp (0542) 765442, 764205, E-Mail: [email protected]

Abstrak

Ada beberapa institusi yang dapat dijadikan rujukan ketika melakukan identifikasi

bahaya, diantaranya: International Labour Organization (ILO), Occupational Safety and

Health Administration (OSHA), Canadian Centre for Occupational Health and Safety

(CCOHS), dan Viner. Dengan melakukan penelitian analisis isi, penulis membandingkan

daftar bahaya yang disusun tersebut, mengkritisi, dan mengusulkan beberapa tambahan

daftar bahaya sehingga bisa menghasilkan suatu daftar bahaya yang lebih komprehensif.

Daftar bahaya yang dibahas dapat juga diklasifikasikan menjadi beberapa kategori: fisika,

kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial.

Kata kunci: identifikasi, bahaya, keselamatan, kesehatan.

1. Pendahuluan

Bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi merugikan (ISO, 2009), baik

kerugian pada manusia berupa cedera, penyakit akibat kerja, pencemaran

lingkungan, maupun kerugian perusahaan berupa kerusakaan aset atau gangguan

produksi. Identifikasi bahaya adalah salah satu langkah krusial dalam pengelolaan

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Tanpa identifikasi

bahaya yang benar, pengendalian dan fokus perhatian Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3) perusahaan bisa jadi salah sasaran, tidak efektif, dan tidak efisien.

Salah satu cara mengidentifikasi bahaya adalah dengan berkeliling tempat

kerja dan mengamati aktifitas, proses, peralatan, dan bahan yang dipergunakan

yang dapat mengakibatkan cedera, penyakit, pencemaran lingkungan atau

kerugian perusahaan(1)

. Namun, sangat mudah sekali untuk mengabaikan beberapa

bahaya jika setiap hari kita berada dan bekerja di tempat yang sama.

Ada beberapa institusi yang dapat dijadikan rujukan ketika melakukan

identifikasi bahaya, diantaranya: ILO (International Labour Organization),

Occupational Safety and Health Administration (OSHA), Canadian Centre for

Occupational Health and Safety (CCOHS), dan Viner (1991).

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif kualitatif dengan

melakukan teknik analisis konten pada publikasi yang diterbitkan ILO, OSHA,

CCOHS dan Viner tentang identifikasi bahaya di tahun 1998-2015.

3. Hasil dan Pembahasan

ILO (International Labour Organization) di Ensiklopedia Keselamatan dan

Kesehatan Kerja yang diterbitkannya menyebutkan beberapa bahaya, yaitu:

tekanan (kenaikan dan penurunan), biologi, bencana alam dan buatan, listrik, api,

Page 93: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

79

panas dan dingin, jam kerja, kualitas udara dalam ruangan, pengendalian

lingkungan dalam ruangan, pencahayaan, kebisingan, radiasi (pengion dan bukan

pengion), getaran, kekerasan dan tampilan visual alat elektronik (visual display

units)(2)

.

Occupational Safety and Health Administration (OSHA) di publikasi

berjudul Job Hazard Analysis menyebutkan beberapa tipe bahaya diantaranya:

bahan kimia beracun, mudah terbakar, korosif, mudah meledak akibat reaksi

kimia dan tekanan berlebih, bahaya tersengat listrik, terbakar akibat listrik, listrik

statis, kehilangan sumber listrik, bahaya ergonomi berupa cedera dan kesalahan

manusia, runtuhan galian, terjatuh (terpleset, tersandung), api/panas, getaran,

mekanik, kegagalan mekanika, kebisingan, radiasi pengion dan radiasi bukan

pengion, menabrak benda, ditabrak benda, suhu ekstrim (panas dan dingin),

pandangan terhalang, cuaca (salju, hujan, angin, es)(3)

. OSHA negara bagian

Oregon menambahkan beberapa bahaya dari daftar diatas, yaitu bahaya biologi

(bakteri, virus, jamur) dan kekerasan di tempat kerja(4)

.

Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS) membagi

klasifikasi bahaya menjadi beberapa hal: bahaya kimia, ergonomi (manual

handling, pencahayaan, pengaturan kantor, posisi duduk-berdiri, terpleset,

terjatuh, tersandung, shift kerja, peralatan dan gangguan kesehatan tulang-otot

terkait pekerjaan), kesehatan (biologi, penyakit, wabah), fisik (temperatur, kualitas

udara ruangan, jamur, kebisingan, radiasi), psikososial (stres, kekerasan,

bullying), keselamatan (berkendara, listrik, alat angkat-angkut, tangga, mesin,

platform kerja, perkakas kerja), dan tempat kerja (ruang terbatas, ventilasi, cuaca,

bekerja sendirian)(5)

.

Sementara itu, Viner (1991), membagi bahaya berdasarkan klasifikasi

sumber energi. Sehingga bahaya menurut Viner dikelompokkan menjadi: energi

potensial (gravitasi, fluida bertekanan), kinetik (gerakan), mekanik, akustik dan

getaran, listrik, nuklir, panas, kimia, mikrobiologi, dan otot (penyerangan).(6)

Beberapa bahaya yang disebutkan di atas sudah cukup menjelaskan dirinya

sendiri, namun ada beberapa poin dari daftar bahaya di atas yang perlu dijelaskan

lebih lanjut dan ada beberapa bahaya yang belum terdata dan perlu ditambahkan

guna kelengkapan daftar bahaya.

‘Terpleset, terjatuh, dan tersandung’ yang disebutkan OSHA dan CCOHS

misalnya, ketiga hal itu seharusnya tidak masuk ke dalam kategori bahaya atau

hazard, karena ketiga hal tersebut adalah kejadian atau event. Seperti disebutkan

ISO guide 73, kejadian adalah peristiwa atau perubahan kondisi tertentu

(occurrence or change of a particular set of circumstances) (7).

Sehingga, bahaya

dari kejadian ‘terpleset, terjatuh, dan tersandung’ bisa berupa permukaan licin,

sandungan, dan perbedaan ketinggan permukaan/lantai. Begitu pula dengan

‘ditabrak benda’ dan ‘menabrak benda’ yang disebutkan OSHA. Kedua hal itu

adalah kejadian, bahaya yang tepat untuk dua kejadian itu bisa berupa ‘benda

bergerak’ atau ‘benda stasioner di jalur lintasan’. Jika kejadiannya adalah terjepit,

maka bahaya yang bisa disebut adalah ‘berada pada jalur lintasan bahaya/berada

dijalur pergerakan mesin’.

Terutama di fasilitas minyak dan gas yang berusia tua (lebih dari 30 tahun)

dan fasilitas pengeboran yang banyak menghasilkan getaran, bahaya benda jatuh

menjadi salah satu fokus tersendiri. Potensi benda jatuh menjadi penyebab

terbesar kematian dan potensi kecelakaan serius di industri minyak dan gas (8).

Page 94: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

80

Data dari HSE UK untuk sumur migas menyebutkan bahwa di 2015, ada lebih

dari 30 kejadian benda jatuh, termasuk besi 5 kg jatuh dari ketinggian 6 m, pintu

bukaan 5,8 kg jatuh dari 6,5 m, alas karet (20 kg) yang diangkat helikopter jatuh

dari 18 m, dan pintu lemari listrik 20 kg yang jatuh dari ketinggian 20 m.(9)

Selain potensi benda jatuh, potensi pekerja jatuh karena berada atau bekerja

di ketinggian patut juga dijadikan salah satu identifikasi bahaya. Pekerja terjatuh

adalah kejadiannya, sedangkan perbedaan ketinggian kerja adalah bahayanya.

Peralatan yang tidak standar atau buatan sendiri juga bisa ditambahkan, karena

peralatan buatan sendiri tanpa desain teknis, integritas material dan/atau

perhitungan kekuatan peralatan bisa meningkatkan risiko cedera. (10)

Kemudian, jika ILO menyebutkan tekanan sebagai salah satu bahaya, dan

Viner menyebutkan fluida bertekanan, maka segala macam zat bertekanan

harusnya diidentifikasi sebagai bahaya juga, semisal gas atau udara terkompresi.

OSHA dan Viner menyebutkan bahaya mekanik, sebagai tambahan dan perjelasan,

segala mesin atau benda yang berputar atau digerakkan dengan listrik, hidrolik

dan semisalnya masuk ke dalam bahaya tersebut. Kontak dengan benda tajam juga

dapat menghasilkan kejadian atau insiden. Pada industri teknik, cedera akibat

benda tajam bisa terjadi ketika menangani benda atau material bersisi tajam. Data

HSE UK menyebutkan bahwa sepertiga cedera tercatat diakibatkan oleh luka dari

besi tajam ketika menanganinya. (11)

CCOHS dan Viner menyebutkan bahaya kimia, tapi OSHA menambahkan

detail berupa karakteristik bahan kimianya yang bisa berupa beracun, korosif,

mudah terbakar, mudah meledak dan semisalnya, bisa juga ditambahkan sifat

iritan. Meski sudah cukup disebutkan sebagai bahaya bahan kimia, menurut

penulis, penambahkan sifat lebih detail tidak mengapa karena akan membantu

memudahkan pekerja mengidentifikasi lebih jauh konsekuensi yang bisa terjadi

dari suatu bahan kimia. Bahkan menyebutkan fasa bahan kimianya (padat, cair,

gas) juga mungkin dapat membantu pekerja mengidentifikasi beberapa bahan

kimia yang kasat mata semisal gas berbahaya dari H2S.

Jika sebelumnya adalah kehadiran bahan kima yang dapat membuat bahaya,

maka ketidakhadiran suatu bahan juga bisa membuat bahaya, seperti kekurangan

atau tidak adanya oksigen. Kekurangan atau ketiadaan oksigen bisa terjadi akibat

beberapa hal, misalnya penggunaan gas inert, beberapa reaksi kimia (contohnya

pengaratan), atau kehadiran gas lain semisal argon, CO2, nitrogen, dan helium

bisa mendorongnya keberadaan oksigen.(12)

ILO dan CCOH menyebutkan bahaya kualitas udara dalam ruangan dan

menyebutkan pula ‘pengendalian lingkungan dalam ruangan’ dan ventilasi. Kedua

hal terakhir itu lebih tepat digolongkan sebagai mitigasi rekayasa teknik untuk

menjaga kualitas udara dalam ruangan berada dalam tingkat yang diperbolehkan.

CCOH hanya menyebut bahaya radiasi, Viner menyebut nuklir, sedang ILO dan

OSHA membagi radiasi berdasarkan "muatan listrik"nya sehingga dipisah menjadi

radiasi pengion dan radiasi non-pengion. Klasifikasi ILO dan OSHA lebih baik

karena menjelaskan berbedaan pengaruh antara kedua klasifikasi tersebut.

Radiasi pengion adalah radiasi yang apabila menumbuk atau menabrak

sesuatu, akan muncul partikel bermuatan listrik yang disebut ion. Peristiwa

terjadinya ion ini disebut ionisasi. Ion ini kemudian akan menimbulkan efek atau

pengaruh pada bahan, termasuk benda hidup. Radiasi pengion disebut juga radiasi

atom atau radiasi nuklir. Termasuk ke dalam radiasi pengion adalah sinar-X, sinar

Page 95: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

81

gamma, sinar kosmik, serta partikel beta, alfa dan neutron. Partikel beta, alfa dan

neutron dapat menimbulkan ionisasi secara langsung. Meskipun tidak memiliki

massa dan muatan listrik, sinar-X, sinar gamma dan sinar kosmik juga termasuk

ke dalam radiasi pengion karena dapat menimbulkan ionisasi secara tidak

langsung.(13)

Radiasi non-pengion adalah radiasi yang tidak dapat menimbulkan

ionisasi. Termasuk ke dalam radiasi non-pengion adalah gelombang radio,

gelombang mikro, inframerah, cahaya tampak dan ultraviolet.(13)

Berbicara mengenai bahaya ergonomi, bisa dibagi menjadi 3 subbidang

ergonomi: fisik (postur kerja/postur janggal, penanganan material - beban

berlebih, gerakan berulang, penataan tempat kerja), kognitif (beban kerja pikiran,

pengambilan keputusan, kinerja manusia, interaksi manusia-komputer/mesin,

reliabilitas manusia, stres kerja), dan organisasional (komunikasi, pengelolaan

SDM kru, desain kerja, desain waktu kerja, kerjasama tim, dst) (14).

ILO dan

OSHA menyinggung mengenai ergonomi kognitif, sedang CCOHS membahas

ergonomi kognitif dan fisik.

Pencahayaan disebut sebagai bahaya, kurang pencahayaan lebih tepat

dianggap sebagai bahaya, terutama jika pekerjaan membutuhkan ketelitian.

Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1405 tahun 2002 tentang persyaratan

kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri memberikan acuan jumlah

penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan

secara efektif. (15)

Bahaya alam dapat didefinisikan sebagai fenomena alamiah yang bisa

terjadi secara cepat atau lambat yang mungkin diakibatkan oleh geofisika (gempa

bumi, longsor, tsunami dan aktifitas gunung api), hidrologi (banjir bandang),

klimatologi (cuaca ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan), meteorologi (topan dan

badai/ombak besar) atau biologis (epidemis penyakit dan wabah

serangga/binantang).(16)

ILO menyebutkan bahaya bencana alam dan bencana

buatan, sedang OSHA hanya menyebutkan beberapa contoh bencana alam. Potensi

bencana alam dan contoh detailnya bisa dijadikan daftar bahaya alamiah.

ILO menyebutkan bahaya biologi secara umum, sementara institusi lain

menyebutkan beberapa contoh bahaya biologi, semisal bakteri, virus, jamur,

mikrobiologi (3,5,6),

sedang bahaya biologi berupa makhluk hidup yang lebih besar

semisal serangga, binatang vektor/carrier penyakit, pengerat, berbisa dan buas

bisa ditambahkan guna melengkapi bahaya biologi. Secara umum, bahaya berasal

dari hal fisik yang dapat dilihat (semisal pisau tajam) atau memiliki aroma

(semisal cat), tapi ada juga bahaya yang berasal dari interaksi (atau ketiadaan

interaksi) dengan orang lain. Saat ini, bahaya psikososial sudah dikenali sebagai

salah satu bahaya di tempat kerja.(17)

World Health Organization (WHO) menyebutkan beberapa risiko

psikososial diantaranya: konten kerja, beban dan irama kerja, jadwal kerja, kendali

kerja, lingkungan dan peralatan, budaya dan fungsi organisasi, hubungan

interpersonal di tempat kerja, peran di organisasi, pengembangan karir, interaksi

rumah dan pekerjaan.(18)

Bahaya psikososial, stres kerja, kekerasan, intimidasi, pelecehan, bullying,

sudah dapat dianggap sebagai salah satu tantangan keselamatan dan kesehatan

kerja. (19,20,21)

Maka dari itu, kekerasan, stres, bekerja sendirian di tempat kerja

telah masuk ke daftar bahaya yang disebutkan ILO, OSHA, dan CCOHS. Sehingga

kekerasan di tempat kerja dari sesama pekerjan atau pelanggan, ancaman

Page 96: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

82

keamanan-penipuan, pencurian, perampokan juga perlu diperhitungkan ke dalam

daftar bahaya psikososial.

Jika CCOHS memasukkan bekerja sendiri sebagai bahaya, maka pekerjaan

yang dilakukan secara simultan dengan tim lain atau simultaneous operations

(SIMOPS) juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu potensi bahaya.

SIMOPS didefinisikan sebagai pelaksanaan dua atau lebih pekerjaan berbeda

secara bersamaan.(22)

Adanya beberapa pekerjaan/aktifitas berbeda yang

berlangsung di area yang berdekatan memberikan ada kemungkinan terjadinya

interferensi, bentrok atau terjadi transfer risiko antar pekerjaan.(23)

4. Kesimpulan

a. Bahaya adalah segala sesuatu yang berpotensi merugikan.

b. Daftar bahaya yang dibahas dapat juga diklasifikasikan menjadi beberapa

kategori: fisika, kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial.

c. Daftar bahaya fisika bisa berupa permukaan licin, sandungan, perbedaan

ketinggian permukaan, benda bergerak, benda stasioner di jalur lintasan,

berada pada jalur lintasan bahaya/berada dijalur pergerakan mesin, potensi

benda jatuh, potensi pekerja jatuh (perbedaan ketinggian kerja), peralatan

tidak standar/buatan sendiri, api, panas dan dingin, gas atau udara dan cairan

bertekanan, mekanik, benda berputar, benda tajam, getaran, kebisingan,

listrik, listrik statis, radiasi pengion dan radiasi bukan pengion,

pencahayaan, bencana alam, cuaca (salju, hujan, angin, es, gelombang laut,

gempa bumi, longsor, tsunami, aktifitas gunung api, banjir bandang, cuaca

ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan, topan, badai/ombak besar, petir).

d. Daftar bahaya kimia bisa berupa bahan kimia beracun, mudah terbakar,

korosif, mudah meledak akibat reaksi kimia dan tekanan berlebih, iritan,

tidak ada/kurang oksigen, kualitas udara dalam ruangan.

e. Daftar bahaya biologi bisa berupa mikrobiologi, bakteri, virus, jamur,

penyakit, wabah, jamur, binatang berbisa, binatang buas, carrier, serangga,

pengerat.

f. Daftar bahaya ergonomi bisa berupa tampilan visual alat elektronik (visual

display units), jam kerja, manual handling, pengaturan kantor, posisi duduk-

berdiri, shift kerja, peralatan, gerakan berulang-ulang, posisi janggal,

bekerja terlalu lama, beban berlebih, kurang/tidak ada komunikasi,

informasi terbatas.

g. Daftar bahaya psikososial bisa berupa kekerasan, stres, bullying, bekerja

sendirian, keamanan (penipuan, pencurian, perampokan), pelecehan,

pekerjaan bersamaan/Simultaneous Operations (SIMOPS).

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Hendra, SKM., MKKK, pengajar

K3 FKM Universitas Indonesia atas kesediaannya meninjau isi makalah.

Daftar Pustaka:

1. Health and Safety Executive (HSE). Risk assessment - A brief guide to

controlling risks in the workplace. 2014. Inggris

2. International Labour Organization (ILO). Encyclopedia of Occupational

Health and Safety 4th Edition. 1998. Swiss

Page 97: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

83

3. Occupational Safety and Health Administration (OSHA). Job Hazard

Analysis. 2002. Amerika

4. Oregon OSHA. Hazard Identification and Control. 2005. Amerika

5. Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS). Hazards.

2015. Kanada

6. Safety Institute of Australia. Hazard as a Concept. 2012. Australia

7. International Organization for Standardization. ISO Guide 73: 2009, Risk

management – Vocabulary. 2009. Swiss

8. DROPS Reliable Securing Focus Group. Dropped Objects Awareness and

Prevention, Reliable Securing 3.0. 2013. Inggris

9. Drops Online. UK HSE Statistics Dec 2015. Diakses di

http://www.dropsonline.org/resources-and-guidance/presentations/ industry-

updates/uk-hse-statistics-dec-2015/ pada Januari 2016

10. Helmerich & Payne. IDC’s Composite Catalog of Oilfield Trash. 2010.

Amerika

11. HSE UK. HSE information sheet, Preventing injuries from the manual

handling of sharp edges in the engineering industry. 1998. Inggris

12. HSE UK. Lack of oxygen in confined spaces. Diakses di http://www.hse.

gov.uk/welding/confined-spaces.htm pada Maret 2016

13. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) - Pusat Pendidikan dan Pelatihan.

Pengenalan Radiasi. Desember 2005. Indonesia

14. International Ergonomics Association (IEA). Definition and Domains of

Ergonomics. Diakses di http://www.iea.cc/whats/ pada 25 Maret 2016

15. Kementerian Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan no. 1405 tahun 2002

tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri.

Indonesia

16. International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC).

Types of disasters: Definition of hazard. Diakses di

http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-

disasters/definition-of-hazard/ pada Maret 2016

17. Work Safe Alberta. Occupational Health and Safety Teacher Resources.

Kanada

18. World Health Organization (WHO). Health Impact of Psychosocial Hazards

at Work: An Overview. 2010. Swiss

19. European Agency for Safety and Health at Work (EU-OSHA). Expert forecast

on emerging psychosocial risks related to occupational safety and health.

2007. Luxembourg

20. Comcare Australia. Psychosocial hazards. Diakses di: https://www.

comcare.gov.au/preventing/hazards/psychosocial_hazards pada Maret 2016

21. Tweedy, James T. Healthcare Hazard Control and Safety Management. 2005.

Singapura

22. International Marine Contractors Association (IMCA). Guidance on

Simultaneous Operations (SIMOPS). 2010. Inggris

Page 98: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

84

Estimasi Risiko Kejadian Penyakit Degeneratif Akibat

Pajanan Polusi Udara NO2 Pada Pekerja Jalan Tol di Jakarta

E.Laelasari1, H.Kusnoputranto

2, Budiawan

3, Mustofa

4

1Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 3 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok

4 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Saat ini Indonesia mengalami peningkatan morbiditas penyakit tidak menular.

Peningkatan tersebut seiring dengan tingginya tingkat polusi udara di kota-kota besar.

Bahan kimia lingkungan yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebabkan

terjadinya oxidative DNA dan berisiko terhadap kejadian kanker dimasa depan.

Studi ini memprediksi munculnya risiko penyakit non-degeneratif akibat pajanan polutan

NO2 dikalangan pekerja tol. Aplikasi formula mathematis analisis risiko kesehatan

lingkungan memprediksi kejadian 10 tahun kedepan kejadian penyakit degenerative pada

200 karyawan pekerja tol di Jakarta dan sekitarnya.

Keseluruhan (100%) pekerja jalan tol memiliki peluang hazard risiko yang kecil untuk

terjadinya penyakit degenerative (HQ<1) dari keseluruhan sample. Prediksi berdasarkan

konsentrasi udara DKI Jakarta dan setiap area spesifik gerbang tol tidak menemukan

peluang yang nyata.

Paparan polutan lingkungan baik yang bersifat non karsinogenik atau bahkan

karsinogenik memberikan dampak buruk bagi penduduk dan utamanya pekerja yang

berada di dalamnya. Walau pun pada saat ini mayoritas pekerja belum memiliki peluang

untuk terkena penyakit Non Degeneratif dalam kurun waktu 10 tahun kedepan sejak di

deteksi pada tahun 2013, namun tidak menutup kemungkinan peluang tersebut akan

terjadi di tahun selanjutnya(>10 tahun). Rekomendasi perlu dilakukan riset lanjutan

melibatkan tekhnologi genom, mengingat polutan memiliki kemampuan biomagnifikasi

pada makhluk hidup. Penggunaan alat pelindung diri dan penghijauan disarankan

disamping monitoring berkala pada ambient udara di perkotaan.

Kata kunci: hazard quotient (HQ), pekerja tol, penyakit degenerative, polusi udara, NO2.

1. Pendahuluan

Saat ini dunia sedang mengalami peningkatan angka kejadian penyakit tidak

menular. Tingginya angka morbiditas penyakit tidak menular tersebut seiring

dengan peningkatan tingkat pencemaran lingkungan termasuk pencemaran udara.

Hal ini terjadi terutama di daerah perkotaan. Sumber polutan udara terbesar

berasal dari emisi kendaraan bermotor, disamping sumber lain seperti industri(1)

.

Polusi udara lingkungan (ambient air pollution) memiliki dampak yang luas

dibandingkan dengan polusi dalam ruang (indoor air pollution), hal ini

dikarenakan cemaran polusi udara dapat menyebar ke seluruh wahana lingkungan

udara di athmosfer tanpa mengenal batas geografis(2)

. Walau pun curah hujan dan

kecepatan angin dapat mempengaruhi pengenceran polutan udara, namun pada

saat musim kering yang panjang dapat berdampak sangat buruk bagi kesehatan

penduduk dan beberapa racun kimia dari udara dapat merusak sistem organ

Page 99: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

85

pernafasan manusia, dan kondisi organ tersebut sulit untuk diperbaharui kembali(1,

3). Efek negatif nitrogen dioksida pada sistem pernapasan diyakini terutama

disebabkan iritasi sepanjang portal masuk, karena sifat reaktif dari senyawa.

Saat ini belum ada metoda yang tepat untuk memperkirakan kejadian

penyakit tidak menular atau pun kanker pada penduduk yang bermukim di

lingkungan udara yang kotor. Kondisi ini sangat dibutuhkan untuk

mempertimbangkan apa tindakan selanjutnya yang akan diambil untuk

mengurangi dampak polusi udara perkotaan.

Suatu tekhnik untuk menilai risiko kesehatan yang terjadi pada penduduk,

atau disebut sebagai environmental health risk assessment (EHRA) atau analisis

risiko kesehatan lingkungan (ARKL) dikembangkan dari formula matematis

untuk memperkirakan dampak yang terjadi di masa depan pada sekelompok

penduduk yang terpajan polutan udara.

2. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan desain cross-sectional study, jumlah sample studi

yang terlibat 200 petugas tol, berasal dari 9 kluster pintu gerbang tol utama di

sebuah perusahaan jalan tol di Jakarta. Lokasi pengambilan sample studi tersebar

di kota Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Studi ini dilaksanakan sejak tahun

tahun 2012 hingga 2014.

Untuk memprediksi risiko kesehatan yang terjadi diakibatkan oleh NO2 dan

TSP, maka dilakukan analisis risiko kesehatan ( Health Risk Assesment), yaitu

proses perhitungan dampak potensial yang merugikan kesehatan manusia akibat

bahaya pajanan polutan lingkungan(4)

guna mengetahui cara mengendalikan dan

mengurangi risiko yang dihasilkan(5)

. WHO, merumuskan Analisis risiko

kesehatan terdiri dari 4 langkah utama yaitu Identifikasi bahaya (Hazard

Identification), Analisis Pemajanan (Exposure Assesment), Analisis Dosis Respon

(Dose Respont Assesment), dan Karakteristik Risiko (Risk Characterization)(4)

.

Identifikasi bahaya digunakan untuk mengetahui secara spesifik (agen

risiko, konsentrasi dan media lingkungan), agen risiko apa yang berpotensi

menyebabkan gangguan kesehatan bila tubuh terpajan. Sebagai pelengkap dalam

identifikasi bahaya dapat ditambahkan gejala – gejala gangguan kesehatan apa

yang terkait erat dengan agen risiko yang akan dianalisis. Tahapan ini harus

menjawab pertanyaan agen risiko spesifik apa yang berbahaya, di media

lingkungan yang mana agen risiko eksisting, seberapa besar

kandungan/konsentrasi agen risiko di media lingkungan, gejala kesehatan apa

yang potensial.

Analisis dosis respon melingkupi identifikasi jalur migrasi NO2(pathways)

dari suatu agen risiko masuk ke dalam tubuh manusia kemudian

membandingkannya dengan konsentrasi referensi (RfC) merujuk pada literature

yang tersedia, maka pengukuran pemajanan dan identifikasi jalur migrasi

(pathway) pajanan atau asupan polutan yang diterima individu dalam populasi

berisiko bisa dihitung(6).

The Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) belum

mengeluarkan Minimal risk level (MRLs) untuk NO2 untuk setiap masa dan jalur

pajanan(7). Begitu pula dengan Environmental Protection Agency (EPA) tidak

memiliki daftar RfD, RfC, atau klasifikasi kanker untuk NO2 pada IRIS (4, 7).

International Agency for Research on Cancer (IARC) juga tidak memiliki

Page 100: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

86

informasi terkait klasifikasi potensi karsinogen (carcinogenicity classification)

untuk NO2(8). Namun demikian perhitungan RfC diperoleh dari informasi studi

Nukman, 2005, yang telah dikoreksikan dengan nilai UFuntuk RfC-corected

untuk NO2 masing-masing 0,02 mg/kg x hari(9).

Intake Rate (dalam satuan mg kontaminan per kg berat badan dan perhari)

berdasarkan karakteristik antropometri individu dan pola aktifitas populasi

berisiko menggunakan rumus(5, 10):

ATBW

EDEFCRCI

Gambar 1. Intake Rate (I)

Keterangan:

I : Intake rate; asupan jumlah risk agent yang masuk ke dalam tubuh manusia

(mg/kg x hari) atau sebagai chronic daily intake (CDI)

C : Concentration; konsentrasi rata-rata kontaminan pada jenis exposure

(udara: mg/m3)

CR : Contact rate; (0.83 m3/hari)

EF : Exposure Frequency; frekwensi pajanan (dalam hari per tahun) 8 jam; 264

hari kerja

ED : Exposure duration atau actual event duration (real time)

BW : Body Weight (kg)

AT : Period over which exposure (day/year x 30 year); 30 tahun populasi

umum; 25 tahun pada pekerja untuk penyakit kronik non kanker

Karakterisasi risiko kesehatan dinyatakan dalam hazard quotient (HQ)

untuk efek non kanker. HQ dihitung dengan membagi asupan non karsinogenik

dengan dosis reference -nya. RfC adalah toksisitas kuantitatif non karsinogenik

yang menyatakan dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak menimbulkan efek

merugikan kesehatan meskipun pajanan tersebut berlangsung sepanjang hayat.

Hasil perhitungan HQ akan diketahui jika HQ > 1 maka konsentrasi agen

berisiko dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan (unsafe).Namun jika HQ <

1 maka konsentrasi agen belum berisiko menimbulkan efek kesehatan. Nilai

kuantitatif HQ selanjutnya digunakan untuk merumuskan manajemen risiko

kesehatan dari risk agent untuk diminimalkan.

Data konsentrasi polutan di udara ambient menggunakan informasi data

sekunder dari laporan tahunan polutan udara DKI Jakarta 2013 yang dikeluarkan

oleh BLHD DKI Jakarta(11). Pada riset ini dilakukan pengelompokan

pemantauan udara ambient berdasarkan titik lokasi gerbang tol terdekat maksimal

radius 10-15 km dari station pemantau milik pemerintah yang kemudian terbagi

menjadi 5 kluster, masing-masing adalah stasiun pemantau di Ciracas melingkupi

gerbang tol Cimanggis utama dan Cibubur (GT.1 dan 2); stasion pemantau udara

di Rawa Terate meliputi gerbang tol Cikarang Utama(GT.3); stasion pemantau

udara di Kalideres meliputi gerbang tol Karang Tengah, Tangerang Pusat dan

cengakareng (GT.4,5 dan 6); stasion pemantau di daerah masjid Istiqlal meliputi

daerah pemantau gerbang tol Tomang, wilayah timur halim (GT.7 dan 8); stasion

pemantau tebet meliputi pemantauan di gerbang tol Cililitan (GT.9). Notasi

''Nm3'' pada data hasil pemantauan udara oleh BLHD DKI, artinya meter kubik

Page 101: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

87

dalam kondisi normal, adalah bahwa jumlah gas yang saat kering,menempati

meter kubik pada suhu 25oC dan pada tekanan mutlak 760 milimeter merkuri (1

atm). Jumlah miligram dalam volume kontrol tidak berubah, tetapi perubahan

volume, mengubah konsentrasi.

3. Hasil

Pada riset ini diperoleh gambaran demografi dari 200 petugas penjaga pintu

gerbang tol. Mayoritas petugas berusia 34 tahun, memiliki jenis kelamin laki-laki

(75%) dan sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan sekolah menengah

atas (75%), serta memiliki masa kerja berkisar median 16 tahun.

Tabel 1. Karakteristik Demografi Subjek Variabel n (%) , mean, median, min-max

Usia (tahun) Mean 38.69 ,Median 38, Min-Max 30-

54, Modus 34

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

200

150(75)

50(25)

Pendidikan

SMA

Diploma 1/2/3

≥ S1

200

150(75)

13(6.5)

37(18.5)

Masa kerja (tahun) Mean 17.21, Median 16, Min-max 2-35

Berat badan (kg) Mean 71.4, Median 70, Min-max 45-140

Jam kerja per hari (jam) Mean 8, Median 8, Min-max 7-12

Tahapan awal dalam menilai risiko non karsinogenik adalah melakukan

identifikasi polutan. Pada studi ini polutan yang diteliti adalah Nitrogen Dioksida

(NO2). Konsentrasi terendah yang diperoleh dari 9 gerbang tol adalah 7.70

ug/Nm3 dan tertinggi adalah 136.1 ug/Nm

3 terlihat di tabel 2. Batasan maksimum

di Indonesia adalah 400 ug/m3.

Tabel 2. Konsentrasi NO2 di masing-masing gerbang tol

Lokasi station

pemantau Gerbang tol

Subjek

n (%)

Polutan udara (NO2)

Mean min-max

Ciracas

Rawa Terate

Kalideres

Masjid Istiqlal

Tebet

GT1. Cimanggis

GT2. Cibubur

GT3. Cikarang Utama

GT4. Karang Tengah

GT5. Tangerang Utama

GT6. Cengkareng

GT7. Wilayah Barat

GT8. Wilayah Timur

GT9. Cililitan

34(17)

19(9.5)

31(15.5)

39(19.5)

13(6.5)

19(9.5)

17(8.5)

16(8.0)

12(6.0)

28.77

41.24

35.66

42.96

7.70-75.40

22- 70.7

7.7- 74.20

9.7 – 136.1

Untuk melakukan penilaian Intake Rate, terlebih dahulu diketahui pola

aktivitas dari responden yang akan diteliti. Diperlihatkan oleh table 1 untuk 200

Page 102: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

88

orang petugas tol, mean untuk berat badan, masa kerja dan jam kerja adalah 71.4

kg; 17 tahun dan 8 jam kerja per hari.

Berikut ditampilkan contoh analisis Intake Rate (I) NO2 diambil dari slah

satu responden yang bekerja di gerbang tol GT.1. Cimanggis. Hasil perhitungan

mengikuti rumus Intake sebagai berikut untuk prediksi selama 10 tahun:

ATBW

EDEFCRCI

)(10)(365)(72

14)(264)(8)/3(83.0)31000/1)(3/(77.28

tahunxharikgs

tahunharijamharimmmgmugI

0376.2 EI atau 2.76 x 10-3

mg/kg/hari

Perhitungan estimasi menggunakan formula matematis diperoleh hasil sebagai

berikut:

Hazard Qutation (HQ)Non-cancer = I/RfC

)//(02.0

0376.2

harikgmg

EHQ

= 0.14 ; (HQ < 1)

Dapat dinyatakan bahwa konsentrasi NO2 di kawasan jalan bebas hambatan

di Jakarta diestimasikan ke 10 tahun kedepan setelah tahun pengamatan di 2013

masih tergolong normal dan tidak berisiko untuk jenis polutan NO2, namun nilai

ini tidak berlaku untuk senyawa lain yang berinteraksi dengan NO2.

4. Pembahasan

NO2 adalah polutan lingkungan yang memiiki makna yang penting. NO2

memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan PM10 dalam hal menghasilkan

dampak kesehatan bagi penduduk, terutama penduduk yang tinggal di perkotaan.

Polutan ini memiliki potensi mengiritasi saluran pernafasan meningkatkan risiko

kesakitan terutama pada penduduk manula dan anak-anak(12).Pada dosis yang

lebih tinggi, NO2 dapat menurunkan tingkat imunitas tubuh(13).

Sesaat setelah tersimpan ke dalam sel tubuh, NO2 cenderung bereaksi cepat

dengan jaringan pernapasan, dan NO2 masuk ke dalam aliran darah. Bentuk utama

yang ditemukan dalam darah adalah NO2-dan NO3-, dibuat oleh reaksi NO2

dengan air dalam jaringan untuk membentuk nitrous dan nitrat asam (14, 15).

Dasar mekanisme molekuler nitrogen dioksida yang menyebabkan cedera paru

dijelaskan oleh studi dari Persinger et al, 2002. NO2 adalah gas radikal bebas,

dengan elektron tidak berpasangan tunggal pada atom nitrogen. Dengan demikian,

ini adalah senyawa yang sangat reaktif dan mampu dengan mudah mengoksidasi

molekul seluler. Reaksi ini dapat mengakibatkan berbagai perubahan, termasuk

kerusakan sel, peroksidasi lipid, interaksi dengan protein seluler dan tiol,

tergantung pada kerentanan molekul seluler terhadap interaksi dengan nitrogen

bersifat radikal(16).

Terdapat perbedaan antara pada studi ini dengan studi yang lain , seperti

nilai frekwensi, durasi dan jumlah hari paparan yang mencerminkan jumlah hari

mereka terpajan NO2 di tempat kerja (9, 17). Seluruh responden merupakan sub-

populasi pekerja, dimana paparan polutan NO2 dari jalan tol diterima selama

minimal 8 jam kerja dan masa kerja mereka merupakan jumlah tahun mereka

bekerja, jumlah hari kerja adalah perkalian dari lama mereka bekerja di

Page 103: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

89

perusahaan dan jumlah hari kerja (5 hari per minggu). Nazarof,

mengklasifikasikan periode pajanan life time untuk penduduk adalah 30 tahun

sementara pekerja 25 tahun(10).

Eksposur NO2 jangka pendek pada orang dewasa yang sehat telah mencatat

perubahan kecil dalam fungsi paru pada konsentrasi rendah 2 ppm(18). Namun

pada penderita asma dan orang-orang dengan COPD, yang mewakili populasi

sensitif untuk efek pernapasan NO2, umumnya menunjukkan tidak ada efek pada

0,25 ppm dan konsentrasi dibawahnya(19). Perubahan fungsi paru pada penderita

asma dimulai pada 0,3 ppm(20) dan semakin parah seiring dengan meningkatnya

konsentrasi.

Oleh karena nilai NOAEL 0,25 ppm (0.51 mg/m3) diberlakukan bagi

indikasi keberadaan perubahan fungsi paru akibat induksi NO2 pada penderita

asma. Sejak hal itu diberlakukan untuk populasi yang sensitif, dengan demikian

tidak ada faktor ketidakpastian diaplikasikan untuk variabilitas intra-manusia(19).

Pada studi ini memperlihatkan nilai maksimum dan minimum untuk polutan

NO2 pada tahun 2013 di 9 buah gerbang tol adalah 7.7-136.1 ug/Nm3 atau setara

dengan 0.0077-0.136 mg/m3. Jika dibandingkan pada nilai NOAEL, paparan NO2

pada studi ini masih dianggap normal (< 0,51 mg/m3). Jika dibandingkan di kota

Kopenhagen, rata-rata per jam konsentrasi nitrogen dioksida yang terletak dekat

jalan raya yang sangat sibuk, sering melebihi 940 mg/m3 (0,5 ppm). Konsentrasi

per jam NO2 dengan nilai minimum-maksimum di Inggris berkisar 470-750

mg/m3 (0,25-0,4 ppm)(12).

Tidak ditemukannya nilai hazard quieten (HQ) yang bermakna pada studi

ini menjadi keterbatasan studi. Diperkirakan karena adanya faktor pengenceran

udara athmosfer terhadap polutan NO2. Konsentrasi polutan udara di daerah

perkotaan bervariasi, sesuai dengan waktu dalam hari, musim tahun dan faktor

meteorologi. Pola harian yang khas terdiri dari gambaran grafik naik turun

konsentrasi polutan, sesuai dengan waktu jam-jam sibuk lalu lintas di perkotaan

yang mengeluarkan emisi nitrogen oksida.

5. Kesimpulan

Seluruh responden (100%) tidak memiliki peluang yang berarti akibat

pajanan NO2 untuk terjadinya penyakit degenerative pada prediksi life time 10

tahun kedepan sejak saat mereka di observasi (median usia: 38 tahun). Namun

kondisi ini tidak berlaku untuk senyawa lain yang berinteraksi dengan NO2.

Perlu adanya penelusuran lebih lanjut terkait dampak polutan udara NO2

bagi kesehatan, misalnya penggunaan alat personal dust sampler untuk menilai

paparan debu personal. Riset kedepan dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu,

seperti bidang genetika dapat membantu mempelajari mekanisme biotrasnformasi

dari polutan ini. Studi ini juga merekomendasikan system perbaikan lingkungan di

area sekitar jalan tol terutama program penghijauan, peningkatan gizi pekerja,

terutama konsumsi makanan yang kaya anti-oksidan agar dapat menangkal

electron bebas dari polusi udara.

Page 104: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

90

Daftar Pustaka

1. WHO. 7 Million Premature Deaths Annually Linked To Air Pollution: WHO;

2014 [cited 29/03/2016]. Available from:

http://www.WHO.int/mediacentre/news/releases/2014/air-pollution/en/.

2. WHO. Burden of disease: deaths data by region. 2014 [cited 29/03/2016].

Available from: http://apps.WHO.int/gho/data/node.main.156?lang=en.

3. Fleischer NL, Merialdi M, van Donkelaar A, Vadillo-Ortega F, Martin RV,

Betran AP, et al. Outdoor air pollution, preterm birth, and low birth weight:

analysis of the world health organization global survey on maternal and

perinatal health. Environmental health perspectives. 2014 Apr;122(4):425-30.

PubMed PMID: 24508912. Pubmed Central PMCID: PMC3984219. Epub

2014/02/11. eng.

4. IRIS. Integrated Risk Information System USA: US EPA; [cited 26/03/2016].

Available from: https://www.epa.gov/iris.

5. Ricci PF. Environmental and health risk assessment and management. The

Netherlands: Springer; 2006.

6. US-EPA. Methods for derivation of inhalation reference concentrations and

application of inhalation dosimetry. North Carolina, USA.: U.S.EPA.

7. ATSDR. Agency for Toxic Substances and Disease Registry; 2007.

8. IARC. IARC-Monograph on the evaluation of carcinogenic risk to human:

WHO- International Agency for Reaserch on Cancer; 2016 [cited

02/04/2016]. Available from:

http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/supplements.php.

9. Nukman A, Rahman A, Warouw S, Setiadi MI, Akib CR. Analisis dan

manajemen risiko kesehatan pencemaran udara: Studi kasus di sembilan kota

besar padat trasnportasi; . Journal ekologi kesehatan. Agustus 2005;4(2):270-

89.

10. Nazaroff WW, Cohen LA. Environmental Engineering Science, intake rate

8.E.2 on pages 573-574. John Wiley & Sons; 2001. p. 704.

11. BLHD DKI Jakarta. Pemantauan polutan udara DKI Jakarta tahun 2013. In:

Indonesia KLH, editor. Jakarta: PEMDA DKI Jakarta; 2013.

12. Jarvis DJ, Adamkiewicz G, Heroux ME, Rapp R, Kelly FJ. Nitrogen dioxide.

2010. In: WHO Guidelines for Indoor Air Quality: Selected Pollutants

[Internet]. Geneva: World Health Organization. 5. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK138707/.

13. Ezratty V, Guillossou G, Neukirch C, Dehoux M, Koscielny S, Bonay M, et

al. Repeated nitrogen dioxide exposures and eosinophilic airway

inflammation in asthmatics: a randomized crossover study. Environmental

health perspectives. 2014 Aug;122(8):850-5. PubMed PMID: 24747297.

Pubmed Central PMCID: PMC4123022. Epub 2014/04/22. eng.

14. Goldstein BD, Hamburger SJ, Falk GW, Amoruso MA. Effect of ozone and

nitrogen dioxide on the agglutination of rat alveolar macrophages by

concanavalin A. Life sciences. 1977 Dec 1;21(11):1637-44. PubMed PMID:

600016. Epub 1977/12/01. eng.

15. Saul RL, Archer MC. Nitrate formation in rats exposed to nitrogen dioxide.

Toxicology and applied pharmacology. 1983 Feb;67(2):284-91. PubMed

PMID: 6836583. Epub 1983/02/01. eng.

Page 105: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

91

16. Persinger RL, Poynter ME, Ckless K, Janssen-Heininger YM. Molecular

mechanisms of nitrogen dioxide induced epithelial injury in the lung.

Molecular and cellular biochemistry. 2002 May-Jun;234-235(1-2):71-80.

PubMed PMID: 12162462. Epub 2002/08/07. eng.

17. Ahmad AA, Khoiron., Ellyke. Analisis risiko kesehatan lingkungan dengan

risk agent total suspended partikulat di kawasan industri kota Probolinggo

(Environmental health risk assessment with risk agent total suspended

particulate in industrial area Probolinggo). e-Journal Pustaka Kesehatan. 2014

Mei 2014;2(2).

18. Mohsenin V. Airway responses to 2.0 ppm nitrogen dioxide in normal

subjects. Archives of environmental health. 1988 May-Jun;43(3):242-6.

PubMed PMID: 3289507. Epub 1988/05/01. eng.

19. Jorres R, Magnussen H. Effect of 0.25 ppm nitrogen dioxide on the airway

response to methacholine in asymptomatic asthmatic patients. Lung.

1991;169(2):77-85. PubMed PMID: 2062123. Epub 1991/01/01. eng.

20. Bauer MA, Utell MJ, Morrow PE, Speers DM, Gibb FR. Inhalation of 0.30

ppm nitrogen dioxide potentiates exercise-induced bronchospasm in

asthmatics. The American review of respiratory disease. 1986

Dec;134(6):1203-8. PubMed PMID: 3789520. Epub 1986/12/01. eng.

Page 106: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

92

Hubungan Antara Pola Makan dan Gaya Hidup Dengan

Sindroma Metabolik Pada Pekerja di PT X

Ratih Damayanti, Erwin Dyah Nawawinetu

Departemen Kesehatan, Fakultas Vokasi, Jl. Srikana 65 Surabaya

Tel. 085645662519. E-mail: [email protected],

[email protected]

Abstrak

Salah satu isu penyakit yang berhubungan dengan aktivitas kerja yang rendah adalah

gangguan metabolisme yang berujung pada sindrom metabolik. Kemajuan di bidang

teknologi pun juga memberikan dampak terhadap perubahan gaya hidup dan pola makan

di masyarakat. Ketidakseimbangan asupan gizi akibat salah makan dipengaruhi oleh gaya

hidup merupakan faktor risiko yang sangat berperan pada munculnya masalah kesehatan

seperti obesitas, hipertensi, dislipidemia yang menyebabkan penyakit degeneratif bagi

masyarakat terutama masyarakat pekerja.Menganalisis hubungan antara pola makan dan

gaya hidup dengan sindrom metabolik pada pekerja di PT. X.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain crossectional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi pekerja di PT X cenderung

berlebih memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 2,182 kali

daripada yang memiliki tingkat konsumsi energi kurang dan defisit. Kelompok pekerja

yang merokok memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 1,468

kali daripada yang tidak merokok. Sedangkan pekerja yang minum minuman beralkohol

memiliki risiko lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 0,712 kali daripada

yang tidak minum minuman beralkohol.

Program yang seharusnya dilakukan yaitu pengaturan pola makan (baik di kantor maupun

di rumah), penyuluhan mengenai bahaya merokok, olah raga setiap minggu sekali untuk

membantu mempercepat turunnya angka sindrom metabolik. Selanjutnya, perilaku makan

saat di kantor dan stress kerja juga ikut diteliti untuk mengetahui kaitan antara beban

kerja, stress kerja dan sindroma metabolik.

Kata kunci: gaya hidup, pekerja, pola makan, sindroma metabolik.

1. Pendahuluan

Peran industri tidak dapat dipungkiri memengaruhi pertumbuhan ekonomi

yang dicapai oleh Indonesia. Perusahaan dituntut dapat memanajemen

sumberdaya yang dimiliki seiring dengan perkembangan indsutri yang makin

maju secara optimal. Sumber daya yang dimaksud di atas adalah sumber daya

manusia atau tenaga kerja. Modal utama yang paling penting di perusahaan atau

industri adalah tenaga kerja yang sehat sehingga akan menghasilkan produktivitas

yang berkualitas1.

Perubahan gaya hidup dan pola makan saat ini banyak dipengaruhi oleh

kemajuan di bidang teknologi. Dengan adanya peningkatan jumlah produsen

makanan cepat saji, pola konsumsi makanan masyarakat pun ikut berubah.

Asupan gizi yang tidak seimbang yang diakibatkan salah konsumsi makanan

berperan besar pada timbulnya masalah kesehatan sepeti obesitas, hipertensi,

dislipedmia yang menyebabkan penyakit degeneratif seperti sindrom metabolik2.

Pada salah satu penelitian menyebutkan bahwa indeks massa tubuh, glukosa

darah puasa, trigliserida dan C-reaktif protein (CRP) memiliki hubungan negatif

dengan asupan serat makanan berdasarkan usia, jenis kelamin, status diabetes,

Page 107: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

93

kebiasaan merokok, kebiasaan minum, total asupan energi, asupan lemak, asupan

asam lemak jenuh, ativitas fisik dan penggunaan insulin. Tingkat konsumsi

serat berkaitan dengan obesitas abdominal, hipertensi dan sindrom metabolik.

Asupan tinggi serat juga dikaitkan dengan kontrol glukosa darah yang lebih baik

dan pengendalian faktor risiko penyakit kardiovaskular termasuk penyakit ginjal.

Penderita diabetes disarankan untuk lebih banyak mengonsumsi serat pada

makanan sehari-hari3.

Berdasarkan data-data dan penelitian di atas, maka penelitian ini ditujukan

untuk menurunkan prevalensi sindrom metabolik pada pekerja dengan mengetahui

hubungan antara pola makan dan gaya hidup dengan sindrom metabolik pada

pekerja di PT. X. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara

pola makan dan gaya hidup dengan sindrom metabolik pada pekerja di PT. X.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain

crossectional. Lokasi survei penelitian PT. X di Gresik, Jawa Timur. Penelitian

ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu antara bulan Agustus-Oktober 2015.

Populasi penelitian ini adalah pekerja di PT. X. Sampel dalam penelitian ini

merupakan bagian dari populasi penelitian, yaitu pekerja yang terpilih untuk

diikutsertakan dalam penelitian.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Pola Konsumsi Makanan dan Sindrom Metabolik

Pada penelitian ini pola makan yang dimaksud adalah konsumsi makan

sehari hari para pekerja selama 24 jam dengan mempergunakan metode recall 24

hours. Berikut ini adalah tabulasi silang antara konsumsi energi dengan status

sindrom metabolik yang terjadi pada para pekerja di PT X.

Pada penelitian ini, konsumsi energi dikategorikan menjadi 4 yaitu baik,

berlebih, defisit dan kurang. Konsumsi energi tersebut ditabulasi silang dengan

status sindrom metabolik yang dialami oleh para pekerja di PT X:

Tabel 1. Konsumsi Energi Pekerja di PT X dan Sindrom Metabolik tahun 2015

Konsumsi

Energi

Status Sindrom Metabolik Total

(%) Sinrom Metabolik (%) Bukan Sindrom Metabolik (%)

Baik 10,61 18,18 28,79

Berlebih 6,06 10,61 16,67

Defisit 21,21 25,76 46,97

Kurang 3,03 4,55 7,58

Total 39,39 59,09 100,00

Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang

mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian

besar konsumsi energinya defisit yaitu masing-masing sebesar 21,21% dan

25,76%. Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok pekerja yang tingkat konsumsi

energi totalnya baik dan cenderung berlebih memiliki risiko lebih besar

mengalami sindrom metabolik sebesar 2,182 kali daripada yang memiliki tingkat

konsumsi energi kurang dan defisit.

Page 108: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

94

3.1.2. Gaya Hidup dan Sindroma Metabolik

Gaya hidup merupakan salah satu faktor yang menentukan kesehatan

seseorang. Semakin baik gaya hidup maka akan semakin baik pula kesehatannya.

Pada penelitian ini gaya hidup yang dimaksud adalah kebiasaan merokok dan

kebiasaan minum minuman beralkohol. Kebiasaan merokok dan minum minuman

beralkohol memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan terutama pada

metabolisme tubuh. Sindrom metabolik adalah salah satu gangguan kesehatan

karena adanya gangguan metabolism di dalam tubuh. Berikut ini adalah kaitan

antara gaya hidup dengan sindrom metabolik:

1. Kebiasaan Merokok dan Sindrom Metabolik

Berikut ini adalah gambaran kelompok pekerja yang merokok dan tidak

merokok dan mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom

metabolik:

Tabel 2. Kebiasaan Merokok dan Sindrom Metabolik Pekerja di PT X tahun 2015

Kebiasaan

Merokok

Status Sindrom Metabolik Total

(%) Sindrom Metabolik (%) Bukan Sindrom Metabolik (%)

Ya 19,70 22,73 42,42

Tidak 21,21 36,36 57,58

Total 40,91 59,09 100,00

Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang

mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian

besar tidak memiliki kebiasaan merokok. Kelompok pekerja yang tidak merokok

dan mengalami sindrom metabolik sebesar 21,21%. Sedangkan pekerja yang tidak

merokok dan tidak mengalami sindrom metabolik sebesar 36,36%.

Sebaliknya pada kelompok yang merokok dan mengalami sindrom

metabolik lebih besar dari pada kelompok yang merokok dan tidak mengalami

sindrom metabolik yaitu masing-masing sebesar 19,70 % dan 22,73%.

Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok pekerja yang merokok memiliki risiko

lebih besar mengalami sindrom metabolik sebesar 1,468 kali daripada yang tidak

merokok.

2. Minum Minuman Beralkohol dan Sindrom Metabolik

Berikut ini adalah gambaran kelompok pekerja yang memiliki kebiasaan

minum minuman beralkohol dan mengalami sindrom metabolik dan tidak

mengalami sindrom metabolik.

Tabel 3. Kebiasaan Minum Minuman Beralkohol dan Sindrom Metabolik Pekerja

di PT X tahun 2015

Kebiasaan Minum

Minuman Beralkohol

Status Sindrom Metabolik Total

(%) Sindrom Metabolik

(%)

Bukan Sindrom

Metabolik (%)

Ya 1,52 3,03 4,55

Tidak 39,39 56,06 95,45

Total 40,91 59,09 100,00

Berdasarkan tabel di atas dapat dibandingkan bahwa pekerja yang

mengalami sindrom metabolik dan tidak mengalami sindrom metabolik sebagian

besar tidak memiliki kebiasaan minum minuman beralkohol. Kelompok pekerja

Page 109: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

95

yang tidak minum minuman beralkohol dan mengalami sindrom metabolik

sebesar 39,39%. Sedangkan pekerja yang tidak merokok dan tidak mengalami

sindrom metabolik sebesar 56,06%.

Sebaliknya pada kelompok yang minum minuman beralkohol dan

mengalami sindrom metabolik lebih kecil dari pada kelompok yang minum

minuman beralkohol dan tidak mengalami sindrom metabolik yaitu masing-

masing sebesar 1,52% dan 3,03%. Berdasarkan uji statistik bahwa kelompok

pekerja yang minum minuman beralkohol memiliki risiko lebih besar mengalami

sindrom metabolik sebesar 0,712 kali daripada yang tidak minum minuman

beralkohol.

3.2 Pembahasan

Sindrom metabolik di Indonesia belum terdata secara epidemiologis tetapi

prevalensi obesitas sentral pada laki-laki sebesar 19,7% dan pada perempuan

sebesar 32,9%. Sedangkan prevalensi hipertensi sebesar 25,8% pada tahun 2013

yang sebenarnya terjadi penurunan dari tahun 2007 yaitu sebesar 31,7%.

Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dan gejala yaitu sebesar 2,1%.

Data tersebut menunjukkan gambaran bahwa adanya penyakit degeneratif yang

merupakan beberapa tanda sindrom metabolik di Indonesia4.

Sindroma metabolik dapat dialami oleh siapapun termasuk pekerja.

Sindroma metabolik tersebut dapat ditegakkan diagnosisnya jika telah dilakukan

pemeriksaan, pengukuran dan observasi pada pekerja. Di PT X setiap tahun pasti

dilakukan pemeriksaan kesehatan termasuk pemeriksaan darah termasuk

pemeriksaan gula darah puasa, kolesterol, trigliserida untuk mengetahui kondisi

kesehatan pekerja. Penelitian ini dilakukan pada pekerja di PT X dengan

menggunakan data sekunder mengenai pemeriksaan kesehatan dan digabung

dengan data primer mengenai data antropometri dan data dietetik. Hasil penelitian

menujukkan bahwa sebesar 41% dari total populasi yang diteliti mengalami

kejadian sindrom metabolik. Penegakkan diagnosis sindrom metabolik pada

penelitian ini berdasarkan 3 dari 5 gejala yang merupakan gejala sindrom

metabolik. Pekerja yang mengalami overweight atau kelebihan berat badan ada

sekitar 56% dan yang mengalami obesitas sebesar 17%. Rasio lingkar pinggang

pekerja yang melebihi batas normal (> 90 cm) ada sekitar 52% atau setengah lebih

dari total populasi yang diteliti. Hal tersebut juga berlaku pada kadar kolesterol

total. Kadar kolesterol total yang melebihi batas normal (> 40 mg/dL) pekerja di

PT X sebesar 64% dari total populasi yang diteliti. Sedangkan kadar trigliserida

yang melebihi batas normal ada sekitar 53% dari total populasi. Kadar gula darah

puasa dan tekanan darah cenderung normal. Dari gambaran tersebut, diagnosa

sindrom metabolik dapat diketahui.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa seseorang

dikatakan mengalami sindrom metabolik jika terdiagnosa minimal 3 kriteria

penilaian seperti gula darah puasa > 110 mg/dL, tekanan darah 130/85 dan lingkar

pinggang > 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk perempuan atau kadar

kolesterokl HDL < 40 mg/dL pada pria dan < 50 mg/dL pada wanita. Sebagian

besar rasio lingkar pinggang > 90 cm (97± 7,6 cm). Kadar gula darah juga

melebihi batas normal ≥ 110 mg/dL (132 ± 32,7mg/dL). Tekanan darah juga

melebihi batas normal dengan rata-rata sistolik 141,4 ± 12,9 mmHg dan diastolik

93,3 ± 8,5 mmHg. Kasus obesitas sentral dengan IMT > 27 sebesar 70,8%5.

Page 110: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

96

Pola makan menjadi salah satu faktor determinan penyebab terjadinya

sindrom metabolik. Pada penelitian ini, ternyata para pekerja di PT X memiliki

rata-rata tingkat konsumsi lemak yang cenderung berlebih (lebih dari 20%)

dibandingkan dengan rata-rata tingkat konsumsi total energi dan karbohidrat.

Pekerja di PT X cenderung memiliki rata-rata tingkat konsumsi energi total yang

defisit tetapi terjadi sindrom metabolik di kalangan pekerja. Hal tersebut

disebabkan karena kebiasaan merokok dan makan makanan yang berlemak tinggi

sehingga kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi.

Komposisi konsumsi karbohidrat, lemak dan total kalori berpengaruh pada

sindrom metabolik. Semakin banyak konsumsi makan semakin tinggi kejadian

sindrom metabolik. Total kolesterol ternyata menjadi indikator tertinggi dalam

penentuan sindrom metabolik yang kemudian pada selanjutnya adalah lingkar

pinggang. Total kalori dan lemak pada variabel konsumsi makanan menjadi

indikator tertinggi untuk menyumbang terjadinya kejadian sindrom metabolik6.

Konsumsi makanan tinggi kalori akan mengakibatkan sindrom metabolik

dengan meningkatnya massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan.

Masa lemak abdomen merupakan sumber asam lemak bebas dalam sirkulasi

darah. Penelitian dengan menggunakan model clamp euglycemic hyperinsulinemia

menunjukkan efek marker antinatriuretic pada insulin. Peningkatan kejadian

sindroma metabolik seiring dengan peningkatan asupan makanan. Makanan yang

tinggi kalori akan menyebabkan sindrom metabolik dengan terjadinya

peningkatan masa lemak pada daerah perut6,7

.

Penelitian ini menunjukkan bahwa asupan makanan dengan kadar lemak

yang tinggi dikonsumsi oleh sekitar 89, 39% pekerja dan 36,36% pekerja

diantaranya mengalami sindroma metabolik. Konsumsi lemak yang berlebih yang

dimaksud pada penelitian ini adalah konsumsi lemak lebih dari 20%. Sedangkan

asupan lemak yang dianjurkan adalah 20-25% dari dari kebutuhan energi total.

Makanan yang mengandung lemak dalam jumlah besar hanya memberikan

rasa gurih tanpa memberikan rasa kenyang berarti sehingga jumlah makanan akan

terus dikonsumsi agar merasa kenyang. Jumlah makanan dengan kadar lemak

yang tinggi ini dapat memberikan energi yang cenderung tinggi. Perilaku makan

makanan tinggi lemak akan menyebabkan adanya ketidakseimbangan lemak yang

tersimpan di dalam jaringan lemak. Jaringan lemak yang meningkat akan

menyebabkan peningkatan leptin sehingga mempengaruhi pengaturan

keseimbangan energi dan pada akhirnya akan menimbulkan obesitas. Kadar

kolesterol yang tinggi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari akan

merangsang reseptor LDL yang dapat meningkatkan LDL dan trigliserida.

Hipertrigliseridemia sering dihubungkan dengan berkurangnya kadar HDL pada

obesitas. Keadaan hipertrigliserida pada obesitas merupakan faktor risiko

terjadinya gangguan metabolik5,8

.

Gaya hidup yang tidak sehat juga dapat menimbulkan berbagai gangguan

kesehatan seperti sindrom metabolik. Gaya hidup yang tidak sehat tersebut adalah

kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, kurangnya

manajemen stress, makan makanan yang tidak bergizi dan kaya lemak serta gula

ditambah pula dengan kurangnya aktivitas. Gaya hidup yang ada pada penelitian

ini adalah kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja di PT X memiliki kebiasaan

Page 111: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

97

merokok. Kebiasaan merokok ini memiliki risiko 1,468 kali menyebabkan

terjadinya sindroma metabolik.

Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner,

terjadi peningkatan kolesterol total dan kadar trigliserida serta meningkatkan

kejadian resistensi insulin dan pada akhirnya akan memunculkan risiko sindrom

metabolik. Kebiasaan merokok ini juga memiliki hubungan dengan sindrom

metabolik yang berhubungan dengan ATP III. Merokok, konsumsi makanan

tinggi lemak dan rendah serat merupakan kombinasi yang dapat meningkatkan

kadar kolesterol total dan trigliserida9,10

.

Sebuah penelitian di Korea menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada

saat ini memiliki hubungan yang signifikan dengan sindrom metabolik. Hal

tersebut dikuatkan dengan adanya hubungan yang signifikan antara komponen-

komponen sindrom metabolik yaitu tingginya kadar trigliserida dan rendahnya

kolesterol HDL dengan kebiasaan merokok. Selain itu, ternyata ada pula

hubungan yang positif antara kebiasaan merokok dengan obesitas sentral. Minum

minuman beralkohol memiliki efek yang tidak baik bagi kesehatan. Salah satu

efek kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol adalah meningkatkan kadar

kolesterol. Selain itu, jika konsumsi tersebut dalam kadar yang berlebih, akan

menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dan tekanan darah9.

4. Kesimpulan

4.1 Kesimpulan

Pekerja di PT X yang mengalami sindrom metabolik sebesar 41% dengan

ditandai dengan 3 kriteria yaitu obesitas sentral (IMT > 27), kadar kolesterol

darah yang melebihi normal ( > 40 mg/dL) dan kadar trigliserida yang melebihi

batas normal (> 120 mg/dL). Tingkat konsumsi energi para pekerja di PT X

masuk dalam kategori berlebih sehingga meningkatkan risiko sindrom metabolik.

Gaya hidup para pekerja di PT X yang menjadi salah satu faktor pencetus sindrom

metabolik adalah kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok memiliki risiko

meningkatkan kejadian sindrom metabolik.

4.2 Saran

Perlu adanya pengaturan pola makan (baik di kantor maupun di rumah),

penyuluhan mengenai bahaya merokok dan dipasang peringatan di setiap unit

kerja mengenai bahaya merokok serta program olah raga setiap minggu sekali

untuk membantu mempercepat turunnya angka sindrom metabolik. Selanjutnya,

perilaku makan saat di kantor dan stress kerja juga ikut diteliti untuk mengetahui

kaitan antara beban kerja, stress kerja dan sindroma metabolik.

Daftar Pustaka

Nurjanah, Fitria. 2014. Gaya Hidup dan Kejadian Sindrom Metabolik pada

Karyawan Laki-laki Berstatus Gizi Obesitas di PT Indocement Citeureup.

Skripsi. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Satoto. 1998. Kegemukan, Obesitas dan penyakit Degeneratif: Epidemiologi dan

Street.

Fuji et al. Impact of Dietary Fiber Intake on Glycemic Control, Cardiovascular

Risk Factors and Chroni Kidney Disease in Japanese Patients with Type 2

Diabetes Mellitus: the Fukuoka Diabetes Registry. Nutrition Journal 2013,

12:159

Page 112: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

98

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI: Jakarta

Wiardani NK, Sugiani PP, Gumala NM. Konsumsi lemak total, lemak jenuh dan

kolesterol sebagai faktor risiko sindrom metabolik pada masyarakat

perkotaan di Denpasar. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.2011;7(3):121-127

Sargowo D, Andarini S. Pengaruh komposisi asupan makanan terhadap

komponen sindrom metabolik. J Kardiol Indones. 2011; 32:14-23Tsai, T.,

Cheng, I.J. & Iii, I.I.Y.L., 2011. Prevalence of metabolik syndrome and

related factors in Taiwanese high-tech industry workers. , 66(9), pp.1531–

1535.

Krikken JA, Lely AT, Bakker SJL, Navis G. The effect of a shift in sodium intake

on renal hemodynamics is determined by body mass index in healthy young

men. Kidney Int 2007;71:260-5.

Kapriana, Martalina T dan Sulchan, Muhammad. 2012. Asupan tinggi lemak dan

aktivitas olahraga sebagai faktor risiko terjadinya hipertensi obesitik pada

remaja awal. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Program Studi

Ilmu Gizi. Skripsi

Ye, Han Hui et al. The Association between Shift Work and the Metabolik

Syndrome in Female Workers. Annals of Occupation and Environment

Medicine 2013, 25:33.

Oh, Sang Woo et al. 2005. Association between cigarette smoking and metabolik

syndrome. Diabetes Care, volume 28, number 8, Agustus 2005

Page 113: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

99

Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja Dengan Kadar Nikel

Dalam Urin Pekerja Sektor Informal Pelapisan Logam

Yuliani Setyaningsih Bagian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

Jl. Prof.Soedarto, SH Tembalang Semarang

E-mail: [email protected]

Abstrak

Nikel sangat dibutuhkan tubuh pada kadar atau konsentrasi yang rendah, tetapi kadar

nikel yang tinggi akan sangat beracun bagi manusia. Paparan nikel di pelapisan logam

merupakan bahaya kesehatan yang potensial. Paparan senyawa nikel dapat menyebabkan

berbagai masalah kesehatan seperti alergi, dermatitis kontak, dan keracunan sistem organ.

Beberapa studi epidemiologi menunjukkan adanya potensi karsinogenik akibat paparan

senyawa nikel.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis beberapa faktor karakteristik pekerja dengan

kadar nikel dalam urin pada pekerja pelapisan logam. Penelitian ini adalah penelitian

explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini diambil

secara purposif sebanyak 66 orang pekerja pelapisan logam di kecamatan Talang

kabupaten Tegal. Variabel bebas yang diamati meliputi umur, masa kerja, jenis pekerjaan

dan status gizi sedangkan variabel terikatnya nya adalah kadar nikel dalam urin pekerja

pelapis logam. Data karakteristik responden dikumpulkan dengan menggunakan

kuesioner sedangkan kadar urin dianalisis dengan menggunakan AAS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar nikel dalam urin pekerja adalah sebesar

72.52 µMol/L. Ada hubungan bermakna antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam

urin pada pekerja pelapis logam (p = 0.041).Sedangkan umur, masa kerja dan status gizi

tidak berhubungan dengan kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam.

Kata kunci: kadar nikel, karakteristik pekerja, pelapis logam.

1. Pendahuluan

Penggunaan senyawa nikel di sektor industri semakin meningkat. Paparan

nikel banyak ditemukan pada pekerja, diantaranya ditemukan di pekerja tambang,

produksi alat-alat elektronik, industri kaca dan keramik serta industri baja dan

pelapisan logam. Paparan nikel pada manusia terjadi terutama melalui inhalasi

dan konsumsi. Paparan senyawa nikel mempunyai efek buruk pada kesehatan

manusia. Reaksi yang paling umum dan terkenal akibat paparan nikel adalah

alergi nikel dalam bentuk dermatitis kontak. Selain itu akumulasi nikel dalam

tubuh melalui paparan kronis dapat menyebabkan fibrosis paru-paru, gangguan

jantung, penyakit ginjal dan karsinogenik. Studi epidemiologis paparan senyawa

nikel pada manusia menyebabkan karsinogen di paru dan kanker hidung pada

pekerja tambang nikel, peleburan dan pemurnian (Denkhaus dan Salnikow, 2002;

Kasprzak et al, 2003).

Sekitar 2% dari angkatan kerja di industri nikel terkena partikel udara yang

mengandung nikel dalam konsentrasi mulai 0,1-1 mg/m3 (IARC, 1990; Denkhaus

dan Salnikow, 2002). Senyawa nikel diklasifikasikan sebagai karsinogen pada

manusia oleh International Agency for Research on Cancer (IARC, 1990).

Page 114: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

100

Beberapa pekerja terpapar nikel melalui inhalasi dari uap dan debu. Selain itu juga

akibat terjadi kontak kulit dengan garam, campuran logam atau larutan nikel.

Hanya sedikit (kurang dari 5 %) mengabsorbsi nikel melalui pencernaan.

Manifestasi akibat toksisitas nikel tergantung dari rute paparan dan kelarutan dari

senyawa nikel. Rute utama paparan nikel adalah melalui absorbsi paru. Bavazzano

et al. dan Kiilunen et al. melaporkan bahwa nikel dapat diabsorbsi secara oral

melalui tangan dan mulut yang terkontaminasi. Paparan kulit danpat

menyebabkan sensitivitas nikel dan dermatitis kontak (Bavazzano et al., 1994;

Kiilunen et al., 1997).

Konsentrasi nikel sebesar 5 µg/dL pada sampel urin sesaat dapat dilakukan

pada pekerja yang terpapar keracunan akut ( Rendall et al., 1994). Toksisitas nikel

dalam tubuh dipengaruhi oleh dosis, lama paparan, umur, status gizi, tingkat

kekebalan, jenis kelamin dan jaringan yang terpapar nikel (EPA, 2001). Sentra

industri pelapisan logam di kecamatan Talang kabupaten Tegal menggunakan

nikel sebagai salah satu bahan kimia pelapisnya. Dari hasil pengamatan awal

diketahui bahwa 10 orang mengalami gatal-gatal di tangan, 3 orang diantaranya

mengeluh sesak napas. Dalam melakukan pekerjaannya, pekerja tidak

menggunakan alat pelindung diri berupa masker, sarung tangan maupun sepatu

boot. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa

sajakah yang berhubungan paparan nikel pada pekerja pelapis logam di kecamatan

Talang kabupaten Tegal.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di sentra pelapisan Logam

Kecamatan Talang kabupaten Tegal. Subyek penelitian diambil secara purposive

sebanyak 66 orang pekerja pelapisan logam. Variabel bebas yang diamati meliputi

umur, masa kerja, jenis pekerjaan dan status gizi sedangkan variabel terikatnya

nya adalah kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam. Data dianalisis dengan

menggunakan uji chi square dengan tingkat kepecayaan 0,05 dan confidence

interval 95 % dan nilai α =0,05.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi frekuensi Karakteristik Pekerja Pelapis Logam di Kecamatan

Talang Kabupaten Tegal, tahun 2016 No. Variabel n %

1. Umur

a. > 34 tahun

b. < 34 tahun

36

30

54.5

45.5

2. Masa Kerja

a. > 14 tahun

b. ≤ 14 tahun

31

35

49.97

53.03

3. Jenis pekerjaan

a. Pencelup

b. Bukan pencelup

37

29

56.06

43.94

4. Status Gizi (IMT)

a. normal

b. gemuk

c. gemuk sekali

34

5

27

51.5

7.6

40.9

Page 115: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

101

Karakteristik pekerja pelapis logam yang dianalisis di penelitian ini

meliputi umur, masa kerja, jenis pekerjaan dan status gizi. Tabel 1 menunjukkan

bahwa umur pekerja terbanyak adalah > 34 tahun yaitu sebesar 54.5 %.

Sedangkan masa kerja terbanyak adalah kurang atau sama dengan 14 tahun yaitu

sebesar 53.03 %. Umur berpengaruh langsung terhadap kekuatan otot seseorang

yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan tenaga kerja untuk bekerja

(Phoon, 1988). Secara tidak langsung umur juga berpengaruh terhadap masa kerja

yang menentukan durasi paparan bahan kimia ke dalam tubuh pekerja.

Pekerjaan pelapis logam terdiri atas pekerjaan pencelup dan non pencelup.

Pekerjaan non pencelup meliputi pengamplasan, gerinda, proses pengerjaan akhir

seperti pengelapan dan pengepakan. Di Kecamatan Talang jenis pekerjaan

terbanyak adalah pencelup logam yaitu sebesar 56.06 %. Pekerja pencelup ini

berada dekat dengan bak elektroplating. Pekerja pelapis logam terpapar oleh

partikel dan kabut Nikel dan Chromium yang dihasilkan dari proses elektrolisis

yang terjadi di bak elektroplating. Partikel dan kabut tersebut terjadi sebagai

akibat letupan pada permukaan cairan di bak elektroplating yang berasal dari

gelembung oksigen dan hidrogen keluar dari elektroda saat proses pelapisan

(Sarkar, 2002). Adapun status gizi responden terbagi atas normal, gemuk, dan

gemuk sekali. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu sebesar

51.5 %.

3.2. Keluhan Sakit

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat 42.42% pekerja mengaku tidak

memiliki keluhan setelah melakukan pekerjaannya. Meskipun demikian ada 12,67

% pekerja pelapis logam yang mengalami 2 atau lebih keluhan sakit akibat

pekerjaannya. Keluhan sakit responden paling banyak atau sebesar 15.15 %

adalah sesak napas. Hal ini disebabkan karena sebagian besar paparan Nikel

masuk ke dalam tubuh pekerja melalui inhalasi. Selain itu 12.12 % responden juga

mngeluh gatal-gatal. Hal ini dapat dijelaskan karena reaksi yang paling umum

akibat paparan nikel adalah dermatitis kontak (Denkhaus dan Salnikow, 2002).

Gambar 1. Jenis keluhan Sakit yang dialami Pekerja Pelapis Logam di

Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, Tahun 2016

Page 116: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

102

3.3. Paparan Nikel

Kadar nikel pada responden dilihat dengan mengukur kadar nikel dalam

urin. Urin pekerja diambil setelah bekerja selama 4 jam kerja dan sebelum

istirahat makan siang sebanyak 5 ml. Sampel urin selanjutnya ditampung dalam

kontainer polypropylene, Hasil pemeriksaan kadar nikel dalam urin pekerja

pelapis logam dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi frekuensi kadar nikel dalam urin Pekerja Pelapis Logam di

Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, tahun 2016

Kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam berkisar antara 9.52 µMol/L-

185.98 µMol/L. Adapun rerata nikel dalam urin pekerja adalah sebesar 72.52

µMol/L dan median 65.70 µMol/L. Sebanyak 53.03 % pekerja memiliki kadar

nikel dalam urinnya kurang dari median. Konsentrasi nikel sebesar 5 µg/dL di

dalam spot urin yang dikumpulkan setelah terpapar, menunjukkan bukti adanya

keracunan akut pada pekerja (Rendall et al, 1994). Nikel secara normal dibuktikan

pada sampel biologi pada kadar yang sangat rendah (0.3-1.2 µg/L dalam serum

dan 2.0-6.0 µg/L dalam urine) (Christensen, 1995; Templeton et al, 1994). Kadar

nikel dalam urin dapat digunakan untuk memonitor peningkatan paparan nikel dan

kadar/konsentrasi diatas 0.5 mg/LdL menunjukkan tanda-tanda serius (Tsai et al,

1996)

3.4. Hubungan antara Umur dengan Kadar Nikel dalam Urin pada Pekerja

Pelapis Logam

Hubungan antara umur dan Kadar Nikel dalam urin pada pekerja pelapis

logam disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Tabulasi Silang Hubungan antara Umur dengan Kadar Nikel dalam Urin

Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014

Katagori

umur

Kadar Nikel Total

P ≥ median < median

n % n % n %

>34 17 47.2 19 52.8 36 100 1.000

<34 14 46.7 16 53.3 30 100

Total 31 47.0 35 53.0 66 100

Hasil uji statistik menggunakan chi square menunjukkan nilai p sebesar

1.000, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara umur pekerja

pelapis logam dengan kadar nikel dalam urin pekerja. Meskipun tidak ada

hubungan terlihat bahwa pada usia lebih dari 34 tahun terdapat 47.2% pekerja

yang memiliki kadar nikel dalam urinnya lebih dari nilai median (65.7 µMol/L).

Angka ini lebih besar dibandingkan pada kelompok usia kurang dari 34 tahun.

No. Kadar nikel n %

1 Lebih dari median ( 65.7 µMol/L) 31 46.97

2 Kurang dari median (65.7 µ Mol/L) 35 53.03

Jumlah 100 100.00

Page 117: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

103

3.5. Hubungan antara Masa kerja dengan Kadar Nikel dalam Urin pada

Pekerja Pelapis Logam

Tabel 4 menunjukkan tabulasi silang hubungan antara masa kerja dengan

kadar nikel pada pekerja pelapis logam. Proporsi kadar nikel lebih besar dari

median lebih besar terjadi pada masa kerja lebih dari 14 tahun, yaitu sebesar 51.6

% dibanding pada usia kurang dan sama dengan 14 tahun yaitu hanya sebesar 42.9

%.

Tabel 4. Tabulasi Silang Hubungan antara Masa Kerja dengan Kadar Nikel dalam

Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014

Katagori

masa kerja

Kadar Nikel Total

P ≥ median < median

n % n % n %

>14 16 51.6 16 48.4 31 100 0.642

≤14 15 42.9 20 57.1 35 100

Total 31 47.0 35 53.0 66 100

Meskipun demikian hasil uji statistik dengan menggunakan chi square

menunjukkan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kadar nikel dalam

urin dengan nilai p = 0.642. Menurut Phoon, masa kerja yang lebih panjang

membantu tenaga kerja beradaptasi terhadap lingkungan kerjanya dan memiliki

pengalaman yang lebih baik dalam bekerja dibandingkan dengan pekerja dengan

masa kerja yang pendek ( Phoon, 1988).

3.6. Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kadar Nikel dalam Urin pada

Pekerja Pelapis Logam

Hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja

pelapis logam dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 5. Tabulasi Silang Hubungan antara Jenis Pekerjaan dengan Kadar Nikel

dalam Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal , 2014

Katagori

Jenis

Pekerjaan

Kadar Nikel Total

P ≥ median < median

n % n % n %

Pencelup 22 59.5 15 40.5 37 100 0.047

Bukan

pencelup

9 31.0 20 69.0 29 100

Total 31 47.0 35 53.0 66 100

Tabel 5 menjelaskan hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel

urin pada pekerja pelapis logam. Adapun pekerjaan pada pelapisan logam terdiri

atas pekerjaan pencelup dan non pencelup. Hasil uji statistik dengan

menggunakan chi square menunjukkan ada hubungan antara jenis pekerjaan

dengan kadar nikel pada urin pekerja pelapis logam dengan nilai p = 0.047. dan

OR 3.259 ( CI =1.170-9.079). Ini berarti pekerjaan pencelup memiliki peluang

3.26 kali lebih besar untuk memiliki kadar nikel dalam urin diatas median (65.7

µMol/L) dibandingkan dengan pekerjaan non pencelup. Pekerja pencelup

memiliki risiko yang lebih besar karena bekerja menghadapi bak pelapis, terpapar

uap bahan kimia secara langsung dan tidak menggunakan alat pelindung diri.

Page 118: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

104

Selain itu ventilasi yang tidak adekuat membuat uap nikel terkumpul di sekitar

bak elektroplating (Kiilunen et al., 1997; Greenberg et al., 2003)

3.7. Hubungan antara Status Gizi dengan Kadar Nikel dalam Urin pada

Pekerja Pelapis Logam

Hubungan antara status gizi dengan kadar nikel dalam urin pekerja pelapis

logam dapat dilihat pada tabel 6. Status gizi pada penelitian ini terbagi atas

normal, gemuk dan gemuk sekali.

Tabel 6. Tabulasi Silang Hubungan antara Status gizi dengan Kadar Nikel dalam

Urin Pekerja Pelapis Logam di Talang Kabupaten Tegal, 2014

Katagori

Status Gizi

Kadar Nikel Total

p ≥ median < median

n % n % n %

Normal 18 52.9 16 47.1 34 100 0.41

Gemuk 4 80.0 1 20.0 5 100

Gemuk sekali 9 33.3 18 66.7 27 100

Total 31 47.0 35 53.0 66 100

Hasil uji statistik menggunakan chi square menunjukkan nilai p sebesar

0.096, sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara status gizi pekerja

pelapis logam dengan kadar nikel dalam urin pekerja. Tubuh memerlukan zat

makanan untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan kerusakan sel dan pertumbuhan,

dimana tingkat gizi seseorang berkaitan erat dengan kesehatan dan daya kerja.

Banyaknya kalori yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan harus terpenuhi

dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Jika asupan gizi tidak terpenuhi

maka kemampuan pekerja akan berkurang dan mudah letih (Suma’mur PK, 1994)

4. Kesimpulan

1. Kadar nikel dalam urin pekerja pelapis logam berkisar antara 9.52 µMol/L-

185.98 µMol/L. Adapun rerata nikel dalam urin pekerja adalah sebesar 72.52

µMol/L dan median 65.70 µMol/L. Sebanyak 53.03 % pekerja memiliki kadar

nikel dalam urinnya kurang dari median

2. Umur pekerja terbanyak adalah > 34 tahun yaitu sebesar 54.5 %. Sedangkan

masa kerja terbanyak adalah kurang atau sama dengan 14 tahun yaitu sebesar

53.03 %. Jenis pekerjaan terbanyak adalah pencelup logam yaitu sebesar 56.06

%. Adapun status gizi responden terbagi atas normal, gemuk, dan gemuk

sekali. Sebagian besar responden memiliki status gizi normal yaitu sebesar 51.5

%.

3. Tidak ada hubungan antara umur dengan kadar nikel dalam urin pada pekerja

pelapis logam ( nilai p = 1.000).

4. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kadar nikel dalam urin pada

pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.642).

5. Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kadar nikel dalam urin pada

pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.041).

6. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan kadar nikel dalam urin pada

pekerja pelapis logam ( nilai p = 0.096)

Page 119: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

105

Daftar Pustaka

Bavazzano P, Bolognesi R, Cassinelli C , 1994, Skin Contamination and low

airborne nickle exposure of elektroplaters, Sci Total Environ 155:83

Christensen, J, 1995, Human exposure to toxic Metal: Factors influencing

interpretation of biomonitoring result, Sci Total Environ 166: 89

Denkhaus, E, K. Salnikow, 2002, Nickel Essencially, toxicity, and carcinogenicity

of nickel compounds, Crit.Rev, Oncol.Hematol, 42 , 35-56

Greenberg, Michael I. Richard J.H., Scott, D.P., Gayla J.M., 2003. Occupational,

Industrial and Environmental Toxicology, second edition, Philadelphia:

Mosby

International Agency for Reseach on Cancer, IARC, 1990, Monographs on the

Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, vol 49, Chromium, Nickel

and Welding, IARC, Scientific Publication , Lyon, 257-445

International Committe on Nickels Carcinogenesis in Man,1990, Report of the

International Commiite on Nickel carcinogenesis in Man, Scand J Work

Environ Health , 6:1-82

Kasprzak, K.S., F. William Sunderman Jr, Konstantin Salnikow, 2003, Nickel

Carcinogenesis, Mutation Research 533 , 67-97

Kiilunen m, Aitio A, Tossavainen A, 1997, Occupational exposureto Nickel salts

in electroplatic aplating, Ann, Occup Hyg 41 (2):189

Phoon, W.1988,Practical Occupational Health, Singapore: PG. Publishing

Rendall, R, Phillips J, Renton K, 1994, Death following exposure to fine

particulate nickel from a metal process. Ann Occup Hyg , 38: 921

Suma’mur, PK, 1994, Hiperkes Keselamatan Kerja dan Ergonomi, jakarta: Darma

Bakti Muara Agung

Suyono, Joko . Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta, 2001

Tsai, PJ, Vincent JH, Wahl G et al, 1996 , Occupational exposure to inhalable and

Total aerosol in the primary nickelproduction industry, Occup Environ Med

%3 (2): 793

Page 120: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

106

Hubungan Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja

Karyawan Game4Indo Yogyakarta

Suci Khoiriyah, Nor Wijayanti

Prodi Kesehatan Masyarakat STIKES Surya Global Yogyakarta

Jalan Ring Road Selatan Blado Potorono Banguntapan Bantul

Tel. 1085768767540, 2087737022904

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Kebisingan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki bersumber dari alat-alat proses

produksi dan atau alat-alat yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan

pendengaran. Pengukuran kebisingan tempat kerja Game4indo Yogyakarta rata-rata 89,4

dB, melebihi nilai ambang batas berdasarkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999, nilai

ambang batas adalah 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

Kelelahan diartikan suatu kondisi menurunnya efisiensi, performa kerja dan

berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk melanjutkan kegiatan.

Game4indo Yogyakarta setiap harinya karyawan terpapar kebisingan 6-8 jam per hari

atau 40 jam per minggu tanpa waktu istirahat. Adanya shift malam berturut-turut tanpa

hari libur setelah bekerja. Kelelahan yang dikeluhkan seperti telinga berdengung hingga

pusing, mudah lelah diawal bekerja, cepat mengantuk, tidak fokus, rasa malas bekerja.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja

karyawan Game4indo Yogyakarta. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan

pendekatan cross sectional. Teknik sampel dengan total populasi (sampling jenuh).

Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh karyawan Game4indo berjumlah 32 orang.

Pengumpulan data kebisingan menggunakan alat Sound Level Meter dan data kelelahan

menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Resource Committe). Analisis data

menggunakan uji Kendall’s Tau SPSS versi 21.

Ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta

dengan nilai P-value 0,043 < α (0,05).

Kata kunci: karyawan, kebisingan, kelelahan kerja.

1. Pendahuluan

Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta

prakteknya yang bertujuan agar tenaga kerja/masyarakat tenaga kerja memperoleh

derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial dengan

usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang

diakibatkan oleh faktor tenaga kerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap

penyakit umum.1 Sehat digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental dan sosial

seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan

juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan tenaga

kerjaannya.2 Kesehatan kerja dapat tercapai secara optimal jika tiga komponen

kerja berupa kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja dapat berinteraksi

secara baik dan serasi.1

Kebisingan adalah sebagai bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai

dengan kontek ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap

kenyamanan dan kesehatan manusia.3 Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja

Page 121: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

107

No. KEP-15/MEN/1999 mendefinisikan kebisingan sebagai semua suara yang

tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat

yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.4 Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan No. 718/Menkes/Per/XI/ 1987, kebisingan adalah

terjadinya bunyi yang tidak diinginkan sehingga mengganggu dan atau dapat

membahayakan kesehatan. Bising ini merupakan kumpulan nada-nada dengan

bermacam-macam intensitas yang tidak diingini sehingga mengganggu

ketentraman orang terutama pendengaran.5

Kelelahan dapat diartikan sebagai suatu kondisi menurunnya efisiensi,

performa kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus

melanjutkan kegiatan yang harus dilakukan.6 Pengaruh kebisingan terhadap

tenaga kerja antara lain mengurangi kenyamanan dalam bekerja, tetapi tidak

semua tenaga kerja terganggu akan kebisingan yang ada, hal ini disebabkan

mereka sudah terbiasa oleh kondisi yang ada dalam jangka waktu yang lama.

Kebisingan dapat mengganggu komunikasi atau percakapan antar tenaga kerja,

mengganggu konsentrasi, menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara

maupun yang permanen.2

Pengukuran kebisingan tempat kerja Game4indo Yogyakarta rata-rata 89,4

dB, melebihi nilai ambang batas berdasarkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999,

nilai ambang batas adalah 85 dB dengan waktu pemaparan 8 jam sehari atau 40

jam seminggu. Game4indo Yogyakarta setiap harinya karyawan terpapar

kebisingan 6-8 jam per hari atau 40 jam per minggu tanpa waktu istirahat. Adanya

shift malam berturut-turut tanpa hari libur setelah bekerja. Kelelahan yang

dikeluhkan seperti telinga berdengung hingga pusing, mudah lelah diawal bekerja,

cepat mengantuk, tidak fokus, rasa malas bekerja.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kebisingan di Game4indo

Yogyakarta, mengetahui tingkat kelelahan karyawan Game4indo Yogyakarta dan

mengetahui hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo

Yogyakarta.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional.

Teknik sampel dengan total populasi (sampling jenuh). Populasi dan sampel

penelitian adalah seluruh karyawan Game4indo Yogyakarta berjumlah 32 orang.

Pengumpulan data kebisingan menggunakan alat Sound Level Meter dan data

kelelahan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Resource Committe).

Metode analisis data dengan analisis univariat untuk mengestimasi parameter

populasi untuk data numerik, menggambarkan setiap variabel yang diteliti secara

terpisah dengan cara membuat tabel frekuensi dari masing-masing variabel serta

menggunakan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel

yaitu variabel bebas dan terikat.7 Penelitian ini analisis bivariat dilakukan dengan

uji Kendall’s Tau SPSS versi 21.

Page 122: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

108

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik Responden

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Di Game4indo

Yogyakarta Tahun 2015 No. Usia (Tahun) Frekuensi (F) Persentase (%)

1. < 20 6 18,75

2. 21-30 26 81,25

Total 32 100

Tabel 1, data responden berdasarkan usia bahwa sebagian besar responden

dalam penelitian ini berusia 21- 30 tahun dengan jumlah 26 responden atau

persentase sebesar 81,25%.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Game4indo

Yogyakarta Tahun 2015 No. Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)

1. Laki-laki 20 62,5

2. Perempuan 12 37,5

Total 32 100

Tabel 2, data responden berdasarkan jenis kelamin bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 responden atau persentase 62,5

%. Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Game4indo

Yogyakarta Tahun 2015 No. Pendidikan Frekuensi (F) Persentase (%)

1 SD 1 3,1

2 SMA 24 75

3 D3 2 6,3

4 S1 5 15,6

Total 32 100

Tabel 3, data responden berdasarkan pendidikan bahwa responden sebagian

besar dengan pendidikan SMA sebanyak 24 responden atau persentase 75%.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Bekerja Di

Game4indo Yogyakarta Tahun 2015

No. Lama Bekerja

(Tahun) Frekuensi (F) Persentase (%)

1. < 1 21 65,6

2. 1-2 6 18,8

3. 2-3 4 12,5

4. 3-4 1 3,1

Total 32 100

Tabel 4, data responden berdasarkan lama bekerja bahwa sebagian besar

lama bekerja kurang dari setahun sebanyak 21 responden persentase 65,6%.

Page 123: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

109

3.1.2. Analisis Data

Tabel 5. Hasil Pengukuran Kebisingan Di Game4indo Yogyakarta

Tahun 2015 No. Hasil Rata-rata Pengukuran Kebisingan Frekuensi (F) Persentase (%)

1. Standar (dibawah NAB yakni < 85) 6 18,75

2. Lebih dari Standar (diatas NAB yakni ≥ 85) 26 81,25

Total 32 100

Tabel 5, data hasil rata-rata pengukuran kebisingan menunjukkan bahwa

nilai kebisingan dibawah NAB atau memenuhi standar yakni dibawah 85 dB

berada pada kategori yang sudah sesuai dengan standar NAB yang ditetapkan

Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999 dengan frekuensi 6 titik pengukuran atau

persentase 18,75 %. Data hasil rata-rata pengukuran kebisingan menunjukkan

bahwa nilai kebisingan diatas atau sama dengan NAB atau melebihi standar NAB

yang ditetapkan Kepmenaker Nomor 51/MEN/1999 dengan frekuensi 26 titik

pengukuran atau persentase 81,25 %.

Tabel 6. Kelelahan Responden (Skor Kelelahan Dengan Kuesioner IFRC)

Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 No. Kelelahan Frekuensi (F) Persentase (%)

1. Ringan 7 21,85

2. Sedang 18 56,30

3. Tinggi 7 21,85

Total 32 100

Tabel 6, data kelelahan responden menunjukkan bahwa skor kelelahan

dengan kuesioner IFRC sebagian besar responden mengalami kelelahan sedang

dengan frekuensi 18 responden atau persentase 56,3%.

Tabel 7. Data Kebisingan Dengan Kelelahan Kerja Karyawan

Di Game4indo Yogyakarta Tahun 2015

Kebisingan

Kelelahan Jumlah

Rendah Sedang Tinggi

F % F % F % F %

Standar 3 9,375 3 9,375 0 0 6 18,75

Lebih dari

Standar 4 12,5 15 46,875 7 21,875 26 81,3

Total 7 21,875 18 56,25 7 21,87 32 100

Tabel 7, data kebisingan dengan kelelahan kerja diketahui bahwa kebisingan

dalam kategori standar atau di bawah NAB dengan kelelahan rendah memiliki

frekuensi 3 responden atau persentase 9,375%, kelelahan sedang memiliki

frekuensi 3 responden atau persentase 9,375%. Kebisingan dalam kategori lebih

dari standar atau atau sama dengan NAB dengan kelelahan rendah memiliki

frekuensi 4 responden atau persentase 12,5%, kelelahan sedang memiliki

frekuensi 15 responden atau persentase 46,875%, kelelahan tinggi memiliki 7

responden atau persentase 21,875%.

Page 124: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

110

3.1.3. Hasil Uji Kendall’s Tau

Tabel 8.Hasil Uji Statistik Hubungan Kebisingan dengan Kelelahan Kerja Di

Game4indo Yogyakarta Tahun 2015 Correlations

Nilai

Kebisingan

Kategori

kelelahan

Kendall's

tau_b

Nilai Kebisingan

Correlation

Coefficient

1,000 ,346*

Sig. (2-tailed) . ,043

N 32 32

Kategori

kelelahan

Correlation

Coefficient

,346* 1,000

Sig. (2-tailed) ,043 .

N 32 32

Tabel 8, nilai p-value 0,043 <α (0,05). Ho ditolak dan Ha diterima berarti

ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo

Yogyakarta.

3.2. Pembahasan

Pengukuran kebisingan di Game4indo Yogyakarta yang melebihi dari

standar atau sama dengan NAB (≥ 85 dB) didapatkan nilai kebisingan rata-rata

dengan persentase sebesar 81,25 %, sesuai standar atau dibawah NAB (<85 dB)

didapatkan persentase 18,75%. Hasil tersebut dibandingkan dengan Kepmenaker

No. 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di tempat

kerja yang menyebutkan NAB untuk pemajanan 8 jam per hari atau 40 jam dalam

satu minggu adalah sebesar 85 dB.4 Kebisingan dapat memaparkan suara bising

pada waktu pemajanan 4 menit/hari dan karyawan harus memakai ear plug dalam

bekerja, karena ear plug dapat mengurangi intensitas kebisingan suara antara 10-

15 dB.2

Pengukuran kelelahan kerja karyawan di Game4indo Yogyakarta

didapatkan bahwa untuk kelelahan ringan sebanyak 7 responden atau persentase

21,85%, kelelahan sedang sebanyak 18 responden atau persentase 56,30% dan

kelelahan tinggi sebanyak 7 responden atau persentase 21,85%. Kelelahan

berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh, selain itu juga

menyebabkan seseorang berhenti bekerja seperti halnya kelelahan fisiologis

berakibatkan tertidur. Kelelahan mudah ditiadakan dengan beristirahat. Tetapi,

jika dipaksakan bekerja terus (tidak beristirahat), kelelahan akan bertambah dan

dapat mengganggu kesehatan.8

Hasil uji Kendall’s Tau pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai p-value

0,043 < α (0,05), Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada hubungan kebisingan

dengan kelelahan kerja karyawan Game4indo Yogyakarta. Hasil penelitian

tentang kebisingan ini sesuai dengan penelitian Fredianta,dkk (2013) yang

menyatakan bahwa semua titik pengukuran tingkat kebisingan tiap operator

pekerja melebihi NAB di PT XYZ.9 Berikut pula dengan penelitian Muizzudin

(2013) yang menyatakan ada hubungan antara kelelahan kerja dengan

produktivitas kerja pada tenaga kerja bagian tenun di PT. Alkatex Tegal, dengan

menggunakan metode analisa data yakni Chi square Test.10

Penelitian lain tentang

Page 125: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

111

kelelahan kerja yang hasilnya mendukung yaitu penelitian Fahri, dkk (2010)

menyatakan rata-rata kebisingan diantara 90,87 dB sampai dengan 93,67 dB dan

hasil uji statistik korelasi dan regresi membuktikan nilai p = 0,041 hal ini

membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan perasaan

kelelahan kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi.11

Penelitian dari Hanifa

(2005) menyatakan ada pengaruh kebisingan terhadap kelelahan menggunakan uji

korelasi Pearson membuktikan ada hubungan antara kebisingan dengan kelelahan

pada tenaga kerja Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani

Semarang.12

4. Kesimpulan

1. Kebisingan yang tidak sesuai standar atau diatas NAB dengan frekuensi 26

responden atau persentase sebesar 81,25 %, kebisingan yang sesuai standar

atau dibawah NAB dengan frekuensi sebanyak 6 responden atau persentase

18,75 %.

2. Kelelahan kerja kategori kelelahan ringan dengan frekuensi 7 responden atau

persentase 21,85%, kelelahan sedang dengan frekuensi 18 responden atau

persentase 56,3% dan kelelahan tinggi dengan frekuensi sebanyak 7 responden

atau persentase 21,85%.

3. Hasil uji Kendall’s Tau didapatkan nilai p-value 0,043<α (0,05). Ho ditolak dan

Ha diterima, berarti ada hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja karyawan

Game4indo Yogyakarta.

Daftar Pustaka

1. Suma’mur, P.K., Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Edisi Revisi,

Jakarta, Gunung Agung, 2014.

2. Budiono, A.M. Sugeng, Yusuf R.M.S, Pusparini, A, Bunga Rampai Hiperkes

dan K3, Semarang, BP Universitas Diponegoro, 2013.

3. Sasongko, D., Kebisingan Lingkungan, Semarang, Universitas BP Diponegoro,

2009.

4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-51.MEN/1999 Tentang Nilai

Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja, Jakarta, Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi RI, 1999.

5. Keputusan Menteri Kesehatan No.718/Menkes/Per/XI/1987 Tentang

Kebisingan, Jakarta, Departemen Kesehatan RI, 1987.

6. Anizar, Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri, Yogyakarta,

Graha Ilmu, 2012.

7. Notoatmodjo, S, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta,

2012.

8. Suma’mur, P.K, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta, Gunung

Agung, 2009.

9. Fredianta, G.D., Huda, N.L., Ginting, E., Analisis Tingkat Kebisingan Untuk

Mereduksi Dosis Paparan Bising Di PT.XYZ, e-Jurnal Teknik Industri FT

USU, Vol 2, No. 1, Mei 2013 pp. 1-8

10. Muizzudin, A., Hubungan Antara Kelelahan Kerja Dengan Produktivitas

Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Tenun di PT. Alkatex Tegal, Skripsi,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013.

Page 126: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

112

11. Fahri, S., Pasha, E., Kebisingan Dan Tekanan Panas Dengan Perasaan

Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Bagian Drilling Pertamina EP Jambi,

Prossiding Seminar Nasional Unimus, Semarang, ISBN: 978.979.704.883.9,

2010.

12. Hanifa, Y. T., Pengaruh Kebisingan Terhadap Kelelahan Pada Tenaga Kerja

Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani Semarang. Skripsi,

Universitas Negeri Semarang, 2005.

Page 127: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

113

Pengaruh Frekuensi Menyusui terhadap Keluhan Sakit Punggung

Pada Pekerja Wanita di Perusahaan Garmen

Yeremia Rante Ada’, Sumardiyono Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126

Tel. 081347122037, 08562838920

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Sakit akibat kerja yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah sakit atau nyeri

punggung yaitu 22% dari 1.700.000 kasus. Pekerja di perusahaan garmen umumnya

didominasi oleh pekerja wanita, yang dalam salah satu siklus kehidupannya adalah

memasuki fase menyusui dan di sisi lain masih harus bekerja untuk menopang ekonomi

keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh frekuensi menyusui terhadap

keluhan sakit punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen di Surakarta.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei bersifat analitik dengan metode cross

sectional. Populasi penelitian ini meliputi pekerja wanita dalam siklus menyusui pada 5

perusahaan garmen di Surakarta. Sampel penelitian 67 orang diambil menggunakan

purposive quota sampling dengan kriteria: wanita menyusui, usia 20-40 tahun. Analisis

statistik menggunakan Chi square Test.

Hasil analisis menunjukkan ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit

punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen (X2=9,656; p=0,002; C=0,355;

OR=5,1 CI=1,768-14,712). Sedangkan variabel lain diperoleh: umur (X2=0,567;

p=0,451), bagian kerja (X2=3,993; p=0,262), IMT (X2=0,007; p=0,932), masa kerja

(X2=2,125; p=0,145).Dengan demikian variabel pengganggu seperti umur, bagian kerja,

IMT, dan masa kerja tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung.

Frekuensi menyusui berpengaruh secara signifikan sebesar 35% dan berisiko 5 kali lebih

besar terhadap keluhan sakit punggung pada pekerja wanita di perusahaan garmen.

Kata kunci: frekuensi menyusui, sakit punggung.

1. Pendahuluan

Hampir semua orang dapat mengalami sakit/nyeri punggung pada

aktivitaskehidupannya. Sakit punggung berbedaterhadap satu orang ke orang lain

dan tingkat risikonya bisa ringan sampai parah, serta jangka waktunya bisa

singkat maupun panjang. Sakit punggung adalah rasa sakit/nyeri yang terletak di

bagian belakang tubuh manusia dari leher sampai ke tulang ekor. Sakit punggung

merupakan salah satu cedera fisik paling umum untuk pekerja, tidak hanya

mereka yang bekerja di lapangan tetapi juga bagi mereka yang bekerja di kantor

maupun industri. Nyeri punggung tidak hanya terjadi untuk mereka yang bekerja

mengangkat benda berat, tetapi dapat terpapar risiko sakit punggung jika

beraktivitas duduk di kursi kerja, bisa pada saat bekerjapada komputer sepanjang

hari, menjahit dengan posisi duduk, atau berdiri untuk jangka waktu lama. Hal

yang lebih buruk apabila nyeri punggung bisa menjadi sesuatu yang serius yang

dapat menjadi cedera jangka panjang. Sakit punggung sulit untuk dipulihkan,

maka lebih baik untuk mencegahnya. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan

sakit punggung (The President Post, 2012).

Page 128: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

114

Pernyataan dari Wirawan (2004) yang mengutip hasil penelitian yang

dilakukan oleh Community Oriented Program for Controle of Rheumatic Disease

(COPORD),di Indonesia menunjukan prevalensi nyeri punggung 18,2 % pada

laki-laki dan 13,6 % pada wanita. Selanjutnya Tarwaka dkk (2004) mengutip

pernyataan National Safety Council yang melaporkan bahwasakit akibat kerja

yang frekuensi kejadiannya paling tinggi adalah sakit/nyeri pada punggung, yaitu

22% dari 1.700.000 kasus.

Salah satu risiko terjadinya sakit punggung akan dialami oleh para pekerja

di perusahaan garmen. Pekerja di perusahaan garmen umumnya didominasi oleh

pekerja wanita, yang dalam salah satu siklus kehidupannya adalah memasuki fase

melahirkan, menyusui, menopause dan disisi lain masih harus bekerja untuk

menopang ekonomi keluarga.Nyeri punggung pada wanita menopause biasanya

terkait erat dengan kondisi tulang punggung.Susunan tulang punggung manusia

sangat kompleks, teratur, pas tingginya, dan ada ujung saraf yang keluar di antara

ruas-ruas tulang. Tulang punggung berbeda dari tulang kering karena lebih

longgar dan berongga. Sumber sakit punggung paling umum adalah otot-otot yang

lemah atau kaku di daerah punggung, perut, dan urat-urat lutut. Masalah

punggung sering diperparah oleh gaya hidup sekarang yang lebih banyak duduk,

sehingga menyebabkan ketegangan di punggung tetapi juga dapat menyebabkan

kegemukan

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei bersifat analitik dengan

metode cross sectional. Populasi penelitian ini adalah pekerja wanita yang masih

dalam siklus menyusui, dilakukan pada 5 perusahaan garmen di Surakarta.

Sampel penelitian 67 orang diambil menggunakan purposive quota sampling

dengan kriteria: wanita menyusui, usia 20-40 tahun. Analisis statistik

menggunakan Chi square Test.

3. Hasil Penelitian

3.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah subjek penelitian yang digunakan sebagai sampel sebanyak 67 orang

wanita di perusahaan garmen yang bekerja pada bagian Sewing, QC, Packing, dan

bagian lainnya. Subjek bekerja 8 jam perhari dengan 1 jam istirahat. Pengukuran

terhadap variabel penelitian saat pekerja melaksanakan pekerjaannya pada shift

pagi. Data karakteristik subjek penelitian tersaji pada tabel 1.

Variabel utama yang diteliti adalah frekuensi menyusui bayi di malam hari

yang dilakukan oleh subjek penelitian. Subjek penelitian adalah wanita/ibu-ibu

yang memiliki bayi, yang dalam aktivitasnya di rumah selain merawat bayi juga

menyusui bayinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi rata-rata

menyusui dalam 2 hari terakhir dari 67 orang subjek yang diteliti diperoleh data

minimal 1 kali dan maksimal 7 kali. Nilai rata-rata frekuensi menyusui adalah 4,2

sehingga kategorinya pertama < 4 kali per malam dan kategori kedua > 4 kali per

malam.

Page 129: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

115

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

No Karakteristik Jumlah

(Orang)

Total Subjek

(orang) % Total (%)

1. Frekuensi Menyusui

< 4 kali per malam 40 67

60 100

> 4 kali per malam 27 40

2. Umur

< 28 tahun 36 67

54 100

> 28 tahun 31 46

3. Bagian Kerja

Sewing 32 67

48 100

QC 8 12

Packing 2 3

Lainnya 25 37

4. Indeks Massa Tubuh

Normal / Kurus 50 67

75 100

Gemuk/ Obesitas 17 25

5. Masa Kerja

< 6 tahun 37 67

55 100

> 6 tahun 30 45

3.1.2. Hasil Pengukuran Sakit Punggung

Keluhan sakit punggung diukur dengan kuesioner Nordic Body Map. Hasil

pengukuran keluhan sakit punggung terhadap 67 orang subjek penelitian tersaji

pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Keluhan Sakit Punggung No Kriteria Jumlah (Orang) % % Kumulatif

1 Ada Keluhan Sakit

Punggung

40 59,7 100

2 Tidak Ada Keluhan Sakit

Punggung

27 40,3

Hasil pengukuran terhadap 67 orang subjek penelitian ditemukan 59,7%

merasakan keluhan sakit/nyeri punggung, sedangkan 40,3% tidak merasakan

keluhan sakit/nyeri punggung. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa 2/3

tenaga kerja wanitasubjek penelitian yang diukur mengalami keluhan sakit

punggung.

Karakteristik pekerjaan di industri garmenpada umumnya sangat berkaitan

erat dengan sikap kerja yang ergonomis, meliputi posisi kerja duduk,posisi

berdiri,material handling, ketelitian cukup tinggi, tingkat pengulangan kerja

tinggi pada satu jenis otot, berinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting

dan pisau potong, dan paparan bahaya lingkungan kerja.Permasalahan ergonomi

kerja di industri garmen terutama sangat terkait dengan posisi postur tubuh pada

saat bekerja. Seperti yang dilaporkan oleh David (1999), diantara penyakit kerja

yang terkait dengan kondisi lingkungan kerja di persahaan garmen antara lain

70% operator jahit mengalami sakit punggung.

Page 130: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

116

3.1.3. Hasil Uji Statistik Pengaruh Frekuensi Menyusui terhadap Keluhan

Sakit Punggung

Untuk mengatahui apakah ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap

keluhan sakit punggung pada wanita pekerja perusahaan garmen, seberapa besar

pengaruhnya, dan seberapa besar nilai risikonya, maka dilakukan uji statistik

dengan menggunakan Chi Square Test, Contingency Coeficient, dan Odd Ratio.

Hasil uji tersaji pada tabel 3.

Tebel 3. Hasil Uji Statistik Pengaruh Frekuensi Menyusui

Terhadap Keluhan Sakit Punggung

Frekuensi

Menyusui

Keluhan Sakit

Punggung Jumlah

X2 p C OR Ada

Keluhan

Tidak Ada

Keluhan

n % n % n %

< 4 kali per malam

> 4 kali per malam

30

10

75

37

10

17

25

63

40

27

100

100 9,656 p=0,002 0,355 5,1

Jumlah 40 60 27 40 67 100

Dari tabel 1 tersaji pada kelompok subjek dengan kategori frekuensi

menyusui < 4 kali per malam, sebanyak 40 orang yang mengeluh sakit punggung

75% dan tidak mengeluh sakit punggung 25%. Sedangkan subjek dengan kategori

frekuensi menyusui > 4 kali per malam, sebanyak 27 orang yang mengeluh sakit

punggung 37% dan tidak mengeluh sakit punggung 63%.

Adanya pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan sakit punggung

dibuktikan melalui Chi Square Test yang diperoleh nilai uji X2=9,656 pada

p=0,002. Oleh karena nilai p < 0,05 maka hasil uji dinyatakan signifikan. Dengan

demikian dapat dinyatakan ada pengaruh frekuensi menyusui terhadap keluhan

sakit punggung. Frekuensi menyusui > 4 kali per malam yang dilakukan wanita

mempengaruhi timbulnya keluhan sakit punggung ditunjukkan oleh nilai

C=0,355. Dengan demikian frekuensi menyusui > 4 kali per malam menyebabkan

timbulnya keluhan sakit punggung sebesar 35,5%, sedangkan faktor lain yang

mempengaruhi keluhan sakit punggung sebesar 84,5%. Faktor risiko frekuensi

menyusui > 4 kali per malam berisiko mengalami keluhan sakit punggung.

Besarnya risiko untuk mengalami keluhan sakit punggung pada wanita yang

menyusui bayinya > 4 kali per malam dibandingkan frekuensi menyusui < 4 kali

per malam sebesar 5 kali yang ditunjukkan oleh nilai OR=5,1.

3.1.4. Hasil Uji Statistik Variabel Pengganggu terhadap Keluhan Sakit

Punggung

Untuk mengetahui apakah keluhan sakit punggung juga dipengaruhi oleh

variabel pengganggu, maka dilakukan uji statistik. Karena banyak variabel

pengganggu yang secara teoritis mempengaruhi keluhan sakit punggung, maka

penelitian ini hanya mengambil umur, bagian kerja, indeks massa tubuh (IMT),

dan masa kerja. Umur diukur dengan wawancara yang dibuktikan diperkuat data

kepegawaian perusahaan. Bagian kerja diukur dengan kuesioner yang diperkuat

oleh pernyataan kepala bagian produksi. IMT diukur dengan mengukur tinggi

badan dalam meter dan berat badan dalam kg yang selanjutnya nilai IMT dihitung

dengan rumus. Masa kerja diukur dengan data kepegawaian perusahaan.

Page 131: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

117

Tabel 4. Hasil Uji Statistik Variabel Pengganggu

terhadap Keluhan Sakit Punggung

Variabel

Keluhan Sakit Punggung

Jumlah X

2 p Keterangan

Ada

Keluhan

Tidak Ada

Keluhan

N % n % n %

Umur

< 28 tahun

> 28 tahun

23

17

64

55

13

14

36

45

36

31

100

100 0,567 0,451

Tidak Signifikan

Bagian Kerja

Sewing

QC

Packing

Lainnya

19

4

0

17

59

50

0

68

13

4

2

8

41

50

100

32

32

8

2

25

100

100

100

100

3,993 0,262

Tidak Signifikan

IMT

Normal / Kurus

Gemuk/ Obesitas

30

10

60

59

20

7

40

41

50

17

100

100 0,007 0,932

Tidak Signifikan

Masa Kerja

< 6 tahun

> 6 tahun

25

15

68

50

12

15

32

50

27

30

100

100 2,125 0,145

Tidak Signifikan

Untuk mengetahui seberapa besar faktor-faktor luar menyebabkan keluhan

sakit punggung antara lain umur, bagian kerja, indeks massa tubuh, dan masa

kerja maka dilakukan uji statistik untuk mengetahui apakah ada pengaruh faktor-

faktor tersebut terhadap timbulnya keluhan sakit punggung. Umur terendah 20

tahun dan tertinggi 37 tahun dengan nilai rata-rata 28,01 tahun, maka digunakan

kategori < 28 tahun dan > 28 tahun. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh

faktor umur terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05). Bagian kerja

dikategorikan menjadi 4 kalegori, yaitu Sewing, Quality Control, Packing, dan

bagian lain. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh bagian kerja terhadap

keluhan sakit punggung (p > 0,05). Indeks massa tubuh terendah 15,82kg/m2 dan

tertinggi 31,9 kg/m2. Data menunjukkan IMT dengan kategori kurus (kekurangan

berat badan tingkat ringan) = 13 orang, kategori normal = 37 orang, kategori

gemuk (kelebihan berat badan tingkat ringan) = 9 orang dan sangat gemuk

(kelebihan berat badan tingkat berat) = 8 orang.Dalam hal ini IMT dikategorikan

menjadi 2 kelompok dengan menggabungkan kurus dan normal menjadi

kelompok normal sebanyak 50 orang, dan gemuk dan sangat gemuk menjadi

kategori gemuk sebanyak 17 orang. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh

faktor IMT terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05).Masa kerja terendah 1

tahun dan tertinggi 14 tahun dengan nilai rata-rata 6,19 tahun, maka digunakan

kategori < 6 tahun dan >6 tahun. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh faktor

masa kerja terhadap keluhan sakit punggung (p > 0,05).

3.2. Pembahasan

Pekerja wanita di industri garmen merupakan mayoritas dari keseluruhan

pekerja dibanding laki-laki. Dilihat dari permasalahan kesehatan kerja,pekerja

memiliki risiko penyakit yang berhubungan dengan otot dan rangka atau yang

dikenal dengan sebutan musculoskeletal disorders (MSDs), dimana salah satunya

adalah nyeri punggung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita sebagai ibu yang sedang

menyusui bayinya lebih dari 4 kali per malam memiliki risiko yang lebih tinggi

Page 132: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

118

dibanding ibu yang menyusui bayinya kurang dari frekuensi 4 kali per malam.

Tugas wanita yang lebih berat dibanding laki-laki akan terbawa dampaknya ke

tempat kerja dikarenakan pekerja wanita ini harus melakukan peran ganda dalam

mendukung ekonomi rumah tangga. Dampak yang muncul bisa saja diawali

dengan kelelahan karena harus bangun malam hari untuk menyusui bayinya,

sehingga besoknya pada saat bekerja tidak dalam kondisikerja yang fit,

selanjutnya akan mengalami keluhan gangguan sakit punggung.

Akibat dari nyeri punggung yang terjadi pada para pekerja dapat

menyebabkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan dan lambat laun dapat

menyebabkan perubahan fisik (Suma’mur, 2009). Hasil penelitian ini senada

dengan apa yang disampaikan oleh Davies (2007), yang menyatakan bahwa jenis

kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri pada punggung,

karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada siklus

menstruasi maupun menyusui. selain itu proses menopouse juga dapat

menyebabkan kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen

sehingga memungkinkan terjadinya nyeri punggung. Terkhusus pada wanita

menyusui maka faktor frekuensi atau seringnya menyusui di malam hari

berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung.

Dalam penelitian ini, umur tertinggi 37 tahun dengan rata-rata 28,01 tahun

tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung. Hal ini sependapat dengan

teori yang disampaikan oleh Tarwaka (2004), yang menyampaikan bahwa pada

umumnya keluhan otot skeletal (salah satunya adalah otot punggung) mulai

dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Dimana keluhan pertama dirasakan

pada umur 35 tahun dan keluhan terus meningkat seiring bertambahnya umur

(Tarwaka, 2004).

Penelitian lain oleh Lutam (2005), didapatkan bahwa faktor-faktor

determinan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri punggung salah satunya

adalah status perkawinan. Pada wanita yang menikah memiliki risiko 4,12 kali

(OR=4,12; 95% CI= 1,50-11,27) untuk mengalami keluhan sakit/nyeri punggung.

Berbeda dengan penelitian Lutam (2005), pada penelitian ini subjek tidak hanya

menikah namun sudah pada tahapan menyusui bayinya. Selanjutnya disampaikan

oleh Lutam (2005), status gizi mempunyai hubungan yang bermakna secara

statistik pada uji bivariat,tetapi tidak termasuk pada faktor determinan untuk

terjadinya nyeri punggung; sedangkan umurtidak mempunyai hubungan yang

bermakna secara statistik dengan nyeri punggung.

Dalam penelitian ini, variabel pengganggu yaitu masa kerja dengan kategori

< 6 tahun dan > 6 tahun tidak berpengaruh terhadap keluhan sakit punggung (p >

0,05). Namun hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Khaizun

(2013), yang menyatakan ada pengaruh masa kerja dengan kategori < 4 tahun dan

≥4 tahun terhadap keluhan subjektif pada punggung pekerja tenun sarung ATBM

di Pemalang (p=0,02; OR=5). Dengan demikian, perbedaan hasil penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya adalah kategori masa kerja.

4. Kesimpulan

Ada pengaruh frekuensi menyusui dengan frekuensi > 4 kali per

malamterhadap keluhan sakit punggung (X2=9,656; p=0,002). Faktor frekuensi

menyusui > 4 kali per malam menyebabkan timbulnya keluhan sakit punggung

sebesar 35,5%, sedangkan 84,5% disebabkan oleh faktor lain. Besarnya risiko

Page 133: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

119

untuk mengalami keluhan sakit punggung pada wanita yang menyusui bayinya >

4 kali per malam dibandingkan frekuensi menyusui < 4 kali per malam sebesar 5

kali (OR=5,1).

Daftar Pustaka

Davies, Kim. 2007. Nyeri Tulang Dan Otot, terjemahan oleh Dina Mardiana.

Jakarta: Erlangga.

Khaizun, 2013. “Faktor Penyebab Keluhan Subyektif Pada Punggung Pekerja

Tenun Sarung ATBM di Desa Wanarejan Utara Pemalang”. Skripsi.

Semarang: Jurusan IKMFIK UNNES.

Lutam, 2005. “Analisis Nyeri Punggung dengan Faktor-Faktor yang Berhubungan

Pada Pekerja Wanita di Penjahitan Pakaian PT X Gunung Putri Bogor Tahun

2005”. Tesis.Perpustakaan Universitas Indonesia, http://www.digilib.ui.ac.id/

opac/themes/libri2/detail.jsp?id=85383.

Suma'mur, P.K., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).

Jakarta: Sagung Seto.

The President Post, 2012. Pencegahan Nyeri Punggung di Kantor.

Tarwaka, Solichul HA. Bakri dan Sudiajeng, Lilik. 2004. Ergonomi Untuk

Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, Cetakan I, Surakarta:

UNIBA Press.

Wirawan RB, 2004. “Diagnosis dan Manajemen Nyeri Pinggang”. Kumpulan

makalah Towards Mechanism-Based pain Treatment, the Recent Trends and

Current Evidences. Yogyakarta, pp: 105-8.

David, Mahone. 1999. Ergonomics in the Textile and Apparel Industries.

Chicago: CNA Insurance Companies.

Page 134: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

120

Keluhan Gangguan Pernapasan Ditinjau dari Kadar Debu Total,

Masa Kerja, Behavior Based Safety (BBS) Karyawan

PT Borneo Melintang Buana Eksport Kabupaten Sleman

Sitti Fatimah Rahmansyah, Dwi Nurani Ohorella,

Hening Rizky Permata, Mahfi Yusuf Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana

Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tel. 082348079742, E-mail: [email protected]

Abstrak

PT Borneo Melintang Buana Eksport (BMB) merupakan salah satu industri yang

bergerak dalam produksi mebel untuk diekspor ke luar negeri. Hazard potential yang

terdapat sangat dominan di perusahaan ini adalah debu kayu dalam proses produksi yang

dijalankan. Di sisi lain, para pekerja yang terpapar dengan debu kayu tersebut tampak

tidak patuh terkait behavior-based safety (BBS), sehingga dicurigai debu kayu tersebut

dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pernapasan mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar debu total, masa kerja,

behavior-based safety terhadap gangguan pernapasan pada bagian produksi di PT BMB.

Pengambilan data dilakukan secara cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif.

Pengukuran kadar debu total menggunakan dust meter, BBS diukur dengan menggunakan

kuesioner, masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan dikaji melalui wawancara.

Kuesioner diuji validitas dan reliabilitasnya pada karyawan yang tidak menjadi responden

di PT BMB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dan behavior-

based safety terhadap keluhan pernapasan. Masa kerja memiliki p-value sebesar 0,631

sedangkan behavior-based safety memiliki p-value sebesar 1,000. Keluhan pernapasan

yang terjadi disebabkan oleh kandungan debu yang ada di lingkungan kerja yang

melebihi NAB tempat kerja yaitu sebesar 9,9323 mg/m3. Tidak ada hubungan antara

masa kerja dan behavior-based safety terhadap keluhan pernapasan. Keluhan disebabkan

karena tingginya kadar debu di lingkungan tempat kerja.

Kata kunci: Behavior-based safety, debu total, gangguan pernapasan, masa kerja.

1. Pendahuluan

Dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), perusahaan dan tenaga

kerjanya mendapatkan tantangan untuk meningkatkan produktivitas kerja melalui

penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) agar dapat bersaing dan tetap

bertahan. Salah satu upaya untuk menerapkan K3 adalah dengan mengendalikan

bahaya yang muncul di lingkungan kerja, baik itu bahaya kecelakaan akibat kerja

(KAK) maupun bahaya penyakit akibat kerja (PAK)1.

PT BMB jika diamati secara langsung, tampak masalah faktor lingkungan

kerja yang dapat mempengaruhi kesehatan maupun keselamatan kerja pekerjanya.

Salah satunya adalah debu kayu yang muncul dari berbagai aktivitas yang

dilakukan dalam proses produksi. Di sisi lain, tampak beberapa pekerjaan tidak

menggunakan alat pelindung diri (APD) dalam bekerja untuk melindungi

pernapasanannya dari paparan debu.

Page 135: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

121

Studi membuktikan bahwa terjadi penurunan fungsi paru pada pekerja

industri mebel akibat paparan debu kayu2. Penelitian lain menemukan pada

pekerja mebel kayu Kota Jayapura menemukan bahwa kadar debu kayu yang

terhirup berhubungan dengan kapasitas vital paksa paru karyawan mebel

tersebut3. Penggunaan masker dan kadar debu total juga berhubungan dengan

keluhan pernapasan 4,5

. Di sisi lain, tidak ditemukan adanya hubungan penurunan

fungsi paru dengan paparan debu kayu pada karyawan industri mebel6.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku penggunaan APD atau

masker berhubungan dengan gangguan pernapasan. Penggunaan masker memiliki

hubungan yang signifikan dengan gangguan keluhan pernapasan7, 8

. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara masa kerja serta BBS

dengan keluhan gangguan paru oleh pekerja unit produksi PT BMB, serta untuk

menganalisis bagaimana kondisi lingkungan khususnya kadar debu total dalam

ruangan kerja unit produksi PT BMB.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi potong lintang, dengan pengambilan data

untuk variabel terikat dan variabel bebas dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Penelitian dilakukan di perusahaan mebel PT BMB Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta pada minggu terakhir bulan Maret 2016. Populasi pada

penelitian ini adalah seluruh karyawan di bagian produksi PT BMB Kabupaten

Sleman Yogyakarta. Didapatkan jumlah sample sebesar sejumlah 153 responden

dengan derajat kesalahan sebesar 5%.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar debu total, masa kerja, serta

Behavior Based Safety pada karyawan PT BMB Kabupaten Sleman. Variabel

terikat adalah keluhan subjektif gangguan pernapasan9. Kadar debu total diperoleh

dengan pengukuran menggunakan dust meter. Pengukuran ini dilakukan oleh tim

ahli pengukuran faktor fisik lingkungan kerja dari Balai Hiperkes Yogyakarta.

Masa kerja, diperoleh dengan menggunakan lembar pertanyaan. Behavior Based

Safety diperoleh menggunakan lembar pertanyaan. Keluhan gangguan pernapasan

dilakukan menggunakan lembar pertanyaan.

Analisa data dilakukan secara deskriptif, untuk menggambarkan kadar debu

total dalam ruang kerja, masa kerja, behavior based safety serta keluhan gangguan

pernapasan. Bivariat dengan menggunakan chi square, untuk menganalisis

hubungan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat.

3. Hasil Penelitian

3.1. Analisis Univariat

Berdasarkan tabel 1, diperoleh hasil bahwa pekerja laki-laki memiliki

persentase yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerja perempuan yakni

sebesar 83,66%. Pekerja lulusan SMA/sederajat adalah yang paling banyak

dengan nilai sebesar 78,43% dan pekerja lulusan D3 hanya sekitar 0,65%. Dari

data yang telah diperoleh, mayoritas pekerja merokok dengan angka sebesar

52,94%. Selain itu para pekerja juga mengeluhkan adanya keluhan pernapasan

seperti batuk, pilek, sesak napas, bahkan nyeri dada dengan frekuensi sebesar

73,9%. Perilaku keselamatan para pekerja secara keseluruhan sebesar 50,3% dan

pekerja yang bekerja di PT BMB ini mayoritas adalah pekerja baru dengan

frekuensi sebesar 54,2%.

Page 136: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

122

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan, Status

Merokok, dan Keluhan Pernapasan Karakteristik Jumlah (n) Frekuensi (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 128 83,66

Perempuan 25 16,34

Pendidikan

SD 19 12,42

SMP 12 8,50

SMA 120 78,43

D3 1 0,65

Status Merokok

Merokok 81 52,94

Tidak 46 30,07

Pernah 26 16,99

Keluhan Pernapasan

Ada keluhan 113 73,9

Tidak ada keluhan 40 26,1

Behavior based safety

Tidak baik 76 49.7

Baik 77 50.3

Masa kerja

Baru 83 54.2

Lama 70 45.8

Tabel 2 menjelaskan bahwa kadar debu dalam ruangan kerja di PT BMB

telah melebihi NAB yaitu sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB = 1 mg/m

3). Di sisi lain,

kadar debu di luar ruangan diperoleh nilainya hampir mendekati baku mutu

lingkungan yaitu sebesar 210, 43 µg/m3 (baku mutu = 230 µg/m

3).

Tabel 2. Pengujian Kadar Debu Pada PT BMB Export10

Lokai NAB/ Baku Mutu Satuan Hasil Analisa Keterangan

Dalam ruang kerja 1 mg/m3 9,9323 Melebihi NAB

Luar ruang kerja 230 µg/m3 210,43 Di bawah baku mutu

3.2. Analisis bivariat

Tabel 3. Hubungan Masa Kerja dan Behavior Based Safety

dengan Keluhan Pernapasan Responden

Variabel Keluhan pernapasan

P-value Ada keluhan Tidak ada keluhan

Masa Kerja

0,631 Baru 60 (72,3%) 23 (27,7%)

Lama 53 (74,7%) 17 (24,3%)

Behavior based safety

1,000 Baik 56 (73,7%) 20 (26,3%)

Tidak baik 57 (74%) 20 (26%)

Tabel di atas menjelaskan bahwa sebagian besar karyawan memiliki keluhan

pernapasan, baik ditinjau dari masa kerja maupun behavior based safety.

Meskipun banyak karyawan yang memiliki keluhan pernapasan, secara statistik

Page 137: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

123

keluhan pernapasan tidak berhubungan dengan masa kerja maupun behavior

based safety.

4. Pembahasan

Kemampuan fisik seseorang akan berangsur-angsur menurun seiring dengan

bertambahnya masa kerja. Masa kerja sangat berpengaruh dimana jika seorang

pekerja melakukan pekerjaan di bidang tertentu selama bertahun-tahun dilakukan

maka tidak menutup kemungkinan akan mengalami keluhan yang bisa berakibat

fatal. Dampak dari semakin lamanya seseorang bekerja dapat menyebabkan

gangguan pada fungsi paru dan terjadinya akumulatif timbunan debu ini

berhubungan dengan masa kerja pekerja11

. Namun, berdasarkan hasil olah data,

diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan

pernapasan dengan nilai p-value sebesar 0,631. Hal ini sejalan dengan penelitian

sebelumnya bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan

pernapasan4. Masa kerja lebih dari 5 tahun tidak berpengaruh terhadap keluhan

pernapasan12

. Hal ini tergantung dari dosis paparan dan jenis debu yang terhirup

tiap harinya. PT BMB menggunakan beberapa jenis kayu tergantung kebutuhan

produksinya, yaitu kayu jati, kayu jawa dan kayu Palembang. Adapun jenis kayu

selain kayu jati memiliki partikel yang lebih kecil dan halus serta lebih mudah

terhirup oleh pekerja meskipun telah menggunakan masker. Hal inilah yang

memungkinkan keluhan pernapasan yang dialami oleh pekerja ini cenderung

disebabkan oleh jenis kayu yang diolah. Tidak adanya hubungan antara masa

kerja dengan keluhan pernapasan kemungkinan disebabkan karena mayoritas

responden memiliki masa kerja yang relatif lebih singkat serta berdasarkan dari

wawancara langsung kepada responden, keluhan pernapasan yang sering mereka

alami seperti batuk, pilek, sesak napas dan nyeri dada lebih cenderung terjadi saat

kondisi fisik lemah dan karena pengaruh cuaca serta jenis kayu yang mereka olah.

Behavior based safety (BBS) terdiri atas perilaku penggunaan alat pelindung

diri, persyaratan keselamatan dan inisiatif keselamatan. Berdasarkan data,

diperoleh hasil bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara perilaku behavior

based safety dengan keluhan pernapasan dengan nilai p-value sebesar 1,000. Hal

ini kemungkinan disebabkan karena keluhan yang dialami oleh pekerja

diakibatkan oleh partikel debu. Para pekerja mengaku bahwa meskipun mereka

menggunakan masker tetapi debu tetap masuk ke dalam masker. Selain itu,

keluhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keluhan subjektif yang berarti

bahwa keluhan pada individu itu tergantung pada kepekaan individu itu sendiri.

Penyebab lain kemungkinan diakibatkan karena keluhan yang dialami oleh

pekerja tergantung pada kondisi lingkungan.

Secara keseluruhan, masa kerja lama, masa kerja baru, BBS baik ataupun

BBS tidak baik, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keluhan pernapasan

pekerja. Berdasarkan data dari Hiperkes, partikel debu diruang kerja melebihi

nilai ambang batas yaitu sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB: 1 mg/m

3).

5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Masa kerja dan behavior-based safety tidak memiliki hubungan yang

signifikan secara statistik terhadap keluhan pernapasan di PT. Borneo Melintang

Buana. Namun, keluhan pernapasan disebabkan karena kadar debu di lingkungan

Page 138: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

124

tempat kerja sangat tinggi yang melebihi nilai ambang batas yakni di dalam ruang

produksi sebesar 9,9323 mg/m3 (NAB = 1 mg/m

3), serta di luar ruangan sebesar

210, 43 µg/m3 (baku mutu = 230 µg/m

3).

5.2. Saran

PT Borneo Melintang Buana disarankan melakukan upaya pengendalian

kadar debu total di area produksi. Penggunaan alat pelindung diri yang lebih

sesuai agar paparan debu dapat diminimalisir sehingga pekerja terlindungi dari

penyakit akibat kerja. Pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan untuk

mendeteksi dini kemungkinan adanya penyakit paru.

6. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak pengelola PT. Borneo

Melintang Buana Export karena telah mengizinkan kami untuk melakukan

penelitian di perusahaan tersebut. Ucapan terima kasih kami pula kepada pihak

pekerja yang telah membantu memberikan informasi selama penelitian ini

berlangsung.

Daftar Pustaka

1. Suma’mur, P.K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja

(HIPERKES). Jakarta: CV Sagung Seto

2. Jacobsen, G., Schlunssen V., Schamburg I., Taudorf E., Sigsgaard T. 2008

Longitudinal Lung Function Decline and Wood Dustr Exposure in the

Furniture Industry. European Respiratory Journal 31: 334-342

3. Irjayanti, A., Nurjazuli, Ari W. 2012. Hubungan Kadar Debu Terhirup

(Respirable) Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Mebel Kayu di

Kota Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 11(2): 182-186

4. Sholikhah, A.M., Sudarmaji. 2015. Hubungan Karakteristik Pekerja dan

Kadar Debu Total dengan Keluhan Pernapasan pada Pekerja Industri Kayu X

di Kabupaten Lumajang. Jurnal Kesehatan Lingkungan 1 (1): 1-12.

5. Istiharini, D., Yuantari, MG.C., Hartini, E. 2013. Studi Kadar Debu Kapas di

Udara pada Pengolahan Kaps UD Tuyaman Desa Sidomukti Weleri

Kabupaten Kendal Tahun 2013. Jurnal Online Universitas Dian Nuswantoro

http://eprints.dinus.ac.id/id/eprint/6500

6. Baran, S., Swietlik K., Teul I. 2009. Lung Function: Occupational Exposure

to Wood Dust. European Journal of Medical Research 14 (5): 14-17.

7. Laga, H., Russeng, S.S., Wahyu, A. 2013. Faktor yang berhubungan dengan

kapasitas paru tenaga kerja di kawasan industri mebel antang makassar.

Jurnal online kesehatan masyarakat universitas hasanuddin

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/6712.

8. Ashari, A., Naiem, M.F., Rahim, M.R. 2013. Gambaran Keluahan Gangguan

Kesehatan pada Operator Percetakan Kota Makassar Tahun 2013. Jurnal

Online Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin http://repository.unh

as.ac.id/handle/123456789/6019

9. Rab, T. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates

10. Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. 2016. Laporan Pengujian Tanggal 26

Februari 2016. Yogyakarta: Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Page 139: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

125

11. Fahmi, T. 2012. Hubungan Masa Kerja dan Penggunaan APD dengan

Kapasitas Fungsi Paru pada Pekerja Tekstil Bagian Ring Frame Spinning I di

PT. X Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1 (2): 828-835

12. Kandung, R.P.B. 2013. Hubungan antara Karakteristik Pekerja dan

Pemakaian Alat Pelindung Pernafasan (Masker) dengan Kapasitas Fungsi

Paru pada Pekerja Wanita bagian Pengampelasan di Industri Mebel “X”.

Jurnal Kesehatan Masyarakat 2 (1)

Page 140: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

126

Pengurangan Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

di Rumah Sakit X Kota Padang Tahun 2016

Fadillah Ulva, Adi Heru Sutomo, Agus Surono Minat Utama Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Abstrak

Tuntutan pengelolaan program keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit (K3RS)

semakin meningkat. Pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat di sekitar rumah sakit

berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja.

Keselamatan pasien merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan K3RS.

Berkaitan dengan hal tersebut RS X telah membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah

Sakit sejak tahun 2011. Program pertama dari tim ini yaitu membudayakan keselamatan

pasien. Pencapaian dari program ini belum 100% atau belum optimal.

Tujuan penelitian untuk mengkaji budaya keselamatan pasien di RS X dilihat dari aspek

pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dengan penerapan hand hygiene.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Subyek

penelitian diambil secara purposive sampling berjumlah 7 orang. Instrumen penelitian

melakukan wawancara mendalam, panduan pedoman wawancara berdasarkan instrumen

akreditas rumah sakit tahun 2012. Observasi langsung dan telaah dokumen untuk

mendukung data wawancara.

Pengurangan risiko infeksi di RS X melalui penerapan lima momen untuk cuci tangan.

Praktik hand hygiene sudah mulai dilakukan walaupun belum optimal. Praktik hand

hygiene belum berjalan pada semua momen cuci tangan. Hal ini dikarenakan oleh

beberapa kendala seperti sarana dan prasarana yang belum maksimal serta kesadaran

masing-masing individu.

Upaya penerapan keselamatan pasien di RS X melalui praktek hand hygiene belum

terpenuhi secara optimal. Sarana dan prasarana perlu dilengkapi.

Kata kunci: budaya keselamatan pasien, hand hygiene, keselamatan dan kesehatan kerja

di rumah sakit.

1. Pendahuluan

Keselamatan telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada

lima isu penting yang terkait dengan keselamatan di rumah sakit yaitu:

keselamatan pasien, keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan

bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap

keselamatan pasien dan petugas, dan keselamatan lingkungan (green

productivity). Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk

dilaksanakan di setiap rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas

utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra

perumahsakitan (Kemenkes RI, 2010).

Institute of Medicine di Amerika Serikat pada tahun 2000 menerbitkan

laporan yang mengagetkan banyak pihak: “TO ERR IS HUMAN”, Building a

Safer Health System. Laporan itu mengemukakan angka kematian akibat KTD

pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta berkisar

44.000–98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan

Page 141: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

127

angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai negara antara lain Amerika,

Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2–16,6%.

Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan

mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien (Depkes RI, 2008).

Data tentang KTD di Indonesia apalagi kejadian nyaris cedera (near Miss)

masih langka. Namun kejadian kesalahan medis pada pasien telah banyak

dilaporkan dalam beberapa kasus yang mendapatkan kerugian bermakna bagi

pasien. Raharjo (2006) yang mengutip dari Herkutanto (2004) melaporkan adanya

126 kasus tuduhan malpraktek terhadap rumah sakit selama periode 1999 sampai

2004. Majelis Kode Etik Kedokteran juga mencatat 41 kasus malpraktek di DKI

Jakarta selama Juli–September 2003. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh

Indonesia telah mengambil inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien

Rumah Sakit untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit maka

(Beginta, 2012).

Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

dijelaskan bahwa rumah sakit di Indonesia diwajibkan untuk meningkatkan mutu

pelayanan melalui akreditasi rumah sakit minimal dalam jangka waktu 3 (tiga)

tahun sekali. Standar akreditasi rumah sakit terdiri dari empat kelompok, yang

salah satunya adalah kelompok sasaran keselamatan pasien. Sehingga

keselamatan pasien merupakan bagian yang sangat penting dalam akreditasi

rumah sakit (KARS, 2012).

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada Juli 2014 diketahui

bahwa RS X di Padang belum terakreditasi baik akreditasi nasional maupun JCI.

Tim keselamatan pasien RS X di Padang dibentuk pada tahun 2011. Tim

keselamatan pasien dipimpin oleh Direktur Medik dan Keperawatan. Tim

keselamatan pasien memiliki Sembilan program kerja. Pencapaian dari program

ini belum 100% atau belum optimal. Salah satu upaya dalam menerapkan budaya

keselamatan pasien yaitu pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengurangan

risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan RS X di Padang.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus

(case study) yang bertujuan mendiskripsikan keadaan, menilai, serta mengetahui

tentang pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X. Subyek

dalam penelitian ini adalah Sekretaris Tim Keselamatan Pasien RS X, Anggota

Tim Keselamatan Pasien RS X, dan perawat di instalasi rawat inap RS X

sebanyak 5 orang. Variabel dalam penelitian ini adalah pengurangan risiko infeksi

terkait pelayanan kesehatan

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan

wawancara yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam (in depth

interview). Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi (pengamatan

langsung) dengan menggunakan lembar checklist, alat tulis dan tape recorder

sebagai alat perekam. Data sekunder diperoleh dengan pemanfaatan dokumen-

dokumen yang ada di RS X dengan informan sebagai sumber data. Analisis data

dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,

kategori dari satuan uraian dasar, sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian dapat terlaksana.

Page 142: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

128

3. Hasil dan Pembahasan

RS X telah membuat acuan dalam hand hygiene. Acuan yang digunakan

yaitu dari WHO. Upaya pengurangan infeksi melalui prosedur hand hygiene

dinilai sebagai cara yang efektif dalam pengurangan rantai infeksi. Hal ini

disampaikan oleh informan 4.

“Sangat bagus untuk mengurangi risiko penularan ke pasien lain, dari satu

pasien ke pasien lain terutama saat ini kan kita sudah banyak pasien kita

yang menderita MRSA kan” (Informan 4)

Penerapan prosedur hand hygiene masih mengalami beberapa kendala yaitu

masih kurangnya sarana dan prasarana serta perilaku individu yang masih belum

terbiasa. Hal ini disampaikan oleh informan 4.

“Ditanya sarana hand hygiene disini sangat kurang, salah satunya dibilang

kurang kita cuma punya washtoffel untuk hand wash satu unit, kalau

handrubs kita punya ditiap-tiap pintu kamar pasien yang sudah pasang.

Cuma untuk washtoffel kita cuma punya satu unit, itu sudah beberapa kali

kita minta. Namun belum ada tindak lanjut” (Informan 4)

Penempatan lokasi handrub juga perlu diperhatikan. Handrub yang tersedia

hanya satu unit yang dipasang di dinding pintu masuk ruang perawatan. Hal ini

akan menyulitkan tenaga medis dalam melaksanakan prosedur hand hygiene,

sesuai dengan yang disampaikan oleh informan 2.

“Udah berjalan cuma kadang dokter ribet, dia setiap melakukan tindakan

harus cuci, setelah itu ulang lagi, mungkin yang pertamanya saja dia

lakukan. Kadang ingat kadang tidak. Tapi ribet juga kan, tergantung

sebenarnya. Tapi sarananya gak mendukung. Sebenarnya gimana supaya

tidak ribet yang dipikirkan. Misalnya dibangsal, ada 10 orang kontak

dengan satu pasien kalau cuci tangan keluar dulu, masuk lagi, keluar lagi.

Ndak mungkin, menambah waktu lebih lama kan. Habis waktunya untuk

itu, belum lagi diagnosanya” (Informan 2)

Pengurangan risiko infeksi di RS X dilakukan dengan penerapan lima

momen untuk cuci tangan. SPO terkait hand hygiene telah disosialisasikan kepada

semua petugas baik melalui surat edaran, pertemuan pre-conference, pamflet, dan

simulasi. Petugas telah mengetahui tentang pentingnya hand hygiene dalam upaya

pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Namun dalam prakteknya

belum terlaksana.

Sarana dan prasarana hand hygiene di RS X belum sepenuhnya tersedia.

Terdapat beberapa unit yang belum mempunyai fasilitas cuci tangan sehingga

harus pergi ke unit disampingnya. Selain itu, penyedian handrub juga terkadang

tidak tepat waktu. Hal tersebut menjadi kendala dalam upaya perubahan perilaku

untuk mengurangi risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2014) di ruang rawat inap rumah

sakit menunjukkan bahwa kepatuhan hand hygiene perawat ruang rawat inap

rumah sakit masih rendah (35%). Angka kepatuhan yang tinggi ditemukan pada

momen sesudah kontak atau melakukan tindakan sedangkan kepatuhan cuci

tangan sebelum kontak sangat rendah bahkan nol pada momen sebelum kontak

dengan pasien.

Page 143: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

129

Masih rendahnya kepatuhan hand hygiene dapat dipengaruhi oleh beberapa

hal, yaitu antara lain faktor pengetahuan dan penguatan monitoring atau

pengawasan. Selain itu juga diperlukan mekanisme sangsi dan penghargaan yang

merupakan determinan dalam kepatuhan hand hygiene.

Carpenter dalam Mulyatiningsih (2013) menjelaskan bahwa cara yang

paling umum diperolehnya infeksi adalah melalui peralatan seperti kateter saluran

kemih, infus, pembedahan dan ventilator. Infeksi yang mungkin terjadi adalah

infeksi saluran kemih, plebitis, pneumonia berhubungan dengan pemakaian

ventilasi mekanik dan infeksi luka operasi berhubungan dengan tindakan

pembedahan.

Infeksi dan penyebaran infeksi dapat dikurangi melalui upaya pencegahan.

Menurut Storr (2005) tidak semua infeksi dapat dicegah namun proporsi yang

signifikan yang mempengaruhi infeksi dapat dihindari adalah perilaku dan praktik

staf dalam berinteraksi dengan pasien. Mengatasi infeksi di perawatan dengan

membuat sesuatu yang sesederhana mungkin sehingga mudah dilaksanakan dan

tujuan terhadap pengendalian dan pencegahan infeksi dapat tercapai.

Mencuci tangan dianggap sebagai salah satu tindakan terpenting untuk

mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi. Penelitian

Semmelweis dan banyak penelitian lainnya memperlihatkan bahwa penularan

penyakit menular dari pasien ke pasien mungkin terjadi melalui tangan petugas

kesehatan. Menurut Boyce, menjaga kebersihan tangan dengan baik dapat

mencegah penularan infeksi nosokomial.

Hand hygiene merupakan istilah yang digunakan untuk mencuci tangan

menggunakan antiseptic pencuci tangan. Pada tahun 2009, WHO mencetuskan

global patient safety challenge dengan clean care is safe care, yaitu merumuskan

inovasi strategi penerapan hand hygiene untuk petugas kesehatan dengan “My

Five Moments for Hand Hygiene”. Lima momen cuci tangan, yaitu melakukan

cuci tangan sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan prosedur

bersih dan steril, setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien, setelah

bersentuhan dengan pasien, setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien.

4. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang pengurangan risiko

infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X belum berjalan secara optimal.

Penerapan pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS X masih

terkendala oleh aspek sarana dan prasarana, proses perubahan perilaku. Selain itu,

kebijakan terkait dengan keselamatan pasien belum ada hanya panduan atau SPO

yang telah tersedia.

Saran yang direkomendasikan peneliti yaitu bagi manajemen diharapkan

melakukan pengawasan secara berkala terhadap pelaksanaan pengurangan risiko

infeksi terkait pelayanan kesehatan. Fasilitas sarana dan prasarana perlu

dilengkapi. Bagi manajemen supaya mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan

tentang keselamatan pasien berdasarkan pada Permenkes No. 1691/Menkes/Per/

VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Bagi kepala keperawatan,

sebaiknya melakukan pendekatan secara berkelanjutan kepada perawat dan

menerapkan safety talk dan safety briefing. Bagi perawat diharapkan dapat

menerapkan upaya pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS

X.

Page 144: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

130

Daftar Pustaka

1. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor: 1087/MENKES/SK/VIII/2010: Standar Kesehatan dan

Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta.

2. Herkutanto. (2004). Kualitas Visum Et Repertum (VeR) Perlukaan di Jakarta

dan Faktor yang Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Indonesia.

2004;54(9):355-61

3. Depkes, RI. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

4. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (2012). Instrumen Akreditasi Rumah

Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta.

5. Kementerian Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009

tentang Rumah Sakit. Jakarta

6. Beginta, R. (2012). Pengaruh Budaya Keselamatan pasien, Gaya

Kepemimpinan, Tim Kerja, Terhadap Persepsi Pelaporan Kesalahan

Pelayanan Oleh Perawat Di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Bekasi tahun 2011. [Tesis]. Jakarta: Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia.

7. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) (2012). Instrumen Akreditasi Rumah

Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta.

8. Bea, I.F., Syahrir A.P., Noer. B.N. (2013). Gambaran Budaya Keselamatan

pasien di Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Tahun 2013 [Jurnal] disitasi

dari repository.unhas.ac.id pada tanggal 22 Juli 2014.

9. Muslim, M. Fauzan. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawat

Dalam Melaksanakan Identifikasi Pasien di Rumah Sakit Puri Indah Jakarta

Barat [Skripsi] disitasi dari http://digilib.esaunggul.ac.id pada tanggal 23

Februari 2015.

10. Nilsson, L., Lindeeroet, O., Gupta, A., & Vegfors, M. (2009). Implementing a

pre-operative checklist to increase patient safety: a 1-year follow-up of

personnel attitudes. Journal Compilation. Vol.54/No.2 halaman 176-182.

Diunduh melalui <http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1399-

6576.2009.02109.x/abstract> [Diakses 23 Februari 2015].

11. Mulyatiningsih, Sri. (2013). Determinan Perilaku Perawat Dalam

Melaksanakan Keselamatan Pasien di Rawat Inap RSAU Dr Esnawan

Antariksa Jakarta [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

12. Choo, J. Hutchinson, A., & Bucknall, T. (2010). Nurses' role in medication

safety. Journal of Nursing Management. Vol.18/No.5 halaman 853-861.

Diunduh melalui <http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-

2834.2010.01164.x/abstract> [Diakses 5 Januari 2015].

13. Flynn, L., Liang, Y., Dickson, G.L., Xie, M., & Suh, D.C. (2012). Nurses’

practice environments, error interception practices, and inpatient medication

errors. Journal of Nursing Scholarship Vol.44/No.22 halaman 180-186.

Diunduh melalui <http://onlinelibrary.w iley.com/enhanced/doi/10.1111/j.

1547-5069.2012.01443.x/> [Diakses 6 Januari 2015].

14. Ernawati, Elies, Asih Tri R, dan Satra Wiyanto. (2014) Penerapan Hand

hygiene Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran

Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014 halaman 89-94.

Page 145: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

131

Analisis Faktor Penyebab Musculoskeletal Disorders

Dengan Metode Rapid Upper Limb Assessment

Pada Staf Kependidikan UNIDA

Tofan Agung E.P, Eka Rosanti, Ratih Andhika A.R, Edwina Rudyarti Universitas Darussalam Gontor

Jl. Raya Siman Km.5 Siman, Ponorogo

Tel. (0352) 483762 E-mail: [email protected], [email protected],

[email protected], [email protected]

Abstrak

Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor memilliki staf kependidikan dengan mayoritas

pekerjaan di depan komputer atau Visual Display Unit (VDU) setiap hari dan merupakan

salah satu pekerjaan yang berisiko menimbulkan musculoskletal disorders (MSDs)

(Wahlstroom, 2005). Beberapa staff kependidikan menyatakan bahwa mereka mengalami

rasa nyeri pada bagian punggung dan leher. Fasilitas yang digunakan termasuk kursi dan

meja mempengaruhi postur tubuh staf sehingga menjadi kurang ergonomis. Penelitian ini

bertujuan untuk melakukan analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan

musculoskeletal disorders dengan metode RULA pada staff kependidikan UNIDA

Gontor.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Populasi penelitian adalah staf

kependidikan yang bekerja di UNIDA Gontor yang berjumlah 20 orang. Metode

pengambilan sampel yaitu total populasi sehingga sampel berjumlah 20 orang. Variabel

keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) diukur dengan metode Nordic Body Map

(NBM) dan variabel antropometri pekerja diukur menggunakan busur untuk ukuran tubuh

dan RULA untuk postur tubuh. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan cross

tab dan Koefisien Korelasi (KK).

Hasil uji kekuatan hubungan (koefisien korelasi) umur (0.283), masa kerja (0.189),

kebiasaan merokok (0.330) dengan musculoskeletal disorders dalam kategori rendah.

Kekuatan hubungan (koefisien korelasi) antara antropometri stasiun kerja (0.418) dengan

musculoskeletal disorders dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil analisis data dapat

diketahui bahwa analisis antropometri dan postur tubuh operator dengan metode RULA

menunjukkan semua responden pada action level 2, yang artinya penyelidikan lebih jauh

dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan. Mayoritas (12 orang) staf

kependidikan UNIDA Gontor mengalami keluhan tingkat rendah musculoskeletal

disorders.

Kata kunci: musculoskeletal disorders, RULA, staff kependidikan, UNIDA.

1. Pendahuluan

Gangguan musculoskeletal adalah masalah kesehatan yang paling umum di

Uni Eropa yaitu 25 – 27% dari pekerja Eropa mengeluh sakit punggung dan 23%

nyeri otot. Hasil studi Departemen Kesehatan dalan profil masalah kesehatan di

Indonesia tahun 2005, menunjukkan bahwa sekitar 40,5% penyakit yang diderita

pekerja sehubungan dengan pekerjaannya. Gangguan kesehatan yang dialami

pekerja, menurut penelitian yang dilakukan terhadap 9.482 pekerja di 12

kabupaten atau kota di Indonesia, umumnya berupa penyakit musculoskeletal

disorders (16%), kardiovaskuler (8%), gangguan saraf (3%) dan gangguan THT

(1,5%) (1).

Page 146: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

132

Universitas Darussalam Gontor merupakan Universitas baru yang memilliki

staf kependidikan dengan mayoritas pekerjaan di depan komputer setiap hari.

Pekerjaan di depan komputer atau disebut Visual Display Unit (VDU) merupakan

salah satu pekerjaan yang berisiko menimbulkan musculoskletal disorders (MSDs)

(2). Berdasarkan studi observasi awal, beberapa staf kependidikan menyatakan

bahwa mereka mengalami rasa nyeri pada bagian punggung dan leher. Selain itu

fasilitas yang digunakan termasuk kursi dan meja mempengaruhi postur tubuh staf

sehingga menjadi kurang ergonomis. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin

melakukan penelitian mengenai analisis faktor yang berhubungan dengan keluhan

musculoskeletal disorders staff kependidikan UNIDA Gontor.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross sectional.

Penelitian dilakukan di UNIDA Gontor Ponorogo pada bulan Mei 2014. Populasi

penelitian ini adalah staf kependidikan yang bekerja di UNIDA yang berjumlah

20 orang dengan pengambilan sampel secara total.

Variabel bebas penelitian ini adalah umur, kebiasaan merokok, masa kerja, indeks

massa tubuh, iklim kerja, antropometri pekerja, sedangkan variabel terikat yaitu

keluhan Musculoskeletal Disorders. Variabel umur, kebiasaan merokok dan masa

kerja diperoleh menggunakan kuesioner. Variabel indeks massa tubuh (IMT),

iklim kerja, akan dilakukan pengukuran oleh petugas dari laboratorium. Variabel

Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) diukur dengan metode Nordic Body

Map (NBM). Variabel antropometri pekerja didapatkan dari pengukuran dengan

menggunakan busur untuk ukuran tubuh dan RULA untuk postur tubuh.

Teknik pengolahan data dilakukan meliputi editing, coding, entry dan

cleaning. Analisis data dilakukan menggunakan cross tab dan koefisien korelasi

(KK).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Faktor Individu

Tabel 2. Antropometri dan postur tubuh responden Bagian tubuh

terukur

Posisi berdiri (cm) Bagian tubuh

terukur

Posisi duduk

Mean Min Max Mean Min Max

Jangkauan tangan 209,4 201 223 Lebar bahu 42,7 38 49

Tinggi badan 165,5 158 173 Lebar pinggul 31,15 23 48

Tinggi bahu 135,7 129 143 Tinggi duduk 86,55 81 93

Tinggi siku berdiri 104,5 100 112 Tinggi pinggul 22,15 15 27

Tinggi pinggul 95,75 90 102 Tinggi siku 26 20 31

Panjang depa 171 161 179 Tinggi lutut 49,45 31 57

Panjang lengan 60,95 56 72 Tinggi lipat

lutut

53,9 50 58

Panjang lengan

Atas

26,65 20 34 Jangkauan

pantat dan

lipat lutut

43,7 41 49

Panjang lengan

bawah

44,55 42 47 - - - -

Page 147: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

133

3.1.2. Distribusi Masing-masing Variabel

3.1.2.1. Umur

Gambar 1. Distribusi umur

Berdasarkan gambar 1 diketahui 40% (8 responden) berumur < 23 tahun

dan 60% (12 responden) berumur ≥ 23 tahun.

3.1.2.2. Kebiasaan Merokok

Gambar 2. Distribusi kebiasaan merokok

Gambar 2 menunjukkan sebagian besar responden memiliki kebiasaan

merokok (55%) dan (45%) memiliki kebiasaan tidak merokok.

3.1.2.3. Masa Kerja

Gambar 3. Distribusi masa kerja

Berdasarkan gambar 3 diketahui sebagian besar responden memiliki masa

kerja ≤ 1 tahun (65%) dan terdapat 7 responden (35%) memiliki masa kerja lebih

dari 1 tahun.

Page 148: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

134

3.1.2.4. Iklim Kerja

Tabel 3. Pemeriksaan iklim kerja (suhu ruang)

Suhu AC Ruang Responden F %

Sesuai NAB (28-32oC) (SNI 16-7061-2004)

dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi Republik Indonesia

No. 13 Tahun 2011)

5 100%

Tidak sesuai NAB (>32oC) 0 0%

Total 5 100%

Tabel 3 menjelaskan bahwa seluruh ruang responden memiliki suhu AC

ruangan dalam batas aman sesuai NAB 28-32oC, untuk beban pekerjaan sedang.

3.1.2.5. Fasilitas Pekerja (Stasiun Kerja)

Gambar 4. Distribusi antropometri meja dan kursi responden

Gambar 4 menunjukkan terdapat 16 responden (80%) yang meja dan kursi

kerjanya sesuai dan 4 responden (20%) lainnya tidak sesuai dengan nilai normal

antropometri stasiun kerja.

3.1.2.6. Keluhan MSD’s

Gambar 5. Distribusi pemeriksaan keluhan MSD’s

Page 149: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

135

Gambar 5 menunjukkan responden dengan keluhan MSDs rendah sebanyak

12 orang (60%), keluhan sedang 7 orang (35%), dan keluhan tinggi hanya 1 orang

(5%).

3.1.2.7. Tabulasi Silang Antar Variabel

Tabel 4. Tabulasi silang antar variabel

Umur

Tingkat MSD’s Total

Rendah Sedang Tinggi

(f) (%) (f) (%) (f) (%) (f) (%)

Umur ≥ 23 8 66.7 4 33.3 0 0 12 100.0

Umur < 23 4 50 3 37.5 1 12.5 8 100.0

Total 12 60 7 35 1 5.0 20 100.0

yKoefisien Korelasi = 0.283

Kebiasaan Merokok

Tidak merokok 7 77.8 2 22.2 0 0.00 9 100.0

Merokok 5 45.5 5 45.5 1 9.1 11 100.0

Total 12 60.0 7 35.0 1 5.00 20 100.0

Koefisien Korelasi = 0.330

Masa Kerja

< 1 Tahun 8 61.5 4 30.8 1 7.7 13 100.0

> 1 Tahun 4 57.1 3 42.9 0 0 7 100.0

Total 12 60.0 7 35.0 1 5.0 20 100.0

Koefisien Korelasi = 0.189

Suhu Ruangan

>NAB 0 0 0 0 0 0 0 0

<NAB 12 60 7 35 1 5 20 100

Total 12 60 7 35 1 5 20 100

Level risiko RULA

Level 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Level 2 12 60 7 35 1 5 20 100.0

Level 3 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 12 60 7 35 1 5 20 100.0

Fasilitas Kerja

Sesuai 10 62.5 6 37.5 0 0 16 100

Tidak sesuai 2 50 1 25 1 25 4 100

Total 12 60 7 35 1 5 20 100

Koefisien Korelasi = 0.418

Tabel 4 menunjukkan bahwa:

a. Besar koefisien korelasi umur dengan keluhan MSDs sebesar 0.283 yang

berarti bahwa kekuatan hubungan umur responden dengan kejadian keluhan

MSDs rendah.

b. Besar koefisien korelasi riwayat merokok dengan keluhan MSDs sebesar 0.330

yang berarti bahwa kekuatan hubungan riwayat merokok responden dengan

kejadian keluhan MSDs rendah.

c. Besar koefisien korelasi masa kerja dengan keluhan MSDs sebesar 0.189 yang

berarti bahwa kekuatan hubungan masa kerja responden dengan kejadian

keluhan musculoskeletal disorders rendah.

Page 150: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

136

d. Suhu ruangan tempat kerja responden seluruhnya berada dibawah NAB. NAB

suhu ruangan adalah antara 28-320C untuk beban kerja sedang.

e. Seluruh responden berada pada level risiko 2. Level tindakan (Level action) 2

menunjukkan bahwa diperlukan investigasi lebih lanjut, dan diperlukan adanya

perubahan untuk perbaikan sikap kerja.

f. Besar koefisien korelasi fasilitas kerja dengan keluhan MSDs sebesar 0.418

yang berarti bahwa kekuatan hubungan stasiun kerja responden dengan

kejadian keluhan musculoskeletal disorders sedang.

3.2. Pembahasan

3.2.1. Hubungan Umur dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders

Keluhan sakit punggung atau musculoskeletal disorders mulai dirasakan

oleh pekerja pada usia kerja dan episode pertama untuk kembali sakit biasanya

dirasakan pada usia 35 tahun (3). Tabel 4 menunjukkan bahwa pada operator yang

memiliki umur lebih atau sama dengan 23 tahun lebih banyak mengalami keluhan

musculoskeletal disorders. Pekerja yang berusia kurang dari 23 tahun mengalami

keluhan musculoskeletal disorders lebih sedikit namun memiliki risiko keluhan

musculoskeletal disorders yang sama, karena melakukan jenis pekerjaan yang

hampir sama.

3.2.2. Hubungan Masa Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal Disorders

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja dengan masa kerja dibawah 1

tahun lebih banyak mengalami keluhan musculoskeletal disorders dibandingkan

dengan pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 tahun. Hal ini dikarenakan pada

tenaga kerja yang bekerja dengan komputer berada pada posisi statis dalam jangka

waktu yang lama dengan aktivitas yang berulang, postur kerja yang buruk, dan

desain kursi yang buruk (4).

3.2.3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Keluhan Musculoskeletal

Disorders

Hasil penelitian pada studi ini adalah operator yang memiliki kebiasaan

merokok lebih banyak mengalami keluhan musculoskeletal disorders

dibandingkan dengan operator yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Beberapa

studi telah mengamati hubungan tersebut dan menjelaskan bahwa mekanisme

timbulnya keluhan otot dimulai dari nikotin yang menyebabkan berkurangnya

aliran darah ke jaringan dan kandungan rokok menyebabkan kandungan mineral

tulang belakang berkurang dan menyebabkan microfractures (5).

3.2.4. Hubungan Antropometri Tubuh (Level Risiko RULA) dengan Keluhan

Musculoskeletal Disorders

Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa seluruh responden

seluruhnya memiliki level tindakan 2. Level tindakan (level action) 2

menunjukkan bahwa diperlukan investigasi lebih lanjut, dan diperlukan adanya

perubahan untuk perbaikan sikap kerja. Hasil penelitian tidak menunjukkan

analisis tabulasi silang dan analisis kuat hubungan karena seluruh data level

tindakan menunjukkan hasil yang sama, yaitu level tindakan 2.

3.2.5. Hubungan Antropometri Stasiun Kerja dengan Keluhan

Musculoskeletal Disorders

Hasil penelitian menggambarkan bahwa keluhan musculoskeletal disorders

mayoritas dialami oleh pekerja yang memiliki stasiun kerja (tempat duduk) yang

sesuai dengan tubuh operator container crane. Penelitian Hidayat et al. (6)

Page 151: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

137

menyatakan bahwa pekerja yang bekerja dengan posisi kerja yang tidak

ergonomis (awkward position) akan mengalami keluhan nyeri pada bagian tubuh

tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa operator bekerja dengan stasiun

kerja yangsesuai namun mayoritas dari pekerja mengalami keluhan

musculoskeletal disorders karena posisi kerja tidak ergonomis.

3.2.6. Hubungan Lingkungan Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal

Disorders

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu seluruh ruangan tempat

penelitian berada dibawah NAB. Kondisi ini mendukung pekerjaan yang

dilakukan oleh pekerja. Hasil penelitian tidak menunjukkan analisis tabulasi

silang dan analisis kuat hubungan karena seluruh data suhu di ruangan

menunjukkan hasil yang sama, yaitu dibawah NAB.

4. Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu:

a. Karakteristik umur staf kependidikan sebagian besar ≥ 23 tahun, mayoritas

masa kerja <1 tahun dan sebagian besar memiliki kebiasaan merokok.

b. Analisis antropometri dan postur tubuh staf kependidikan berada pada

action level 2, yang artinya penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan

mungkin saja perubahan diperlukan.

c. Sebagian besar stasiun kerja yang digunakan oleh staf kependidikan sesuai

dengan antropometri tubuh.

d. Seluruh ruangan memiliki iklim kerja sesuai dengan nilai ambang batas (28-

32 oC).

e. Sebagian besar staf kependidikan mengalami keluhan MSD’s pada tingkat

rendah.

f. Koefisien korelasi antara umur, masa kerja, kebiasaan merokok dengan

MSD’s adalah rendah. Sedangkan kekuatan hubungan antara antropometri

stasiun kerja dengan musculoskeletal disorders dalam kategori sedang

(0.418).

4.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini yaitu:

a. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk stasiun kerja (tempat duduk) atau

desain work station responden.

b. Universitas menyediakan kursi yang dapat disesuaikan dengan tingginya

agar dapat disesuaikan dengan ukuran tubuh staf.

c. Penggantian stasiun kerja (tempat duduk) yang baru yang lebih ergonomi.

Daftar Pustaka

(1) Sumiati. Analisa Risiko Low Back Pain (LBP) pada Perawat Unit Darurat dan

Ruang Operasi di RS. Prikasih Jakarta Selatan. Skripsi. Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Universitas Indonesia. 2007.

(2) Wahlstrom, J. Ergonomics, Musculoskeletal Disorders and Computer Work.

Occupational Medicine. Page 168 – 176. http://occmed.oxfordjournals.org/co

ntent/55/3/168.full.pdf+html. 2005. (sitasi 9 Nopember 2015)

Page 152: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

138

(3) Center For Disease Control. Ergonomics and Musculoskeletal Disorders.

http//www.cdc.gov/. 2014. (sitasi 9 Nopember 2015)

(4) Vinod Supriya; Arun B. Prevalence of Various Work Related

Musculoskeletal Disorders in Software Professionals. Indian Journal of

Medical & Health Sciences Vol. 2 No.1. 2015.

(5) Mutiah, A; Setyaningsih, Y; Jayanti S. Analisis Tingkat Risiko

Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan The BriefTM

Survey dan

Karakteristik Individu terhadap Keluhan MSDs Pembuat Wajan di Desa

Cepogo Boyolali. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.2 No.2. 2013.

(6) Hidayat, R., Huda, L.N., Poerwanto. Analisis Perancangan Alat Bantu Kerja

Operator Angkut di Stasiun Pemanenan Pada PT. Perkebunan X. e-Jurnal

Teknik Industri FT USU, Ed.4. 2013. No.1: p.25-32.

Page 153: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

139

Hubungan Intensitas Pencahayaan Dengan Kelelahan Mata

Pada Pekerja Home Industry Batik Sragen

Seviana Rinawati, Siti Rachmawati Program Studi D3 Hiperkes dan KeselamatanKerja

Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Jl. Kol. Sutarto 150K Surakarta, 57126

Tel. (0271) 635819. E-mail: [email protected]

Abstrak

Intensitas pencahayaan yang tidak sesuai dengan standar pada suatu industri dapat

berisiko gangguan penglihatan atau kelelahan mata. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui adanya hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada

pekerja home industry batik Sragen.

Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik, desain cross sectional. Populasi

penelitian terdiri dari 102 pekerja dengan sampel penelitian secara random sampling

(kriteria inklusi dan eksklusi) diperoleh sejumlah 98 orang yang diukur tingkat kelelahan

mata menggunakan reaction timer sensor cahaya dan intensitas pencahayaan

menggunakan Luxmeter ANA 999. Analisis data menggunakan Pearson Product Moment

(ρ<0,05).

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan intensitas pencahayaan dengan kelelahan

mata pada pekerja home industry batik Sragen ditunjukkan dengan nilai r = -0,423 dan ρ

= 0,02. Penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas

pencahayaan dengan kelelahan mata pada pekerja home industry batik Sragen.

Disarankan adanya penambahan intensitas pencahayaan buatan pada tempat kerja yang

belum sesuai dengan standar yang disyaratkan yaitu sebesar 300 Lux.

Kata kunci: home industry batik, intensitas pencahayaan, kelelahan mata.

1. Pendahuluan

Industri garmen merupakan industri yang mengelola dan memproses bahan

kain dengan menggunakan mesin dan peralatan modern. Salah satu faktor

permasalahan yang mengganggu kenyamanan kerja tenaga kerja adalah

permasalahan mengenai intensitas pencahayaan kurang atau berlebih yang dapat

mengakibatkan terjadinya kelelahan mata. Karena tujuan utama dari K3 adalah

untuk meminimalisir bahkan menghilangkan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan

Kecelakaan Akibat Kerja (KAK). Pencahayaan yang buruk dapat mengakibatkan

kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja, kelelahan mental,

keluhan-keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala sekitar mata, kerusakan

alat penglihatan dan meningkatnya kecelakaan. Pencahayaan yang baik adalah

pencahayaan yang memungkinkan tenaga kerja dapat melihat objek yang

dikerjakanya secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu

(Suma’mur, 2011).

Kelelahan mata adalah gangguan yang dialami mata karena otot-ototnya

yang dipaksa bekerja keras terutama saat harus melihat objek dekat dalam jangka

waktu lama. Otot mata sendiri terdiri dari tiga sel-sel otot eksternal yang mengatur

gerakan bola mata, otot ciliary yang berfungsi memfokuskan lensa mata dan otot

iris yang mengatur sinar yang masuk ke dalam mata. Semua aktifitas yang

Page 154: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

140

berhubungan dengan pemaksaan otot-otot tersebut untuk bekerja keras,

sebagaimana otot-otot yang lain akan bisa membuat mata mengalami gangguan

ini. Gejala mata terasa pegal biasanya akan muncul setelah beberapa jam kerja.

Pada saat otot mata menjadi letih, mata akan menjadi tidak nyaman atau sakit

(Cok Gde, 2006).

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1045/Menkes/SK/XII/

2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri serta

Peraturan Menteri Perburuhan No 07 Tahun 1964 tentang Faktor Higiene di

Tempat Kerja, maka ditentukan standar intensitas pencahayaan minimal di tempat

kerja, disebutkan bahwa untuk ruangan aktifitas secara umum, harus memiliki

rata-rata intensitas pencahayaan minimal 100 Lux, dimana apabila ada aktifitas

khusus maka pada lokasi dimana aktifitas dilakukan, ditambahkan pencahayaan

lokal dibidang kerja, sehingga intensitas pencahayaan sesuai dengan persyaratan.

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di home industry batik

Sragen dijumpai intensitas pencahayaan di tempat kerja 100-280 Lux. Padahal

jenis pekerjaan membatik memerlukan ketelitian yang tinggi, sehingga semestinya

intensitas pencahayaan di ruangan tersebut minimal adalah 300-500 lux

(Kemenkes No. 1045, 2002). Sehingga dampak dari kurangnya intensitas

pencahayaan tersebut adalah beberapa tenaga kerja yang mengalami keluhan mata

pedih, merah, dan penglihatan ganda. Berdasarkan uraian diatas maka penulis

mengadakan penelitian mengenai pengaruh intensitas pencahayaan dengan

kelelahan mata pada home industry batik Sragen.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan survei bersifat analitik dengan metode cross

sectional. Populasi: 102 pekerja dengan sampel penelitian secara random

sampling (kriteria inklusi: usia 28-43 tahun, masa kerja lebih dari 3 tahun, tidak

mengalami sakit mata, hipertensi dan diabetes mellitus, lama kerja 8 jam sehari

dan kriteria eksklusi: tenaga kerja yang tidak bersedia dijadikan responden)

diperoleh sejumlah 98 orang yang diukur tingkat kelelahan mata menggunakan

reaction timer sensor cahaya dan intensitas pencahayaan menggunakan Luxmeter

ANA 999. Analisis data menggunakan Pearson Product Moment (ρ<0,05).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh karakteristik

responden berdasarkan usia, masa kerja, riwayat kesehatan, lama kerja. Tenaga

kerja rata-rata berusia antara 28 – 43 tahun dari data sebagai berikut: usia 28-31

tahun = 13,33%, usia 32-35 tahun = 36,67%, usia 36-39 tahun = 23,33% dan usia

40-43 tahun = 26,67% sehingga diketahui bahwa tenaga kerja masih memiliki

daya akomodasi mata yang baik. Karena usia semakin tua menyebabkan otot-otot

mata berangsur-angsur kehilangan elastisitasnya dan agak kesulitan melihat pada

jarak dekat.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton (1991) bahwa daya akomodasi

menurun setelah usia 45-50 tahun, ini berarti mata tenaga kerja masih dapat

bekerja dengan baik. Hal yang sama menurut Tarwaka (2010) bahwa usia diatas

40 tahun seseorang lebih rentan terhadap ketajaman mata dan penglihatannya

mulai terganggu seiring dengan adanya proses perubahan fisiologis dan penuaan

Page 155: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

141

pada mata seseorang, akan tetapi pada penelitian ini usia tidak berpengaruh

terhadap kejadian kelelahan kerja. Hal ini diperkuat dengan uji statistik mengenai

hubungan usia dan kelelahan mata yang mempunyai hasil p-value sebesar 0,560

yang berarti tidak signifikan.

Masa kerja dan lama kerja tenaga kerja bagian pembatikan bekerja lebih dari

3 tahun dan bekerja selama 8 jam per hari dengan waktu istirahat 1 jam. Lamanya

waktu kerja dan terus-menerus berisiko terjadinya mata lelah atau astenopia

(Afandi, 2002) dan menurut Tarwaka (2010) menyatakan terjadinya perbedaan

tingkat kelelahan mata juga dipengaruhi oleh waktu kerja yang lama terutama

untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketelitian hal tersebut

tidak sesuai karena tenaga kerja bekerja selama 8 jam perhari dengan istirahat 1

jam sehingga tidak melebihi jam kerja yang telah ditentukan oleh Undang-Undang

No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 77 – 85 yang diperkenankan

bekerja adalah 8 jam per hari atau 40 jam perminggu.

Riwayat kesehatan tenaga kerja yang dijadikan responden tidak memiliki

riwayat penyakit yang berhubungan dengan mata maupun kelainan-kelainan pada

mata.

3.2 Hasil Intensitas Pencahayaan dan Kelelahan Mata Tenaga Kerja

Hasil pengukuran yang telah dilakukan di tempat kerja diperoleh data

sebagai berikut:

Intensitas pencahayaan pada tenaga kerja pembatikan yang diukur dengan

alat ukur Luxmeter ANA 999 masih banyak yang tidak sesuai dengan standar

(300-500 Lux) hasil antara 100 - 280 Lux sebesar 70% sedang yang telah sesuai

standar 30% dengan hasil antara 304 - 500 Lux di tempat kerja.

Gambar 1. Hasil pengukuran intensitas pencahayaan di tempat kerja

Hal ini belum sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh Kepmenkes

RI No.1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang persyaratan Kesehatan Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri yaitu sebesar 300 Lux untuk kategori

jenis pekerjaan yang membutuhkan ketelitian.

Pencahayaan yang kurang dari NAB merupakan beban tambahan bagi

pekerja, sehingga dapat menimbulkan gangguan performance (penampilan) kerja

yang akhirnya dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan

kerja. Hal ini sangat erat kaitannya dan mutlak harus ada karena berhubungan

dengan fungsi indera penglihatan, yang dapat mempengaruhi produktifitas bagi

tenaga kerja (Gempur, 2004).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tri (2013) menunjukkan

bahwa intensitas pencahayaan eksisting kurang dari nilai ambang batas

Page 156: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

142

pencahayaan untuk pekerjaan hand scarfing berdasarkan Kepmenkes yang

berakibat pada cepatnya kelelahan yang dialami responden.

Hasil pengukuran kelelahan mata dengan menggunakan alat reaction timer

sensor cahaya dan didukung dengan kuesioner terkait keluhan pada mata

diperoleh hasil: tenaga kerja mengalami kelelahan mata dengan kategori lelah

sebesar 76,67% dari responden dan 23,33% reponden tidak mengalami kelelahan

mata. Banyaknya tenaga kerja yang mengalami kelelahan mata disebabkan

pencahayaan yang tidak merata di tempat kerja sehingga pencahayaan tidak

memenuhi standar yang telah ditentukan dan berdampak pada akomodasi mata

yang menimbulkan kelelahan mata.

Berdasarkan penelitian Mayangsari (2012) dapat diketahui bahwa tingkat

kelelahan kerja yang dialami operator scarfing yaitu kelelahan kerja berat karena

pekerjaan hand scarfing sangat berisiko tinggi dan dapat menimbulkan stress bagi

operator yang mengerjakan aktivitas tersebut yang disebabkan oleh faktor

lingkungan fisik yaitu pencahayaan dan kebisingan.

Kurangnya intensitas pencahayaan di home industri dikarenakan tidak

tersedia sumber pencahayaan khusus di tempat pembatikan, ventilasi ruangan

kurang maksimal untuk masuknya cahaya dari luar ruangan, letak lampu rumah

hanya digunakan sebagai pencahayaan umum (bukan untuk tingkat ketelitian

tinggi), hemat energi listrik.

3.3 Uji Statistik Intensitas Pencahayaan dengan Kelelahan Mata

Berdasarkan data hasil pengukuran yang telah dilakukan di tempat kerja

antara data intensitas pencahayaan dan data kelelahan mata selanjutnya dilakukan

analisis uji Pearson Product Moment dengan SPSS versi 18 diperoleh hasil: p-

value sebesar 0,020 dengan r = -0,423, maka dinyatakan signifikan karena p <

0,05 yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak, sehingga ada hubungan antara

intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada tenaga kerja di home industri

Sragen.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2014)

yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara intensitas pencahayaan dan

kelainan refraksi mata dengan kelelahan mata pada tenaga para medis di bagian

rawat inap RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dengan menggunakan

uji chi square diperoleh nilai p-value 0.011 (<0,05) sehingga Ho ditolak.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Aryanti (2006) bahwa ada hubungan

yang signifikan antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata pada

karyawan bagian administrasi di PT. Hutama Karya Semarang dengan hasil p

sebesar 0,011 (p<0,05).

Begitu juga dengan penelitian Nurmawati (2011) analisis statistik dengan

menggunakan uji korelasi pearson antara intensitas pencahayaan terhadap

kelelahan mata pada pekerja bordir diperoleh nilai p=0,035 yang berarti adanya

korelasi antara intensitas pencahayaan dengan kelelahan mata (r=0,386) pada taraf

sign < = 0,05.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh kesimpulan bahwa

intensitas pencahayaan yang kurang dari standar dapat mempengaruhi kelelahan

pada mata, hal tersebut dikarenakan jika mengamati pekerjaan kurang jelas

biasanya pekerja akan mendekatkan matanya ke obyek untuk memperbesar

ukuran obyek sehingga mata harus berakomodasi lebih kuat lagi.

Page 157: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

143

Untuk meningkatkan intensitas pencahayaan agar tidak terjadi kelelahan

mata maka dapat melakukan hal seperti: pemberian pencahayaan khusus dengan

memasang lampu lokal di dekat objek pekerjaan (sesuai standar pekerjaan dengan

tingkat ketelitian tinggi = 300 lux) dengan memperhatikan ketinggian dan letak

lampu agar tidak mengganggu pekerjaan membatik, membersihkan dengan rutin

dan dibuka agar cahaya dapat masuk dan meyebar secara merata.

4. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara intensitas

pencahayaan dengan kelelahan mata pada tenaga kerja di home industri Sragen

dengan nilai p-value sebesar 0,020 dengan r = -0,423.

Daftar Pustaka

Afandi.2002.Kesehatan Mata Penguna Komputer. Dari: http://www.elektroindone

sia.com/elektro/komput6.html. diunggah pada tanggal 2 Februari 2016

Ahmadi. 2009. Fisika Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia.

Aryanti. 2006. Hubungan Antara Intensitas Pencahayaan dan Suhu Udara

DenganKelelahan Mata Karyawan Pada Bagian Administrasi PT. Hutama

Karya Wilayah Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan

UNNES.

Ching. 1996. Keselamatan dan Kesehatan di Tempat Kerja. Jakarta: Bina Cipta.

Cok Ghe Rai Padmanaba. 2006. Kesehatan Mata di Lokasi Kerja.

Departemen Kesehatan. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Mata.

Dewa. 2008. Dampak sistem pencahayaan bagi kesehatan mata. http://Kulit cantik

jawabali.com/mata sexy/dampak-sistem-pencahayaanbagi-kesehatan-mata.

Diakses tanggal 28 Februari 2016.

Dyer dan Morris. 1990. Faktor- faktor Yang Berhubungan Dengan

KesehatanMata. Bandung: Alfabeta.

Gempur Santoso. 2004. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta:

Prestasi Pustaka.Gibson. 1995. Ilmu Kedokteran. Jakarta: Rineka Cipta.

Grandjen. 1998. Fitting The TaskTo The Man a Texbook Of

Occuputionalergonomic; 4 Th edition London: Taylor and Francis.

Guyton, Arthur C .1991. Fisiologi Kedokteran. EGC Jakarta Gabbard C, LeBlanc

Hermawan Ady Prayoga. 2014. Hubungan Antara Intensitas Pencahayaan dan

Kelainan Refraksi Mata dengan Kelelahan Mata Pada Tenaga Para Medis di

Bagian Rawat Inap RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Unnes

Journal of Public Health: ISSN 2252-6528.

Keputusan Menteri Kesehatan No 1045/menkes/SK/XII/2002.

PersyaratanLingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta.

Mayangsari, K. 2012. Analisa Faktor Lingkungan Fisik Terhadap Kelelahan

Operator Scarfing di PT. ABC. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Industri

Untirta Cilegon

Medrofa. 2003. Ilmu Dasar Kesehatan Mata. Surabaya: Mustika.

Mochamad Arief. 2004. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta.

Nurmawanti, Ema. 2013. Dampak Intensitas Pencahayaan Terhadap

KelelahanMata Pada Pekerja Bordir Di Desa Cicarian Kecmatan

Kawalu.Tasikmalaya.

Page 158: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

144

Peraturan Menteri Perburuhan No 07 Tahun 1964 tentang Faktor Higiene di

Tempat Kerja.

Pheasant. 1991. Ergonomic, Work and Health. Maryland: Aspan Publiser.

Prabu. 2009. Sistem dan Standard Percahayaan Ruangan.http://Putraprabu-

wordpress.com/2009/01/06/Sistem-dan-standardpercahayaan-ruangan.

Diakses pada tanggal 12 Mei 2012.

Pusat Hiperkes dan Keselamatan Kerja.1995. Kuesioner Kelelahan Mata.

Pusat Hyperkes dan Keselamatan Kerja. 1995. Penelitian Pengaruh Komputer

Pada Mata. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja.

Sidarta Ilyas. 1991. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Suma’mur PK. 2011. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES)

(Edisi 2). Jakarta: Sagung Seto

Tarwaka. 2010. Ergonomi Industri. Edisi Pertama Cetakan Pertama. Surakarta:

Harapan offset

Tri Asih Septiana, Yayan Harry Yadi dan Ade Sri Mariawati. 2013. Pengaruh

Tingkat Pencahayaan Terhadap Kelelahan Operator Pada Simulasi

Scarfing dengan Reaction Time. Jurnal Teknik Industri, Vol.1, No.2, Juni

2013, pp.152-156 ISSN 2302-495X. Jurusan Teknik Industri Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa.

Page 159: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

145

Hubungan Sikap Kerja Pengangkutan

Dengan Keluhan Low Back Pain Pada Pekerja Depot Air Minum

Arinta Puspita Restu Universitas Riau, Pekanbaru

E-mail: [email protected]

Abstrak

Sikap tubuh yang tidak alamiah dalam aktivitas pengangkutan merupakan salah satu

faktor penyebab keluhan Low Back Pain (LBP). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja

depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Jenis penelitian ini adalah

penelitian penjelasan atau explanatory research digunakan pendekatan cross sectional.

Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja depot air minum sebanyak 30 orang. Teknik

pengambilan sampel dengan cara total sampling yaitu sebanyak 30 orang. Instrumen yang

digunakan yaitu REBA dan Nordic Body Map (NBM). Analisis data dilakukan secara

univariat dan bivariat (menggunakan uji Fisher).

Hasil penelitian didapatkan dari 30 responden, 27 (90%) memiliki sikap kerja

pengangkutan dengan risiko tinggi (skor REBA ≥ 8) yang mengeluh LBP sebanyak 18

responden (66,7%) dan 9 responden (33,3%) tidak merasakan sakit. Berdasarkan uji

Fisher diperoleh nilai sig. (p-value) sebesar 0,537 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian

ini yaitu tidak ada hubungan antara sikap kerja pengangkutan dan keluhan LBP pada

pekerja depot air minum di Kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang. Perlu adanya

penelitian lebih lanjut dengan variabel utama yang berbeda, misalnya umur, masa kerja,

frekuensi angkat angkut, waktu kerja untuk mengetahui hubungannya dengan LBP karena

di penelitian ini variabel tersebut hanya sebagi variabel perancu.

Kata kunci: low Back Pain, REBA, sikap kerja.

1. Pendahuluan

Nyeri punggung bawah atau disebut juga Low Back Pain (LBP) merupakan

rasa nyeri yang dirasakan pada punggung bawah yang sumbernya adalah tulang

belakang daerah spinal atau punggung bawah, otot, saraf, atau struktur daerah

lainnya di daerah tersebut1. Sensasi nyeri pada LBP dirasakan pada diskus

invertebralis umumnya lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1. L4-L5 adalah

intervetebral disc yang berada di antara lumbar ke-4 dan lumbar ke-5, sedangkan

L5-S1 adalah intervetebral disc yang berada di lumbar ke- dan sacrum nomor

satu2. Keluhan LBP dapat ditimbulkan dari aktivitas Manual Material Handling

(MMH) yang tidak tepat. Banyak cedera yang terjadi akibat pekerjaan MMH yaitu

berupa terkilir/keseleo atau ketegangan otot, terutama pada bagian otot pinggang

dan punggung disebabkan karena pekerjaan yang tidak benar atau pengerahan

tenaga untuk periode yang lama3.

LBP memiliki tingkat kejadian tertinggi yaitu sekitar 60% di negara

industri4. Angka kejadian nyeri punggung bawah di Indonesia diperkirakan

bervariasi antara 7,6% sampai 37%5. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen

Kesehatan RI terhadap pekerja industri di kawasan industri Pulo Gadung Jakarta

yaitu, sebanyak 502 orang atau 52,8% mengalami keluhan nyeri muskuloskeletal.

Page 160: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

146

Bagian tubuh yang sering mengalami nyeri muskuloskeletal adalah kaki (22,7%),

pinggang (17,1%) dan bahu (9,5%)6.

Penelitian ini dilakukan terhadap pekerja depot air minum di kelurahan

Sekaran, Gunung Pati, Semarang. Depot air minum isi ulang merupakan badan

usaha yang mengelola air minum untuk keperluan masyarakat dalam bentuk curah

dan tidak dikemas7. Hasil survei yang dilakukan di kelurahan Sekaran, terdapat

sekitar 15 usaha depot air minum yang memiliki rata-rata 1-2 pekerja yang

bertugas untuk mengangkat dan mengangkut galon air dengan waktu kerja setiap

hari lebih dari 8 jam/hari. Semua pekerja di depot air minum berjenis kelamin

laki-laki. Proses pengemasan air minum di depot air minum dilakukan secara

MMH, yaitu pada kegiatan pemindahan galon air minum.

Proses dalam pengemasan air minum di depot air minum isi ulang terdiri

dari proses pencucian galon dan proses pengemasan. 1) Proses pencucian galon

merupakan proses yang pertama dilakukan, yaitu membersihkan bagian dalam dan

luar galon. Pencucian bagian luar galon dilakukan dengan menggunakan sabun

untuk menghilangkan kotoran dan kemudian dibilas menggunakan air bersih.

Selanjutnya, dilakukan pencucian bagian dalam galon dengan penyikatan

menggunakan mesin yang berbentuk sikat, setelah disikat kemudian dibilas

menggunakan air bersih dan dilakukan sterilisasi menggunakan air panas untuk

menghilangkan kuman atau bakteri yang terdapat di dalam galon tersebut. 2)

Proses yang kedua yaitu pengisian air ke kemasan atau galon. Setelah galon

disterilkan menggunakan air panas, kemudian galon diisi air dan ditutup.

Kemudian diangkat atau dipindahkan dari tempat pengisian air ke lantai. Semua

proses dalam pengemasan air di depot tersebut dilakukan selama 2 menit.

Sedangkan waktu yang dibutuhkan pekerja untuk memindahkan sebuah galon dari

tempat pengisian ke lantai adalah 3-5 detik.

Risiko keluhan LBP pada pekerja depot air minum terdapat pada proses

kedua yaitu proses pengisian air ke kemasan. Hal tersebut dikarenakan terdapat

pemindahan beban berupa menurunkan galon yang sudah berisi air dengan berat

19 kg dari mesin pengisian ke lantai. Pemindahan beban tersebut membutuhkan

waktu 3-5 detik per galon. Frekuensi pemindahan kurang lebih 45 sampai 50

galon/hari. Suma’mur, P.K. (2009), menjelaskan bahwa berat beban maksimum

untuk orang Indonesia menurut ILO yaitu 35 kg sekali angkat1. Hasil dari metode

penilaian risiko manual handling pada saat pemindahan beban pada depot air

minum dengan menggunakan metode indikator kunci atau Leitmerk Mal Methode

(LMM) didapatkan hasil akhir yaitu 20 dengan tingkat risiko 2 yang artinya situasi

beban kerja meningkat dan memungkinkan terjadinya pembebanan fisik pada

pekerja tertentu yaitu, pekerja berumur < 21 tahun dan > 40 tahun; tidak diberikan

pelatihan pada pekerja baru; pekerja baru sembuh dari sakit dan sebagainya.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sikap kerja pekerja pada saat

pemindahan adalah posisi tangan pada saat menaikkan dan menurunkan galon air

minum yang pada gerakan tersebut terjadi pengurangan sudut antara dua tulang

atau fleksi, dan posisi peunggung fleksi sehingga tulang belakang membungkuk

dengan menahan beban galon air minum seberat 19 kg. Ditinjau dari sisi

ergonomis sikap kerja tersebut menimbulkan kondisi yang tidak nyaman pada otot

kaki dan tangan, posisi sikap kerja membungkuk juga dapat menimbulkan

kelelahan pada pinggang. Menurut peraturan Worksafe Australia tahun 1986,

berat beban 16-45 kg memerlukan penekanan dalam metode angkat2. Berdasarkan

Page 161: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

147

hasil survei awal menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) yang

dilakukan pada 10 pekerja di depot air minum, diketahui bahwa semua pekerja

(100%) mengalami keluhan diantaranya persentase keluhan yang paling besar

adalah bagian bahu (70%) dan pinggang (50%). Oleh karena itu, dirasa perlu

untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan

LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja

pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan

Sekaran, Gunungpati, Semarang.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dengan populasi

pada penelitian ini yaitu pekerja depot air minum di kelurahan Sekaran yang

berjumlah 30 orang. Sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik

total sampling yang merupakan teknik penentuan sampel bila semua anggota

populasi digunakan sebagai sampel8 dan pada penelitian ini berjumlah 30 pekerja.

Peneltian ini menggunakan instrumen Rapid Entire Body Assessment

(REBA) dan Nordic Body Map (NBM). Peneliti menggunakan REBA karena

metode REBA dapat mengidentifikasi sekitar 600 posisi tubuh serta merupakan

suatu alat analisis postural sangat sensitif terhadap pekerjaan yang melibatkan

perubahan posisi secara mendadak atau secara tak terduga dan metode ini dapat

menganalisis secara bersamaan dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian

atas, badan, leher dan kaki9,10

. Selain REBA intrumen lain yang digunakan pada

penelitian adalah NBM. Metode NBM digunakan untuk mengukut varibel LBP

yang merupakan salah satu alat ukur sederhana yang digunakan untuk menilai

tingkat keparahan gangguan atau cedera pada otot9. Metode ini juga dapat

dimengerti dengan mudah oleh pekerja atau responden, dimana responden hanya

memberikan tanda checklist “√” pada gambar bagian tubuh yang dirasakan

responden memiliki keluhan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan REBA dan

NBM dalam penelitian ini. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square atau

uji alternatifnya.

3. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati sikap kerja 30 responden atau

pekerja di depot air minum pada saat pemindahan galon yang beratnya 19 kg yaitu

dengan merekam proses pemindahan galon. Rekaman tersebut kemudian

digunakan untuk menganalisis sikap kerja pekerja menggunakan metode REBA.

Selain melakukan pengamatan sikap kerja responden, peneliti juga mengambil

data keluhan khususnya LBP yang dialami responden secara subyektif dengan

menggunakan NBM.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data distribusi menurut karakteristik

responden yang terdiri dari umur responden, waktu kerja, masa kerja, frekuensi

pengangkutan, risiko sikap kerja pengangkutan dan keluhan LBP pada pekerja

depot air minum (Tabel 1).

Page 162: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

148

Tabel 1. Data Distribusi Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Frekuensi Presentase

(%)

1. Umur

< 20 tahun

≥ 20 tahun

2. Waktu Kerja

≤ 10 Jam/hari

> 10 jam/hari

3. Masa Kerja

< 3 bulan

≥ 3 bulan

4. Frekuensi Pengangkutan

≤ 30 galon/jam

> 30 galon/jam

5. Risiko Sikap Kerja Pengangkutan

Sedang

Tinggi

6. Keluhan LBP

Tidak Sakit

Agak Sakit

Sakit

4

26

14

16

2

28

30

-

3

27

11

5

14

13,3

86,7

46,7

53,3

6,7

93,3

100

-

10

90

36,7

16,7

46,7

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa jumlah responden berdasarkan

umur sebagian besar berumur ≥20 tahun (86,7%). Kekuatan otot maksimal terjadi

pada saat umur 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan

bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rata-rata kekuatan otot

menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai turun, maka risiko terjadinya

keluhan otot meningkat11

.

Pekerja depot air minum sebagaian besar bekerja lebih dari 10 jam per hari

(53,3%). Menurut Suma’mur, P. K. (2009), waktu kerja atau lama seseorang

bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 6-10 jam. Waktu kerja

diperpanjang lebih dari kemampuan lama kerja sehari tersebut biasanya tidak

disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan terlihat

penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu yang

berkepanjangan timbul kecenderungan untuk terjadinya kelelahan, gangguan

kesehatan, penyakit dan kecelakaan maupun ketidakpuasan1.

Menurut Helmi (2012), keluhan LBP dirasakan minimal 3 bulan disertai

dengan adanya keterbatasan aktivitas yang mengakibatkan nyeri apabila

melakukan pergerakan11

. Sebanyak 93,3% responden memiliki masa kerja lebih

dari 3 bulan, sehingga responden tersebut lebih berisiko mengalami keluhan LBP.

Penelitian ini menunjukkan bahwa 90% responden memiliki tingkat risiko tinggi

dengan keluhan sakit 46,7%, mengeluh agak sakit 16,7% dan tidak mengalami

keluhan atau tidak sakit 36,7%.

Pekerja depot air minum sebagian besar melakukan pemindahan galon, baik

berupa galon berisi maupun galon kosong. Galon yang tidak berisi air memiliki

berat 79,2 gram dan galon yang berisi air memilik berat 19 kg. Pemindahan galon

tersebut dilakukan secara manual atau tidak menggunakan alat bantu. Aktivitas

Page 163: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

149

pemindahan galon yang terdiri dari mengangkat, membawa, menarik atau

mendoeong galon tersebut dapat menyebabkan LBP, jika pekerja melakukan

dengan posisi tubuh tidak alami atau dipaksakan1. Sikap kerja pengangkutan

merupakan salah satu variabel yang diduga mempengaruhi terjadinya LBP. Pada

penelitian ini cara melihat variabel sikap kerja pengangkutan dengan melakukan

pengukuran risiko ergonomi pada proses pengangkutan menggunakan metode

REBA.

Penelitian ini menggunakan uji fisher exact dengan penggabungan sel

karena nilai expected kurang dari lima ada dua sel (50,0%). Berdasarkan dari

penelitian ini diketahui bahwa keluhan LBP banyak dialami oleh pekerja dengan

risiko pekerjaan tinggi menurut skor REBA. Hasil dari analisis bivariat

menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap kerja

pengangkutan dengan keluhan LBP (p 0,537). Walaupun tidak terdapat hubungan

signifikan tetapi jika dilihat dari proporsinya, responden yang sikap kerja

pengangkutan berisiko tinggi mengalami LBP lebih besar dari 66,7% (Tabel 2).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathoni

(2012) yaitu, 10 responden memiliki sikap dan postur kerja yang dapat

menyebabkan penyakit muskuloskeletal dan 6 responden mengalami LBP.

Namun, hasil uji bivariat penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang

bermakna antara sikap kerja dan postur kerja dengan keluhan LBP pada perawat

RSUD Purbalingga bulan Januari 2009 (p 0,197)12

. Pada hasil penelitian Mayrika

(2009) juga menunjukkan dan 30 penjual jamu gendong sebesar 56,7% yang

memiliki teknik mengangkat tidak ergonomis dan keluhan nyeri punggung bawah

sebesar 83,3% dengan hasil uji bivariat tidak memiliki hubungan signifikan (p

0,628 > 0,05)13

.

Tabel 2. Hubungan antara Sikap Kerja Pengangkutan dengan Keluhan LBP

Sikap Kerja

(Skor

REBA)

Keluhan LBP Jumlah Nilai

p Agak Sakit + Sakit Tidak Sakit

N % n % N %

Risiko

Tinggi 18 66,7 9 33,3 27 100

0,537

Risiko

Sedang 1 33,3 2 66,7 3 100

Hasil bivariat yang menyatakan tidak adanya hubungan signifikan antara sikap

kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di

Sekaran, Gunungpati, Semarang ini dapat dipengaruhi oleh variabel pengganggu.

Variabel pengganggu dalam penelitian ini yaitu umur, waktu kerja, lama kerja dan

frekuensi pengangkutan. Responden pada penelitian ini yang semuanya berjenis

kelamin pria, sebanyak 26 orang (86,7%) berumur ≥ 20 tahun. Menurut NIOSH

(1997), umur dengan tingkat nyeri punggung tertinggi untuk pria adalah pada

kelompok umur 20-2414

. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Betti’e et

al. (1989) yang menyatakan kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur 20

sampai 29 tahun, dan selanjutnya mengalami penurunan sejalan dengan

bertambahnya umur, karena pada penelitian ini dari 26 orang yang berumur lebih

dari 20 tahun sebanyak 17 orang (65,4%) mengeluh LBP11

. Hasil bivariat dari

penelitian yang dilakukan oleh Winda (2012) juga menunjukkan adanya

Page 164: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

150

hubungan antara usia dengan keluhan muskuloskeletal, dimana usia lebih dari 30

tahun lebih banyak mengalami keluhan (45,2%). Pada penelitian tersebut juga

menunjukkan pekerja dengan usia lebih dari 30 tahun memiliki risiko 4,4 kali

mengalami keluhan muskuloskeletal tingkat tinggi dibanding pekerja dengan usia

di bawah 30 tahun15

.

Waktu kerja dapat mempengaruhi timbulnya keluhan LBP pada pekerja.

Seseorang dapat bekerja dengan baik dalam sehari yaitu 6-10 jam. Hasil analisis

univariat pada penelitian ini, 16 (53,3%) dari 30 responden bekerja lebih dari 10

jam per harinya dan 11 (68,8%) dari 16 responden yang bekerja lebih dari 10

jam/hari mengeluhkan LBP. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan

bahwa jika waktu kerja lebih dari 10 jam dapat menimbulkan terjadinya

kelelahan, gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan maupun ketidakpuasan1.

Berdasarkan analisis univariat mengenai lama kerja, didapatkan sebanyak

28 (93,3%) dari 30 responden sudah bekerja di depot air minum selama ≥ 3 bulan

dan 18 (64,3%) dari 28 responden yang bekerja lebih dari 3 bulan mengeluhkan

LBP. LBP yang merupakan kondisi tidak mengenakkan atau nyeri kronik

dirasakan sekurangnya 3 bulan dan disertai adanya keterbatasan aktivitas akibat

nyeri apabila melakukan pergerakan atau mobilitas12

. Namun pada penelitian yang

dilakukan oleh Mayrika (2009) menunjukkan tidak adanya hubungan yang

signifikan antara masa atau lama kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah

pada penjual jamu gendong. Pekerja yang bekerja mengangkat atau membawa

beban berat setiap harinya mengakibatkan tulang belakang akan terus mengalami

penekanan sehingga merubah sikap tubuh. Perubahan tersebut sebagai akibat dari

kebiasaan mereka bertumpu saat membawa beban14

. Menurut Tobing (1996) pada

penelitian tersebut mengatakan sikap kerja yang salah dalam waktu lama dapat

menyebabkan nyeri pinggang kronis16

Variabel penganggu terakhir yang dianalisis univariat dalam penelitian ini

adalah frekuensi pengangkutan. Pada penelitian ini, semua responden melakukan

frekuensi pengangkutan ≤ 30 galon per jam. Responden yang mengeluhkan LBP

sebanyak 19 (63,3%) dari 30 orang yang frekuensi pengangkutannya ≤ 30 galon

per jam. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pemindahan

barang secara manual dengan frekuensi sering dengan jangka waktu lama dapat

mengakibatkan risiko rasa nyeri pada tulang belakang2. Selain itu, penelitian yang

dilakukan Sutanto (2013) didapatkan juga hasil yang mendukung teori yaitu ada

hubungan antara frekuensi angkat dengan nyeri pinggang pada buruh gendong di

pasar Bandungan Kab. Semarang17

. Penjelasan mengenai variabel pengganggu

pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis bivariat dengan hasil tidak

ada hubungan yang signifikan antara sikap kerja pengangkutan dengan keluhan

LBP pada pekerja depot air minum dikarenakan pengaruh dari variabel

pengganggu. Pengaruh variabel pengganggu tersebut dapat mengakibatkan atau

mencegah terjadinya LBP.

Menurut Health and Safety Executive (2004), teknik penanganan yang baik

pada aktivitas pengangkutan adalah sebagai berikut: sebelum melakukan

pengangkutan sebaiknya merencanakan cara angkut beban; kaki harus terpisah

dengan satu kaki sedikit ke depan untuk menjaga keseimbangan; pegangan pada

beban baik; beban harus sedekat mungkin dengan tubuh; menghindari memutar

punggung pada saat mengangkat beban, terutama pada waktu punggung

membungkuk; pandangan ke depan, tidak turun pada beban, jika pegangan pada

Page 165: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

151

beban sudah aman; meletakkan beban terlebih dahulu kemudian baru menggeser

beban ke posisi yang diinginkan18

.

4. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tetang hubungan antara sikap kerja

pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air minum di kelurahan

Sekaran, Gunungpati, Semarang dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

antara seikap kerja pengangkutan dengan keluhan LBP pada pekerja depot air

minum di kelurahan Sekaran, Gunungpati, Semarang.

Daftar Pustaka

1. Suma’mur P.K, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: CV.

Segung Setyo, 2009.

2. Nurmianto, Eko, Ergonomi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Guna

Widya, 2008.

3. Tarwaka, Ergonomi Industri: Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan

Aplikasi di Tempat Kerja, Surakarta: Harapan Press, 2011.

4. World Health Organization (WHO), Preventing Musculoskeletal Disorders in

Workplace, Geneva: WHO, 2003.

5. Ruslan, Nyeri Punggung Bawah [Online], diakses pada 13 Februari 2014,

Available: http://www.krakataumedika.com/nyeri-punggung-bawah/

6. Riyadini, “Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada Pekerja Industri di Kawasan

Industri Pulo Gadung Jakarta”, Artikel Penelitian, Majalah Kedokteran

Indonesia, vol. 58, no. 1, Januari 2008, hal. 8-12, 2008.

7. Suprihatin, B., Jurnal Higene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di

Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau Kalimantan Timur, vol. 2, no. 2,

2008.

8. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta, 2005.

9. Tarwaka, Ergonomi Industri: Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan

Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarata: Harapan Press, 2011.

10. Hignett, S., Technical note: Rapid Entire Body Assessment (REBA), Applied

Ergonomics 31, hal. 201-205, 2000.

11. Helmi, N. Z., Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta: Salemba

Medika, 2012.

12. Fathoni, “Hubungan Sikap dan Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada

Perawat RSUD Purbalingga”, Jurnal Keperawatan Soedirman, vol. 7, no. 2,

2012.

13. Mayrika, “Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Keluhan Nyeri

Punggung Bawah pada Penjual Jamu Gendong”, Jurnal Promosi Kesehatan

Indonesia, vol. 4, no. 1, hal.61-67, 2009.

14. NIOSH, Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors, Colombia:

NIOSH, 1997.

15. Winda, “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Muskuloskeletal

pada Pekerja Angkat-Angkut Industri Pemecah Batu di Kecamatan

Karangnongko Kabupaten Klaten”, Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 1, no.

2, hal. 836-844. 2012.

16. Tobing, Penatalaksanaan Nyeri Pinggang, FKUI: Jakarta, 1996.

Page 166: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

152

17. Sutanto, “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluhan Nyeri Pinggang

pada Buruh Gendong di Pasar Bandungan Kabupaten Semarang”, Jurnal

Kesehatan Masyarakat 2013, vol. 2, no. 2, 2013.

18. HSE, Manual Handling at Work: A Brief Guide [Online], diakses pada tanggal

16 Maret 2014, Available: www.hse.gov.uk/pubns/indg143.htm, 2004.

Page 167: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

153

Identifikasi Postur Kerja Pekerja Pada Usaha Pembuatan Tahu

Dengan Menggunakan Metode RULA, REBA, QEC,

OWAS dan WERA

Chalis Fajri Hasibuan Universitas Medan Area

Jl. Kolam No. 1 Medan Estate

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penggunaan tenaga manusia dalam dunia industri masih dominan, terutama kegiatan

penanganan material secara manual (Manual Material Handling/MMH). Beban kerja

yang berat, postur kerja yang salah dan perulangan gerakan yang tinggi, serta adanya

getaran terhadap keseluruhan tubuh merupakan keadaan yang memperburuk penyakit

tersebut. Keluhan pada sistem muskuloskeletal diakibatkan penggunaan postur kerja yang

tidak baik.

Hasil penilaian postur kerja pada bagian pengepresan dengan 11 elemen kerja yaitu

mengambil kain, melapis kain kecetakan, mengambil bahan, menuangkan bahan

kecetakan, meratakan tahu, menutup kain, menutup papan cetakan, menutup papan

cetakan dengan batu, membuka batu, membuka papan, membuka kain yang dilakukan

penilaian, postur kerja paling berbahaya terhadap keluhan Musculoskeletal Disorders

(MSDs) ada pada elemen mengambil bahan dimana pada 5 penilaian postur kerja dengan

menggunakan RULA (Rapid Upper Limb Assessment), REBA (Rapid Entire Body

Assessment), QEC (Quick Exposure Check), OWAS (Ovako Working Posture Assessment

System), dan WERA (Workplace Ergonomic Risk Assessment) menghasilkan tindakan

untuk segera dilakukan perbaikan, sedangkan pada elemen kerja membuka kain memiliki

penilaian kriteria aman.

Rekomendasi perbaikan yaitu perubahan sikap/postur pekerja bagian kaki dan punggung,

karena pada bagian tersebut mengalami pembebanan akibat postur kerja yang salah,

perubahan tata letak peralatan, pengurangan beban dan perancangan maupun penambahan

alat bantu.

Kata kunci: MSDs, OWAS, postur kerja, QEC, REBA, RULA, WERA,.

1. Pendahuluan

Penanganan material secara manual adalah istilah yang diberikan untuk

proses penanganan material yang dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia

[1]. Kelebihan Manual Material Handling (MMH) bila dibandingkan dengan

penanganan material menggunakan alat bantu adalah fleksibilitas gerakan yang

dapat dilakukan untuk beban-beban ringan [2]. Kelebihan MMH bila

dibandingkan dengan penanganan material menggunakan alat bantu adalah pada

fleksibilitas gerakan yang dapat dilakukan untuk beban-beban ringan. Akan tetapi

aktifitas MMH dalam pekerjaan-pekerjaan industri banyak diidentifikasi berisiko

besar sebagai penyebab penyakit tulang belakang (low back pain) akibat dari

penanganan material secara manual yang cukup berat dan posisi tubuh yang salah

dalam bekerja. Faktor lain yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah beban

kerja yang berat, postur kerja yang salah dan pengulangan pekerjaan yang tinggi,

serta adanya getaran terhadap keseluruhan tubuh. Faktor-faktor yang dapat

Page 168: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

154

menimbulkan adanya gangguan pada tubuh manusia jika pekerjaan berat

dilakukan secara terus menerus akan berakibat buruk pada kondisi kesehatan

pekerja terutama dalam jangka waktu panjang [3].

Salah satu industri kecil yang banyak di Indonesia khususnya di kota

Medan adalah industri tahu, 90% usaha tahu yang terdapat di Kota Medan masih

bersifat usaha mikro kecil menengah (UMKM) dengan pekerja yang padat karya

dan masih minim penggunaan teknologi, minimnya penggunaaan alat yang dapat

meringankan tugas pekerja mengakibatkan pekerja harus bekerja secara maksimal

sehingga menimbulkan keselahan postur kerja dari pekerja yang apa bila di

biarkan terus-menerus akan mengakibatkan cedera pada pekerja, sehingga Tujuan

dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keluhan muscoleskeletal

disorders yang dialami pekerja pada industri tahu di kota Medan dan juga

mengidentifikasi postur kerja aktual pada pekerja.

2. Metode Penelitian

2.1. Tempat, Waktu dan Objek Penelitian

Penelitian dilakukan pada Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Tahu

UD X yang terdapat di Kota Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan

September 2015 sampai dengan bulan Otober 2015. Objek yang diteliti pada

penelitian ini adalah postur kerja pekerja yang terdapat pada bagian pengepresan

tahu dengan 11 elemen kegiatan.

Mulai

Studi LiteraturObservasi Pendahuluan Dengan

Nordic Standard Questionaire

Terjadi Keluhan Pada Bagian

Tubuh

Perumusan

Masalah Dan

Tujuan Penelitian

Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data Primer berupa pencatatan

aktivitas kerja

2. Data Tempat Penelitian

Pengolahan Data Dengan Menggunakan

Metode RULA, REBA, OWAS, QEC, WERA

Analisa Dan Pembahasan

Kesimpulan Dan Saran

Selesai

Ya

Tidak

Gambar 1. Flowchart Penelitian

Page 169: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

155

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Pengumpulan Data

a. Keluhan Musculoskeletal

Untuk mengetahui keluhan musculoskeletal yang dialami operator dapat

diketahui melalui penyebaran kuisioner SNQ. Penilaian berdasarkan kuisioner

SNQ untuk pembobotan masing-masing kategori berikut: [4]

Tidak sakit : bobot 0

Agak sakit : bobot 1

Sakit : bobot 2

Sangat sakit : bobot 3

Berikut ini merupakan hasil rekapitulasi untuk data keluhan

musculoskeletal diatas dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil SNQ

No

Bagian Tubuh

yang Mengalami

Keluhan

Kategori Keluhan

Op 1 Op 2 Op 3 Op 4 Op 5 Op 6 Op 7 Op 8

0 Sakit kaku di leher

bagian atas

Sakit Agak

Sakit

Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

1 Sakit kaku di

bagian leher

bagian bawah

Sangat

Sakit

Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

2 Sakit di bahu kiri Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

3 Sakit di bahu

kanan

Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

4 Sakit lengan atas

kiri

Sakit Sakit Sakit Agak

sakit

Sakit Agak

sakit

Sakit Agak

sakit

5 Sakit di punggung Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

6 Sakit lengan atas

kanan

Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

sakit

Sakit Agak

sakit

Sakit Sakit

7 Sakit pada

pinggang

Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit Sakit

8 Sakit pada bokong Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

9 Sakit pada pantat Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 10 Sakit pada siku

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 11 Sakit pada siku

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 12 Sakit pada lengan

bawah kiri

Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Tidak

sakit

Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit 13 Sakit pada lengan

bawah kanan

Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Tidak

sakit

Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit 14 Sakit pada

pergelangan

tangan kiri

Sakit Sakit Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

15 Sakit pada

pergelangan

tangan kanan

Sakit Sakit Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

16 Sakit pada tangan

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit

17 Sakit pada tangan

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Agak

Sakit

Sakit

Page 170: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

156

No

Bagian Tubuh

yang Mengalami

Keluhan

Kategori Keluhan

Op 1 Op 2 Op 3 Op 4 Op 5 Op 6 Op 7 Op 8

18 Sakit pada paha

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit 19 Sakit pada paha

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit 20 Sakit pada lutut

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 21 Sakit pada lutut

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 22 Sakit pada betis

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 23 Sakit pada betis

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 24 Sakit pada

pergelangan kaki

kiri

Agak

Sakit

Sakit Sakit Sakit Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Sakit

25 Sakit pada

pergelangan kaki

kanan

Agak

Sakit

Sakit Sakit Sakit Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Sakit

26 Sakit pada kaki

kiri

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit 27 Sakit pada kaki

kanan

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sakit Tidak

sakit

Tidak

sakit

Agak

Sakit

Agak

Sakit

Sumber: Pengumpulan Data

b. Data Jenis Gerakan Kerja Operator

Pada stasiun kerja pengepresan, data-data kerja operator dapat diteliti dan dilihat

waktu yang dipakai pada proses pengerjaannya. Data tersebut dapat dilihat pada tabel

Tabel 2. Data Jenis Kerja Operator Jenis Pekerjaan Jarak Waktu (Detik) Berat (kg)

Mengambil kain 1 m 5 detik -

Melapiskan kain ke cetakan - 20 detik -

Mengambil & menuang bahan yang

telah diayak

50 cm 120 detik -

Meratakan Tahu - 30 detik -

Menutup Kain - 30 detik -

Mengambil papan penutup 1 m 5 detik 2

Menutup tahu dengan papan - 15 detik 2

Mengambil batu pengepres 1 m 5 detik 5

Mengepres bahan dengan batu - 180 detik 5

Mengangkat batu pengepres - 5 detik 5

Mengembalikan batu pengepres 1 m 5 detik 5

Membuka papan penutup - 5 detik 2

Membuka kain - 5 detik -

Mengambil batu pengepres 1 m 5 detik 5

Mengepres bahan dengan batu - 300 detik 5

Mengangkat batu pengepres - 5 detik 5

Mengembalikan batu pengepres 1 m 5 detik 5

Membuka papan penutup - 5 detik 2

Membuka kain - 5 detik -

Page 171: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

157

c. Data Frekuensi Gerakan Kerja Operator

Tabel 3. Data Frekuensi Gerakan Kerja Operator

Jenis Pekerjaan Frekuensi Gerakan

Mengambil kain 1 kain = 2 detik

Melapiskan kain ke cetakan 1 cetakan = 20 detik

Mengambil & menuang bahan yang

telah diayak

1 menit = 6x tuang

1 cetakan = 2 menit

1 cetakan = 12x tuang

Meratakan bahan dengan kayu perata 1 cetakan = 15 detik

Menutup tahu dengan kain 1 cetakan = 15 detik

Menutup tahu dengan papan 1 cetakan = 15 detik

Mengepres bahan dengan batu 1 cetakan = 3 menit

Mengembalikan batu pengepres 1 batu = 5 detik

Membuka papan penutup 1 cetakan = 5 detik

Membuka kain 1 cetakan = 5 detik

Mengepres bahan dengan batu 1 cetakan = 3 menit

3.2. Pengolahan Data

Penilaian postur kerja dilakukan dengan menggunakan metode RULA.

Penilaian postur kerja bertujuan untuk mengetahui elemen gerakan atau kegiatan

yang menyebabkan terjadinya keluhan pada tubuh operator [5][6]. Sehingga

gerakan yang menimbulkan keluhan dapat dihilangkan atau diperbaiki. Penilaian

postur kerja untuk setiap elemen kerjanya dapat diuraikan sebagai berikut:

Gambar.1 Mengambil Kain

Hasil penilaian postur kerja dengan menggunakan metode RULA, REBA, QEC,

OWAS dan WERA.

Tabel 4. Kriteria Hasil Penilaian Postur Kerja Mengambil Kain

Elemen

Kerja

Kriteria Hasil Penilaian Postur kerja

RULA REBA QEC OWAS WERA

Mengambil

Kain

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Untuk rekapitulasi penilaian postur kerja keseluruhan dari elemen kerja bagian

pengepresan di industri tahu dapat dilihat pada tabel

Page 172: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

158

Tabel 5. Kriteria Hasil Penilaian Postur Kerja Pada Seluruh Elemen Elemen

Kerja

Kriteria Hasil Penilaian Postur kerja

RULA REBA QEC OWAS WERA

Mengambil

kain

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Melapis kain

kecetakan

Diperlukan

beberapa

waktu

kedeapan

Mungkin

diperlukan

diperlukan Diperlukan

beberapa

waktu

kedeapan

Pekerjaan aman

Mengambil

bahan

Tindakan

dalam waktu

dekat

Segera Tindakan

dalam

waktu

dekat

Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Perkerjaan

diperlukan

inverstigasi

Menuangkan

bahan

ke cetakan

Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Segera Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Pekerjaan

diperlukan

investagasi

Meratakan

tahu

Aman Kecil Aman Aman Pekerjaan aman

Menutup

kain

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Menutup

papan cetakan

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Menutup

papan cetakan

dengan batu

Aman Perlu Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Diperlukan

beberapa

waktu

kedepan

Pekerjaan aman

Membuka

batu

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Membuka

papan

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

Membuka

kain

Aman Aman Aman Aman Pekerjaan aman

4. Simpulan

Berdasarkan pengolahan data dan analisis masalah, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pada aktifitas proses pengepresan tahu yang terdiri dari 11 elemen kerja

teridentifikasi bahwa postur kerja memiliki potensi menimbulkan cidera.

Hasil RULA, REBA, QEC, OWAS, WERA mempelihatkan postur kerja yang

salah dan perlunya tindakan terhadap perbaikan postur kerja artinya

memerlukan perbaikan dengan segera karena postur tersebut berbahaya

khususnya pada bagian mengambil bahan.

2. Penilaian dengan menggunakan Nordic questioneir diperoleh bahwa

keseluruhan aktifitas pekerja pada bagian pengepresan memiliki nilai sakit

dan sangat sakit.

Page 173: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

159

Daftar Pustaka

1. Martaleo, M. 2012. Perbandingan Penilaian Risiko Ergonomi dengan Metode

REBA dan QEC (Studi Kasus Pada Kuli Angkut Terigu). Jurnal Simposium

Nasional RAPI XI FT UMS. ISSN: 1412-9612: 157-163.

2. Astuti, R.D. 2007. Analisis Pengaruh Aktivitas Kerja dan Beban Angkat

Terhadap Kelelahan Muskuloskeletal. Jurnal Gema Teknik. 10 (02): 27-32.

3. Sutrio, 2011, Analisis Pengukuran RULA dan REBA Petugas pada

Pengangkatan Barang di Gudang dengan Menggunakan Software

Ergolntelligence (Studi kasus: Petugas Pembawa Barang di Toko Dewi

Bandung), Prosiding Seminar Nasional RITEKTRA, ISBN: 978-602-97094-3-

8

4. Susihono, 2012, Perbaikan Postur Kerja Untuk Mengurangi Keluhan

Muskuloskeletal Dengan Pendekatan Metode Owas (Studi kasus di UD. Rizki

Ragil Jaya – Kota Cilegon), Spektrum Industri, 2012, Vol. 10, No. 1

5. Nevile, 2008, Stanton, Hand Book Of Human Factor and Ergonomics

Methods, CRC Press

6. Pratiwi, 2014, Evaluasi Penilaian Risiko Postur Kerja Pada Pekerja

Gerabah, Seminar Nasional IDEC 2014, ISBN: 978-602-70259-2-9.

Page 174: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

160

Kajian Kualitas Udara Dalam Ruangan di Perkantoran

untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan

Muslikha Nourma Rhomadhoni Fakultas Kesehatan, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Kampus B UNUSA RSI Jemursari No. 51-57 Surabaya

Tel: 031-8479070. E-mail: [email protected]

Abstrak

Polusi udara dalam ruangan berdampak dua sampai lima kali lebih buruk dari udara

luar. Tahun 1989 Environmental Protection Agency Of America (EPA) mengumumkan

studi di Amerika isu polusi udara dalam ruang, bahwa polusi udara dalam ruangan lebih

berat dari pada di luar ruangan sebab hampir 90% manusia beraktivitas di dalam ruangan.

Dampaknya menurunkan produktivitas kerja hingga senilai US $10 miliar.

Kajian ini bertujuan untuk mengkaji sumber polusi udara dalam ruangan, persyaratan dan

tata laksana udara di ruangan perkantoran di Indonesia, serta pengaruh kualitas udara

ruangan dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

Hasil kajian National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) bahwa

sumber polusi udara dalam ruangan adalah ventilasi yang tidak baik (52%), kontaminasi

dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung (10%), kontaminasi

mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%), lain-lain (13%). Untuk

mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mencegah timbulnya gangguan

kesehatan di perkantoran, Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri

Kesehatan No. 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja

perkantoran dan industri telah mengatur persyaratan kualitas udara dalam ruangan.

Kualitas udara ruangan yang dimaksud meliputi suhu, kelembaban, debu, pertukaran

udara, gas pencemar, mikrobiologi. Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai

dengan kondisi manusia sebagai pekerja berdampak pada kinerja dan produktivitas kerja

yang dihasilkan. Sedangkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat menurunkan

produktivitas kerja.

Kata kunci: perkantoran, produktivitas kerja karyawan, udara dalam ruangan.

1. Pendahuluan

Kualitas udara dalam ruang berpengaruh pada kesehatan manusia, sebab

hampir 90% hidup manusia berada dalam ruangan.1 Polusi udara dalam ruangan

merupakan urutan lima besar risiko lingkungan pada kesehatan Environmental

Protection Agency Of America (EPA). Udara dikelompokan menjadi udara luar

ruangan (outdoor air) dan udara dalam ruangan (indoor air). Sebanyak 400

sampai 500 juta orang di negara berkembang sedang menghadapi masalah polusi

udara dalam ruangan.2 Tahun 1989 EPA melakukan studi di Amerika bahwa

polusi udara dalam ruangan lebih berat dari pada di luar ruangan. Dampaknya

mampu menurunkan produktivitas kerja hingga senilai US $10 milyar.3 Dalam

penelitian lain polusi udara di dalam ruangan telah membunuh 3,5 juta orang di

seluruh dunia tahun 2010.4 Kualitas udara yang rendah dalam suatu bangunan

berhubungan erat dengan Sick Building Syndrome (SBS). Pegawai yang bekerja di

dalam ruangan dengan suhu lebih dari 26ºC mempunyai risiko 3,363 kali lebih

besar untuk mengalami SBS, dibanding dengan pegawai yang bekerja dalam

Page 175: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

161

ruangan dengan suhu udara 26ºC atau lebih rendah.5 Berdasarkan hasil penelitian

di atas peneliti ingin mengkaji sumber polusi udara dalam ruangan, persyaratan

dan tata laksana udara di ruangan perkantoran di Indonesia, serta pengaruh

kualitas udara ruangan dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah studi pustaka tentang kualitas udara dalam ruangan

kerja dan pengaruhnya dengan produktivitas kerja pada publikasi penelitian dan

referensi terkait.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Sumber polusi udara dalam ruangan

Menurut EPA, polusi udara dalam ruangan dua sampai lima kali lebih buruk

dari udara di luar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar rumah terisolasi

bahan-bahan beracun yang dihasilkan oleh bangunan itu sendiri, perlengkapan

dalam bangunan (karpet, AC, dan sebagainya), kondisi bangunan, suhu,

kelembaban, pertukaran udara, dan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

orang-orang yang berada di dalam ruangan, misalnya merokok. Menurut National

Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) bahwa masalah kualitas

udara dalam ruang disebabkan oleh6 ventilasi yang tidak baik (52%), kontaminasi

dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung (10%),

kontaminasi mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%), lain-

lain (13%). Sumber polusi udara dalam ruang selain berasal dari bahan-bahan

sintetis dan beberapa bahan alamiah yang digunakan untuk karpet, busa, pelapis

dinding, dan perabotan rumah tangga (asbestos, formaldehid, Volatile Organic

Compound (VOC)), juga berasal dari produk konsumsi (pengkilap perabot,

perekat, kosmetik, pestisida/insektisida).7

Unsur utama polutan dalam ruangan seperti formaldehida pada kayu lapis,

papan partikel dan perekat; itu ditemukan di sebagian besar lemari, karpet dan

dinding. Benzena pada deterjen, cat lateks, minyak, busa, pewarna, karet. Karbon

monoksida dihasilkan dari kompor gas, knalpot kendaraan bermotor, dan asap

rokok dan trichloroethylene pada cat, lak, shampoo karpet, penghilang spot dan

perekat, serta digunakan dalam dry cleaning.

3.2 Persyaratan dan Tata Laksana Udara di Ruangan

Untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mencegah timbulnya

gangguan kesehatan terjadinya di perkantoran dan industri Pemerintah Republik

Indonesia telah mengatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.

1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja

perkantoran dan industri. Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran

meliputi: persyaratan air, udara, limbah, pencahayaan, kebisingan, getaran,

radiasi, vektor penyakit, persyaratan lokasi, ruang dan bangunan, toilet dan

instalasi. Berikut adalah persyaratan dan tata laksana udara ruang di perkantoran:

3.2.1 Suhu dan kelembaban

Persyaratan: Suhu: 18–28°C, Kelembaban: 40% - 60%. Tata laksana: Agar

ruang kerja perkantoran memenuhi persyaratan kesehatan perlu dilakukan upaya-

upaya sebagai berikut: tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m ; bila suhu

udara >28oC perlu menggunakan alat penata udara seperti Air Conditioner (AC),

kipas angin, dll ; bila suhu udara luar <18oC perlu menggunakan pemanas ruang ;

Page 176: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

162

bila kelembaban udara ruang kerja >60% perlu menggunakan alat dehumidifier ;

bila kelembaban udara ruang kerja <40% perlu menggunakan humidifier

(misalnya: mesin pembentuk aerosol).

3.2.2 Debu

Persyaratan kandungan debu maksimal di dalam udara ruangan dalam

pengukuran rata-rata 8 jam adalah debu total konsentrasi maksimal 0,15 mg/m ;

asbes total konsentrasi maksimal 5 serat/ml udara dengan panjang serat 5 u

(Mikron). Tata laksana agar kandungan debu di dalam udara ruang kerja

perkantoran memenuhi persyaratan kesehatan maka perlu dilakukan upaya-upaya

sebagai berikut: kegiatan membersihkan ruang kerja perkantoran dilakukan pada

pagi dan sore hari dengan menggunakan kain pel basah atau pompa hampa

(vacuum pump), pembersihan dinding dilakukan secara periodik 2 kali/tahun dan

dicat ulang 1 kali setahun, serta sistem ventilasi yang memenuhi syarat.

3.2.3 Pertukaran udara

Persyaratan pertukaran udara ; 0,283 m3/menit/orang dengan laju ventilasi:

0,15 – 0,25 m/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingan

harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan

sistim ventilasi silang. Tata laksana agar pertukaran udara ruang perkantoran

dapat berjalan dengan baik maka perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut:

untuk ruangan kerja yang tidak ber AC harus memiliki lubang ventilasi minimal

15% dari luas lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang, ruang yang

menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan mendapat

pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu dan jendela

atau dengan kipas angin, membersihkan saringan/filter udara AC secara periodik

sesuai ketentuan.

3.2.4 Gas pencemar

Persyaratan kandungan gas pencemar dalam ruang kerja, dalam rata-rata

pengukuran 8 jam sebagai berikut:

Tabel 3.2 Kandungan Gas Pencemar dalam Ruang Kerja

No. Parameter Konsentrasi maksimal

mg/m3 ppm

1. Asam Sulfida (H2S) 1 -

2. Amonia (NH3) 17 25

3. Karbon Monoksida (CO) 29 25

4. Nitrogen Dioksida (NO2) 5,60 3,0

5. Sulfur Dioksida (SO2) 5,2 2

Tata laksana agar kandungan gas pencemar dalam udara ruang kerja

perkantoran tidak melebihi konsentrasi maksimum perlu dilakukan tindakan-

tindakan sebagai berikut: pertukaran udara ruang diupayakan dapat berjalan

dengan baik, ruang kerja tidak berhubungan langsung dengan dapur, dilarang

merokok didalam ruang kerja, dan tidak menggunakan bahan bangunan yang

mengeluarkan bau yang menyengat.

3.2.5 Mikrobiologi

Persyaratan angka kuman kurang dari 700 koloni/m3 udara dan bebas

kuman patogen. Tata laksana agar angka kuman di dalam udara ruang tidak

melebihi batas persyaratan maka perlu dilakukan beberapa tindakan sebagai

Page 177: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

163

berikut: karyawan yang sedang menderita penyakit yang ditularkan melalui udara

untuk sementara waktu tidak boleh berkerja, lantai dibersihkan dengan antiseptik,

memelihara sistem ventilasi agar berfungsi dengan baik, dan memelihara sistem

AC sentral.

3.3 Pengendalian

Studi National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan

bahwa tanaman di dalam ruangan dapat mendetoksifikasi hingga 85 % polusi

udara dalam ruangan. Dr. Bill Wolverton, peneliti senior dari NASA's, John C.

Stennis Space Center, Bay St. Louis, Missisipi, meneliti penggunaan tanaman

hidup sebagai penyaring udara selama lebih dari 20 tahun. Dari 40 jenis tanaman

yang telah diuji, diantaranya yang paling bermanfaat adalah palem (areca palm),

sirih gading (golden photos) dan tanaman jagung. Tanaman tersebut mudah

tumbuh di dalam rumah, memerlukan cahaya rendah, dan efektif membersihkan

udara. Hasil eksperimen NASA menyebutkan bahwa tanaman-tanaman tersebut

efektif dalam memindahkan polutan seperti formaldehyde, karbonmonoksida

(CO), dan nitrogen dioksida (NO2).8

NASA dan Associated Landscape Contractors of America (ALCA) telah

melakukan penelitian terhadap beberapa jenis tumbuhan. Hasilnya, beberapa

tanaman hias di dalam ruangan mampu menyerap polutan dan gas-gas berbahaya

seperti benzena, xylene, formaldehide, xilena, nitrogen oksida dan berbagai bahan

kimia lain di udara. Tanaman yang dimaksud adalah:

1. Lidah mertua (snake plant)

Dikenal dengan Sansieverra, mampu menyerap karbon

monoksida, nikotin, benzene, formaldehyde,

trychloroethylene, dan dioksin. Lima helai daun

Sansieverra dewasa mampu menyerap dan membersihkan

ruangan seluas 100m3 dari berbagai jenis polutan .

2. Lidah buaya (Aloe vera)

Tanaman ini mampu menetralisir racun benzena dan

berbagai bahan kimia lainnya.

3. Spider plant (chlorophytum comosum)

Tanaman ini mampu menyerap benzena, formaldehida,

karbon monoksida dan xilena, bahkan bahan kimia pada

industri, karet dan percetakan. 4. Gerber daisy (gerbera jamesonii)

Di Indonesia dikenal sebagai Herbras. Tanaman ini

efektif menghilangkan trichloroethylene. Cocok

diletakkan di kamar mandi, ruang mencuci atau kamar

tidur.

5. Sirih gading (epipremnum aureum)

Sirih gading sering disebut golden photos atau devil’s ivy.

Tanaman ini mampu menjadi pembersih udara dalam

ruangan dan menyerap racun formaldehid dan berbagai

polutan lainnya.

Page 178: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

164

6. Dragon tree (dracaena marginata)

Dragon tree atau red –edged dracaena dari famili

asparagaceae. Tanaman ini mampu menyerap xylene,

trichloroethylene dan formaldehida yang ada di udara

akibat lak, pernis dan bensin.

7. Bunga krisan (chrysanthemum morofolium) Dalam

bahasa inggris dikenal sebagai florist’s daisy atau herdy

garden mum. Tanaman ini mampu menghilangkan

benzena (dari lem, cat, plastik dan detergen), formaldehid

dan bahan kimia lainnya di udara.

8. Beringin (ficus benjamina)

Tanaman ini mampu membersihkan udara di dalam

ruangan terutama menyerap polutan terkait karpet dan

furnitur seperti formadehide, benzena dan

trychlorosthylene.

9. Rhododendron (Rhododendron simsii)

Tanaman ini mampu menyerap polutan formaldehide dari

sumber playwood atau insulasi busa.

10. English ivy (hedera helix)

Tanaman ini mampu membersihkan udara dalam ruangan

dari partikel pengotor udara. Juga menyerap formaldehid

pada produk pembersih rumah tangga.

11. Warneck dracaena (dracaena deremensis)

Tanaman ini mampu menghilangkan polutan yang

diakibatkan oleh pernis dan minyak.

12. Evergen cina (aglaonema crispum)

Tanaman ini mampu membersihkan polutan dalam

ruangan diantaranya benzena dan formaldehid.

13. Palem bambu (chamaedorea seifrizii)

Tanaman ini mampu menyerap polutan benzena dan

trychloroethylene serta gas beracun formaldehid yang

melekat pada furnitur.

14. Heart leaf philodendron (philodendron oxycardium)

Tanaman ini mampu menyerap hampir semua jenis

polutan di udara.

15. Peace lily (spathiphyllum)

Tanaman ini mampu menghilangkan racun dan polutan

di dalam ruangan seperti formaldehide, benzen,

trrichloroethylen, toulena dan xilena.

3.4 Udara Ruangan dalam Meningkatkan produktivitas kerja

Rasa nyaman penting secara biologis sebab berpengaruh pada kinerja organ

tubuh manusia ketika sedang bekerja. Faktor lingkungan fisik yang

mempengaruhi kinerja karyawan, adalah pewarnaan, penerangan, udara, suara

bising, ruang gerak, keamanan.9 Dampak positif udara ruangan yang baik adalah

Page 179: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

165

karyawan akan melaksanakan kegiatannya dengan baik dan mencapai hasil yang

optimal, mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan.10

Efisiensi

kerja pegawai kantor rata-rata menguntungkan 20% setelah diberi Air

Conditioning (AC). Karena penggunaan AC mengatur keadaan udara dengan

mengawasi suhu, peredaran, kelembaban, dan kebersihan. Dengan terpenuhinya

kualitas dan kuantitas udara yang baik maka akan memberikan banyak

keuntungan bagi kantor yaitu meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan

mutu kerja kantor, menjaga kesehatan pegawai, meningkatkan semangat kerja dan

menimbulkan kesan yang menyenangkan bagi para tamu.11

Kualitas udara ruangan yang buruk dapat menurunkan produktivitas.12

Suhu

udara juga berpengaruh signifikan pada kelelahan mata karyawan.13

Pada tempat

pengelasan udara yang panas mampu menurunkan tingkat konsentrasi, tingkat

kesalahan yang lebih tinggi dan meningkatkan ketidakhadiran pekerja pada saat

bekerja, mengurangi produktivitas sehingga meningkatkan biaya pelatihan dan

pengobatan karena efek dari kualitas udara dalam ruangan.14

Tahun 1994 OSHA

menghitung kerugian pengusaha adalah total biaya tahunan akibat Indoor air

quality (IAQ) US $15 miliar karena inefisiensi pekerja dan cuti sakit. Suhu udara

akan mengurangi efisiensi kerja dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi

otot. Suhu udara yang panas menurunkan prestasi kerja. Suhu lingkungan yang

terlalu tinggi menyebabkan peningkatan beban psikis (stres) sehingga

menurunkan konsentrasi dan persepsi kontrol terhadap lingkungan kerja yang

selanjutnya menurunkan prestasi kerja. Suhu yang terlalu tinggi dapat

menimbulkan terjadinya risiko kecelakaan dan kesehatan kerja.

4. Kesimpulan

Sumber polusi udara dalam ruangan, ventilasi yang tidak baik (52%),

kontaminasi dari dalam gedung (16%), kontaminasi yang berasal dari luar gedung

(10%), kontaminasi mikrobiologi (5%), dan kontaminasi material bangunan (4%),

lain-lain (13%). Untuk mencegah pencemaran lingkungan dan mencegah

timbulnya gangguan kesehatan terjadinya di perkantoran, Pemerintah Republik

Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 1405 Tahun 2002 tentang

persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri telah mengatur

persyaratan kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara ruangan yang dimaksud

meliputi suhu, kelembaban, debu, pertukaran udara, gas pencemar, mikrobiologi.

Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia sebagai

pekerja akan mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan.

Sedangkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dapat menurunkan

produktivitas kerja.

Daftar Pustaka

1. Susanna, D. et al. Kesehatan dan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, Depok. 1998.

2. Yoga, Chandra. Polusi Udara dan Kesehatan. Arcan, Jakarta. 1992.

3. Environmental Protection Agency. Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick

Building Syndrome (SBS). Environmental Protection Agency, United

States//www.epa.gov/iaq/ pubs/sbs.html diakses 20 Agustus 2007. 2007.

4. Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet. 2013.

Page 180: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

166

5. Oktora, Bunga. Hubungan antara kualitas fisik udara dalam ruang (suhu dan

kelembaba relatif) dengan kejadian sick building syndrome (SBS) pada

pegawai kantor pusat perusahaan jasa konstuksi X di jakarta timur. Skripsi.

Departemen kesehatan lingkungan. Universitas Indonesia. 2008.

6. Lunau F, Reynolds GL. Indoor Air Quality and Ventilation. London: Selper

Ltd., 1990.

7. Environmental Protection Agency. Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick

Building Syndrome (SBS). Environmental Protection Agency, United States.

(online) http://www.epa.gov/iaq/pubs/sbs.html. 2007.

8. http://lifestyle.liputan6.com/read/2100188/ini-dia-3-vacuum-cleaner-alami-

untuk-serap-polusi- di-rumah-anda, diakses 21 Maret 2016.

9. Yoharnita Nur Fitriana. Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Prestasi Kerja

Karyawan Di PT. PJB Service Sidarjo, Skripsi, Prodi Psikologi Institut Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2013. hal 20.

10. http://www.kompasiana.com/hadi_santa/pengaruh-kebisingan-temperatur-dan-

pencahayaan-terhadap-performa-kerja_550081c7813311791bfa78ae diakses

10 Maret 2016.

11. Moekijat. Tata Laksana Kantor Manajemen Perkantoran. Bandung: Mandar

Maju. 2002.

12. Wyon, D. ‘The effects of Indoor air quality on performance and productivity.

2004.

13. Aryanti, Riski Cahya. Hubungan antara intensitas penerangan dan suhu udara

dengan kelelahan mata karyawan pada bagian administrasi di PT. Hutama

Karya Wilayah IV Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan

Universitas Negeri Semarang. 2006.

14. Bjarne, Olesen, Pusat Internasional untuk Indoor Lingkungan dan Energi,

Technical University of Denmark. Nils Koppels Alle, Membangun. 402, DK-

2800 Lyngby, [email protected]

Page 181: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

167

Kenyamanan, Kekuatan Otot, Denyut Nadi, dan Kelelahan

Mekanik Bengkel Sepeda Motor Konvensional

di Kotamadya Padang

Amrizal Arief1, Erzedin Alwi

2

1 FKM, Universitas Baiturrahmah Padang 2 PT Otomotif Fakultas Teknik, Universitas Negeri Padang

E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Masalah ergonomi pada perbengkelan sepeda motor seperti bengkel informal adalah sikap

kerja jongkok, pada bengkel formal adalah sikap kerja berdiri, kedua sikap kerja tersebut

berpengaruh terhadap produktivitas kerja. kerja jongkok di lantai tentu akan menimbulkan

beban kerja tambahan, kerja berdiri akan menimbulkan berbagai masalah pada kaki.

Suatu studi dengan ‘treatment bysubject design’ terhadap pekerja dengan sikap kerja

jongkok sebagai kontrol dan setelah di’washing out’ subjek diberi intervensi. Intervensi

berupa: kerja berdiri menggunakan bike lift dan duduk dikursi tambahan sesuai

antropometri pekerja. Variabel yang diteliti adalah: keluhan muskuloskeletal dengan

kuesioner Nordiac Body Map, kekuatan otot menggunakan Dynamometer, denyut nadi

menggunakan Personal ECG Recorder EP-202©, kelelahan umum menggunakan

Reaction Timer, kelelahan otot menggunakan Accutrend ® Lactate. Data dianalisis dengan

uji t-paired. Hasil yang diperoleh: 1) dijumpai pengurangan keluhan muskuloskeletal

yang sangat berarti, 2) pengurangan kekuatan otot 6,9 %, 3) beban kerja kategori beban

kerja sedang dengan pengurangan beban kerja 39,74%, 4) kelelahan umum turun dari

kelelahan kerja sedang ke kelelahan kerja ringan dengan penurunan 37,59%, dan 5)

kelelahan otot dari ambang aerobik ke keadan normal dan turun sebanyak 45,7%.

Kata kunci: denyut nadi, kekuatan otot, kelelahan umum, kenyamanan, otot.

1. Pendahuluan

Kesehatan Kerja merupakan terjemahan dari “Occupational Health” adalah

bagian dari kesehatan masyarakat, atau aplikasi kesehatan masyarakat di dalam

suatu masyarakat pekerja dengan lingkungan kerjanya. Kesehatan kerja bertujuan

untuk memperoleh derajat kesehatan masyarakat pekerja dan masyarakat

lingkungan perusahaan yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental, dan sosial,

melalui usaha-usaha preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif terhadap

gangguan-gangguan kesehatan akibat kerja dan lingkungan kerja (Kurniawidjaja,

2010).

Perkembangan industri di Indonesia berlangsung amat pesat, baik industri

formal maupun industri informal seperti industri rumah tangga, pertanian,

perkebunan. Di antara industri formal, industri otomotif khususnya sepeda motor

menunjukkan kemajuan yang sangat berarti, dapat dilihat dengan hadirnya

berbagai produk dan jumlah sepeda motor yang masuk ke pasar Indonesia baik

dalam bentuk import langsung (Completely Built Up) Knock Down).

Menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada tahun 2014

penjualan sepeda motorterus menerus mengalami peningkatan. Keadaan tersebut

sangat menggembirakan tidak saja dalam bentuk bisnis kendaraan bermotor, tetapi

juga akan ikut berpengaruh dalam bentuk pelayanan purna jual. Hal ini akan

Page 182: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

168

merangsang pertumbuhan tenaga kerja yang bekerja pada dealer,cabang dealer

dan perbengkelan yang bersifat informal.

Implikasi lain dari berbagai hasil penjualan sepeda motor, berbagai merk

sepeda motor mendirikan perbengkelan utama dan cabang-cabangnya sebagai

tempat pelayanan purna jual. Tidak saja dikelolanya secara langsung, tetapi juga

memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mendirikan perbengkelan dengan

persyaratan seperti merk Honda yang bernaung di bawah Astra Honda Authorized

Service Station (AHASS), Yamaha dengan Yamaha Service Shop (YSS).

Selain implikasi di atas, pengembangan sumber daya manusia berupa

peningkatan ketrampilan pekerja seperti training juga dilakukan oleh masing-

masing induk perusahaan, maupun bekerja sama dengan lembaga pendidikan

formal seperti Balai Latihan Ketrampilan Industri (BLKI) Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi. Output dari pengembangan sumber daya manusia ini

adalah untuk memenuhi tenaga kerja yang akan bekerja pada bengkel resmi,

maupun bengkel yang dikelola masyarakat dan bernaung dibawah lembaga resmi

masing-masing merk.

Peningkatan sumber daya manusia maksudnya adalah, agar pekerja dapat

melaksanakan tugasnya secara profesional, sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan serta mutu kerja yang telah menjadi ketentuan pabrik sepeda motor

masing-masing. Selain penyiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana

perbengkelan. Kenyataan dilapangan yang disebabkan pertumbuhan ekonomi

dalam negeri yang tidak stabil, tidak seluruh perawatan sepeda motor bisa

dilakukan konsumen pada bengkel resmi, maupun pada bengkel-bengkel yang

bernaung di bawah lembaga resmi masing-masing merek.

Hal itu disebabkan oleh berbagai pertimbangan diantaranya jarak bengkel dari

tempat tinggal konsumen, kerusakan mendadak dan biaya perbaikan. Kondisi

tersebut memacu pertumbuhan perbengkelan tidak resmi yang bersifat informal,

dengan kondisi peralatan dan tempat yang kurang sesuai dengan peruntukannya

serta sikap kerja mekanik yang tidak sesuai dengan aturan yang menunjang

kesehatan kerja.

Keberadaan perbengkelan yang bersifat informal, tentu ikut menciptakan

lapangan kerja baru dan dapat menyalurkan para pemuda yang telah pernah

belajar ketrampilan sepeda motor. Mampu mereduksi kemiskinan akibat

pengangguran karena telah ikut menciptakan lapangan kerja, juga dapat menjadi

tempat pendidikan yang bersifat informal bagi pemuda putus sekolah.

Bengkel sepeda motor informal yang keberadaanya didominasi sektor

ekonomi informal diduga kurang memenuhi persyaratan. Chia (2005) menyatakan

penyakit akibat kerja pada sektor ini tidak jauh berbeda dengan sektor industri

formal, malahan lebih beragam dan mungkin banyak yang tidak dikenali. Penyakit

akibat kerja dapat disebabkan fisik (bising, debu, getaran), bahan kimia (pestisida,

berbagai penyakit yang berhubungan dengan kimia), ergonomi (penanganan

beban, pekerjaan berulang, sikap kerja), biologi (kebersihan air, hewan) dan

penyebab lainnya.

Secara umum jenis pekerjaan yang dilakukan pada bengkel informal sama

dengan bengkel formal yaitu service, maintenance maupun overhaul, tetapi

dengan sikap kerja seperti jongkok ataupun duduk sementara di atas balok kayu.

Pengadaan bike lift seperti yang terdapat pada bengkel resmi sangat sulit

dilaksanakan pada perbengkelan informalkarena dari sisi lokasi kerja, pembiayaan

Page 183: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

169

terlalu mahal, serta rumitnya perawatan dan perbaikannya apabila terjadi

kerusakan.

Bengkel sepeda motor formal atau yang bernaung dibawahnya hanya

menangani satu merk sepeda motor, sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada

perusahaan tersebut. Pada bengkel sepeda motor informal aktifitasnya melayani

semua merk sepeda motor, dan biasanya sepeda motor yang diperbaiki diganjal

dengan balok kayu. Mekanik bekerja dalam posisi tubuh yang tidak sempurna

yaitu dalam sikap kerja jongkok, sekali-sekali duduk pada balok kayu, dan

berakibat pada kesehatan mekanik, karena meningkatnya beban kerja.

Bystrom (2004) mengemukakan, beban kerja secara psikologis membuat

perasaan lelah dan gangguan pada muskuloskelelatal, kelelahan fisik akan

menimbulkan ketidaknyamanan, sedangkan kelelahan mental akan membuat

motivasi kerja jadi rendah. Terganggunya kenyamanan kerja akhirnya

meningkatkan kelelahan kerja, sehingga akan berpengaruh pada produktivitas

kerja.

Dari berbagai pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap para

mekanik bengkel sepeda motor informal yang peneliti lakukan, terdapat berbagai

keluhan karena terlalu lama bekerja dalam sikap kerja jongkok, diantaranya terasa

pegal pada bahu serta pinggang, dan posisi punggung membungkuk dan leher

menunduk mengakibatkan leher kaku, rasa nyeri dan pegal pada leher dan

punggung. Selain itu posisi kaki yang terlipat sewaktu jongkok maupun duduk

juga menyebabkan aliran darah ke arah kaki menjadi terhambat, sehingga

menimbulkan berbagai keluhan seperti kesemutan pada tungkai bawah dan

tebalnya kaki.

Dari berbagai kasus pekerjaan pada bengkel sepeda motor informal dan

bengkel formal di atas, peneliti mengadakan penelitian pendahuluan yang

dilakukan terhadapmekanik bengkel sepeda motor informal dan formal di

Kotamadya Padang, ditemukan kasus berikut diantaranya, perbedaan energi

pekerja, indeks beban kerja, kekuatan otot, dan kelelahan kerja bengkel informal

lebih tinggi dari pada bengkel formal.

Alternatif yang diajukan adalah sikap kerja yang lebih dinamis (duduk-

berdiri), Tarwaka (2004) mengemukakan bahwa sikap duduk-berdiri merupakan

sikap terbaik dan lebih dikehendaki dari pada hanya sikap duduk atau berdiri saja.

Hal tersebut disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti sikap kerja untuk

mengurangi kelelahan otot.

Achmadi (2013) mengemukakan, bahwa Ilmu Kesehatan Kerja berupaya

agar masyarakat dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan di-rinya, dengan

mempelajari hubungan interaktif antara tiga komponen utama obyek keilmuan,

yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Ditegaskan juga bahwa

ilmu kesehatan kerja mempelajari teknik, metode serta berbagai upaya

penyelesaian masalah dengan cara menyerasikan ketiga kom-ponen keilmuan

tersebut, kesehatan kerjayang buruk akan timbul, bila ketiga komponen tersebut

tidak serasi.

Wibowa (2014) mengemukakan bahwa implementasi program pelayanan

kesehatan kerja adalah program pelayanan paripurna, dilaksanakan secara

komprehensif, diantaranya berupa penyerasian manusia dengan mesin dan alat-

alat kerja (ergonomi) yang merupakan salah satu bagian dari pelayanan preventif.

Page 184: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

170

Penyerasian manusia dan alat-alat tersebut, adalah merupakan perilaku pe-

meliharaan kesehatan (Sucipta 2009).

Manuaba (2006) mengemukakan, ergonomi dapat mengurangi beban ker-ja,

dengan evaluasi fisiologis, psikologis atau cara-cara tidak langsung, beban kerja

dapat diukur dan dianjurkan untuk mencari penyesuaian antara kapasitas kerja,

beban kerja dan beban tambahan yang berasal dari lingkungan kerja.Dalam

melakukan berbagai usaha perbaikan terhadap faktor pekerjaan (task), lingkungan

kerja, haruslah selalu berpusat kepada pekerja.

Perbaikan sikap kerja tersebut sesuai dengan penjelasan undang-undang

nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang mengamanatkan antara lain, setiap

tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi

gangguan kesehatan pada mekanik, keluarga, masyarakat dan lingkungan

sekitarnya. Salah satu upaya adalah berusaha menerapkan konsep ergonomi pada

sarana kerja dengan mencoba pekerja bekerja dengan menggunaka bike lift sepeda

motor, artinya sikap kerja duduk-berdiri (dinamis) dengan bantuan bike lift yang

bisa diatur ketinggiannya sesuai dengan kondisi mekanik, dan kursi kerja.

Secara umum permasalahan yang timbul pada bengkel sepeda motor

gangguan kesehatan kerja pada mekaniknya, lebih banyak disebabkan oleh faktor

ketidakseimbangan antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.

Setelah menggunakan bike lift dengan sikap kerja pekerja yang lebih dinamis,

apakah gangguan kesehatan kerja yang dialami mekanik bisa ditekan serendah-

rendahnya, dan menyamai atau mendekati gangguan kesehatan kerja yang mung-

kin timbul pada mekanik sepeda motor di bengkel resmi seperti peningkatan

kenyamanan, penurunan kekuatan otot, denyut nadi, kelelahan umum dan

kelelahan otot.

2. Metode Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimen, desain yang

digunakan adalah rancangan sama subjek (Kountur, 2007), maksudnya kelompok

yang mendapat perlakuan dan kelompok pengendali sebelum dan sesudah

perlakuan selalu diobservasi.

Variabel yang akan diukur dan peralatan yang digunakan untuk me-

ngumpulkan data penelitian ini ialah: Berat badan,Kekuatan otot, Denyut nadi,

Asam laktat darah dan Temperatur dan kelembaban menggunakan Hygrometer,

bising menggunakan Sound Level Meter

3. Hasil dan Pembahasan

Setelah melaksanakan eksperiemen terhadap 10 orang mekanik sepeda motor

yang berasal dari bengkel konvensional dari tangal 1 Februari sampai 9 April

2016, yang diawali dengan eksperimen kerja dengan sikap kerja jongkok

sebanyak tiga kali, diselingi washing out 27 hari, kemudian dilanjutkan

eksperimen kerja duduk berdiri (kerja dinamis) juga tiga kali.

Hasil-hasil analisa data berupa kekuatan otot, denyut jantung dan kelelahan

dapat dilihat seperti berikut:

3.1 Keluhan Kenyamanan Otot

Berdasarkan hasil analisis data kenyamanan otot pada pekerja bengkel

konvensional di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 1)

Page 185: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

171

Tabel 1. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kenyamanan Otot

No Variabel n

P0 (Sikap

Kerja Lama)

P1 (Sikap

Kerja Baru) P0-P1 p-value

Rerata±SB Rerata±SB

1 Total skor Kenya-

manan otot pretest

10 102,40±1,897 99,30 ±4,218 3,1 0,054

2 Total skor Kenya-

manan tot postest

10 104,20±3,938 50,10±10,92 49,1 0,000

3 Beda total skor

kenyamanan otot

10 1,8±4,826 49,70±12,16

6

-47,9 0,000

3.2 Kekuatan Otot

Berdasarkan hasil analisis data kekuatan otot pada pekerja bengkel

konvensional di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel2)

Tabel 2. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kekuatan Otot

No Variabel n

P0 (Sikap

Kerja Lama)

P1 (Sikap

Kerja Baru P0-P1 p-value

Rerata±SB Rerata±SB

1 Total skor ke-

kuatan otot pretest

10 32,14±3,43 31,98±3,62 0,16 0,427

2 Total skor ke-

kuatan otot

postest

10 33,82±3,27 28,65±5,41 5,17 0,001

3 Beda total skor

kekuatan otot

10 -1,96±1,38 3,33±3,88 -1,37 0,001

3.3 Denyut Nadi

Berdasarkan hasil analisis data denyut nadi sebelum bekerja, denyut nadi saat

bekerja, maupun perbedaan denyut nadi saat bekerja dan sebelum kerja pada

bengkel konvensional sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada

(Tabel 3)

Tabel 3. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Denyut Nadi

No Variabel n

P0 (Sikap

Kerja Lama)

P1 (Sikap

Kerja Baru P0-P1 p-value

Rerata±SB Rerata±SB

1 Denyut Nadi saat

istirahat (dpm)

10 76,89±4,46 79,66±4,18 -2,77 0,245

2 Denyut Nadi saat

kerja (dpm)

10 109,35±8,98 99,22±4,85 10,13 0,001

3 Beda total Denyut

Nadi

10 32,46±10,05 19,56±4,87 12,9 0,001

3.4 Kelelahan Umum

Berdasarkan hasil analisis data kelelahan pekerja bengkel konvensional pada

sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 4)

Page 186: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

172

Tabel 4. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kelelahan Umum

No Variabel n

P0 (Sikap Kerja

Lama)

P1 (Sikap Kerja

Baru P0-P1 p-

value Rerata±SB Rerata±SB

1 Total Skor Kelelah-

an umum Pretest

10 165,749±1,210 166,41±1,062 -

6608

0,30

8

2 Skor Kelelahan

umum Postest

10 451,279±11,555 308,52±112,80 142,

75

0,00

3

3 Beda Skor

Kelelahan umum

10 285,465±12,02 178,147±64,1 107,

31

0,00

0

3.5 Kelelahan Otot

Berdasarkan hasil analisis data kelelahan otot pekerja bengkel konvensional

pada sepeda motor di Kotamadya Padang dapat dilihat pada (Tabel 5)

Tabel 5. Analisis Hasil Uji t-paired Total Skor Kelelahan Otot

No Variabel n

P0 (Sikap Kerja

Lama)

P1 (Sikap

Kerja Baru P0-P1 p-

value Rerata±SB Rerata±SB

1 Total Skor

KelelahanPretest

10 2,02±0,12 1,97±0,04 0,05 0,248

2 Skor Kelelahan

Postest

10 3,65±0,24 2,87±0,31 0,78 0,001

3 Beda Skor

Kelelahan

10 1,64±0,22 0,89±0,33 0,75 0,002

4. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian perobahan sikap kerja mekanik bengkel sepeda

motor konvensional dari sikap kerja jongkok kesikap kerja dinamis (duduk-

berdiri), dapat simpulan sebagai berikut:

a. Kenyamanan tubuh mekanik sepeda motor konvensional setelah dirobah jadi

sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata penurunan kenyamanan tubuh

mekanik bekerja sangat berarti.

b. Gangguan kekuatan otot tangan mekanik sepeda motor pada bengkel sepeda

motor konvensional, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-

berdiri) ternyata kekuatan otot mekanik tersebut cukup berarti, artinya

gangguan otot mekanik sepeda motor tersebut semakin kecil.

c. Denyut jantung mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional yang kerja

dengan sikap kerja jongkok, setelah dirobah dengan sikap kerja dinamis

(duduk-berdiri) ternyata denyut nadi mekanik tersebut tuurn cukup berarti,

artinya beban kerja mekanik tersebut semakin ringan.

d. Kelelahan umum mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional, setelah

dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata penurunan

kelelahan umum mekanik tersebut turun sangat berarti.

e. Kelelahan otot mekanik sepeda motor pada bengkel konvensional, setelah

dirobah dengan sikap kerja dinamis (duduk-berdiri) tenyata kelelahan otot

mekanik tersebut turun cukup berarti, artinya kelelahan mekanik sepeda motor

tersebut semakin kecil.

Page 187: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

173

5. Saran

Dari kesimpulan baik berupa penurunan kekuatan otot, penurunan beban

kerja yang ditandai dengan penurunan denyut nadi dan penurunan kelelahan,

setelah terjadinya perobahan sikap kerja dari semula sikap kerja jongkok ke sikap

kerja dinamis (duduk berdiri) pada bengkel sepeda motor konvensional. Perlu

kiranya ditindak lanjuti penelitian ini pada sektor informal lainnya, karena

bagaimanapun penurunan beban kerja, kekuatan otot, dan kelelahan dengan

sendirinya akan berdampak positif terhadap produktivitas kerja.

Daftar Pustaka

Achmadi, U. F. 2013. Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Bystrom, P., Hanse, J, J. & Kjellberg, A. 2004. Appraised Psychological

Workload, Muskuloskeletal Symptoms, and the Mediating Effect of

Fatique; A Structural Equation Modeling Approach. Scandinavian Journal

of Psychology.Hal 331-341.

Chia S.E. 2005. Common Occupational Diseases Among Workers In The

Informal Sectors and A suggested Approach to Prevent and Control These

Diseases. Presented at International Conference on Occupational Health

Aspects of Industrial Development and Informal Sector, 30 November

2005. Yogyakarta

Kountur, R. 2007. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Penerbit

PPM. Jakarta.

Kurniawidjaja, LM, 2010. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press. Jakarta

Manuaba, A. 2006. Macro Ergonomics Approach on Work Organization with

Special Reference to the Utilization of Total Ergonomich SHIP Approach

to Obtain Human, Competitive and Sustainable Work System and Product.

Proceeding Seminar Nasional Ergonomi. Surabaya.

Sucipta,IN. 2009. Agro Ergonomi, Dasar-Dasar Ergonomi di Bidang Pertanian.

Udayana University Press.

Tarwaka, Bakri. H, A, Sudiajeng. L. 2004. Ergonomi, Untuk Keselamatan, Kese-

hatan dan Produktivitas. Uniba Press. Surakarta.

Wibowa, A 2014. Kesehatan Masyarakat Di Indonesia. Konsep, Aplikasi dan

Tantangan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Page 188: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

174

Kesejahteraan di Tempat Kerja, Menciptakan Lingkungan Kerja

yang Positif, dan Peningkatan Produktivitas Karyawan

Charli Sitinjak Program Pascasarjana, Universitas Muhammadyah Malang

E-mail: [email protected]

Abstrak

Dalam dunia kerja sering dijumpai penurunan kualitas produksi dikarenakan

ketidaknyamanan karyawan dengan suasana kerja yang penuh tekanan, ketidak

harmonisan antar karyawan, bahkan ketidaknyamanan akan peraturan yang dibuat oleh

atasan yang dianggap memberatkan karyawan dalam bekerja. Dengan meningkatkan

kesejahteraan di ruang lingkup perusahaan diangaap dapat memeberkian jawaban atas

problematika yang terjadi, sehingga sebuah perusahaan tidak hanya akan terus

berkembang, para pekerja juga jadi saling harmonis satu sama lain. Dalam tulisan ini

penulis secara fokus membahas tentang kesejahteraan bagi karyawan juga perusahaan,

dengan tujuan untuk membantu suatu perusahaan agar terhindar dari hal-hal yang

merugikan.

Kata kunci: karyawan, kesejahteraan, ruang lingkup kerja.

1. Pendahuluan

Persaingan kerja yang semakin ketat mengakibatkan perusahaan berusaha

untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam menghasilkan

produk berkualitas tinggi. Apalagi saat ini kita dihadapkan dengan sebuah

tantangan besar yaitu MEA (masyarakat ekonomi ASEAN), dengan adanya MEA

ini mau tidak mau prusahanaan loka terus berlomba-lomba untuk menunjukan

kualitas agar tetap bisa eksis di dunia pasar dalam maupun luar negeri.

Dengan adanya optimalisasi demi meningkatkan kualitas kerja tersebut

membuat sebuah tekanan yang lebih besar untuk para karyawan yang bekerja.

Karyawan dituntut untuk bekerja ekstra dan memberikan kemampuan terbaik

mereka, yang bertujuan untuk dapat membantu perusahaan dalam hal kualitas dan

kuantitas prodak yang dihasilkan (Harter, Schimidt, & Keyes, 1999). Pada kondisi

ini karyawan memainkan peranan yang sangat vital dalam membantu sebuah

perusahaan agar tetap eksis.

Disaat seperti ini tidak jarang perusahaan memberlakukan kebijakan-

kebijakan sepihak tanpa mempertimbangkan kesejahteraan karyawan yang

bekerja. Kebijakan tersebut tidak jarang memberikan dampak yang buruk bagi

para karyawan, dan tidak jarang perusahaan juga tidak memperhatikan poin yang

terpenting yaitu keselamatan kerja untuk karyawan (Danna, & Griffin, 1999;

Magallares, Morales, & Rubio, 2011). Keadaan ini merupakan sebuah keadaan

yang dapat merugikan, disatu sisi perusahaan membutuhkan peningkatan produksi

dan disisi lain karyawan juga butuh kualitas pelayanan yang baik guna

meningkatkan kesejahteraan mereka (Waddell, &Burton, 2006).

Untuk menghadapi tantangan-tantangan yang lebih luas yang terjadi akibat

adanya MEA, merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh perusahaan yaitu

meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya. Disini para pekerja merupakan

Page 189: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

175

kunci penentu disebuah perusahaan, mereka merupakan penentu maju mundurnya

sebuah perusahaan. Dengan demikian dapat dikatakan para petinggi perusahaan

harus mengeluarkan kebijakan tidak melihat dari sisi keuntungan perusahaan saja

namun harus melihat dari aspek pekerja juga (Kompas, 2015).

Dari permasalahan yang telah diulas pada alinea-alinea sebelumnya maka

dapat dikatakan bahwa, masih banyak perusahaan yang tidak pro kepada

karyawan-karyawan mereka. hal ini sudah tentu memberikan dampak negatif bagi

pada karyawan. Dampak negatif yang sering terjadi yaitu penurunan loyalitas

karyawan, penurunan produktivitas, jenuh ditempat kerja, dan permasalahan

lainya. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan tekanan yang sangat tinggi yang

mengakibatkan pada pekerja memiliki stress kerja yang tinggi dan penurunan

kesejahteraan yang dirasakan oleh pada karyawan (Grebner, Semmer, Faso, Gut,

Kalin, & Elfering, 2003).

Efek dari stress yang dialami oleh karyawan bisa berakibat sangat fatal,

dilihat dari kaca mata medis stress tersebut bisa berakibat pada serangan jantung,

stroke, gangguan pencernaan, sakit kepala, pilek dan penyakit lainya, sedangkan

penyakit sikologis yang dapat timbul dikarenakan stress ditempat kerja yaiut

depresi, kecemasan, panic berlebihan, penurunan kmitmen kerja, dan

terhambatnya pembentukan emosi positif (meyer, & Maltin, 2010; Ryff, & Keyes,

1995).

Menurut laporan Medibank Private Work Stress, terjadi penurunan

pendapatan sampai dengan jumblah $. 14. 1 milyar akibat dari stress karyawan di

Australia (Australia Psychological Society Stres Nasional dan Kesejahteraan

Survey 2011, 2012, 2014. Pada tahun 2012, (dalam survey stres tahunan Amerika)

orang Amerika menyatakan bahwa 65 persen pekerjaan sebagai sumber utama

stres, (American Psychological Association (APA). Hanya 37 persen orang

Amerika yang disurvei mengatakan mereka melakukan pekerjaan yang sangat

baik mengelola stres atau sangat baik. Satu survei 2013 oleh Pusat APA untuk

Keunggulan Organisasi juga menemukan bahwa stres yang berhubungan dengan

pekerjaan adalah masalah serius. Lebih dari sepertiga orang Amerika yang bekerja

dilaporkan mengalami stres kerja kronis dan hanya 36 persen mengatakan

organisasi mereka menyediakan sumber daya yang cukup untuk membantu

mereka mengelola stres yang dialami.

1.1 Jenis Stres

Eustress merupakan stress yang baik, dikatakan baik karena seseorang yang

sedang mengalami eustress akan lebih termotivasi untuk bekerja (Spector,

Cooper, Sanchez, & O’Driscoll, 2002). Setiap individu membutuhkan stress

dalam melaksanakan kerjanya, stress disini memberikan efek tantangan pada diri

seseorang untuk lebih produktif lagi dan ketika seseorang tersebut bisa melewati

tantangan tersebut mereka akan merasa bahagia.

Distress merupakan stres yang berdampak negatif. Distress didefinisikan

sebagai stres yang berlangsung secara terus menerus yang tidak dapat di

tanggulangi sendiri, meskipun individu tersebut telah berusaha sekuat tenaga

untuk menanggulangi stresnya bekerja (Spector, Cooper, Sanchez, & O’Driscoll,

2002). Stress ini dapat menjadi kronis dan dapat melemahkan indivdu. Efek yang

muncul dari stress ini adalah kecemasan, depresi dan gangguan psikologis lainya.

Gejala perilaku meliputi makan berlebihan, kehilangan nafsu makan, minum,

merokok dan mekanisme koping negatif. Karakteristik distress (Stres negatif):

Page 190: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

176

dapat berlangsung jangka pendek atau jangka panjang, dianggap di luar

kemampuan kita mengatasi, mengurangi motivasi dan menguras energi kita,

sangat tidak menyenangkan, menyebabkan masalah mental dan kesehatan, dan

mengurangi kinerja (Leach, & Kiely, 2013). Contoh: cedera pada saat latihan,

kematian orang yang dicintai, kerawanan dalam pekerjaan, atau kehilangan

pekerjaan, tidak bisa bergaul dengan rekan tim dan pengawas, kurangnya otoritas

dan kurangnya pelatihan, jadwal yang terlalu padat, kurangnya ketegasan, dan

sering menunda-ninda waktu.

Dari penejelasan pada alinea sebelumya, maka dapat diambil kesimpulan

bahwa kurangnya kesejahteraan dapat berakibat fatal bagi karyawan sehingga

mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas produksi dari sebuah perusahaan

(Dolan, Peasgood, & White, 2008). Oleh karena itu pada penelitian kali ini

penelitia ingin meneliti tentang kesejahteraan di tempat kerja yang bertujuan

menciptakan lingkungan yang positif dan meningkatkan produktivitas karyawan.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Kesejahteraan Karyawan di Tempat Kerja

Kesejahteraan dapat diartikan sebagai seatu keadaan dimana individu

merasakan keadaan yang damai, sehat secara jasmani dan rohani, dan padasaat

seseorang merasakan kemakmuran pada dirinya. Sedangkan kesejahteraan

ditempat kerja dapat didefinisikan sebagai kenyamanan yang dirasakan oleh

karyawan kerja yang diapatkan dari lingkungan kerja yang kondusif dan tidak

memberikan tekanan berlebih (Sheldon, Elliot, Ryan, Chirkov, Kim, Wu, Demir,

& Sun, 2004).

Kesejahteraan di dalam ruang lingkup perusahaan bisa dibentuk dengan

memberikan balas jasa (berupa materi dan non materi) yang diberikan oleh pihak

perusahaan berdasarkan hasil kerja seorang karyawan (prestasi) ataupun diberikan

berdasarkan kebijakan yang dilakukan perusahaan (Dolan, Layard, & Metcalfe,

2011; Doge, Daly, Huyton, & Sanders, 2012). Contoh sederhana yang dapat

dilakukan oleh pihak perusahaan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan

para pekerja adalah dengan cara memberikan bantuan bagi yang sakit, bantuan

tabungan karyawan, asuransi, dan pusat pelayanan kesehatan yang menjadi

kewajiban ada disetiap tempat kerja (bisa berupa klinik sederhana) (Australian

Institute of Health and Walfare, 2013).

Pentingnya program peningkatan kesejahteraan yang diberikan kepada

karyawan dengan tujuan menciptakan ruang lingkup yang positif di tempat kerja,

akan berdampak pada tingkat kesejahteraan yang baik bagi setiap karyawan,

sehingga mereka akan lebih tenang dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan

ketenangan tersebut diharapkan para karyawan akan lebih disiplin. Program ini

juga dapat memeberikan semangat dan dorongan yang lebih bagi pada karyawan

dalam bekerja (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002).

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini peneliti

menggunakan orientasi studi kasus, dengan tujuan mendeskripsikan tentang

konteks dan terjadinya suatu kasus (Hanurawan, 2012). Sampel dalam penelitian

ini sebanyak 20 orang karyawan yang memiliki karakteristik telah bekerja di

sebuah perusahaan selama minimal 10 tahun. Teknik dalampengambilan sampel

Page 191: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

177

dilakukan dengan cara purposive sampling. Metode pengambilan data yang

digunakan adalah metode wawancara mendalam.

3.1 Metode Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian ini dengan mengguanakan penelaahan

terhadap seluruh data yang didapat melalu wawancara dengan membuat sebuah

verbatim. Penelaahan disni dilakukan terhadap pola-pola menonjol dalam data

yang terkumpul sehingga dapat dilakukan interpretasi suatu kesimpulan

(proporsisi) sebagai hasi penelitian.

3.2 Validasi Kesimpulan

Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi data.

Triangulasi data dilakukan dengan tujuan mendapatkan keterpercayaan hasil atau

temuan penelitian dalam studi kasus.

4. Temuan dan Simpulan

4.1 Temuan

Dari ke 20 sampel yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan bahwa 17

orang masih memiliki keluhan yang relatif sama yaitu, kurangnya perhatian yang

diberikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan pekerja. Mereka juga

menyatakan bahwa hal tersebut sudah membuat banyak teman mereka yang ogah-

ogahan, mangkir dari pekerjaan, dan tidak lagi bekerja dengan sepunuh hati.

Para perkerja pun memiliki harapan yang sama yaitu perusahaan harus

membuat kebijakan tidak hanya untuk kepentingan perusahaan namun melihat

juga dari sisi pekerja. Terkadang banyak pekerja yang sudah lelah dan sakit tetap

dipaksakan bekerja hanya karena takut untuk dipecat. Sedangkan 3 pekerja yang

lain merasakan sediit lebih baik, mereka bekerja di perusahaan yang notabene

dipegang oleh orang asing, dimana mereka telah disediakan segala sesuatunya

mulai dari keperluan dalam bekerja, makanan, dan klinik kesehatan serta

tunjangan dihari tua yang baik. Hal ini dikatakan oleh mereka dapat menjadi

penyemangat mereka dalam bekerja.

Dari hasil wawancara juga didapatkan bahwa keseluruhan karyawan juga

menuntut hal yang sama, seperti tunjangan-tunjangan, tabungan hari tua, asuransi

kesehatan dan lainya dengan tujuan menciptakan ruang lingkup kerja yang positif.

Alasan mereka mengingnkan ha-hal tersebut adalah agar mereka tidak berfikiran

negatif, dengan menciptakan hal-hal positif seperti memikirkan kesejahteraan

karyawan perusahaan secara perlahan mulai membantu karyawan untuk berfikir

positif juga dan meringankan beban pikiran mereka, dan dapat dikatan mereka

akan terhindar dari distress kerja yang akan berakibat fatal bagi karyawan dan

perusahaan.

4.2 Simpulan

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dapat menjadi

penyeimbang dalam diri karyawan, sehingga karyawan sedikit terbantu dalam

menghadapi tekanan kerja yang tinggi, apalagi dalam menyongsong MEA

produktivitas dan kualitas produk sebuah perusahaan sudah menjadi harga mati

untuk ditingkatkan.

Dengan berhasilnya perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang positif,

maka dapat dikatakan perusahaan tersebut telah siap dalam menyongsong MEA.

Atmosfer positif yang terhadap dalam ruang lingkup perusahaan akan sangat

berpengaruh kepada penignkatan produktivitas para karyawan, membuat

Page 192: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

178

karyawan juga nyaman dalam menikmati pekerjaanya sehari-hari (Haworth, 2015;

Bevan, 2010).

Daftar Pustaka

Australian Institute of Health and Welfare. 2013. Strategies and practices for

promoting the social and emotional wellbeing of Aboriginal and Torres

strait islander people.

Bevan, S. 2010. The business case for employees health and well-being. The Work

Foundation.

Butterworth P, Leach LS & Kiely KM (2013). The relationship between work

characteristics, wellbeing, depression and workplace bullying: technical

findings from a survey of 32–36 year old workers in Canberra and

Queanbeyan, 2013. Canberra: Safe Work Australia.

Danna, K., & Griffin, R. W. 1999. Health and well-being in the work place: A

review and synthesis of the literature. Journal of Management, 25(3), 357-

384.

Doge, R., Daly, A. P., Huyton, J., & Sanders, L. D. 2012. The challenge of

defining wellbeing. International Journal Wellbeing, 2(3), 222-235.

Dolan, P., Layard, R., & Metcalfe, M. 2011. Measuring subjective well-being for

public policy. Office for National Statistics.

Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. 2008. Do we really know what makes us

happy? A review of the economic literature on the factors associated with

subjective well-being. Journal of Economic Psychology, 29, 94-122.

Grebner, S., et al. (2003). Working conditions, Well-being, and job-related

attitudes among call centre agents. European Journal Of Work and

Organizational Psychology, 12(4), 341-365.

Harter, J.K., Schimidt, F. L., & Keyes, C. L. M. 1999. Well-being in the

workplace and its relationship to business outcomes. American

Psychological Association, 9, 205-224.

Haworth. 2015. Workplace design for well-being. www.haworth.com.

http://print.kompas.com/baca/2015/12/01/MEA%2c-Antara-Peluang-dan-A

ncaman.

Keyes, C. L. M., Smhotkin, D., & Ryff, C. D. 2002. Optimizing well-being: The

empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social

Psychology, 82(6), 1007-1022.

Magallares, A., Morales, J. F., & Rubio, M. A. 2011. The effect of work

discrimination on the well-being of Obese people. International Journal of

Psychology and Psychological Therapy, 11(20), 255-267.

Meyer, J. P., & Maltin, E, R. 2010. Employee commitment and well-being: A

critical review, theoretical framework and research agenda. Journal of

Vocational Behavior, 77, 323-337.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. 1995. The structure of psychological well-being

revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 89(4), 719-727.

Sheldon, K. M., Elliot, A. J., Ryan, R. M., Chirkov, V., Kim, Y., Wu, C., Demir,

A., & Sun, Z. 2004. Self-concordance and subjective well-being in four

cultures. Journal of Cross –Cultural Psychology, 32(2), 209-223.

Page 193: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

179

Spector, P. E., Cooper, C. L., Sancez, J, I., & O’Driscoll, M. 2002. Locus of

control and well-being at works: How generalizable are western findings?

Academy of Management Journal, 45(2), 453-466.

Waddell, G., & Burton, A. K. 2006. Is work god for your health and well-being.

www.tsoshop.co.uk.

Page 194: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

180

Pengaruh Postur Kerja Terhadap MSDs Karyawan Instalasi

Central Sterile Supply Department, Laundry, dan Jahit

di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

Agustina Dwi Suryawati1, Sumardiyono

2, Yeremia Rante Ada’

2

1Mahasiswi Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126 2Dosen Program D3 Hiperkes dan KK FK UNS Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, 57126

E-mail: [email protected]

Abstrak

Aktivitas kerja Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi Surakarta

mayoritas menggunakan manual handling seperti penerimaan alat, pencucian alat,

pengemasan alat, pengambilan linen, pemilahan linen kotor, penimbangan linen, dsb.

Pekerjaan tersebut berpotensi menyebabkan MSDs (Musculoskeletal Disorders) karena

dilakukan secara repetitif dengan postur tubuh tidak alamiah seperti membungkuk,

memuntir, mengangkat tangan terlalu tinggi, dll.

Metode penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional. Teknik

pengambilan data menggunakan rancangan perlakuan ulang (one group pre and posttest

design). Pengukuran efek dilakukan sebelum dan sesudah bekerja. Postur kerja dinilai

menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment), MSDs dinilai

menggunakan kuesioner NBM (Nordic Body Map). Populasi penelitian 42 orang, sampel

diambil 30 orang dengan teknik random sampling. Analisis statistik menggunakan

Wilcoxon Test.

Menurut penilaian REBA, terdapat dua tingkat risiko kerja yaitu Sedang (skor 5-7) dan

Tinggi (skor 8-9). Pada uji statistik perbedaan MSDs berdasarkan risikonya diperoleh

p=0,335;t=-0,964. Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan MSDs pada pekerja dengan

risiko Sedang dan Tinggi. Selanjutnya dilakukan uji statistik sebelum dan sesudah bekerja

pada masing-masing risiko, dihasilkan: Risiko sedang (t=-3,519; p=0,000), risiko tinggi

(t=-3,183; p=0,001), risiko sedang dan tinggi (t=-4.706; p=0,000). Sedangkan variabel

pengganggu: jenis kelamin (t=-0,958; p=0,338), kebiasaan merokok (t=-0,338;p=0,736),

IMT (r=0,189; p=0,318), umur (r=0,397; p=0,030).

Tidak ada perbedaan MSDs pada risiko postur kerja Sedang dan Berat, tetapi ada

perbedaan MSDs sebelum dan sesudah bekerja. Variabel jenis kelamin, kebiasaan

merokok, IMT tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian ini, sedangkan umur

berpengaruh terhadap MSDs.

Kata kunci: MSDs, postur kerja,.

1. Pendahuluan

Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah keluhan pada bagian

otot-otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan yang sangat ringan

sampai berat apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam kurun

waktu yang lama maka dapat menyebabkan kerusakan pada otot, saraf, tendon,

persendian, kartilago, dan discus interveteblaris.[1]

Faktor penyebab terjadinya

keluhan muskuloskeletal yaitu peregangan otot yang berlebihan (overexertion),

aktivitas berulang, dan sikap kerja tidak alamiah. Faktor penyebab sekundernya

ialah tekanan, getaran, dan mikroklimat. Beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor

individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan

Page 195: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

181

fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot

skeletal.[2]

Hasil Laporan National Safety Council (NSC) tahun 1988 menunjukkan

bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja industri lain.

Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang,

tergores/terpotong, luka bakar, penyakit infeksi dan lain-lain. Di Australia,

diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain prevalensi 42% dan di AS

insiden cedera muskuloskeletal 4,62/100 perawat per tahun. Cedera punggung

menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun.

Khusus di Indonesia data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS

belum tergambar dengan jelas, namun diyakini banyak keluhan-keluhan dari para

petugas RS sehubungan dengan bahaya-bahaya yang ada di RS. [3]

Beragamnya jenis pekerjaan, mayoritas masih menggunakan manual

handling dan bersifat repetitif, karyawan di Rumah Sakit sangat rentan terhadap

gangguan sistem muskuloskeletal. RSUD Dr. Moewardi merupakan rumah sakit

terbesar di Surakarta. Salah satu pekerjaan di RSUD Dr. Moewardi yang

menggunakan manual handling ialah pekerjaan di Instalasi CSSD (Central Sterile

Supply Department), Laundry dan Jahit. Pekerjaan yang ada di CSSD antara lain

penerimaan alat, pencucian alat, setting alat IBS (Instalasi Bedah Sentral),

pengemasan alat, kasa, dan linen IBS, serta sterilisasi. Instalasi Laundry pekerjaan

yang dilakukan antara lain pengambilan linen, pemilahan linen kotor,

penimbangan, pencucian linen, pengeringan linen, pemilahan linen bersih,

penyeterikaan, pelipatan linen, dan penyimpanan linen. Instalasi Jahit kegiatan

yang dilakukan adalah pembuatan linen yang belum terencana dan daur ulang atau

permak linen.[4]

Aktivitas-aktivitas tersebut dikerjakan dengan posisi berdiri maupun duduk

dan berpotensi menyebabkan MSDs karena dilakukan secara repetitif dengan

postur tubuh tidak alamiah seperti membungkuk, memuntir, mengangkat tangan

terlalu tinggi, dll. Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan, beliau

mengeluh nyeri pinggang setelah melakukan pekerjaanya. Oleh karena itu peneliti

tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Postur Kerja

terhadap MSDs pada Karyawan Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta”.

2. Metode Penelitian

Penilitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan data menggunakan rancangan

perlakuan ulang (one group pre and posttest design). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh karyawan di Instalasi CSSD, Laundry, dan Jahit RSUD Dr.

Moewardi Surakarta yang berjumlah 42 orang dan yang diambil sebagai sampel

adalah 30 orang dengan menggunakan teknik sampling simple random sampling.

Simple random sampling adalah metode penarikan dari sebuah populasi dengan

cara tertentu sehingga setiap anggota populasi atau semesta tadi memiliki peluang

yang sama untuk terpilih atau terambil.[5]

Postur kerja dinilai menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body

Assessment). Penilaian tingkat keluhan muskuloskeletal menggunakan kuesioner

NBM (Nordic Body Map) yang dilakukan 2 kali, yaitu pada saat sebelum bekerja

dan sesudah bekerja. Pengaruh tingkat risiko postur kerja terhadap MSDs

Page 196: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

182

dianalisis menggunakan Mann Whitney Test sedangkan perbedaan keluhan

muskuloskeletal sebelum dan sesudah bekerja dianalisis menggunakan Wilcoxon

Test, karena termasuk uji hipotesis komparatif dengan variabel numerik dua

kelompok (berpasangan) dan data tidak berdistribusi normal.[6]

Faktor risiko yang

berhubungan dengan MSDs seperti jenis kelamin dan kebiasaan merokok

dianalisis dengan Mann-Whitney Test, usia dan Indeks Massa Tubuh dianalisis

dengan Spearman Test.

3. Hasil Penelitian

3.1. Karakteristik Sujek Penelitian

Jumlah subjek penelitian sebanyak 30 orang, adapun karakteristik subjek

penelitian tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian No. Karakteristik SD Range

1. Umur (tahun) 37,5 9,9 24–57

2. Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 25,1 4,1 17,9–37,6

No. Karakteristik Varian Frekuensi Persentase

3. Jenis Kelamin Laki-Laki 23 76,7%

Perempuan 7 23,3%

4. Kebiasaan Merokok Tidak Merokok 24 80%

Merokok 6 20%

3.2. Hasil Penilaian REBA

Tabel 2. Hasil Penilaian REBA No. Pekerjaan REBA Tingkat Aksi Tingkat Risiko

1. Penyeterikaan Linen

Pemilahan Linen Bersih

Pengemasan Kasa

Penjahitan Linen

5 2 Sedang

2. Penyimpanan Linen

Sterilisasi Alat

Pengemasan Linen IBS

6 2 Sedang

3. Pelipatan Linen 7 2 Sedang

4. Penyettingan Alat IBS 8 3 Tinggi

5. Pemilahan Linen Kotor

Pencucian Alat

Pencucian Linen Kotor

9 3 Tinggi

Berdasarkan tabel diatas pekerjaan di Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit

termasuk dalam tingkat risiko sedang dan tinggi. Dalam penelitian ini karyawan

yang bekerja dengan postur kerja tingkat risiko sedang sebanyak 17 orang (56,7%)

dan tingkat risiko tinggi sebanyak 13 orang (43,3%).

3.3. Hasil Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal

Hasil pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan menggunakan kuesioner

Nordic Body Map yang dilakukan sebelum dan sesudah bekerja tersaji pada tabel

hasil pengukuran MSDs dibawah ini.

Page 197: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

183

Tabel 3. Hasil Pengukuran MSDs No. Keluhan Muskuloskeletal SD Range

1 Sebelum Bekerja (∑ total skor) 29,7 5,2 28–40

2 Sesudah Bekerja (∑ total skor) 42,1 10,4 28–72

Skor gangguan muskuloskeletal dapat dikategorikan tingkat risikonya

berdasarkan total skor. Risiko rendah (28-49), risiko sedang (50-70), risiko tinggi

(71-91), dan risiko sangat tinggi (92-112).[2]

Apabila hasil penelitian ini

dikategorikan berdasarkan tingkat risikonya dapat disajikan pada gambar 1.

Interpretasi pada gambar 1 tersebut menunjukkan tingkat keluhan

muskuloskeletal karyawan meningkat sesudah bekerja, pada risiko tinggi dari 0%

menjadi 3,3%, pada risiko sedang (3,3% menjadi 13,3%). Dan untuk risiko sedang

menurun dari 96,7% menjadi 83,3%.

3.4. Hasil Uji Statistik

Tabel 4. Hasil Uji Statistik

No. Variabel

Bebas

Variabel Terikat

(Skor MSDs) n Uji Statistik Hasil Uji P Simpulan

1. Umur Sebelum Bekerja

30 Spearman

Test

r = -0,052 0,786 Tidak Signifikan

Sesudah Bekerja r = 0,397 0,030 Signifikan

2. IMT Sebelum Bekerja

30 Spearman

Test

r = 0,131 0,489 Tidak Signifikan

Sesudah Bekerja r = 0,189 0,318 Tidak Signifikan

3. Jenis

Kelamin

Sebelum Bekerja

30 Mann-

Whitney Test

t = -0,526 0,599 Tidak Signifikan

Sesudah Bekerja t = -0,958 0,338 Tidak Signifikan

4. Kebiasaan

Merokok

Sebelum Bekerja 30

Mann-

Whitney Test

t = -0,111 0,911 Tidak Signifikan

Sesudah Bekerja t = -0,338 0,736 Tidak Signifikan

5. Postur

Kerja

Sebelum Bekerja 30

Mann-

Whitney Test

t = -0,359 0,719 Tidak Signifikan

Sesudah Bekerja t = -0,964 0,335 Tidak Signifikan

6.

Postur

Kerja

Risiko

Sedang

Sebelum dan

Sesudah Bekerja 17

Wilcoxon

Test t = -3,519 0,000 Signifikan

7.

Postur

Kerja

Risiko

Tinggi

Sebelum dan

Sesudah Bekerja 13

Wilcoxon

Test t = -3,183 0,001 Signifikan

6.

Postur

Kerja

Sedang dan

Tinggi

Sebelum dan

Sesudah Bekerja 30

Wilcoxon

Test t = -4,706 0,000 Signifikan

Page 198: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

184

4. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengukuran REBA, pekerjaan yang ada di Instalasi

CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi termasuk dalam tingkat risiko

sedang dan tinggi, karena pekerjaan mereka dilakukan dengan posisi tubuh yang

tidak alamiah seperti mengangkat tangan terlalu tinggi pada pemilahan linen

kotor, mengangkat beban yang berat pada saat penerimaan alat kotor,

membungkuk pada saat pencucian alat, memuntir saat memasukkan linen ke

mesin cuci (Gambar untuk setiap pekerjaan tersaji di lampiran). Pekerjaan-

pekerjaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, baik dalam posisi duduk

maupun berdiri. Peter Vi menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal ialah peregangan otot

yang berlebihan, aktivitas berulang dan sikap kerja tidak alamiah.[7]

Sehinga

karyawan di Instalasi CSSD, Laundry dan Jahit RSUD Dr. Moewardi berisiko

terkena gangguan Muskuloskeletal Disorders (MSDs).

Analisis statistik hubungan antara usia dengan keluhan muskuloskeletal

sebelum bekerja menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hal ini berarti usia

tidak berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja. Namun,

hasil analisis statistik hubungan antara umur dengan keluhan muskuloskeletal

sesudah bekerja menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05). Nilai r=0,397,

menunjukkan kekuatan hubungan lemah dan arah hubungan. Dengan demikian

semakin tinggi usia karyawan, semakin tinggi pula tingkat risiko keluhan MSDs

yang dirasakan karyawan setelah bekerja.

Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT), jenis kelamin dan kebiasaan

merokok dengan keluhan muskuloskeletal baik sebelum maupun sesudah bekerja

didapatkan hasil analisis statistik yang tidak signifikan (p>0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa dalam penelitian ini IMT, jenis kelamin, dan kebiasaan

merokok tidak mempengaruhi terjadinya keluhan muskuloskeletal, baik sebelum

maupun sesudah bekerja.

Perbedaan keluhan muskuloskeletal pada postur kerja tingkat risiko sedang

dan tinggi, baik sebelum maupun sesudah bekerja didapatkan hasil statistik yang

tidak signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan MSDs

antara risiko postur kerja sedang dan tinggi. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan

yang dilakukan bervariasi, selalu dilakukan rolling pekerjaan setiap 2 hari sekali,

tersedia waktu pemulihan atau recovery setelah karyawan melakukan pekerjaan.

Pada analisis statistik perbedaan keluhan muskuloskeletal sebelum dan

sesudah bekerja pada masing-masing tingkat risiko postur kerja yaitu sedang dan

tinggi, keduanya menunjukkan hasil yang signifikan (p<0,05). Kemudian

dilakukan analisis terhadap keluhan MSDs sebelum dan sesudah bekerja pada

kedua risiko postur kerja (digabung), didapatkan hasil yang signifikan pula

sebesar 0,000 (p < 0,05), nilai t bernilai negatif sebesar -4,706 menunjukkan rata-

rata skor untuk keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja lebih rendah

dibandingkan dengan rata-rata skor keluhan muskuloskeletal setelah bekerja,

artinya ada peningkatan keluhan muskuloskeletal setelah responden melakukan

pekerjaan.

5. Kesimpulan

Tidak ada perbedaan keluhan muskuloskeletal pada risiko postur kerja

sedang dan berat, tetapi ada perbedaan keluhan muskuloskeletal sebelum dan

Page 199: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

185

sesudah bekerja.Terjadi peningkatan keluhan muskuloskeletal setelah responden

bekerja.Variabel jenis kelamin, kebiasaan merokok, IMT tidak berpengaruh

terhadap hasil penelitian ini, sedangkan umur berpengaruh terhadap MSDs,

semakin bertambahnya umur karyawan semakin tinggi pula keluhan MSDs yang

dirasakan.

Daftar Pustaka

1. Tarwaka, Solichul H.A., Bakri, Lilik. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan,

Kesehatan dan Produktivitas Kerja. Surakarta: Uniba Press.

2. Tarwaka, 2010. Ergonomi Industri, Dasar-dasar Pengetahuan Ergonomi dan

Aplikasi di Tempat Kerja. Surakarta: Harapan Press Solo. pp: 283-333.

3. Menteri Kesehatan RI. 2007. Pengantar Pedoman Manajemen Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik

Indonesia. pp: 4.

4. RSUD Dr. Moewardi. 2015. Instalasi Pencuci Hama dan Jahit.

http://rsmoewardi.jatengprov.go.id/dtlpelayanan-40-instalasi-pensuci-hama-

dan-cuci-jahit.html. (11 Maret 2016)

5. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. pp: 126.

6. Dahlan M. S. 2009. Statistik untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta:

Salemba Medika. pp: 66-79.

7. Peter Vi. 2000. Construction Health: Musculoskeletal Disorder what are the

causes and controls in costruction. Magazine Vol 11 No.3.

Page 200: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

186

Gambar 5. Sterilisasi Alat

Gambar 7. Pencucian Linen Gambar 8. Pemilahan Linen

Bersih

Gambar 9. Penyeterikaan

Linen

Gambar 10. Pelipatan

Linen

Gambar 11. Penyimpanan

Linen Bersih

Gambar 12. Penjahitan Linen

Gambar 1. Pencucian Alat

Lampiran

Gambar 2. Penyettingan

Alat IBS

Gambar 3. Pengemasan

Linen IBS

Gambar 4. Pengemasan Kasa Gambar 6. Pemilahan Linen Kotor

Page 201: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

187

Penilaian Risiko Terhadap Kondisi Ergonomi

Pengrajin Songket “Fikri Koleksi”

di Talang Semut Bukit Tanggal, Palembang

Septia Milanda, Desca Olympia Citra

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya, Indralaya

Tel. 089698000451, E-mail: [email protected]

Tel. 089627231319, E-mail: [email protected]

Abstrak

Dunia industri di zaman modern saat ini selalu menginginkan dan menuntut produktivitas

kerja yang optimum dari para pekerjanya. Perkembangan IPTEK dapat meningkatkan

produktvitas dengan berbagai metode baik menggunakan alat, sistem, ataupun prosedur

tertentu untuk menjaga kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Di dunia industri yang

belum konvensional, aktivitas manual seperti mengangkat, mengambil, menaruh,

mendorong, dan menarik benda masih dilakukan. Bila aktivitas ini dilakukan berulang

akan membahayakan kesehatan pekerja dan dapat mengakibatkan keluhan berupa

musculoskeletal disorder atau fatigue karena postur tubuh yang salah.

Metode penulisan dengan observasi dan alat ukurnya berupa dokumentasi guna

mendapatkan data primer dan menggunakan software RULA (Rapid Upper Limb

Assessment) sebagai media penghitungan rating beban musculoskeletal dalam suatu

pekerjaan dimana seseorang memiliki risiko pada pembebanan bagian atas tubuh dan

leher kemudian diinterpretasikan dalam bentuk scoring.

Berdasarkan hasil analisis, postur kerja pengrajin songket “Fikri Koleksi” Talang Semut

Bukit Sangkal Palembang Tangga Buntung bernilai 5 menurut metode alat ukur RULA.

Hasil scoring 5 menunjukkan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi kerja

yang menimbulkan cidera. Beberapa gerakan berulang (repetitive motion) bisa

menimbulkan kelelahan. Dengan demikian, pekerja pada pengrajin songket di “Fikri

Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang melakukan pekerjaan dengan posisi

kerja belum tepat sehingga bisa menimbulkan cidera. Perlunya evaluasi lebih lanjut dan

perubahan postur tubuh selama bekerja.

Kata kunci: ergonomi, pengrajin songket, penilaian risiko, RULA.

1. Pendahuluan

Dunia industri di zaman modern saat ini selalu menginginkan dan menuntut

produktivitas kerja yang optimum dari para pekerjanya. Perkembangan IPTEK

dapat meningkatkan produktvitas dengan berbagai metode baik menggunakan alat,

sistem, ataupun prosedur tertentu untuk menjaga kenyamanan dan keamanan bagi

pekerja. Di dunia industri yang belum konvensional, aktivitas manual seperti

mengangkat, mengambil, menaruh, mendorong, dan menarik benda masih

dilakukan. Bila aktivitas ini dilakukan berulang akan membahayakan kesehatan

pekerja dan dapat mengakibatkan keluhan berupa musculoskeletal disorder atau

fatigue karena postur tubuh yang salah, sehingga perkembangan ergonomic

terjadi sekitar pertengahan abad ke-20 mulai berkembang disiplin ilmu tentang

perancangan peralatan dan fasilitas kerja yang berdasarkan kondisi fisiologi, yang

dikenal dengan ergonomi, negara di Eropa Barat dikenal dengan istilah Human

Factor Engineering atau Human Engineering. Definisi ergonomi yang disebut

Page 202: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

188

sebagai “human factor”. (Wignjosoebroto, 1995). Penekanan pada keberadaan

manusia dan interaksinya dengan produk, perlengkapan,fasilitas, prosedur dan

lingkungan kerjanya sehari-hari. Tujuan “human factor” meningkatkan efisiensi

dan efektifitas kerja.

Dari hasil penelitian sebelumnya, diketahui bahwa mayoritas responden

pada usia berisiko. Pada umumnya nyeri keluhan pada musculoskeletal mulai

dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan

pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan

bertambahnya umur. Hal ini dikarenakan kekuatan dan ketahanan otot mulai

menurun, sehingga risiko terjadinya keluhan muskuloskletal meningkat. Dari hal

tersebut maka usia mempengaruhi terjadinya keluhan subjektif pada punggung

(Koesyanto, H. 2013). Menurut (Hendra dan Suwandi Rahardjo, 2009) bahwa

pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko

gangguan muskuloskeletal 2,775 kali lebih besar dibandingkan dengan pekerja

dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Menurut Boshuzen dalam Mayrika dkk. (2009), usia

lebih dari 5 tahun lebih berisiko terkena nyeri punggung dibandingkan dengan

responden dengan masa kerja kurang dari 5 tahun. Kemudian, nyeri dan rasa tidak

nyaman pada tengkuk pada umumnya terjadi pada waktu kerja dengan pekerjaan

yang beban kerja berat, pekerjaan manual dengan duduk terus menerus (Depkes

R1 2004).

Pada penelitian ini, pengrajin songket dipilih sebagai sampel untuk

mengetahui seberapa besar mengalami cidera akibat posisi tidak ergonomis dalam

menenun songket. Pengukuran terhadap kondisi ergonomi bisa dilakukan dengan

berbagai cara, salah satunya yaitu RULA (Rapid Upper Limb Assessment). RULA

merupakan suatu pengembangan metode penelitian pada pemeriksaan workplace

yang ergonomis dimana kerja yang dilakukan berhubungan dengan tubuh bagian

atas (upper limb) yang secara tidak teratur. RULA ini merupakan suatu alat

rekaman yang memproses biomekanika dan postur tubuh dengan peringatan pada

leher, punggung dan tubuh bagian atas (Mc Actamney dan Corlett, 1993).

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode

observasi lapangan dan alat ukurnya berupa dokumentasi guna mendapatkan data

primer dan menggunakan software RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

sebagai media penghitungan rating beban musculoskeletal dalam suatu pekerjaan.

Penelitian ini dilakukan terhadap pengrajin songket “Fikri Koleksi” yang ada di

Talang Semut Bukit Tanggal, Palembang.

3. Hasil dan Pembahasan

RULA (Rapid Upper Limb Assessment) sebagai media penghitungan

rating beban musculoskeletal dalam suatu pekerjaan dimana seseorang memiliki

risiko pada pembebanan bagian atas tubuh dan leher kemudian diinterpretasikan

dalam bentuk scoring. Prosedur dalam pengembangan metode RULA meliputi 3

(tiga) tahap yaitu tahap pengembangan metode untuk merekam postur kerja, tahap

pengembangan sistem penilaian dengan skor, dan tahap pengembangan dari skala

tingkat tindakan yang memberikan panduan pada tingkat risiko dan kebutuhan

untuk mengadakan penilaian yang lebih detail dan tahap-tahap tersebut dan

memiliki 12 langkah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 203: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

189

a. Tahap 1: Pengembangan metode untuk merekam postur kerja; penilaian

sikap dan posisi tubuh pada saat bekerja yang dibagi menjadi kelompok A dan

B. A terdiri dari lengan atas, bawah, dan pergelelangan tangan disebut dengan

skor A

b. Tahap 2: Pengembangan system skor untuk pengelompokan bagian tubuh

c. Tahap 3: Pengembangan Grand Score dan Action List

STEP 1 STEP 2

Page 204: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

190

STEP 3 Sampai STEP 5

STEP 6 Sampai STEP 9

Page 205: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

191

Hasil observasi dan pengukuran diatas terhadap posisi ergonomi pengrajin

songket “Fikri Koleksi” bernilai 5. Hasil scoring 5 menunjukan bahwa pekerja

melakukan pekerjaan dengan posisi kerja yang menibimbulkan cidera. Beberapa

gerakan berulang (repetitive motion) bisa menimbulkan kelelahan. Dengan

demikian, pekerja pada pengrajin songket di ”Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit

Sangkal Palembang melakukan pekerjaan dengan posisi kerja belum tepat

sehingga bisa menimbulkan cidera

STEP 10 Sampai STEP 11

STEP 12 dan Kesimpulan

Page 206: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

192

Tabel 1. Kategori tindakan RULA Kategori Tindakan Level Risiko Tindakan

1-2 Minimum Aman

3-4 Kecil Diperlukan beberapa waktu kedepa

5-6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

7 Tinggi Tindakan sekarang juga

Penelitian sebelumnya, penilaian risiko dengan subjek keluhan

Musculoskeletal Disorders menggunakan desain penelitian cross sectional

dengan melalukan observasi dan penyebaran kuesioner pada pengrajin dari

pekerjaan bertenun songket menunjukan tingkat ergonomi tinggi skor RULA

bernilai tujuh (Elza, 2012)

Penilaian risiko dengan menggunakan metode RULA terhadap pengrajin

songket di “Fikri Koleksi” pada proses pembuatan songket dengan menggunakan

alat konvensional yaitu “dayan” termasuk pada level risiko sedang (5). Hal ini

memberikan informasi bahwa aktivitas proses pembuatan songket diambil

tindakan dalam waktu dekat.

4. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan penelitian diatas diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Hasil observasi dan pengukuran menggunakan software RULA terhadap posisi

ergonomi pengrajin songket “Fikri Koleksi” dapat disimpulkan bernilai 5.

Hasil scoring 5 menunjukkan bahwa pekerja melakukan pekerjaan dengan

posisi kerja yang menimbulkan cidera.

2. Penilaian risiko menggunakan software RULA terhadap pekerja pada

pengrajin songket di “Fikri Koleksi” Talang Semut Bukit Sangkal Palembang

dengan hasil scoring 5. Hal ini memberikan informasi bahwa aktivitas proses

pembuatan songket diambil tindakan dalam waktu dekat.

Adapun rekomendasi yang disarakan yaitu evaluasi lebih lanjut dan

perubahan postur tubuh selama bekerja atau penyesuaian alat songket terhadap

posisi pekerja serta penyuluhan yang diberikan berkesinambungan kepada

pengrajin tentang ergonomi saat bekerja terutama pada pembuatan songket untuk

menghindari risiko kerja.

Daftar Pustaka

Ahmad H. Asdie, 1999, Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Yogyakarta: EGC.

Berkeley Vale.

Bridger, R.S. 1995. Introduction to The Ergonomic, International Edition.

McGraw-Hill. New York

Canadian Centers for Occupational Health & Safety. 2005. WMSDs (online).

Depkes RI, 2004, Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran, Disorders

Pada Pekerja Panen Kelapa Sawit. Makalah disajikan dalam Prosiding

Seminar Nasional Ergonomi XI Semarang, 17-18 November 2009

Elza, D.S. 2012. Gambaran Tingkat Risiko Ergonomi dan Keluhan Subjektif

Muscoluskeletal Disorders pada Pengrajin Songket Tradisional Silungkang.

Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.

Page 207: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

193

______Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keluhan Nyeri Punggung Pada

Penjual Jamu Gendong, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. 4(1):61-67.

Harrianto, R. 2008. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Hendra & Rahardjo, S. 2009. Risiko Ergonomi dan Keluhan Muskuloskeletal.

http://www.ccohs.ca/oshanwers/ergonomics/riks.html (diakses 25 maret

2016)

Humantech, 1995. Aplied Ergonomics Training Manual 2nd Edition. Australia:

J. Jayaratnam & David KOH, 2010, Kedokteran Kerja, Jakarta, di terjemahkan

oleh Suryadi, Jakarta: EGC.

Khaizun. 2013. Faktor penyebab keluhan subyektif pada punggung pekerja tenun

sarung ATBM di desa wanarejan utara pemalang.

Koesyanto, H. 2013. Masa Kerja dan Sikap Kerja Duduk Terhadap Nyeri

Punggung. Kesehatan Masyarakat, KEMAS 9 (1), 9-14.

NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Faktors: A Critical Review

NIOSH: Centers of Disease Contrrol and Prenvention. 1997.

Nurhikmah. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Musculoskeletal

Disorders (MSDs) Pada Pekerja Furnitur Di Kecamatan Benda Kota

Tangerang Tahun 2011. S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Oesman, T.I., dan Simanjuntak, R.A. 2011. Analisis Postur Kerja dengan Risk

Assesment Methods pada Penambang Pasir. Proceeding Seminar Nasional

“Industrial Services”. Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta:

72-80.

of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disoeder.

Sutalaksana, 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Jurusan Teknik Industri. Institut

Teknologi Bandung.

Wignjosoebroto Sritomo, Gunani Sri,Putri Denik, 2001, Evaluasi Ergonomis

Dalam Perancangan Fasilitas dan Tata Cara Kerja Di Sektor Industri Kecil-

Menengah Tradisional.

Wignjosoebroto, S. 1995,” Ergonomi Studi Gerak dan Waktu”, PT Candimas

Metropolis, Jakarta

Wignjosoebroto, S. 2008. Ergonomi, Studi Gerak Dan Waktu. Jakarta: Guna

Widya.

Page 208: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

194

Posisi Kerja Ergonomis Berkorelasi Positif

Dengan Tingkat Kelelahan Pembatik

Yamtana, Ayub Belasihi Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta

Jl. Tatabumi No. 3, Banyuraden, Gamping, Sleman, D.I. Yogyakarta.

Tel. (0274) 617601, HP: 081344782344, Email: [email protected]

Abstrak

Posisi kerja duduk yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja. Hal ini

disebabkan karena kursi yang digunakan tidak sesuai dengan ukuran antropometri tenaga

kerja. Demikian pula halnya yang dialami oleh para pembatik pada umumnya. Hasil

survei pendahuluan pada salah satu industri batik di Yogyakarta, melakukan wawancara

menggunakan kuesioner diperoleh hasil 100% responden mengalami keluhan kelelahan

kerja.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan posisi kerja ergonomis

dengan tingkat kelelahan pembatik.

Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Subyek

penelitiannya yaitu 30 orang pembatik (responden), sedangkan obyek penelitian adalah 4

industri batik di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Adapun kriteria respondennya

yaitu tenaga kerja perempuan, usia 20-45 tahun, menggunakan kursi saat membatik,

mempunyai beban kerjanya sama, kondisi tubuh sehat, lama kerja 6-8 jam/hari, lama

istirahat 1 jam. Pengumpulan data menggunakan alat: rol meter, reaction timer untuk

mengukur tingkat kelelahan, dan kuesioner. Data penelitian dianalisis secara deskriptif,

dan inferensial menggunakan uji pasti Fisher Chi Square dengan α = 0,05.

Hasil penelitian diperoleh bahwa posisi kerja ergonomis sebanyak 10 responden

(33,33%), posisi kerja tidak ergonomis sejumlah 20 responden (66,67%). Sebanyak 10

responden (33,33%) tidak lelah (normal), 20 responden (66,67%) mengalami kelelahan.

Klasifikasi kelelahannya yaitu 16 responden (53,33%) mengalami lelah ringan, dan 4

responden (13,33%) lelah sedang. Berdasarkan uji pasti Fisher Chi Square diperoleh nilai

p = 0,003, berarti ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan

tingkat kelelahan pembatik.

Saran kepada pengusaha industri batik supaya menyediakan kursi kerja yang ergonomis.

Kursi kerja yang ergonomis antara lain, tinggi dataran duduknya sesuai dengan panjang

tungkai (kaki) tenaga kerja, atau sesuai yang direkomendasikan yakni setinggi 39–45 cm.

Kursi harus mempunyai sandaran punggung, dan lebar papan duduk minimal 35 cm.

Kata kunci: ergonomis, kelelahan, pembatik posisi kerja.

1. Pendahuluan

Usaha sektor informal salah satunya adalah industri batik, dan sampai

sekarang masih sebagai potensi UKM unggulan di Kota Yogyakarta. Sebagai

industri kecil menengah, industri batik mampu menyerap 892 tenaga kerja.

Sampai saat ini kegiatan usaha industri batik, untuk menghasilkan produksinya

masih menggunakan tenaga manusia dan peralatan tradisional. Dalam proses

pembatikan diperlukan keterampilan dan ketelitian. Adapun proses produksi di

industri batik meliputi beberapa tahapan, antara lain: proses persiapan, proses

pembatikan, proses pelepasan lilin, dan finishing.

Pekerja batik tulis pada umumnya dikerjakan oleh perempuan, bekerja

dengan cara duduk, jenis tempat duduknya berbeda-beda, baik bentuk dan

ukurannya. Umumnya tempat duduk yang digunakan belum memenuhi kaidah-

Page 209: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

195

kaidah ergonomis, sehingga menyebabkan tidak nyaman dan cepat merasakan

kelelahan. Ketidaknyamanan pada saat bekerja disebabkan oleh posisi duduk,

akhirnya menimbulkan kelelahan, bahkan rasa sakit di beberapa bagian tubuh.

Bagian-bagian tubuh yang merasakan lelah antara lain: bahu, lengan atas,

punggung atas, punggung bawah, lengan bawah, pergelangan tangan, paha, lutut

dan kaki. Sedangkan bagian tubuh yang merasakan sakit adalah dari punggung

atas sampai kaki1)

.

Survei pendahuluan terhadap 10 pekerja pada bagian pembatikan di industri

batik yang berlokasi di Kota Yogyakarta, dengan melakukan wawancara

menggunakan kuesioner diperoleh hasil 100% pembatik mengalami keluhan

(subyektif) kelelahan kerja. Kelelahan kerja tersebut seperti: lelah seluruh badan,

bahu, lengan atas, punggung atas, punggung bawah, lengan bawah, pergelangan

tangan, paha, lutut dan kaki, merasa lesu, mengantuk, pusing, hingga ingin

berbaring. Sebagian kegiatan dari proses produksi batik mengharuskan posisi

pekerja duduk. Sedangkan kebanyakan kursi yang digunakan oleh para pekerja

adalah kursi yang tidak ada sandaran tangan. Umumnya posisi pekerja tersebut

dalam bekerja keadaannya bersikap duduk membungkuk.

Posisi kerja yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja. Hal

ini disebabkan karena posisi tersebut tidak sesuai dengan kemampuan maupun

ukuran antropometri tenaga kerja. Hal ini akan menyebabkan terjadinya

pengerahan tenaga yang lebih besar dan akan mempercepat kelelahan, dan

berdampak pada menurunnya produktivitas kerja2)

.

Kelelahan kerja ini jika dibiarkan terus-menerus setiap hari akan dapat

menjadi kelelahan kronis. Tanda-tanda psikis adanya kelelahan sering disertai

kelainan-kelainan psikosomatis, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan fungsi

paru-paru dan jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan pencernaan dan sulit

tidur3)

. Atas dasar tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini apakah ada

hubungan posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik ? Tujuan

penelitiannya untuk mengetahui hubungan antara posisi kerja ergonomis dengan

tingkat kelelahan pembatik.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional.

Populasi penelitiannya adalah 12 industri batik di Kecamatan Mantrijeron

Yogyakarta. Setiap industri memiliki karyawan antara 3-12 pembatik.

Sampel/obyek penelitian diambil secara acak pada 4 industri. Kemudian dari 4

industri tersebut ditentukan subyek penelitian secara proporsional, selanjutnya

disebut responden berjumlah 30 pembatik. Kriteria respondennya yaitu:

menggunakan kursi saat membatik, menggunakan alat canting dan tungku,

bahannya kain dan malam, jenis kelamin perempuan, tidak cacat fisik dan tidak

sakit, lama kerja 6-8 jam/hari, waktu istirahat 1 jam, usia antara 20-45 tahun,

beban kerjanya sama.

Variabel bebas penelitian ini adalah posisi kerja ergonomis, variabel

terikatnya tingkat kelelahan. Interpretasi hasil pengukuran dari reaction timer,

yaitu: a. Lelah: apabila hasil rerata 3 kali ulangan pengukuran menunjukkan angka

0–36 per menit; b. Tidak lelah: apabila hasil rerata 3 kali ulangan pengukuran

menunjukkan angka >37 per menit. Variabel pengganggu, yaitu: suhu ruangan,

pencahayaan, jenis kelamin, dan umur. Data penelitian dianalisis secara deskriptif,

Page 210: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

196

dan inferensial menggunakan uji turunan chi square yaitu uji pasti fisher, dengan

taraf signifikan sebesar 95% atau α=0,05. Data diolah menggunakan komputer

program SPSS for windows versi 12.0.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik dan posisi kerja ergonomis

Responden penelitian ini 30 pembatik pada 4 industri batik di Kecamatan

Mantrijeron dengan tingkat pendidikannya lulusan: sekolah menengah atas,

sekolah menengah kejuruan, dan kursus. Dalam bekerja responden menggunakan

kursi kayu yang mempunyai sandaran punggung, alas duduk berbentuk persegi

berukuran lebar 29 cm sampai 42 cm. Ruang kerja umumnya berada pada bagian

dalam bangunan, menggunakan penerangan alami sinar matahari, ruang terbuka

hijau dengan taman di bagian tengahnya. Keadaan ini memungkinkan masuknya

cahaya matahari dan sirkulasi udara, serta terdapat ventilasi alami pada beberapa

sisi ruang kerja. Kegiatan proses produksi batik berlangsung mulai pagi hingga

sore, yaitu sejak pukul 08.00 WIB atau 09.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB atau

16.00 WIB. Waktu kerja diselingi istirahat selama 1 jam, biasanya secara

bergantian antara pukul 11.00 WIB hingga 13.00 WIB.

Variabel penelitian posisi kerja ergonomis (ergonomis atau tidak ergonomis)

diperoleh dengan cara mengukur kursi kerja, yang meliputi: tinggi dataran duduk,

lebar papan duduk, dan tinggi papan tolak punggung. Selanjutnya ukuran kursi

tersebut dibandingkan dengan ukuran antropometri pembatik, yang meliputi:

tinggi duduk, jarak lekuk lutut-garis punggung, dan jarak lekuk lutut-telapak kaki.

Pengukuran posisi kerja ergonomis dan tingkat kelelahan terhadap 30 responden

pada 4 industri batik di Yogyakarta diperoleh data, sebagai berikut.

Tabel 1. Distribusi frekuensi posisi kerja ergonomis dan tingkat kelelahan

responden pada industri batik di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta

Tahun 2012 No. Kriteria Jumlah responden Persentase (%)

1 Ergonomis 10 33,33

2 Tidak Ergonomis 20 66,67

Jumlah 30 100

1 Normal (tidak lelah) 10 33,33

2 Lelah ringan 16 53,34

3 Lelah sedang 4 13,33

Jumlah 30 100

3.2. Tingkat kelelahan responden

Tingkat kelelahan responden diperoleh dengan menggunakan alat pengukur

kelelahan (reaction timer) untuk mengetahui seberapa besar tingkat kelelahan

responden. Secara deskriptif terlihat bahwa kebanyakan responden mengalami

kelelahan ringan sejumlah 16 orang atau 53,33% dari seluruh responden. Data

tersebut kemudian dikelompokkan menjadi lelah dan tidak lelah, dengan

ketentuan yang termasuk dalam kelompok lelah adalah responden yang lelah

ringan, lelah sedang, dan lelah berat. Sedangkan responden yang termasuk dalam

kelompok tidak lelah adalah responden yang masuk dalam kategori prima dan

normal.

Page 211: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

197

Tabel 2. Hubungan posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan responden

pada industri batik di Mantrijeron Yogyakarta Tahun 2012

No. Kriteria

Tingkat kelelahan Total

Normal (tidak lelah) Lelah Jumlah Persen

Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Ergonomis 7 23,33 3 10 10 33,33

2 Tidak

ergonomis

3 10 17 56,67 20 66,67

Total 10 33,33 20 66,67 30 100

Data penelitian selanjutnya diuji pasti Fisher Chi square dengan α=0,05,

diperoleh hasil bahwa p=0,003. Hasil tersebut menunjukkan p < α, ini berarti ada

hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan

pembatik.

3.3. Pembahasan

Hasil analisis data penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna

antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Hal ini sesuai

pendapat Nurmianto (2004), bahwa tujuan penerapan ergonomi adalah mencegah

kecelakaan kerja dan mencegah tidak efisiennya kerja2)

. Selain itu ergonomis juga

dapat mengurangi beban kerja, karena apabila peralatan kerja tidak sesuai dengan

kondisi dan ukuran tubuh pekerja akan menjadi beban kerja tambahan.

Saat ini batik sudah menjadi identitas yang begitu melekat di masyarakat

Indonesia. Industri batik merupakan industri tradisional yang sudah ada sejak dulu

secara turun temurun. Proses dasar membatik menggunakan alat canting, demi

menjaga nilai seni tradisional dan warisan sejarah, sehingga membutuhkan waktu

lama dalam mengerjakannya. Selembar kain batik tulis bisa saja dibuat dalam

waktu 1 sampai 1,5 bulan.

Dalam proses membatik memerlukan kecermatan dan ketelitian tinggi

sehingga pekerja akan mudah mengalami kelelahan, oleh karena itu posisi kerja

ergonomis sangat penting. Posisi kerja ergonomis maksudnya peralatan yang

digunakan (kursi) untuk membatik sesuai dengan ukuran tubuh, sehingga pekerja

akan nyaman dan tidak cepat mengalami kelelahan serta memperoleh efisiensi

kerja yang optimal. Pembatik pada umumnya perempuan, bekerja dengan cara

duduk, tempat duduk yang berbeda-beda, baik bentuk dan ukurannya.

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, kebanyakan kursi kerja pembatik

mempunyai ukuran tinggi kursi maupun lebar alas duduk tidak sesuai jika

dibandingkan dengan antropometri pekerja.

Pengukuran posisi kerja ergonomis dilakukan dengan cara membandingkan

ukuran kursi kerja dengan ukuran antropometri pekerja. Ukuran alat-alat kerja erat

kaitannya dengan antropometri tubuh penggunanya. Jika alat-alat tersebut tidak

sesuai, maka tenaga kerja akan merasa tidak nyaman, dan akan lebih lamban

dalam bekerja serta dapat menimbulkan kelelahan kerja atau gejala penyakit otot

yang lain akibat melakukan pekerjaan dengan cara yang tidak alamiah.

Antropometri sebagai unsur dalam penerapan ergonomi. Sebagaimana pendapat

Suma’mur (1984), bahwa ukuran-ukuran antropometri terpenting sebagai dasar

ukuran-ukuran untuk posisi duduk antara lain tinggi duduk, jarak lekuk lutut-garis

punggung, dan jarak lekuk lutut-telapak kaki4)

.

Kursi kerja yang tidak ergonomis dapat menyebabkan kelelahan kerja bagi

pembatik. Apabila dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan ketidaknyamanan

Page 212: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

198

bagi responden yang akhirnya dapat menimbulkan kecelakaan kerja sehingga

dapat menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, para pembatik tersebut bekerja

dengan sikap duduk yang cenderung harus menyesuaikan dengan kursi yang

digunakannya. Hasil uji inferensial menunjukkan ada hubungan yang bermakna

antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat kelelahan pembatik. Hal ini sesuai

dengan Kasjono dan Haryono (2007), bahwa kelelahan kerja dapat disebabkan

oleh lingkungan yang buruk termasuk posisi kerja ergonomis. Hal ini dapat dilihat

bahwa kursi yang digunakan ukurannya tidak sesuai dengan ukuran antropometri

pembatik5)

.

3.3.1. Tinggi dataran duduk

Tinggi dataran duduk harus sesuai dengan tinggi lutut, sedang paha dalam

keadaan datar, diukur dari lantai sampai pada permukaan atas dari bagian depan

alas duduk. Ukuran yang dianjurkan untuk orang Indonesia adalah 38–48 cm.

Tinggi dataran duduk harus lebih pendek dari jarak antara lekuk lutut dan telapak

kaki3)

. Tinggi dataran duduk kursi yang digunakan oleh para pembatik atau 30

responden, berukuran mulai dari 32 cm hingga 49 cm atau rata-rata setinggi 36,9

cm. Ini berarti kursi yang digunakan tidak memenuhi syarat ergonomi. Selain itu,

tinggi dataran duduk tersebut terdapat 2 kursi yang terlalu pendek hingga 13 cm

dari jarak antara lekuk lutut dengan telapak kaki, bahkan ada yang justru lebih

tinggi hingga 7 cm sebanyak 1 kursi. Hal ini akan mengakibatkan telapak kaki

tidak dapat menyentuh tanah, dan paha tidak dalam keadaan datar sehingga dapat

menyebabkan kelelahan karena kaki tidak dapat melakukan istirahat (foot rest).

Sebanyak 10 kursi kerja yang lain mempunyai tinggi dataran duduk berukuran

antara 37 cm hingga 44 cm, dengan selisih jarak antara lekuk lutut dengan telapak

kaki sebesar 1 cm hingga 3 cm sehingga dapat dikatakan ergonomis. Dudukan

kursi yang sesuai dengan tinggi dan bentuk tubuh orang yang sedang duduk akan

dapat memberikan kenyamanan bagi penggunanya.

3.3.2. Papan tolak punggung

Papan tolak punggung tingginya dapat diatur dan menekan pada punggung3)

.

Sebagaimana pada 30 responden yang diteliti, seluruhnya mempunyai papan tolak

punggung sebagai sandaran punggung, dan tingginya dapat menahan bagian

punggung. Namun ukuran tinggi papan tolak punggung tersebut tidak dapat

diatur. Hal ini sesuai dengan penelitian Andariyati (2008), bahwa timbulnya nyeri

pinggang erat kaitannya dengan cara kerja, sikap kerja, dan posisi kerja6)

. Dengan

memperhatikan dan mengingat faktor-faktor penyebab dan pencetusnya, insiden

nyeri pinggang pekerja dapat diminimalisasir atau dicegah kejadiannya,

diantaranya dengan penggunaan kursi yang memiliki sandaran (papan tolak

punggung).

3.3.3. Lebar papan duduk

Menurut Nurmianto (2004), lebar papan duduk tidak boleh kurang dari 35

cm2)

. Berdasarkan ukuran lebar papan duduk yang digunakan responden, terdapat

1 kursi yang tidak memenuhi syarat ergonomis (dari 20 kursi yang dinyatakan

tidak ergonomis) karena lebar papan duduk berukuran 29 cm. Sekaitan itu ukuran

lebar papan duduk harus menyesuaikan dengan lebar rata-rata pantat orang

Indonesia. Jika lebar papan duduknya kurang dari 35 cm, menyebabkan kursi

tersebut kurang bisa menahan seluruh beban tubuh manusia, sehingga akan

mengakibatkan kelelahan pekerja terutama pada bagian pinggang.

Page 213: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

199

3.3.4. Jarak bahu ke tungku

Panjang tangan pembatik diukur dari ujung bahu hingga ujung (jari)

tangan, yaitu sepanjang 53 cm hingga 66 cm. Jarak antara bahu ke tungku sejauh

59 cm hingga 77 cm, sehingga pekerja mengharuskan tubuh ikut bergerak untuk

menjangkau malam (lilin cair) dalam wajan di atas tungku. Setiap responden

memiliki jarak antara tangan yang memegang alat canting terhadap malam cair

dalam wajan di tungku berbeda-beda. Jarak responden terhadap tungku

terdekatadalah 1 cm hingga yang terjauh 11 cm (panjang tangan 66 cm dengan

jarak bahu ke tungku 77 cm). Kondisi ini mengakibatkan tubuh harus ikut

bergerak menyesuaikan jarak yang timbul, dan berdampak pada beban kerja otot

hingga kelelahan kerja.

3.3.5. Rekomendasi kursi

Desain kursi yang tidak sesuai dengan antropometri dapat menimbulkan

kelelahan hingga keluhan pada pinggang, leher, pinggul, dan bagian tubuh lainya.

Hal ini sesuai dengan Nurmianto (2003) dan Enggarani (2004), serta sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan2, 7)

. Kursi yang ergonomis dapat mampu

memberikan postur dan sirkulasi yang baik, dan kenyamanan bagi penggunanya.

Pilihan kursi yang nyaman dapat diatur dan memiliki penyangga punggung.

Adapun, ukuran kursi kerja sesuai dengan hasil pengukuran dan teori yang

berkembang, yaitu terkait ukuran tinggi dataran duduk, lebar papan duduk, papan

tolak punggung, dan posisi kursi yang mendukung jarak antara pembatik (tangan

yang membawa canting) terhadap malam dalam wadah di atas tungku.

Secara umum tinggi dataran duduk harus sesuai dengan tinggi lutut,

sedangkan paha dalam keadaan datar. Tinggi dataran duduk diukur dari lantai

hingga permukaan atas dari bagian depan alas duduk. Ukuran yang dianjurkan

untuk orang Indonesia adalah 38–48 cm. Tinggi dataran duduk harus lebih pendek

dari jarak antara lekuk lutut dan telapak kaki3)

. Dalam pengukuran didapatkan

antropometri jarak lekuk lutut hingga telapak kaki responden sebagai acuan tinggi

dataran duduk yaitu sebesar 39 cm hingga 45 cm (dengan rata-rata 41,73 cm).

Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 cm, dan memiliki papan tolak

punggung tingginya dapat diatur, dan dapat menahan bagian punggung3)

. Kursi

pembatik yang dianjurkan yaitu papan tolak punggung dapat diatur tinggi

rendahnya. Ukuran kursi untuk membatik ini hanya salah satu alat yang dapat

diberikan untuk mengurangi kelelahan, dan masih banyak aspek yang perlu dikaji

lebih lanjut dari kerajinan membatik ini.

Hasil pengukuran jarak bahu terhadap malam cair dalam wajan di atas

tungkupun hampir seluruhnya lebih panjang daripada jarak bahu terhadap ujung

tangan yang memegang canting. Kondisi ini mengakibatkan tubuh harus ikut

bergerak agar tangan yang memegang canting dapat menjangkau hingga ke

malam dalam wadah di atas tungku. Untuk itu, penempatan kursi perlu

disesuaikan dengan tangan yang memegang canting leluasa menjangkau malam

dalam wadah di atas tungku, sehingga tubuh tidak harus ikut bergerak agar tangan

yang memegang canting dapat menjangkaunya. Hal ini tentu saja akan

mempercepat terhadap tingkat kelelahan pembatik.

Posisi kerja yang tidak ergonomis akan dapat menimbulkan berbagai

dampak negatif pada manusia tersebut. Dampak negatif bagi manusia tersebut

akan terjadi baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. Bekerja

pada posisi kerja yang tidak ergonomis dapat menimbulkan berbagai masalah

Page 214: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

200

antara lain: nyeri, kelelahan, bahkan kecelakaan kerja. Untuk itu tempat duduk

harus dibuat sedemikian rupa, sehingga memberikan relaksasi (kenyamanan) bagi

otot dan tulang yang sedang bekerja. Selain itu tidak menimbulkan tekanan pada

bagian tubuh yang dapat mengganggu sirkulasi darah.

Gejala-gejala kelelahan yang dirasakan oleh responden termasuk dalam

kelelahan fisik. Kelelahan menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang

ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Hal ini sesuai

dengan pendapat (Suma’mur, 1994), bahwa kelelahan kerja cenderung

meningkatkan terjadinya kecelakaan kerja3)

. Kondisi tersebut akan merugikan

bagi pekerja maupun perusahaan. Sehingga ukuran peralatan kerja harus sesuai

dengan pekerja, lingkungan kerja harus mendukung fungsi tubuh yang sedang

bekerja, serta mampu berproduksi secara optimal. Kursi pembatik yang

direkomendasikan dari penelitian ini, antara lain: tinggi dataran duduk antara 38-

48 cm, lebar papan duduk lebih dari 35 cm, jarak bahu ke tungku dapat

menyesuaikan (dapat digeser), papan tolak punggung ketinggiannya dapat diatur.

4. Kesimpulan

a. Ada hubungan yang bermakna antara posisi kerja ergonomis dengan tingkat

kelelahan pembatik pada industri batik di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta

dengan nilai p = 0,003.

b. Sebanyak 20 responden atau 66,67% pembatik bekerja dalam posisi duduk

yang tidak ergonomis dan mengalami kelelahan. Klasifikasi kelelahan 4

responden atau 13,33% mengalami lelah sedang, dan 16 responden atau

53,33% mengalami lelah ringan.

Daftar Pustaka 1Dominica. 2004. Analisis Ergonomis tentang Kerja Pembatik pada Industri

Batik. Diunduh tanggal 15 Februari 2012 dari http://digilib.itb.ac.id/

1999_TS_PP_Dewa_1.pdf. 2Nurmianto, E. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna

Widya 3Suma’mur, P.K. 1994. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT

Gunung Agung. 4Suma’mur, P.K. 1984. Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: Yayasan

Swabhawa Karya. 5Kasjono, H.S., Haryono. 2007. Higiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra

Cendikia. 6Andariyati, S.N., 2008. Hubungan Posisi Kerja dengan Keluhan Nyeri Punggung

Bawah (Low Back Pain) pada Perawat di RSUD Sleman. Skripsi Diploma IV

Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Depkes Yogyakarta. 7Enggarani, R., 2004. Tinjauan Aspek Ergonomi pada Kursi Kerja Pengrajin Batik

di Tamansari Yogyakarta. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Semarang:

Universitas Diponegoro.

Page 215: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

201

Studi Keluhan Muskuloskeletal Pada Pramudi Bus Trans Jakarta

Koridor IX (Pendekatan Ergonomi) Tahun 2015

Decy Situngkir Prodi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Indonesia

Jl. Margonda Raya Gg. Kober No.33 Depok

HP: 08983697021, E-mail: [email protected]

Abstrak

Indonesia menempati peringkat kelima sebagai negara dengan angka kecelakaan lalu

lintas yang masih cukup tinggi.Berdasarkan data Global Status Report on Road Safety,

Indonesia mengalami peningkatan kecelakaan lalu lintas hingga 80% dan hal ini

didominasi oleh kendaraan umum.1 Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

kecelakaan lalu lintas, di antaranya faktor pramudi, lingkungan, dan kendaraan seperti

kabin pramudi yang tidak ergonomis baik tata letak mesin, desain kursi yang tidak sesuai

sehingga merintangi jangkauan kaki ke pedal, mengakibatkan ketegangan otot pada

anggota tubuh bagian bawah, dan meningkatkan risiko kecelakaan.2 Mengemudi

menyebabkan prevalensi keluhan muskuloskeletal dan nyeri yang tinggi di pinggang

karena sebagian besar aktivitas mengemudi bersifat statis. Di Jakarta, salah satu jenis

kendaraan yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas adalah bus Trans Jakarta.Penelitian

observasi deskriptif ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah subjek penelitian

sebanyak 70 pramudi. Instrumen dalam penelitian ini adalah kursi antropometri, meteran,

busur, kamera digital.

Penelitian yang dilakukan kepada pramudi bus Trans Jakarta Koridor IX ditemukan

bahwa sebesar 81,4%merasakan keluhan muskuloskeletal dengan keluhan terbesar pada

leher bagian atas dikarenakan mengemudi menuntut konsentrasi yang tinggi, postur

duduk statis dan lama, kursi yang tidak ergonomis dan getaran. Dan sebesar 18,6 persen

tidak merasakan keluhan muskuloskeletal.

Kebanyakan pramudi merasakan keluhan setelah mengemudi. Dan upaya yang dilakukan

untuk mengatasinya adalah dengan beristirahat dan dipijat. Risiko tinggi adalah pada saat

postur duduk statis dan lama, menekan tombol transmisi dan tombol pintu penumpang.

Kata kunci: ergonomis, getaran, muskuloskeletal, pramudi, postur duduk stastis.

1. Pendahuluan

Bus Trans Jakarta merupakan Bus Rapid Transit atau sistem transportasi

bus cepat, namun masih memiliki angka kecelakaan yang tinggi (tabel 1).

Tabel 1. Data Kecelakaan PT. Trans Jakarta3

No Tahun Jumlah Kasus

Kecelakaan Keterangan

1 2009 264

2 2010 246 Sterilisasi sistem

3 2011 252

4 2012 563

5 2013 852

6 2014 773

Page 216: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

202

Tingginya angka kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor pramudi, faktor

kendaraan dan faktor lingkungan. Ketidaksesuaian ukuran-ukuran komponen di

tempat kerja dengan pekerja mengharuskannya bekerja dengan posisi sulit seperti

membungkuk, mengangkat satu lengan, atau aktivitas hanya dilakukan dengan

satu tangan, dan lain-lain. Keluhan muskuloskeletal sering kali terjadi karena meja

kerja, peralatan dan mesin didesain dengan ukuran yang lebih besar, agar dapat

dipakai juga oleh pramudi yang lebih kecil. Prinsip ergonomis yang benar

mengharuskan meja kerja yang sesuai atau dapat disesuaikan dengan ukuran

individu yang menggunakannya atau dikenal dengan istilah perancangan “man-

machine interface” .4,5,6

Menurut OSHA dalam Ojo et al keluhan muskuloskeletal menyebabkan

kerugian sebesar 15 juta USD sampai dengan 20 juta USD setiap tahun. Pekerjaan

yang berisiko tinggi keluhan muskuloskeletal adalah aktivitas pegawai kantor

sampai mengemudi. Prevalensi keluhan muskuloskeletal pada pengemudi

terbilang tinggi, berkisar 53% - 91% di dunia.7 Hal ini disebabkan oleh desain

kursi yang tidak nyaman, lama mengemudi, angkat berat, kurangnya aktivitas

fisik, usia, sikap duduk untuk waktu yang lama, getaran seluruh tubuh, postur

kerja yang salah, misalnya sikap duduk yang merosot, condong pada satu sisi,

membungkuk dan menjangkau berlebihadan faktor psikososial sehingga

mengakibatkan beban yang cukup besar pada individu, masyarakat, dan industri

dalam hal absensi dan biaya pengobatan.8,9,10

Penelitian Tamrin et al pada 1.181 pengemudi bus menunjukkan bahwa

seluruh bagian tubuh mengalami keluhan muskuloskeletal dengan nyeri punggung

bagian bawah yang merupakan risiko paling tinggi (58,5%), diikuti nyeri leher

(51,7%), nyeri punggung bagian atas (39,0%), nyeri bahu (36,1%), nyeri pada

betis (28,9%), nyeri pada lutut (27,5%), nyeri pada bagian paha (19,9%), nyeri

pada lengan (17,5%) dan nyeri pada bagian siku (10,2%).11

2. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan desain cross

sectional12

yang dilakukan di halte busway Pinang Ranti pada bulan Mei s/d Juni

2015, dengan beberapa instrument seperti: kuesioner, busur, vibration meter,

kuesioner Nordic Body Map, kursi antropometri, meteran, dan kamera digital.

Populasi penelitian adalah pramudi bus dan bus Trans Jakarta Koridor IX yang

beroperasi daerah Pinang Ranti – Pluit. Kriteria sampel yang ditetapkan masuk

dalam penelitian ini sebagai berikut masa kerja ≥ 1 tahun, tidak memiliki riwayat

kecelakaan, tidak memiliki riwayat penyakit seperti diabetes, lupus, RA dan

bersedia menjadi subjek penelitian sampai selesai. Besar sampel dihitung dengan

menggunakan rumus Lemeshow13

, maka didapat besar sampel sebanyak 49

pramudi, namun untuk menghindari bias peneliti menggunakan semua data yang

terkumpul sebanyak 70 pramudi. Untuk faktor kendaraan, sampel yang digunakan

4 jenis bus Trans Jakarta Koridor IX yaitu Korindo(K), Laksana(L), Restu Ibu

(RI) dan Trisakti (TS).

Page 217: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

203

Gambar 1.Gambaran keluhan Musculoskeletal Symptoms dengan Nordic Body Map

3. Hasil dan Pembahasan

Tabel 2. Ada/Tidaknya Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan MSS

Ya Tidak

N % N %

57 81,4 13 18,6

Hasil penelitan menyimpulkan bahwa 81,4% (57 pramudi) merasakan

keluhan subjektif muskuloskeletal, artinya mereka berisiko terhadap terjadinya

keluhan muskuloskeletal. Bagian tubuh yang paling sering merasakan keluhan

otot adalah leher, punggung atas, pinggang, bahu dan betis.

Keluhan-keluhan tersebut tidak muncul begitu saja, peneliti

menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan

muskuloskeletal:

3.1 Faktor individu

Berdasarkan demografi, pramudi yang paling berisiko keluhan

muskuloskeletal adalah pramudi yang berusia 30-45 tahun (83,6%), 40 pramudi

(70,02%) dengan masa kerja 1-3 tahun, 40 pramudi (51,4%) yang tidak biasa

berolah raga dan pramudi yang memiliki berat badan normal sebanyak (79,5%).

Genaidy et all bahwa usia 20-29 tahun adalah usia dimana sesorang

memiliki SCTL (Spinal Compression Tolerance Limit) terbesar, yang akan

menurun 22% pada 10 tahun berikutnya, turun 26% pada 10 tahun berikutnya, dan

42% pada 10 tahun berikutnya, sehingga pada usia 60 tahun atau lebih SCTL telah

menurun lebih dari 53%. Pendek kata, semakin, semakin tua seseirang semakin

tinggi risikonya mengalami elastisitas tulang.14

Empat puluh pramudi (70,02%)

dengan masa kerja 1-3 tahun yang berisiko keluhan muskuloskeletal diduga

terjadi akibat menurunnya endurance otot. Berbeda dengan pramudi yang

Leher atas 43,9%

Bahu kiri 33,3 %

Betis kiri 36,8 %

Leher bawah 36,8 %

Pinggang 38,6 %

Punggung 40,4%

Bahu kanan 29,8 %

Betis kanan 25%

Page 218: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

204

memiliki masa kerja > 5 tahun, yang tidak merasakan keluhan mungkin memiliki

nilai ambang keluhan yang lebih tinggi atau terjadi health worker effect bias

dimana pramudi dengan masa kerja > 5 tahun yang merasakan keluhan MSS telah

berhenti bekerja sehingga seolah-olah prevalensinya rendah.15

Seseorang yang tidak biasa berolahraga berisiko mengalami keluhan

muskuloskeletal. Keluhan otot akan meningkat akibat kurangnya kelenturan otot

sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik tanpa kesegaran jasmani16

Atau dapat

disimpulkan semakin tinggi tingkat kesegaran jasmani seseorang semakin kecil

risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal.17

Pramudi berbadan normal yang

merasakan keluhan muskuloskeletal sebenarnya masih dalam batas yang normal.

Keluhan tersebut muncul diakibatkan oleh faktor lain. Namun, perlu diperhatikan

bagi pramudi yang berbadan kurus dan gemuk.

3.2 Faktor Kendaraan

3.2.1 Kursi pramudi

Berdasarkan hasil kesesuaian antropometri pramudi dan kursi, beberapa

elemen kursi tidak sesuai diantaranya panjang alas duduk, lebar alas duduk,

ukuran tinggi kursi, dan panjang sandaran lengan yang mungkin berkontribusi

terjadinya keluhan muskuloskeletal.

Panjang alas duduk seharusnya lebih pendek dari lekuk lutut sampai

dengan garis punggung (panjang tungkai atas). Hasil pengukuran panjang alas

duduk seri bus, K: 54 cm, L:45 cm, TS: 50 cm dan RI: 50 cm sedangkan untuk

panjang lutut bagian belakang menggunakan persentil 5% yaitu 38,08 cm. Alas

duduk lebih panjang dari panjang lutut bagian belakang dan untuk kursi seri bus

L, Ts dan RI tidak ergonomis karena tidak adjustable . Alas duduk yang terlalu

panjang menyebabkan penekanan di daerah belakang lutut sehingga pramudi akan

merasakan pegal dan sakit pada bagian tersebut, membatasi pramudi untuk

bersandar sehingga menyebabkan keluhan di punggung. Untuk lebar alas duduk

memang tidak sesuai. Berdasarkan hasil pengukuran lebar alas duduk semua bus

lebih besar daripada lebar pinggul pramudi. Namun ini tidak mempengaruhi

terjadinya keluhan muskuloskeletal pada pramudi 4,18

Tinggi tempat duduk bus seri L dan TS kecuali bus seri K terlalu pendek

dan RI lebih tinggi dari pada ukuran tinggi lutut pramudi, tidak ergonomis.

Standar ukuran tinggi kursi yang diusulkan adalah 40-52,5 cm. 19

Tinggi tempat

duduk yang tidak ergonomis dapat menyebabkan sikap duduk yang tidak

ergonomis seperti kaki selonjor, kaki menggantung karena kursi terlalu tinggi

yang dapat mengakibatkan nyeri dan pegal-pegal di bagian kaki. Kaki ditekuk di

bawah kursi karena terlalu pendek juga tidak baik karena akan menghentikan

aliran darah dan menyebabkan kaki menjadi kesemutan. Panjang sandaran lengan

yang digunakan tidak sesuai dengan antropometri pramudi karena hasil

pengukuran antropometri lebih besar dari pada hasil dimensi kursi. 4,18

3.2.2 Setir

Ukuran setir untuk setiap seri bus Transjakarta Koridor IX sesuai dengan

standar, berdiameter 50 cm dan memiliki sudut inklanasi dari setir 15-320 ke arah

vertikal.20

Namun hal ini mempersulit pramudi yang bertubuh gemuk dikarenakan

jarak setir ke alas duduk cukup dekat. Untuk itu, sebaiknya kursi pramudi

merupakan kursi yang adjustable sehingga posisi duduk pramudi juga dapat

diatur.

Page 219: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

205

3.3 Faktor Pekerjaan

3.2.3.1 Durasi dan frekuensi pekerjaan

Kelompok yang paling banyak mengalami keluhan berdasarkan durasi

kerja adalah kelompok pramudi dengan durasi kerja > 8 jam dan mengemudi

sebanyak 2-3 rit. Pekerjaan yang biasa, tidak terlalu berat atau ringan

produktivitasnya akan mulai menurun setelah 4 jam bekerja. Karuniasih

mengatakan bahwa supir yang telah bekerja/mengendarai lebih dari 2 jam

merasakan pegal-pegal pada punggung dan leher. Kadar gula darah juga menurun

sehingga perlu istirahat dan kesempatan untuk makan guna meningkatkan kadar

gula kembali. Durasi waktu mengemudi yang cukup lama dan frekuensi yang

terlampau sering akan mendorong fatigue dan ketegangan otot tendon.

Ketegangan otot tendon dapat dipulihkan apabila ada jeda waktu istirahat yang

digunakan untuk peregangan otot.16

Tabel 3. Hasil kesesuaian data antropometri pramudi dengan data kursi

pramudi bus Transjakarta Koridor IX

No Variabel Dimensi Tubuh Dimensi Kursi

Keterangan 5% X 95% Variabel Ukuran

1 Tinggi bahu duduk 67.62 Tinggi sandaran

punggung

K: 68 cm

L: 52 cm

TS: 55 cm

RI: 60 cm

K: Sesuai

L: Sesuai

TS: Sesuai

RI: Sesuai

2 Tinggi siku duduk 27.27 34.88 Tinggi sandaran

lengan

K: 25 cm

Tdk sesuai

3 Panang dari pantat

sampai bagian

lutut belakang

37.22 Panjang alas

tempat duduk

K: 52 cm

L:45 cm

Ts: 45 cm

RI: 50 cm

K: Tdk sesuai

L: Tdk sesuai

TS: Tdk sesuai

RI: Tdk sesuai

4 Tinggi lutut

bagian belakang

38.08 Tinggi tempat

duduk

K: 37 cm

L: 40 cm

TS: 45 cm

RI: 49 cm

K: Sesuai

L: Tdk sesuai

TS: Tdk sesuai

RI: Tdk sesuai

5 Lebar bahu atas 46.35 Lebar sandaran

punggung

K: 46 cm

L: 45 cm

TS: 46 cm

RI: 46 cm

K: Sesuai

L: Sesuai

TS: Sesuai

RI: Sesuai

6 Lebar pinggul 42.03 Lebar alas tempat

duduk

K: 54 cm

L: 55 cm

TS:50 cm

RI: 54 cm

K: Tdk sesuai

L: Tdk sesuai

TS: Tdk sesuai

RI: Tdk sesuai

7 Panjang dari siku

ke ujung jari

34.3 Panjang sandaran

lengan

K: 25 cm K: Tdk sesuai

8 Tinggi duduk 79.65 90.47

Tinggi kursi K:85 cm

L: 67 cm

TS: 73 cm

RI: 80 cm

K: Sesuai

L: Tdk sesuai

TS: Tdk sesuai

RI: sesuai

3.3.1 Postur kerja

Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti terhadap aktivitas

mengemudi pada postur leher, punggung, kaki, lengan, pergelangan tangan serta

durasi dan frekuensi. Tingkat risiko ergonomi terbesar pada saat mengemudi

adalah pada aktivitas menekan tombol transmisi dan pintu penumpang dan postur

Page 220: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

206

dominan mengemudi. Pada umumnya posisi leher pramudi berada pada kisaran

300. Postur ini merupakan postur yang berisiko karena mengalami fleksi ≥ 20

0

sehingga hal ini dapat meningkatkan keluhan.14

Selain itu, tuntutan intensitas

konsentrasi yang tinggi pada saat mengemudi juga menyebabkan kerja otot yang

lebih pada leher. Postur ini terjadi pada aktivitas menekan tombol transmisi dan

tombol pintu penumpang.

Postur punggung pada aktivitas mengemudi berkisar 300 dan postur batang

tubuh pada pramudi ini bersifat statis. Sutajaya mengatakan bahwa sikap duduk

yang tidak alamiah akan menimbulkan kontraksi otot secara isometris (melawan

tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat dalam pekerjaan. Otot-otot punggung

bekerja keras menahan beban anggota gerak atas yang sedang melakukan

pekerjaan sehingga mengakibatkan beban kerja pramudi bertumpu di daerah

pinggang dan menyebabkan otot pinggang sebagai penahan beban utama akan

mudah mengalami kelelahan dan selanjutnya akan terjadi nyeri pada otot sekitar

pinggang atau punggung bawah. Postur ini terjadi pada aktivitas menekan tombol

transmisi dan tombol pintu penumpang, sikap duduk yang lama.

Postur kaki pada saat mengemudi berada dalam postur yang stabil, hanya aktivitas

pedal gas dan rem berulang-kali secara bergantian selama perjalanan

membutuhkan kontrakasi otot pada betis sehingga kaki dengan kondisi postur

yang statis dan kebutuhan tenaga yang harus dikeluarkan, membuat zat sisa pada

betis yang berupa asam laktat menumpuk dan menimbulkan rasa pegal.

3.4 Faktor lingkungan

Faktor lingkungan ialah getaran. Getaran yang timbul darikeempat jenis

bus > nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan yaitu 0,5 m/s2

seperti tertulis

dalam Permenakertrans No. 13 Tahun 2011.22

Jika terpajan getaran dalam jangka

pendek menyebabkan nyeri dada,dan sakit perut akibat goyangan organ di dalam

rongga dada dan perut, sakit kepala, mual, dan gangguan keseimbangan,

penglihatan kabur sehingga tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang memerlukan

ketelitian, nafas pendek, dan gangguan bicara. Sedangkan dalam jangka panjang

dapat mengakibatkan gesekan tulang dan seni, perubahan medulla spinalis,

skoliosis lumbalis, cedera diskus intervertebralis dan hernia nucleus pulposus,

juga gangguan jantung, varises, varikikel dan thrombus akibat terhambatnya darah

kembali ke jantung.

4. Kesimpulan

57 pramudi (81,4%) bus Trans Jakarta merasakan keluhan muskuloskeletal.

Keluhan paling banyak dirasakan pada bagian leher bagian atas (43,9%),

punggung (40,4%), pinggang (38,6%), betis kiri (36,8%), leher bagian bawah

(36,8%) dan betis kiri (36,8%). Hal ini disebabkan oleh faktor pekerjaan, faktor

individu, faktor kendaraan dan faktor lingkungan. Umumnya, gejala yang

dirasakan pramudi adalah pegal dan nyeri/sakit pada bagian tubuh tertentu.Waktu

timbulnya keluhan mayoritas pramudi mersakan setelah mengemudi. Dan

kebanyakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa keluhan tersebut adalah

dengan beristirahat dan dipijat.

Daftar Pustaka 1WHO. Global Status on Report Safety 2013: Supporting a Decade of Action.

Geneva: WHO; 2013

Page 221: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

207

2Lukito NA, Sulistio H, Kusuma A. Karakteristik Pengemudi dan Model Peluang

Terjadinya Kecelakaan Bus Antar Kota Antar Propinsi. Jurnal Rekayasa

Volume 6 No.1, hal 42-54; 2012. 3Trans Jakarta PT. Data Kecelakaan PT. Trans Jakarta. Jakarta; 2015

4Harrianto R. Buku Ajar Kesehatan Kerja.Jakarta: EGC; 2009.

5Wignjosoebroto S. Ergonomi, Suatu Studi Gerak dan Waktu.Surabaya: Guna

Widya; 2003 6Nurmianto E. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya;

2008 7Ojo AO, Oluwaseun O, Rufus A, Adaobi O. Assesment of Work Related

Musculoskeletal Pain Among Professional Drivers in The Service of A

Tertiary Institution. American Journal of Health Research Vol 2, hal 56-6;

2014. 8Najenson D, Santo Y, Masharawi Y, Katz-Leuter m, Ushvaev D, Kalichman L.

Low Back Pain Among Professional Drivers: Ergonomic and Occupational-

Psychosocial Risk Factors. IMA Journal Vol 12 (1): 26-31; Januari 2010. 9Akinpelu AO, Oyowole OO, Odole AC, Olukoya RO. Prevalence of

Musculoskeletal Pain and Health Seeking Behaviour among Occupational

Drivers in Ibadan, Nigeria. Afr. J. Biomed. Res.2011; 14, 89-94. 10

Sadri, HG. Risk Factors of Musculoskeletal Disorders in Bus Drivers. 6 (2003),

214-215; 2003. 11

Tamrin SBM, Yokoyama K, Aziz N, Maeda S. Association of Risk Factors with

Musculoskeletal Disorders among Male Commercial Bus Drivers in

Malaysia. Human Factor Erognom. Service Industry. DOI:

10.1002/hfm.20387 12

Arikunto S. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta 13

Lemeshow S, Hosmer WD, Klar J. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan.

Gajah Mada University Press: Jogjakarta; 1997. 14

Bridger RS. Introduction to Ergonomics. London: Mc Graw Hill, Inc; 1995. 15

Murti B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gajah Mada University Press:

Jogjakarta; 1987. 16

Karuniasih. Tinjauan Faktor Risiko dan Keluhan Subjektif Terhadap Timbulnya

Muskuloskeletal Disorders Pada Pengemudi Travel X Trans Tujuan Jakarta-

Bandung Tahun 2009. Depok: FKM UI; 2009. 17

NIOSH. Musculoskeletal Disorders and Workplace Factors: A Critical Review

of Epidemiologic Evidence for Work Related Musculoskeletal Disorders;

1997. 18

Pheasant, S. 2003. Bodyspace: Anthropometry, Ergonomics and Design. Second

Edition. USA: Taylor & Francis 19

Humantech. Applied Ergonomics Training Manual. Humantech Inc: Berkeley

Australia; 2003. 20

Kompier JAM. Bus Drivers: Occupational Stress and Stress Prevention.

Geneva: International Labour Office, 1996. 21

________Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia: Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat

Kerja. Jakarta; 2011

Page 222: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

208

Analisis Kesesuaian Penyediaan Energi di Tempat Kerja

PadaKaryawan PTS Gresik

Erwin Dyah Nawawinetu, Ratih Damayanti Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga

Jl. Srikana 65 Surabaya 60286

Tel. 031-5033869. E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian penyediaan energi di tempat kerja

pada karyawan PTS. Penelitian dilakukan dengan metode observasional deskriptif pada

responden (66 orang karyawan PTS dari 97 orang yang masuk dalam program gizi dan

yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini). Variabel yang diteliti adalah

status gizi responden (menurut Indeks Masa Tubuh dan Lingkar Perut), kecukupan energi

sehari dari responden (diambil dengan metode food recall), kecukupan energi yang

disediakan oleh katering perusahaan (dilakukan pengamatan selama 10 hari), beban kerja

responden. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan tabulasi silang

dibandingkan dengan teori dan peraturan yang berlaku.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden: memiliki status

overweight (55%) menurut IMT namun hanya 44% yang mengalami belly obesity, dan

mengasup energi melebihi kecukupan energi yang dianjurkan (hasil food recall), terutama

yang berasal dari lemak. Makanan yang disediakan oleh katering perusahaan (3 katering)

seluruhnya masih belum memenuhi kecukupan energi yang dibutuhkan oleh responden

menurut beban kerja responden (ringan, sedang, berat).

Disimpulkan bahwa penyediaan energi dari makanan yang disediakan perusahaan belum

sesuai dengan kebutuhan energi responden. Status gizi lebih (overweight dan obesity)

berasal dari pola makan responden di luar tempat kerja. Disarankan agar perusahaan

mengadakan health education bagi karyawan mengenai pola hidup yang sehat untuk

mengatasi masalah kelebihan gizi serta melakukan perbaikan menu gizi yang disediakan.

Kata kunci: kecukupan energi, status gizi.

1. Pendahuluan

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila

terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan

perkembangan mental orang tersebut. Terdapat hubungan antara status gizi

dengan konsumsi makanan. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila

kebutuhan gizi optimal terpenuhi (1)

.

Gizi sangat dibutuhkan oleh setiap orang, salah satunya untuk pekerja.

Pekerja memerlukan zat-zat gizi sesuai dengan jenis pekerjaannya. Zat-zat gizi

yang berasal dari makanan sehari-hari berfungsi sebagai zat tenaga, zat

pembangun, dan zat pengatur. Kebutuhan akan zat-zat gizi tergantung dari usia,

jenis kelamin, ukuran tubuh, dan jenis aktivitas. Gizi pada pekerja ditujukan untuk

kesehatan pekerja agar mampu bekerja secara optimal. Zat gizi utama yang paling

dibutuhkan oleh pekerja adalah karbohidrat sebagai sumber energi untuk kerja

otot. Selain karbohidrat, pekerja tetap memerlukan protein untuk memelihara

fungsi tubuh dan sebagai sumber energi (2)

.

Page 223: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

209

Banyak faktor yang dapat memengaruhi status gizi seseorang, yang terdiri

dari faktor biologis, faktor sosial ekonomi, konsumsi makanan, faktor perilaku,

dan status kesehatan. Salah satu diantaranya adalah konsumsi makanan berupa

asupan energi. Hasil survei awal yang telah dilakukan peneliti menunjukkan

bahwa 46 % pekerja PTS mengalami status gizi lebih. Kondisi ini apabila

dibiarkan akan berakibat pada gangguan kesehatan, terutama munculnya penyakit

degeneratif serta gangguan metabolik lain. Perusahaan telah menyediakan makan

siang, namun belum pernah dianalisis kecukupan energi dan zat gizi yang

diberikan.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional deskriptif dengan responden sebanyak

66 orang yang diambil secara purposif pada populasi karyawan yang mengalami

masalah terkait dengan sindroma metabolik dan menjadi sasaran program gizi di

PTS. Variabel yang diteliti adalah status gizi (menurut IMT dan lingkar perut),

kecukupan energi sehari (dari konsumsi makan sehari yang diperoleh dengan food

recall), kecukupan energi yang disediakan oleh katering perusahaan, dan beban

kerja. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan membuat tabulasi silang

serta dibandingkan dengan teori maupun peraturan yang berlaku.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Status Gizi

Status gizi menurut IMT menunjukkan bahwa sebagian besar responden (36

orang atau 55%) mengalami overweight dan 11 orang responden ( 17% )

mengalami obesitas. Status gizi menurut lingkar perut menunjukkan bahwa 32

orang ( 48%) mengalami belly obesity dan sisanya 34 orang (52%) memiliki

lingkar perut normal. Penilaian status gizi pekerja perlu dilakukan, karena dengan

mengetahuistatus gizi pekerja dapat ditentukan kebutuhan gizi yang sesuai serta

pemberian intervensi gizi bila diperlukan. Pemeriksaan status gizi dapat dilakukan

melalui beberpa cara, antara lain melalui pemeriksaan biokimia, pemeriksaan

klinis, pemeriksaan biofisik dan antropometri. Antropometri merupakan metode

yang paling sering digunakan dalam penilaian status gizi(3)

. Metode ini

menggunakan parameter BB dan TB untuk menghitung Indeks Masa Tubuh

(IMT) dan pengukuran lingkar perut (LP). Pada penelitian ini pemeriksaan status

gizi dilakukan dengan cara antropometri, yaitu dengan menghitung IMT dan LP.

Lingkar perut dikatakan normal untuk laki-laki adalah kurang atau sama dengan

90 cm. Menurut A. Esmailladeh, dkk (2004), lingkar perut merupakan indikator

yang paling banyak digunakan untuk mengetahui obesitas perut dalam suatu

populasi. Pada responden penelitian ini ternyata responden yang memiliki status

gizi menurt LP normal, lebih banyak yang memiliki IMT normal (4)

.

Tabel 1. Status gizi responden menurut LP dan IMT

Status gizi

menurut

IMT

Status gizi menurut Lingkar Perut Total

Normal Belly obesity

jumlah % jumlah % Jumlah %

Normal 15 79 4 21 19 100

Overweight 16 44 20 56 36 100

Obesitas 2 27 9 73 11 100

Page 224: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

210

Namun, di sini juga tampak bahwa ada responden yang menurut IMT

tergolong overweight (44%) dan obesitas (27%), ternyata lingkar perutnya normal.

Ada pula responden yang status gizi menurut IMT normal, namun ternyata ia

mengalami bellyobesity (21%). Jadi pengukuran status gizi memang sebaiknya

dilakukan menggunakan lebih dari satu indikator agar dapat segera diwaspadai

jika ada risiko terkait dengan kelebihan status gizi.

Akibat apabila seseorang mengalami gizi lebih adalah kegemukan

(obesitas). Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya

berbagai macam penyakit degeneratif, seperti penyakit diabetes mellitus,

hipertensi, penyakit jantung koroner, hati, dan kantung empedu (3)

.

Berbagai penelitian mengenai status gizi menyebutkan bahwa prevalensi

terjadinya gizi lebih cenderung meningkat di Indonesia. Berdasarkan penelitian

Hellen Keller Indonesia pada tahun 1999 prevalensi status gizi lebih sebesar

14,0% meningkat pada tahun 2000 menjadi 17,4%, sehingga masih merupakan

masalah kesehatan di Indonesia(4)

.

3.2. Beban kerja

Beban kerja responden menurut hasil wawancara aktifitas kerjanya adalah

ringan sampai dengan berat dengan sebaran sebagai berikut:

Tabel 2. Distribusi frekuensi beban kerja responden, Gresik, Agustus 2015 Beban kerja Jumlah Persen

Ringan 6 7,9

Sedang 55 72,4

Berat 5 6,6

Total 66 100

Beban kerja adalah beban yang ditanggung oleh tubuh pekerja akibat

pekerjaannya. Menurut Christensen, beban kerja dapat diukur dengan berbagai

macam cara, antara lain observasi kegiatan kerja, pengukuran denyut nadi,

pengukuran konsumsi oksigen selama bekerja, dan lain-lain(5)

. Pada penelitian ini

beban kerja diketahui dari penjelasan responden dan supervisor mengenai aktifitas

kerja yang dilakukan. Sebagian besar responden memiliki beban kerja sedang

(72,4%) dan hanya, 6% yang memiliki beban kerja berat berat sisanya 7,9%

memiliki beban kerja ringan.

Beban kerja ringan, sedang dan berat tersebut setara dengan penggunaan

kalori sebesar 100-200 kalori/jam untuk beban kerja ringan, >200-350 kalori/jam

untuk beban kerja sedang dan >350-500 kalori/jam untuk beban kerja berat (6)

.

Beban kerja perlu diketahui dalam penelitian ini untuk menganalisis kecukupan

energi yang diasup responden, baik yang berasal dari hasil food recall selama 24

jam maupun dari menu makan siang yang disediakan katering perusahaan.

Hal ini penting dilakukan, karena jika asupan makanan melebihi energi yang

dikeluarkan, maka akan menyebabkan terjadinya malnutrisi. Seperti pada

penelitian ini dimana responden sebagain besar mengalami kelebihian gizi

(obesitas dan overweight) serta masalah sindroma metabolik yang kemungkinan

akibat asupan zat gizi yang tidak sesuai dengan beban kerjanya. Asupan energi

dari karbohidrat, protein dan lemak perlu diperhatikan agar status gizi responden

tetap baik yang selanjutnya akan berdampak pada status kesehatan serta

produktivitas kerja.

Page 225: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

211

3.3. Kecukupan energi

Kecukupan Energi yang diteliti di sini adalah kecukupan energi yang berasal

dari karbohidrat, lemak, dan protein yang diberikan di perusahaan maupun yang

biasa dikonsumsi oleh responden. Hasil food recal sebagai berikut:

Tabel 3. Rerata konsumsi energi harian menurut hasil food recall,

Gresik-Agustus 2015

Rerata konsumsi energi

harian (Kkal)

Energi dari

KH (Kkal)

Energi dari

Protein (Kkal)

Energi dari

Lemak (Kkal)

2490 322 96 92

Kecukupan energi harian untuk orang yang bekerja dengan berbagai beban

kerja adalah berbeda-beda. Hasil food recall kemudian dibandingkan dengan hasil

perhitungan kecukupan energi untuk setiap beban kerja.

Tabel 4. Kecukupan energi menurut food recall dibandingkan

dengan kebutuhan energi menurut beban kerja

Kecukupan energi Jumlah Persen

Kurang 35 53

Cukup 0 0

Lebih 31 47

Total 66 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kecukupan energi menurut

hasil food recall pada responden adalah sebesar 2490 kalori, yang berasal dari

nilai rerata karbohidrat sebesar 322 kalori, protein sebesar 96 kalori dan lemak

sebesar 92 kalori. Persentase responden yang nilai kecukupan energinya kurang

sesuai dengan nilai anjuran adalah sebanyak 53% sedang sisanya (47%)

kecukupan energinya melebihi anjuran.

Kecukupan energi yang tidak sesuai dengan anjuran akan menyebabkan

masalah malnutrisi, baik gizi lebih maupun gizi kurang yang selanjutnya dapat

mempengaruhi produktivitas kerja. Namun pada penelitian ini responden yang

dari hasil food recall menunjukkan kecukupan energinya kurang, ternyata tidak

ada yang mengalami kurang gizi.

3.4. Kecukupan energi makan siang

Kecukupan energi dihitung berdasarakan asupan energi rata-rata pada

menu yang diberikan selama 10 hari pengamatan yang dibandingkan dengan

anjuran kecukupan energi sesuai beban kerja. Menu tersebut adalah berasal dari 3

katering yang bekerja sama dengan perusahaan yaitu katering 1, 2 dan 3. Hasil

analisis kecukupan energi makan siang adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Hasil perhitungan energi makan siang yang disediakan perusahaan,

Gresik- Agustus 2015

Energi (Kal)

makan siang dari

katering

MENU MAKAN

SIANG (Kal) ANJURAN Energi (Kal)

MEAN SD BEBAN KERJA MEAN SD

1 601 101 RINGAN 956 118

2 583 125 SEDANG 945 58

3 629 133 BERAT 1039 112

Page 226: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

212

Tabel tersebut menunjukkan bahwa rerata (mean) energi makan siang yang

disediakan ketiga katering perusahaan selama pengamatan masih kurang dari nilai

anjuran untuk seluruh kategori beban kerja.

Setelah dilakukan perhitungan sesuai dengan data beban kerja, usia dan

jenis kelamin (semua responden laki-laki), maka energi yang harus disediakan

oleh katering perusahaan pada menu makan siangnya adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Makanan yang seharusnya disediakan untuk setiap beban kerja pada

menu makan siang Beban

Kerja

Karbohidrat Protein Lemak

Kal. Gram Kal. gram Kal. gram

Ringan 503 s/d 645 126 s/d 161 168 s/d 214 42 s/d54 168 s/d 214 19 s/d 24

Sedang 532 s/d 602 133 s/d 150 176 s/d 200 45 s/d 50 177 s/d 201 20 s/d 22

Berat 556 s/d 690 139 s/d 173 190 s/d 234 48 s/d 58 185 s/d 229 21 s/d 25

4. Kesimpulan dan saran

Disimpulkan bahwa penyediaan energi dari makanan yang disediakan

perusahaan belum sesuai dengan kebutuhan energi responden. Status gizi lebih

(overweight dan obesity) berasal dari pola makan responden di luar tempat kerja.

Disarankan agar perusahaan mengadakan health education bagi karyawan

mengenai pola hidup yang sehat untuk mengatasi masalah kelebihan gizi serta

melakukan perbaikan menu gizi yang disediakan.

Daftar Pustaka

1. Wiryo Hananto. (2002). Peningkatan gizi bayi, anak, ibu hamil dan menyusui

dengan bahan makanan local. Jakarta: Sagung Seto.

2. Djunaedi, H. 2001. Gizi Kerja untuk Meningkatkan Produktivitas, Majalah

Kesehatan Masyarakat Indonesia Tahun XXIX, Nomor 2.

3. Almatsier. (2005). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan V. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

4. Depkes RI (2005) Pedoman Pemberian ASI Eksklusif, Jakarta: WHO.

5. Tarwaka, 2011. Ergonomi Industri. Solo: Harapan Press Solo

6. BSN. 2009. Penilaian beban kerja berdasarkan tingkat kalori menurut

pengeluaran energi. SNI 7269: 2009

Page 227: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

213

Aplikasi Sistem Peringatan Dini Pada Keamanan,

Keselamatan, dan Kesehatan Kerja

Aan Burhanuddin1, Muchamad Malik

2

1Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas PGRI Semarang

Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 - Dr. Cipto, Semarang

E-mail: [email protected] 2Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada

Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam perkembangannya akan lebih menakankan

pada pencegahan timbulnya kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja dengan

cara mengenali hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja

serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Lingkungan kerja yang bersinggungan langsung dengan bahan beracun akan sangat

membahayakan bagi tubuh manusia apabila terpapar secara terus-menerus.

Sebuah lingkungan kerja yang mengandung bahan gas beracun sebagai contoh gas CO,

SO atau gas LPG dalam konsentrasi tertentu dapat menimbulkan iritasi mata atau sesak

napas. Oleh karena itu diperlukan sebuah sistem peringatan dini yang dapat mengukur

konsentrasi gas tersebut dan dapat memberikan peringatan kepada pekerja yang terkait

dengan konsentrasi gas tersebut kepada para pekerja.

Sistem peringatan dini ini dibuat menggunakan tiga sensor gas, tiga sensor panas, LED

dan buzzer. Pembacan dan pengolahan sensor tersebut diproses oleh mikrokontroler 16

bit yang akan mengondisikan ruangan. Dalam pembuatan sistem tersebut algoritma

permogramannya digunakan fuzzy yang sebelumnya telah disimulasikan dengan

MATLAB, sehingga logika pemrogramannya mengacu pada hasil simulasi, miniatur

ruangan dibuat dengan tiga ruang utama untuk pekerja dalam sebuah lorong dan sebuah

pintu darurat. Hasil dari sistem tersebut adalah apabila pada suatu ruangan terdeteksi

konsentrasi gas yang melebihi ambang batas, maka sistem akan mengaktifkan buzzer dan

akan mengaftikan LED sebagai arah jalur evakuasi paling aman.

Kata kunci: fuzzy, keamanan K3, MATLAB, sensor gas.

1. Pendahuluan

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak hanya menjadi salah satu unsur

perlindungan tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin keselamatan bagi para

pekerja saja, namun juga untuk menjamin agar sumber-sumber produksi dapat

digunakan secara aman dan efisien serta menjamin kelancaran proses produksi

yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas

[1].

Keselamatan dan kesehatan kerja dalam perkembangannya akan lebih

menakankan pada pencegahan timbulnya kecelakaan akibat kerja dan penyakit

akibat kerja dengan cara mengenali hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan

dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan

penyakit akibat kerja. Lingkungan kerja yang bersinggungan langsung dengan

Page 228: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

214

bahan beracun akan sangat membahayakan bagi tubuh manusia apabila terpapar

secara terus-menerus [2]. Beberapa contoh tempat kerja yang terpapar langsung

oleh gas beracun adalah pabrik pengolahan gas LPG, pabrik pupuk, Stasiun bahan

bakar gas dan lain sebagainya. Untuk meminimalisir bahaya gas polutan dalam

ruangan, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mendeteksi gas berbahaya tersebut,

dan memberikan solusi arah evakuasi yang paling cepat dan paling aman.

2. Studi Pustaka

Dalam melakukan penelitian, penulis telah melakukan berbagai studi

pustaka sebelum merancang sistem peringatan dini pada keselamatan kerja

tersebut.Dengan cara ini penulis berusaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan

data-data, informasi, konsep-konsep yang bersifat teoritis dari buku, bahan-bahan

kuliah dan internet yang berkaitan dengan permasalahan.

2.1. Kesehatan, keselamatan kerja

Perlindungan terhadap pekerja harus menjadi prioritas bagi sebuah

perusahan dan Negara, hal ini sesuai undang-undang yaitu Pasal 86 ayat 1

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/

buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas:

a. Keselamatan dan kesehatan kerja

b. Moral dan kesusilaan

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai

agama.

Sedangkan ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa “untuk melindungi

keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal

diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.” (ayat 2), “Perlindungan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (ayat 3). Dalam Pasal 87 juga

dijelaskan bahwa Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen

keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen [3].

2.2 Sensor

Sensing atau pengindraan adalah teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan informasi tentang objek fisik atau proses, termasuk terjadinya

peristiwa (yaitu, perubahan suatu keadaan seperti penurunan suhu atau tekanan).

Sebuah objek yang melakukan suatu tugas penginderaan disebut sensor. Sebagai

contoh, tubuh manusia dilengkapi dengan sensor yang mampu menangkap

informasi optik dari lingkungan (mata), informasi akustik seperti suara (telinga),

dan bau (hidung) [4,5,6].

Gambar 1. Akuisisi Data

Page 229: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

215

Pada Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa sinyal-sinyal listrik yang dihasilkan

seringkali tidak siap untuk segera diproses, karena itu mereka melewati tahap

pengondisian sinyal. Berbagai operasi dapat diterapkan pada sinyal sensor untuk

mempersiapkan untuk digunakan lebih lanjut.

2.3 Fuzzy Logic

Logika Fuzzy ( logika samar ) merupakan logika yang berhadapan langsung

dengan konsep kebenaran sebagian, dimana logika klasik menyatakan bahwa

segala hal dapat diekspresikan dalam binary 0 atau 1. Logika fuzzy

memungkinkan nilai keanggotaan antara 0 dan 1. Karena alasan diatas maka pada

penelitian ini akan dibuat perancangan perangkat lunak dan perangkat keras robot

avoider dengan mengunakan aplikasi fuzzy logic sebagai kendali sistem [7,8].

3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode rancang bangun, yang diawali

dari: studi pustaka, pembuatan rangkaian elektronika, pembuatan logika fuzzy

dengan MATLAB, pengujian, dan implementasi.

3.1. Pembuatan Rangkaian Elektronika

Rangkaian elektronika dalam sistem simulasi ini terdiri dari mikrokontroler

sebagai pusat pengendali, sensor sebagai actuator dan input penginderaan, buzzer

dan LED sebagai output. Rangkaian elektronika sebagaimana dalam Gambar 2

dapat dijelaskan bahwa sensor gas pada rangkaian tersebut ada tiga buah, sensor

satu terkoneksi dengan pin analog 1, sensor 2 terkoneksi dengan pin analog 3 dan

sensor tiga terkoneksi dengan pin analog 5. Apabila suatu keadaan atau

konsentrasi gas melebihi ambang batas, maka sensor akan terpicu, gas tersebut

akan dirubah menjadi panas oleh rangkaian sensor, panas tersebut kemudian akan

diubah menjadi suatu sinyal listrik (tegangan) yang kemudian dikirim ke

mikrokontroler melalui pin analog yang kemudian akan diproses menjadi output.

Output tersebut yaitu berupa switch otomatis yang akan menghidupkan buzzer dan

LED.

Gambar 2. Rangkaian Elektronika

3.2. Penerapan Fuzzy Logic

MATLAB adalah sistem perangkat lunak interaktif dengan elemen dasar

basis data array. Hal ini memunginkan seorang pengguna (user) dapat

Page 230: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

216

memecahkan masalah yang berhubungan dengan komputasi dan matematika.

Software MATLAB digunakan untuk simulasi pada logika fuzzy sehingga

pembuatan aturan logikanya dapat terpenuhi.

Gambar 3. Simulasi MATLAB

Proses simulasi tersebut membutuhkan tiga inputan seperti pada Gambar 3

yaiyu Gas 1, Gas 2, Gas 3. Inputan dari himpunan fuzzy tersebut kemudian

dijadikan nilai crips yang kemudian ditentukan besar domain dan daerah batasan

crips nya. Output dari simulai tersebut bergantung pada aturan-aturan yang

diterapkan pada logika fuzzy yang dibuat. Aturan-aturan tersebut yang nantinya

akan diaplikasikan kedalam kode program yang nanti akan dimasukkan ke dalam

mikrokontroler.

4. Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini, purwarupa raungan dibuat dengan ukuran 20 cm x 50

cm yant terdiri dari tiga ruang utama yang diasumsikan sebagai ruang kerja. Tiap

ruangan mempunyai lorong sehingga terdapat tiga lorong yang saling terhubung

dan sebuah jalur evakuasi.

Gambar 4 merupakan desain layout maket ruangan yang dapat dijelaskan

bahwa R1 adalah ruang satu, R2 adalah ruang dua, R3 adalah ruang tiga, E1

adalah lorong satu, E2 adalah lorong dua, E3 adalah lorong tiga dan E4 adalah

lorong empat. Pada tiap ruangan tersebut akan diberikan sensor gas sebagai

pendeteksi gas dalam ruangan. Pada setiap lorong akan diberikan LED warna

merah sebagai penunjuk bahaya dan led warna hijau sebagai penunjuk jalur

evakuasi yang aman. Dalam membuat logika sistem keamanan tersebut harus

memenuhi aturan yang telah dibuat.

Tabel 1. Aturan Logika No Sensor Led Merah Led Hijau Buzzer Keterangan

1 If Sensor R1, R2, R3 <

setpoint

E1, E2, E3,

E4= Mati

E1, E2, E3,

E4= Hidup

Mati Gedung aman

2 If Sensor R2 > setpoint E1, E3,E4 =

Mati, E2 =

Hidup

E1,E3, E4 =

Hidup, E2 =

Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 2

R1 R2 R3 E4

E1

E1

E2

E1

E3

E1 Gambar 4. Desain Ruangan

Page 231: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

217

3 If Sensor R3 > setpoint E1, E2,E4 =

Mati, E3 =

Hidup

E1,E2, E4 =

Hidup, E3 =

Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 3

4 If Sensor R 1> setpoint E2, E3,E4 =

Mati, E1 =

Hidup

E2,E3, E4 =

Hidup, E1 =

Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 1

5 If Sensor R1, R2 > setpoint E3,E4 = Mati,

E1, E2 =

Hidup

E3, E4 =

Hidup, E1,E2

= Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 1,2

6 If Sensor R2, R3 > setpoint E1,E4 = Mati,

E2, E3 =

Hidup

E1, E4 =

Hidup, E2,E3

= Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 2,3

7 If Sensor R1, R3 > setpoint E2,E4 = Mati,

E1, E3 =

Hidup

E2, E4 =

Hidup, E1,E3

= Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 1,3

8 If Sensor R1, R2,R3 > setpoint E4 = Mati, E1,

E2, E3 =

Hidup

E4 = Hidup,

E1,E2, E3 =

Mati

Hidup Terjadi

Ketidakamanan

pada Ruang 1,2,3

Gambar 5. Hasil Logika Fuzzy

Dari tabel 1 tersebut maka dibuat sebuah algoritma permograman yang

sesuai dengan rule tersebut yang dapat dimasukkan ke dalam mikrokontroler.

Maka relasi dari tiap-tiap input terhadap rule atau aturan akan menghasilkan

beberapa output yang sama seperti ditunjukkan pada gambar 5.

Hasil dari algoritma tersebut adalah apabila dalam ruangan tersebut tidak

ada gas berbahaya yang terdeteksi maka akan dianggap aman dengan indikator

LED warna hijau menyala, apabila di ruang satu (R1) terdapat kandungan gas

yang berbahaya maka LED hijau pada lorong satu (E1) akan mati dan LED merah

akan menyala, sedangkan LED pada lorong lainnya akan menyala dan buzzer akan

bunyi sebagai tanda peringatan. Apabila ruang satu dan ruang dua terdeteksi ada

gas berbahaya, maka LED merah pada lorong satu dan dua akan hidup dan LED

warna hijau akan mati, sedangkan di lorong lain akan menyala. Apabila semua

ruangan terdeteksi ada gas berbahaya, maka hanya akan ada LED hijau pada

lorong jalur darurat (E4) yang menyala sedang lorong lain akan menghidupkan

LED merah, sehingga dapat diasumsikan bahwa keadaan jalur evakuasi paling

aman adalah melalui pintu darurat.

Page 232: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

218

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitan yang telah dilakukan, sensor gas memiliki kepekaan

yang sangat sensitif, sehingga respon terhadap output nya juga sangat cepat. Hal

ini dapat menjadikan sistem ini menjadi lebih responsif dan bermanfaat terhadap

pekerja sebagai peringatan dini apabila terjadi kebocoran gas, kebakaran maupun

sebagai detektor polutan. Hasil dari simulasi pada MATLAB dan implementasi

logika fuzzy pada mikrokontroler berjalan sesuai aturan yang dibuat sebelumnya,

sehingga sistem ini dianggap tepat dan presisi.

Sistem peringatan dini terhadap keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja

ini perlu adanya pengembangan lanjutan yaitu perlu adanya simulasi yang

menyakup keadaan ruangan yang lebih banyak dan dapat diemplementasikan di

suatu gedung yang mempunyai lantai lebih dari satu.

Daftar Pustaka

[1].Hidayah. Pelaksanaan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam

Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyaean di PT Tirta Investama

Wonosobo. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta; 2013.

[2].Kosegeran, Victor. Perancangan Alat Ukur Kadar CO,CO2 dan HC pada Gas

Buang Kendaraan Bermotor. Manado: Universitas Samratulangi. 2013

[3].Undang Republik Indonesia. No. 13 Tahun 2003 Pasal 86 ayat 1, Tentang

Ketenaga Kerjaan.

[4].Mukhopadhyay, Subhas Chandra. Intelligent Sensing, Instrumentation and

Measurements. New Zealand: School of Engineering and Advanced

Technology, Massey University (Turitea Campus), Palmerston North.;

2013

[5].Mukhopadhyay, Subhas Chandra. Smart Sensors, Measurement and

Instrumentation. New Zealand: School of Engineering and Advanced

Technology, Massey University (Turitea Campus), Palmerston North.

2013

[6].Dargie, Waltenegus. Wireless Sensor Network Theory and Practice. Germany:

Technical University of Dresden. 2010.

[7].Ross, Timothy J. Fuzzy Logic with Engineering Appli ations, Third Edition.

Canada: John Wiley & Sons, Ltd, ISBN 978-0-470-74376-8; 2010.

[8].Lilly, John H. Fuzzy Control and Identification. Canada: John Wiley & Sons,

Ltd,ISBN 978-0-470-54277-4, 2010

Page 233: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

219

Dow’s Fire dan Explosion Index Sebagai Solusi Alternatif

Dalam Penilaian Potensi Bahaya dan Risiko

Terjadinya Kebakaran dan Ledakan (Studi Kasus di Tangki Penyimpanan LPG Pertamina Perak Surabaya)

Dani Nasirul Haqi Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Jl. Mulyorejo, Kampus C, UNAIR Surabaya

Tel. 0857303096977, E-mail: [email protected]

Abstrak

Depot Liquified Petroleum Gas (LPG) Pertamina Tanjung perak Surabaya adalah salah

satu perusahaan yang bergerak dalam menyimpanan dan pendistribusian LPG. Dalam

proses kegiatanya banyak menggunakan bahan–bahan kimia yang bersifat flamable, yaitu

bahan bakar yang mudah terbakar. Sehingga potensi untuk terjadinya kebakaran dan

ledakan di Depot LPG Pertamina Tanjung perak besar.

Metode Dow’s Fire and Explosion Index yaitu suatu instrumen untuk melakukan evaluasi

secara bertahap risiko bahaya kebakaran, ledakan, dan potensial reaktifitas dari peralatan

beserta isinya secara obyektif dan realistis.

Hasil penelitian menunjukkan tingkat bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki

penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam

klasifikasi tingkat bahaya parah. Luas daerah pajanan apabila terjadi kebakaran dan

ledakan adalah sebesar 18352,07 m². Besarnya nilai/harga dari peralatan sebagai bentuk

kerugian karena berada di daerah paparan bahaya dan terpapar risiko terjadinya

kebakaran maupun peledakan pada unit proses adalah sebesar Rp. 7.237.989.100.000.

Besarnya kerugian akibat adanya paparan dari material faktor pada suatu area paparan

(area of exposure) tertentu dalam proses unit ketika kecelakaan adalah sebesar Rp

8.742.767.000.000. Besarnya faktor yang dapat mengendalikan kerugian sebesar 0,5.

Besarnya kerugian sebenarnya yang diderita jika terjadi kebakaran dan ledakan sebesar

Rp 4.371.383.500.000.

Kata kunci: Kebakaran, Ledakan, Liquified Petroleum Gas.

1. Pendahuluan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu program yang dibuat

pekerja maupun pengusaha sebagai upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan

penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi

menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif

apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tujuan dari dibuatnya

program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah untuk mengurangi biaya

perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) seharusnya menjadi prioritas utama dalam suatu

perusahaan, namun sayangnya tidak semua perusahaan memahami akan arti

pentingnya K3 dan mengetahui bagaimana cara mengimplementasikannya dengan

baik dalam lingkungan perusahaan. Potensi kerugian perusahaan akibat lemahnya

implementasi K3 sangat besar diantaranya yaitu terganggunya proses produksi

dan perbaikan alat produksi yang rusak karena kecelakaan kerja serta perusahaan

Page 234: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

220

kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan karena rendahnya produktivitas

kerja karyawan.

Salah satu hal yang paling ekstrim apabila perusahaan tidak menerapkan

aspek K3 dengan baik adalah terjadinya kebakaran dan ledakan. Kebakaran dan

ledakan dapat mengakibatkan kecelakaan yang serius dan menghasilkan kerugian

materi serta kehidupan yang besar. Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil

maupun besar pada tempat yang tidak dikehendaki, merugikan dan pada

umumnya sukar dikendalikan. Kebakaran dapat terjadi dimana saja dan kapan

saja. Bahkan di hutan, perumahan, perkantoran, pertokoan, dan gedung-gedung

tinggi. Tidak ada tempat kerja yang dapat dijamin bebas dari risiko bahaya

kebakaran. Kebakaran di tempat kerja membawa konsekuensi yang berdampak

merugikan banyak pihak baik pengusaha, tenaga kerja, maupun masyarakat luas.

Akibat yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran di tempat kerja dapat

mengakibatkan korban jiwa, kerugian material, hilangnya lapangan pekerjaan dan

kerugian lainya yang tidak langsung (Direktorat Pengawasan Keselamatan Kerja

Ditjen Pembina Pengawasan Ketenagakerjaan, 2004).

Depot LPG Pertamina Tanjung perak Surabaya adalah salah satu perusahaan

yang bergerak dalam menyimpanan dan pendistribusian Liquified Petroleum Gas

(LPG). Dalam proses kegiatanya banyak menggunakan bahan–bahan kimia yang

bersifat flamable, yaitu bahan bakar yang mudah terbakar. Sehingga potensi untuk

terjadinya kebakaran dan ledakan di Depot LPG Pertamina Tanjung perak juga

besar.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, maka diperlukan suatu

penilaian terhadap potensi kebakaran dan ledakan. Ada beberapa cara untuk

melakukan penilaian terhadap potensi bahaya dan risiko kebakaran dan ledakan,

salah satunya dengan menggunakan metode Dow’s Fire and Explosion Index

yaitu suatu instrumen untuk melakukan evaluasi secara bertahap risiko bahaya

kebakaran, ledakan, dan potensial reaktifitas dari peralatan beserta isinya secara

objektif dan realistis.

2. Metode Penelitian

Berdasarkan metode yang digunakan jenis penelitian ini adalah penelitian

survei (survey research method). Penelitian survei adalah suatu penelitian yang

dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Berdasarkan

sifatnya jenis penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat analitik

(analytical). Penelitian survei analitik diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan

atau situasi. Pada penelitian ini menjelaskan risiko bahaya kebakaran, ledakan,

dan potensial reaktifitas dari peralatan beserta isinya secara obyektif dan realistis

di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak Surabaya. Berdasarkan waktu

pelaksanaannya, jenis penelitian ini termasuk penelitian cross sectional karena

penelitian dilaksanakan pada periode waktu tertentu.

Teknik Pengumpulan Data. Data primer yang dikumpulkan adalah data hasil

wawancara dan observasi di Depot LPG Tanjung Perak Surabaya. Data yang

diperoleh dalam observasi ini adalah data mengenai luas area penyimpanan LPG,

dan mengenai sistem pencegahan terhadap bahaya kebakaran dan ledakan yang

sudah diterapkan di tangki penyimpanan LPG. Sedangkan data yang diperoleh

dari hasil wawancara yaitu data berupa unit proses pada tangki penyimpanan

LPG, besarnya biaya yang ditanggung atau kerugian akibat kebakaran dan

Page 235: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

221

ledakan. Data skunder yang dikumpulkan dalam kegiatan ini berupa: data

mengenai profil perusahaan,yang terdiri dari gambaran umum perusahaan,

kebijakan K3 yang diterapkan, kegiatan K3 yang dilaksanakan, dan data-data

lainya yang diperlukan untuk menunjang penelitian. Dalam penelitian ini data

dimasukkan ke dalam formulir Fire and Explosion Index untuk dilakukan

perhitungan-perhitungan sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam pedoman

Dow’s Fire and Explosion Index. Perhitungan dilakukan secara manual dan

dengan bantuan piranti lunak computer.

3. Hasil dan Pembahasan

Menentukan Fire and Explosion Index dengan memasukkan hasil analisis

MF, F1, F2, dan F3 ke formulir Fire and Explosion Index pada Pedoman Dow’s

Fire and Explosion Index. Hasil perhitungan Fire and Explosion Index dapat

dilihat pada lampiran 1 Formulir Perhitungan Fire and Explosion Index. Tingkat

bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG

Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam klasifikasi tingkat bahaya

parah. Radius of exposure di peroleh dengan mengalikan F & EI dengan konstanta

0,84. Maka radius pajanan adalah:

Radius of exposure (ft)= 0,84 x (F&EI)

= 0,84 x 298,62

= 250,84 ft

= 76,45 m

Luasan yang terpapar apabila LPG storage tank mengalami peledakan maupun

kebakaran.

Area of exposure = π x radius of exposure²

= 3,14 x (76,45)²

= 18352,07 m²

Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian teknik di Depot LPG

Pertamina Perak. Didapatkan niali original cost sebesar Rp. 14.880.000.000.

Sehingga jika niali tersebut dikalikan dengan 0,82 dan escalation factor (593,2).

Didapatkan nilai pengganti sebesar Rp. 7.237.989.100.000.

Nilai Daerah Pajanan = Rp. 7.237.989.100.000.

Menentukan Faktor Kerusakan (Damage Factor). Item ini menunjukkan

keseluruhan efek/dampak kerusakan yang terjadi akibat pelepasan energi pada

suatu unit proses. Adapun penilaian pada item ini mengikuti formulasi sebagai

berikut:

MF = 21 ; F3 (X) = 14,22

Damage factor (Y) = 0,340314 + (0,076531 x (X)) + (0,003912 x (X)²) –

(0,00073 x (X)³)

= 0,340314 + (0,076531 x (14,22)) + (0,003912 x

(14,22)²) – (0,00073 x (14,22)³)

= 1,2079

Kerugian akibat adanya paparan dari material faktor pada suatu area paparan

(area of exposure) adalah

Base MPPD = Damage Factor x Value of The Area of Exposure

= 1,2079x Rp.7.237.989.100.000

= Rp 8.742.767.000.000

Page 236: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

222

Pada bagian konstruksi berbagai plant/process unit, harus disertakan nilai-

nilai dari indeks pencegahan dan kontrol terhadap bahaya kebakaran maupun

peledakan dari proses unit tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang

berlaku. Dalam pemenuhan persyaratan-persyaratan dasar khususnya terhadap

bagian dari pengendalian kerugian (loss control) harus didasarkan pengalaman

dalam pencegahan terjadinya insiden yang serius dan mengurangi kemungkinan

terjadinya insiden tersebut. Ada tiga kategori yang menandakan bagian-bagian

dari pengendalian kerugian (loss control) yaitu Process Control (C1), Material

Isolation (C2), dan Fire Protection (C3). Berdasarkan hasil observasi dan

wawancara dengan Supervisor LPG di bagian Maintenance, didapatkan analisis

Loss Control Credit Factor sebagai berikut:

LCCF = C1 x C2 x C3

= 0,73 x 0,94 x 0,73

= 0,5

Actual Maximum Probable Property Damage merupakan besarnya kerugian

akibat adanya paparan dari material factor pada suatu area paparan (area of

exposure) tertentu dalam suatu proses unit. Besarnya kerugian ini diterima ketika

terjadi kecelakaan walaupun pada unit proses telah tersedia peralatan yang

dilengkapi sistem pengamanan terhadap timbulnya kondisi abnormal penyebab

kecelakaan itu. Nilai ini dapat dianggap sebagai bentuk kerugian material yang

ditanggung walau ada bentuk pengendalian untuk mengurangi kerugian baik pada

pengendalian unit proses yang berbahaya, serta sistem pencegahan dan

penanggulangan kebakaran pada unit proses tersebut. Adapun nilai Actual MPPD

ditentukan sebagai berikut:

Actual MPPD = LCCF x Base MPPD

= 0,5 x Rp 8.742.767.000.000

= Rp 4. 371. 383. 500.000

4. Kesimpulan

Tingkat bahaya kebakaran dan ledakan pada tangki penyimpanan LPG di

Depot LPG Pertamina Perak Surabaya sebesar 298,62 masuk dalam klasifikasi

tingkat bahaya parah. Luas daerah pajanan apabila terjadi kebakaran dan ledakan

pada tangki penyimpanan LPG adalah sebesar 18352,07 m². Besarnya nilai/harga

dari peralatan sebagai bentuk kerugian karena berada di daerah paparan bahaya

dan terpapar risiko terjadinya kebakaran maupun peledakan pada unit proses

adalah sebesar Rp. 7.237.989.100.000. Besarnya kerugian akibat adanya paparan

dari material faktor pada suatu area paparan (area of exposure) tertentu dalam

proses unit ketika kecelakaan adalah sebesar Rp 8.742.767.000.000. Besarnya

faktor yang dapat mengendalikan kerugian jika terjadi kebakaran dan ledakan

pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak sebesar

0,5. Besarnya kerugian sebenarnya yang diderita jika terjadi kebakaran dan

ledakan pada tangki penyimpanan LPG di Depot LPG Pertamina Tanjung Perak

Surabaya sebesar Rp 4.371.383.500.000.

Daftar Pustaka

American Institute Of Chemical Engineers. 1994. Dow’s Fire and Explosion

Index Hazard Classification Guide, 7th edn. New York: American Institute

of Chemical

Page 237: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

223

American Petroleum Institute. 2006. Management of Atmospheric Storage Tank

Fire, 4th. American Petroleum Institute.

Building & Plant Institute dan Ditjen Binawas Depnaker RI. 2005. Training

Penanggulangan Kebakaran. Jakarta.

Chandra, V. 2006. Fundamentals of Natural Gas. Oklahoma: PennWell

Cooperation.

Chemical Engineering Magazine. 2011. Chemical Engineering Plant Cost Index,

April 2011. Chemical Engineering Magazine.

Center For Chemical Process Safety. 2003. Guidelines for Fire Protection in

Chemical, Petrochemical, and Hydrocarbon Processing Facilities. New

York: Center for Chemical Process Safety of the American Institute of

Chemical Engineers.

Crowl, D.A. 2003. Understanding Explosions. New York: Center for Chemical

Process Safety of the American Institute of Chemical Engineers.

Direktorat Pengawasan Keselamatan Kerja Ditjen Pembina Pengawasan

Ketenagakerjaan. 2004. Pengawsan K3 Penanggulangan Kebakaran. Edisi

I. Jakarta: Depnakertrans RI.

Furness, A & Muckett, M. 2007. Introduction to Fire Safety Management. UK:

Elsevier.

Imamkhasani, S. 1991. Bahan – bahan Kimia Berbahaya. IN NEDVED, M.&

IMAMKHASANI, S. (Eds.) Dasar – dasar Keselamatan Kerja Bidang

Kimia dan Pengendalian Bahaya besar. Jakarta: ILO.

Less, F. P. 1996. Loss Prevention in the Process Industries: Hazard Identification,

Assessment and Control.Oxford: Butterworth-Heinemann.

Marzuki. 2002.Metodologi Riset. Yogyakarta: BPFE-UII.

Material Safety Data Sheet. 2007. Liquefied Petroleum Gas (LPG). Jakarta:

Pertamina.

National Fire Protection Association. 1991. NFPA 30: Flammable and

Combustibles Liquid Code 1990 Edition. National Fire

Codes.Massachusetts.

National Fire Protection Association. 2003. NFPA 101:Life Safety Codes. One

Batterymarch Park. Quincy. Massachusetts.

Nedved, M. 1991a. Pencegahan dan Perlindungan Terhadap Kebakaran dan

Peledakan. IN NEDVED, M. & IMAMKHASANI, S. (Eds.). Dasar-dasar

Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya Besar.

Jakarta: ILO.

Nolan, D. P. 1996. Handbook of Fire and Explosion Protection Engineering

Principles For Oil, Gas, Chemical, and Related Facilities. New Jersey:

Noyes Publications.

Notoamodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Cetakan pertama.

Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Permenaker RI No.04/Men/1980. Syarat-Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan

Alat Pemadam Api Ringan. Jakarta.

Ramli, S. 2010a. Manajemen Kebakaran. Jakarta: Dian Rakyat.

Sari, KJ.2007. Evaluasi Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran

Pada Gedung Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Kampus

Depok, Tahun 2007, [Skripsi]. Program Sarjana Kesehatan

Page 238: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

224

MasyarakatPeminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas

KesehatanMasyarakat Universitas Indonesia, Depok.

Siswoyo.2007. Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran Aktif dan Sarana

Penyelamatan Jiwa Di Gedung Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tahun 2007, [Skripsi].Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan

Keselamatandan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia,Depok.

Suardin, J. 2005. The Integration Of Dow’s Fire and Explosion Index Into

Process Design And Optimization To Achieve An Inherently Safer Design

Master of Science. Texas: Texas A&M University.

Triyono, A. 2001. Teknik Penanggulangan Bahaya Kebakaran Di Perusahaan.

Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, vol. XXXIV, no. 3, Juli-

September, hal. 34. Jakarta: Depnaker.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

Kerja.

Page 239: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

Lam

pir

an

1

Tab

el 1

. F

orm

uli

r P

erhit

ungan

Fir

e an

d E

xplo

sion I

ndex

(F

& E

I)

AR

EA

/ C

OU

NT

RY

Ind

on

esia

BU

SIN

ES

S G

RO

UP

Dep

ot

LP

G P

erta

min

a

Per

ak

LO

CA

TIO

N

Su

rab

aya

DA

TE

23

Okt

ob

er 2

01

4

SIT

E

EH

S

P

RO

CE

SS

UN

IT

LP

G S

tora

ge

Tan

k

PR

EP

AR

ED

BY

:

Da

ni

Na

siru

l H

aq

i

AP

PR

OV

ED

BY

: (P

rodu

ctio

n

Man

ag

er)

RE

VIE

WE

D B

Y:

(Ma

nag

emen

t)

RE

VIE

WE

D B

Y:

(Tec

hn

olo

gy)

R

EV

IEW

ED

BY

:(Sa

fety

/En

viro

nm

ent)

MA

TE

RIA

LS

IN

PR

OC

ES

S U

NIT

LP

G

ST

AT

E O

F O

PE

RA

TIO

N

__

_ D

ES

IGN

_

__

ST

AR

T U

P

_√

__

NO

RM

AL

OP

ER

AT

ION

__

_ S

HU

TD

OW

N

BA

SIC

MA

TE

RIA

L(S

) F

OR

MA

TE

RIA

L F

AC

TO

R

Pro

pan

a d

an B

uta

na

MA

TE

RIA

L F

AC

TO

R (

See

Ta

ble

1 o

r A

ppen

dic

es A

or

B)

No

te r

equ

irem

ents

when

un

it t

emper

atu

re

ove

r 1

40

oF

(6

0o

C)

21

1.

Gen

era

l P

roces

s H

aza

rds

Pen

alt

y

Fa

ctor

Ran

ge

Pen

alt

y F

ac-

tor

Use

d(1

)

B

ase

Fa

cto

r ..

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

..

1.0

0

1.0

0

A

. E

xoth

erm

ic C

hem

ical

Rea

ctio

ns

0.0

0 t

o 1

.25

-

B

. E

nd

oth

erm

ic P

roce

sses

0.0

0 t

o 0

.40

-

C

. M

ate

ria

l H

an

dli

ng a

nd T

ransf

er

0.0

0 t

o 1

.05

0.8

5

D

. E

ncl

ose

d o

r In

do

or

Pro

cess

Unit

s 0.0

0 t

o 0

.90

-

E

. A

cces

s 0.0

0 t

o 0

.35

0.3

5

F

. D

rain

ag

e a

nd

Sp

ill

Co

ntr

ol

0.0

0 t

o 0

.50

0,2

5

G

ener

al

Pro

cess

Ha

zard

s F

act

or

(F1

) (S

UM

A t

o F

) ..

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

. 2.4

5

225

Page 240: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

2.

Sp

ecia

l P

roce

ss H

aza

rds

B

ase

Fa

cto

r ..

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

..

1.0

0

1.0

0

A

. T

oxi

c M

ate

ria

l(s)

0.0

to 0

.80

0.2

0

B

. S

ub

-Atm

osp

her

ic P

ress

ure

(<

50

0 m

m H

g)

0.5

0

-

C

. O

per

ati

on

In

or

Nea

r F

lam

ma

ble

Ra

ng

e _√

__

In

erte

d

__

_ N

ot

Iner

ted

1.

Ta

nk

Fa

rms

Sto

rag

e F

lam

mab

le L

iquid

s 0.5

0

0.5

0

2.

Pro

cess

Up

set

or

Pu

rge

Fail

ure

0.3

0

-

3.

Alw

ays

in

Fla

mm

ab

le R

ange

0.8

0

0.8

0

D

. D

ust

Exp

losi

on (

See

Ta

ble

3)

0.0

0 t

o 2

.00

-

E

. P

ress

ure

(S

ee F

igure

2)

Oper

ati

ng P

ress

ure

0 p

sig

or

kPa

ga

uge

Rel

ief

Set

tin

g 0

psi

g o

r kP

a g

aug

e

0.3

14

F

. L

ow

Tem

per

atu

re

0.0

to 0

.30

0.3

0

G

. Q

ua

nti

ty o

f F

lam

mab

le/U

nst

able

Mate

rial:

Q

ua

nti

ty=

9831

457,7

9 l

bor

kg

HC

= 1

9,8

x 1

0^3

BT

U/l

b o

r kc

al/

kg

1.

Liq

uid

s o

r G

ase

s in

Pro

cess

(S

ee F

igure

3)

-

2.

Liq

uid

s o

r G

ase

s in

Sto

rage

(See

Fig

ure

4)

0.6

9

3.

Co

mb

ust

ible

So

lid

s in

Sto

rag

e, D

ust

in

Pro

cess

(See

Fig

ure

5)

-

H

. C

orr

osi

on

an

d E

rosi

on

0.0

0 t

o 0

.75

0

.50

I.

L

eaka

ge

– J

oin

ts a

nd

Pack

ing

0.0

0 t

o 1

.50

1.5

0

J.

U

se o

f F

ired

Equ

ipm

ent

(See

Fig

ure

6)

-

K

. H

ot

Oil

Hea

t E

xcha

ng

e Sys

tem

(S

ee T

ab

le 5

) 0.0

0 t

o 1

.15

-

L

. R

ota

tin

g E

qu

ipm

ent

0.0

0 -

0.5

0

-

S

pec

ial

Pro

cess

Ha

zard

s F

act

or

(F2

) (A

to

L)

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

..

5,8

04

P

roce

ss U

nit

Ha

zard

s F

act

or

(F1

x F

2)

= F

3 ..

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

..

14

,22

F

ire

an

d E

xplo

sio

n I

ndex

(F

3 x

MF

= F

&E

I) .

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

....

..

29

8,6

2

226

Page 241: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

227

Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang

Dirancang Secara Sederhana Dalam Meminimalisir Faktor

Bahaya Debu Pada Industri Informal

Saiku Rokhim Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Jl. Ahmad Yani 117 Surabaya

Tel. 031-8410298, E-mail: [email protected]

Abstrak

Debu merupakan salah satu bahan kimia yang bersifat partikel dan dapat timbul pada

proses produksi, sehingga dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan tenaga kerja.

Salah satu industri informal dengan bahaya potensial berupa debu adalah industri di

bidang penggilingan padi. Tenaga kerja di penggilingan padi akan berisiko mengalami

gangguan pada saluran pernapasan apabila tidak ada pengendalian terhadap faktor debu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas penggunaan Local Exhaust

Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Obyek penelitian ini adalah

LEV yang dirancang secara sederhana dan diaplikasikan pada penggilingan padi Desa

Pandan Pancur Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan. Variabel penelitian ini meliputi

efektifitas penggunaan LEV yang dirancang secara sederhana serta kadar debu total (total

dust) sebelum dan sesudah pemasangan LEV tersebut. Análisis penelitian dilakukan

dengan cara membandingan kadar debu total antara C2 (sesudah pemasangan LEV) dan C1

(sebelum pemasangan LEV).

Pada LEV dirancang dengan lima bagian yang sesuai dengan fungsinya masing-masing

yaitu hood, duct, air cleaner, fan dan exhaust stacks. Kemudian diaplikasikan di industri

penggilingan padi dengan penempatan sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi

semaksimal mungkin. Hasil pengukuran pada salah satu industri penggilingan padi

didapatkan: Kadar debu total sebelum pemasangan LEV pada sumber kontaminan sebesar

6,1 mg/m3 dan pada tempat istirahat tenaga kerja sebesar 3,6 mg/m3. Hasil pengukuran

kadar debu total sesudah pemasangan LEV pada sumber kontaminan sebesar 2,4 mg/m3

dan pada tempat istirahat tenaga kerja sebesar 0,6 mg/m3. Hasil analisis efektifitas

penggunaan LEVmenunjukkan bahwa kadar debu total sesudah pemasangan LEV lebih

kecil dari kadar debu total sebelum pemasangan LEV baik pada sumber kontaminan

maupun pada tempat istirahat tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa LEV yang

dirancang secara sederhana adalah efektif dalam meminimalisir faktor bahaya debu di

industri informal penggilingan padi.

Saran yang dapat diberikan adalah dalam melakukan pengukuran kadar debu sebaiknya

dilakukan secara berkala untuk mengetahui tingkat efektifitas LEV.

Kata kunci: kadar debu, local exhaust ventilation, penggilingan padi.

1. Pendahuluan

Debu merupakan salah satu bahan kimia yang bersifat partikel dan dapat

timbul atau terjadi pada sebagian proses produksi dan dapat menyebabkan

gangguan terhadap tenaga kerja baik kesehatan maupun keselamatan kerjanya [1]

.

Salah satu industri informal dengan bahaya potensial berupa debu adalah industri

di bidang penggilingan padi. Tenaga kerja di penggilingan padi akan berisiko

Page 242: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

228

mengalami gangguan pada saluran pernapasan apabila tidak ada pengendalian

terhadap faktor debu.

Secara umum pengaruh bahan yang masuk melalui inhalasi baik yang

berupa gas maupun debu akan menimbulkan efek terhadap kesehatan yang dapat

berupa efek akut maupun kronik. Efek akut terjadi langsung setelah kontak

dengan bahan kontaminan, sedangkan efek kronik terjadi pada paparan yang

berjangka lama [2]

.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Octoranova 2004 terdapat

sebanyak 75% tenaga kerja dari 80 responden yang telah mengalami keluhan pada

saluran pernapasan berupa batuk akibat paparan debu. Begitu juga penelitian yang

dilakukan Aditya 2006, bahwa sebanyak 87,5% tenaga kerja dari 24 responden

menyatakan adanya keluhan subyektif pada saluran pernafasan akibat paparan

debu di tempat kerja.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi tenaga kerja dari

faktor debu adalah pengadaan sistem ventilasi. Sistem ventilasi merupakan proses

pertukaran udara dengan cara pengeluaran udara terkontaminasi dari suatu ruang

kerja umum melalui saluran buang dan pemasukan udara segar melalui saluran

masuk. Prinsip-prinsip umum dalam pertukaran udara secara alami terjadi karena

adanya aliran udara dari satu titik ke titik lainnya yang disebabkan karena

perbedaan tekanan. Perbedaan tekanan menghasilkan suatu kekuatan pada udara

yang menyebabkan udara mengalir dari titik yang bertekanan lebih tinggi ke

tempat yang bertekanan lebih rendah. Diantara jenis ventilasi yang sangat efektif

untuk mengeluarkan udara kontaminan adalah Local Exhaust Ventilation (LEV).

Local Exhaust Ventilation (LEV) mengeluarkan kontaminan udara dari sumbernya

tanpa memberi kesempatan kepada kontaminan untuk mengadakan difusi dengan

udara di lingkungan kerja, karena Local Exhaust Ventilation (LEV) sendiri

diletakkan sangat dekat dengan sumber emisi. Local Exhaust Ventilation (LEV)

berfungsi menghirup kontaminan keluar dari lingkungan kerja dan mengendapkan

kontaminan dalam suatu kolektor, sehingga kontaminan tidak berhamburan di

lingkungan kerja yang akan mengganggu kenyamanan, kesehatan dan

keselamatan kerja [3]

.

Agar LEV yang dipakai dapat mencapai efektifitas yang maksimum, maka

perancangan dalam pembuatan komponen-komponen LEV harus diperhatikan.

Efektifitas menunjukkan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.

Dalam hal ini yaitu untuk menurunkan kadar debu di tempat kerja.

2. Metode Penelitian

2.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen, yaitu melakukan

percobaan penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara

sederhana.

2.2. Objek Penelitian

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Local Exhaust Ventilation

(LEV) yang dirancang secara sederhana dan diaplikasikan pada penggilingan padi

Desa Pandan Pancur Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan.

2.3. Variabel Penelitian

a. Efektifitas penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang

secara sederhana.

Page 243: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

229

b. Kadar debu total (total dust) sebelum pemasangan Local Exhaust Ventilation

(LEV).

c. Kadar debu total (total dust) sesudah pemasangan Local Exhaust Ventilation

(LEV).

2.4. Analisis Data

Data hasil pengukuran kadar debu total sebelum dan sesudah pemasangan

Local Exhaust Ventilation (LEV) diolah dan dianalisis dengan cara

membandingan kadar debu total antara C2 (sesudah pemasangan LEV) dan C1

(sebelum pemasangan LEV).

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Hasil

3.1.1. Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV)

Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana terdiri

dari lima bagian yang sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu hood, duct,

air cleaner, fan dan exhaust stacks.

Gambar 1. Desain Local Exhaust Ventilation (LEV)

Page 244: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

230

3.1.2. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sebelum Pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV)

Tabel 1. Distribusi hasil pengukuran kadar debu total sebelum pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV) No Lokasi

Pengukuran

Berat Filter (mg) Kecepatan

Alira Udara /

Flowrate

(liter/menit)

Waktu

Paparan

(menit)

Kadar

Debu

Total

(mg/m3)

X1

(mg)

X2

(mg)

Y1

(mg)

Y2

(mg)

1 Sumber

kontaminan

90,5 91,6 90,6 90,7 5,5 30 6,1

2 Tempat

istirahat

tenaga kerja

90,5 91,3 90,7 90,9 5,5 30 3,6

3.1.3. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sesudah Pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV)

Tabel 2. Distribusi hasil pengukuran kadar debu total sesudah pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV)

No Lokasi

Pengukuran

Berat Filter Kecepatan

Alira Udara /

Flowrate

(liter/menit)

Waktu

Paparan

(menit)

Kadar

Debu

Total

(mg/m3)

X1

(mg)

X2

(mg)

Y1

(mg)

Y2

(mg)

1 Sumber

kontaminan 90,3 90,7 90,8 90,8 5,5 30 2,4

2 Tempat

istirahat

tenaga kerja

90,5 90,7 90,8 90,9 5,5 30 0,6

3.2. Pembahasan

3.2.1. Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV)

Rancangan Local Exhaust Ventilation (LEV) terdiri dari lima bagian, yaitu:

1. Hood. Bahan yang digunakan untuk membuat hood yaitu menggunakan bahan

aluminium yang tahan korosi. Bahan yang digunakan untuk membuat hood

harus terbuat dari bahan yang tahan korosi [4]

. Demikian pula desain hood

yang dibuat dengan bentuk bulat. Hood inlet yang berbentuk bulat adalah

lebih efisien dari hood inlet yang berbentuk kotak [4]

.

2. Duct. Berfungsi membawa kontaminan yang sudah tertangkap oleh hood

menuju ke air cleaner, terbuat dari pipa berbentuk bulat yang memiliki

permukaan yang halus. Duct yang berbentuk bulat dan permukaannya halus

sangat baik untuk local exhaust system [5]

.

3. Air cleaner. Tipe air cleaner yang digunakan yaitu tipe pengumpul debu dan

partikel (dust and particel collector) yang terdiri dari penyaring udara dan

pengumpul debu yang dipasang di dalam bag filter.

4. Fan. Menggunakan tipe centrifugal fan dengan bentuk straight (radial blade).

Tipe fan yang digunakan bila kadar debu dalam udara tempat kerja tinggi atau

sangat tinggi yaitu centrifugal fan dengan bentuk straight (radial blade) [5]

.

5. Exhaust stacks. Terbuat dari pipa berbentuk bulat dengan menggunakan bahan

yang tahan terhadap korosi [4]

.

Page 245: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

231

3.2.2. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sebelum Pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV)

Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01 Tahun 1997 bahwa

NAB debu total (total dust) adalah 10 mg/m3 dengan tidak mengandung asbes dan

kandungan silika bebas < 1% [6]

. Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa

kadar debu total sebelum pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) baik pada

sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga kerja masih berada di

bawah Nilai Ambang Batas (NAB) kadar debu total.

Walaupun demikian, kadar debu yang terukur di penggilingan padi

tersebut dapat dikatakan cukup tinggi terutama di bagian sumber kontaminan

yaitu 6,1 mg/m3. Hal ini dikarenakan mesin penggiling padi tidak tertutup rapat

dan terdapat kebocoran pada penampung padi sehingga debu padi keluar

berterbangan di udara. Kualitas udara di dalam ruangan mempengaruhi

kenyamanan lingkungan ruang kerja. Kualitas udara yang buruk akan membawa

dampak negatif terhadap tenaga kerja berupa keluhan kesehatan [7]

.

Debu padi merupakan debu organik yang dapat menyebabkan penyakit

pada pernafasan. Ini karena kepekaan dari saluran nafas bagian bawah terutama

alveoli terhadap debu meningkat. Kepekaan inilah yang mengakibatkan

penyempitan saluran nafas, hingga dapat menghambat aliran udara yang keluar

masuk paru dan akibatnya sesak nafas. Jika tenaga kerja terpapar debu tersebut

secara terus-menerus maka lama kelamaan debu tersebut merusak paru bahkan

sampai menimbulkan penyakit akibat kerja. Efek yang lama dari paparan debu

yang tertimbun di paru akan menyebabkan paralysis cilia, hipersekresi, dan

hipertrofi kelenjar mucus. Keadaan ini menyebabkan saluran nafas rentan

terhadap infeksi dan timbul gejala batuk menahun yang produktif[8]

.

3.2.3. Pengukuran Kadar Debu Total (total dust) Sesudah Pemasangan Local

Exhaust Ventilation (LEV)

Berdasarkan tabel 2. dapat diketahui bahwa kadar debu total sesudah

pemasangan Local Exhaust Ventilation (LEV) baik pada sumber kontaminan

maupun pada tempat istirahat tenaga kerja masih berada di bawah Nilai Ambang

Batas (NAB) kadar debu total.

Dengan adanya Local Exhaust Ventilation (LEV) maka kadar debu di

penggilingan padi dapat dikendalikan. Dengan menurunnya kadar debu di tempat

kerja maka diharapkan lingkungan kerja menjadi sehat yang pada akhirnya akan

meningkatkan produktifitas kerja.

3.2.4. Analisis Efektifitas Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang

Dirancang Secara Sederhana

Berdasarkan hasil pengukuran kadar debu total pada sumber kontaminan

yang semula 6,1 mg/m3 menjadi 2,4 mg/m

3 sesudah pemasangan Local Exhaust

Ventilation (LEV). Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar debu total

sebesar 3,7 mg/m3. Sementara kadar debu total pada tempat istirahat tenaga kerja

yang semula 3,6 mg/m3 menjadi 0,6 mg/m

3 sesudah pemasangan Local Exhaust

Ventilation (LEV). Hal ini menunjukkan adanya penurunan kadar debu total

sebesar 3 mg/m3. Dari hasil análisis tersebut didapatkan bahwa penurunan kadar

debu total baik pada sumber kontaminan maupun pada tempat istirahat tenaga

kerja yaitu lebih dari 25%, hal ini berarti bahwa Local Exhaust Ventilation (LEV)

yang dirancang secara sederhana adalah efektif.

Page 246: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

232

4. Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan

Penggunaan Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara

sederhana dan di aplikasikan pada penggilingan padi menunjukkan bahwa kadar

debu total mengalami penurunan lebih dari 25%, hal ini menunjukkan bahwa

Local Exhaust Ventilation (LEV) yang dirancang secara sederhana adalah efektif.

4.2. Saran

Pengukur kadar debu total (total dust) sebelum dan sesudah pemasangan

Local Exhaust Ventilation (LEV) sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali pada

satu titik tertentu, tetapi sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengetahui

tingkat efektifitas Local Exhaust Ventilation (LEV).

Daftar Pustaka

1. Depertemen Tenaga Kerja R.I. 1995. Penyusunan Standart Pengukuran

Kadar Debu Total di Lingkungan Kerja. Jakarta: Depnaker.

2. Aditama, T. Y., dan Giri Putro, S. 1996. Polusi Udara dan Kesehatan

Paru. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXIV, Nomor 3.

3. Hidayat, I. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.

Semarang: Universitas Diponegoro.

4. Siswanto, A. 1991b. Ventilasi Industri. Balai Hiperkes dan Keselamatan

Kerja Jawa Timur: Depnaker.

5. Waille, G dan Koley, D. 1997. Environmental, Safety and Health

Enginering. John Wiley and Sons, Inc.

6. Depertemen Tenaga Kerja R.I. 1997. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja

No. 01 Tahun 1997 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di

Lingkungan Kerja. Jakarta: Depnaker.

7. Djojodibroto, D. 1999. Kesehatan Kerja di Perusahaan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

8. Yunus, F. 1997. Diagnosa Penyakit Paru Kerja. Jakarta: Cermin Dunia

Kedokteran No. 70: 18-23.

Page 247: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

233

Efektifitas Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran

Dengan Menggunakan Metode Prosedur Standar Oprasional

di Barge Pelangi Tirtamas 2 (Studi Kasus PT Pelangi Niaga Mitra Internasiona lKutai Kartanegara)

M. Isradi Zainal1, Mustadin Umar

2

1Prodi D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Universitas Balikpapan

2Mahasiswa Program Studi D4 K3, Universitas Balikpapan

Jl. Pupuk Raya, Balikpapan 76114

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui Sejauh mana efektivitas simulasi

tanggap darurat kebakarandengan menggunakan Metode Prosedur standar Operasional di

Barge Pelangi Tirtamas 2 PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional di Kutai Kartanegara.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pengumpulan data melalui

observasi dengan alat bantu checklist.

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja tanpa adanya sebuah simulasi atau latihan

dimana pekerja ditempatkan sedemikian rupa di dalam suasana yang menyerupai kejadian

sebenar-benarnya. Hal ini sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan para

pekerja dalam menangani sebuah situasi darurat kebakaran yang mungkin terjadi

mengingat besarnya risiko-risiko tersebut seperti yang ada pada industri migas.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik

kesimpulan bahwa simulasi dilakukan dengan konsisten dan dari hasil penelitian yang

dilakukan dan hasil analisa serta pembahasan hasil penelitian secara keseluruhan

didapatkan kesimpulan bahwa efektifitas simulasi tanggap darurat kebakaran dengan

metode prosedur standar operasional di Barge Pelangi Tirtamas 2 masih pada tingkat

persentase yang sangat baik.

Kata kunci: efektifitas, simulasi, standar operasional prosedur

1. Pendahuluan

Dalam situasi keadaan Darurat bencana sering terjadi kegagapan

pananganan dan kesimpang siuran informasi dan data korban maupun kondisi

kerusakan, sehingga mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk

penanganan darurat bencana. Sistem koordinasi juga sering kurang terbangun

dengan baik, Penyaluran bantuan, distribusi logistic sulit terpantau dengan baik

sehingga kemajuan kegiatan penanganan tanggap darurat kurang terukur dan

terarah secara objektif. Situasi dan kondisi di lapangan yang seperti itu disebabkan

belum terciptanya mekanisme dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana yang

baik, terstruktur dan sistematis. Dalam kondisi Kedaruratan Bencana diperlukan

sebuah institusi yang menjadi pusat koordinasi kedaruratan bencana sesuai dengan

lokasi dan tingkatan bencana yang terjadi. Koordinasi Tanggap Darurat Bencana

dapat dilengkapi dengan Posko Lapangan Tanggap Darurat Bencana dengan

gugus tugas yang terdiri dari unit kerja yang saling terkait dan merupakan satu

kesatuan sistem yang terpadu.

Industri di Indonesia sendiri sangat beragam, mulai dari industri

perkebunan, pertambangan, minyak dan gas serta yang lainnya. Dalam hal

industri minyak dan gas, berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek

Page 248: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

234

ini sering kali adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan material

ataupun pekerja dalam hal melaksanakan keselamatan kerja dengan baik, lokasi

kerja yang berpindah-pindah dan berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca,

ataupun waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik

yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang bervariasi dari yang

terlatih sampai yang tidak terlatih. Apabila ditambah dengan manajemen

keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja rentan

terpapar oleh kecelakaan. Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sudah sejak

lama pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan tentang keselamatan

kerja untuk menanggulangi risiko-risiko tersebut.

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup

signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian.

Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya

pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan

perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan

akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja

(pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan

produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya

reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya

kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak

langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai studi

menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat

kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1

sampai dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).

Sangat diperlukan sekali dengan khusus dukungan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) untuk mencegah dan mengurangi angka kecelakaan kerja,

dengan menerapkan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di

tempat kerja. Dukungan tersebut harus dimulai dari tingkat manajemen paling atas

sampai tingkat kalangan pekerja yang paling bawah. Berbagai program

keselamatan dibuat dan di implementasikan di tempat kerja guna mencegah dan

mengurangi kecelakaan terjadi. Baik program yang dibuat sebelum pekerjaan

dimulai, dan ketika pekerjaan tersebut sedang berlangsung, maupun setelah

pekerjaan tersebut selesai. Salah satu program untuk mencegah kecelakaan kerja/

mengurangi angka kecelakaan di tempat kerja pada saat pekerjaan itu sedang

berlangsung adalah melakukan latihan tanggap darurat secara terus-menerus agar

setiap orang terbiasa dan secara cepat akurat dalam melakukan hal-hal yang

diperlukan pada saat ada kejadian bencana kebakaran, kapal tenggelam, kapal

tabrakan, badai atau gempa pada alam yang terjadi yang dapat mengakibatkan

kerugian yang lebih besar pada nyawa dan harta benda.

Pada penerapan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja,

latihan tanggap darurat banyak digunakan untuk paling tidak mengurangi risiko-

risiko yang mungkin akan timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di

lokasi kerja seperti yang dilakukan oleh PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

yang bergerak dalam usaha di bidang kemaritiman dan berada di laut lepas yang

akses penyelamatan dan ruang geraknya terbatas.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peneliti memandang perlu untuk

dilakukan penelitian dalam hal latihan tanggap darurat kebakaran dalam rangka

Page 249: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

235

mengurangi risiko-risiko akibat kebakaran yang akan terjadi dan kemungkinan

akan lebih besar apabila tidak dapat ditanggulangi dengan segera.

2. Metode Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metodologi

deskriptif persentase(kuantitatif) yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan

dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu penerapan

secara objektif yang menurut Sugiyono (2014) dikatakan metode kuantitatif

karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan persentase.

Metode kuantitatif digunakan apabila masalah merupakan penyimpangan antara

seharusnya dengan yang terjadi, antara aturan dengan pelaksanaan, antara teori

dengan praktik, antara rencana dengan pelaksanaan.

Ketepatan dalam penggunaan metode penelitian akan menetukan

objektifitas hasil penelitian. Oleh sebab itu, dalam penelitian yang dilakukan

terhadap latihan tanggap darurat kebakaran di atas kapal Pelangi Tirtamas 2 milik

PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional di lokasi Total E&P Indonesie selat

Makassar, peneliti akan mengguanakan metode penelitian deskriptif persentase

dengan pendekatan kuantitatif.

Deskriptif ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau

keadaan atau peristiwa sebagaimana yang bersifat sekedar untuk mengungkapkan

fakta. Hasil penelitian ini lebih ditekankan pada memberikan gambaran objektif

tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Penelitian terhadap teori dan

praktek adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan faktor

penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat deskriptif analitis bertujuan

melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas sosial dan

menggambarkan objek pokok permasalahan.

3. Hasil dan Pembahasan

1. Evakuasi Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Api Kecil

Gambar 1. Diagram Kesesuaian Penerapan Simulasi Kebakaran Api Kecil

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 9 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

Page 250: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

236

2. Evakuasi Simulasi Tanggap Darurat Kebakaran Api Besar

Gambar 2. Diagram Kesesuaian Penerapan Simulasi Kebakaran Api Besar

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 11 (91%) dan tidak sesuai 1 (9%).

3. Barge Master

Gambar 3. Diagram Kesesuaian Tugas Barge Master

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 5 (83%) dan tidak sesuai 1 (17%).

Page 251: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

237

4. Chief Officer

Gambar 4. Diagram Kesesuaian Tugas Chief Officer

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 2 (29%) dan tidak sesuai 5 (71%).

5. Radio Operator

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai

kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 3 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

6. On Scene Commander /Safety on duty

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai

kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 8 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

7. Safety Officer of Duty/Muster checker

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai

kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 7 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

8. Paramedic

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai

kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 3 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

9. Chief Engineer

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai

kesesuaian SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional

dan diketahui kesesuaian sesuai sebanyak 4 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

10. ERT I

Gambar 5. Diagram Kesesuaian Tugas ERT I

Page 252: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

238

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 2 (67%) dan tidak sesuai 1 (33%).

11. ERT II

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 5 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

12. ERT III/Stretcher Team

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 4 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

13. ERT IV/Mekanik dan Elektrik

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian

SOP dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 2 (100%) dan tidak sesuai 0 (0%).

14. Tugas dari Personal On Board

Gambar 6. Diagram Kesesuaian Tugas Personal On Board

Diperoleh hasil perhitungan dari chek list persentase mengenai kesesuaian SOP

dengan penerapannya di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional dan diketahui

kesesuaian sesuai sebanyak 4 (80%) dan tidak sesuai 1 (20%).

4. Kesimpulan

b. Dari hasil penelitian yang dilakukan dan hasil analisa serta pembahasan

hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Kesesuaian

Keseluruhan Tentang Efektifitas Simulasi Tangap Darurat Kebakaran

dengan menggunakan metode Prosedur Standar Operasional di Barge

Pelangi Tirta Mas 2 pada langkah-langkah kejadian Kategori Api Besar

& Kecil di PT. Pelangi Niaga Mitra Internasional masih tinggi yaitu

95% mendekati “Sesuai dengan Standar Operasional Prosedur”

c. Pada Point 12 SOP tentang langkah-langkah kejadian dari simulasi

keadaan gawat darurat Kategori Api Besar blm sesuai dengan SOP yang

berlaku (Skoci Penyelamat tidak diturunkan).

d. Kesesuaian SOP dengan tugas dan tanggung jawab yang telah

dilaksanakan masih dalam ratting baik dengan persentase 88% karena

dari semua item check list masih banyak pemenuhan dengan SOP yang

berlaku.

Page 253: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

239

Daftar Pustaka

Hidayat.1986.Teori Efektifitas dan Efisiensi.Alphabeta.Bandung

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP186/MEN/1999,

“Unit Penanggulangan Kebakaran Ditempat Kerja”, Jakarta

Keputusan Presiden Republik Indonesia no 65 tahun 1980, “Mengesahkan

international conventionfor the safety of life at sea, 1974 sebagai hasil

konferensi internasional tentang Keselamatan Jiwa Di Laut 1974, yang

telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia,di

London, Pada tanggal 01 Nopember 1974, yang merupakan pengganti

International Convention For The Safety Of Life At Sea 1960 “.

Kountur, ronny. (2003), “Metologi Penelitian”, Jakarta:Penerbit PPM.

Putra Darma. 2014. Prosedur Fire Drill.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 45 tahun 2012, “Manajemen

Keselamatan Kapal ”, Jakarta

Sugiono.2014.Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan Metode

Kombinasi.Yogyakarta

Syukri, Sahab.1997.Teknik Manajemen Keselamatan dan kesehatan

kerja.Jakarta:PT. Bina Sumber Daya Manusia

The International Convention for the Safety of Life at Sea, regulation 22, “

Entries in log”, 1974

The International Convention for the Safety of Life at Sea, regulation 26, “

Practice musters and drills”, 1974Undang – undang RI no 1 tahun 1970,

“Keselamatan kerja” Jakarta

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 “Tentang Penanggulangan Bencana”

Undang – undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008, “Pelayaran”.

Page 254: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

240

Excessive Workload Detector“Exator”

Sebagai Alat Pencegah Stres Kerja untuk Meningkatkan

Perkembangan Electromedic di Indonesia

Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Satria Indra Nugraha

1, Zahrotul Mahmudati

2, Hafidzoh Najwati

3, Zakiyah

Islamiyati O.P4, Oktavinta Warits P.P

5, Baju Widjasena

6

1 Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Diponegoro 2,3,4,5 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Diponegoro

6Dosen Jur. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Diponegoro

Jl. Prof Soedarto, SH-Tembalang, Semarang. Tel: (024)7460013

E-mail:[email protected], [email protected], [email protected],

[email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Pembangunan nasional dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kini

memasuki era industrialisasi yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi. Beban kerja

merupakan kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Beban kerja yang

diterima seseorang harus disesuaikan dengan kemampuan fisik, kognitif maupun

keterbatasan pekerja. Beban kerja berlebih akan mengakibatkan stres kerja yang

berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terkena penyakit tidak menular, dan

menurunkan daya tahan tubuh. Untuk mencegah timbulnya stres kerja, maka penulis

menciptakan sebuah alat electromedic baru yang bernama Exator.

Pengujian efektifitas alat menggunakan metode eksperimen. Responden yang berjumlah

sepuluh orang diukur denyut nadinya secara manual dan menggunakan alat Exator.

Pengukuran dilakukan kepada responden sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

Perlakuan yang diberikan berupa aktivitas fisik yang dapat meningkatkan denyut jantung

responden. Apabila denyut jantung kelompok eksperimen melebihi 100 bpm, aktuator

akan memberikan peringatan terkait kondisi beban kerja responden.

Hasil pengukuran responden menggunakan Exator kemudian dibandingkan dengan

pengukuran secara manual. Tingkat akurasi Exator untuk pengukuran denyut jantung

sebelum perlakuan sebesar 94,9%. Sedangkan tingkat akurasi Exator untuk pengujian

sesudah perlakuan sebesar 98,6%. Tingkat kesalahan atau error sebesar 5,1% pada

pengujian sebelum perlakuan dan error sebesar 1,4% setelah perlakuan disebabkan

karena resolusi sensor dan hambatan dalam rangkaian sehingga alat tidak 100% presisi.

Kata kunci: beban kerja berlebih, electromedic, exator, stres kerja.

1. Pendahuluan

Pembangunan nasional dalam mengadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) kini memasuki era industrialisasi yang menuntut produktivitas kerja yang

tinggi. Produktivitas dan efisiensi kerja yang baik bagi pekerja dan perusahaan

merupakan landasan yang kuat dalam memacu peningkatan status kesejahteraan

nasional. Namun pembangunan berteknologi tinggi memiliki risiko hazard dan

penyakit akibat kerja yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja,

efisiensi perusahaan sehingga dapat menghambat laju kemajuan nasional.1

Setiap pekerjaan memiliki beban kerja yang berbeda tergantung dari jenis

pekerjaan yang dilakukan. Kesesuaian beban kerja yang diatur oleh perusahaan

Page 255: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

241

terhadap kondisi pekerja perlu diperhatikan. Beban kerja yang berlebih dapat

menimbulkan suasana kerja yang kurang nyaman bagi pekerja karena dapat

memicu timbulnya stres kerja yang lebih cepat. Sebaliknya kekurangan beban

kerja dapat menimbulkan kerugian bagi organisasi1. Bagi para pekerja, stres

sering disebut sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan,

ketidakpuasan kerja, dan sakit akibat kerja seperti penyakit jantung koroner,

alkoholisme dan hipertensi2

Penelitian Christensen (2001) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan

untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi

kerja, konsumsi energi, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas

tertentu ventilasi paru, denyut jantung, dan suhu tubuh mempunyai hubungan

yang linear dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian

penelitian Konz tahun 1996 mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu

alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan

konsodilatasi.3,5

Tanda-tanda reaksi stres manusia meliputi reaksi fisik, antara lain tingginya

detak jantung (increased heart rate), naiknya tekanan darah (elevated blood

pressure), dan berkeringat dingin (cold hand). Stres meliputi empat kondisi, yaitu

tegang (s = stressed), cemas (t = tense), tenang (c = calm), dan rileks (r = relaxed) 4,5

. Pengukuran detak jantung tubuh sebagai salah satu tanda reaksi stres kerja saat

ini masih menggunakan peralatan yang belum terintegrasi, sehingga kurang

efektif dan efisien jika digunakan sebagai pengukur tingkat stres. maka diperlukan

suatu alat yang mampu digunakan untuk mengukur tingkat stres pada manusia.

Dengan berkembangannya teknologi yang semakin meningkat terutama di

bidang ilmu elektronika. mendorong perancangan alat pengukur tingkat stres

secara otomatis. Excessive Workload Detector “EXATOR” ini berfokus pada

pembuatan alat yang mampu mengukur tingkat stres dengan parameter detak

jantung berbasis Vibrator dan Optocoupler Sensor dengan bahasa pemrograman

arduino dan teknik Debugging sehingga performa Exator mencapai sesuai yang

diharapkan.

2. Metode Penelitian

Keseluruhan sistem EXATOR dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.1. Perancangan Hardware

Secara hardware, Exator terdiri dari pulse sensorsebagai sensor (input

device), mikrokontroler Arduino Uno sebagai processing device yang akan

mengolah data, kemudian data hasil olahan Arduino Uno dikirim sebagai sinyal

keluaran untuk ditampilkan pada LCD (output device).

Gambar 1. Blok Diagram Exator

Page 256: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

242

Exator akan membaca denyut nadi (beat per minute/ bpm) secara kontinyu

selama alat digunakan. Pulse sensor yang digunakan membaca tiap pulse wave

yang terjadi setiap detakan[1]. Prinsip kerja pulse sensor tersebut adalah cahaya

yang dipancarkan oleh LED hijau akan terpantul saat sensor dikenakan. Pantulan

tersebut kemudian ditangkap oleh receiver. Jeda waktu pembacaan dan perubahan

intensitas cahaya terpantul akan dikalkulasikan dan menjadi nilai input bagi

processing device berupa sinyal digital. Processing device berupa arduino akan

mengolah sinyal input dan hasil olahan menjadi sinyal output. Sinyal output berisi

informasi yang harus ditampilkan pada LCD, kemudian LCD akan menampilkan

hasil pembacaan beban kerja yang dapat dibaca oleh pengguna.

Gambar 2. Pulse sensor, Arduino Uno, dan LCD 16x2

3. Perancangan Software

Perancangan software Exator dilakukan dengan Arduino IDE sesuai bahasa

pemrograman Arduino. Berdasarkan pengklasifikasian BPM pada [2] maka flow

chart kerja Exator dirancang sebagai berikut:

Gambar 3. Flowchart Exator

Algoritma dari Exator adalah:

1. Mulai

2. Pulse sensor membaca BPM

3. Bila BPM dibawah 90, cetak pada LCD “Anda sehat”

Page 257: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

243

Gambar 4. Hasil cetak pada LCD BPM<90

4. Bila BPM diantara 90-100, cetak pada LCD “Anda lelah”

Gambar 5. Hasil cetak pada LCD BPM 90-100

5. Bila BPM lebih dari 100, cetak pada LCD “Terlalu lelah”

Gambar 6. Hasil cetak pada LCD BPM>100

6. Bila BPM gagal terbaca, cetak pada LCD “error”

7. Bila Reset ditekan, kembali ke state awal

8. Selesai

Kemudian algoritma tersebut dimasukkan dalam arduino dengan bahasa

pemrograman milik arduino. Debugging dilakukan hingga performa Exator

mencapai sesuai yang diharapkan.

4. Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Pengujian Akurasi Exator sebelum Perlakuan Pengukuran BPM

Pengukuran Manual Pengukuran Dengan Exator Error (%)

62 64 3,2

98 98 0,0

80 75 6,3

74 75 1,4

90 85 5,6

72 79 6,9

80 82 2,5

116 100 13,8

80 87 8,8

82 80 2,4

Error Rata-Rata 5,1

Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa

Exator mempunyai rata-rata tingkat error 5,1%.Dengan demikian dapat diperoleh

Page 258: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

244

tingkat akurasi dari Exator yang dibuat sebesar 94,9%. Error yang cukup besar

pada data ke-8 disebabkan oleh interferensi gelombang sehingga intensitas cahaya

yang ditangkap pulse sensor berubah nilainya.

Tabel 2. Pengujian Akurasi Exator sesudah Perlakuan Pengukuran BPM

Pengukuran Manual Pengukuran Dengan Exator Error (%)

110 110 0,0

120 126 5,0

120 125 0,0

120 120 0,0

120 118 0,9

109 110 1,6

126 124 0,8

122 123 1,8

97 112 1,8

102 103 1,0

Error Rata-Rata 1,4

Dari tabel diatas terlihat error1,4%, hal itu disebabkan resolusi sensor dan

hambatan dalam rangkaian sehingga alat tidak 100% presisi.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:Tingkat

akurasi Exator untuk pengukuran denyut jantung sebelum perlakuan sebesar

94,9%. Sedangkan tingkat akurasi Exator untuk pengujian sesudah perlakuan

sebesar 98,6%. Hasil tersebut merupakan perbandingan dengan pengukuran

manual.

6. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Riset, Teknologi,dan

Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis dalam

rangka Progam Kreativitas Mahasiswa Karsa Cipta.

Daftar Pustaka

1. Lituhayu, Rizaini. Mangkuprawiru, Tb Sjafri. Dhewi, Ratih Maria. Analisa

Beban Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi Kasus Pada Head Office PT.

Lerindro International Jakarta). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

2008.

2. Teasdale, JD, et. al. Prevention of relapse/recurrence in major depression by

mindfulness-based cognitive therapy. MA J Consult Clin Psychol. Aug;

68(4):615-23. 2000.

3. Tarwaka, Solichul H, Bakri A, dan Sudiajeng Lilik. Ergonomi Untuk

Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan Produktivitas. UNIBA Press.

Surakarta. 2004.

4. Elizabeth Scott, M. S. 2010. Stress Effect . http://www.stress.about.com/stres

s-effect.html.Diunduh 1 April 2013

Page 259: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

245

5. Kresna Pradhipta, dkk. Rancang Bangun Alat Pengukur Tingkat Stres

Menggunakan MetodeFuzzy Logic. Journal of Control and Network Systems.

Vol. 4, No.1. Hal 13. 2013.

Lampiran

Gambar 7. Pengukuran manual

sebelum perlakuan

Gambar 8. Pengukuran dengan Exator

sebelum perlakuan

Gambar 9. Pengukuran manual

perlakuan

Gambar 10. Pengukuran dengan Exator

setelah perlakuan

Gambar 11. Informed Consent

Responden

Page 260: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

246

Identifikasi Bahaya, Penilaian Risiko,dan Pengendalian Risiko

Pada Pekerjaan Tambang Belerang Studi Pada Pekerja Tambang Belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen

Khairul Anwar, Isa Ma’rufi, Anita Dewi Prahastuti S Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember

Jl. Kalimantan 37, Jember

Tel. 085745106202, E-mail: [email protected], [email protected]

Abstrak

Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian Gunung berapi di Jawa Timur yang

masih aktif, terletak di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi. Gunung Ijen

mengandung derajat keasaman dan kandungan belerang yang sangat tinggi,tingginya

kandungan belerang menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah pertambangan

belerang yang dilakukan secara tradisional. Permasalahan pekerja tambang di wilayah

Gunung Ijen adalah manajemen risiko diantaranya beban kerja, alat pelindung diri yang

tidak standart, jaminan sosial tenaga kerja yang buruk, masalah kesehatan kerja,

psikologis pekerja dan iklim kerja. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bahaya,

menilai risiko dan menyusun pengendalian risiko dari proses kerja. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif melalui pendekatan mix methods. dengan modifikasi

metode what-if dan Job Safety Analysis. Hasil identifikasi dan analisis risiko diketahui

risiko sangat tinggi (very high) adalah paparan gas Hidrogen Sulfida (H2S) pada proses

penurunan kedasar kawah, pengambilan belerang di dasar kawah, pengangkutan belerang

dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen.

Kata kunci: bahaya, risiko, tambang belerang,.

1. Pendahuluan

Gunung Ijen merupakan salah satu dari rangkaian Gunung berapi di Jawa

Timur, Gunung tersebut masih aktif dan terletak di Kabupaten Bondowoso dan

Kabupaten Banyuwangi yaitu pada wilayah Kecamatan Licin, Kabupaten

Banyuwangi dan Kecamatan Klobang, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa

Timur. Gunung Ijen telah mengalami 12 kali erupsi1. Gunung Ijen memiliki

ketinggian 2.386 meter di atas permukaan laut. Secara geografis Gunung Ijen

berada pada posisi 8º03’30” LS dan 114º14’30” BT, pada puncak Gunung

terdapat Danau Kawah Ijen dengan panjang dan lebar masing-masing sebesar 800

meter dan 700 meter serta kedalaman danau mencapai 180 meter2. Selain terkenal

sebagai obyek wisata juga memiliki kandungan belerang yang tinggi. Sedikitnya

jumlah belerang yang dihasilkan adalah sebanyak 14 ton per harinya. Jumlah

tersebut baru sekitar 20% dari potensi yang sesungguhnya disediakan oleh alam3.

Berdasarkan pengukuran gas belerang yang dilakukan oleh tim Pusat

Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) di wilayah Gunung Ijen

yang dilakukan pada tujuh titik pengukuran. Hasil dari pengukuran tersebut yaitu

kadar gas belerang diketahui yang tertinggi yaitu sebesar 47 ppm (batas normal 10

ppm)4. Tingginya kandungan belerang yang terdapat di Kawah Ijen menjadikan

kawasan tersebut sebagai wilayah pertambangan, pada umumnya aktivitas

penambangan dilakukan secara tradisional oleh pekerja, sehingga, kesehatan dan

keselamatan pekerja penambang belerang di Gunung Ijen berisiko terganggu.

Page 261: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

247

Berdasarkan studi pendahuluan ke Gunung Ijen pada tanggal 21 Maret

2015, diketahui upah yang didapatkan oleh pekerja tambang belerang di Kawah

Gunung Ijen yaitu setiap kilo dihargai Rp.925/kg untuk angkutan pertama dan Rp.

1.025/kg untuk angkatan keduadan pekerja tiap angkut mampu membawa

belerang 50-80 kg dengan dua kali angkut jadi jumlah perhari bisa mengangkut

belerang sebanyak 100 kg–160 kg.

Masalah utama pada pekerja penambangan belerang Ijen adalah masalah

keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tidak mendapatkan perlindungan

secara maksimal, baik dari perusahaan maupun dari pemerintah. diketahui

terdapat beberapa masalah keselamatan dan kesehatan yaitu pekerja terpapar

langsung dengan bahan kimia yang dikeluarkan seperti gas sulfatara (S, SO2, SO3,

H2S), uap fumarol (uap air panas (H2O), gas nitrogen), gas asam arang, CO,

hidrogen klorida, hidrogen fluorida dapat mengancam para pekerja setiap saat,

beban kerja, tidak standarnya alat pelindung diri (APD) yang dipakai. pemberian

jaminan sosial tenaga kerja yang buruk, iklim kerja dan psikologis pekerja selain

itu, masalah kesehatan seperti tulang keropos, batuk, sakit gigi, nyeri persendian,

dan sesak napas5. Segala bentuk permasalahan diatas diketahui pula bahaya yang

sangat besar dan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi, dan sebuah

rekomendasi atau pengendalian risiko dalam proses manajemen risiko guna

mengurangi risiko pada pekerjaan tambang belerang di Kawah Ijen.

Frekuensi penambang belerang untuk melakukan penambangan tergantung

dari kekuatan fisik masing-masing penambang. Dampak ergonomi atau sikap

kerja yang salah dan paparan gas H2S yang terus menerus tentunya berdampak

negatif bagi keselamatan dan kesehatan penambang belerang. Oleh karena itu

sebagai upaya tindakan preventif dan promotif akibat adanya bahaya dan risiko

kerja maka perlu dilakukan penelitian tentang manajemen risiko pada pekerjaan

tambang belerang di Kawah Gunung Ijen. tujuan penelitian ini adalah

mengidentifikasi bahaya, menilai risiko dan menyusun upaya pengendalian dari

langkah kerja, proses kerja dan risiko kecelakaan kerja pada pekerja tambang

belerang di Taman Wisata Alam Kawah Ijen Kabupaten Banyuwangi.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif denganpendekatan mix methods, fokus

penelitian adalah identifikasi sumber bahaya pada alat kerja, bahan dan proses

pekerjaan. Tempat penelitian dilakukan di Gunung Ijen Kecamatan Licin

Kabupaten Banyuwangi dan waktu penelitian mulai Juli sampai September 2015.

Metode identifikasi bahaya dan analisis risiko mengunakan checklist hazard

identification and risk assessment (HIRA) dengan modifikasi What If (What If

Analysis/ETA) dan JSA (Job Safety Analisys). Metode yang digunakan untuk

memperoleh data penelitian menggunakan metode wawancara dan observasi yang

dilengkapi dengan instrumen wawancara dan lembar observasi.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1.Hasil

3.1.1. Identifikasi Bahaya

Berdasarkan hasil penelitian pada penambangan belerang di kawah

Gunung Ijen diketahui alat yang digunakan untuk penambangan belerang yaitu

keranjang yang terbuat dari bambu, karung, troli, alat pengungkit (linggis), alat

penimbangan berupa neraca gantung dan neraca duduk, mesin pompa air dan

Page 262: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

248

handuk sebagai masker. Peralatan yang digunakan oleh penambang belerang

memiliki risiko masing-masing seperti keranjang dan karung yang digunakan

sebagai alat angkut memiliki risiko tersandung, terkilir dan nyeri sendi/encok, alat

pengungkit dan neraca gantung memiliki risiko tergores, mesin pompa air

memiliki risiko kebisingan, dan handuk memiliki risiko keracunan gas berbahaya

yang bisa mengakibatkan cidera ataupun meninggal.

Bahan yang digunakan dalam proses penambangan adalah sulfatara dan

solar sebagai pembangkit mesin pompa air pada proses sublimasi. Adapun hasil

dari identifikasi bahaya pada proses penambangan belerang dijelaskan pada empat

tahapan yaitu tahap persiapan, tahap eksploitasi, tahap pengangkutan dan tahap

penimbangan.

a. Tahap persiapan

Tahap persiapanterdiri dari proses mempersiapkan peralatan dan

perbekalan, proses pendakian ke puncak Gunung Ijen dan proses penurunan

menuju dasar Kawah Ijen. Pada tahap ini terindentifikasi risiko yaitu terjatuh dari

motor saat perjalanan ke Paltuding dan serangan hewan buas seperti macan tutul

dan babi hutan, tersandung, terkilir, gigitan hewan berbisa seperti ular atau

kalajengking, iritasi mata, terhirup gas H2S dan nyeri sendi/encok. Sedangkan

sumber bahaya diketahui dari faktor unsafe condition yaitu kondisi jalan yang

berlubang, licin, dan menanjak, jarak tempuh yang sangat jauh, terjadi hujan,

kabut tebal, kondisi gelap akibat tidak ada penerangan, paparan gas CO2, SO2,

SO4, dan gas hidrogen sulfida (H2S), dari faktor unsafe action yaitu mengantuk

dan tidak mengunakan APD (safety shoes, marks respiratory) sedangkan dampak

risiko bisa terjadi cidera, memar, pendarahan atau meninggal.

b. Tahap Eksploitasi

Gambar 1. Proses pengambilan belerang di dasar Kawah Ijen.

Tahap eksploitasi terdiri dari dua proses yaitu pengambilan bongkahan

belerang di dasar Kawah Ijen, proses penataan bongkahan belerang ke atas

keranjang. Pada tahap ini teridentifikasi beberapa risiko yaitu terhirup atau

keracunan gas berbahaya (H2S), tertimpa bebatuan dari atas tebing, tergores alat

pengungkit (linggis), terkilir, iritasi mata nyeri sendi pada punggung. Sumber

bahaya yang diketahui dari faktor unsafe condition yaitu kondisi gelap akibat

tidak ada penerangan, paparan gas CO, SO2, SO4, HCl, dan gas H2S. Sedangkan

dari faktor unsafe action yaitu tidak mengunakan APD (safety shoes, safety

helmet, safety goggle, marks respiratory) risiko pada tahap ini bisa berdampak

cidera, penyakit pernafasan, pingsan atau bahkan meninggal dunia.

Page 263: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

249

c. Tahap Pengangkutan

Gambar 2. Proses pengangkutan belerang dari dasar Kawah Ijen.

Tahap pengangkutan terdiri dari dua proses yaitu proses pengangkutan

belerang dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen dan proses pengangkutan

dari puncak Gunung Ijen menuju Paltuding (Tempat penimbangan akhir). Pada

tahap ini terindentifikasi beberapa risiko yaitu terhirup atau keracunan gas H2S,

tertimpa bebatuan dari atas tebing, tersandung, kaki terkilir, iritasi mata,

nyerisendi/encok pada persendian dan tergores alat angkut. Sumber bahaya dari

faktor unsafe condition yaitu paparan gas CO, SO2, SO4, HCl, gas hidrogen sulfida

(H2S), kondisi jalan sempit, curam, menanjak, jarak tempuh, jalan berbatu dan

jalan menuju Paltuding berpasir dan berdebu,beban angkut yang sangat berat

(>40kg) dari faktor unsafe action yaitu kelelahan kerja, riwayat penyakit, usia dan

tidak mengunakan APD (safety shoes, marks respiratory). Dampak risiko pada

tahap ini bisa terjadi cidera, memar, pendarahan ataupun meninggal dunia.

d. Tahap Penimbangan

Tahap ini terdiri dari dua proses yaitu proses penimbangan di tempat

peristirahatan pertama (pondokan) dan Proses penimbangan akhir di Paltuding.

Pada tahap ini terindentifikasi jenis risiko yaitu terkilir, terjatuh, nyeri sendi pada

pungung. Sumber bahaya dari faktor unsafe condition yaitu tempat licin, berdebu,

beban angkut yang berat (>40kg), beban kerja tinggi, sedangkan faktor unsafe

action yaitu tidak mengunakan APD (safety shoes) risiko pada tahap ini bisa

berdampak kelelahan kerja dan cidera.

3.1.2. Penilaian Risiko

Penilaian risiko merupakan salah satu proses dari analisiss risiko, penilaian

risiko dalam penelitian ini mengunakan metode semi kuantitatif yaitu dengan

mengkalikan tingkat kemungkinan (probability), konsekuensi (consequences) dan

paparan (exposure) berdasarkan standart dari AS/NZS 4360 melalui wawancara

kepada informan utama dan informan kunci. bertujuan untuk mengetahui nilai

risiko dan level risiko. Hasil penilaian risiko pada proses penambangan belerang

di wilayah Gunung Ijen dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 1. Penilaian risiko proses penambangan belerangGunung Ijen Proses kerja Jenis Risiko Nilai Risiko Level Risiko

Mempersiapkan peralatan Terjatuh 75 Substansial

Serangan hewan 15 Acceptable

Proses pendakian Gunung

Ijen

Tersandung 300 Priority 1

Terkilir 300 Priority 1

Terigit hewan berbisa 75 Substansial

Proses penurunan menuju Tertimpa bebatuan 150 Substansial

Page 264: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

250

Proses kerja Jenis Risiko Nilai Risiko Level Risiko

bibir Kawah Ijen Tersandung 300 Priority 1

Terkilir 300 Priority 1

Iritasi mata 100 Substansial

Terhirup gas H2S 6000 Very High

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Proses pengambilan

endapan belerang di bibir

Kawah Ijen

Terhirup gas H2S 6000 Very High

Tertimpa bebatuan 150 Substansial

Tergores 300 Priority 1

Terkilir 300 Priority 1

Iritasi mata 100 Substansial

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Terkena cairanbelerang 1500 Very High

Proses penataan

bongkahan belerang ke alat

angkut

Terhirup gasH2S 6000 Very High

Tertimpa bebatuan 150 Substansial

Tangan terkilir 300 Priority 1

Iritasi mata 100 Substansial

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Proses pengangkutan

belerang menuju puncak

Gunung

Terhirup gas H2S 6000 Very High

Tertimpa bebatuan 150 Substansial

Terjatuh 450 Very High

Kaki terkilir 300 Priority 1

Iritasi mata 100 Substansial

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Proses pengangkutan

menuju paltuding

Kaki terkilir 300 Priority 1

Terpleset 900 Very High

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Tergores alat angkut 150 Substansial

Proses penimbangan

pondokan

Terkilir 300 Priority 1

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Proses penimbangan di

paltuding

Terjatuh 150 Substansial

Terkilir 300 Priority 1

Nyeri sendi/encok 100 Substansial

Berdasarkan tabel di atas, dari hasil observasi dan wawancaradengan

pekerja tambang diketahui risiko pada proses penambangan belerang secara

keseluruhan yang tertinggi adalah terhirup gas berbahaya Hidrogen Sulfida (H2S),

dengan nilai risiko 6000 dan level risiko sangat tinggi (very high).

3.1.3. Pengendalian Risiko

Risiko yang memiliki level tertinggi yaitu terhirup gas berbahaya Hidrogen

Sulfida (H2S) adapun pengendaliannya adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hirarki dan pengendalian risiko proses penambangan

Jenis Risiko Hierarki of

Control

Pengendalian

(rekomendasi)

Terhirup gas

berbahaya

Hidrogen Sulfida

(H2S)

Engineering Terdapat alat pendeteksi adanya gas berbahaya

Administrative Membuat Standart Operasional Prosedur bagi

pekerja yang melakukan pekerjaan di dapur

belerang

Melakukan inspeksi dan pengukuran secara

berkala terkait paparan gas H2S

Pembatasan izin memasuki area dabur belerang

Page 265: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

251

Jenis Risiko Hierarki of

Control

Pengendalian

(rekomendasi)

dan dasar kawah

Melakukan pemeriksaan kesehatan awal, berkala

dan khusus kepada pekerja

Menyediakan klinik kesehatan sebagai tindakan

emergency

Training Safety Talks sebelum memasuki area,

Melatih penangungjawab area dapur belerang

PPE/APD Chemical Catrige Respiratory, Gas Mask, Self

Consumed Breathing Apparatus (SCBA)

3.2.Pembahasan

Hasil identifikasi bahaya dalam penelitian ini, ditemukan risiko yang

memiliki level risiko sangat tinggi (very high) sehingga dapat mengakibatkan

kecelakaaan kerjapenyakit akibat kerja yaitu adalah risiko terhirup atau keracunan

gas Hidrogen Sulfida (H2S). Bahaya paparan gas H2S tidak hanya teridentifikasi

pada proses penurunan belerang namun juga terdapat pada proses pengambilan

belerang didasar kawah, proses penataan belerang didasar kawan dan

pengangkutan belerang dari dasar kawah menuju puncak Gunung Ijen artinya

bahaya ini setiap saat akan selalu mengintai para pekerja kapanpun dan disetiap

proses kerja saat penambangan belerang, sehingga hal ini perlu adanya tindakan

khusus dalam upaya preventif promotif yang dilakukan oleh pihak stakeholder

baik perusahaan, pemerintah setempat atau para pekerja tambang itu sendiri.

Penelitian ini berhubungan dengan temuan dari penelitian sebelumnyayaitu:

diketahui hasil penelitian Ma’rufi dkk. (2014) menyatakan bahwa terdapat

keluhan pernafasan, sebagian besar penambang belerang di Gunung Ijen berupa

mengeluh batuk berdahak yaitu sebesar 74%, keluhan pada mata, berupa mata

berair ketika menambang sebesar 94%, keluhan pada gigi, berupa gigi linu

sebesar 68%5, dan hasil penelitian Dyah Pranani (2008) menyatakan bahwa

paparan uap belerang merupakan faktor risiko untuk terjadinya erosi gigi

sedang/berat, subjek penelitian yang terpapar uap belerang mempunyai risiko

untuk mengalami erosi gigi sedang/berat sebesar 42,25 kali lebih besar

dibandingkan dengan subjek yang tidak terpapar uap belerang10

. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Taufiq (2012) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan

antara faal paru pekerja tambang belerang di Gunung Ijen dengan bukan

penambang belerang di lingkungan sekitar Gunung Ijen11

. pekerjaan tambang di

Kawah Ijen memiliki risiko yang sangat komplek terutama di bidang kesehatan

pekerja. Risiko yang paling tinggi dari proses penambangan belerang adalah

terhirup gas berbahaya H2S.

Hidrogen Sulfida (H2S) merupakan suatu gas tidak berwarna, sangat

beracun, mudah terbakar dan memiliki karakteristik bau seperti telur busuk.

Hydrogen sulfida dikenal juga dengan sebutan sebagai gas rawa atau asam

sulfide7. Gas ini dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan,

hydrogen sulfide mempunyai efek anoksit dan merusak secara langsung sel-sel

sistem syaraf pusat. Jika kadar di atas 50 ppm akan menyebabkan sakit kepala,

tidak dapat tidur, mual, batuk, badan lemah, mengantuk, edema paru dan

kojungtivitas yang disertai rasa sakit. Sedangkan jika kadar gas H2S di atas 500

ppm dapat menyebabkan tidak sadar dengan segera depresi pernapasan dan

kematian dalam waktu 30-60 menit8. Risiko paparan gas H2S kemungkinan terjadi

Page 266: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

252

kontak dengan pekerja, saat turun hujan di siang atau sore hari. Ketika gas H2S di

atas air danau gas ini mampu di bawa permukaan akibat hembusan angin, jika gas

ini terpapar lasung oleh pekerja maka dapat mengakibatkan cidera bahkan

meninggal dunia.

Bahan kimia beracun seperti gas H2S dapat masuk kedalam tubuh

kemudian masuk melalui aliran darah ke dalam tubuh melalui: saluran pernafasan,

penyerapan melalui kulit (absorbsi) dan saluran pencernaan, saluran pernafasan

terdiri dari dua yaitu bagian atas (hidung, tengorokan, trachea, dan sebagaian

besar pipa bronchial yang membawa ke cuping dan paru-paru) dan alveoli dimana

dapat terjadi pemindahan gas yang menembus dinding sel yang tipis. Gas dan uap

dengan daya larut yang rendah, namun berdaya larut tinggi didalam lemak

melewati lapisan alveoli kemudian masuk kedalam aliran daran dan dibawa

(disebarkan) ke organ-organ yang memiliki afinitas khusus9.

Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan dalam

keseluruhan manajemen risiko6. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi

akibatnya harus dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan

kondisi lokasi penambangan belerang di Gunung Ijen. Menurut OHSAS 18001

pengendalian risiko yang lebih spesifik untuk bahaya K3 adalah 1) Eliminasi, 2)

Subtitusi, 3) Pengendalian Teknis, 4) Pengendalian Administratif 5) Penggunaan

Alat Pelindung Diri (APD).

Pengendalian risiko pada tingkat risiko sangat tinggi diketahui yaitu

penyediaan alat deteksi gas berbahaya (H2S, CO, SO4) yang terintegrasi dengan

alarm, membuat standar operasional prosedur (SOP) bagi pekerja yang melakukan

pekerjaan di dapur belerang, melakukan inspeksi dan pengukuran secara rutin,

pembatasan izin memasuki area dapur belerang, melakukan pemeriksaan

kesehatan dan menyediakan klinik kesehatan di lingkungan pertambangan.

Mananjemen risiko pada proses penambangan belerang di Kawah Ijen

kabupaten Banyuwangi secara keseluruhan belum dikelola secara maksimal baik

oleh perusahaan PT. Candi Ngrimbi ataupun pemerintah setempat. Oleh sebab itu

agar setiap langkah dan proses kerja penambangan dapat berjalan aman, sehat dan

produktif maka seharusnya dilakukan sebuah manajemen risiko secara terencana

dan komprehensif.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian padapekerjaan tambang belerang di kawah

Gunung Ijen diketahui risiko tertinggi yaitu terhirup gas berbahaya Hidrogen

Sulfida (H2S), upaya pengendalian berupa rekomendasi adanya gas detector,

safety talk, klinik emergency dan APD berupa Chemical Catrige Respiratory, atau

Gas Mask. Saran atau rekomendasi yang dapat diberikan dari peneliti adalah

diharapkan perusahaan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk segera

melakukan upaya pencegahan, pengendalian risiko pada proses penambangan

belerang di Kawah Gunung Ijen berupa melaksanakan program tentang

keselamatan dan kesehatan kerja diantaranya memasangan safety sign rambu-

rambu bahaya, melakukan sosialisasi tentang K3 secara rutin, menyediakan APD,

membuat prosedur kerja, memberikan bantuan alat angkut yang ergonomis,

membangun layangan kesehatan sebagai upaya tidakan emergency jika terjadi

kecelakaan kerja.

Page 267: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

253

Daftar Pustaka

1. ZaennudinA, Wahyudin D, Sumaryadi M, Kusdinar E. 2012. Prakiraan

Bahaya Letusan Gunung Api Ijen Jawa Timur. Bandung: Jurnal Lingkungan

dan Bencana Geologi, 3 (2) Agustus 2012: 109-132.

2. Badan Geologi. Peningkatan Kegiatan Gunung Ijen dari Waspada Menjadi

Siaga. [internet] 2012 Apr [cited 23 September 2014] Available

from:http://www.vsi.esdm.go.id.

3. WittiriS. Artikel Gunung Ijen Penghasil Belerang Terbesar. [internet] 2010

[cited 24 Februari 2015] Available fromhttp://www.esdm.go.id/.

4. BPPD Bondowoso. 2013. Awas Kadar Gas Gunung Ijen Berbahaya. [internet]

2013 [cited 23 Februari 2010] Available from

http://www.bpbd.bondowosokab.go.id/

5. Ma’rufi I, Dewi A, Ismi R,2014. Identifikasi Keluhan Kesehatan Akibat

Paparan Bahan Pencemarn Belerang (Studi Kasus pada Pekerja di Kawasan

PeGunungan Ijen Kabupaten Banyuwangi). Proceding Jurnal 12-13 Sept

2014Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.

6. Ramli S. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS

18001. Jakarta: Dian Rakyat; 2010.

7. Soemiarat J. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. 1999.

8. Irianto K. Pencegahan dan Penaggulangan Keracunan Bahan Kimia

Berbahaya. Yrama Widya. Bandung. 2013.

9. Soeripto M. Higiene Industri. Jakarta. Balai Penerbit FKM UI Depok. 2008.

10. Pranani D. Pengaruh Paparan Uap Belerang terhadap Kejadian Erosi Gigi

(Studi pada Pekerja Tambang Belerang di Gunung Ijen Kabupaten

Banyuwangi Jawa Timur): Semarang 2008 Aug: 28. 4-6.

11. Taufiq. Perbedaan Faal Paru antara Pekerja Penambang Belerang dan Bukan

Penambang Belerang di Desa Tamansari Kecamatan Licin Kabupaten

Banyuwangi: Jember 2012 Aug; 03. 47-66.

Page 268: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

254

Pengetahuan dan Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara

(Safety Riding) Dengan Insiden di Jalan Raya Pada Pelajar

SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta

Eko Maulana Syaputra, Ihya Hazairin Noor, Sujiah, Bambang Hermawan Minat Keselamatan dan Kesehatan Kerja

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada

E-mail: [email protected]

Abstrak

SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang berlokasi

dekat dengan pusat kota, Malioboro, dan pusat perbelanjaan sehingga volume kendaraan

yang melalui sekolah tersebut sangat tinggi. Pelajar sekolah tersebut juga sebagian besar

menggunakan sepeda motor sebagai sarana transportasi utama untuk ke sekolah, padahal

penggunaan sepeda motor jika tidak diiringi dengan pengetahuan dan sikap yang baik

dalam berkendara maka dapat menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya kecelakaan

lalu lintas. Data dari Sat Lantas Polresta Kota Yogyakarta pada Januari 2013 sampai

dengan Februari 2016 telah terjadi lebih dari 1771 kecelakaan lalu lintas dan melibatkan

2502 unit sepeda motor dengan sebagian korban kecelakaan lalu lintas merupakan

pelajar.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap

mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya pada

pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan studi

cross-sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara statistik antara

pengetahuan keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya dengan p-

value 0.035. Terdapat hubungan secara statistik antara sikap keselamatan berkendara

(safety riding) dengan insiden jalan raya dengan p-value 0.036.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan secara statistik antara

pengetahuan keselamatan berkendara (safety riding) dengan insiden jalan raya. Ada

hubungan signifikan secara statistik antara sikap keselamatan berkendara (safety riding)

dengan insiden jalan raya.

Kata kunci: insiden jalan raya, pengetahuan, sikap, safety riding.

1. Pendahuluan

Populasi dan tingkat kepemilikan sepeda motor di Indonesia dalam beberapa

tahun terakhir ini terus tumbuh dengan cepat1, tak terkecuali di Daerah Istimewa

Yogyakarta, tercatat lebih dari 1,7 juta sepeda motor (single motorcycle) yang

terdaftar pada tahun 20142. Salah satu penyebab pertumbuhan tersebut karena

harga sepeda motor yang relatif terjangkau serta kemudahan dalam penggunaan3.

Namun, jumlah sepeda motor yang terus meningkat ini diikuti pula dampak

negatif yaitu pertambahan insiden di jalan raya.

Data unit kecelakaan Sat Lantas Polresta Kota Yogyakarta diketahui bahwa

pada tahun 2015 telah terjadi 651 kecelakaan lalu lintas (naik 31,7% dari tahun

2014) dan melibatkan 947 sepeda motor. Tercatat 45 korban meninggal dunia dan

899 korban luka ringan. Total kerugian material mencapai lebih dari 559 juta

Page 269: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

255

rupiah4 dengan segmen usia yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di dominasi

oleh usia dewasa muda (16-30 tahun) yaitu sebesar 48.5%2. Diketahui pula bahwa

lokasi kecelakaan paling banyak terjadi di kawasan permukiman, kawasan

pertokoan/mall dan pusat perbelanjaan4.

SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta merupakan salah satu sekolah

yang berada di lokasi berpotensi terjadi kecelakaan karena letaknya yang

berdekatan denganpusat kota, kawasan Malioboro, dan pusat pertokoan/mall

sehingga volume kendaraaan yang melalui ruas jalan di sekolah tersebut sangat

tinggi pada jam-jam tertentu. Sebagian pelajar juga menggunakan sepeda motor

untuk berangkat kesekolah. Berdasarkan hasil observasi oleh peneliti secara detail

mengenai faktor potensial yang dapat mengakibatkan insiden di jalan raya pada

pelajar sekolah tersebut diantaranya adalah: (1) Terdapat beberapa pelajar yang

kurang terampil dalam menggunakan sepeda motor. (2) Terdapat beberapa pelajar

yang menggunakan sepeda motor namun belum memiliki surat menyurat

berkendara (SIM/STNK). (3) Terdapat beberapa pelajar yang tidak disiplin dalam

berkendara, seperti berbelok tanpa menggunakan lampu penunjuk arah (sein) dan

menggunakan handphone saat berkendara. (4) Berdasarkan hasil wawancara

diketahui bahwa beberapa pelajar pernah mengalami insiden di jalan raya seperti

pernah ditilang, hampir mengalami kecelakaan (nearmiss) dan kecelakaan

(menabrak maupun ditabrak pengendara lain). Berbagai persoalan yang menjadi

penyebab potensial tersebut akhirnya akan menghasilkan dampak negatif pada

pelajar, yaitu terjadinya insiden di jalan raya. Sehingga berdasarkan temuan

diatas, perlu dilakukan pengkajian mengenai tingkat pengetahuan dan sikap

pelajar terkait dengan keselamatan berkendara (safety riding). Perlu juga diketahui

bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap tersebut dengan insiden di jalan raya

pada pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

pengetahuan dan sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan

insiden di jalan raya pada pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: (1)

Hubungan antara pengetahuan mengenai keselamatan berkendara dengan insiden

di jalan raya yang dialami oleh pelajar SMA Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta.

(2) Hubungan antara sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding)

dengan insiden di jalan raya yang dialami oleh pelajar SMA Muhammadiyah 5

Kota Yogyakarta.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan

menggunakan rancangan studi cross sectional. Populasi penelitian ini adalah

seluruh pelajar SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta yang berjumlah 311 orang.

Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria: (1)

Bersedia menjadi responden (2) Berada di sekolah saat penelitian dilakukan. (3)

Sering menggunakan sepeda motor untuk beraktivitas (min. 4x dalam seminggu).

Dari kriteria tersebut didapatkan sebanyak 111 orang untuk menjadi responden

penelitian. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu: (1)

Pengetahuan, adalah kemampuan responden dalam memberikan jawaban

pertanyaan mengenai keselamatan berkendara (safety riding) yang diukur

menggunakan kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Pengetahuan

Page 270: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

256

baik jika skor hitung >70 (b) Pengetahuan tidak baik jika skor hitung ≤706. (2)

Sikap adalah tanggapan responden mengenai keselamatan berkendara (safety

riding), baik berupa penerimaan (setuju) maupun penolakan (tidak setuju) yang

diukur menggunakan kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Sikap

baik jika skor hitung > mean (b) Sikap tidak baik jika skor hitung ≤ mean7.

Variabel terikat yaitu: insiden di jalan raya, adalah kejadian yang pernah dialami

responden selama 12 bulan terakhir, dapat berupa kecelakaan lalu lintas ringan,

sedang8 maupun kejadian hampir celaka yang diukur dengan menggunakan

kuesioner, skala data nominal dengan kategori: (a) Pernah, jika responden pernah

mengalami insiden (b) Tidak pernah, jika responden tidak pernah mengalami

insiden. Kuesioner yang digunakan untuk menilai pengetahuan dan sikap

mengenai keselamatan berkendara (safety riding) serta insiden di jalan raya

dimodifikasi dari penelitian Mahawati dan Prasetya9.

Analisis data yang digunakan yaitu analisis univariat untuk mendeskripsikan

distribusi dan persentase dari tiap variabel dan analisis bivariat untuk menguji

variabel bebas dan terikat yang diduga berhubungan dengan menggunakan uji chi

square.

3. Hasil penelitian dan Pembahasan

3.1 Analisis data

3.1.1 Analisis Univariat

Tabel 1. Distribusi usia, jenis kelamin, pengetahuan, sikap, dan insiden

di jalan raya yang dialami responden. F(%)

n = 111

F(%)

n = 111

Usia

14-15

16-17

≥18

25 (22.5)

80 (72.1)

6 (5.4)

Kejadian hampir celaka

Tidak pernah

<2

2-4

>4

51 (45.9)

35 (31.5)

17 (15.3)

8 (7.2) Jenis kelamin

Perempuan

Laki-laki

58 (52.3)

53 (47.7)

Pengetahuan

Baik

Tidak baik

79 (71.2)

32 (28.8)

Kejadian kecelakaan

Tidak pernah

<2

2-4

>4

62 (55.9)

35 (31.5)

9 (8.1)

5 (4.5) Sikap

Baik

Tidak baik

82 (73.9)

29 (26.1)

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa mayoritas responden berusia 16-17

tahun (72.1%), berjenis kelamin perempuan (52.3%) dan memiliki pengetahuan

yang baik (71.2%) serta sikap yang baik (73.9%) mengenai keselamatan

berkendara (safety riding). Sebagian besar responden belum pernah mengalami

insiden di jalan raya berupa kecelakaan (55.9%), namun lebih dari setengah dari

responden (54.15%) pernah mengalami insiden di jalan raya berupa kejadian

hampir celaka (near miss).

Page 271: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

257

3.1.2 Analisis Bivariat

Tabel 2. Hubungan Antara Pengetahuan Mengenai Keselamatan

Berkendara (Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya Insiden jalan raya

p-

value

0.035

< 0.05

Tidak pernah Pernah Total

Pengetahuan Tidak baik 7 (21.9%) 25 (78.1%) 32 (100%)

Baik 36 (45.6%) 43 (54.4%) 79 (100%)

Total 43 (37.7%) 68 (61.3%) 111 (100%)

Dari tabel 2 diatas diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara

statistik antara pengetahuan mengenai keselamatan berkendara (safety riding)

dengan insiden di jalan raya.

Tabel 3. Hubungan Antara Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara

(Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya Insiden jalan raya

p-

value

0.036

< 0.05

Tidak pernah Pernah Total

Sikap Tidak baik 6 (20.7%) 23 (79.3%) 29 (100%)

Baik 37 (45.1%) 45 (54.9%) 82 (100%)

Total 43 (38.7%) 68 (61.3%) 111 (100%)

Dari tabel 3 diatas diketahui bahwa terdapat hubungan signifikan secara

statistik antara sikap mengenai keselamatan berkendara (safety riding) dengan

insiden di jalan raya.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Hubungan Antara Pengetahuan Mengenai Keselamatan Berkendara

(Safety Riding) dengan Insiden di Jalan Raya

Tabel 2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden (79 responden)

memiliki pengetahuan yang baik mengenai keselamatan berkendara. Namun

masih banyak responden yang memiliki pengetahuan baik tetapi pernah

mengalami insiden lalu lintas (45 responden). Penyebabnya adalah belum adanya

kesadaran dan pemahaman mereka tentang pentingnya berkendara dengan aman,

responden hanya sekedar tahu tanpa bisa mengaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari10

, hal inilah yang mendukung terjadinya insiden di jalan raya.

Hasil uji dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat

hubungan signifikan secara statistik antara pengetahuan mengenai keselamatan

berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. Hasil dalam penelitian ini

sejalan dengan penelitian Ariwibowo11

yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan secara statistik antara pengetahuan terhadap praktik safety riding

awareness pada pengendara ojek sepeda motor dengan p-value 0,024.

Nani12

menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan salah satu faktor yang

mendasari seseorang dalam berperilaku. Pengetahuan bermanfaat bagi seseorang

dalam memutuskan tindakan yang diambil benar atau salah sehingga seseorang

yang memiliki pengetahuan yang luas maka akan lebih bijak dalam memutuskan

suatu tindakan dan pengetahuan tersebut membuat perilaku yang seseorang

lakukan bersifat langgeng atau berkelanjutan, termasuk dalam hal berkendara.

Page 272: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

258

Pengetahuan memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya

insiden di jalan raya. Semakin seseorang memiliki pengetahuan yang benar dan

memadai tentang moda jalan raya sebelum mereka mengemudikan kendaraan,

memahami dan mematuhi aturan-aturan/kaidah-kadiah maupun rambu lalu lintas

maka akan menurunkan potensi untuk mengalami kecelakaan. Pengetahuan yang

baik mengenai keselamatan berkendara (safety riding) juga dapat

mengembangkan keahlian dalam mengendarai, hal ini secara positif akan

mempengaruhi perilaku berkendara, menciptakan kebiasaan mengemudi yang

lebih aman dan menghasilkan penurunan jumlah insiden lalu lintas13

.

3.2.2 Hubungan Antara Sikap Mengenai Keselamatan Berkendara (Safety

Riding) dengan Insiden di Jalan Raya

Tabel 3 menjelaskan bahwa sebagian besar responden (82 responden)

memiliki sikap yang positif atau baik mengenai keselamatan berkendara (safety

riding) namun masih banyak responden yang memiliki sikap baik tetapi pernah

mengalami insiden lalu lintas (45 responden). Hal ini dapat disebabkan bahwa

sikap responden dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya sehingga bisa saja

responden bersikap baik atau positif terhadap keselamatan berkendara (safety

riding) namun kenyataannya responden dalam penelitian ini cenderung memiliki

perilaku yang berisiko dalam berkendara sehingga meningkatkan insiden di jalan

raya14

.

Hasil uji dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat

hubungan signifikan secara statistik antara sikap mengenai keselamatan

berkendara (safety riding) dengan insiden di jalan raya. Hasil dalam penelitian ini

sejalan dengan penelitian Notosiswoyo11

yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan secara statistik antara sikapdengan perilaku pencegahan kecelakaan

sepeda motorpada siswa SLTA di Kota Bekasi dengan p-value 0,021.

Notoadmodjo15

menjelaskan bahwa praktik seseorang didasari oleh adanya

persepsi yang dapat memunculkan suatu tindakan nyata atau sikap seseorang

dalam berperilaku. Baik atau buruknya sikap juga saling terkait dengani oleh

besar tingkat pengetahuan seseorang. Oleh karena itu suatu sikap yang baik sangat

diperlukan dalam berkendara sehingga dapat mencegah terjadinya insiden di jalan

raya.

Hakim dan Nuqul1 di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keselamatan

berlalu lintas dipengaruhi oleh sikap para pengguna jalan, sehingga mengetahui

sikap pengendara merupakan aspek penting untuk mengurangi insiden di jalan

raya. Sejalan dengan hal tersebut, Pamungkas13

dalam penelitiannya menjelaskan

bahwa secara singkat, pengendara memiliki dua fungsi utama dalam sistem

berkendara. Pertama pengendara menggunakan sistem untuk berpindah dari satu

titik ke titik lainnya dalam suatu periode waktu tertentu. Kedua, disaat yang

bersamaan pengendara bertindak sebagai petunjuk dan sistem kendali bagi

kendaraan. Untuk melakukan tindakan atau berperilaku seperti apa dan

bagaimana, pengemudi harus mendeteksi dan menseleksi informasi dari

lingkungan sekitarnya, termasuk bentuk geometris jalan, menterjemahkan

keputusan ke dalam bentuk tindakan terhadap kendaraan sekaligus

memperhitungkan keselamatan, kemudahan dan kenyamanan pengendara harus

memiliki sikap dan motif dalam berkendara. Sikap dan motif inilah yang nantinya

dapat menentukan bagaimana seorang pengendara bereaksi terhadap situasi

Page 273: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

259

berkendara, sehingga sikap dan motif yang positif atau baik berperan penting

dalam keselamatan berkendara.

4. Kesimpulan Dan Saran

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diambil kesimpulan bahwa sebagian

besar pengetahuan dan sikap responden mengenai keselamatan berkendara (safety

riding) sudah baik. Meskipun angka terjadinya insiden di jalan raya masih cukup

tinggi. Hal tersebut disebabkan pengetahuan dan sikap yang positif atau baik tidak

selalu disertai dengan tindakan yang positif oleh individu, karena norma individu

sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor lingkungan dan orang

terdekat.

Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat

hubungan yang signifikan secara statistik antara pengetahuan terhadap insiden di

jalan raya dan sikap terhadap insiden di jalan raya pada siswa SMA

Muhammadiyah 5 Kota Yogyakarta dengan p-value masing-masing 0.035 dan

0.036.

4.2 Saran

Setelah dilakukannya penelitian ini dapat direkomendasikan kepada instansi

terkait, yaitu dinas perhubungan dan jajaran polisi lalu lintas Kota Yogyakarta

agar lebih giat mengkampanyekan program mengenai budaya selamat berkendara

(safety riding) terutama pada kelompok pelajar SMA karena usia pada kelompok

tersebut sangat berisiko untuk mengalami insiden di jalan raya

Saran juga dapat diberikan pada penelitian selanjutnya agar dapat meneliti

variabel lain seperti pengaruh perilaku, kondisi fisik dan psikologis pengendara,

intensitas pemakaian helm, dan pengaruh pelatihan keselamatan berkendara

(safety riding), demi penyebarluasan ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah

mengenai keselamatan berkendara di Kota Yogyakarta dapat menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka

1. Hakim, L. dan Nuqul, F. L. 2011. Analisa Sikap terhadap Aturan Lalu-Lintas

pada Komunitas Bermotor. Jurnal Psikologi Indonesia. Vol.8, No. 2, hal.93-

103.

2. Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. Daerah

Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta.

3. Bolla, M. E. 2011. Kajian Karakteristik Kecelakaan Sepeda Motor Di Kota

Surabaya. Jurnal Teknik Sipil. Vol. 1, No.1, hal. 67-69.

4. Polresta Kota Yogyakarta. 2016. Data Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2013-

Ferbruari 2016, Yogyakarta.

5. Notoatmodjo, S. 2007, Kesehatan masyarakat Ilmu & Seni, Rineka Cipta,

Jakarta.

6. Sugiyono. 2009. Metode Penilaian Kuanttatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

7. Azwar. 2010. Sikap Manusia Teori dan Perilaku. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan.

Page 274: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

260

9. Mahawati, E dan Prasetya, J. 2013. Pola Interaksi Determinan Perilaku “Safety

Riding” dalam Upaya Eleminasi Gangguan Kesehatan dan Kecelakaan Lalu

Lintas Guna Meningkatkan Kualitas Hidup Generasi Muda. Laporan Akhir

Penelitian Dosen Pemula. Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

10. Asdar, M., Rismayanti, Sidik, D. 2013. Perilaku Safety Riding pada Siswa

SMA Di Kabupaten Pangkep. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456

789/4246.

11. Ariwibowo, R. 2013. Hubungan antara Umur, Tingkat Pendidikan,

Pengetahuan, Sikap terhadap Praktik Safety Riding Awareness pada

Pengendara Ojek Sepeda Motor Di Kecamatan Banyumanik. Undergraduated

thesis. Universitas Diponegoro.

12. Sundari, N.P. 2010. Perilaku Pengendara Sepeda Motor pada Remaja terhadap

Risiko Kecelakaan Lalu Lintas. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php? id=gdlhub-

gdl-s1-2010-sundarinan-12659&width=300&PHPSESSID=e99

ecec43aeb91a73c0e368ce140cf5f.

13. Pamungkas, N.S. 2014. Mengenal Perilaku Pengendara Kendaraan dalam

Upaya Mencegah Terjadinya Kecelakaan di Jalan Raya. Teknis. Vol.9,

No.1.hal. 13-18.

14. Agung, I.A. 2014. Model Perilaku Pengendara Berisiko pada Remaja. Jurnal

Psikologi Integratif. Vol. 2, No. 2, hal. 35-41.

15. Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Ilmu Pendidikan Kesehatan dan Ilmu

Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi offset.

Page 275: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

261

PROTOTYPE “SAIRIS TECH”

(Alat Penangkap Polutan Udara Dalam Ruangan)

Husaini1, Abdul Haris

2

1Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, 70714. 2Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Depkes RI Banjarmasin

Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714

E-mail: [email protected],[email protected]

Abstrak

Polutan udara yang mencemari udara dalam ruangan harus mampu dikendalikan sehingga

tidak berbahaya bagi pekerja dan lingkungan sekitarnya, terutama berbagai industri,

termasuk industri karet. Prototipe alat “SaiRis Tech” adalah salah satu pengendalian

berbagai macam polutan udara dalam ruangan dan alat ini diberi nama “SaiRis Tech”

adalah berdasarkan penemunya yaitu “Husaini dan Abdul Haris” yang kemudian

disingkat menjadi “SaiRis Tech”. Tujuan penelitian ini adalah mendesain/membuat

Protipe alat penangkap berbagai polutan udara yang terdapat dalam ruangan, serta

melakukan berbagai uji terhadap polutan. Alat ini sudah lulus uji laboratorium dengan

jenis polutan SO2 dengan efisiensi menurunkan kadar SO2 sampai 97%. Manfaatnya

adalah memberikan informasi keberbagai pihak dalam rangka pengendalian polutan udara

dalam ruangan.

Kata kunci: alat penangkap polutan, gas SO2, prototype.

1. Pendahuluan

Polutan udara dalam ruangan sebuah industri merupakan ancaman serius

terhadap pekerja, oleh sebab itu diperlukan pengendalian secara teknis. Salah satu

prototipe alat untuk menangkap atau menurunkan kadar polutan dalam ruangan

industri, khususnya industri karet adalah prototipe “SaiRis Tech” yang telah lulus

uji laboratorium. Studi pendahuluan yang dilakukan dalam penggunaan prototipe

alat SaiRis Tech ini adalah terhadap kadar sulfur dioksida dari asap pembakaran

rubber sheet yang menunjukkan bahwa rata-rata kandungan sulfur dioksida

sebesar 0,856 ppm setara dengan 2247 µgr/m3

[6]. Ini melebihi nilai ambang batas

baku mutu udara ambient nasional Republik Indonesia PP nomor 41 tahun 1999

[1] yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja [2] pada ruang pengasapan

maupun pada masyarakat yang berada di sekitar ruang pengasapan suatu industri

rubber sheet. Polutan jenis SO2 bersifat karsinogenik terhadap kesehatan paru

manusia [3], juga menyebabkan kelainan paru restriktif, obstruktif dan gabungan

serta kelainan imunoglobulin jenis total IgE dan IgG [4]. Oleh sebab itulah

dilakukan perancangan alat untuk menurunkan kadar berbagai polutan dalam

udara, seperti penelitian ini penurunan polutan SO2 pada ruang pengasapan rubber

sheet berupa prototipe SaiRis Tech. Kinerja alat ini sangat efisiensi menurunkan

cemaran atau polutan SO2 sampai 97 % [6].

Page 276: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

262

2. Tujuan

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menyebarluaskan teknologi

sederhana yang tepat guna dalam pendalikan pencemaran udara dari aktivitas

pengeringan rubber sheet atau aktivitas industri karet.

3. Manfaat

Alat ini bermanfaat untuk menurunkan risiko pencemaran lingkungan atau

kualitas udara di dalam industri rubber sheet dan lingkungan sekitar industri

tersebut.

4. Metode

A. Alat Utama SaiRis Tech

Alat utama SaiRis Tech terdiri dari kolom dari pipa stainless berdiameter 2

inchi dengan total tinggi 30 cm. Pada bagian dalam terdapat bantalan penahan

gas kotor untuk memperlambat laju aliran gas kotor. Selain itu pada bagian

atas diletakkan sedemikian rupa sprayer berdaya sebar 78,5 cm2, dengan

sebaran berbentuk lingkaran [5].

B. Penggunaan Tekanan

Tekanan yang digunakan pada cairan kontak adalah 30 – 50 psi [6]. Tekanan

paling efektif adalah pada 40 psi. Cairan kontak yang digunakan adalah air

bersih dengan kekeruhan < 5 NTU [6].

C. Peralatan Pendukung

Peralatan pendukung untuk mengoperasikan SaiRis Tech adalah berupa

kompresor udara dengan kapasitas minimum 16 liter dengan daya ¾ HP,

tabung air bertekanan kapasitas minimum 100 liter untuk pengoperasian

selama 2 jam [6].

Sairis Tech

Nozzle

Inlet Gas Kotor Dari Ruang Asap

Ud

ara

Be

rsih

Bed

Pipa Air Bertekanan

Tabung Air Bertekanan

Ø

Pip

a U

da

ra B

erte

kan

an

Kompressor

Valve

Valve

Pressure gauge

Air K

oto

r

Gambar 1. Sairis Tech Dengan Peralatan Tambahan

Page 277: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

263

5. Hasil

SaiRis Tech telah diuji coba untuk menurunkan kandungan SO2 yang

terdapat pada ruang pengasapan industri rubber sheet. Uji coba dilakukan pada

skala laboratorium dengan gambaran kinerja pada tabel di bawah [6]:

Tabel 1. Hasil Uji Coba Kandungan SO2 dengan Prototipe Alat Sairis Tech

Kontrol

Konsentrasi

Kontrol

(ppm)

Rerata

Kontrol

(ppm)

Hasil

Uji

Efisiensi

(%)

Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom 0.93 0.856

Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom 0.69 0.856

Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom 0.96 0.856

Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom 1.12 0.856

Tanpa Bed, Tekanan 40 Psi, 1 Kolom 0.58 0.856

Variasi Bed, Tekanan, Kolom,

Pengulangan

3;40;1,1

0.856 0.01 99

3;40;1,2

0.856 0 100

3;40;1,3

0.856 0.03 96

3;40;1,4

0.856 0.04 95

3;40;1,5

0.856 0.04 95

Bila disajikan dengan diagram batang, maka akan terlihat hasil uji coba

sebagai berikut [6]:

Diagram 1. Gambaran Efisiensi Sairis Tech Selama Lima Kali Pengulangan

6. Kesimpulan

Dari hasil uji coba SaiRis Tech dapat disimpulkan bahwa alat ini mampu

menurunkan kandungan SO2 pada ruang pengasapan rubber sheet antara 95–100

% [6].

Page 278: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi

264

Daftar Pustaka

[1] Anonimous. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Jakarta

[2] Mukono, H.J. 2008. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap

Gangguan Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press.

[3] Eva, M., Faisal, Y., Wiwien, H.W., dan Mukhtar, I. 2003. Pengaruh Inhalasi

Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan Paru. J Cermin Dunia Kedokteran.

[4] Husaini. 2014. Hubungan Pajanan CO, SO2, NO2, Uap Besi dan Debu Besi

Dengan Gangguan Fungsi Paru Dan Kadar Imunoglobulin Serum Perajin

Logam, Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

[5] Haris, A. 2011. Penurunan Debu Padi Menggunakan Wet Scrubber. Tesis.

Surabaya: Institut Sepuluh Nopember Surabaya.

[6] Husaini, dan Haris, A. 2016. Penurunan Sulfur Dioksida (SO2) Ruang

Pengasapan Rubber Sheet Menggunakan Wet Scrubber Prototipe “SaiRis

Tech” [Belum di Publish].

Page 279: PROSIDING - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) FK …kesker.fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/... · PROSIDING . Seminar Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja . Standardisasi